Day 120, downtown.
“One question?” Lagi lagi ia muncul secara magis disampingku yang sedang menunggu hujan reda didepan lobby kantor.
“No..”
“Cmon”
“hhh.. Oke, one”
“Kamu bawa mobil?”
“eh?”
“Kamu bawa mobil?”
“Bawa, Pak”
“Tinggalin, let’s strolling downtown. It's not a question, by the way. Saya ngajak kamu”
“Enggak, pak.. Saya—”
“Anggap aja, saya ngajakin kamu istirahat dari suasana hectic kantor.. Not as a chief or someone who has a feeling for you, just as simple as a friend.. Would you?”
2 menit aku berfikir menciptakan hening, 3 menit.. “I’ll take that as a yes, ayo”
Aku duduk sesekali menyesap angin dengan kaca jendela yang aku buka seperempat bagian, hening masih mengembara antara aku dan dia, bahkan sama sekali tidak ada sahutan dari stereotape mobilnya.
“Kamu suka apa?”
“Konteksnya?”
“Oh.. Makanan.. Maaf”
“Saya suka apa aja kok, Pak”
“Malam ini.. Boleh gak, jangan manggil saya ‘pak’ ?”
Terus, dipanggil apa?
“Jadi?”
“Saya suka liat kamu nyaman manggil Soonyoung pakai panggilan ‘Kak’ Or you can call me by my name, Its Wonwoo”
“Kalau itu mah saya udah tau dari dulu, P—”
“Jangan ‘pak’ “ Ia menatapku.
“Okay, you said were friends for today, so.. Wonwoo”
“Go ahead, I don’t mind.. Satu lagi..”
“hhh what?”
“Can we just.. Aku—kamu?”
“Selain banyak tanya, kamu juga banyak mau ya, Wonwoo” Ia terkikik geli disana, sesekali melirik ke diriku yang acuh dan lebih banyak membuang muka keluar jendela.
Hal yang kemudian membuatku menganga yang secara kiasan karena terkejut, adalah bagaimana ia yang benar benar memesan es krim dari pedagang kaki lima, dan makan nasi goreng di pinggiran kota, dan bahkan membeli berbungkus kerupuk dari pedagang asongan. Berbanding 180 derajat dari rolenya sebagai kepala departemen yang biasa aku saksikan setiap hari.
“Aku kira kamu selalu makan di tempat kaya cafetaria kantor”
“Kenapa? Kamu kecewa?”
“No” Aku mengibaskan tangan didepan wajah “Just.. Wow“
“Hahaha, this is the best in town”
“Is it?”
“Iya, nasi goreng disini yang terbaik sih menurutku”
“Okay, let’s try”
Dan untuk kesekian kali, aku tertawa melihat bagaimana ia menghabiskan nasi goreng dengan porsi besar beserta kerupuk yang ia beli dari pedagang asongan tadi.
“It is weird, have a dinner di pinggiran with my boss”
“You should get used to it, hahaha”
Menuju pukul 11, aku dan dia ada di taman bermain kota, duduk bersampingan di sebuah ayunan dan menganyunkannya pelan sambil menghabiskan es krim kedua yang kami beli hari ini.
“Makasih, udah ngajakin jalan jalan” Sahutku.
“It’s not a big deal” Ia mengayunkan tangannya didepan wajah.
“As a friend kan?” Tanyaku.
“Masih boleh nanya gak?” Bukannya menjawab, ia lagi lagi meminta izin untuk bertanya.
“haha, go ahead. Hari ini dapet bonus”
“Did somebody do something bad to you?” Aku terdiam, menghabiskan sisa es krim ditanganku. “Well, it’s okay if you won’t talk about it, but considered as a friend..”
“Why you being that curious?”
“Dunno”
“Aku gak mau.. Sorry” Ia mengangguk. “Maksudku bukan ke konteks negatif ya, tapi.. I know you got everything and—”
“I know I got everything..” Wonwoo menyela, sedikit tertawa. “And you do have a reason, soo.. It’s okay!” Ia mengangkat bahunya. Wonwoo masih menggunakan kemeja putih, lengan baju yang ia lipat seperempat, dan berayun kecil diatas ayunan.
“Can I ask?” Kali ini aku yang bertanya.
“Sure, why not?”
“Even if I got so many question?”
“Yap, 100 juga aku jawab”
“Haha, okay..” Ia menoleh ke kiri. “Why me?”
Ia tersenyum, pandangannya yang sebelumnya menatapku kini teralih ke tanah, menatap sepatunya.
“You reminded me to my first love”
“What?”
“And it was already happen for.. hmm” Iya mengawangkan pandangannya kelangit, berfikir “12 years? I guess”
“Tell me about her”
“well, dia cantik..”
Oke, jadi aku cantik. “Dia juga suka caramel macchiato..” Aku terdiam, kini ia menoleh kepadaku. “Kamu tau kalau orang yang senyum biasanya suka ada kerutan di ujung matanya? Aku selalu suka kerutan matanya kalau dia lagi senyum, and for 12 years, I got that wrinkle on your eyes, and that is so.. Amazing“
“Wow..” Balasku. Sepenuhnya tidak percaya.
“And those eyes, hers and yours..” Ia masih menatapku “Hiding a clear pain”
“And you can see it?” Tanyaku, ia mengangguk pelan.
“Terus dia sekarang dimana?”
“She just.. left“
“Why?”
“Mau ketemu dia? You can ask her. Minggu depan setelah tutup pembukuan sebelum akhir tahun, You can meet her”
“Okay.. Sure. Ntar aku marahin, enak aja ninggalin Wonwoo” Ia tertawa dengan kerutan dihidungnya, sepenuhnya menjadi Wonwoo temanku, bukan Wonwoo sebagai kepala departemenku dan bukan Pak Wonwoo yang selalu meyakinkan bahwa seluruh bawahannya mendapatkan haknya. Malam ini, ia hanyalah Jeon Wonwoo yang memiliki desperasi, seperti aku, seperti manusia lainnya.