Day 230, The Apartment.

“Kak, buat dokumen yang kemarin aku harus ketemu sama pak Wonwoo, gak?” Kak Soonyoung mendongak.

“Iya dong, kan itu harus dapet tanda tangan dari kepala departemen dulu” Ia kemudian mengambil beberapa dokumen ditanganku, kemudian membolak balikannya. “Gimana?”

“Oke, Kak. Thankyou

“sama sekalian tanya, email dia yang mana soalnya ini mau ngirim data kompensasi sama data pengembangan, udah numpuk dari kapan tau nih”

“Siip”


Ruangan kepala departemen lumayan besar untuk menampung sedikitnya satu orang seperti Wonwoo, ada sofa lengkap dengan meja yang terbuat dari marmer, lemari yang berisi berpuluh atau mungkin beratus dokumen yang entah apakah ia baca atau ternyata malah tumpukan yang sampai sekarang belum selesai pertanggung jawabannya. Entahlah, dia terlalu hebat, diumur yang masih muda sudah memegang jabatan, sudah memegang tanggung jawab besar.

“Ini dokumennya belum diurutkan sesuai isinya ya? Masih berantakan gini, yang tahun lalu juga kesasar kemana mana..”

“Masa sih, Won?” Wonwoo membuka kacamatanya dan membuang nafas berat.

“Kamu-”

“Iya, Pak. Maaf saya lupa manggil ‘Pak’.. Kebiasaan” Wonwoo malah memijit pelipisnya sambil terkekeh geli.

“Aku padahal mau minta tolong..” Aku mengernyitkan alis. “Udah jam 8 lewat 3 menit, jam kantor udah selesai” Ia melihat jam di ponselnya, dan aku yang buru buru melihat jam di tangan kiriku.

“Mau aku repotin, gak?”

“Kalau urusan kantor ya pasti maulah”

“Ya ini..” Ia mengeluarkan tumpukan dokumen yang lain. “Belum berurut, kalau gak, gak bisa masuk ke ruang status selesai..”

Aku menganga, dokumen yang bermenit lalu aku bawa sudah cukup banyak dan katanya belum berurut sesuai data penugasan, ditambah dokumen baru yang berdetik lalu Wonwoo keluarkan. Aku secara bergantian menatap tumpukan dokumen dan kembali ke Wonwoo, begitu terus beberapa kali.

Well, welcome to office life?” Ia mengangkat bahunya,

“Shit”


Wonwoo memutar stirnya masuk kedalam garasi, menarik rem tangan kemudian mengajakku turun. Aku membenarkan posisi tasku yang berada dibahu sebelah kiri, membuka pintu mobil belakang dan mengangkat berkas berkas sebagian, membantu dirinya.

“Aku baru tau kamu ternyata sekaya itu sampe mampu beli apartement” Wonwoo terkikik, tangannya sibuk menekan tombol di atas smart lock door sampai pintu sepenuhnya terbuka.

“Chan?”

“Hmm?” Seseorang dengan kaos oblong dengan celana ponggol yang sedang duduk di sofa menoleh. “Loh?” Katanya menunjukku.

“Iya, dia mau bantuin gue ngurus kerjaan”

“Oh, yaudah. gue kekamar deh ya”

Begitu kemudian Chan tadi meninggalkan aku dan Wonwoo berdua di ruang tamu. Aku meletakkan tumpukan berkas tadi diatas meja, kemudian duduk.

“Aku mulai aja ya?”

“Iya. Kamu kalau laper bilang, biar kita pesen sesuatu aja”

“Iya” Kataku. Begitu kemudian aku membuka amplop coklat yang berisi puluhan data perusahaan yang tidak berurut sesuai kualifikasi pekerjaan departemen kami. Menyusunnya satu persatu, sedangkan Wonwoo disana langsung sigap memberikan beberapa stempel dan tanda tangan.

Begitu terus sampai jam di dinding sudah menunjukan pukul 10 malam, semuanya selesai. Aku membanting punggungku ke sandaran sofa, membuang nafas berat dan menutup mataku.

“Laper gak?”

“Dikit”

“Mau makan sesuatu?”

“Terserah”

“Malah terserah, mau gak?”

“Yaudah”

“Mau makan apa?”

“Terserah”

“Gimana sih terserah melulu” Wonwoo melepaskan kacamatanya, ikut bersandar pada kepala sofa dan mengotak atik ponselnya.

“Yang cepet saji aja, biar cepet”

“McDonalds?”

“Sure”

“Chan? Mau makan gak?” Wonwoo sedikit berteriak, tapi tidak mendapatkan jawaban. “Udah tidur” Sambungnya sambil mengangkat kedua bahunya bersamaan.

“Gede ya..” Kataku.

“Apanya?”

“Apartemen kamu” Ia hanya menaikan alisnya bersamaan dengan senyum tipis dibibirnya. “Gaji kamu berapa sih sampe bisa beli apartemen segede ini?” Candaku.

“Yaa.. Cukuplah”

Aku mengedarkan pandanganku ke mana mana, sampai ketika mataku berhenti pada satu objek.

“Itu kamu?” Tanyaku berdiri mendekati satu bingkai foto.

“Iya, itu masih kecil banget, hahaha” Ia tertawa dengan suara serak dan beratnya.

“Kamu.. Ikut tim baseball sekolah juga, ya?”

“Iya. Kenapa?”

“Engga papa” Aku melihat Wonwoo kecil, dengan baseball stick ditangan kirinya dan topi menutupi hampir seluruh matanya, membuatnya melihat kamera sedikit mendongak.

“Aku masih punya banyak, mau lihat?” Wonwoo mendekatiku, berjongkok kemudian mengeluarkan banyak foto album. “If you don’t mind to stay for a while..” Katanya.

“Ini.. Sebelum Chan lahir, masih jadi anak tunggal Mama sama Papa” Kata Wonwoo membuka halaman demi halaman dan menunjukan berbagai macam foto masa kecilnya.

“Kalau ini, dulu main kemana ya aku lupa..” Wonwoo kecil, dengan denim jacket dan kedua tangan yang ia masukan kedalam kantongnya.

“Ini, main ke pantai, terus aku nyangkutin diri di leher Papa” Terukir senyum cerah dimatanya ketika menceritakan setiap foto yang ia tunjukan. Dan aku menoleh, bukan ke foto yang terus menerus ia tunjuk, tapi ke sosoknya, dengan tenggorokan yang perih.

“Hey?” Matanya membulat, sadar akan aku yang terlihat tidak baik baik saja di atas kakiku. “Kok nangis? You Alright?” Aku menunduk, menyembunyikan mataku.

Yes, I am. Hahaha Sorry

No, you are not” Wonwoo menangkup kedua pipiku, menatap kepada manikku yang tertutupi embun air mata. Dan disitu, aku kemudian pecah.

Aku jatuhkan kepalaku di dadanya, menyembunyikan sesak, membiarkan yang dulu dulu tertahan untuk malam ini keluar barang sedikit saja.

“Hey?” Wonwoo mengelus punggungku. “Kenapa?”

I miss him. I miss him so much it hurts

Ia membawaku untuk duduk di atas sofa, masih meminjamkan tubuhnya untuk ku senderkan barang sebentar sampai sesak didadaku perlahan menghilang.

Where are him? Right now?” Tanyanya, aku menggeleng. Karena memang, sampai sekarang pun aku tidak tau bagaimana kabarnya dan dimana ia sekarang.

It’s okay, you can cry if you miss someone..” Aku semakin pecah. Tangan Wonwoo disana masih mengelus punggungku, pelan dan dengan sabar. Entah sebagai siapa dia malam itu, seorang kepala departemen yang menyalurkan simpati ke pegawainya, atau seorang teman yang bersedia bahunya aku pinjamkan, atau sebagai Wonwoo, yang berbulan lalu bilang bahwa rasanya terpatri untukku. Entah, malam itu semua jadi abu dan sedu.

“Namanya.. Mingyu” Kataku, mengangkat kepala dari bahunya.

What did he do?”

Cheating on” Cicitku. Aku membenarkan posisi dudukku kini, tidak lagi berhadapan dengan Wonwoo tapi membuang tatapanku kedepan, pada televisi yang layarnya mati.

He just.. Perfectly fine, Won..” Suara bindengku memenuhi ruangan. “.. so fucking fine. Segala galanya yang udah aku sama dia lewatin, so perfectly fine” Aku menutup mata, menahan air mata untuk keluar.

His sweet disposition, everything.. And I kinda miss him, Sorry” Kini aku menoleh, menatap Wonwoo yang juga menatapku.

Aku kira, setelah sepenuhnya apa yang aku katakan secara terang terangan kepadanya malam itu, akan membuat ia tersadar bahwa seseorang yang ia tunggu, seseorang yang ia sisipkan rasa, belum selesai dengan masa lalunya. Aku kira, ia akan membenahi hati, dan mulai merencanakan rencana rencana baru lainnya, tapi malam itu, ia tersenyum, lagi lagi menangkup wajahku.

“Kamu.. Belum selesai atau sama sekali gak mau coba?”

“Maksudnya?”

“Kalau kamu belum selesai, I’ll wait..” Senyum tulusnya lagi lagi terlukis. “Tapi kalau kamu sama sekali gak mau coba.. I’ll try to heal you, I’ll try and I’ll try a thousand times

“Sampe aku mau coba, gitu?” Ia diam. “Won, gaada jaminan segala perilaku manis yang sekarang kamu lakuin itu gak buat kamu jadi laki laki kaya Mingyu. Gaada. Aku udah bilang, do not ever try to dan jangan aku.”

“Sampai kapanpun, gaada jaminan bahwa cinta gak bakal nyakitin kamu. It will. Tapi aku bukan Mingyu dan Mingyu bukan aku. Kamu gabisa menyamaratakan semua laki laki yang kamu temui sama kaya Mingyu. I’ll hurt you, itu udah pasti. I can’t promise you the world, karena bukan aku yang nulis jalan takdir. Tapi..” Ia berhenti. “I’ll make you believe that, at least, there is one person that will never ever leave you all by yourself. Gaakan pernah”

Cahaya matanya, garis matanya, bagaimana kedua irisnya yang bergerak mengikuti irisku untuk menemukan tatap, keduanya seakan berbicara, seakan berusaha meyakinkan bahwa aku tidak perlu takut ketika dunia sedang tidak bersahabat, bahwa dimata ini aku bisa beristirahat. Keduanya lagi lagi seakan meyakinkan bahwa orang ini, sosok ini, insan ini, akan selalu menuntunku mencari jalan yang terang dari gelapnya kesendirian dan kesedihan hati, keduanya, bersuara.

“No..” Aku menggeleng. “Enggak, Won. Maafin aku”