youngswritting

“Kak, buat dokumen yang kemarin aku harus ketemu sama pak Wonwoo, gak?” Kak Soonyoung mendongak.

“Iya dong, kan itu harus dapet tanda tangan dari kepala departemen dulu” Ia kemudian mengambil beberapa dokumen ditanganku, kemudian membolak balikannya. “Gimana?”

“Oke, Kak. Thankyou

“sama sekalian tanya, email dia yang mana soalnya ini mau ngirim data kompensasi sama data pengembangan, udah numpuk dari kapan tau nih”

“Siip”


Ruangan kepala departemen lumayan besar untuk menampung sedikitnya satu orang seperti Wonwoo, ada sofa lengkap dengan meja yang terbuat dari marmer, lemari yang berisi berpuluh atau mungkin beratus dokumen yang entah apakah ia baca atau ternyata malah tumpukan yang sampai sekarang belum selesai pertanggung jawabannya. Entahlah, dia terlalu hebat, diumur yang masih muda sudah memegang jabatan, sudah memegang tanggung jawab besar.

“Ini dokumennya belum diurutkan sesuai isinya ya? Masih berantakan gini, yang tahun lalu juga kesasar kemana mana..”

“Masa sih, Won?” Wonwoo membuka kacamatanya dan membuang nafas berat.

“Kamu-”

“Iya, Pak. Maaf saya lupa manggil ‘Pak’.. Kebiasaan” Wonwoo malah memijit pelipisnya sambil terkekeh geli.

“Aku padahal mau minta tolong..” Aku mengernyitkan alis. “Udah jam 8 lewat 3 menit, jam kantor udah selesai” Ia melihat jam di ponselnya, dan aku yang buru buru melihat jam di tangan kiriku.

“Mau aku repotin, gak?”

“Kalau urusan kantor ya pasti maulah”

“Ya ini..” Ia mengeluarkan tumpukan dokumen yang lain. “Belum berurut, kalau gak, gak bisa masuk ke ruang status selesai..”

Aku menganga, dokumen yang bermenit lalu aku bawa sudah cukup banyak dan katanya belum berurut sesuai data penugasan, ditambah dokumen baru yang berdetik lalu Wonwoo keluarkan. Aku secara bergantian menatap tumpukan dokumen dan kembali ke Wonwoo, begitu terus beberapa kali.

Well, welcome to office life?” Ia mengangkat bahunya,

“Shit”


Wonwoo memutar stirnya masuk kedalam garasi, menarik rem tangan kemudian mengajakku turun. Aku membenarkan posisi tasku yang berada dibahu sebelah kiri, membuka pintu mobil belakang dan mengangkat berkas berkas sebagian, membantu dirinya.

“Aku baru tau kamu ternyata sekaya itu sampe mampu beli apartement” Wonwoo terkikik, tangannya sibuk menekan tombol di atas smart lock door sampai pintu sepenuhnya terbuka.

“Chan?”

“Hmm?” Seseorang dengan kaos oblong dengan celana ponggol yang sedang duduk di sofa menoleh. “Loh?” Katanya menunjukku.

“Iya, dia mau bantuin gue ngurus kerjaan”

“Oh, yaudah. gue kekamar deh ya”

Begitu kemudian Chan tadi meninggalkan aku dan Wonwoo berdua di ruang tamu. Aku meletakkan tumpukan berkas tadi diatas meja, kemudian duduk.

“Aku mulai aja ya?”

“Iya. Kamu kalau laper bilang, biar kita pesen sesuatu aja”

“Iya” Kataku. Begitu kemudian aku membuka amplop coklat yang berisi puluhan data perusahaan yang tidak berurut sesuai kualifikasi pekerjaan departemen kami. Menyusunnya satu persatu, sedangkan Wonwoo disana langsung sigap memberikan beberapa stempel dan tanda tangan.

Begitu terus sampai jam di dinding sudah menunjukan pukul 10 malam, semuanya selesai. Aku membanting punggungku ke sandaran sofa, membuang nafas berat dan menutup mataku.

“Laper gak?”

“Dikit”

“Mau makan sesuatu?”

“Terserah”

“Malah terserah, mau gak?”

“Yaudah”

“Mau makan apa?”

“Terserah”

“Gimana sih terserah melulu” Wonwoo melepaskan kacamatanya, ikut bersandar pada kepala sofa dan mengotak atik ponselnya.

“Yang cepet saji aja, biar cepet”

“McDonalds?”

“Sure”

“Chan? Mau makan gak?” Wonwoo sedikit berteriak, tapi tidak mendapatkan jawaban. “Udah tidur” Sambungnya sambil mengangkat kedua bahunya bersamaan.

“Gede ya..” Kataku.

“Apanya?”

“Apartemen kamu” Ia hanya menaikan alisnya bersamaan dengan senyum tipis dibibirnya. “Gaji kamu berapa sih sampe bisa beli apartemen segede ini?” Candaku.

“Yaa.. Cukuplah”

Aku mengedarkan pandanganku ke mana mana, sampai ketika mataku berhenti pada satu objek.

“Itu kamu?” Tanyaku berdiri mendekati satu bingkai foto.

“Iya, itu masih kecil banget, hahaha” Ia tertawa dengan suara serak dan beratnya.

“Kamu.. Ikut tim baseball sekolah juga, ya?”

“Iya. Kenapa?”

“Engga papa” Aku melihat Wonwoo kecil, dengan baseball stick ditangan kirinya dan topi menutupi hampir seluruh matanya, membuatnya melihat kamera sedikit mendongak.

“Aku masih punya banyak, mau lihat?” Wonwoo mendekatiku, berjongkok kemudian mengeluarkan banyak foto album. “If you don’t mind to stay for a while..” Katanya.

“Ini.. Sebelum Chan lahir, masih jadi anak tunggal Mama sama Papa” Kata Wonwoo membuka halaman demi halaman dan menunjukan berbagai macam foto masa kecilnya.

“Kalau ini, dulu main kemana ya aku lupa..” Wonwoo kecil, dengan denim jacket dan kedua tangan yang ia masukan kedalam kantongnya.

“Ini, main ke pantai, terus aku nyangkutin diri di leher Papa” Terukir senyum cerah dimatanya ketika menceritakan setiap foto yang ia tunjukan. Dan aku menoleh, bukan ke foto yang terus menerus ia tunjuk, tapi ke sosoknya, dengan tenggorokan yang perih.

“Hey?” Matanya membulat, sadar akan aku yang terlihat tidak baik baik saja di atas kakiku. “Kok nangis? You Alright?” Aku menunduk, menyembunyikan mataku.

Yes, I am. Hahaha Sorry

No, you are not” Wonwoo menangkup kedua pipiku, menatap kepada manikku yang tertutupi embun air mata. Dan disitu, aku kemudian pecah.

Aku jatuhkan kepalaku di dadanya, menyembunyikan sesak, membiarkan yang dulu dulu tertahan untuk malam ini keluar barang sedikit saja.

“Hey?” Wonwoo mengelus punggungku. “Kenapa?”

I miss him. I miss him so much it hurts

Ia membawaku untuk duduk di atas sofa, masih meminjamkan tubuhnya untuk ku senderkan barang sebentar sampai sesak didadaku perlahan menghilang.

Where are him? Right now?” Tanyanya, aku menggeleng. Karena memang, sampai sekarang pun aku tidak tau bagaimana kabarnya dan dimana ia sekarang.

It’s okay, you can cry if you miss someone..” Aku semakin pecah. Tangan Wonwoo disana masih mengelus punggungku, pelan dan dengan sabar. Entah sebagai siapa dia malam itu, seorang kepala departemen yang menyalurkan simpati ke pegawainya, atau seorang teman yang bersedia bahunya aku pinjamkan, atau sebagai Wonwoo, yang berbulan lalu bilang bahwa rasanya terpatri untukku. Entah, malam itu semua jadi abu dan sedu.

“Namanya.. Mingyu” Kataku, mengangkat kepala dari bahunya.

What did he do?”

Cheating on” Cicitku. Aku membenarkan posisi dudukku kini, tidak lagi berhadapan dengan Wonwoo tapi membuang tatapanku kedepan, pada televisi yang layarnya mati.

He just.. Perfectly fine, Won..” Suara bindengku memenuhi ruangan. “.. so fucking fine. Segala galanya yang udah aku sama dia lewatin, so perfectly fine” Aku menutup mata, menahan air mata untuk keluar.

His sweet disposition, everything.. And I kinda miss him, Sorry” Kini aku menoleh, menatap Wonwoo yang juga menatapku.

Aku kira, setelah sepenuhnya apa yang aku katakan secara terang terangan kepadanya malam itu, akan membuat ia tersadar bahwa seseorang yang ia tunggu, seseorang yang ia sisipkan rasa, belum selesai dengan masa lalunya. Aku kira, ia akan membenahi hati, dan mulai merencanakan rencana rencana baru lainnya, tapi malam itu, ia tersenyum, lagi lagi menangkup wajahku.

“Kamu.. Belum selesai atau sama sekali gak mau coba?”

“Maksudnya?”

“Kalau kamu belum selesai, I’ll wait..” Senyum tulusnya lagi lagi terlukis. “Tapi kalau kamu sama sekali gak mau coba.. I’ll try to heal you, I’ll try and I’ll try a thousand times

“Sampe aku mau coba, gitu?” Ia diam. “Won, gaada jaminan segala perilaku manis yang sekarang kamu lakuin itu gak buat kamu jadi laki laki kaya Mingyu. Gaada. Aku udah bilang, do not ever try to dan jangan aku.”

“Sampai kapanpun, gaada jaminan bahwa cinta gak bakal nyakitin kamu. It will. Tapi aku bukan Mingyu dan Mingyu bukan aku. Kamu gabisa menyamaratakan semua laki laki yang kamu temui sama kaya Mingyu. I’ll hurt you, itu udah pasti. I can’t promise you the world, karena bukan aku yang nulis jalan takdir. Tapi..” Ia berhenti. “I’ll make you believe that, at least, there is one person that will never ever leave you all by yourself. Gaakan pernah”

Cahaya matanya, garis matanya, bagaimana kedua irisnya yang bergerak mengikuti irisku untuk menemukan tatap, keduanya seakan berbicara, seakan berusaha meyakinkan bahwa aku tidak perlu takut ketika dunia sedang tidak bersahabat, bahwa dimata ini aku bisa beristirahat. Keduanya lagi lagi seakan meyakinkan bahwa orang ini, sosok ini, insan ini, akan selalu menuntunku mencari jalan yang terang dari gelapnya kesendirian dan kesedihan hati, keduanya, bersuara.

“No..” Aku menggeleng. “Enggak, Won. Maafin aku”

One question?” Wonwoo berdiri disebelah mejaku, membolak balikan dokumen yang baru saja aku berikan padanya.

Not allowed” Kataku sibuk mengetik diatas keyboard tanpa menoleh padanya, tapi pandanganku mampu melihat bagaimana ia menyunggingkan senyum disana.

It is a fun question, ain’t you curious?

No

“hhh it is so hard to make you attached to me

Not interested..” Jariku masih sibuk menari diatas keyboard tanpa melirik.

“Mau terang bulan atau roti bakar bandung?”

“Kan udah dibilang ga boleh nanya” Kini fokusku terhenti pada layar laptop dan berpindah ke Wonwoo.

“Oke, terang bulan”

“Aneh”

“Coklat keju susu atau coklat aja atau keju susu?”

“Kan gak bole—”

“Oke, Coklat Keju Susu” Wonwoo terkikik, sedang aku mengernyitkan alis di kursiku. Ia masih tetap membaca dokumen ditangannya.

We’ll walk around downtown after office, see you” Ia bergerak meninggalkan meja

“Hah?”

“Itu bukan pertanyaan” Teriaknya sambil berjalan.

“Ya tapi saya harus nentuin juga dong, Pak. gimana sih?”

Not interested, bye” Ia bahkan tidak menoleh, meninggalkan ruangan begitu saja, meninggalkan orang orang yang tidak henti hentinya menatapku.

“Jadian kek” Kak Soonyoung bersuara dari mejanya. Aku hanya diam. “Serius gua mah lo berdua klop banget kaga boong” Sambungnya.

“Nanti aja kak, kapan kapan”

“Jiaakhhh, berarti ada niatan nih ye nerima Wonwoo” Kak Soonyoung terkikik. “Siap bos, ntar gua laporan berkala dulu”

“Kakak di sogok ya sama dia?” Tanyaku.

“Jiakh pake ditanya, gaji gua mah kaga sebesar dia. Boleh lah dikit ambil untung”

“Jangan ajak gue ngomong, Kak”

“Yeh pake acara ngambek.. Cup cup.. Nanti kakak Soonyoung jajanin deh janji.. Pake duit Wonwoo tapi Hahahahah”


Aku duduk di mobil menunggu Wonwoo diluar sana memesan terang bulan yang berjam lalu dirinya janjikan. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku tetap duduk di mobilnya. Stereotapenya sunyi, tidak memainkan musik sedikitpun, entah karena dia yang terlalu flat atau memang dia sama sekali tidak suka musik, entahlah. Beberapa kali aku duduk disini, maupun bersama coworkers lain untuk urusan pekerjaan, stereotapenya selalu mati.

Ia kemudian masuk, membawa sebungkus plastik besar.

“Mau makan di mobil aja atau kita nyari tempat?”

“Terserah” Kataku.

Okay, well figure out some place ya, kalau gaada makan di mobil aja”

Okay then

Wonwoo memutar stirnya, diam menatap jalanan kota dengan lampu kendaraan yang memendar saling bersahutan, sesekali cahayanya terpantul dikedua iris matanya.

“Kamu emang gasuka dengerin lagu ya?” Tanyaku.

“Enggak gitu, kadang kadang aja kalau sendirian suka” Aku mengangguk, kemudian dia melirikku. “Aku gak punya banyak lagu, kamu hidupin aja, dengerin radio kalau ada”

“Okay” Begitu kemudian aku mengotak atik stereotapenya, mencari jaringan ke sumber radio terdekat.

‘okay sobat, malam yang syahdu gini enaknya dengerin musik romantis kali ya’

‘Asik dong nih kalau gini, lagu apa nih kira kira’

‘yang jomblo skip dulu aja atau gak nikmati dalam diam’

‘hahaha, peluk guling deh peluk guling’

‘okay, ini dia lagu romansa ala ala gombal gombalan, milik A rocket to the moon, Baby Blue Ey—’

“Kenapa dimatiin?”

“Hm? Enggak papa, gak menarik aja”

“Padahal lagu Baby Blue Eyes enak loh?”

“Oh ya?”

“Iya, kayanya baru kamu deh yang aku kenal gak suka lagu Baby Blue Eyes

“Haha, gitu ya”

Is anything wrong?

“No?”

“Kamu keliatan nervous gitu”

“Kamu tau jalanan ibukota kan? Hafal jalan kemana mana kan ya?”

“Y-ya hafal lah..”

Okay, then don’t get lost

“O-okay” Aku menopang daguku, sesekali aku bisa merasakan ia yang terus menerus melirik kearahku.

Are you okay?

Yeah, completely okay

No, I am fucking not.

Wonwoo memutar stir mobilnya masuk kesebuah pekarangan yang aku tau tidak asing dibenakku. Berkali kali aku berusaha membuang fikiran yang kurang mengenakan, tapi tetap saja mengusik.

Pemakaman.

Setelah diam ribuan bahasa semenjak tadi, dan saat ini ketika aku dan dia berjalan menyusuri nisan demi nisan, akhirnya aku memberanikan diri bersuara “Won..”

“Hm?”

“Ngapain?”

“Katanya mau ketemu dia, go ask her” Wonwoo tersenyum, menunjuk satu batu nisan yang bertuliskan abjad demi abjad membentuk satu nama, tanggal lahir dan tanggal wafat.

Aku berjongkok disebelah nisannya, meremas tanah. “Kenapa, Won?”

“Kekerasan, pelecehan”

“Kasihan..” Wonwoo berdiri, memasukan kedua tangannya kedalam kantong celana.

I remember her eyes that day..” Kini Wonwoo menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan tangis. “There are so many pain, yet she was stand up still alone

“Dia berusaha bertahan, padahal dunia lagi jahat jahatnya sama dia..”

Aku terdiam, terus menatap ukiran nama yang ada di nisan dihadapanku, berusaha menahan tangis.

“Dia, masih bisa senyum seakan akan bumi bakal ngasih dia hadiah dikemudian hari karena udah mau bertahan..”

“Siapa Won, yang tega?”

Kini Wonwoo ikut berjongkok, “Ayah kandungnya..”

Aku, menjadi diriku sendiri disini, merasakan beribu benda tajam menghujam jantungku. Bagaimana kemudian ada seorang figur ayah yang menghancurkan darah dagingnya sendiri, bagaimana kemudian ada seorang ayah yang seharusnya membantu menerbangkan putrinya setinggi langit, malah menginjak injak harga dirinya, bagaimana kemudian ada sosok hina semacam itu menghirup udara bebas di bumi, bagaimana bisa.

Air mataku kini tumpah, membuat genangan kecil di pipi, menunduk.

“Ada banyak hal yang belum bisa aku bilang, aku lakuin buat dia.. “

Aku bisa melihat bagaimana Wonwoo meremas tanah dihadapannya, menunjukan bagaimana ia benci terhadap dirinya sendiri dan beribu penyesalan di dalam dadanya.

“Kamu..” Katanya, membuatku mendongak. “mirip banget sama dia.. Bener bener bikin aku ngerasa kalau Tuhan ngasih aku kesempatan kedua untuk ngelakuin hal yang gak bisa aku lakuin buat dia. “

“Awalnya..” Ia menatap kosong ke tanah, masih berjongkok disebelahku “Aku pikir gaada salahnya untuk sekedar punya rasa simpati ke kamu dan disamping itu bayar semua hutangku ke dia.. Tapi makin kesini, aku fikir ini bukan sekedar rasa simpati aja..”

“Jadi aku harap..” Kali ini pandangannya dipaku menujuku. “Apapun, dan sekecil apapun kesedihan yang kamu punya, sini..” Ia menepuk pundaknya beberapa kali “Lean on me. Jangan berdiri seakan akan dunia bakal selalu ngasih yang terbaik buat kamu.. You just need to take some rest kalau dunia lagi jahat sama kamu, you know.. Buat sekedar mengistirahatkan diri. Terus ketika dunia minta maaf dan kamu maafin dunia, kamu boleh pergi.. Just.. Don't keep it all by yourself, ya?”

“Aku gak peduli soal perasaan kamu, aku ga peduli kalau sampai matipun kamu tetep kekeuh bilang kalau aku ga boleh taruh rasa sama kamu, aku gak peduli.. But your sadness, do not keep it all alone. Just.. Don't” Ia menggelengkan kepala untuk menutup kalimatnya sore itu.

Laradyan

Jakarta, 5 Maret 1996

Jakarta, 23 September 2011

What a nickname you used to call her?

“Lara”

Pain

Yeah, so much pain

One question?” Lagi lagi ia muncul secara magis disampingku yang sedang menunggu hujan reda didepan lobby kantor.

No..”

Cmon

“hhh.. Oke, one

“Kamu bawa mobil?”

“eh?”

“Kamu bawa mobil?”

“Bawa, Pak”

“Tinggalin, let’s strolling downtown. It's not a question, by the way. Saya ngajak kamu”

“Enggak, pak.. Saya—”

“Anggap aja, saya ngajakin kamu istirahat dari suasana hectic kantor.. Not as a chief or someone who has a feeling for you, just as simple as a friend.. Would you?

2 menit aku berfikir menciptakan hening, 3 menit.. “I’ll take that as a yes, ayo”


Aku duduk sesekali menyesap angin dengan kaca jendela yang aku buka seperempat bagian, hening masih mengembara antara aku dan dia, bahkan sama sekali tidak ada sahutan dari stereotape mobilnya.

“Kamu suka apa?”

“Konteksnya?”

“Oh.. Makanan.. Maaf”

“Saya suka apa aja kok, Pak”

“Malam ini.. Boleh gak, jangan manggil saya ‘pak’ ?”

Terus, dipanggil apa?

“Jadi?”

“Saya suka liat kamu nyaman manggil Soonyoung pakai panggilan ‘Kak’ Or you can call me by my name, Its Wonwoo

“Kalau itu mah saya udah tau dari dulu, P—”

“Jangan ‘pak’ “ Ia menatapku.

Okay, you said were friends for today, so.. Wonwoo”

Go ahead, I don’t mind.. Satu lagi..”

“hhh what?”

Can we just.. Aku—kamu?”

“Selain banyak tanya, kamu juga banyak mau ya, Wonwoo” Ia terkikik geli disana, sesekali melirik ke diriku yang acuh dan lebih banyak membuang muka keluar jendela.

Hal yang kemudian membuatku menganga yang secara kiasan karena terkejut, adalah bagaimana ia yang benar benar memesan es krim dari pedagang kaki lima, dan makan nasi goreng di pinggiran kota, dan bahkan membeli berbungkus kerupuk dari pedagang asongan. Berbanding 180 derajat dari rolenya sebagai kepala departemen yang biasa aku saksikan setiap hari.

“Aku kira kamu selalu makan di tempat kaya cafetaria kantor”

“Kenapa? Kamu kecewa?”

No” Aku mengibaskan tangan didepan wajah “Just.. Wow

“Hahaha, this is the best in town

Is it?

“Iya, nasi goreng disini yang terbaik sih menurutku”

Okay, let’s try

Dan untuk kesekian kali, aku tertawa melihat bagaimana ia menghabiskan nasi goreng dengan porsi besar beserta kerupuk yang ia beli dari pedagang asongan tadi.

It is weird, have a dinner di pinggiran with my boss

You should get used to it, hahaha”

Menuju pukul 11, aku dan dia ada di taman bermain kota, duduk bersampingan di sebuah ayunan dan menganyunkannya pelan sambil menghabiskan es krim kedua yang kami beli hari ini.

“Makasih, udah ngajakin jalan jalan” Sahutku.

It’s not a big deal” Ia mengayunkan tangannya didepan wajah.

As a friend kan?” Tanyaku.

“Masih boleh nanya gak?” Bukannya menjawab, ia lagi lagi meminta izin untuk bertanya.

“haha, go ahead. Hari ini dapet bonus”

Did somebody do something bad to you?” Aku terdiam, menghabiskan sisa es krim ditanganku. “Well, it’s okay if you won’t talk about it, but considered as a friend..”

Why you being that curious?”

Dunno

“Aku gak mau.. Sorry” Ia mengangguk. “Maksudku bukan ke konteks negatif ya, tapi.. I know you got everything and—”

I know I got everything..” Wonwoo menyela, sedikit tertawa. “And you do have a reason, soo.. It’s okay!” Ia mengangkat bahunya. Wonwoo masih menggunakan kemeja putih, lengan baju yang ia lipat seperempat, dan berayun kecil diatas ayunan.

Can I ask?” Kali ini aku yang bertanya.

Sure, why not?

Even if I got so many question?

“Yap, 100 juga aku jawab”

“Haha, okay..” Ia menoleh ke kiri. “Why me?

Ia tersenyum, pandangannya yang sebelumnya menatapku kini teralih ke tanah, menatap sepatunya.

You reminded me to my first love

What?

And it was already happen for.. hmm” Iya mengawangkan pandangannya kelangit, berfikir “12 years? I guess

Tell me about her

“well, dia cantik..”

Oke, jadi aku cantik. “Dia juga suka caramel macchiato..” Aku terdiam, kini ia menoleh kepadaku. “Kamu tau kalau orang yang senyum biasanya suka ada kerutan di ujung matanya? Aku selalu suka kerutan matanya kalau dia lagi senyum, and for 12 years, I got that wrinkle on your eyes, and that is so.. Amazing

Wow..” Balasku. Sepenuhnya tidak percaya.

And those eyes, hers and yours..” Ia masih menatapku “Hiding a clear pain

And you can see it?” Tanyaku, ia mengangguk pelan.

“Terus dia sekarang dimana?”

She just.. left

Why?

“Mau ketemu dia? You can ask her. Minggu depan setelah tutup pembukuan sebelum akhir tahun, You can meet her

Okay.. Sure. Ntar aku marahin, enak aja ninggalin Wonwoo” Ia tertawa dengan kerutan dihidungnya, sepenuhnya menjadi Wonwoo temanku, bukan Wonwoo sebagai kepala departemenku dan bukan Pak Wonwoo yang selalu meyakinkan bahwa seluruh bawahannya mendapatkan haknya. Malam ini, ia hanyalah Jeon Wonwoo yang memiliki desperasi, seperti aku, seperti manusia lainnya.

“Lembur?” Kini jantungku hampir loncat keluar dari tenggorokan tatlaka sosok itu muncul dihadapanku dan bersuara. “Sorry..”

“Iya.. Pak” Aku yang tadi sibuk memainkan ponsel, langsung meletakkannya.

“Mau saya temenin?”

Noo.. Bapak duluan aja”

Lenggang, dan ia yang berdiam diri disamping mejaku. “Bapak duluan aja.. Gak papa, Pak”

Another answer for tonight?”

No question.. Pak”

“Terakhir saya nanya udah sebulan yang lalu..”

“Saya bukan google, Pak. Tempat bapak cari tau semuanya”

Of course you are not, google doesn’t have my answer, tho” Aku membuang nafas, menatap dirinya yang masih berdiri.

Sure.. One question

“Kenapa jangan kamu?”

Just.. Don’t

Why?

“Pak.. Besok nanyanya seputar kerjaan aja, jangan saya..”

“Saya juga berusaha profesional, nanya tentang kamu diluar jam kantor..”

“Ini masih jam kantor saya”

“Jam kantor cuma sampai jam 8, ini udah mau jam 10”

Oke, aku kalah. “Jangan pak, saya males cinta cintaan”

Who broke you?” Aku menaikan alis menatapnya.

One question..”

“Oke.. Let's make it fair

“Maksudnya?”

One day, one question, one answer

No.. Of course not

“Coba saya tebak..”

“Apa?”

You have some kind of.. Trust issues?

“Pak.. Just don’t

Why? Kasih saya alasan yang jelas supaya saya gak harus taruh rasa ke kamu. semakin kamu mengulur waktu, semakin saya—”

Men..” Aku memotong kalimatnya. “Are sucks

Okay.. I get it

I meet him, right in front of my eyes. Di dalam lift.

Aku menolak menatap maniknya, aku hanya menunduk masuk.

“Lantai dasar?” Aku mengangguk. “Okay..”

Kemudian lenggang, canggung, sunyi, sepi dan senyap.

Can I ask you something?” Ia memecah keheningan.

No..”

One thing?

No, Sorry

“Okay..”

Pintu lift kemudian terbuka, aku buru buru meninggalkan sosoknya. Berjalan cepat menuju pintu utama untuk berusaha menemukan mobilku yang diparkir diluar.

Ditengah jalan, langkahku terhenti, kemudian berbalik dan mendapati ia yang juga ikut berhenti melihatku berbalik.

Okay.. One thing.. Just one..” Kataku. Ia diam. Gedung kantor malam itu sepi, bahkan yang aku dengar hanyalah suara nafasnya yang tersegal, mungkin mengikuti langkah cepatku barusan.

Why you called it.. Stupid feelings?” God, it’s been a few days dan dia gak lupa soal itu?

Don’t you think it is stupid?

I think it is pure?”

“Berarti bapak belum pernah jatuh cinta..” Aku berbalik berniat meninggalkan dia.

“Siapa bilang?” Ia mengejar dibelakang.

“Oh, jadi pernah?” Lagi lagi aku berhenti dan membalikan badan menatapnya diikuti ia yang juga berhenti.

“Ya pernah..”

“Terus?”

“Terus apa?”

Aku diam. He hasn’t feel about that once, indeed.

“Jangan saya Pak”

“Kenapa?”

“Cuma satu pertanyaan” Aku berbalik kali ini, benar benar meninggalkan dirinya.

Wait!” Langkahku lagi lagi terhenti. “Saya juga belum nerima jawaban dari kamu, you gave a question as the answer

How can you called it pure..” Entah untuk keberapa kalinya aku terus memutar badanku agar bisa menemukan matanya. “Padahal definisi cinta itu sendiri sakit..”

It is, that’s what you called it pure, right? Ketika sakit yang kamu dapat itu bisa jadi suatu hal yang bikin kamu ikhlas, apalagi kalau bukan pure namanya?”

See?, sound stupid, Pak..”

Masih jam 7.30, itu artinya aku masih punya waktu 30 menit sebelum jadwal pagi kantor dimulai. Pagi ini, aku menggunakan kulot berwarna khaki dengan blouse polos berwarna putih serta rambut yang aku jepit, buru buru aku melangkahkan kaki menuju lift, menuju ruang departemen di lantai 7.

Sebelum pintu lift tertutup, manikku menangkap manik mata kepala departemen yang juga ada di dalam sana, Pak Wonwoo. Aku masuk dengan canggung.

“Pagi banget kamu datang?” Tanyanya, aku jawab dengan gestur mengangguk dan tersenyum kikuk. “Ke ruangan kan?” Tanyanya lagi, aku menjawab dengan anggukan, dirinya buru buru menekan tombol di angka 7, dan lift bergerak dari lantai dasar.

“Kamu udah sarapan?” Aku menggeleng.

Cafetaria biasanya buka jam 7, mau singgah dulu?”

“Sama bapak?”

“Ya, jadi mau sama siapa lagi? Haha” Dia tertawa. “Atau kamu boleh ajak temen kamu yang lain kalau mau”

“Bukan gitu, pak. Saya.. Ga enak..” Ia tertawa kecil.

It’s okay, anggap aja coworkers kamu” Kemudian ia mengeluarkan sebuah kartu. “Privillage, kepala departemen gratis, gimana? Mau singgah?”

Aku diam, berfikir.

I’ll take that as yes, ya. Kamu kelamaan, sebelum kita nyampe ke lantai 7” Ia menekan tombol di angka 8, karena cafetaria kantor ada disana. Dan lift bergerak meninggalkan lantai 7 menuju satu lantai diatasnya.

Suasananya masih sepi, masih diisi oleh para pelayan dapur yang sedang menyiapkan makanan. Aku memperbaiki letak tas ku dibahu kiri selagi mengikuti langkahnya.

“Kamu mau apa?”

“Sama aja, pak..” Ia tersenyum. “Saya cuma makan roti”

“Iya gak papa kok, Pak”

“Saya pesankan toast dan caramel macchiato?”

sure

Pak Wonwoo yang memilih bangku dipinggir, bersamaan dengan cahaya matahari yang langsung masuk dari dinding kaca. Dari sini, huru hara ibukota bisa dilihat dengan mata telanjang.

“Kamu kepanasan? Mau pindah?”

No, gak papa pak. Saya denger matahari pagi tuh sehat” Ia tertawa, kemudian meletakan jas dan tas nya di bangku kosong sebelahnya.

Kemudian lenggang.

“Saya boleh nanya gak, pak?”

“Boleh”

“Bapak emang biasa ngajakin makan karyawan lain, ya?”

“Enggak..”

Lenggang. 3 menit, 5 menit.

“Terus.. Kenapa ngajakin saya pak?”

Dunno.. Just wanted to

Lagi lagi sunyi dan senyap tercipta, yang terdengar hanya suara kesibukan di dapur cafetaria sana.

“Jadi, gimana sebulan kamu ngantor?” Ia bersuara.

“Ya, so far so good sih, Pak..”

“Hmm.. Gitu”

Lenggang untuk kesekian kali sampai akhirnya makanan yang dipesankan tadi datang dan dihidangkan didepan meja.

“Saya pesankan kamu caramel macchiato yang hangat, is it okay?”

Sure, it’s okay. Since it is morning, haha” Aku tertawa kecil.

“Tapi gak papa kalau kamu mau pesen yang Iced, saya bisa—”

No..” Ia diam. “Gak papa, Pak..”

Okay.. Enjoy your food, then

“Iya.. Pak”

Untuk kesekian kalinya, hanya ada suara sendok dan garpu yang beradu diatas piring. Masih belasan menit lagi sebelum jam kantor dimulai dan aku menghabiskan waktu dengan kepala departemenku sendirian. I mean, berdua. Benar benar hanya aku dan dia. Makan? Ah, dunia pasti sedang bercanda.

“Kamu.. Dulu kuliah ambil jurusan apa?”

“Desain..”

“Wow.. Hahaha”

“Iya, gak nyambung ya pak sama kerjaan saya yang sekarang”

Its not a big deal, anyone can be anything..”

“Haha, iya.. Pak”

Lenggang, sunyi dan senyap kembali, entah untuk yang keberapa kali.

well, it’s nice to have a breakfast with you, I hope we’ll have anoth—

Another breakfast?”

“Kenapa?”

“Gak papa, Pak”

Why? Kamu gak mau?”

“Well, diluar niat bapak itu apa.. Saya harap ini pertama dan terakhir, Pak”

“Oh..” Katanya mengangguk. “you are on relations—”

“Pak..” Ia terdiam lagi. Aku menarik nafas. “Maaf kalau daritadi saya motong omongan bapak terus.. Enggak, saya ga ada pacar kok, cuma.. Bukannya berlebihan ya pak? Kaya gini”

“Soal saya yang gak pernah ngajakin karyawan lain sarapan bareng kaya gini?”

Aku diam, berusaha menghindari melihat manik matanya.

Okay.. Sorry

“Udah mau masuk jam kantor pak, saya duluan gak papa ya?”

Sure..”

Aku kemudian mengambil tasku dan buru buru bangkit meninggalkan dirinya.

Hey..” Aku berhenti, dan menoleh.

Your signal..” Ia memiringkan tubuhnya, berselaras dengan aku yang sudah sepenuhnya berdiri. “That is true..”

“Jangan, Pak. Don’t try it if you ever have that kind of... Stupid feeling

Terhitung 30 hari aku resmi jadi karyawan di perusahaan ini dengan para coworkers yang luar biasa baik dan kepala departemen yang just perfectly fine, tapi menurut ku ini sedikit keterlaluan. Maksudku, Tidak ada yang salah soal perasaan, dan tidak akan pernah salah perasaan itu sendiri. Tapi.. I just can’t. Kegiatan kepala departemenku selama sebulan belakangan hanya mengantar dokumen ke ruangan atau aku yang pergi ke ruangannya untuk keperluan tanda tangan, tidak lebih dan tidak kurang.

Dan pagi ini, he just fucked everything up and I swear to god It felt like i would write a resignation letter to leave this fucking company.

Hari ulang tahun perusahaan, berpuluh pegawai berisik mengangkat gelas dan bagaimana sendok dan garpu saling beradu diatas piring, malam itu berisik dipenuhi canda dan tawa dan sahut sahutan suara.

“Lo liat deh, kepala departemen kita..” Ryujin, yang sekarang jadi teman akrabku di kantor.

“Pak Wonwoo? Kenapa?”

“Ganteng..” Ia tertawa, dan aku yang menggeleng kepalaku melihat tingkahnya. Ryujin kemudian melahap makanan didepannya, sambil tersenyum.

“Lo suka?” Ia menggeleng dan menelan makanannya cepat cepat.

“Gabisa digapai dia mah..”

“Kenapa gitu?”

He got everything

“Contohnya?”

“Ganteng, kaya raya, mobil mewah, jabatan, anything” Aku mengangguk “Oh satu lagi!” Sambungnya.

“Apa?”

“Wangi!” Aku tertawa.

Well, he doesn’t have a girlfriend, it means he is not that perfect. Go get him” Aku menyeruput minumku.

“Lo yakin dia gak punya pacar?” Mataku dan Ryujin kemudian fokus kepada subjek pembicaraan. Aku acuh, mengangkat kedua bahuku kemudian lanjut menyantap makanan.

“Gak mungkin kaya dia gak ada pacar..” Sambung Ryujin.

Yep.. Bener juga. Buutttt” Kataku. “You won’t get a valid answer if you don’t try to find it

“Gila kali, gak ah”

Try it, Ryu”

Nope, Pak Seungcheol lebih hot dibanding dia.. Tuh lihat”

“Kepala Accounting ya?”

Yes.”

“Keliatan kaya udah punya istri”

“Mulut lo”

“Dia bukan sih yang sering jadi bahan gosipan anak anak departemen? Karena bermasalah melulu?”

“Itu dia, bad reputation

“Aneh banget” Ryujin kemudian menegak habis minumannya. “Watch me to get him..”

“Yakin?” Tanyaku, ia mengangguk. “Kenapa harus gak yakin?”

“Kalau ternyata udah punya istri?”

“Jadikan aku yang keduaa~”

“Gila, Ryu..”

Pukul 09.00 malam, hujan mengguyur kota dan sialnya, mobilku diparkir jauh dari restoran dikarenakan parkir terlanjur penuh saat aku datang. Ryujin sudah duluan kembali, meninggalkan aku sendiri didepan restoran sambil menadahkan tangan dan merasakan air hujan yang jatuh dari atap. Satu persatu pegawai kantor mulai hilang dan menyisakan senyap.

“Kamu nunggu siapa?” Aku melompat kaget, dan kutemukan Pak Wonwoo disampingku.

“Gak nunggu siapa siapa.. Pak” Cicitku.

“Oh.. Kenapa gak langsung pulang?”

“Iya, saya parkirnya agak jauh didepan, Pak, Jadi nunggu agak redaan dikit”

“Yaudah ayo saya anter kedepan..”

“Gak papa saya bisa jalan aja pak kedepan”

“Hujan”

“Iya nunggu reda sedikit”

“Kalau gak reda reda?”

“Terobos?”

Kita terdiam, ia tersenyum.

“Yaudah ayo kita terobos bareng aja..”

Gimana?

“G-gimana.. Pak?”

“Saya ada meeting online jam 10 nanti, ini udah jam 9 lewat. Mau terobos hujan bareng saya, gak? Saya memang gak bawa payung, tapi jas saya lumayan tebel.. Ayo?”

Kakiku juga sejujurnya sudah mulai lelah menunggu hujan reda didepan sini, matanya menatapku, menunggu jawaban.

“Gak papa, Pak?”

Sure.. Why not

Begitu kemudian ia membuka jas dan membentangnya. Ia naikan ke kepala dan menyuruhku mendekat.

“Maaf saya gak punya payung..” Aku menggeleng mengisyaratkan bahwa sama sekali tidak masalah, padahal, ini sudah lebih dari cukup.

Tukai ku dan tukainya seirama melangkah menginjak genangan genangan kecil dijalan. Bagaimana tangan kanan nya yang tidak sepenuhnya tertutup dari jas dan sedikit jadi basah, bagaimana tangannya yang lain buru buru memegang bahuku ketika aku hampir terpeleset, bagaimana wangi dari kemeja dan jasnya yang menyeruak. Yang terakhir, bukan sebuah poin penting, tapi Ryujin mungkin benar soal he got everything. Well, bukan secara material, but his responsibilities, he truly got it.

Lembur. Rasanya kata kata itu keliatan keren sekaligus menyebalkan dalam sejarah hidupku. Masih 2 minggu, tapi aku sudah memiliki dokumen pekerjaan yang menumpuk.

Aku berkali kali memijit pelipisku dan membolak balikan kertas dihadapanku, atau sesekali menyesap kopi dingin yang aku pesan bermenit yang lalu agar mencegahku dari kantuk,kadang menjatuhkan dahi ke meja dan membuang nafas berat.

Tiba tiba lampu dipadamkan.

“Masih ada orang!” Teriakku. Seseorang yang aku pastikan adalah oknum yang mematikan pencahayaan tadi mendekat. Kemeja putih dengan lengan yang ia lipat seperempat, lanyard di leher, tas di bahu kanannya, serta jas yang ia gantungkan di lengan kirinya.

“Saya kira semua udah pulang, kamu lembur?”

“Iya..” Tapi dia masih terlalu muda “..Pak.”

“Kamu pegawai baru ya?”

“Iya, Pak..”

“Kenapa gak ditemenin sama Soonyoung?”

“Katanya tadi ada urusan mendadak, Pak..”

“Saya setua itu?”

Gimana?

“.. gimana pak?”

“Saya setua itu ya sampe kamu panggil ‘Pak’ ?”

Ya jadi saya harus manggil apa?

Aku diam.

“Kamu mau ditemenin?”

“Gak papa kok, Pak.. Saya bisa sendirian aja gak papa”

“Gak papa, saya juga biasanya mastiin dulu kalau saya tidak mendahului pegawai saya yang lain kalau urusan pulang”

“Gimana.. Pak?” Dia tersenyum, kemudian fokusku jatuh pada Lanyard miliknya. Jeon Wonwoo.

(“Siapa Kak, nama Kepala Departemen kita?”

“Wonwoo”)

“Saya juga ada kerjaan tambahan, gak papa biar bareng aja”

“Gitu ya, Pak?”

“Iya, kamu lanjutin aja. Nanti kalau udah selesai, boleh pulang duluan..”

“Baik, terimakasih, Pak”

Aku kembali duduk di mejaku, dan dia mengambil meja kosong secara acak. Lebih tepatnya ke meja kak Soonyoung. Aku bisa mendengar bagaimana ia membuka laptopnya kemudian melakukan entah apa disana, namun aku teringat sesuatu.. “Pak..” Panggilku, Ia menoleh.

“Suka kopi, gak? Tadi saya dapet promo beli satu gratis satu..” Senyum tipis tergambar diwajahnya.

“Boleh”

“Es Kopi Susu gak papa, ya Pak?”

it’s okay.. Anything..” Kini, es kopi susu tadi sudah berpindah dari tanganku ke tangannya.

What do you have?” Ia agak mendongak melihatku berdiri.

Caramel Macchiato..”

“Hmm, kesukaan kamu?”

“Yah, Mostly sih, Pak..”

“hm.. Good choice

“Sebelumnya maaf ya pak, saya gatau bapak suka Es Kopi Susu atau enggak.. Tadi saya soalnya milih gratisannya random aja..” Ia tersenyum, menyeruput minumannya lagi. “Its okay, I like any type of Coffee kok..”

“O-oke.. Pak.. Kalau gitu saya balik dulu..”

“Udah siap kerjaan kamu?”

“Ya maksudnya balik ke meja pak.. Haha” aku mengusap tekukku.

“Oh.. Saya kirain balik pulang.. Masih banyak kah?”

“Lumayan sih pak.. Tapi kalau bapak mau duluan balik gak papa, Pak..”

No.. Its okay. Ini saya juga sekalian nyelesaiin kerjaan saya, biar dirumah bisa santai”

“Oh iya pak.. Kalau gitu saya balik dulu..” Dia mengangguk.

Malam semakin malam, yang aku dengar hanya suara ketikan keyboard diujung sana dan detik jam yang terus berdentang mengejar waktu, tak mau ditunggu. Akhirnya, ketika jam di dinding sudah menunjukan pukul 9 lewat, aku memutuskan pamit untuk pulang lebih dulu meninggalkan kepala departemenku yang masih setia menatap layar laptopnya.

“Jadi lo diterima di perusahaan itu?” Jun menyesap iced Huzelnut Coffee, diluar matahari sedang terik teriknya. Aku mengangguk.

“Jadi ini ditraktir sama lo gak?”

“Gue baru diterima Jun, belum dapet gaji.” Dia terkekeh.

“Udah, ya?” Tanyanya, aku mengerutkan alis, berusaha memproses pertanyaannya.

“Apa?” Tanyaku lagi.

“Lo ngelamar kerja emang supaya kaya raya kan, bukan cuman nyari distraksi semata?” Aku menyunggingkan senyum tipis. Sejujurnya, mungkin Jun sendiri sudah tau jawabannya, tapi bagiku sendiri, mungkin 50 persen untuk menjadi kaya raya, 30 persen adalah sebuah distraksi, dan 20 persen lainnya.. “Nyari jodoh”

Jun tertawa di hadapanku.

“Mending daripada lo sibuk banget mikirin cowo, lo coba bangkit deh”

“gue gak se—desperasi itu ya Jun ditinggalin”

“ralat..” Jun menegak sebotol air mineral “Diselingkuhin” Aku menatap kosong meja didepanku, kembali membayangkan kejadian yang tidak pernah terbayangkan dan harusnya memang tidak perlu aku bayangkan, karena sudah terjadi.

“Dia lagi ngapain ya, Jun?”

“Yah, nyesel deh gue mancing..” Lagi lagi aku menyunggingkan senyum penuh kekecewaan. Harusnya dia disini, harusnya siang ini aku ada dirumahnya, bercengkrama dengan Ibunya, atau sekedar memutar kota dengan mobilnya, atau bernyanyi lagu kesukaan kita, atau—

“Hey? Udah dong.. Sorry” Jun mengibaskan tangannya didepan wajahku, menyadari bahwa beberapa menit yang lalu aku mengawangkan pikiran kemana mana.

Sorry Jun” Kataku, kali ini membuang pandangan keluar jendela.

You know..”

“Kalau mau bahas dia, skip..” Kataku memotong.

“No, ini cuman opini gue aja..”

“Apa?”

Years isn’t a guarantee for love, right? You’ve only spent a few months?.. But you look like a dead walking body, bestie

Jun, everything we’ve been had, it was so damn beautiful and I couldn’t get rid of it

“Kakak gue pernah ngomong sesuatu, yang sebenernya gue antara setuju dan tidak sih, tapi mungkin berguna buat lo”

“Apa?”

“Hati, cuma bisa disembuhin sama hati”


“Anak baru ya?” Aku mengangguk mengiyakan. Ini, hari pertamaku duduk di kantor menjadi budak korporat dan mengais uang demi menjadi kaya raya. Setidaknya itu alasan yang aku sampaikan ke orang orang atas tujuanku.

“Mejanya disitu, tadi pagi udah di bersihin sama OB” Aku lagi lagi mengangguk. “Oiya, Lanyard nanti di kasih sama Chief..”

“Iya Kak..?”

“Soonyoung.. Salam kenal ya, gue temen kerja lo..” Dia mengangkat tangannya, dan dibalas cepat olehku untuk dijabat.

Oke, sebuah awal yang baik, sejauh ini.

Jadi pekerja baru kantoran tidak semata mata membuatku dimanja oleh beberapa coworkers lainnya. Bahkan untuk urusan sederhana seperti membuat kopi dan teh, jadi urusanku. Di departemen ini, Human Resources, hanya aku seorang yang merupakan pekerja baru. Dari awal interview pun, rata rata mereka memilih departemen Marketing atau Accounting.

Tapi kalau ditanya, apa alasan aku memilih departemen ini, jawabannya hanya “kata hati”. Entah darimana prinsip itu mulai merajalela, tapi aku selalu mendengar ada banyak hal yang didapat dari sebuah jawaban “Kata hati”

“Kak Soonyoung!” Suara seseorang ikut membuatku menoleh, dan wajahnya yang tidak terlalu asing dimataku.

“Oi, Chan! Asikk, kerja juga lo. Enak yee pake privillage

“Anjrit ni orang, mulut lo disekolahin kaga sih”

“weitss, kok baper masbro. Da apa ni? Kok tiba tiba main ke sini”

“Nih, Lanyard..”

“Loh, kok lo yang bawain?”

“Tau tuh temenlo mageran anaknya..”

“Bisa gitu, tuh anterin sama anak baru..” Kak Soonyoung tadi menunjukku dengan dagunya, dan mata seseorang tadi langsung menuju ke arahku. Menjadi subjek percakapan, aku buru buru bangkit dan mendekati orang yang dipanggil Chan tadi.

“Eh lo yang kemaren interview pertama kan?” Pantas saja wajahnya tidak asing. “Gue Chan” Sambungnya, “yang lo pinjemin pulpen”

“Adek bos nih” Kata Kak Soonyoung, membuatku dan Chan menoleh.

“Kaga, jangan percaya apa kata dia. BTW makasih ya, yang kemaren sama nih Lanyard” Aku mengangguk sekaligus mengucapkan terimakasih, kemudian Chan tadi langsung pergi meninggalkan tempat.

“Dia adeknya Kepala departemen kita” Aku masih berdiri di posisiku yang tidak jauh dari meja kak Soonyoung.

“Berarti kakak juga deket sama bos kita?”

“Temen kuliah” Aku mengangguk.

“Kak Soonyoung masuk sini juga pake privillage berarti?” Ia diam.

“...Gak gitu..”