youngswritting


“I will look for you, in every lifetime until we finally stay” -butterflies rising


Joshua bilang, pertama kali kita bertemu waktu kita berumur 3 tahun, Joshua bilang pertemuan pertama kita didalam pesawat yang sedang terbang, Joshua bilang setidaknya itu yang Ayahnya bilang, tapi Joshua bilang, katanya dia ingat semua.

“Akutuh selalu ingat, kok” Joshua terkikik.

Diluar gerimis, berhari hari hujan terus turun membasahi bumi.

“Kamu tuh ga inget ya Josh, cuma denger apa kata Papi” Ejekku.

“Yang paling aku inget itu kamu tuh sebelum landing ee' di celana”

“bohong?!”

“Beneran”

“Bohong Joshh!”

“Ga percaya kamu. Sepanjang sebelum landing tu kamu nangis terus teriak ‘Bauu bauuu’ HAHAHAHAAH” Joshua tertawa sampai sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.

Aku hanya melipat kedua tanganku, terkikik kecil dan akhirnya jadi senyap, yang terdengar adalah rintik hujan diluar sana, memukul kaca jendela disebelah kananku.

Aku mendongak, menatap langit abu abu. Senggang terus menyelimuti, sampai Ketika Joshua Kembali bersuara.

“kamu..” Aku menoleh, ketika Joshua menggantungkan kalimatnya. “..Apa kabar?”

-

Seragam putih-abuku basah, hujan lebat benar benar mengguyur kota Bogor sore itu sepulang sekolah, dan mau tidak mau aku harus berteduh.

Langit diujung sana lamat lamat mulai gelap, dan aku harus bergegas pulang sebelum gelap benar benar menyelimuti kota. Sampai sampai seseorang muncul dan mengagetkanku.

“Hujan” Katanya.

“Josh!!” Aku memegang dadaku, mengatur nafas. “Emang ada yang bilang lagi terik cerah? Engga kan? Ya jelas jelas emang hujan”

“Dingin, ya?” Aku memutar kedua bola mataku malas.

“mukaku kira kira udah menjawab pertanyaan gak jelas kamu, belum?”

“udah, kusut. Berarti dingin ya?”

“Tau deh, terserah kamu” Kemudian ia keluarkan sesuatu dari ranselnya.

“Nih pake, nanti pilek kaya kemarin. Berisik banget sekelas dengerin kamu srat-srot srat-srot melulu”

“Nih kamu berat beratin tas bawa denim jaket kaya gini? emang bener ya kata anak anak, kamu tu kurang kerjaan”

“Mau dipake ga?”

“Mau” Aku merampas jaket yang disodorkan Joshua.

“Pulang kerumahku aja, yuk? Kalau kerumah kamu kan jauh”

“Ah aku gaenak sama Mami, kemaren udah main kesana juga”

“Kan katanya rumahku rumah kamu juga?”

“Aelah bercanda doang” Aku bersusah payah memasukan tubuhku kedalam jaket denim milik Joshua.

“Ayo pulang kerumahku aja”

“Kapan kapan aja deh”

“Hujan gini”

“Ya paling bentar lagi juga reda, Josh. Mending kamu pulang duluan, entar Mami malah marah marah lagi kamu pulang telat”

“Gausah, aku nungguin sampe hujannya reda aja. Biar pulangnya bareng”

“Aku jadi kamu udah goleran dikasur pake selimut, Josh”

“Aku jadi kamu pulang kerumah Joshua, sih”

“Dih.. pinter banget nyaut emang”

“Jadi pulang gak nih?“

“Udah dibilang nunggu hujan reda, Joshua Hong”

“Jangan panggil nama Papiku juga kali”

“Yaa terserah aku sih”

“Jadi kamu tetep mau beradu argumentasi kaya gini? Mending pulang bareng aku, Yuk?”

“Mau naik apa?”

“Apa gunanya angkot?”

“Coba liat, ada angkot ga?”

“Ada, bentar lagi juga ada. Yang sabar”

“Aku gabisa sabar. Mending kamu pulang”

“Gak”

“Bandel banget pantes Mami kamu tuh kerjaannya marah marah terus, punya anak bandel kaya kamu, jauh jauh sana”

“Ntar kangen”

“DIH JOSHUA?!” Dirinya terkikik. Hujan belum kunjung mereda.

“Eh tapi beneran deh, kalau lama gak ketemu aku kamu kangen ga? Secara kita kan temenan udah dari sejak di dalam kandungan”

“Umur 3 tahun ya, Joshua. Jangan ngada ngada”

“tinggal jawab aja padahal”

“Sebenernya bukan kangen sih, lebih yang ke bingung kalau gaada kamu aku harus ngapain, karena mostly kan apa apa yang aku lakuin pasti ada kamunya”

“Gak bosen?”

“Biasa aja, emang kenapa?”

“Gapapa nanya aja”

“Aneh” Aku merekatkan jaket milik Joshua yang kupakai. “Kamu sendiri, emang ga bosen aku melulu temennya?”

“Gak, ngapain bosen”

“Ya manatau kali aja kamu bosen gitu temenan sama aku”

“Bosen sih..”

“Tuh kan..”

“Bosen temenan, maunya lebih..”

Deg.

Hah? Apa?

“Apa?”

“Hahaha, lebat banget ya hujannya sampe kamu ga denger?”

Aku diam. Menatap manik matanya serta senyum simpul dikedua sudut bibirnya.

“Emang mau lebih tuh namanya apa?” Tanyaku.

“Apa ya? kayanya anak zaman sekarang bilangnya TTM”

“ohh..”

“kok oh?”

“Ya kan tetep temen tapi lebihnya mesra doang, statusnya tetep temen, kan?”

“Ya gak papa kalau kamu maunya gitu”

“Emang kamu maunya gimana?”

“Hmm..” Tiba tiba Joshua menautkan jemarinya ke jemariku, membuatku membulatkan mata. “Kalau kaya gini, pantes disebut teman tapi mesra, ga?”

“eh?”

“Pantes ga? Menurut kamu?”

“eh.. Eng-enggak sih. Berlebihan kalau menurutku.”

“Terus kalau kaya gini pantesnya apa?”

“Apaan sih, Josh?”

“Yeh.. Jawab dulu”

“Hm.. Orang pacaran kali?”

“Nah.. itu”

“Nah itu apanya?”

“Point pembicaraan kita, hahahhaha” Joshua kemudian melepaskan tangannya. “Maaf ya” Kini dirinya mengawangkan pandangan kelangit mendung, masih menatap derai hujan yang terus jatuh dari langit sana. “Maaf tiba tiba genggam tangan kamu kaya gitu”

“cih.. ngapain minta maaf sih.. Alay” Cicitku, karena sejujurnya pun, agenda dadakan tadi membuat sebuah perasaan didalam diriku bergejolak.

“Jadi gimana?”

“Gimana apanya?”

“Yah.. Gak diterima apa gak memang mau nerima?”

“Mau, Josh..” Dapat aku lihat secercah senyum terlukis diwajahnya. “Tapi, kasih aku waktu, boleh?” Kemudian hilang.

Joshua mengangguk, menyimpulkan sebuah senyum lalu menepuk puncak kepalaku beberapa kali dengan telapak tangannya.

“Nanti kalau udah sampe dirumah, kabarin aku, ya?”

-

Joshua itu selalu penuh dengan hal hal magis yang kadang membuatku tersihir secara tidak sadar. Dia baik, kepribadiannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan kepribadianku kadang membuatku merasa aneh, kenapa dia masih betah menyandang status sebagai temanku.

Dan selama bertahun lamanya, bohong kalau aku bilang aku dan Joshua hanya berteman. Bohong kalau aku bilang bahwa perasaan yang aku punya untuk Joshua hanya sebatas perasaan seorang teman ke teman lainnya. Tapi, aku sendiri selalu butuh waktu.

“Kalau aku tanya nih, kamu butuh waktu sampai kapan?” Setelah kejadian tempo hari yang lalu saat Joshua menanyakan soal hubungan lebih disaat hujan sedang mengguyur kota dengan hebatnya.

“Hm.. Belum bisa mastiin, maaf ya?” Di kantin sekolah, dengan dua es teh di hadapan kami berdua.

“Yaudah sih gak papa. Santai aja”

“Emang kamu gak takut? Kalau ada yang berubah dari kita kalau semisal kita putus?”

“Yah, belom mulai udah bahas putus gimana sih?”

“Ya kan aku nanya dulu, Joshua”

“Kan kamu tau sendiri aku anaknya gimana, emang aku pernah keliatan musuhan sama mantanku yang lain?”

“Enggak sih. Tapi coba deh aku tanya..” Joshua yang tadi menyeruput es tehnya kini terkesiap, mendengarkan. “Emang kamu gak awkward nih, semisal bareng sama mantan kamu di satu kondisi? I mean like, kalian dulu pernah saling cinta gitu loh, Josh? Masa gak aneh?”

“Ya kalau dibilang aneh ya aneh. Kemungkinannya tuh cuma ada dua. Awkward karena dulu pernah ada kita dan sekarang udah baik baik aja, atau awkward karena aku atau dia yang sama sama masih ngerasain perasaan yang ada. Paham ga?”

“Belum move on?”

“Ya mungkin lebih dan kurangnya gitu. Segala sesuatunya masih soal dia”

“Terus ntar kalau kasusnya kita berdua?”

“Gini deh, kamu aja tetep biasa aja padahal berhari yang lalu aku baru aja nembak kamu. Kaya gaada kejadian apa apa, kan? Jadi ya aku mikirnya we’ll be alright sih”

“Tapi aku gak mau kehilangan kamu, Josh” Kita terdiam, yang terdengar hanya suara siswa dan siswi yang rebut di kantin. Joshua menekuk bibirnya, sesekali mengeluarkan ekspresi wajah yang maknanya sulit untuk aku artikan.

“Serius, Joshua”

“Aku kelihatan mau kehilangan kamu, gak?”

“Tapi..” Aku menggantungkan kalimat.

“Tapi?”

“Tapi apa ada cara lain buat bareng gak ya, Josh?” Sosok dihadapanku membuang nafasnya, bola matanya sedikit bergetar.

“Kamu percaya sama aku gak?”

Aku menaikan alis, perlahan mengangguk.

“Kalau kita coba dulu, gimana? Urusan cara lain itu, kita cari tau nanti?”

“Josh..”

“Kalau kata aku, apapun bentuk cinta pasti selalu ada aja sakit hatinya. Aku juga gak bisa janji selalu bikin kamu ketawa bahagia, pasti aku tetep bakal bikin kamu nangis gimana pun cara kita menjalani hubungan. Tapi aku cuma minta kamu buat percaya sama aku”

Lagi lagi aku terdiam, manik mata milik Joshua tidak kunjung pergi dari manik mataku.

“Kita.. coba dulu, mau?”

“Iya, kita coba ya, Josh?”

-

“Kamu dimanaaa? udah telat setengah jam loh” Aku menghentakan kakiku dengan ponsel ditelinga kanan.

“Iyaaa sayang sabar ini udah disimpang loh, tuh aku ngeliat kamu. Dadah dadah dulu” Mobil Joshua muncul dari persimpangan dan dirinya yang sedang melambai cepat karena harus memegang stir sekaligus memegang telfonnya di telinga.

Aku dengan malas kemudian membuka pintu mobil, masuk dan menutupnya kasar.

“Waduh, ntar mobilku gaada pintunya sebelah kasian Mami kalau harus aku anter jemput”

“Bodoamat”

“Yah.. masa kamu gak kasian sama Mami juga?”

“Gatau ah Josh aku males ngomong”

“Iya iya maaf ya aku telat? Maaf juga aku gak ngabarin kalau ada kelas tambahan? Maaf juga karna hari ini hari pertama kamu dapet dan aku bikin ulah dan maaf kalau kamu hari ini bakal aku pinjem seharian gak aku bawa pulang” Dirinya terkikik kecil disana, menimbulkan senyum singkat di bibirku.

“Gimana? masih marah?”

“Aku digodain supir angkot tau tadi, Josh”

“Gantengan aku apa supir angkotnya?”

“Ya kamu laaahhh”

“Jangan gitu dong, kan aku juga supir”

“Supir Mami sama Papi doang, digajinya juga gede, kan?”

Dirinya tertawa, sesekali menatapku dan jalanan secara bergantian.

“Hari ini kita mau kemana?” Tanyaku, mengedarkan pandangan pada jalanan kota Bogor.

“Enaknya?”

“Terserah aku ngikut kamu aja”

“Mau makan?”

“Mauuu”

“Makan apa?”

“Terserah” Joshua terdiam, menaikan alisnya kemudian membuang nafas perlahan. “hm.. kinda tricky yaa”

“Kali ini apa aja yang penting kenyang”

“Oke”

Puncak jadi destinasi terakhir, padahal hari ini bukan Weekend, tapi entah kenapa Joshua dan aku memilih untuk kesana, ke salah satu kebun teh di Cisarua. Dan poin lebih lainnya adalah tidak terlalu banyak pengunjung yang memadati lokasi di hari itu. Jadi, rasa rasanya, kebun teh ini adalah milik kami berdua.

“Seger banget, sumpah deh”

“Kamu gak dingin?”

“Sedikit” Kataku membuat gestur dengan merapatkan jari telunjuk dan jempolku.

“Aku ambil jaket ke mobil ya?”

“Gausah”

“Kok gausah? Dingin tadi katanya?”

“Iya, peluk aja” Joshua tertawa, sampai sampai membuang kepalanya kebelakang. “Gaada orang lagian” Ia masih tersenyum dengan alis yang terus dia naik turunkan.

Tidak lama, ia membentangkan kedua tangannya. Aku tersenyum dan buru buru berlari dalam rengkuh hangat pelukannya.

Joshua mengistirahatkan dagunya dipuncak kepalaku. Merekatkan pelukannya sampai sampai hangatnya menjalar keseluruh tubuhku. Pun aku, ikut memeluk tubuhnya yang lebih tinggi dari tubuhku. Mengistirahatkan diri diatas dadanya, mengistirahatkan jiwa pada tumpahan afeksinya.

Kemudian ia bawa perlahan ke kanan dan kekiri, hingga membuatku terkikik geli.

Aku mendongak, ia sedikit menunduk menatap wajahku, tersenyum dengan mata yang tiba tiba menghilang menjadi garis lengkung.

“Bibir kamu kaya jadi biru deh, dingin banget ya?” Aku menggeleng, kembali menjatuhkan kepalaku ke dadanya.

“Serius, dingin banget ya?”

“Jangan kemana mana aku mau gini aja”

“Dih kamu tuh kaya ga pernah dipeluk aja”

“Kan kita udah seminggu LDR, gak pernah ketemu”

“LDR beda rumah ya?” Aku kemudian kembali mendongak, tertawa kecil menatap lekuk dimensi wajahnya.

“Dingin?” Cicitnya.

“Dikit”

“Banyak” Joshua mengedarkan pandangannya ke kanan dan kekiri, kemudian melemparkan kecupan singkat di bibir. “Supaya hangat”

Aku tertawa, membuang kepala kebelakang, kemudian melepas pelukannya.

“naik yuk, dingin” kataku. Dirinya mengangguk, menautkan jemarinya dan jemariku.

“Kalau kaya gini tuh, aku suka inget pas hujan hujan habis pulang sekolah” Aku tatap jari jemariku dan jemari Joshua yang saling bertaut.

“Udah bertahun tahun tapi tetep aja inget” Ucapnya.

“Josh” Panggilku.

“Hm?”

“Kamu punya mimpi yang tinggiiiiiiiii banget ga?” Langkah kami berselaras, mengikuti bukit bukit kecil di pekarangan kebun teh.

Joshua diam, mengawangkan pandangannya ke langit kemudian beralih menatapku, melempar senyum.

“Kamu” Kata yang barusan terlempar membuatku mengukir senyum, namun tidak bertahan lama.

“Kita gimana ya, Josh?”

“Gimana apanya?”

“Selama ini, kita udah punya cara lain belum?”

“Hm.. pelan pelan boleh ya?” Aku menatap wajahnya yang enggan untuk menatapku.

“Kamu tau gak, aku tuh selalu ngebayangin apa?”

“Apa?”

“Nanti kalau misalnya kita nikah, seru kali ya tiap bulan kita grocery shopping, terus habis itu strolling down town” Aku menunduk menatap langkahku.

“Sekarang juga kita bisa ngelakuinnya”

“Beda kali Josh, ngapain grocery shopping orang kita masih tinggal sama orang tua?” Dia mengusap tekuknya, mengangguk.

“Tapi..” Cicitku.

“Tapi?”

“Tapi, sebelum itu.. kita nikmatin aja apa yang ada dulu ya?”

“Hm, will do

-

Dari skala 1-10 maka aku akan bilang panik yang aku miliki berada di angka 9, karena selama seminggu belakangan, Joshua sama sekali tidak bisa dihubungi.

Entah itu pesan yang aku kirim, maupun panggilan telfon.

“Bunda.. Joshua gak ada kabar udah seminggu”

Bunda yang sedang duduk di ruang tengah kemudian menoleh kearahku yang berjalan dari belakang, membanting tubuh kemudian menidurkan diriku diatas pahanya.

Tangan lembutnya kemudian mulai memainkan rambutku.

“Kamu tau kan, dari awal pun waktu kamu berani memulai, skenario kaya gini pasti kejadian..”

“Iya Bun, aku tau.. Tapi kalau dia emang mau pergi, ya bilang, ngomong” Suaraku bergetar.

“Nak.. Ada beberapa hal yang gak bisa dipaksain, kamu tau? Misalnya ngucapin selama tinggal sama orang yang kita sayang secara langsung. Ngeliat kalian deket banget dari kecil sejujurnya bikin Bunda takut, tapi ya akhirnya ketakutan Bunda tetep kejadian”

“Bunda selalu yakin, diantara kalian gak mungkin cuma ada perasaan sekedar teman, dan akhirnya saling cinta”

“Iya, Bun”

“Sejujurnya Bunda sedih, apalagi waktu tau kalian akhirnya memulai hubungan. Tapi Bunda relain, Bunda biarin kamu ngejar cinta, tapi kamu tetep gak boleh tutup mata dan tutup telinga, Nak” Tangan Bunda masih belum berhenti memainkan rambut dan sesekali mengusap kepalaku. Tanpa sadar, ada bulir bulir air mata yang kini turun.

“Bunda yakin, Joshua sesayang itu sama kamu. Dan mungkin dengan pergi diam diam bakal bikin semuanya lebih gampang, buat kamu, buat dia” Kini aku meraung diatas tangisan dengan menyembunyikan wajahku diatas paha Bunda.

“Bun..” Aku bangkit, dengan derai air mata menatap wajah perempuan yang telah melahirkanku berpuluh tahun yang lalu ini.

“Hm?” Dirinya kemudian menyibak helaian rambutku yang ikut basah terkena air mata dipipi.

“Kalau Tuhan memang satu, Kenapa ada aku dan Joshua yang beda?”

Sejak pertama kali mengenal sosoknya, aku jatuh dalam perangainya. Bagaimana sosok Joshua yang mampu memperlakukanku dengan sangat baik atas dasar perasaan teman, dan sampai saat ini, diatas perasaan dua orang yang saling mencintai.

Tapi Bunda benar soal aku yang tidak boleh menutup mata dan telinga, bahwa ada Bunda dan keluarga yang mendidikku dengan melakukan Ibadah setiap hari sebanyak 5 kali, sedangkan Joshua, pergi beribadah setiap hari minggu. Ada aku yang selalu diajarkan berdoa dengan menengadahkan tangan untuk meminta, sedangkan Joshua yang menautkan jemari jemarinya.

Aku dan Joshua yang berbeda.

Dari awal pun, aku sudah mempersiapkan diri, bahwa bagaimanapun keadaannya, hubungan ini memang harus diakhiri, bahwa dari awal pun, harusnya aku sadar, memang tidak ada cara lain untuk bisa Bersatu.

Maka, sebuah bendera putih aku layangkan ke langit.

-

“Ayo kita ketemu Mami..” Joshua, setelah seminggu lebih menghilang, kini muncul di depan rumahku dengan mobilnya.

“Maksud kamu?”

“Aku ajak kamu ketemu Mami”

“Buat apa?”

“Aku..” Joshua menarik tanganku dan menggenggamnya. “Aku ikut kamu, ya?”

Tenggorokanku perih melihat lelaki dihadapanku ini. Matanya bergetar penuh desperasi serta embun yang memupuk disana.

Aku tarik tanganku dari genggamannya kemudian, menggeleng.

“Kita, selesai aja ya, Josh?”

“Tapi aku sayang sama kamu”

“Kamu lebih sayang aku daripada Tuhanmu?” Dirinya terdiam.

“Kita yang salah, Joshua..” Sahutku. “Kita dari awal harusnya cukup jadi temen yang saling dukung satu sama lain, gak perlu mengharapkan hubungan lebih”

“Dari kamu lahir, disucikan, segala nafas dan rejeki, kamu pikir dari siapa? perihal ikut mengikut bukan hal gampang, Joshua..”

“Tapi aku serius sama kamu” Ia menarik tanganku kembali, dan kembali aku tarik dari genggamannya.

“Aku tau Mami juga gak bakal seneng kalaupun kamu minta izin ke Mami gitu, kan?”

“Maafin aku” Tangisku pecah, pun Joshua disebelahku yang dapat dengan jelas aku lihat air matanya. “Maaf seminggu ini aku hilang ya. Aku lagi berfikir buat ngambil keputusan”

“Ini bukan keputusan, Joshua. Ini ketetapan and there is nothing we can do, ya?”

“Aku sayang banget sama kamu”

“Kita.. selesai ya, Josh? Kita gak perlu saling nyakitin satu sama lain lagi”

“Kita gak pernah nyakitin satu sama lain, we are both in love and that is so beautiful, don’t you think so?”

I do. Tapi kita udah lama banget nutup mata dan telinga seakan akan kita emang ditakdirkan buat bersama, Joshua. Kita lupa, kita punya keluarga yang gak mungkin kita kecewain, kan?”

Dirinya diam, menunduk.

“Joshua..” Panggilku. “Kita udah lama banget tinggal di fantasi yang kita bikin sendiri, now its time to wake up and face the reality itself” Paraunya suaraku memenuhi.

“Joshua” panggilku lagi “ini realita”

Dirinya menggenggam kuat tanganku lama, kemudian beralih menangkup kedua pipiku yang terus dibasahi air mata.

Kali ini, pertama kali dalam hidupku, dapat aku lihat sayat demi sayatan didalam manik mata sosoknya. Ada beribu sakit yang menghujam jantungku ketika melihat matanya yang mulai berembun, dan akhirnya menjatuhkan bulir demi bulir air mata.

you know that i really love you, right?” Aku menggangguk. “Dan cinta gak selamanya harus saling memiliki, kan?” Lagi lagi aku mengangguk.

“Kamu harus tau, beribu tahun pun kamu tetep dan akan selalu punya tempat paling istimewa dihatiku, dan aku gak bakal geser tempat itu. Oh My God i wish you are the love of my life!

Kini ia jatuhkan aku dalam rengkuhnya, saling meraung dalam tangis bahwa akhirnya kami bangkit dan bangun. Bahwa selama ini, ternyata hanya ada mimpi tak bertuan yang terus terusan kami junjung tinggi tinggi. Selalu menolak kebenaran bahwa tidak pernah dan tidak akan pernah ada tempat untuk kami.

“Aku sayang kamu”

“Aku sayang kamu, Joshua”

Ia lepaskan pelukannya dan menatap dalam menuju mataku, “goodbye?” Bisikku.

goodbye

so.. this our very last goodbye ya, Josh? gaada kamu lagi yang besoknya dateng ke rumahku buat jemput?”

Joshua menggeleng. “Maafin aku”

“Josh..” Tenggorokanku lagi lagi jadi perih.

“iya?”

Promise me, we will find each other in the next life, ya?”

even if we are a dead stone?”

i will be a dead stone and you’ll be a butterfly. find me ya, Josh?”

Dirinya lagi lagi menangkup kedua pipiku, mengelusnya dengan jemari. “I know, in another parallel, it works. I’ll find you, dan kita bakal keliling supermarket untuk belanja bulanan sama kaya yang selalu kamu dambain, setelah itu strolling around the city, sampe akhirnya mati dan di tanam di liang yang sama. I am so sorry, and i love you. i do love you and i will always do. wait for me ya, i promise, in another life

you’ll find me

-

“Baik, selalu baik” Joshua mengangguk, kemudian membuang pandangannya keluar jendela.

“Kamu?”

as it seems

Lagi lagi senggang, tidak ada yang mampu melempar kata dan akhirnya aku percaya bahwa bagaimanapun, pada akhirnya semua Kembali menjadi asing.

“Dingin, ya?” Katanya, aku terkekeh.

“Kenapa? Mau tawarin aku jaket?“ Dirinya juga ikut tertawa.

“Semenjak putus, aku gak pernah bawa bawa Jaket lagi didalem mobil. Gak tau kalau bakal ketemu kamu lagi disini dan yaa.. unexpected banget after a long time”

“Jadi, kamu sendirian?” Tanyaku, dirinya menyesap kopi dihadapannya kemudian mengangguk.

“Aku belakangan emang suka cari waktu buat sendiri”

same here

why?”

“Yaa itu emang suatu hal yang kita butuh, iya gak sih? to be all alone?”

“Dulu kamu gak pernah mau kalau kemana mana sendiri?”

“Yaa, itu beda lagi. I just can’t find a person i am comfortable with, Josh..”

you will, soon

“kalau kamu?” Dirinya diam, menautkan kedua tangannya kemudian tiba tiba membenarkan posisi duduknya.

i have found one” Hujan diluar bukan hujan deras yang bisa membuat banjir pekarangan sekitar, tapi pendengaranku tiba tiba jadi berisik.

Bahkan di langit sana, sama sekali tidak ada petir, tapi rasanya diluar sedang ada badai yang akhirnya membuat jantungku berdegub lebih kencang dari biasanya akibat ketakutan.

Aku takut, selalu membayangkan skenario ini. Dan akhirnya aku sampai di titik skenarioku menjadi kenyataan.

“oh.. wow. it is nice to hear that, Josh. Well done, wow.. how long we had been broke up, ya?”

“kamu bisa dateng?”

Deg.

“Maksudnya?”

“Aku tau kamu gak bisa masuk ke dalem gereja, that’s why i’ll make it outdoor. Aku ga bawa undangannya, tapi.. February 14, ya? Aku harap kamu dateng”

“Josh..”

I am so sorry

No..” Dengan sekuat tenaga menahan bulir air mata, aku melemparkan jabatan kedepan wajahnya. “Congratulations” Dan disambut lembut oleh sosoknya.

“Janjiku masih berlaku, you don’t have to worry

“Janji?”

I’ll meet you in another life, i will and i promise

Cahaya matanya, ukiran senyum di wajahnya, apa dimensi ini yang dapat aku lihat di kehidupan selanjutnya?

Apa tubuh ini yang akan aku peluk disana? Apa Joshua yang selaku kudamba yang akan datang menemuiku?

Tidak ada jaminan, kan?

Tidak ada yang bisa aku lakukan, selain menerima dengan lapang dada bahwa akhirnya kekecewaan yang menggerogoti ini harus disudahi.

Merelakan, merelakan dan merelakan.

Joshua adalah yang terindah, walau dulu ada aku dan dirinya yang mengatas namakan cinta dan perasaan diatas segalanya galanya, bahkan kepercayaan. Terus berusaha memperjuangakan hal semu yang jelas jelas tidak bisa diperjuangkan walau perputaran dunia berbalik arah.

-

Feb 14 2022.

‘You receive a new mail!’

To find each other, we have to get lost first.

Joshuahong, Feb 14, 21:13 to me.

Dari angka 3 menuju puluhan angka yang akhirnya aku temui, dan beribu kemungkinan yang dunia suguhi, aku selalu bersyukur perputarannya pernah berhenti di kamu.

Aku selalu bersyukur pernah mendengarkan sebuah lagu dan teringat soal kamu. Sajak yang tidak sengaja aku baca, maka kamu yang tiba tiba akan jadi tokohnya utamanya.

Dari berpuluh memori asam pahit dan manis kehidupan, aku lagi lagi bersyukur ada kamu di dalamnya. Mungkin akan aku perjelas, aku bersyukur kamu lahir dan memijak di bumi. Aku bersyukur kamu ada, dan aku bersyukur pernah dicintai oleh sosok yang luar biasa.

Hari ini aku telah bersumpah diatas nama Tuhan bahwa hidup dan mati, sehat dan sakit, kaya dan miskin, aku akan selalu Bersama dengan dirinya, yang sayangnya bukan kamu sosoknya.

Dan hari ini juga, dengan luar biasanya kamu ada disana.

Hari ini, aku lagi lagi berdoa. Meminta kepada Tuhanku agar disampaikan juga pada Tuhanmu. Bahwa semoga ada pertemuan lain di garis takdir yang lain, bahwa ada permulaan baru di bumi yang lain, bahwa ada namaku dan namamu dalam satu garis kepercayaan yang sama.

Maka sebelum itu, kita harus sama sama kehilangan untuk menemukan.

Agar kita mampu saling melepaskan kerinduan setelah banyaknya tahun tanpa ujung yang terlewati di dimensi yang lalu. Agar supaya kita mampu untuk saling menghargai atas kehilangan yang terjadi, agar supaya kita terus mencintai sampai akhirnya mati dan hidup kembali.

With love, Joshua.

—fin.

nih ya gue kenalin, kalau dia yang malam ini mau gue tonton performance menyanyinya adalah memang mantan gue. Gue udah lupa sejak kapan gue udah putus sama dia, tapi jujur aja belakangan gue lagi kepikiran sama sosoknya.

Soonyoung udah sering banget ngajakin gue main ke cafe, ke tempat biasanya dia manggung, karena dia emang suka nyanyi dan suaranya bagus banget.

Pertemuan gue dan dia dulu juga gak jauh jauh dari panggung, sebagai mahasiswa baru yang ambisius, gue pengen nyari jajan sendiri waktu itu. Karena gue adalah salah satu anak band di kampus dan gue capable buat main gitar, gue pikir pikir kalau jadi bagian dari band live suatu tempat, gak masalah kali ya walaupun bayarannya elastis tapi ya emang sekali manggung di cafe bayarannya lumayan buat gue.

Dan disitu pertama kali kita ketemu. Dia yang nyanyi, dan gue yang ngiringin suaranya pake petikan gitar.

Dan disitu juga pertama kali gue jatuh cinta ngeliat dia. Cara dia meresapi lagu yang dia nyanyiin, dan gimana dia jatuh ke dalam lagu itu sendiri.

Coi, dunia rasanya berhenti berputar. Dan rasanya cuma gue sama dia aja yang nempatin bumi ini.

Singkat cerita setelah banyak tukaran pesan dan telfon, gue sama dia jadian. Dan setelah bertahun tahun kita ada di suatu hubungan, atas suatu alasan, kita memutuskan buat mengakhiri segalanya.

Malam ini, setelah lama banget gue gak ngeliat dia, gue bisa ngeliat senyumnya dan cara dia memperbaiki mic diatas stand.

Gak berubah. Tetap cantik, dan seakan akan gue ngerasa kalau dia masih milik gue.

“Aman ya?” Soonyoung menyikut lengan gue.

“Apaan sih”

“Ya manatau nih, kali aja lo tiba tiba mau memulai sesuatu yang baru lagi”

“Bacot” Mungkin gak, ya? Tapi apa emang dia masih sama kaya terakhir kali gue ketemu dia?

Dia duduk diatas kursi, nyilangin kaki, dan mic didepan bibirnya.

“Loving can hurt” Anjing. Gua bener bener mengupat dalem hati. Ini.. lagu gue yang dulu pernah gue nyanyiin sama dia walaupun suara gue pas-pasan.

“Lah, Nyong?”

“Ya suka suka dia lah mau bawain lagu apa” Soonyoung yang udah jadi temen gue maupun temen dia, udah hapal banget ni lagu Photograph punya Ed Sheeran ost nya kita berdua dulu pas masih pacaran.

“Lo kasih tau dia kalau gue bakal kesini?” Soonyoung menggeleng.

“Gue udah jarang juga ngobrol sama dia, paling sesekali doang ngumpul sama anak anak terus kebetulan dia lagi manggung”

“Masa kebetulannya kaya begini sih?”

Soonyoung terbahak. “Gimana, Gyu? Aman kan?”

“Tai lo”

Part yang bisa gue bilang killing part adalah di part “And if you hurt me, well that's okay baby, only words bleed, Inside these pages you just hold me, And I won't ever let you go. Wait for me to come home”

Dulu, setiap malem dari panggilan telfon, gue selalu nyanyiin part itu, diem diem ngumpet dari anak anak kalau lagi ngumpul, sebagai kalimat kalau emang gue nyuruh dia untuk nunggu gue buat pulang.

Dan setelah sampe rumah, kita bakal selalu punya random talks tentang hari hari yang udah kita laluin seharian penuh.

Dan jujur, ngeliat ekspresi dia nyanyiin part itu, bikin gue sakit hati. Kaya seakan akan, dia tersakiti banget sama lagu itu. Ada rasa nyeri di ulu hati gue sampe rasanya pengen banget gue nangis.

Atau, pengen banget meluk dia karena gue kangen, kangen banget.

“Nyong..”

“hm?”

“Who hurts her, ya?”

Soonyoung diem lama, gatau entah emang sedang bersiap buat jawab atau emang sama sekali gak mau jawab atau emang gak punya jawaban.

Setelah lagu Photograph selesai, nada lain mulai menyambangi pendengaran gue dan lagunya sama sekali gak asing.

If the World was Ending, JP Saxe dan Julia Michaels.

“Tuh.. Seokmin”

Gue diem mengkerutkan alis, menatap Soonyoung dan orang yang dipanggil Seokmin tadi yang sekarang lagi berdiri juga didepan bareng dia.

“It's been a year now, Think I've figured out how, How to let you go and let communication die out”

“Lo tau ga, Gyu? Selama dia desperate sendirian ditinggalin lo yang brengsek, dia dibantu bangkit sama siapa? Seokmin”

Deg.

“Kalau lo tanya siapa orang yang paling nyakitin dia, jawabannya bukan lo. Tapi Seokmin”

Anjing.

“Mungkin waktu lo dengan pede milih cewe selingkuhan lo dan ngerasa paling menang karena keliatannya dia butuh banget sama lo ketika lo pergi, dia lebih butuh Seokmin, apalagi pas tau kalau ternyata dia sama Seokmin gak bisa bareng”

“Kenapa?”

“Gyu, ada beberapa hal yang mau dipaksa kaya gimanapun tetep gabisa. Contohnya mereka, manabisa, Gyu, mulai hubungan diatas kepercayaan yang berbeda? Siapa yang mau ngalah?”

Gue diem, bener apa kata Soonyoung. Dulu gue bahagia bahagia aja pas ninggalin dia dan milih cewe hasil selingkuhan yang gue mau. Ngerasa kalau dia yang lebih butuh gue dibanding gue yang butuh dia. Tapi sekarang, gue kosong melompong.

Dari sini, ngeliat Seokmin nyanyi bareng dia, bahkan menghindari kontak mata, ngeliat bagaimana ekspresi keduanya, gue jadi sadar kalau ternyata, diatas gue, masih ada keadaan yang lebih brengsek buat nyakitin dia, buat nyakitin mereka.

Dan akhirnya kembali lagi bikin gue sadar bahwa, gue bukan apa apa, dan gue bukan segalanya.

“I know, you know, we know You weren't down for forever and it's fine .I know, you know, we know We weren't meant for each other and it's fine”

—.


“Will I ever get over my first love?”


“Yoon Jeonghan, 10 tahun”

Pertama kali Jeonghan memperkenalkan dirinya dan kali pertama aku bertemu dengannya di sebuah panti asuhan.

Jangan tanya kenapa aku ada disini, anak anak panti bilang, ibu panti menemukanku disebuah keranjang didepan pintu di tengah hujan lebat yang mengguyur kota. Aku, hanya di peluk kasih saying oleh Ibu panti.

Kembali lagi kepada Yoon Jeonghan, dia banyak diamnya, selalu menghabiskan waktu sendirian.

Di sudut literasi di panti asuhan, aku selalu menemukannya sedang membaca seorang diri, melukis atau terkadang menulis. Dan aku hanya gadis berumur 8 tahun yang banyak ingin tahu nya kala itu.

“Kakak, mamah sama papahnya kemana?” Dirinya yang saat itu tinggi menjulang melebihi diriku membuatku harus mendongak.

“Bukan urusan kamu” Ia kemudian pergi berlalu meninggalkan aku yang cemberut dan menahan tangis. Ibu panti kemudian datang dan menggenggam bahuku, mengusap rambutku yang saat itu senang dikucir kuda.

“Nak, kakak Jeonghan nya jangan di ganggu dulu ya?”

“Emangnya aku salah ya, bu? Nanya ke Kak Jeonghan kaya gitu?”

“Engga salah kok, cuman kak Jeonghan nya lagi sakit”

“Kalau gitu aku boleh jenguk ke kamar kak Jeonghan?”

“Boleh, tapi nanti ya?”

“Nanti sore?”

“Nanti.. Waktu kak Jeonghan nya udah sehat aja”

Umurku masih 8 tahun, dan aku sama sekali tidak mengerti maksud ibu panti ketika melarangku untuk menemui Jeonghan. Padahal, wajahnya terlihat bersahabat dan dari pertama kali pun aku ingin sekali berteman dengannya.

Disetiap jam makan, Jeonghan tidak pernah menghabiskan makanannya, dia akan selalu pergi meninggalkan meja makan duluan dan memilih berdiam diri dikamarnya.

Panti asuhan dibiayai oleh pemerintah daerah setempat. Segala fasilitas, kebutuhan serta pendidikan telah terjamin, maka aku pergi ke sekolah dasar terdekat bersama anak anak panti yang lain, tidak terkecuali Jeonghan.

Jeonghan masih sama, tidak mau berjalan beriringan dengan teman teman yang lain ketika berangkat ke sekolah dan memilih berjalan seorang sendiri. Kalaupun bertemu di lingkungan sekolah, Jeonghan lebih memilih berlalu dan tidak menyapa.

Aku selalu menemukan dirinya berdiam diri dibawah pohon di belakang gedung sekolah.

“Ini” Kataku saat itu menyerahkan sebotol minuman dingin. Ia mengkerutkan alisnya.

“Apaan?”

“Kata Ibu panti kamu sakit”

“Aku lebih tua dari kamu”

“Kak..” Ia kemudian menatap botol minuman dan wajahku secara bergantian, namun pergi meninggalkanku.

Ketika langkahnya hampir menjauh, ia berbalik, “Makasih, tapi jangan ganggu aku”

“Kak..” Panggilku. Ia yang tadi sudah setengah berlalu lagi lagi harus membalikkan badannya menatapku.

“Apa?”

“Aku mau temenan sama kakak, gak boleh ya?”

“Aku gak mau punya temen” Kali ini, dia benar benar hilang dibalik gedung sekolah meninggalkanku sendirian.

-

Hari ini panti asuhan mendapatkan donasi buku baca, ada berpuluh kotak yang diturunkan dari truk dan aku rasa ada ratusan buku jika dijumlahkan seluruhnya. Dan aku jadi yang paling girang ketika melihat banyaknya buku didalam kotak kotak besar dihadapanku.

Ketika aku memilih satu buku dengan hard cover, tiba tiba Jeonghan muncul disampingku dan ikut duduk menggali tumpukan buku, anehnya, diumurku yang masih belia kala itu, eksistensi sederhana Jeonghan membuatku tersenyum hebat.

Jeonghan mendapat buku yang ia mau, ia menatapku sekilas tanpa senyum kemudian bangkit dan meninggalkanku.

“Kak Jeonghan..” Aku menyahut kecil, ia menoleh.

“Aku mau baca buku bareng kakak, boleh?” Ia menggeleng, naik ke lantai atas dan dapat aku dengar suara pintu yang berdecit tertutup. Aku membuang nafas, merengut dan menatap buku ditanganku.

Yasudah, mungkin Jeonghan butuh waktu untuk mau berteman denganku, setidaknya sebagai anak berumur 8 tahun, begitu bersikerasnya aku agar bisa berteman dengan seorang Yoon Jeonghan.

Suatu malam, aku terbangun karena harus buang air kecil. Di lorong remang rumah panti, aku berjalan pelan menyusuri, sedikit takut sedikit berani, karena aku tidak mau harus membangunkan ibu panti jadi mau tidak mau aku memang harus memberanikan diri.

Ketika aku melewati kamar Jeonghan, aku mendengar isak tangis.

Tanpa pikir panjang, aku buka pintu kamarnya yang tidak terkunci.

Jeonghan terkesiap ketika menemukanku berdiri di ambang pintu, “kenapa gak di ketok?!” Suaranya yang sedikit meninggi membuatku mundur beberapa langkah.

“M-maaf kak.. tadi aku denger ada suara nangis..”

“Keluar..”

“Kakak gak papa?”

“Keluar..” Aku menunduk, kemudian perlahan melangkahkan kaki keluar dari kamarnya.

“Kak.. kalau kakak pengen punya temen cerita pas lagi sedih, kamar aku nomor 2 ya kak. deket kamar ibu panti..” Dirinya sama sekali tidak menoleh, kemudian aku tutup rapat pintu kamarnya.

Besok pagi, aku berangkat ke sekolah sendirian, karena anak anak yang lain sudah berangkat lebih dulu dan aku sebenarnya agak kesiangan bangun pagi.

Aku berjalan cepat, sedikit ngos-ngosan dan menggenggam ranselku kuat. Aku takut, aku takut kalau gerbang sekolah sudah terlanjur di tutup. Aku takut aku akan terlambat masuk kesekolah.

Disela langkahku yang terburu buru, kakiku menyandung sebuah batu.

Rok diatas lutut yang aku kenakan membuat lututku harus berdarah darah karena terkena aspal, tidak terkecuali siku serta daguku. Aku meringis, sekuat tenaga menahan tangis.

Tapi kemudian, dapat aku dengar suara langkah kaki berlari menghampiriku, ketika aku mendongak, kutemukan Jeonghan dengan raut wajah khawatirnya.

“Kamu gak papa?”

Aku menggeleng, “Sakit.. Kak..”

“Yaudah, aku gendong aja kita balik ke rumah ya?”

“Gak papa kak Jeonghan gendong aku?”

“Gak papa, di belakang ya?” Aku mengangguk.

Jeonghan kemudian memindahkan tas ranselnya kedepan, berjongkok dan aku kalungkan lenganku di lehernya. Bermenit kemudian, aku seperti anak koala yang menyangkutkan diri di punggung Jeonghan.

“Kakak telat juga kenapa? gara gara semalem gak bobok ya?”

“Iya..” Cicitnya.

“Aku boleh tau gak kenapa kakak sedih?”

“Kapan kapan aja taunya..”

“Yaudah kalau gitu..”

Aku dan Jeonghan pada akhirnya tidak pergi kesekolah hari itu. Jeonghan membantu Ibu Panti membersihkan lukaku, dan menemaniku sarapan karena pagi tadi tidak sempat.

“Jeonghan gak mau makan juga, Nak?” Dirinya menggeleng, kemudian mengeluarkan buku bacaannya keatas meja.

“Ini.. buku apa kak?”

“The Little Prince”

“Cerita tentang apa?”

“Petualangan pangeran kecil dari planet Asteroid B-612 yang ketemu sama orang dewasa yang mimpinya di runtuhkan waktu masih kecil”

“Pangerannya berarti alien?” Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat Jeonghan terkikik kecil.

Ia mengangguk. “Iya, Alien”

“itu orang dewasanya emang mimpinya apa? kenapa diruntuhin?”

“hm.. orang dewasanya itu sekarang jadi pilot, tapi dulu dia pengen jadi pelukis. karena waktu si pilot masih kecil selalu disuruh belajar akademik, jadinya dia gak sempet buat kejar mimpinya” Diumurku yang masih 8 tahun, melihat Jeonghan berumur 10 tahun menjelaskan secara detail sebuah kisah seperti itu, membuat mataku seakan berbinar. Dirinya, mengesankan.

“Kak.. tadi makasih udah tolongin aku”

“Iya.. sama sama”

“sekarang.. kakak udah mau temenan sama aku?” Ia menutup bukunya, membuatku menunduk sedikit takut, berspekulasi mungkin dia terusik karena aku terlalu banyak bertanya.

Tapi kemudian, dia sentuh ujung bibirku, menunjukan sebutir nasi yang dari tadi menempel disana, lalu mengangguk. “kamar nomor 2, kalau aku sedih, boleh cerita kesana kan?”

-

“YOON JEONGHAANNN!!!” Aku menggedor pintu kamar mandi. “AKU MAU BUANG AIR BESAR CEPETAAANNNNNNN!!”

Tidak ada sahutan.

“KAMU TIDURR YAA DIDALAAMM?!!!”

Decit pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan rambut coklat Jeonghan yang basah serta rintik air yang jatuh dari sana.

“LAMA BANGET! MINGGIR!”

Aku menyenggol tubuhnya, buru buru masuk dan membuka penutup toilet duduk.

“YOON JEONGHANNN!!! KENAPA GAK DISIRAAAMMMMMMMN!!”

“RASAIN SIAPA SURUH BERISIKKK”

Ketika aku panik dan ingin membuka pintu kamar mandi, ternyata ditahan olehnya dari luar.

“AAAAAAAAA BAAUUUUUU!”

“HAHAHAH RASAIN”

“YOON JEONGHAAANNNNN!!!!!”

-

“Berapa kali harus Ibu bilang kalau di rumah panti gak boleh berisik? apalagi teriak teriak?” Aku dan Jeonghan menunduk, sesekali saling sikut.

“Jeonghan!” Jeonghan terkesiap. “Kamu tu ada aja ya tingkahnya?”

“Iya bu, maaf”

“Berapa umur kamu?”

“17..” Ibu panti menggeleng.

“Ibu gak mau ya seminggu ini liat kalian berdua bareng terus. Gak mau liat kalian berdua makan sebelahan, pergi sekolah bareng, main dibelakang rumah panti, baca buku berdua, pokoknya apapun” Wanita paruh baya tersebut menarik nafasnya.

“Atau salah satu dari kalian Ibu carikan orang tua angkat” Kemudian ia berlalu.

“Kamu sih..” Kataku, lagi lagi menyikut.

“Kamu aja”

“apanya?”

“Dapet orang tua” Aku memutar malas mataku, menyilangkan tangan didepan dada.

“Dimana mana yang datang tuh mau adopsi kamu, bodoh banget gak mau”

“Gabisa nego soalnya”

“Lah anjir emang jualan?”

“Aku tanyain, dia mau buy one get one gak, gitu. tapi kata dia gak mau, yaudah deh gak jadi”

“Hah? buy one get one?”

“iya beli aku gratis kamu”

“tolol” Jeonghan tertawa. “udah 17 tahun otaknya kaya anak 7 tahun”

“Iya yang udah tua, ampun” Kepalanya aku jitak, sampai sampai anaknya harus meringis kesakitan.

“Tapi kan kamu gak bisa selamanya disini terus, Jeonghan. Kamu tuh udah sia siain banyak kesempatan buat hidup enak loh”

“Selama ini juga hidupku enak kok disini”

“Bohong banget”

“Percuma kalau aku hidup enak, tapi harus kehilangan seseorang lagi”

Aku diam. Menatap dirinya yang menyunggingkan senyum tipis dan cepat.

“Mamah sama Papah kamu kan orang paling penting dihidup kamu, Jeonghan. Kalau aku gak ada pengaruh apa apa kalau pun hilang. Lagian kan aku bakal disini terus, gak kemana mana”

“Ya terus kalo aku pergi yang harus aku isengin siapa?”

“Mamah sama Papah baru kamu”

“Ada juga aku dipulangin lagi kesini” Kita berdua tertawa.

“PISAHHH!!“ Teriakan Ibu panti kemudian membuatku dan Jeonghan berdiri meninggalkan tempat kami berbincang sekaligus dimarahi tadi, berjalan menuju kamar masing masing.

Dari jauh, ia mengerlingkan matanya kemudian masuk ke kamar, menutup pintunya pelan. Didepan pintu kamarnya tertulis 'Jeonghan’s place of escape. Do not enter unless you are the owner of pixy dust'

Aku menatap pintu kamarku kemudian, tersenyum hangat membaca papan gantung serta tulisan sederhana terukir disana 'pixy dust factory.'

and we are the fairytale itself, made our own folklore, dance to our imaginary poems.

-

Ibu panti meletakan lauk diatas meja makan, sibuk dari tadi bulak balik dari dapur kembali lagi kesini, bahkan menyuguhkan aku dan anak anak lain air putih padahal kami bisa mengambil sendiri.

“Ibu.. besok besok gausah di suguhin kaya gitu lagi” kataku. Kali ini aku duduk bersebrangan jauh dari Jeonghan.

“Gak papa.. Sesekali aja” Ia tersenyum.

“Jeonghan, surat penerimaan mahasiswa baru dari kampus tadi pagi udah sampe” Aku menatap maniknya yang terkejut, pun aku disini yang ikut terkejut.

“Ibu udah baca?” Tanyanya. Ibu panti hanya menggeleng.

“Ambil di meja ibu ya, Jeonghan”

Setelah selesai makan, aku dan Jeonghan berjalan beriringan menuju ruang Ibu Panti, melihat satu amplop kertas yang terletak tepat ditengah nya.

Mata Jeonghan bergetar.

“Nunggu apa? ayo cepet ambil” Kataku.

“Aku takut”

“Apapun hasilnya, pasti yang terbaik, Jeonghan. Entah itu diterima atau enggak” Tangannya kemudian meraba, mengambil dan merobek kertas amplopnya. Perlahan ia membentang kertas yang terlipat tadi, pupil matanya bergerak ke kanan dan kekiri, membaca.

“Gimana?” Tanyaku. Ia diam. “Jeonghan? Gimana? kok malah diem?”

Tidak sabar, aku merampas kertas yang di pegangnya, membacanya dengan seksama, dan—

“JEONGHAAAANNN!! INI BENERAN? KAMU DITERIMAAA!” Aku guncang tubuhnya yang masih terdiam diatas pijakannya sendiri.

“Ih ya ampun kamu akhirnya kuliah di universitas negeri jugaa, Jeonghan!” Aku tertawa bahagia, namun raut wajah Jeonghan menunjukan sebaliknya.

“Jeonghan? Kok kamu gak ada bahagia nya gitu sih?”

“A-aku..”

“Kamu?”

“Aku mana bisa ninggalin Mamah sama Papah..”

Dulu sewaktu aku berusia 10 tahun, dan Jeonghan 12 tahun, di umur itu pertama kalinya Jeonghan masuk ke kamarku dan menangis.

Malam itu hujan, petir menyambar dan ia mengetuk kamarku keras.

Aku menemukannya diambang pintu dengan mata yang sembab.

“Kak Jeonghan kenapa?”

“Aku takut petir”

“Aku gak takut, gak papa sini aku temenin”

Lampu yang sebelumnya aku matikan, kini hidup dan terang benderang. Dapat aku lihat ujung hidungnya yang berwarna agak kemerahan.

Ia duduk dipinggir kasurku, menunduk dan ketika petir menyambar, ia menutup telinganya rapat rapat.

“gak papa.. Kak. Ada aku” Aku tepuk tepuk pundaknya, berusaha menenangkan.

Ketika hujan sudah sepenuhnya reda, dapat aku lihat raut wajahnya yang penuh dengan ketenangan.

“Kakak.. kok bisa takut petir?”

Ia diam, membuatku kala itu bingung apakah dirinya sedang berusaha untuk menjawab atau sama sekali tidak mau menjawab.

“Waktu itu hujan, petir..” Cicitnya, bahkan tidak terlalu terdengar oleh telingaku. “.. dan ada darah”

Jeonghan bilang, dulu kalau hujan dan petir datang, Mamah nya selalu akan memeluknya. Beringsut bersama diatas kasur dan memeluknya erat. Menenangkan dirinya dan terkadang menyanyikan lagu nina bobo supaya Jeonghan tetap tau bahwa Mamahnya masih ada disana.

Namun, di tengah hujan dan petir pun, Jeonghan harus kehilangan kedua orang tuanya atas sebuah kecelakaan beruntun dan membuatnya harus tinggal di panti.

Jeonghan selamat, entah keajaiban apa yang terjadi, Jeonghan hanya mengalami luka ringan disekitar tubuhnya. Tapi luka masa lalunya, sampai di umur belasan pun belum sembuh sempurna.

Ia selalu mengajakku menjenguk Mama dan Papanya, kami selalu berdoa bersama diatas pusara keduanya dan menyebarkan bunga.

“Mama sama Papa pasti seneng kalau aku cerita punya temen kaya kamu” Dua minggu yang lalu, ketika kami berdua datang ke pemakaman.

Aku tersenyum, menatap manik matanya yang menyembunyikan rasa rindu setelah kepergian kedua orang tuanya bertahun tahun yang lalu.

“Kamu nanti kalau ada yang mau adopsi lagi, bakal sering main ke panti gak?” Tanyaku. Ia tersenyum.

“Aku gak mau, aku tetep mau pulang ke panti”

“Walaupun nanti udah nikah?”

Jeonghan diam, tidak menjawab.

“Alasan kamu tetep harus balik ke panti emang apa sih, Jeonghan?”

“Kamu”

Kali ini, giliranku untuk diam seribu bahasa. Berusaha mencerna kata yang barusan terlontarkan dari mulut Jeonghan.

“Aku gak mau kalau nanti aku pulang kamu gak ada”

“Jeonghan—“

“Aku juga sebenernya berat harus pergi kuliah keluar”

“Jeonghan..”

“Hm?”

“Aku bakal nungguin kamu. Aku, Mama sama Papa.. bakal selalu nungguin kamu”

3 bulan kemudian, Jeonghan akhirnya berangkat pergi keluar kota untuk kuliah. Sedangkan aku menetap di panti dan lanjut bersekolah.

Tapi sayangnya, Jeonghan tidak pernah kembali ke panti.

Bohong kalau aku bilang aku tidak menunggu kepulangannya, setiap malam, di lorong sunyi dan sepi aku menatap lamat pintu kamarnya. Tersenyum kecil pada tulisan sederhana didepannya, dan berharap ada sosok yang muncul di ambang pintu.

Ibu panti tidak pernah membuka topik perihal Jeonghan, seakan akan Jeonghan tidak pernah ada, seakan akan Jeonghan bukanlah bagian dari kami dahulu.

Bahkan ponsel sederhana yang aku miliki, tidak pernah memunculkan nama Yoon Jeonghan di layarnya.

Aku rindu, selalu menerka nerka apa yang sedang dilakukannya disana. Makan apa dia, atau apakah akhirnya dia punya seseorang untuk di isengi?

Pada satu malam, aku membuka pintu kamarnya.

Tidak pernah berubah, bahkan segala letaknya dari kami belum berkepala satu. Aku duduk di pinggir kasurnya, mengusap selimutnya yang agak berdebu setelah berbulan tidak pernah tersentuh.

Aku menatap kosong lantai kamar, tersenyum tipis mengingat banyaknya hal yang sudah terjadi disini.

Saling bertukar cerita akan mimpi yang di gantungkan, diam diam memakan kue coklat buatan Ibu panti, atau kadang kabur lewat jendela hanya untuk sekedar bermain di taman bermain tua di pekarangan kompleks perumahan panti.

Semuanya, kadang ingin aku ulang kembali.

Tidak terkecuali, satu pengakuan di malam hari ketika lampu rumah panti seluruhnya padam.

“Jeonghan, hidupin lilin”

“Sabar, aku lupa taro lilin dimana”

“Di laci”

“Kok?”

“Aku tau kamu selalu lupa ngambil lilin kalau udah habis, jadi aku ambilin”

“Kamu masuk kamar aku diem diem ya?”

“Biasanya kalau kamu telat pulang sekolah aja sih. Tapi kan didepan katanya yang boleh masuk yang punya pixy dust” aku terkikik kecil, menatap sekelebat dirinya yang sibuk ingin menghidupkan lilin.

Ketika cahaya merah lilin mengiluminasi wajahnya, ia duduk disebelahku. Kami menyandarkan punggung kepada pinggiran kasur, melipat kaki di lantai dan melihat cahaya api kecil menari diatas sumbu.

“Emang yang punya pixy dust cuma kamu aja?”

“Iya, coba tanyain anak anak lain, punya gak”

“Itu mah cuma fantasi kamu aja waktu masih kecil dulu”

“kamu waktu masih kecil punya fantasi gak, Kak?” Jeonghan terbahak. “Kok ketawa?”

“Gak papa, udah lama aja kamu gak manggil aku ‘Kak’ “ Ia tersenyum. “Hm.. fantasi..” Ia mengetuk dagunya dengan jari telunjuk beberapa kali.

“Menurut kamu, cinta itu bagian dari fantasi gak?”

“Menurut aku?” Jeonghan mengangguk. “Hm.. iya. Kayanya.”

“Kok kayanya?”

“Aku tuh masih kecil, gak paham kaya gitu gitu”

“Kamu emang gak punya orang yang kamu suka disekolah?” Aku menggeleng. “Kamu?” Giliran aku yang bertanya.

“Ada, tapi bukan disekolah”

“Terus?” Jeonghan mengusap tekuknya.

“Jawab aja dulu sebisa kamu kenapa cinta itu fantasi?”

“Ya emang gitu kan? Soalnya perasaan yang dirasain aja kasat mata, tapi kadang jadi magical soalnya bisa ngerubah orang lain”

“Oh ya? Cinta bisa ngerubah orang lain?” Aku mengangguk.

“Kenapa kamu bisa mikir gitu?” Sambungnya. Aku tersenyum kecil, menggeleng kemudian mengangkat bahu tinggi tinggi.

Senggang, kami menatap lilin yang cahayanya tidak terlalu mampu menerangi seluruh ruangan.

“Fantasiku.. kadang porosnya kamu..” Aku menoleh, sedikit membulatkan mata karena terkejut.

“Iya aku masih kecil, tapi kalau udah sama kamu kadang aku selalu mengharapkan happily ever after kaya di dongeng anak kecil”

Lucu. Dua anak lugu, tanpa tau bagaimana perputaran dunia di luar sana, kami berharap.

“Tapi aku sadar, aku masih kecil dan kamu juga. Jadi, fantasi aku cuma sekedar, ‘besok kira kira bahasan apa lagi yang bakal kita obrolin ya?’ atau ‘apa bakal seseru hari ini?’ gitu. Karena kalaupun mikirin buat memiliki kamu, waktu kita belum tepat, kan?”

“Menurut kamu, waktu yang tepat itu kapan?”

“Relatif, entah waktu kamu umur 18, aku 20, atau mungkin lebih dari itu”

“Kenapa?”

“Kita masih terlalu muda buat paham soal fantasi cinta, karena dengan pemikiran kita yang masih sempit, aku takut definisi cinta itu sendiri kita salah artikan” Ia mengusap puncak kepalaku.

“Dimanapun kamu, dimanapun aku, tungguin ya. Sampe kita ketemu waktu yang tepat”

Dan itu, alasan kenapa aku masih berdiri disini menunggu lekuk dimensi wajahnya kembali muncul diambang pintu.

Mungkin untuk sekedar memeluk Ibu panti, atau bolehkah aku berharap untuk memelukku?

-

Seorang anak kecil berlari jatuh dalam rengkuhan pelukku dan menangis, Jeno, umurnya 10 tahun.

Sudah semenjak tadi pagi, ia terus menggenggam tanganku, tidak memperbolehkanku pergi kemanapun.

“Adek.. Gaboleh nangis terus, di doain Ibu, supaya tenang”

Ibu pengurus Rumah panti dini hari harus pergi, dokter bilang beliau terkena serangan jantung.

Dan sebagai yang paling tua disini, aku harus merangkul anak anak lain yang hatinya patah, hancur dan berantakan.

Ibu panti adalah pengganti orang tua yang baik untukku. Ia merawat anak anak dengan tulus, menganggap bahwa kami semua lahir dari rahimnya sendiri. Maka atas segala kebaikan tanpa batas, Tuhan hadiahkan ia tempat tenang disana.

Pukul 12 siang, Ibu dimakamkan. Isak tangis menggelegar, terutama dari suara anak anak lainnya yang melepas kepergian Ibu dengan berat hati.

Langit hari ini teduh, tidak panas pun tidak mendung, seakan akan bersuara bahwa segalanya akan baik baik saja dan kami hanya perlu mempercayakan segalanya pada yang di-Atas sana.

Dan setelah semua selesai, rumah panti jadi lebih sunyi.

Penanggung jawab daerah setempat sedang mencarikan pengganti untuk Ibu, dan sampai disaat itu, suasana di rumah panti suram, tak ada senyum merekah di wajah anak anak lain.

“Kakak udah makan?” Jeno kecil menarik bajuku. Aku tersenyum, menggeleng. Suara daun bergesekan dari halaman belakang rumah. Anak kecil itu kemudian duduk di tempat kosong kursi panjang disebelahku.

“Makan sama Jeno yuk, Kak? Nanti kakak sakit” Aku mengusap ubun ubun nya.

“Jeno udah makan?” Dirinya menggeleng.

“Yaudah, Jeno makan dulu. Nanti kakak janji bakal nyusulin Jeno, ya?“ Ia mengangguk manis kemudian berlalu masuk kembali ke dalam. Di ujung sana, langit perlahan mulai berubah warnanya menjadi oranye keungu-ungan, matahari bersiap tenggelam.

“Makan dulu”

Aku mendongak, ketika suara seseorang mengejutkanku.

Lekuk dimensi wajah yang familiar, suara berat yang tidak asing, dan senyum simpul kecil di kedua sudut bibirnya.

Mataku panas, tenggorokanku tercekat. Tidak percaya, bahwa Yoon Jeonghan ada dihadapanku, setelah bertahun tahun eksistensinya aku pertanyakan keberadaannya.

“Bener kata Jeno, nanti sakit”

Aku masih diam. Dirinya kemudian duduk disebelahku, tepat di tempat Jeno kecil duduk bermenit yang lalu.

“Apa kabar?”

Aku menggeleng.

Kemudian, ia tarik dan ia jatuhkan aku dalam rengkuh hangat pelukannya.

“Engga papa.. kita doain Ibu ya supaya baik baik disana. Kamu boleh nangis, sekarang gantian aku yang rangkul kamu setelah kamu ngerangkul anak anak yang lain..” Ia tepuk pelan pundakku, ia jatuhkan dagunya diatas ubun ubunku.

“Kamu boleh sok kuat didepan yang lain, didepan aku gak perlu”

Ada rasa nyeri di ulu hatiku ketika mengetahui bahwa Ibu panti harus pergi untuk selama lamanya, namun air mataku terus tertahan. Aku terus berusaha menguatkan anak anak lain, dan sebelum itu, diriku sendiri harus lebih dulu di kuatkan.

Namun didepan Jeonghan, aku pecah. Aku meraung, membenamkan wajah di bahunya.

Perasaan campur aduk, menangisi kerinduanku atas sosoknya dan Ibu yang harus pergi selamanya.

“Engga papa.. Ada aku”

Jeonghan-ku yang bertahun tahun aku rindu, hari ini merengkuh tubuhku, jiwa rapuhku.

-

Malam semakin malam, rumah panti jadi lebih diam. Biasanya sampai pukul 10 malam pun, anak anak masih bercanda dan tertawa di seluruh lokasi rumah.

“Kamu pulang kesini?” Aku bersama Jeonghan kembali duduk di bangku panjang halaman belakang, dengan dua gelas teh hangat di masing masing tangan, Jeonghan menggeleng.

“Kuliah kamu, gimana?” Kali ini Jeonghan yang melemparkan pertanyaan.

“Aku kuliah di universitas swasta disini, Jeonghan”

Ia mengangguk. “Kamu jadi ambil jurusan Arsi?”

“Enggak”

“Loh kenapa?”

Aku tersenyum masam, “Kadang, gak semua mimpi harus sama kaya kenyataan, kan?”

“Terus kamu jadinya ambil jurusan apa?”

“Aku.. ambil pendidikan bahasa inggris. Aku mau jadi guru”

“Enak banget ya yang sekolahnya ada kamu jadi guru bahasa inggrisnya”

Aku tertawa kecil sambil menunduk menatap isi gelas yang aku genggam.

Senggang, seperti ada sekat tebal yang membuatku dan Jeonghan terasa jauh.

“Kamu.. apa kabar, Kak?” Dirinya menoleh, menatap dalam menuju manik mataku, dapat aku lihat getaran disana serta matanya yang mulai berkaca kaca.

“Jangan panggil kaya gitu”

“Loh.. kenapa?”

“Bawaannya jadi sedih”

“Karena udah lama gak denger ya?” Ia menyunggingkan senyum kecil tanpa melihatku.

“Kamu kemana aja selama ini, Jeonghan?” Ia diam, masih belum mau atau mungkin belum mampu menatapku. “Mimpi kamu yang mana yang akhirnya berhasil kamu wujudin? Gak mau cerita sama aku?”

“Banyak..” Dirinya akhirnya bersuara. “Bahkan yang gak aku mimpiin juga terwujud” Dan akhirnya berani menatapku.

Waktu melesat cepat seperti cahaya, aku hampir lupa, bahwa orang ini yang dulu menggendongku di punggungnya ketika aku jatuh di pinggir jalan. Hari ini, segala mimpinya serta merta terwujud.

Tidak lama, ia merogoh kantongnya, mengeluarkan sesuatu kemudian menyerahkannya padaku.

“Jeonghan?”

“Umurnya 2 bulan”

Aku membekap mulutku, menatap satu foto yang saat ini sedang aku genggam. Seorang bayi perempuan, dan kata Jeonghan umurnya 2 bulan.

Kini, ia berlutut didepanku.

“Kamu.. nungguin aku?“ Duniaku seakan akan berhenti berputar malam itu. Menyaksikan bahwa semesta ternyata tidak selalu merangkulku, tidak selalu berpihak padaku. Aku membekap mulutku, dengan genangan air mata dan foto di tanganku yang satunya, bergantian menatap seseorang yang kini sedang berlutut

“Selalu, Yoon Jeonghan. Selalu.”

“Maafin aku”

Its okay, i’m happy for you

“Kamu bakal nemuin yang lebih baik dari aku dan maaf aku gak pulang selama bertahun tahun bahkan gak ngomong kalau aku akhirnya…—“

“Nikah?”

“Nikah.”

“Jeonghan..” Cicitku. Dirinya masih berlutut dibawah sana, meletakkan satu tangannya diatas lututku. “Kita salah.. Kita selalu berusaha buat nemuin waktu yang tepat, tapi ternyata emang gaada kata tepat buat kita”

“Kamu.. masa kecilku paling indah. Kamu hari besok yang selalu aku tunggu tiap malemnya. Kamu pernah jadi poros di setiap hal yang aku temui, dan buatku itu semua cukup. Bertahun tahun yang panjang ini, cukup.” Suaraku bergetar.

“Maafin aku, udah buat kamu nunggu. Maafin aku, belum bisa berlabuh dan pulang ke kamu” Jeonghan tertunduk.

“Jatuh cinta gak pernah salah dan gaada yang salah soal perasaan, Jeonghan. Kamu gabisa kontrol akan melabuhkan hati sama siapa dan kamu gak perlu minta maaf soal itu, karena memang gaada yang salah”

Jeonghan kemudian mengelus pelan lututku, argumentasi yang aku keluarkan tidak luput dari sesaknya nafas menahan tangis dan perihnya tenggorokanku. Namun tetap, ada bulir bulir air mata yang jatuh deras. “Makasih, udah jadi cinta pertamaku. Aku selalu bersyukur orangnya kamu”

“Jeonghan, makasih, udah jadi cinta tanpa batasku, cinta tanpa henti, cinta tanpa syarat dan segala bentuk cinta lainnya. Makasih, udah selalu jadi yang pertama dalam perjalanan hidupku”

Rumah panti semakin sunyi, ketika Jeonghan akhirnya melangkah pergi. Ia berpamitan, meminta maaf pada yang dirumah sana, mengecup ubun kepalaku lama.

Sekarang, waktuku untuk mengikhlaskan sosoknya. Untuk menerima dengan lapang dada bahwa Yoon Jeonghan yang aku kagumi ini tidak akan kembali lagi. Yoon Jeonghan, telah berlabuh.

Jeonghan tidak pulang, waktu yang panjang untukku menunggu lekuk senyumnya yang kembali hadir ternyata berujung sia sia. Tidak pernah ada waktu yang tepat untukku dan dirinya. Sekarang, yang ada hanya kenangan kecil semata untuk di sorak-soraikan, bahwa ternyata, dulu pernah ada kita sebagai dua rasa atas sebuah cinta pertama.

—fin.


“Let it go, let it leave, let it happen” -rupikaur.


“Kak Seungcheol?” Seorang lelaki bersurai kelam menoleh.

“Hai? Waah udah lama banget” Ia mendekat, menghampiri diriku.

“Banget kak. Kakak udah lama disini?”

“Hmm.. 3 bulan kali ya?”

3 Bulan.

“Kamu sendirian?”

Aku.. Selalu sendirian Kak.

Sudah 15 menit aku mengelilingi gedung pusat seni ini untuk menikmati sebuah festival museum. Lukisan, grafiti, ilusi optik, semua sudah kunikmati. Sampai akhirnya, iris mata yang selalu aku kagumi ini, setelah bertahun lamanya, aku nikmati kembali.

Pupilnya, tatapnya, adalah museum tersendiri untukku.

Sedikit aku ajak menapak tilas bagaimana Kak Seungcheol akhirnya meninggalkan sejarah sampai sampai harus kubuatkan museum sendiri untuknya disini, di sebuah palung paling dalam di sisi hatiku.

3 tahun yang lalu, sebuah commuterline jurusan antar kota melaju meninggalkan stasiun, setiap gerbongnya dipenuhi sesak manusia dengan kepentingannya masing masing, dan aku ada disana, ikut menyesakkan diri dan secara beruntung, mendapati sebuah tempat duduk di kursi prioritas. Aku mengedarkan pandangan, mencari validasi bahwa memang tidak ada orang prioritas yang pantas untuk mendapatkan kursi ini, dan memang tidak ada.

kakiku aku lipat, dan mataku sibuk memainkan ponsel, menolak menangkap tatap orang orang yang berdiri dihadapanku. Sampai ketika commuterline ini sedikit berbelok, kaki seseorang menabrak lututku.

“Sorry..” Aku mendongak, mendapati ia yang berdiri memegang pegangan besi, berusaha bertahan dari guncangan guncangan kecil.

“Iya gak papa, mas”

Sorry?” katanya lagi, kali ini memanggil.

“Iya?”

“Ini..” Ia mengeluarkan kertas. “Kalau berhenti di stasiun ini, nanti di umumin kan?” Aku mengambil kertas yang diberikannya.

Stasiun yang sama denganku.

“Oh iya mas, ntar diumumin pake speakernya. Saya juga turun disini kok”

“Oh.. iyaa makasih ya. Sorry banget soalnya ini pertama kali naik commuterline disini”

“Iya gak papa kok mas”

“Kalau bareng, boleh?”

Boleh.

“Permisi kursi prioritasnya, ada Ibu hamil” Seorang petugas berteriak, aku langsung berdiri, memberikan kursi prioritas kepada yang pantas.

Aku menggapai pegangan dan bersampingan dengan sosoknya.

“Seungcheol” Ia memperkenalkan diri.

“Iya, salam kenal” kataku.

Sorry ya kalau ngerepotin” Aku menggeleng.

“Gaada yang salah kok sama bantuin orang lain”

“Makasih sekali lagi”

“Iyaa mas, sama sama”

Lenggang, yang terdengar hanya suara desingan rel kereta serta mulut mulut manusia lainnya yang sibuk mengoceh bercerita.

“Kamu ada urusan apa kesana?” Tanya Seungcheol.

“Saya cuma mau main main aja kok mas”

“hm.. Panggil nama saya aja gak papa.. soalnya saya bukan orang Jawa” Ia mengusap tekuknya.

“Oh iya Seungcheol?”

“Cheol juga boleh”

“Memang kamu sebelumnya dimana? kok baru kali ini naik commuterline disini?”

“Kuliah, di Korea”

“Oh? Punya keluarga disana?”

“Iya, Papa saya orang sana”

“Blaster?”

“Iya”

“Oh iya keliatan” Ia terkekeh mendengar jawabanku.

“Kok bisa bahasa Indo?”

“Kan Mama saya orang sini, jadi kalau dirumah ngomongnya bahasa Indo”

“Ke Indo memang ada urusan atau gimana?”

“Saya bakal netap disini.. Soalnya Papah udah pensiun” Aku mengangguk.

“Kamu tadi katanya mau main main, sama siapa?”

“Sendirian”

“Sendirian?”

“Iya” Aku mengangguk. Masih sama sama menggantungkan tangan ke pegangan dan mengobrol berhadapan. “Kebetulan ada pameran museum yang diadainnya cuma setahun sekali, sayang kalau gak ikutan. Lagian harga commuterline lagi murah murahnya.. Jadi ya kenapa engga”

Ia mengangguk.

“Kalau saya ikut, boleh?”

Boleh.

“Sebenernya temen saya bilang bakal jemput dan ajak saya jalan jalan, tapi barusan aja pas saya naik, dia bilang harus nemenin Ibu nya Check Up.. jadi.. Saya ditinggalin. Kan sayang kalau saya harus balik lagi” Ia menunduk tertawa, aku tersenyum. “Yaa, in case if you ever need a friend?”

“Iya, Boleh Seungcheol”

“Makasih?”

No worries

Itu.. pertama kali aku memulai percakapan dan pertama kali cerita ini dimulai.

Pameran museum yang selalu aku hadiri dengan membawa diri sendiri, kali ini membawa Seungcheol, sebagai label teman. Aku tidak berekspetasi apapun, kalaupun ia harus meninggalkan ku ditengah agenda ini, maka segalanya akan aku lanjutkan sendiri.

Tapi, sampai sore menjelang malam, aku dan ia malah duduk di bangku taman pinggiran kota dengan cahaya remang dari lampu jalanan, dan pedagang kaki lima dibelakangnya.

“Kamu memang suka seni?” Ia membuka percakapan.

“Suka”

“Udah berapa kali ikut pameran museum kaya tadi?”

“Lupa.. tapi kayanya gabisa dihitung” Ia mengangguk.

“Kalau sendirian gitu apa gak awkward? Maksudnya biasanya tuh kalau ada temen kan bisa foto foto?” Aku tertawa, menggeleng.

“No, aku mau menikmati seni, Seungcheol.. Bukan mau menikmati diriku sendiri”

Well..” Ia mengeluarkan ponsel. “Since you said that you were always gone alone, i took a few pic of you.. let’s see

Kita sama, pasti akan berfikiran kalau laki laki ini gila dan apakah terobsesi sampai sampai mengambil potret diam diam.

“Aku hapus kok, tenang aja.. I ain’t that kind of impolite person.. believe me” Dari sistem Airdrop, setelah ia kirimkan semua hasil fotonya, didepan mataku ia hapus semua fotoku bahkan sampai menghapus ke ‘recently deleted’ agar terhapus permanen.

It was nice to enjoyed an exhibiton with you. Thank you for lettin’ me in

No worries.. hm thankyou juga.. fotonya” Aku mengangkat ponselku ke udara.

Suasana jadi lengang, jalanan di hadapanku pun hanya satu atau dua motor yang berjalan melewati. Sedikit canggung.

“Aku boleh beropini gak?” Seungcheol memecah sunyi. Aku mengangguk. “Menikmati seni tuh emang point penting sih, tapi kadang menikmati diri sendiri juga gaada salahnya. Because all of us is an artwork.. a masterpiece” Sudut bibirnya terangkat, cahaya remang lampu jalanan mengiluminasi wajahnya. Seni rupa 4 dimensi? 5 dimensi? Berapapun dimensinya, tapi malam itu karya seni yang telah Tuhan ciptakan, aku nikmati dengan perasaan.

We are all an artwork. Indeed

“Kalau saya follow sosial media kamu, boleh?”

Boleh.

//

“Aku mau main ke pameran lagi” Suaranya meraung dari seberang sana, malam ini, kami bertukar cerita melalui telfon.

“Yaudah.. kan tinggal main?” Balasku.

“Yaaa masa sendiri?”

“Yaaa terus mau sama siapaa?”

“Yaaaa sama kamuu?”

“Yaaaa kenapa harus sama aku?”

“Yaaaaaa gak papa mau ajaa”

“Yaaaa kasih aku alasan dong”

“Yaaaaaa karena seruu”

“Yaaaa kan kalau main ke pameran cuman nontonin pamerannya aja?”

“Yaaaa emang kenapasih kok gaboleeh” Aku tertawa, kami berdua tertawa.

“Boleh Kak, Ayo?”

“Asikkkk.”

Katanya, ternyata umurnya lebih tua dariku. Semenjak 4 bulan yang lalu, ada banyak pesan yang tertukar lewat sebuah aplikasi chat dan ada banyak panggilan panggilan tak terhitung yang terkadang berasal dari sana.

Ada cerita tak berujung hingga terkadang berakhir aku yang tertidur dengan panggilan yang masih berjalan, pun kadang ia yang tertidur—dengan permintaan “Telfonnya jangan dimatiin, boleh ya?”

Boleh, Kak.

“Kamu kenapa ngajak aku terus? Emangnya temen temen kamu yang lain gak mau?”

“Temen temen aku gak suka seni kaya kamu, gak suka nonton pagelaran, gak suka diajak main ke museum, gak suka diajak ngobrol apakah bakmi juga bagian dari seni” Dia tertawa, kita masih sama sama tersambung dari telfon. “Kenapa? Kamu bosen ya main sama aku?”

“Enggak kok, kenapa harus bosen. Menurutku, aku sama kamu sama sama nyambung kalau diajak ngobrol. Apalagi soal seni hahahah”

“Se-frekuensi?”

“Lebih dan kurang sih gitu”

“Hmm.. Yaudah kalau gitu kita ketemu besok ya.. Di commuterline jurusan antar kota kaya biasa”

Find me ya.. Aku ga bakal bilang aku ada di gerbong berapa”

“Hahaha.. Kalau aku bisa nemuin kamu?”

“Hmm.. Kamu mau apa?”

“Konteksnya?”

“Ya apapun kak, hadiah, atau kamu mau dibayarin makan, atau apa kek..”

“Oke.. Apapun ya?”

“Iya.. Apapun.. Tapi jangan yang aneh aneh loh ya?”

“Aneh aneh tu misalnya gimana?”

“Misalnya kamu nyuruh aku minta nomer telfon petugas kereta”

“Hahaha, ya enggak lah.” Ia tertawa diujung sana. “Tapi bener ini dikabulin ya, apapun? Kecuali mintain nomer petugas kereta?”

“Ya pokoknya jangan yang aneh aneh kaakkkk”

“Iyaa enggak”

But in case.. Kamu gagal dan nyerah.. Grant my wish” Kataku.

“Aku gak bakal nyerah, in the end, you’ll grant my wish

“Oke let’s see. Siapa yang bakal grant a wish. Aku atau kamu”

Okay, deal. So see you tomorrow and.. Goodnight” Telfonnya kemudian terputus, meninggalkan bunyi dan meninggalkan lenggang di kamarku ini. 4 bulan, biasanya beberapa kali ada aku dan dirinya yang menghabiskan akhir pekan dengan bertemu di satu kota untuk sekedar berjalan mengintari jalanan, atau makan bakmi dan berspekulasi apakah bakmi juga bagian dari seni dan pantas dinikmati.

Kak Seungcheol, dan beribu hal magis dari dirinya yang selalu aku nikmati sebagai bagian dari sebuah karya seni. Kali ini, sebuah kupu kupu yang beterbangan di perutku dan rasanya akan keluar dari tenggorokan, kak Seungcheol adalah bagian dari penciptanya.

Commuterline yang sama seperti 4 bulan yang lalu dimana aku pertama kali bertemu dengan sosoknya, aku sengaja duduk di gerbong yang sama dan di kursi yang sama, kursi prioritas.

Harusnya, Kak Seungcheol tidak perlu susah susah mencari, kalau memang hal ini berkesan dan terpatri dikepalanya.

15 menit kereta berjalan, aku belum menemuka sosoknya. Pesan dengan kata menyerah juga belum aku terima dari notikasi bar di ponselku. Aku mengedarkan pandangan, tapi sosok familiar itu belum tertangkap manikku.

Tidak lama seorang petugas berteriak, “Permisi kursi prioritasnya, ada ibu hamil” Lagi, aku harus berdiri dan memegang pegangan besi untuk bertahan dari guncangan guncangan kecil. Kak Seungcheol, tetap belum aku temui dimensi wajahnya.

15 menit.

10 menit.

5 menit, sebelum commuterline berhenti di stasiun tujuan, tapi dirinya belum aku temui dan ponselku belum menerima pesan darinya.

Kalau begini, siapa yang akhirnya menyerah?

Suara familiar dan sentuhan kecil membuatku menoleh, “Got you” Bisiknya dari belakang telingaku. Aku tersenyum.

“Aku lama banget mikirin Clue, gak kepikiran kalau kamu ada disini”

“Emang disini kenapa?” Tanyaku, kini berbalik, sedikit mendongak karena sosoknya yang cukup tinggi, berhadapan dengannya, dan menggantungkan tangan ke pegangan besi.

The first time we met kan?”

“Kamu inget?”

“Ya inget lah.. “

How?”

How? Ya karena..” Ia menggantungkan kalimatnya, kemudian berdeham, “kinda special momment.. I guess” Ia membuang pandangannya keluar jendela, sudut bibirnya tertarik, menciptakan senyum kecil yang berusaha ia sembunyikan.

thank you..” Kataku, ia mengernyitkan alisnya.

“Buat?”

For made it a special one?

“Hahaha.. Weird” Katanya. “I am 27 but it feels like i am 15

well, then I'll figure it out as.. love?

It is.. For sure” Sudut bibirnya semakin naik keatas, tersenyum menatapku.

Ada banyak manusia yang berdiri dan hadir didalam commuterline menuju satu kota dengan urusan masing masing yang berbeda, dan betapa magisnya sebuah hal bisa terjadi didalam suatu waktu seperti ini. Suka dan duka, kebahagiaan dan kesedihan. Tapi aku, sebagai yang beruntung, jatuh cinta.

Pada agenda kali ini, aku dan Kak Seungcheol menghadiri sebuah museum cahaya sumonar. Dan betapa menakjubkannya bagaimana berbagai bentuk cahaya itu bergerak dan mengiluminasi masing masing wajah tiap insan yang ada, tidak terkecuali sosoknya.

Dari samping, aku dapat melihat bagaimana lekuk wajahnya disiram cahaya bergambar yang berubah ubah, terkadang jadi biru, kadang lagi jadi jingga. Irisnya, sesekali mengikuti bagaimana bentuk iluminasi cahaya cahaya itu.

Grant my wish” Katanya tiba tiba.

Sure

Be mine?”

Hah?

“Ha?”

Don’t make me mentioned it twice. Aku tau kamu denger apa yang barusan aku bilang”

“Y-ya.. Aku denger, Kak. Tapi.. Aku coba cari validasi kalau aku memang gak salah denger”

You aren’t

Why?”

“Kenapa apa?”

“Ya.. Why me?”

Ia diam, tersenyum masih menikmati cahaya sumonar dihadapannya.

i do like art, tapi kamu.. It feels like that you are more than an art. Maksudku, lebih dari sekedar menikmati, aku mau memiliki. Boleh?”

Boleh, Kak. A thousand times, akan selalu boleh.

And that’s how we started.

Minggu minggu kelam, ada Kak Seungcheol yang mengajakku sekedar lari dari kenyataan hidup untuk menikmati jalanan sunyi dan dingin disuatu kota yang kita berdua sama sama gak tau ada apa didalamnya. Meromantisasi commuterline, pedagang kaki lima, maupun kursi dingin dipinggir jalanan. Kak Seungcheol, selalu tau bagaimana menghibur dengan hal hal sederhana.

Dan dengan kesederhanaan itu, aku beribu ribu kali jatuh.

Bertahun dia yang selalu meletakkanku di prioritas nomor satunya, dimanapun itu. Mengejarku dari commuterline satu ke commuterline lainnya untuk sampai dikotaku, menjemputku, apapun itu, aku yang selalu di nomor-satu-kan nya.

“Makan dulu” Pada suatu malam dimana ia menemukan bahwa aku harus dirawat di rumah sakit karena terlalu lelah akibat bekerja.

Aku menolak, karna rasanya setiap ada apapun yang masuk ke mulutku, maka akan aku muntahkan detik itu juga.

“Habis ini minum obat, atau kamu mau aku panggilin suster aja biar di suntik lagi”

“Sakit tau”

“Mana sakit sakitan sama masukin ke makanan ke mulut?”

“Akutu mau muntah kalau makan kak..”

“Ayodong, biar kamu minum obat” Di meja disebelah kananku, ada layar laptopnya yang terus menyala, belum disentuh sedari tadi.

“Kamu gak kerja, Kak?”

“Gimana aku mau kerja kalau kamu gak mau makan kaya gini?”

“Tadi katanya ada meeting?”

“Meetingnya udah aku reschedule, biar kamu makan dulu”

“Kalau aku tetep gak mau makan?”

“Ya aku reschedule lagi”

“Kalau tetep gak mau makan?” Ia menutup matanya, kemudian menarik nafas dalam. Tangannya yang dari tadi memegang sendok untuk menyuapiku, kini ia turunkan.

“Bakal aku reschedule terus sampe kamu mau makan, oke? Jadi..” Ia mengusap kepalaku. “Ayo dong, sama sama bikin supaya jadi lebih gampang, ya? Biar kerjaanku selesai, kamu juga udah makan, minum obat, terus tidur, biar akunya juga tenang, sayang..”

Ia terlalu sempurna, sampai sampai rasanya aku tidak pantas mendapatkan sosoknya. Kelembutan, kesabaran, tanggung jawab, dia punya semua itu dan aku, tidak perlu meminta lebih, karena dengan cara sederhana yang ia tuangkan untukku, ia selalu mampu membuatku jatuh terus menerus.

“Iya..” Balasku, kemudian ia cium puncak kepalaku dan pelan pelan aku mulai melahap makanan yang ia sodorkan dengan sendoknya.

Aku memang selalu mengira bahwa aku paham akan dirinya, terlebih ketika dia yang selalu meletakkan aku pada prioritas utamanya. Aku selalu merasa bahwa apapun, dimanapun dan kapanpun, Kak Seungcheol akan selalu mendahuluiku diatas segalanya, kecuali satu, pendidikan.

“Aku mau ngelanjutin S2”

Siang itu terik, matahari sedang ceria cerianya. Dan di sebuah cafe di kota tempatku tinggal, ada geluduk besar yang mengagetkanku, ditengah cuaca terang menderang.

Tanpa sebuah aba aba, tanpa sebuah peringatan.

“Y-yaudah? Gaada masalah antara aku sama kamu kan kalaupun kamu ngelanjutin S2?”

“Kalau aku minta waktu buat kita, boleh?”

“Maksudnya?” Dirinya diam, pemikiranku mulai kacau.

Harusnya waktu itu, tidak boleh, Kak. Aku tarik semua ucapanku soal 1000 kali pun akan selalu boleh, kalau ini, tidak, harusnya tidak boleh.

“Memangnya kenapa? Kan gak ngerubah apa apa, Kak?”

No.. You don’t understand

“Yaudah, jelasin biar aku ngerti”

“Aku..” Katanya, menggantungkan kalimat.

“Kamu kenapa?”

“Aku gabisa jalani dua prioritas yang sama, jadi mau gak mau aku harus korbankan salah satunya, dan pendidikan.. Maksudku, aku udah ngincar universitas ini jauh sebelum aku lulus S1 dan hari ini.. Aku dapet kesempatannya” Kak Seungcheol menunduk, menatap sepatunya.

“Aku gak papa kok, di jadiin nomer dua. Aku paham kak, 1000 kali paham kalau pendidikan itu yang nomor 1, jadi aku akan selalu gak papa soal itu.”

“Aku gak bisa..” Cicitnya, kita terdiam. “Buat ninggalin kamu aja aku sebenernya gak bisa..”

“Jauh ya, Kak?” Tanyaku, kemudian ia keluarkan amplop dan aku baca dengan seksama, Jepang.

Dari sini, aku bisa lihat bagaimana ada rintik air mata yang jatuh dan mendarat di celananya, segera ia hapus jejak air mata tadi di celana juga di pelupuk matanya. Ia menangis, kak Seungcheol menangis. Dan aku, tidak bisa melakukan apapun selain membiarkan dirinya membuat pilihan, karena bertahun lamanya aku melalui hari bersama dirinya, ia belum mendapatkan apa yang pantas ia dapatkan dariku dan hari ini, akan aku berikan semuanya, segalanya, bahkan waktu yang ia minta barusan.

“Kak..” Panggilku. Kini aku berpindah, yang awalnya duduk dihadapannya, kini beralih ke sampingnya.

Aku tangkup kedua pipinya, aku tatap matanya yang mulai memerah, aku hapus sisa sisa air mata yang tertinggal. Hari ini, kak Seungcheol adalah yang nomor satu, diatas sakit, sedih dan duka yang aku tahan, hari ini ia harus mendapatkan segalanya.

I’ll let you go..” Ia terseguk, meraung. “I’ll let you go, kak..”

Hatiku teriris mendengar seguknya, hatiku teriris melihat ia yang berusaha mengusap pelupuk matanya untuk menyembunyikan tetes air yang tak kunjung mereda, hatiku teriris, ketika ia mulai mengatur nafas dan menangkup wajahku dikedua telapak tangannya. “Ingat kan.. Waktu aku nemuin kamu di gerbong kereta tempat pertama kali kita ketemu?” Aku mengangguk.

I promise..” Kalimatnya terputus akibat segukannya. “I promise I'll find you in the other day, ya?”

Dan begitu, bagaimana hari ini aku dan dia yang saling menemukan. Disebuah tempat yang aku maupun dia sama sekali tidak mempunyai petunjuk akan agenda ini. Tapi setelah bertahun lamanya, tanpa kabar, akhirnya kutemukan dirinya, kak Seungcheol yang tidak berubah, kak Seungcheol yang selalu sama dimataku, dan keindahan parasnya.

Hatiku bergejolak, pikiranku mulai menapak tilas pada perasaan perasaan yang dulu sempat ada, mulai mengingat bagaimana hari hari yang aku lalui dengan sosoknya, bagaimana kemudian secercah harapan didalam diriku meronta ronta ingin mencari validasi bahwa pada akhirnya, kita yang saling menemukan, dan pada akhirnya, apa mungkin kembali ada kata diantara kita?

“Kamu sendirian?”

Aku mengangguk, “Kebetulan sendirian, Kak”

“Oh berarti, selama ini gak sendirian ya kalau main ke museum?” Aku tertawa, mengibaskan tangan ke depan wajahku, ada perasaan canggung yang tumbuh diantara aku dan dia. Mungkin karena jarak waktu perpisahan antara aku dan kak Seungcheol yang memang cukup lama.

“Kakak, sendirian?” Senyum yang ia lemparkan kini memudar, kini tangannya menunjuk pada satu orang penikmat seni yang sedang mendongakan kepalanya, menatap sebuah benda yang dipanjang di dinding. Seorang gadis.

“Namanya Wendy, nanti.. Kenalan, ya?”

Kakiku bergetar hebat, senyum simpul diujung bibirku kini jatuh, dan ada rasa nyeri di ulu hatiku.

Aku akan bilang bahwa kebahagiaan kak Seungcheol akan aku letakkan di prioritas nomor 1 ku, tapi bohong kalau aku bilang bahwa aku bahagia melihat dirinya yang ternyata membawa seseorang, bohong kalau aku bilang aku tidak berharap, bohong kalau aku bilang hatiku tidak meringis kesakitan, dan bohong, kalau tidak ada yang menghujam jantungku barusan. Karena kalimat yang baru ia lemparkan, benar benar menembus dadaku.

I am sorry.. I broke my promise. Harusnya aku gak perlu janjiin kamu apa apa..”

But..” Cicitku. “You found me, Kak. You keep your promise and that’s enough

That is not what i mean..

I know what you mean. Tapi coba kesampingkan hal itu, karena kamu memang nemuin aku..”

I am sorry..”

“Aku juga”

“Kenapa?”

“Maafin aku karena harus balik berharap waktu aku dan kamu ketemu kaya gini, Kak. Aku terlalu tenggelam dan berfikir bahwa selamanya aku akan tetap jadi yang nomor 1. it’s okay, kalau dulu kamu selalu menomor-satu-kan aku diatas apapun, kali ini, kebahagiaan kamu akan aku nomor-satu-kan diatas kebahagiaanku sendiri, Kak.” Air mata sialan itu kini mulai jatuh.

It was nice to know you. It was nice to be your number one, once. It was nice and i wish i can turn back time to the good old days, and stuck there. So it will just you and me, and no Wendy..”

Sorry..”

“Kak, you know that i have loved you, kan? I did my best, now go chase your dream with her. It is nice to see you after a long season, aku balik duluan ya, kak?”

Aku berjalan meninggalkan sosoknya, melambai kemudian menghilang dibalik ruangan lain. Aku menemukannya dan ia menemukanku. Ia menemukanku menunggu, tapi aku menemukannya berlalu, berlalu mengejar mimpinya yang lain dan bukan bersamaku.

Dan untuk yang terakhir, aku selalu bahagia bisa mengenal dirinya. Bagaimana senyumnya pertama kali aku saksikan di commuterline jurusan antar kota, bagaimana pertama kali aku dan ia menikmati sebuah pameran seni dan berujung aku dan ia yang menikmati satu sama lain atas sebuah karya seni ciptaan Tuhan, bagaimana ia yang selalu menjadikan aku nomor 1 nya, maka kini, sebagai sebuah hadiah, ia aku lepas atas sebuah tuai yang telah ia tanam.

I have loved you and I let you go.

—fin.

10 menit, Soonyoung berhenti di kalimat “kan.. lu mah”

Gue panas banget asli, darah gue udah sampe ke titik paling tinggi saraf dan rasanya kepala gue mau pecah.

Dari tadi gue cuma bisa gigit jari, ketakutan gue selama ini ternyata jadi kenyataan.

Ketakutan gue perihal ini jadi akhir dari pertemanan gue bener bener kejadian. Fix, Soonyoung udah gabisa jadi orang yang gue andelin.

Gue nyesel senyesel nyeselnya nyesel karena harus ngetik kalimat tadi. Kalo gue punya kekuatan, gue mau muter ulang waktu dan balik jadi gue yang diem aja ngunci mulut ga perlu ngomong apa apa sama Soonyoung.

Sekarang gue bingung, kalimat apa yang harus gue bales? Apa Soonyoung juga nungguin balesan gue? Soonyoung masih diluar gak? Atau dia udah pulang? Gak mungkin nunggu karena katanya dia kedinginan.

Udah deh udah, gue emang harus nerima kenyataan bahwa ini akhir dari pertemanan gue sama Soonyoung.

Hp yang daritadi gue genggam, kali ini gue lempar sembarang. Gue benamkan kepala gue diatas bantal terus teriak. Ga kedengeran, mungkin cuman gue aja kali yang denger, kepengen nangis tapi masa gue tolol banget nangisin kesalahan sendiri? yaa gak papa sih, kadang hiduptu emang penuh sama kesalahan sendiri yang kadang bikin orang keliatan tolol.

Dan gue tolol.

Gak lama, tiba tiba ada suara ketukan pintu. kayanya yang nerima martabaknya adalah orang rumah. Terus gue bingung lagi, nih bayarnya gimanaaa? Transfer aja kali ya? ke Soonyoung? Tapi minta nomer rekeningnya gimana? Kalau bayar langsung gue belum siap ketemu dia, terus gimanaaaa?

Gue melangkahkan kaki dengan malas, memutar kunci karena biasanya kamar selalu gue kunci, gue tekan kenop pintunya dan seketika menjadi loyo.

Soonyoung.

Gue mau lari, tapi lari kemana? Anjir gue bingung harus ngapain, gue harus apa?

“nih” katanya menyerahkan kantung plastik. Soonyoung cuma make kaos oblong sama celana ponggol, bener tadi apa kata dia.

kita sama sama diem, gue nunduk karena malu banget asli pengen nyembunyiin muka gue kemana aja deh yang penting gausah diliat sama nih manusia satu.

dia mengusap tekuknya “g-gue balik, ya?“

yah, masa langsung balik sih. kan gue kangen. ENGGAK, anjrit bisa bisanya lo mikirin kangen padahal tali persahabatan kalian sedang diambang kehancuran.

“nyong..” panggil gue, kini sedikit mendongak menatap dia karena emang dia lebih tinggi dari gue.

“iya?”

“maafin gue, gue tau gue salah pake acara confess padahal kita udah bagus temenan. kita.. masih bisa temenan kaya biasa kan?“ gue gatau isi pikiran dia setelah gue ngomong suka beberapa menit yang lalu, tapi dari jawaban yang dibales dia tadi, gue tau dia gak punya perasaan yang sama kaya gue, tapi.. dia malah senyum.

“kenapa harus minta maaf?“

“ya.. karena ngerusak hubungan pertemanan kita, nyong..” gue menunduk, memelintir pegangan kantung plastik yang berisi sekotak martabak yang dibeli Soonyoung tadi.

“hahahah santai aja kali.. gue yang harusnya minta maaf” Kan.. emang bener deh cerita wattpad ala ala fairytale itu gaada dan basi dan banyak boongnya. gue beneran mau nangis banget diatas kaki gue sendiri.

“… maaf karena ngirain lo sukanya sama Wonwoo dan akhirnya harus biarin lo duluan yang confess

hah? apa? gimana?

“hah?” Ia terkikik, gigi kelincinya terpampang jelas serta matanya yang tiba tiba menghilang jadi setengah lingkaran, dan.. kulitnya yang berubah jadi kemerahan.

“sorry banget, gue telat. jatohnya malah gue keliatan cemen ya”

“nyong..”

“gue gak marah, gue seneng bahagia, ternyata perasaan gue gak sebelah pihak”

SOONYOUNGGG!!!!!!!

.

.

.

.

.

.

.

.

(“balik duluan ya, gue?”

“gak mau makan martabak dulu?”

“boleh?”

“ya boleh..”

“sekalian ya?”

“sekalian apa?”

“PDKT-an” )

-

“kenapa malah kesini?”

“inget ga?” Mingyu menarik rem tangan, memberhentikan mobilnya di suatu tempat.

“inget”

“apa?”

“..”

“Apa, cantik?”

“berisik”

“masih ngambek?” YA MASIHLAH. ADUH, KENAPA SIH JADI LAKI LAKI ITU TIDAK ADA PEKANYA SEDIKITPUN?!

Kenapa? Oke. Akan aku rekap apa saja hal hal yang sudah sosoknya lakukan padaku sampai sampai membuatku ingin meledak.

Sebagai perempuan, tentu saja kita semua punya tamu bulanan, dan hari ini adalah hari keduaku. Dua minggu yang lalu, dia duluan yang mengajakku untuk nonton film di bioskop, tapi dua hari yang lalu juga dia membatalkannya.

“aduh, maaf ya. aku lupa kalau aku ada janji bimbingan bareng dospemku” itu katanya. lagian sudah berkali kali kusuruh si Mingyu itu untuk menuliskan dengan rapi jadwal apa apa saja yang dia punya, agar supaya tidak membuat dan membatalkan janji seenak jidatnya.

walaupun aku tau itu adalah kewajibannya demi mendapatkan gelar paling lama akhir tahun ini.

akhirnya aku, mau tidak mau pergi sendirian dengan mengirimkan pesan ‘bodoamat, aku pergi nonton sendiri’ karena sudah terlanjur sebal dengannya.

Dan yang terakhir, sebagai pelengkap betapa menyebalkan hariku hari ini adalah, dari sekian banyak tempat duduk di dalam bioskop itu, kenapa mantanku, Kak Jisoo, harus duduk tepat disebelahku dengan pacar barunya?! MENYEBALKAN!

“tadi aku udah reschedule jadwal sama dosenku, tapi tiketnya ternyata udah pada habis semua”

“bodoamat”

“ya terus kalo gini aku harus apa dong?”

“pergi aja sana ke ujung dunia”

“sayangnya dunia gak ada ujungnya, mau aku pergi kemanapun pasti bakal ketemu sama kamu lagi”

“diem gak?”

“hehe, iya diem ini”

lengang.

“terus apa?” cicitnya.

“diem aja gausah ajakin aku ngomong”

lengang, lagi. 2 menit, 3 menit, 5 menit.

“inget gak dulu—“

“DIEM LOH AKU SURUH DIEM!”

“sampe kapaaaaannn sayaaangggg?” ia menekan hidungnya dengan bibir yang ia manyunkan. dapat aku rasakan kakinya menghentak hentak.

aku diam.

“ah udahdeh aku males kalo kamu kaya gini” Ia menarik rem tangan mobilnya.

“mau kemana?!” Aku terkesiap.

“Ke ujung dunia! kenapa?!” Ia memutar stir.

“HEH, BERHENTI GA?!“

“AKU BAWA KAMU KEUJUNG DUNIA, NANTI PAS UDAH SAMPE DIUJUNG AKU BUANG KAMU”

“KURANG AJAR!”

“BODOAMAT”

“KENAPA KAMU MALAH IKUTAN NGAMBEK?!”

“YA KAMU KENAPA DIEMIN AKU?!”

“KARENA KAMU NYEBELIN NYEBELIN NYEBELINNN KIM MINGYUUUUUU!!!!!”

mobilnya berhenti kali ini.

“yaudah maaf. diapain sih biar aku dimaafin”

“diem aja”

“haaaa gak gituuuuu yang lain selain diem apaa?”

“diem pokoknya diem”

“sayaaaaaaanggggg” dia menarik narik lenganku. “plisss dehhh jangaan diemmmmmm” kemudian ia jatuhkan kepalanya di atas pahaku.

“aku harus apa kalo kaya gini sih” jari jemarinya mengelus lututku. sejujurnya, jauh didalam hati, aku sama sekali tidak tega melihat dia sampai memohon mohon seperti itu, tapi kalau dilanjutkan, bukannya lucu ya?

“mie rebus mamah” ucapku. dia yang tadi menjatuhkan kepalanya di pahaku kemudian bangkit dan membuang nafasnya kasar.

“tuhkan, kamu tu kemaren baru makan mie loh? masa mau makan mie setiap hari sih?”

“ya.. yaudah. take it or leave it.

“yang lain deh, jangan mie instant terus”

take it or leave it, Mingyu”

“ah kamu mahh” ia mengacak rambutnya kemudian mengeluarkan ponsel.

“Mah, bikinin mie rebus ya, ini aku lagi jalan pulang” Hahahah, Dasar Kim Mingyu payah.

***

Mie Instant rebus dengan campuran bumbu khas Aceh buatan Mamah Mingyu itu akan aku bilang ter—enak seluruh dunia. Beneran, kalau ga enak aku gak mungkin minta dibikinin lagi hari ini. karena jujur, kemarin aku baru aja main ke rumah Mingyu dan minta dibikinin Mie rebus Mamahnya.

“udah jangan ngambek lagi” sahut Mingyu.

“hm”

“Serius sayaaaangggg”

“apaan sih kamu kaya anak anak”

“jangan ngambek ngambek lagiii” katanya menjatuhkan kepala di bahuku.

“iyaaa”

“bener ya”

“ya kalau kamu gak bikin masalah lagi ya aku gak ngambek. kan aku ngambek gara gara kamu seenak jidat aja batalin janji”

“ya maaf. sumpah itu aku gatau kalau ternyata ada jadwal bimbingan.”

“ya derita lo” ia menepuk bibirku. “apaansih” kataku mengerutkan alis.

“siapa yang ajarin ngomong gak sopan gitu?”

“elo” ditepuknya lagi.

“gapernah ya aku ngajarin kamu ngomong lo—gue lo—gue gitu”

“ya suka suka gue lah”

“sekali lagi kamu ngomong gitu aku pukul pake yang lain ya ini”

“pake apaa?” kataku menantang.

“pake bibir, mauu?!”

“lo gue lo gue l-“ ia membekap mulutku.

“Aku cium beneran kamu tuh ya?!”

Malamnya, setelah mengantarku kembali kerumah, Bunda mengajaknya untuk singgah, salah kalau kalian fikir Mingyu akan menolak, dia akan jadi yang paling semangat. Buktinya, dulu dia pernah ngomong ke Bunda seperti ini.. “Ehe iya Bun, Mingyu mah kalo bisa nginep” membuat seluruh orang yang ada diruang tamu malam itu terdiam. Ayah, Bunda, dan adik bungsuku, Chan. “ya bobonya sama Chan Bun, masa sama… hehe” katanya takut takut menunjukku.

Bundaku, menyengir dan mengangguk.

Tapi memang benar, Mingyu sekali kali menginap dan tidur dengan Chan. walaupun sejujurnya, pada awalnya aku takut Chan akan merasa risih kalau ada orang asing di kamarnya. Tapi ternyata, apa yang aku pikirkan salah.

“Kak, Ajakin bang Mingyu main atau nginep lagi ya”

“eh? kenapa?”

“ya emang kenapa? Seru aja soalnya sama dia”

“ngomongin apa emang sampe seru?” Bunda ikut dalam obrolan.

“Ada deh Bun, urusan LAKIK!” kalian tau, yang heboh di Tiktok itu? Adikku yang polos, Chan yang pendiam dan jaim, tiba tiba membuatku dan Bunda terkaget kaget.

“Kata bang Mingyu, supaya keliatan LAKIK, Bun.. hehe”

Lagi lagi, Bunda hanya menyengir dan mengangguk.

Malam ini, setelah dari rumahnya Mingyu tadi, kami duduk di balkon rumah dengan secangkir kopi instan. Mengawang pada langit, membiarkan angin malam menyapu wajah.

“Gak dingin?“ katanya tiba tiba. Aku menoleh, kemudian menemukan dia yang membuka jaket kulitnya dan memberikannya padaku.

“Dingin kan?” Ia menyerahkan.

“Pakein” kataku. Membuat ia menyunggingkan senyum.

Aku yang duduk langsung berdiri, diikuti dia yang juga ikut berdiri. Ia bentangkan jaketnya, agar supaya tanganku bisa masuk satu persatu, kemudian aku peluk tubuh padatnya yang malam itu hanya di lapisi kaos hitam biasa.

“Ketauan tetangga ntar kita dikiran ngapa ngapain lagi”

“bodoamat. Biar aku hangat, kamu juga hangat” kataku. Kemudian, dapat aku rasakan kedua tangannya mendekapku, dan dipucuk kepalaku, ada dagunya yang ia jatuhkan.

“kaya bukan yang ngambek ngambek tadi” Ucapnya.

“hehe”

“kaya anak anak”

“tadi kamu ngajakin ke tempat itu tu iseng apa emang sengaja sih?” Biar aku perjelas, Cafetaria didepan salah satu perusahaan Swasta. 2 tahun yang lalu, pertama kali aku bertemu Mingyu.

“iseng doang, ya aku gatau harus ngajak kemana lagi” ia membawa tubuhku ke kanan dan kiri dalam ritme yang pelan.

“biar apa ngajak kesana?”

“supaya kamu gak lupa”

“kamu kira aku bakal lupa ya?”

“ya siapa tau, biasanya yang gak penting suka dilupain loh”

“gimana aku bisa lupa, orang jelas jelas didepanku kamu lagi berantem sama kak Cheol”

“engga berantem sayang, bercanda doang itu berantemnya. lagian dia nyomotin makananku melulu”

“ya kan berbagi itu indah” tubuhku masih dibawa dalam pelukannya, ke kanan dan ke kiri secara pelan dan bergantian.

“Itu pertama kali kita ketemu ya?” Tanyaku.

“Hm.. Lucu ya?” Aku mengangguk, masih dalam pelukannya.

It’s already a hundred of days.. tapi rasanya kaya baru kemarin”

a hundred of days, a million of days, a billion of days, you’ll always be my day one, no matter what

“kok kamu jadi sok puitis gitu? nyomot kata kata dari mana?”

“yeh, kan emang bener. Bodoamat mau puluhan ribu tahun, pokoknya kamu always be my day one

“kenapa?”

“Hari pertama tuh selalu full of nervousness, excitement, dan hal hal yang bikin gak bisa lupa dan selalu berkesan. Hari pertama sekolah, hari pertama kerja, hari pertama jadi Ibu, Hari Pertama jadi Ayah, hari pertama kenalan, hari pertama kencan, hari pertama jadian, hari pertama ini dan itu. Apapun hal yang terjadi di hari pertama, pasti agenda nya gak bakal terlupa” aku mendongak, dan Mingyu sedikit menduduk melihat aku didalam pelukannya.

“Jadi, mau kita berantem sampe dunia keacak-acak, mau kita berantem sampe terjadi ledakan kedua di Hiroshima dan Nagasaki, mau kita berantem sampe gunung Krakatau meledak lagi, aku harap kamu tetep jadi my day one. Tetep berkesan dan gak akan terlupakan”

Ask me what romance is, ask me what melancholy is, ask me what war is, ask me what fall for is, and my answer will always his.

Sunsets, we wander through a foreign town.

“Udah pernah ke Bogor kamu?” Aku menoleh, menatap Wonwoo yang fokus menatap jalanan. Sebagai jawaban, aku hanya menggeleng.

“Kamu udah sering ya?” Kali ini aku yang bertanya.

“Sering, tapi tetep aja kaya asing” Aku mengangguk. Sesekali mengedarkan pandanganku keluar jendela mobil.

“Tempat yang kamu ajak aku ini, kamu udah pernah kesitu?”

Dirinya mengangguk, “Dulu sama anak anak kantor pernah kesana”

“Kalau gitu.. Kita cari tempat lain” Ia mengerutkan alisnya, secara bergantian menatapku dan jalanan.

“Mau kemana?”

“Ya terserah”

“Kamu mau ngomong apa sih memang?”

“Nanti, kepo banget.” Ia menyunggingkan senyumnya. “Kita jajan dipinggiran gini aja terus nyari tempat lain”

“Yaudah, kita cari pelan pelan ya”

Strangely, there’s nobody else around

On the swing sets at the old playground.

Decitan di ayunan tua yang aku dan Wonwoo naiki mengusik pendengaran, walaupun pada kenyataannya, kami berdua menikmati es krim di tangan masing masing, dan di sepanjang mata memandang, hanya ada semburat jingga oranye di langit sana.

Lenggang, aku dan dirinya sibuk menjilati makanan dingin tersebut. Aku menoleh, menatap dimensi wajahnya yang teriluminasi warna oranye akibat pantulan cahaya matahari yang sebentar lagi jatuh diufuk barat sana, indah. Jeon Wonwoo yang indah. Sunset yang indah. Hidupku yang Indah.

Ia ikut menoleh, sadar kalau dirinya sedang di nikmati parasnya.

“Kenapa?”

“Gak papa” Aku mengalihkan pandangan menatap lurus kedepan, sesekali mengayunkan ayunan yang aku duduki.

“Kamu suka ga?”

“Apa? Suka apa?”

“Aku” Kemudian dia terbahak. “Enggak, Itu” Tunjuknya kini ke langit sana.

“Suka” Kataku. “Kamu”

Kita tersenyum, kemudian terkikik geli.

“Aku 27 tahun” Katanya.

“Aku 23 tahun” Balasku.

“Kenapa malah kaya anak remaja?”

“Biasanya juga gitu, Ayah sama Bundaku udah punya anak satu tapi suka gombal gombal kaya anak SMP” Ucapku, Wonwoo tertawa menunduk, dapat aku lihat hidungnya yang ikut mengkerut.

“Won..” Panggilku.

“Hm?”

“Selama ini, aku jahat ya sama kamu?”

“Kenapa ngomong kaya gitu?”

“Semenjak ketemu Mingyu kemarin, aku tau aku kayanya udah keterlaluan ya..” Jelasku.

Nope, setiap orang selalu punya alasan sendiri, tugasku cuman harus belajar ngerti”

“Besok besok, kamu ga perlu belajar ngertiin orang lain” Sudut bibirnya tertarik.

“Setiap manusia punya jiwa egoisnya masing masing di dalam diri, ada beberapa egois yang menuntut kebaikan satu sama lain, ada egois untuk kepuasaan diri sendiri. Aku kangen, Won, sama Mingyu, terus terang. Tapi ngeliat dia yang desperate sampai mengharapkan sebuah kesempatan lain sama aku bener bener bikin aku gak habis pikir..”

“Dia selalu jadi cerita cinta yang sampai kapanpun gak bakal aku lupain, tapi langkahku udah gabisa disini aja. Aku sadar, aku kira selama ini aku udah jalan yang jauh, tapi ternyata cuma jalan ditempat.”

“Tiba tiba.. Ada kamu” Semburat oranye di ujung sana kini pelahan lahan menjadi semu, bersiap digantikan gelap. “Kamu yang berusaha runtuhin dinding yang aku bangun, kamu yang berusaha memperbaiki boundary yang aku set untuk diriku, kamu yang punya perasaan sabar segunung, kamu..” Manik matanya bertemu milikku ketika kalimatnya aku gantungkan.

“..yang berusaha belajar ngertiin alasan orang lain padahal itu seharusnya bukan ranah kamu untuk mengerti. Aku gatau kalau ternyata orang kaya kamu ada di bumi, lagi menghirup udara yang sama kaya yang lagi aku hirup” Aku menarik nafas, tersenyum kearahnya. “You are a beautiful soul, Won. You are, and I am grateful you do exist. Thank you for existing” Ia tersenyum lembut.

“Orang orang bilang, kita cuma harus belajar terbiasa. Sekarang, kalau kamu gak mencurahkan afeksi afeksi kecil buat aku, aku selalu mencari. Aku selalu berspekulasi dan akhirnya capek sendiri. Kadang aku bilang aku harus hati hati, kadang lagi aku bilang ini obat hati. Aku sampe bingung sama perasaan sendiri, sampe akhirnya aku nanya, ini.. apa aku jatuh cinta?”

Wonwoo tersenyum, entah senyum keberapa yang ia lukis diwajahnya pada agenda ini.

“Maafin aku, I have love you too late

No..” Buku buku jarinya kini mengusap pipiku. “Gaada yang namanya telat, adanya belum tepat. Mungkin sekarang emang waktunya. Waktu kamu udah melepaskan segala beban, segala sakit, segala sedih dan segala hal yang mengikat diri kamu sendiri, dan akhirnya kamu merasa udah lega, kamu juga masih butuh waktu kan? Terus akhirnya kamu siap, dan kamu ada di waktu yang tepat. No worries, aku disini”

But what if, kamu pergi? Disaat aku belum siap? Kan namanya telat”

It means, I am not meant for you?

you are meant for me?

dunno, let’s find out?

“kalaupun in the midst on our way, ternyata you and me aren’t meant to be, make me the only one you could never ever compare till the day you die

I will make you the one till the day I die

Langkahku mengembara, pada akhirnya bukan lagi perkara pergi, tetapi pulang. Dimulai di kota asing yang belum pernah aku datangi. Kali ini entah kemana dan akan kemana, tapi selama Wonwoo ada, aku yakin aku akan baik baik saja. Aku bisa mengistirahatkan diri di matanya, di mata yang membuatku tersesat dan jatuh sejatuh jatuhnya. Aku kini bisa meminjam bahunya untuk sekedar mencurahkan sedikit afeksi nyata padanya. Aku tidak peduli, apa yang terjadi kemarin, apa yang akan terjadi di hari esok, tapi yang aku tau, aku jatuh cinta kepada sosok ini seakan akan tidak ada lagi hari esok. Aku punya hari ini, dan hari ini ada Wonwoo disini, Wonwoo—ku.

(Quit, don’t quit. Noodles, don’t noodles. You are to concerned with whats and what will be. Here is a saying, yesterday was history, tomorrow is mystery, and today is a gift, that is why it called present.

Oogway, KungFu Panda)

But when you go away, I still see you.

The sunlight on your face in my rear-view.

(“Won? Mau temenin aku ke acara nikahan Mingyu?”

“Masih sempet?”

“Masih, ada night party nya”

“Sure”)


-Midnight, 02.00 A.M. Day 500, the Acceptance.

You happy?” Wonwoo menoleh sedikit kepadaku, aku tersenyum.

All is well now, Wonwoo. You are here, and all is well.”

Aku membanting tubuhku ke kasur, menenggelamkan wajah diatas bantal, kemudian berteriak. Alasannya apa? Kacau, semua kacau.

Ingat sepenggal lirik dari lagunya Taylor Swift yang berjudul All too Well? And I know it's long gone and that magic's not here no more. And I might be okay but I'm not fine at all.

Aku tidak akan pernah baik baik saja, aku hanya terlanjur terbiasa.

Aku akhirnya bertemu Mingyu setelah kekacauan yang terjadi kira kira setahun yang lalu, sudah lama sekali. Tidak ada yang berubah, yang berubah hanya perasaannya padaku dan mungkin sebentar lagi status. Amplop undangan yang berjam lalu ia berikan kepadaku aku buang kedalam tong sampah dikamarku.

Tidak, aku tidak akan datang ke acara pernikahannya.

Hari ini sudah terlanjur aku labelkan sebagai hari yang buruk bagiku. Mantanku yang mengumumkan pernikahannya tepat didepanku, berjam yang lalu Wonwoo mengabarkan bahwa mobil dinas yang akan berangkat ke Bogor ternyata penuh dan menawarkanku pergi bersamanya dengan mobil pribadi, dan besok, hari ulang tahunku.

Apa yang harus aku harapkan dari sebuah ulang tahun untuk kali ini? Tidak ada.

Setelah mandi, aku memutuskan untuk tidur lebih cepat. Seminggu belakangan aku terlalu sibuk memikirkan pekerjaan, jadi untuk weekend kali ini, akan aku habiskan dengan bangun kesiangan dan mungkin besok menghabiskan waktu dirumah sambil menonton serial netflix yang belum sempat aku tonton.

Pukul 23.57, angka di layar ponselku dan pesan Wonwoo yang belum aku balas semenjak tadi.

Aku memejamkan mata meringkuk dibawah hangatnya selimut dan memeluk guling. Senyap, tapi pikiranku berisik, tidak mau istirahat dan tanpa sadar ada bulir bulir air mata yang jatuh dari sudut mataku.

Apa yang kamu pikirkan? Mingyu yang akhirnya akan menikah? Atau ulang tahunmu yang akan jadi kacau? Atau Wonwoo? Apa? Kenapa menangis? Aku.. Hanya ingin menangis, itu saja.

Pukul 00.01, aku yang tak kunjung terlelap terkesiap karena notifikasi ponselku yang terus berbunyi. Ucapan selamat ulang tahun dari teman temanku, dan Wonwoo.

‘May you be a brave girl as brave as starting a new things that you are afraid of’

‘For Example?’

‘Me’

Damn.

Pintu kamarku kemudian berdecit.

“Selamat ulang tahun anak kesayangan Bunda!” Ayah merangkul pundak Bunda yang sedang memegang kue. Cahaya lilin mengiluminasi wajahnya, keduanya mendekati kasurku.

Ayah menciumi puncak kepalaku berkali kali, mengucapkan selamat ulang tahun dan Bunda yang terus menerus mengecup pipiku kanan dan kiri berkali kali, sampai aku harus merengek “Udah Bunnnn” membuat keduanya terkikik geli.

“Wishnya buat aku apa?” Tanyaku.

Bunda mengusap pipiku, tersenyum. Sedangkan Ayah masih berdiri di sisi kanan kasur, mengusap bahuku.

“Nak” Kata Bunda. “Bunda bangga sama kamu, makasih ya udah mau bertahan di semesta yang terkadang gak bersahabat ini, dan makasih udah milih Bunda jadi Ibu kamu. Mau umur kamu 30 tahun, 40 tahun, kamu tetep anak 15 tahun di mata Bunda..” Mataku perih, tenggorokanku tercekat. Bunda menempelkan dahinya di dahiku.

Kali ini giliran Ayah yang berdiri diatas lututnya, mendongak menatap wajahku. “Dek” Panggilnya. Aku mengangkat alisku. “Selamat ulang tahun, maaf ya tahun ini cuma ada Ayah dan Bunda yang ngerayain ulang tahun kamu”

“Ayah..” Cicitku. Aku pecah. Kupeluk dua insan manusia dengan segudang cinta yang selalu mereka hantarkan untukku. Segalanya selalu baik baik saja perihal Ayah dan Bunda, dan semuanya akan selalu dan selalu lebih cukup dari apapun.


Aku beringsut diatas kasur, cahaya matahari mulai terlihat dari celah gorden kamarku, dan aku mengawang menatap plafon kamar, bersiap mengumpulkan sisa sisa nyawa untuk bangkit dari kasur.

“Dek!! kamu nerima paketan nih!”

Hah?

Aku terdiam diatas kakiku dengan sebuah kotak yang aku peluk. Benar bahwa ini untukku, dan benar penerimanya atas namaku. Lenggang.

“Dek? Kok bengong?”

“Hm?” Aku menoleh, ketika Ayah sadar bahwa aku mematung dalam diam dan melamun memikirkan isi kotak ini.

Sama seperti beberapa tahun yang lalu, dan aku takut. Takut bahwa kejadian yang sama harus terulang kembali. Takut kalau aku akan menangis, takut kalau ada sebuah barang yang harus mengiris hatiku, takut dan takut. Aku takut siklus itu kembali lagi. Aku bawa kotak tadi kekamarku, meletakkannya dilantai dan aku duduk diatas kasur sambil menerka nerka, siapa pengirimnya dan apa isinya.

Lama aku mengawangkan pikiran kemana mana, tanganku yang ikut bergetar dan jantung didalam sana yang berdegup dengan tempo yang tak lagi sama seperti biasanya. Ia memompa darah terlalu cepat sampai sampai rasanya kepalaku ingin meledak.

Aku mencari cutter dan aku buka perlahan, kemudian kutemukan sebouquet dried flowers didalamnya, dan sepotong surat.

‘I hope you learn how to let go.

I hope you learn how to let go of the anxiety you hold so closely in your chest. I hope you learn how to let go of the sadness you hold in your arm, and I hope you learn how to let go of the chaos you made, or somebody had been made. You are a real human and still living to breathing in this world, who is healing, moving through season of beauty and season of change each and every single day. Your day and every path you take will never be perfect, will never be faultless, but it will be real. It will be honest and I hope, you learn how to embrace that.

I hope you learn to open to this uncertain world, how to let love pour into your life. We often protect ourself and hold our feelings back because we are too afraid of what might happen in the near future, we silence our voice, we tie our souls and in the end of the day, we feel alone.

I Remember what John Green and David Levithan once wrote on their book, Will Grayson, Will Grayson, “Maybe there are something you are afraid to say, or someone you are afraid to love or somewhere you are afraid to go. It’s gonna hurt. It’s gonna hurt because it matters” So, I hope you learn how to let go of your fear and let it matters.

I hope you learn how to remind yourself that there is nothing wrong with vulnerability, fragile, and with being a human. I hope you learn how to let go of the pain, and I hope you learn how to sharing your heart with this world.

So I present you this dried flowers as your born day present and as an epitome to open a gate to start finding yourself, you are lost for so long season and I hope you find a way. Happiest Birthday, I love you, indeed. As a Wonwoo, always.

—With love, WW.

Berbulan belakangan, Wonwoo menjadi Pak Jeon dengan segala tanggung jawabnya, dan aku? Menjalani hari seperti biasa. Tertawa dengan candanya kak Soonyoung, after office pulang ke rumah dan lembur sendirian.

Aku masih sering bertemu Wonwoo, di waktu meeting atau sesekali ke ruangannya untuk membahas pekerjaan, ikut naik ke mobilnya bersama coworkers lain untuk kepentingan pekerjaan, bukan untuk mengelilingi kota setelah jam kerja sebagai dua orang yang sedang menikmati dunia disaat lelah. Aku adalah aku dan Wonwoo adalah Wonwoo.

Sore itu hujan, belakangan hujan terus mengguyur ibukota dari sore menuju malam, namun disaat siang, matahari seakan akan marah dan menyalurkan seluruh energi panasnya pada bumi, cuaca yang berubah ubah.

“Guys..” Kak Soonyoung bersuara, baru kembali entah dari mana membawa beberapa berkas, membuat coworkers lain menoleh.

“Besok kita ada meeting ya sama Bapak, jangan ada yang telat” Begitu katanya. Yang lain mengangguk, paham dan memutuskan kembali kepada kesibukan masing masing.

Esok hari, point meeting yang di laksanakan adalah bahwa beberapa karyawan akan pergi ke Bogor untuk melaksanakan Employee Survey tahunan untuk anak perusahaan disana. Maka aku, sebagai karyawan baru, diwajibkan untuk ikut.

Sesimple itu, sisanya hanya pelaporan data data tugas HRD untuk bulan yang lalu dan persiapan untuk bulan yang akan datang.

Lagi lagi, sore menuju malam, ibukota diguyur hujan. Dan di Lobby, aku bisa melihat Wonwoo berdiri menengadahkan wajah ke langit, dengan kedua tangan yang ia masukan kedalam saku celananya.

“Hey?” Sapaku, ia terkesiap dan menoleh.

“Baru turun?” Tanyanya.

“Iya” Kemudian hening.

“Udah lama kayanya aku ga ngobrol gini lagi sama kamu” Aku terkikik, sedikit menutup mulutku dengan tangan, mengangguk pelan.

“Oh iya, jangan lupa ya persiapan ke bogor”

Aku mengangguk “2 hari kan?”

“2 hari satu malam”

“Kita nginap dimana?”

“Di hotel lah, emang mau dimana? Hahaha” Ia tertawa, dengan hidung yang mengkerut.

“Ya kan nanya..” Kemudian senggang. “Emang selama itu ya buat Employee survey?” Aku kembali bersuara.

“Biasanya yang bikin lama itu ya survey nya, aku udah bolak balik ngomong ke atasan buat dibikin pake cara modern, biar kita ga perlu bolak balik harus terjun kesana langsung. Maksudnya, biar bisa handle jarak jauh, tapi susah ngobrolinnya. Terus biaya perjalanan dinas kan bisa dibuat untuk biaya operasional perusahaan.. Tapi tetap aja.. ” Ia sedikit tertawa dengan menggelengkan kepalanya.

“Lebih keras kepala dari kamu, ya?” Ia yang tadi memandang jalanan dari Lobby, kini memandangku, alisnya sebelah menungkik tajam.

sounds like that” Ia tertawa kecil, kemudian lagi lagi sunyi mengembara.

Can I ask for you opinion?” Tanyaku, ia mengangguk.

What if, your ex lover wanted to meet you?” Wonwoo bingung, air wajahnya terlihat bingung saat menoleh kearahku setelah pertanyaan itu dilemparkan.

“Mingyu?” Aku mengangguk. “Well, depends” Sambungnya.

On what?

“Ya dia mau apologize sama kamu because of everything he did, or..

Or what?

“Hahaha, mungkin dia mau berekonsiliasi sama kamu” Wonwoo tertawa kemudian menengadahkan kepalanya kelangit, menatap rintik hujan yang jatuh ke bumi.

Hujan masih tak kunjung reda, terus dan tidak henti hentinya menumpahkan air dari langit sana, padahal malam semakin larut.

Can I ask you?” Kali ini Wonwoo bersuara.

sure, go ahead

Ia menoleh, “Kalau dia memang mau ngajak kamu berekonsiliasi, kamu terima?”

He did bad, Won. Tapi kalau dia berusaha memperbaiki semua buat ngajak aku temenan.. Ya maybe

“Yah.. He did bad, But, Who knows, right?” Dirinya mengelus tekuk dengan tangan kanannya.

No, he cheated. Maksudku, if in some case dia melakukan sesuatu yang terjadi dibawah alam sadarnya dia, I think it’s okay to give him second chances, but.. Selingkuh, I know he did it disaat dia sepenuhnya sadar, and i’m not stupid

“Hmm good point

Wait, Won?” Ia mengangkat alisnya sembari menoleh pelan saat namanya tersebut.

“Hm?”

Are you..” Aku memberikan jeda.

“Kenapa?”

Are you.. Afraid?” Wonwoo terkekeh geli, ia menarik nafas kemudian membuangnya pelan. Aku tidak mau berspekulasi terhadap perangai Wonwoo malam ini setelah pertanyaan opini barusan. Daripada terlalu banyak spekulasi tidak jelas yang menghantui kepala, jawaban yang valid adalah jalan keluarnya.

“Kalau kamu nanya aku takut atau engga, sekarang ada di dua konteks yang berbeda. Kalau konteksnya aku adalah Wonwoo yang lempeng dan ngikutin aja alur kehidupan, I am not. Yaa, diluar niat kamu ketemuan sama dia apa, atau niat dia apa, aku gak takut sama sekali. Kaya kata katanya eyang Habibi, kalau dia untuk saya, kamu yang jungkir balik, saya yang dapet”

Aku tertawa, karena aku pernah mendengar apa yang Eyang Habibi katakan soal itu. “Tapi..” Sambungnya. “Kalau sekarang aku adalah Wonwoo yang egois, aku bakalan takut.. You know, Mama ku selalu bilang bahwa kalau perempuan udah suka dan jatuh cinta, they’ll give everything.. Jadi, segalanya aja bakal dikasih, apalagi kesempatan kedua, iya gak?”

“Jadi kamu berfikir bahwa aku sejatuh cinta itu ya, sama dia?”

You build a damn high wall, ya pasti lah aku berfikir kalau kamu emang secinta itu sama dia” Aku mengangguk.

“Tapi kalau ternyata ada sifat 1000 kali diatas egois dan sekarang posisiku adalah Wonwoo yang berada di sifat itu..” Ia mendekat, kini berhadapan denganku. “I won’t let you meet him

“Sekarang kamu siapa?” Tanyaku.

“Wonwoo 1000 kali egois”

Lenggang. Yang terdengar hanya rintik hujan yang masih saja belum kapok menumpahkan isi nya dari langit sana, serta kendaraan yang berlalu lalang setiap menitnya.

But I believe you kok..” Ia mundur dan menjauh. “If you said you won’t, then you won’t. Lagian, kita gaada apa apa, who am I buat ngelarang kamu” Ekspresinya sedikit meringis.

“Soal kesempatan kedua..” Entah yang keberapa kali sosok itu terus menoleh lembut menatapku. “Kalau ternyata I will?”

No, you won’t. I know you won’t

Aku kira, semenjak kejadian kemarin malam di Apartemen Wonwoo, dia benar benar akan menyerah pada segala batas yang aku bangun untuk diriku sendiri, aku kira ia akan membenah hati, aku kira ia akan menjadi Pak Jeon seorang kepala departemen dan berhenti menjadi Wonwoo. Aku kira akan begitu.

Tapi nyatanya, malam ini tetap ada dia yang datang membawakan dua cup Iced Coffee ke ruangan kerjaku, dan tau bahwa aku sedang lembur.

Ia masih sama seperti pertama kali aku bertemu dengan sosoknya. Lengan kemeja yang ia lipat seperempat bagian, Lanyard dileher, tas di bahu kanan dan jas di lengan kirinya. Bedanya, di kedua tangannya ada dua cup Iced Coffee tadi.

Since you are too busy lately, Caramel Machiatto..” Ia meletakan kopi tadi diatas mejaku.

“Makasih..”

“Hmm, sama sama”

Kita diam, Wonwoo masih berpijak pada kakinya di tempat yang sama.

“Nunggu apa? Kenapa gak balik?” Ia mengusap tekuknya.

“Aku temenin?”

As who?”

Anything you ask

“Pak Jeon, then

“Pak Jeon, it is

Ia duduk, di meja Kak Soonyoung. Dari mataku, ia hanya menoleh keluar jendela dan sesekali menyeruput es kopi di tangannya. Tidak menyibukkan diri, bahkan tidak mengeluarkan ponselnya.

What do you have?” Tanyaku, tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

Ia menoleh ke arahku “Same as you

“Karena kesukaannya Lara atau kesukaan aku?”

Dunno, I'm just trying to enjoy

Aku mengangguk, masih fokus pada layar laptopku. Namun, dari jarak pandang mataku yang mengedar, aku tau ia sedang melihat kesini.

“Kamu bawa mobil?”

Of course

“Kalau aku aja yang anter kamu balik?” Aku membuang nafas, kali ini beralih menatapnya.

“Kamu keras kepala ya, Wonwoo?”

“Bukan Pak Jeon?”

“..Pak.. Jeon” Ulangku.

“Kalau ga keras kepala, aku gabisa jadi kepala departemen”

“Tapi memposisikan sebagai kepala departemen kamu gak sekeras kepala ini”

“Kali ini lebih ke kepentingan pribadi, bukan kepentingan bersama”

“Kepentingan bersama dong, kepentingan aku dan kepentingan kamu”

I told you, aku ga peduli urusan perasaan kamu sama aku”

“Ya sikap kamu kaya gini yang bikin aku harusnya peduli, Pak. Can we just.. Stop? Like anything between us never happened before? Can you just being Pak Jeon yang bertanggung jawab sebagai kepala departemen dan aku sebagai karyawan biasa? Yang gak perlu ngurusin perasaan orang..”

Wonwoo menyunggingkan senyum “That Mingyu really hurt you, ya?”

He did, and I won’t anybody do the same thing as Mingyu did to me, okay, Pak?”

“Okay..” Ia bangkit. Aku ikut mendongak sedikit. “Aku pikir kamu bener bener bangun dinding yang tinggi just because this man hurt you

“emang ada yang salah kalau aku bikin boundary untuk diriku sendiri?” Ia menggeleng memberikan jawaban.

Aku pikir ia akan pergi meninggalkanku, kemudian semua akan kembali berjalan normal. Ia sebagai Pak Jeon Kepala Departemen dan aku sebagai Karyawan dibawah tanggung jawabnya. Tapi ia malah mendekat menuju mejaku, meletakan cup coffee nya dan berdiri tegak.

“Aku mau ngasih kamu hadiah, boleh? Sebagai Wonwoo, bukan Pak Jeon” Katanya.

Aku diam, masih duduk dan sedikit mendongakan kepala karena ia berdiri tepat dihadapanku. “I-iyaudah.. Boleh”

Tangannya ia jatuhkan diatas kepalaku, mengusap.

2 kali, 4 kali, 6 kali, 8 kali sampai tidak terhitung.

“Hadiah afeksi dari aku..” Cicitnya. “Hey?” Suara beratnya memanggil. Kini wajahnya bersejajar dengan wajahku. “Terimakasih ya, sudah mau bertahan selama ini untuk menghadapi rasa sakitnya sendirian, aku harap..” Ia berhenti sejenak.

“Aku harap ini yang terakhir kalinya kamu nerima rasa sakit kaya gini dari orang yang kamu sayang dan semoga kamu bisa menerima sakitnya dan membuka jalan kamu untuk menemukan diri sendiri” Ia tersenyum, kemudian berjalan berlalu meninggalkan aku dengan tenggorokan yang perih dan embun di pelupuk mata.

Aku ingat malam itu, ketika aku terjatuh diatas lututku, menangis tersedu dan meminta agar matahari tidak perlu bangun esok hari. Aku ingat, yang aku mau hanyalah hari berhenti.

Semenjak hari itu, aku selalu menanggung sakit sendiri. Meringkuk diatas tempat tidur dan membasahi bantal serta guling. Dunia tidak merangkulku, ia berputar dan tersenyum pada orang banyak tapi lupa kepadaku. Setidaknya, begitu bagaimana pemikiran buntu orang yang putus cinta sepertiku.

Tapi aku salah, belum giliranku. Hari ini dunia sedang merangkulku. Dunia mengelus kepalaku, dunia menghadiahiku. Tapi untuk suatu alasan bodoh, aku menolak. Bukan dunia yang salah, kali ini aku. Yang berjalan ditempat, tanpa sadar menyakiti diri sendiri, dan belagak seolah olah sampai detik ini, dunia masih saja memusuhiku.