“Jadi lo diterima di perusahaan itu?” Jun menyesap iced Huzelnut Coffee, diluar matahari sedang terik teriknya. Aku mengangguk.
“Jadi ini ditraktir sama lo gak?”
“Gue baru diterima Jun, belum dapet gaji.” Dia terkekeh.
“Udah, ya?” Tanyanya, aku mengerutkan alis, berusaha memproses pertanyaannya.
“Apa?” Tanyaku lagi.
“Lo ngelamar kerja emang supaya kaya raya kan, bukan cuman nyari distraksi semata?” Aku menyunggingkan senyum tipis. Sejujurnya, mungkin Jun sendiri sudah tau jawabannya, tapi bagiku sendiri, mungkin 50 persen untuk menjadi kaya raya, 30 persen adalah sebuah distraksi, dan 20 persen lainnya.. “Nyari jodoh”
Jun tertawa di hadapanku.
“Mending daripada lo sibuk banget mikirin cowo, lo coba bangkit deh”
“gue gak se—desperasi itu ya Jun ditinggalin”
“ralat..” Jun menegak sebotol air mineral “Diselingkuhin” Aku menatap kosong meja didepanku, kembali membayangkan kejadian yang tidak pernah terbayangkan dan harusnya memang tidak perlu aku bayangkan, karena sudah terjadi.
“Dia lagi ngapain ya, Jun?”
“Yah, nyesel deh gue mancing..” Lagi lagi aku menyunggingkan senyum penuh kekecewaan. Harusnya dia disini, harusnya siang ini aku ada dirumahnya, bercengkrama dengan Ibunya, atau sekedar memutar kota dengan mobilnya, atau bernyanyi lagu kesukaan kita, atau—
“Hey? Udah dong.. Sorry” Jun mengibaskan tangannya didepan wajahku, menyadari bahwa beberapa menit yang lalu aku mengawangkan pikiran kemana mana.
“Sorry Jun” Kataku, kali ini membuang pandangan keluar jendela.
“You know..”
“Kalau mau bahas dia, skip..” Kataku memotong.
“No, ini cuman opini gue aja..”
“Apa?”
“Years isn’t a guarantee for love, right? You’ve only spent a few months?.. But you look like a dead walking body, bestie”
“Jun, everything we’ve been had, it was so damn beautiful and I couldn’t get rid of it”
“Kakak gue pernah ngomong sesuatu, yang sebenernya gue antara setuju dan tidak sih, tapi mungkin berguna buat lo”
“Apa?”
“Hati, cuma bisa disembuhin sama hati”
“Anak baru ya?” Aku mengangguk mengiyakan. Ini, hari pertamaku duduk di kantor menjadi budak korporat dan mengais uang demi menjadi kaya raya. Setidaknya itu alasan yang aku sampaikan ke orang orang atas tujuanku.
“Mejanya disitu, tadi pagi udah di bersihin sama OB” Aku lagi lagi mengangguk. “Oiya, Lanyard nanti di kasih sama Chief..”
“Iya Kak..?”
“Soonyoung.. Salam kenal ya, gue temen kerja lo..” Dia mengangkat tangannya, dan dibalas cepat olehku untuk dijabat.
Oke, sebuah awal yang baik, sejauh ini.
Jadi pekerja baru kantoran tidak semata mata membuatku dimanja oleh beberapa coworkers lainnya. Bahkan untuk urusan sederhana seperti membuat kopi dan teh, jadi urusanku. Di departemen ini, Human Resources, hanya aku seorang yang merupakan pekerja baru. Dari awal interview pun, rata rata mereka memilih departemen Marketing atau Accounting.
Tapi kalau ditanya, apa alasan aku memilih departemen ini, jawabannya hanya “kata hati”. Entah darimana prinsip itu mulai merajalela, tapi aku selalu mendengar ada banyak hal yang didapat dari sebuah jawaban “Kata hati”
“Kak Soonyoung!” Suara seseorang ikut membuatku menoleh, dan wajahnya yang tidak terlalu asing dimataku.
“Oi, Chan! Asikk, kerja juga lo. Enak yee pake privillage”
“Anjrit ni orang, mulut lo disekolahin kaga sih”
“weitss, kok baper masbro. Da apa ni? Kok tiba tiba main ke sini”
“Nih, Lanyard..”
“Loh, kok lo yang bawain?”
“Tau tuh temenlo mageran anaknya..”
“Bisa gitu, tuh anterin sama anak baru..” Kak Soonyoung tadi menunjukku dengan dagunya, dan mata seseorang tadi langsung menuju ke arahku. Menjadi subjek percakapan, aku buru buru bangkit dan mendekati orang yang dipanggil Chan tadi.
“Eh lo yang kemaren interview pertama kan?” Pantas saja wajahnya tidak asing. “Gue Chan” Sambungnya, “yang lo pinjemin pulpen”
“Adek bos nih” Kata Kak Soonyoung, membuatku dan Chan menoleh.
“Kaga, jangan percaya apa kata dia. BTW makasih ya, yang kemaren sama nih Lanyard” Aku mengangguk sekaligus mengucapkan terimakasih, kemudian Chan tadi langsung pergi meninggalkan tempat.
“Dia adeknya Kepala departemen kita” Aku masih berdiri di posisiku yang tidak jauh dari meja kak Soonyoung.
“Berarti kakak juga deket sama bos kita?”
“Temen kuliah” Aku mengangguk.
“Kak Soonyoung masuk sini juga pake privillage berarti?” Ia diam.
“...Gak gitu..”