Day 35, Elevator after office.
I meet him, right in front of my eyes. Di dalam lift.
Aku menolak menatap maniknya, aku hanya menunduk masuk.
“Lantai dasar?” Aku mengangguk. “Okay..”
Kemudian lenggang, canggung, sunyi, sepi dan senyap.
“Can I ask you something?” Ia memecah keheningan.
“No..”
“One thing?”
“No, Sorry”
“Okay..”
Pintu lift kemudian terbuka, aku buru buru meninggalkan sosoknya. Berjalan cepat menuju pintu utama untuk berusaha menemukan mobilku yang diparkir diluar.
Ditengah jalan, langkahku terhenti, kemudian berbalik dan mendapati ia yang juga ikut berhenti melihatku berbalik.
“Okay.. One thing.. Just one..” Kataku. Ia diam. Gedung kantor malam itu sepi, bahkan yang aku dengar hanyalah suara nafasnya yang tersegal, mungkin mengikuti langkah cepatku barusan.
“Why you called it.. Stupid feelings?” God, it’s been a few days dan dia gak lupa soal itu?
“Don’t you think it is stupid?”
“I think it is pure?”
“Berarti bapak belum pernah jatuh cinta..” Aku berbalik berniat meninggalkan dia.
“Siapa bilang?” Ia mengejar dibelakang.
“Oh, jadi pernah?” Lagi lagi aku berhenti dan membalikan badan menatapnya diikuti ia yang juga berhenti.
“Ya pernah..”
“Terus?”
“Terus apa?”
Aku diam. He hasn’t feel about that once, indeed.
“Jangan saya Pak”
“Kenapa?”
“Cuma satu pertanyaan” Aku berbalik kali ini, benar benar meninggalkan dirinya.
“Wait!” Langkahku lagi lagi terhenti. “Saya juga belum nerima jawaban dari kamu, you gave a question as the answer”
“How can you called it pure..” Entah untuk keberapa kalinya aku terus memutar badanku agar bisa menemukan matanya. “Padahal definisi cinta itu sendiri sakit..”
“It is, that’s what you called it pure, right? Ketika sakit yang kamu dapat itu bisa jadi suatu hal yang bikin kamu ikhlas, apalagi kalau bukan pure namanya?”
“See?, sound stupid, Pak..”