Day 187, another downtown.
“One question?” Wonwoo berdiri disebelah mejaku, membolak balikan dokumen yang baru saja aku berikan padanya.
“Not allowed” Kataku sibuk mengetik diatas keyboard tanpa menoleh padanya, tapi pandanganku mampu melihat bagaimana ia menyunggingkan senyum disana.
“It is a fun question, ain’t you curious?”
“No”
“hhh it is so hard to make you attached to me”
“Not interested..” Jariku masih sibuk menari diatas keyboard tanpa melirik.
“Mau terang bulan atau roti bakar bandung?”
“Kan udah dibilang ga boleh nanya” Kini fokusku terhenti pada layar laptop dan berpindah ke Wonwoo.
“Oke, terang bulan”
“Aneh”
“Coklat keju susu atau coklat aja atau keju susu?”
“Kan gak bole—”
“Oke, Coklat Keju Susu” Wonwoo terkikik, sedang aku mengernyitkan alis di kursiku. Ia masih tetap membaca dokumen ditangannya.
“We’ll walk around downtown after office, see you” Ia bergerak meninggalkan meja
“Hah?”
“Itu bukan pertanyaan” Teriaknya sambil berjalan.
“Ya tapi saya harus nentuin juga dong, Pak. gimana sih?”
“Not interested, bye” Ia bahkan tidak menoleh, meninggalkan ruangan begitu saja, meninggalkan orang orang yang tidak henti hentinya menatapku.
“Jadian kek” Kak Soonyoung bersuara dari mejanya. Aku hanya diam. “Serius gua mah lo berdua klop banget kaga boong” Sambungnya.
“Nanti aja kak, kapan kapan”
“Jiaakhhh, berarti ada niatan nih ye nerima Wonwoo” Kak Soonyoung terkikik. “Siap bos, ntar gua laporan berkala dulu”
“Kakak di sogok ya sama dia?” Tanyaku.
“Jiakh pake ditanya, gaji gua mah kaga sebesar dia. Boleh lah dikit ambil untung”
“Jangan ajak gue ngomong, Kak”
“Yeh pake acara ngambek.. Cup cup.. Nanti kakak Soonyoung jajanin deh janji.. Pake duit Wonwoo tapi Hahahahah”
Aku duduk di mobil menunggu Wonwoo diluar sana memesan terang bulan yang berjam lalu dirinya janjikan. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku tetap duduk di mobilnya. Stereotapenya sunyi, tidak memainkan musik sedikitpun, entah karena dia yang terlalu flat atau memang dia sama sekali tidak suka musik, entahlah. Beberapa kali aku duduk disini, maupun bersama coworkers lain untuk urusan pekerjaan, stereotapenya selalu mati.
Ia kemudian masuk, membawa sebungkus plastik besar.
“Mau makan di mobil aja atau kita nyari tempat?”
“Terserah” Kataku.
“Okay, well figure out some place ya, kalau gaada makan di mobil aja”
“Okay then”
Wonwoo memutar stirnya, diam menatap jalanan kota dengan lampu kendaraan yang memendar saling bersahutan, sesekali cahayanya terpantul dikedua iris matanya.
“Kamu emang gasuka dengerin lagu ya?” Tanyaku.
“Enggak gitu, kadang kadang aja kalau sendirian suka” Aku mengangguk, kemudian dia melirikku. “Aku gak punya banyak lagu, kamu hidupin aja, dengerin radio kalau ada”
“Okay” Begitu kemudian aku mengotak atik stereotapenya, mencari jaringan ke sumber radio terdekat.
‘okay sobat, malam yang syahdu gini enaknya dengerin musik romantis kali ya’
‘Asik dong nih kalau gini, lagu apa nih kira kira’
‘yang jomblo skip dulu aja atau gak nikmati dalam diam’
‘hahaha, peluk guling deh peluk guling’
‘okay, ini dia lagu romansa ala ala gombal gombalan, milik A rocket to the moon, Baby Blue Ey—’
“Kenapa dimatiin?”
“Hm? Enggak papa, gak menarik aja”
“Padahal lagu Baby Blue Eyes enak loh?”
“Oh ya?”
“Iya, kayanya baru kamu deh yang aku kenal gak suka lagu Baby Blue Eyes”
“Haha, gitu ya”
“Is anything wrong?”
“No?”
“Kamu keliatan nervous gitu”
“Kamu tau jalanan ibukota kan? Hafal jalan kemana mana kan ya?”
“Y-ya hafal lah..”
“Okay, then don’t get lost”
“O-okay” Aku menopang daguku, sesekali aku bisa merasakan ia yang terus menerus melirik kearahku.
“Are you okay?”
“Yeah, completely okay”
No, I am fucking not.