Day 127, grief and grave.

Wonwoo memutar stir mobilnya masuk kesebuah pekarangan yang aku tau tidak asing dibenakku. Berkali kali aku berusaha membuang fikiran yang kurang mengenakan, tapi tetap saja mengusik.

Pemakaman.

Setelah diam ribuan bahasa semenjak tadi, dan saat ini ketika aku dan dia berjalan menyusuri nisan demi nisan, akhirnya aku memberanikan diri bersuara “Won..”

“Hm?”

“Ngapain?”

“Katanya mau ketemu dia, go ask her” Wonwoo tersenyum, menunjuk satu batu nisan yang bertuliskan abjad demi abjad membentuk satu nama, tanggal lahir dan tanggal wafat.

Aku berjongkok disebelah nisannya, meremas tanah. “Kenapa, Won?”

“Kekerasan, pelecehan”

“Kasihan..” Wonwoo berdiri, memasukan kedua tangannya kedalam kantong celana.

I remember her eyes that day..” Kini Wonwoo menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan tangis. “There are so many pain, yet she was stand up still alone

“Dia berusaha bertahan, padahal dunia lagi jahat jahatnya sama dia..”

Aku terdiam, terus menatap ukiran nama yang ada di nisan dihadapanku, berusaha menahan tangis.

“Dia, masih bisa senyum seakan akan bumi bakal ngasih dia hadiah dikemudian hari karena udah mau bertahan..”

“Siapa Won, yang tega?”

Kini Wonwoo ikut berjongkok, “Ayah kandungnya..”

Aku, menjadi diriku sendiri disini, merasakan beribu benda tajam menghujam jantungku. Bagaimana kemudian ada seorang figur ayah yang menghancurkan darah dagingnya sendiri, bagaimana kemudian ada seorang ayah yang seharusnya membantu menerbangkan putrinya setinggi langit, malah menginjak injak harga dirinya, bagaimana kemudian ada sosok hina semacam itu menghirup udara bebas di bumi, bagaimana bisa.

Air mataku kini tumpah, membuat genangan kecil di pipi, menunduk.

“Ada banyak hal yang belum bisa aku bilang, aku lakuin buat dia.. “

Aku bisa melihat bagaimana Wonwoo meremas tanah dihadapannya, menunjukan bagaimana ia benci terhadap dirinya sendiri dan beribu penyesalan di dalam dadanya.

“Kamu..” Katanya, membuatku mendongak. “mirip banget sama dia.. Bener bener bikin aku ngerasa kalau Tuhan ngasih aku kesempatan kedua untuk ngelakuin hal yang gak bisa aku lakuin buat dia. “

“Awalnya..” Ia menatap kosong ke tanah, masih berjongkok disebelahku “Aku pikir gaada salahnya untuk sekedar punya rasa simpati ke kamu dan disamping itu bayar semua hutangku ke dia.. Tapi makin kesini, aku fikir ini bukan sekedar rasa simpati aja..”

“Jadi aku harap..” Kali ini pandangannya dipaku menujuku. “Apapun, dan sekecil apapun kesedihan yang kamu punya, sini..” Ia menepuk pundaknya beberapa kali “Lean on me. Jangan berdiri seakan akan dunia bakal selalu ngasih yang terbaik buat kamu.. You just need to take some rest kalau dunia lagi jahat sama kamu, you know.. Buat sekedar mengistirahatkan diri. Terus ketika dunia minta maaf dan kamu maafin dunia, kamu boleh pergi.. Just.. Don't keep it all by yourself, ya?”

“Aku gak peduli soal perasaan kamu, aku ga peduli kalau sampai matipun kamu tetep kekeuh bilang kalau aku ga boleh taruh rasa sama kamu, aku gak peduli.. But your sadness, do not keep it all alone. Just.. Don't” Ia menggelengkan kepala untuk menutup kalimatnya sore itu.

Laradyan

Jakarta, 5 Maret 1996

Jakarta, 23 September 2011

What a nickname you used to call her?

“Lara”

Pain

Yeah, so much pain