Day 31, the elevator and breakfast.
Masih jam 7.30, itu artinya aku masih punya waktu 30 menit sebelum jadwal pagi kantor dimulai. Pagi ini, aku menggunakan kulot berwarna khaki dengan blouse polos berwarna putih serta rambut yang aku jepit, buru buru aku melangkahkan kaki menuju lift, menuju ruang departemen di lantai 7.
Sebelum pintu lift tertutup, manikku menangkap manik mata kepala departemen yang juga ada di dalam sana, Pak Wonwoo. Aku masuk dengan canggung.
“Pagi banget kamu datang?” Tanyanya, aku jawab dengan gestur mengangguk dan tersenyum kikuk. “Ke ruangan kan?” Tanyanya lagi, aku menjawab dengan anggukan, dirinya buru buru menekan tombol di angka 7, dan lift bergerak dari lantai dasar.
“Kamu udah sarapan?” Aku menggeleng.
“Cafetaria biasanya buka jam 7, mau singgah dulu?”
“Sama bapak?”
“Ya, jadi mau sama siapa lagi? Haha” Dia tertawa. “Atau kamu boleh ajak temen kamu yang lain kalau mau”
“Bukan gitu, pak. Saya.. Ga enak..” Ia tertawa kecil.
“It’s okay, anggap aja coworkers kamu” Kemudian ia mengeluarkan sebuah kartu. “Privillage, kepala departemen gratis, gimana? Mau singgah?”
Aku diam, berfikir.
“I’ll take that as yes, ya. Kamu kelamaan, sebelum kita nyampe ke lantai 7” Ia menekan tombol di angka 8, karena cafetaria kantor ada disana. Dan lift bergerak meninggalkan lantai 7 menuju satu lantai diatasnya.
Suasananya masih sepi, masih diisi oleh para pelayan dapur yang sedang menyiapkan makanan. Aku memperbaiki letak tas ku dibahu kiri selagi mengikuti langkahnya.
“Kamu mau apa?”
“Sama aja, pak..” Ia tersenyum. “Saya cuma makan roti”
“Iya gak papa kok, Pak”
“Saya pesankan toast dan caramel macchiato?”
“sure”
Pak Wonwoo yang memilih bangku dipinggir, bersamaan dengan cahaya matahari yang langsung masuk dari dinding kaca. Dari sini, huru hara ibukota bisa dilihat dengan mata telanjang.
“Kamu kepanasan? Mau pindah?”
“No, gak papa pak. Saya denger matahari pagi tuh sehat” Ia tertawa, kemudian meletakan jas dan tas nya di bangku kosong sebelahnya.
Kemudian lenggang.
“Saya boleh nanya gak, pak?”
“Boleh”
“Bapak emang biasa ngajakin makan karyawan lain, ya?”
“Enggak..”
Lenggang. 3 menit, 5 menit.
“Terus.. Kenapa ngajakin saya pak?”
“Dunno.. Just wanted to”
Lagi lagi sunyi dan senyap tercipta, yang terdengar hanya suara kesibukan di dapur cafetaria sana.
“Jadi, gimana sebulan kamu ngantor?” Ia bersuara.
“Ya, so far so good sih, Pak..”
“Hmm.. Gitu”
Lenggang untuk kesekian kali sampai akhirnya makanan yang dipesankan tadi datang dan dihidangkan didepan meja.
“Saya pesankan kamu caramel macchiato yang hangat, is it okay?”
“Sure, it’s okay. Since it is morning, haha” Aku tertawa kecil.
“Tapi gak papa kalau kamu mau pesen yang Iced, saya bisa—”
“No..” Ia diam. “Gak papa, Pak..”
“Okay.. Enjoy your food, then”
“Iya.. Pak”
Untuk kesekian kalinya, hanya ada suara sendok dan garpu yang beradu diatas piring. Masih belasan menit lagi sebelum jam kantor dimulai dan aku menghabiskan waktu dengan kepala departemenku sendirian. I mean, berdua. Benar benar hanya aku dan dia. Makan? Ah, dunia pasti sedang bercanda.
“Kamu.. Dulu kuliah ambil jurusan apa?”
“Desain..”
“Wow.. Hahaha”
“Iya, gak nyambung ya pak sama kerjaan saya yang sekarang”
“Its not a big deal, anyone can be anything..”
“Haha, iya.. Pak”
Lenggang, sunyi dan senyap kembali, entah untuk yang keberapa kali.
“well, it’s nice to have a breakfast with you, I hope we’ll have anoth—”
“Another breakfast?”
“Kenapa?”
“Gak papa, Pak”
“Why? Kamu gak mau?”
“Well, diluar niat bapak itu apa.. Saya harap ini pertama dan terakhir, Pak”
“Oh..” Katanya mengangguk. “you are on relations—”
“Pak..” Ia terdiam lagi. Aku menarik nafas. “Maaf kalau daritadi saya motong omongan bapak terus.. Enggak, saya ga ada pacar kok, cuma.. Bukannya berlebihan ya pak? Kaya gini”
“Soal saya yang gak pernah ngajakin karyawan lain sarapan bareng kaya gini?”
Aku diam, berusaha menghindari melihat manik matanya.
“Okay.. Sorry“
“Udah mau masuk jam kantor pak, saya duluan gak papa ya?”
“Sure..”
Aku kemudian mengambil tasku dan buru buru bangkit meninggalkan dirinya.
“Hey..” Aku berhenti, dan menoleh.
“Your signal..” Ia memiringkan tubuhnya, berselaras dengan aku yang sudah sepenuhnya berdiri. “That is true..”
“Jangan, Pak. Don’t try it if you ever have that kind of... Stupid feeling”
Terhitung 30 hari aku resmi jadi karyawan di perusahaan ini dengan para coworkers yang luar biasa baik dan kepala departemen yang just perfectly fine, tapi menurut ku ini sedikit keterlaluan. Maksudku, Tidak ada yang salah soal perasaan, dan tidak akan pernah salah perasaan itu sendiri. Tapi.. I just can’t. Kegiatan kepala departemenku selama sebulan belakangan hanya mengantar dokumen ke ruangan atau aku yang pergi ke ruangannya untuk keperluan tanda tangan, tidak lebih dan tidak kurang.
Dan pagi ini, he just fucked everything up and I swear to god It felt like i would write a resignation letter to leave this fucking company.