#2, first love.
“Will I ever get over my first love?”
“Yoon Jeonghan, 10 tahun”
Pertama kali Jeonghan memperkenalkan dirinya dan kali pertama aku bertemu dengannya di sebuah panti asuhan.
Jangan tanya kenapa aku ada disini, anak anak panti bilang, ibu panti menemukanku disebuah keranjang didepan pintu di tengah hujan lebat yang mengguyur kota. Aku, hanya di peluk kasih saying oleh Ibu panti.
Kembali lagi kepada Yoon Jeonghan, dia banyak diamnya, selalu menghabiskan waktu sendirian.
Di sudut literasi di panti asuhan, aku selalu menemukannya sedang membaca seorang diri, melukis atau terkadang menulis. Dan aku hanya gadis berumur 8 tahun yang banyak ingin tahu nya kala itu.
“Kakak, mamah sama papahnya kemana?” Dirinya yang saat itu tinggi menjulang melebihi diriku membuatku harus mendongak.
“Bukan urusan kamu” Ia kemudian pergi berlalu meninggalkan aku yang cemberut dan menahan tangis. Ibu panti kemudian datang dan menggenggam bahuku, mengusap rambutku yang saat itu senang dikucir kuda.
“Nak, kakak Jeonghan nya jangan di ganggu dulu ya?”
“Emangnya aku salah ya, bu? Nanya ke Kak Jeonghan kaya gitu?”
“Engga salah kok, cuman kak Jeonghan nya lagi sakit”
“Kalau gitu aku boleh jenguk ke kamar kak Jeonghan?”
“Boleh, tapi nanti ya?”
“Nanti sore?”
“Nanti.. Waktu kak Jeonghan nya udah sehat aja”
Umurku masih 8 tahun, dan aku sama sekali tidak mengerti maksud ibu panti ketika melarangku untuk menemui Jeonghan. Padahal, wajahnya terlihat bersahabat dan dari pertama kali pun aku ingin sekali berteman dengannya.
Disetiap jam makan, Jeonghan tidak pernah menghabiskan makanannya, dia akan selalu pergi meninggalkan meja makan duluan dan memilih berdiam diri dikamarnya.
Panti asuhan dibiayai oleh pemerintah daerah setempat. Segala fasilitas, kebutuhan serta pendidikan telah terjamin, maka aku pergi ke sekolah dasar terdekat bersama anak anak panti yang lain, tidak terkecuali Jeonghan.
Jeonghan masih sama, tidak mau berjalan beriringan dengan teman teman yang lain ketika berangkat ke sekolah dan memilih berjalan seorang sendiri. Kalaupun bertemu di lingkungan sekolah, Jeonghan lebih memilih berlalu dan tidak menyapa.
Aku selalu menemukan dirinya berdiam diri dibawah pohon di belakang gedung sekolah.
“Ini” Kataku saat itu menyerahkan sebotol minuman dingin. Ia mengkerutkan alisnya.
“Apaan?”
“Kata Ibu panti kamu sakit”
“Aku lebih tua dari kamu”
“Kak..” Ia kemudian menatap botol minuman dan wajahku secara bergantian, namun pergi meninggalkanku.
Ketika langkahnya hampir menjauh, ia berbalik, “Makasih, tapi jangan ganggu aku”
“Kak..” Panggilku. Ia yang tadi sudah setengah berlalu lagi lagi harus membalikkan badannya menatapku.
“Apa?”
“Aku mau temenan sama kakak, gak boleh ya?”
“Aku gak mau punya temen” Kali ini, dia benar benar hilang dibalik gedung sekolah meninggalkanku sendirian.
-
Hari ini panti asuhan mendapatkan donasi buku baca, ada berpuluh kotak yang diturunkan dari truk dan aku rasa ada ratusan buku jika dijumlahkan seluruhnya. Dan aku jadi yang paling girang ketika melihat banyaknya buku didalam kotak kotak besar dihadapanku.
Ketika aku memilih satu buku dengan hard cover, tiba tiba Jeonghan muncul disampingku dan ikut duduk menggali tumpukan buku, anehnya, diumurku yang masih belia kala itu, eksistensi sederhana Jeonghan membuatku tersenyum hebat.
Jeonghan mendapat buku yang ia mau, ia menatapku sekilas tanpa senyum kemudian bangkit dan meninggalkanku.
“Kak Jeonghan..” Aku menyahut kecil, ia menoleh.
“Aku mau baca buku bareng kakak, boleh?” Ia menggeleng, naik ke lantai atas dan dapat aku dengar suara pintu yang berdecit tertutup. Aku membuang nafas, merengut dan menatap buku ditanganku.
Yasudah, mungkin Jeonghan butuh waktu untuk mau berteman denganku, setidaknya sebagai anak berumur 8 tahun, begitu bersikerasnya aku agar bisa berteman dengan seorang Yoon Jeonghan.
Suatu malam, aku terbangun karena harus buang air kecil. Di lorong remang rumah panti, aku berjalan pelan menyusuri, sedikit takut sedikit berani, karena aku tidak mau harus membangunkan ibu panti jadi mau tidak mau aku memang harus memberanikan diri.
Ketika aku melewati kamar Jeonghan, aku mendengar isak tangis.
Tanpa pikir panjang, aku buka pintu kamarnya yang tidak terkunci.
Jeonghan terkesiap ketika menemukanku berdiri di ambang pintu, “kenapa gak di ketok?!” Suaranya yang sedikit meninggi membuatku mundur beberapa langkah.
“M-maaf kak.. tadi aku denger ada suara nangis..”
“Keluar..”
“Kakak gak papa?”
“Keluar..” Aku menunduk, kemudian perlahan melangkahkan kaki keluar dari kamarnya.
“Kak.. kalau kakak pengen punya temen cerita pas lagi sedih, kamar aku nomor 2 ya kak. deket kamar ibu panti..” Dirinya sama sekali tidak menoleh, kemudian aku tutup rapat pintu kamarnya.
Besok pagi, aku berangkat ke sekolah sendirian, karena anak anak yang lain sudah berangkat lebih dulu dan aku sebenarnya agak kesiangan bangun pagi.
Aku berjalan cepat, sedikit ngos-ngosan dan menggenggam ranselku kuat. Aku takut, aku takut kalau gerbang sekolah sudah terlanjur di tutup. Aku takut aku akan terlambat masuk kesekolah.
Disela langkahku yang terburu buru, kakiku menyandung sebuah batu.
Rok diatas lutut yang aku kenakan membuat lututku harus berdarah darah karena terkena aspal, tidak terkecuali siku serta daguku. Aku meringis, sekuat tenaga menahan tangis.
Tapi kemudian, dapat aku dengar suara langkah kaki berlari menghampiriku, ketika aku mendongak, kutemukan Jeonghan dengan raut wajah khawatirnya.
“Kamu gak papa?”
Aku menggeleng, “Sakit.. Kak..”
“Yaudah, aku gendong aja kita balik ke rumah ya?”
“Gak papa kak Jeonghan gendong aku?”
“Gak papa, di belakang ya?” Aku mengangguk.
Jeonghan kemudian memindahkan tas ranselnya kedepan, berjongkok dan aku kalungkan lenganku di lehernya. Bermenit kemudian, aku seperti anak koala yang menyangkutkan diri di punggung Jeonghan.
“Kakak telat juga kenapa? gara gara semalem gak bobok ya?”
“Iya..” Cicitnya.
“Aku boleh tau gak kenapa kakak sedih?”
“Kapan kapan aja taunya..”
“Yaudah kalau gitu..”
Aku dan Jeonghan pada akhirnya tidak pergi kesekolah hari itu. Jeonghan membantu Ibu Panti membersihkan lukaku, dan menemaniku sarapan karena pagi tadi tidak sempat.
“Jeonghan gak mau makan juga, Nak?” Dirinya menggeleng, kemudian mengeluarkan buku bacaannya keatas meja.
“Ini.. buku apa kak?”
“The Little Prince”
“Cerita tentang apa?”
“Petualangan pangeran kecil dari planet Asteroid B-612 yang ketemu sama orang dewasa yang mimpinya di runtuhkan waktu masih kecil”
“Pangerannya berarti alien?” Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat Jeonghan terkikik kecil.
Ia mengangguk. “Iya, Alien”
“itu orang dewasanya emang mimpinya apa? kenapa diruntuhin?”
“hm.. orang dewasanya itu sekarang jadi pilot, tapi dulu dia pengen jadi pelukis. karena waktu si pilot masih kecil selalu disuruh belajar akademik, jadinya dia gak sempet buat kejar mimpinya” Diumurku yang masih 8 tahun, melihat Jeonghan berumur 10 tahun menjelaskan secara detail sebuah kisah seperti itu, membuat mataku seakan berbinar. Dirinya, mengesankan.
“Kak.. tadi makasih udah tolongin aku”
“Iya.. sama sama”
“sekarang.. kakak udah mau temenan sama aku?” Ia menutup bukunya, membuatku menunduk sedikit takut, berspekulasi mungkin dia terusik karena aku terlalu banyak bertanya.
Tapi kemudian, dia sentuh ujung bibirku, menunjukan sebutir nasi yang dari tadi menempel disana, lalu mengangguk. “kamar nomor 2, kalau aku sedih, boleh cerita kesana kan?”
-
“YOON JEONGHAANNN!!!” Aku menggedor pintu kamar mandi. “AKU MAU BUANG AIR BESAR CEPETAAANNNNNNN!!”
Tidak ada sahutan.
“KAMU TIDURR YAA DIDALAAMM?!!!”
Decit pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan rambut coklat Jeonghan yang basah serta rintik air yang jatuh dari sana.
“LAMA BANGET! MINGGIR!”
Aku menyenggol tubuhnya, buru buru masuk dan membuka penutup toilet duduk.
“YOON JEONGHANNN!!! KENAPA GAK DISIRAAAMMMMMMMN!!”
“RASAIN SIAPA SURUH BERISIKKK”
Ketika aku panik dan ingin membuka pintu kamar mandi, ternyata ditahan olehnya dari luar.
“AAAAAAAAA BAAUUUUUU!”
“HAHAHAH RASAIN”
“YOON JEONGHAAANNNNN!!!!!”
-
“Berapa kali harus Ibu bilang kalau di rumah panti gak boleh berisik? apalagi teriak teriak?” Aku dan Jeonghan menunduk, sesekali saling sikut.
“Jeonghan!” Jeonghan terkesiap. “Kamu tu ada aja ya tingkahnya?”
“Iya bu, maaf”
“Berapa umur kamu?”
“17..” Ibu panti menggeleng.
“Ibu gak mau ya seminggu ini liat kalian berdua bareng terus. Gak mau liat kalian berdua makan sebelahan, pergi sekolah bareng, main dibelakang rumah panti, baca buku berdua, pokoknya apapun” Wanita paruh baya tersebut menarik nafasnya.
“Atau salah satu dari kalian Ibu carikan orang tua angkat” Kemudian ia berlalu.
“Kamu sih..” Kataku, lagi lagi menyikut.
“Kamu aja”
“apanya?”
“Dapet orang tua” Aku memutar malas mataku, menyilangkan tangan didepan dada.
“Dimana mana yang datang tuh mau adopsi kamu, bodoh banget gak mau”
“Gabisa nego soalnya”
“Lah anjir emang jualan?”
“Aku tanyain, dia mau buy one get one gak, gitu. tapi kata dia gak mau, yaudah deh gak jadi”
“Hah? buy one get one?”
“iya beli aku gratis kamu”
“tolol” Jeonghan tertawa. “udah 17 tahun otaknya kaya anak 7 tahun”
“Iya yang udah tua, ampun” Kepalanya aku jitak, sampai sampai anaknya harus meringis kesakitan.
“Tapi kan kamu gak bisa selamanya disini terus, Jeonghan. Kamu tuh udah sia siain banyak kesempatan buat hidup enak loh”
“Selama ini juga hidupku enak kok disini”
“Bohong banget”
“Percuma kalau aku hidup enak, tapi harus kehilangan seseorang lagi”
Aku diam. Menatap dirinya yang menyunggingkan senyum tipis dan cepat.
“Mamah sama Papah kamu kan orang paling penting dihidup kamu, Jeonghan. Kalau aku gak ada pengaruh apa apa kalau pun hilang. Lagian kan aku bakal disini terus, gak kemana mana”
“Ya terus kalo aku pergi yang harus aku isengin siapa?”
“Mamah sama Papah baru kamu”
“Ada juga aku dipulangin lagi kesini” Kita berdua tertawa.
“PISAHHH!!“ Teriakan Ibu panti kemudian membuatku dan Jeonghan berdiri meninggalkan tempat kami berbincang sekaligus dimarahi tadi, berjalan menuju kamar masing masing.
Dari jauh, ia mengerlingkan matanya kemudian masuk ke kamar, menutup pintunya pelan. Didepan pintu kamarnya tertulis 'Jeonghan’s place of escape. Do not enter unless you are the owner of pixy dust'
Aku menatap pintu kamarku kemudian, tersenyum hangat membaca papan gantung serta tulisan sederhana terukir disana 'pixy dust factory.'
and we are the fairytale itself, made our own folklore, dance to our imaginary poems.
-
Ibu panti meletakan lauk diatas meja makan, sibuk dari tadi bulak balik dari dapur kembali lagi kesini, bahkan menyuguhkan aku dan anak anak lain air putih padahal kami bisa mengambil sendiri.
“Ibu.. besok besok gausah di suguhin kaya gitu lagi” kataku. Kali ini aku duduk bersebrangan jauh dari Jeonghan.
“Gak papa.. Sesekali aja” Ia tersenyum.
“Jeonghan, surat penerimaan mahasiswa baru dari kampus tadi pagi udah sampe” Aku menatap maniknya yang terkejut, pun aku disini yang ikut terkejut.
“Ibu udah baca?” Tanyanya. Ibu panti hanya menggeleng.
“Ambil di meja ibu ya, Jeonghan”
Setelah selesai makan, aku dan Jeonghan berjalan beriringan menuju ruang Ibu Panti, melihat satu amplop kertas yang terletak tepat ditengah nya.
Mata Jeonghan bergetar.
“Nunggu apa? ayo cepet ambil” Kataku.
“Aku takut”
“Apapun hasilnya, pasti yang terbaik, Jeonghan. Entah itu diterima atau enggak” Tangannya kemudian meraba, mengambil dan merobek kertas amplopnya. Perlahan ia membentang kertas yang terlipat tadi, pupil matanya bergerak ke kanan dan kekiri, membaca.
“Gimana?” Tanyaku. Ia diam. “Jeonghan? Gimana? kok malah diem?”
Tidak sabar, aku merampas kertas yang di pegangnya, membacanya dengan seksama, dan—
“JEONGHAAAANNN!! INI BENERAN? KAMU DITERIMAAA!” Aku guncang tubuhnya yang masih terdiam diatas pijakannya sendiri.
“Ih ya ampun kamu akhirnya kuliah di universitas negeri jugaa, Jeonghan!” Aku tertawa bahagia, namun raut wajah Jeonghan menunjukan sebaliknya.
“Jeonghan? Kok kamu gak ada bahagia nya gitu sih?”
“A-aku..”
“Kamu?”
“Aku mana bisa ninggalin Mamah sama Papah..”
Dulu sewaktu aku berusia 10 tahun, dan Jeonghan 12 tahun, di umur itu pertama kalinya Jeonghan masuk ke kamarku dan menangis.
Malam itu hujan, petir menyambar dan ia mengetuk kamarku keras.
Aku menemukannya diambang pintu dengan mata yang sembab.
“Kak Jeonghan kenapa?”
“Aku takut petir”
“Aku gak takut, gak papa sini aku temenin”
Lampu yang sebelumnya aku matikan, kini hidup dan terang benderang. Dapat aku lihat ujung hidungnya yang berwarna agak kemerahan.
Ia duduk dipinggir kasurku, menunduk dan ketika petir menyambar, ia menutup telinganya rapat rapat.
“gak papa.. Kak. Ada aku” Aku tepuk tepuk pundaknya, berusaha menenangkan.
Ketika hujan sudah sepenuhnya reda, dapat aku lihat raut wajahnya yang penuh dengan ketenangan.
“Kakak.. kok bisa takut petir?”
Ia diam, membuatku kala itu bingung apakah dirinya sedang berusaha untuk menjawab atau sama sekali tidak mau menjawab.
“Waktu itu hujan, petir..” Cicitnya, bahkan tidak terlalu terdengar oleh telingaku. “.. dan ada darah”
Jeonghan bilang, dulu kalau hujan dan petir datang, Mamah nya selalu akan memeluknya. Beringsut bersama diatas kasur dan memeluknya erat. Menenangkan dirinya dan terkadang menyanyikan lagu nina bobo supaya Jeonghan tetap tau bahwa Mamahnya masih ada disana.
Namun, di tengah hujan dan petir pun, Jeonghan harus kehilangan kedua orang tuanya atas sebuah kecelakaan beruntun dan membuatnya harus tinggal di panti.
Jeonghan selamat, entah keajaiban apa yang terjadi, Jeonghan hanya mengalami luka ringan disekitar tubuhnya. Tapi luka masa lalunya, sampai di umur belasan pun belum sembuh sempurna.
Ia selalu mengajakku menjenguk Mama dan Papanya, kami selalu berdoa bersama diatas pusara keduanya dan menyebarkan bunga.
“Mama sama Papa pasti seneng kalau aku cerita punya temen kaya kamu” Dua minggu yang lalu, ketika kami berdua datang ke pemakaman.
Aku tersenyum, menatap manik matanya yang menyembunyikan rasa rindu setelah kepergian kedua orang tuanya bertahun tahun yang lalu.
“Kamu nanti kalau ada yang mau adopsi lagi, bakal sering main ke panti gak?” Tanyaku. Ia tersenyum.
“Aku gak mau, aku tetep mau pulang ke panti”
“Walaupun nanti udah nikah?”
Jeonghan diam, tidak menjawab.
“Alasan kamu tetep harus balik ke panti emang apa sih, Jeonghan?”
“Kamu”
Kali ini, giliranku untuk diam seribu bahasa. Berusaha mencerna kata yang barusan terlontarkan dari mulut Jeonghan.
“Aku gak mau kalau nanti aku pulang kamu gak ada”
“Jeonghan—“
“Aku juga sebenernya berat harus pergi kuliah keluar”
“Jeonghan..”
“Hm?”
“Aku bakal nungguin kamu. Aku, Mama sama Papa.. bakal selalu nungguin kamu”
3 bulan kemudian, Jeonghan akhirnya berangkat pergi keluar kota untuk kuliah. Sedangkan aku menetap di panti dan lanjut bersekolah.
Tapi sayangnya, Jeonghan tidak pernah kembali ke panti.
Bohong kalau aku bilang aku tidak menunggu kepulangannya, setiap malam, di lorong sunyi dan sepi aku menatap lamat pintu kamarnya. Tersenyum kecil pada tulisan sederhana didepannya, dan berharap ada sosok yang muncul di ambang pintu.
Ibu panti tidak pernah membuka topik perihal Jeonghan, seakan akan Jeonghan tidak pernah ada, seakan akan Jeonghan bukanlah bagian dari kami dahulu.
Bahkan ponsel sederhana yang aku miliki, tidak pernah memunculkan nama Yoon Jeonghan di layarnya.
Aku rindu, selalu menerka nerka apa yang sedang dilakukannya disana. Makan apa dia, atau apakah akhirnya dia punya seseorang untuk di isengi?
Pada satu malam, aku membuka pintu kamarnya.
Tidak pernah berubah, bahkan segala letaknya dari kami belum berkepala satu. Aku duduk di pinggir kasurnya, mengusap selimutnya yang agak berdebu setelah berbulan tidak pernah tersentuh.
Aku menatap kosong lantai kamar, tersenyum tipis mengingat banyaknya hal yang sudah terjadi disini.
Saling bertukar cerita akan mimpi yang di gantungkan, diam diam memakan kue coklat buatan Ibu panti, atau kadang kabur lewat jendela hanya untuk sekedar bermain di taman bermain tua di pekarangan kompleks perumahan panti.
Semuanya, kadang ingin aku ulang kembali.
Tidak terkecuali, satu pengakuan di malam hari ketika lampu rumah panti seluruhnya padam.
“Jeonghan, hidupin lilin”
“Sabar, aku lupa taro lilin dimana”
“Di laci”
“Kok?”
“Aku tau kamu selalu lupa ngambil lilin kalau udah habis, jadi aku ambilin”
“Kamu masuk kamar aku diem diem ya?”
“Biasanya kalau kamu telat pulang sekolah aja sih. Tapi kan didepan katanya yang boleh masuk yang punya pixy dust” aku terkikik kecil, menatap sekelebat dirinya yang sibuk ingin menghidupkan lilin.
Ketika cahaya merah lilin mengiluminasi wajahnya, ia duduk disebelahku. Kami menyandarkan punggung kepada pinggiran kasur, melipat kaki di lantai dan melihat cahaya api kecil menari diatas sumbu.
“Emang yang punya pixy dust cuma kamu aja?”
“Iya, coba tanyain anak anak lain, punya gak”
“Itu mah cuma fantasi kamu aja waktu masih kecil dulu”
“kamu waktu masih kecil punya fantasi gak, Kak?” Jeonghan terbahak. “Kok ketawa?”
“Gak papa, udah lama aja kamu gak manggil aku ‘Kak’ “ Ia tersenyum. “Hm.. fantasi..” Ia mengetuk dagunya dengan jari telunjuk beberapa kali.
“Menurut kamu, cinta itu bagian dari fantasi gak?”
“Menurut aku?” Jeonghan mengangguk. “Hm.. iya. Kayanya.”
“Kok kayanya?”
“Aku tuh masih kecil, gak paham kaya gitu gitu”
“Kamu emang gak punya orang yang kamu suka disekolah?” Aku menggeleng. “Kamu?” Giliran aku yang bertanya.
“Ada, tapi bukan disekolah”
“Terus?” Jeonghan mengusap tekuknya.
“Jawab aja dulu sebisa kamu kenapa cinta itu fantasi?”
“Ya emang gitu kan? Soalnya perasaan yang dirasain aja kasat mata, tapi kadang jadi magical soalnya bisa ngerubah orang lain”
“Oh ya? Cinta bisa ngerubah orang lain?” Aku mengangguk.
“Kenapa kamu bisa mikir gitu?” Sambungnya. Aku tersenyum kecil, menggeleng kemudian mengangkat bahu tinggi tinggi.
Senggang, kami menatap lilin yang cahayanya tidak terlalu mampu menerangi seluruh ruangan.
“Fantasiku.. kadang porosnya kamu..” Aku menoleh, sedikit membulatkan mata karena terkejut.
“Iya aku masih kecil, tapi kalau udah sama kamu kadang aku selalu mengharapkan happily ever after kaya di dongeng anak kecil”
Lucu. Dua anak lugu, tanpa tau bagaimana perputaran dunia di luar sana, kami berharap.
“Tapi aku sadar, aku masih kecil dan kamu juga. Jadi, fantasi aku cuma sekedar, ‘besok kira kira bahasan apa lagi yang bakal kita obrolin ya?’ atau ‘apa bakal seseru hari ini?’ gitu. Karena kalaupun mikirin buat memiliki kamu, waktu kita belum tepat, kan?”
“Menurut kamu, waktu yang tepat itu kapan?”
“Relatif, entah waktu kamu umur 18, aku 20, atau mungkin lebih dari itu”
“Kenapa?”
“Kita masih terlalu muda buat paham soal fantasi cinta, karena dengan pemikiran kita yang masih sempit, aku takut definisi cinta itu sendiri kita salah artikan” Ia mengusap puncak kepalaku.
“Dimanapun kamu, dimanapun aku, tungguin ya. Sampe kita ketemu waktu yang tepat”
Dan itu, alasan kenapa aku masih berdiri disini menunggu lekuk dimensi wajahnya kembali muncul diambang pintu.
Mungkin untuk sekedar memeluk Ibu panti, atau bolehkah aku berharap untuk memelukku?
-
Seorang anak kecil berlari jatuh dalam rengkuhan pelukku dan menangis, Jeno, umurnya 10 tahun.
Sudah semenjak tadi pagi, ia terus menggenggam tanganku, tidak memperbolehkanku pergi kemanapun.
“Adek.. Gaboleh nangis terus, di doain Ibu, supaya tenang”
Ibu pengurus Rumah panti dini hari harus pergi, dokter bilang beliau terkena serangan jantung.
Dan sebagai yang paling tua disini, aku harus merangkul anak anak lain yang hatinya patah, hancur dan berantakan.
Ibu panti adalah pengganti orang tua yang baik untukku. Ia merawat anak anak dengan tulus, menganggap bahwa kami semua lahir dari rahimnya sendiri. Maka atas segala kebaikan tanpa batas, Tuhan hadiahkan ia tempat tenang disana.
Pukul 12 siang, Ibu dimakamkan. Isak tangis menggelegar, terutama dari suara anak anak lainnya yang melepas kepergian Ibu dengan berat hati.
Langit hari ini teduh, tidak panas pun tidak mendung, seakan akan bersuara bahwa segalanya akan baik baik saja dan kami hanya perlu mempercayakan segalanya pada yang di-Atas sana.
Dan setelah semua selesai, rumah panti jadi lebih sunyi.
Penanggung jawab daerah setempat sedang mencarikan pengganti untuk Ibu, dan sampai disaat itu, suasana di rumah panti suram, tak ada senyum merekah di wajah anak anak lain.
“Kakak udah makan?” Jeno kecil menarik bajuku. Aku tersenyum, menggeleng. Suara daun bergesekan dari halaman belakang rumah. Anak kecil itu kemudian duduk di tempat kosong kursi panjang disebelahku.
“Makan sama Jeno yuk, Kak? Nanti kakak sakit” Aku mengusap ubun ubun nya.
“Jeno udah makan?” Dirinya menggeleng.
“Yaudah, Jeno makan dulu. Nanti kakak janji bakal nyusulin Jeno, ya?“ Ia mengangguk manis kemudian berlalu masuk kembali ke dalam. Di ujung sana, langit perlahan mulai berubah warnanya menjadi oranye keungu-ungan, matahari bersiap tenggelam.
“Makan dulu”
Aku mendongak, ketika suara seseorang mengejutkanku.
Lekuk dimensi wajah yang familiar, suara berat yang tidak asing, dan senyum simpul kecil di kedua sudut bibirnya.
Mataku panas, tenggorokanku tercekat. Tidak percaya, bahwa Yoon Jeonghan ada dihadapanku, setelah bertahun tahun eksistensinya aku pertanyakan keberadaannya.
“Bener kata Jeno, nanti sakit”
Aku masih diam. Dirinya kemudian duduk disebelahku, tepat di tempat Jeno kecil duduk bermenit yang lalu.
“Apa kabar?”
Aku menggeleng.
Kemudian, ia tarik dan ia jatuhkan aku dalam rengkuh hangat pelukannya.
“Engga papa.. kita doain Ibu ya supaya baik baik disana. Kamu boleh nangis, sekarang gantian aku yang rangkul kamu setelah kamu ngerangkul anak anak yang lain..” Ia tepuk pelan pundakku, ia jatuhkan dagunya diatas ubun ubunku.
“Kamu boleh sok kuat didepan yang lain, didepan aku gak perlu”
Ada rasa nyeri di ulu hatiku ketika mengetahui bahwa Ibu panti harus pergi untuk selama lamanya, namun air mataku terus tertahan. Aku terus berusaha menguatkan anak anak lain, dan sebelum itu, diriku sendiri harus lebih dulu di kuatkan.
Namun didepan Jeonghan, aku pecah. Aku meraung, membenamkan wajah di bahunya.
Perasaan campur aduk, menangisi kerinduanku atas sosoknya dan Ibu yang harus pergi selamanya.
“Engga papa.. Ada aku”
Jeonghan-ku yang bertahun tahun aku rindu, hari ini merengkuh tubuhku, jiwa rapuhku.
-
Malam semakin malam, rumah panti jadi lebih diam. Biasanya sampai pukul 10 malam pun, anak anak masih bercanda dan tertawa di seluruh lokasi rumah.
“Kamu pulang kesini?” Aku bersama Jeonghan kembali duduk di bangku panjang halaman belakang, dengan dua gelas teh hangat di masing masing tangan, Jeonghan menggeleng.
“Kuliah kamu, gimana?” Kali ini Jeonghan yang melemparkan pertanyaan.
“Aku kuliah di universitas swasta disini, Jeonghan”
Ia mengangguk. “Kamu jadi ambil jurusan Arsi?”
“Enggak”
“Loh kenapa?”
Aku tersenyum masam, “Kadang, gak semua mimpi harus sama kaya kenyataan, kan?”
“Terus kamu jadinya ambil jurusan apa?”
“Aku.. ambil pendidikan bahasa inggris. Aku mau jadi guru”
“Enak banget ya yang sekolahnya ada kamu jadi guru bahasa inggrisnya”
Aku tertawa kecil sambil menunduk menatap isi gelas yang aku genggam.
Senggang, seperti ada sekat tebal yang membuatku dan Jeonghan terasa jauh.
“Kamu.. apa kabar, Kak?” Dirinya menoleh, menatap dalam menuju manik mataku, dapat aku lihat getaran disana serta matanya yang mulai berkaca kaca.
“Jangan panggil kaya gitu”
“Loh.. kenapa?”
“Bawaannya jadi sedih”
“Karena udah lama gak denger ya?” Ia menyunggingkan senyum kecil tanpa melihatku.
“Kamu kemana aja selama ini, Jeonghan?” Ia diam, masih belum mau atau mungkin belum mampu menatapku. “Mimpi kamu yang mana yang akhirnya berhasil kamu wujudin? Gak mau cerita sama aku?”
“Banyak..” Dirinya akhirnya bersuara. “Bahkan yang gak aku mimpiin juga terwujud” Dan akhirnya berani menatapku.
Waktu melesat cepat seperti cahaya, aku hampir lupa, bahwa orang ini yang dulu menggendongku di punggungnya ketika aku jatuh di pinggir jalan. Hari ini, segala mimpinya serta merta terwujud.
Tidak lama, ia merogoh kantongnya, mengeluarkan sesuatu kemudian menyerahkannya padaku.
“Jeonghan?”
“Umurnya 2 bulan”
Aku membekap mulutku, menatap satu foto yang saat ini sedang aku genggam. Seorang bayi perempuan, dan kata Jeonghan umurnya 2 bulan.
Kini, ia berlutut didepanku.
“Kamu.. nungguin aku?“ Duniaku seakan akan berhenti berputar malam itu. Menyaksikan bahwa semesta ternyata tidak selalu merangkulku, tidak selalu berpihak padaku. Aku membekap mulutku, dengan genangan air mata dan foto di tanganku yang satunya, bergantian menatap seseorang yang kini sedang berlutut
“Selalu, Yoon Jeonghan. Selalu.”
“Maafin aku”
“Its okay, i’m happy for you”
“Kamu bakal nemuin yang lebih baik dari aku dan maaf aku gak pulang selama bertahun tahun bahkan gak ngomong kalau aku akhirnya…—“
“Nikah?”
“Nikah.”
“Jeonghan..” Cicitku. Dirinya masih berlutut dibawah sana, meletakkan satu tangannya diatas lututku. “Kita salah.. Kita selalu berusaha buat nemuin waktu yang tepat, tapi ternyata emang gaada kata tepat buat kita”
“Kamu.. masa kecilku paling indah. Kamu hari besok yang selalu aku tunggu tiap malemnya. Kamu pernah jadi poros di setiap hal yang aku temui, dan buatku itu semua cukup. Bertahun tahun yang panjang ini, cukup.” Suaraku bergetar.
“Maafin aku, udah buat kamu nunggu. Maafin aku, belum bisa berlabuh dan pulang ke kamu” Jeonghan tertunduk.
“Jatuh cinta gak pernah salah dan gaada yang salah soal perasaan, Jeonghan. Kamu gabisa kontrol akan melabuhkan hati sama siapa dan kamu gak perlu minta maaf soal itu, karena memang gaada yang salah”
Jeonghan kemudian mengelus pelan lututku, argumentasi yang aku keluarkan tidak luput dari sesaknya nafas menahan tangis dan perihnya tenggorokanku. Namun tetap, ada bulir bulir air mata yang jatuh deras. “Makasih, udah jadi cinta pertamaku. Aku selalu bersyukur orangnya kamu”
“Jeonghan, makasih, udah jadi cinta tanpa batasku, cinta tanpa henti, cinta tanpa syarat dan segala bentuk cinta lainnya. Makasih, udah selalu jadi yang pertama dalam perjalanan hidupku”
Rumah panti semakin sunyi, ketika Jeonghan akhirnya melangkah pergi. Ia berpamitan, meminta maaf pada yang dirumah sana, mengecup ubun kepalaku lama.
Sekarang, waktuku untuk mengikhlaskan sosoknya. Untuk menerima dengan lapang dada bahwa Yoon Jeonghan yang aku kagumi ini tidak akan kembali lagi. Yoon Jeonghan, telah berlabuh.
Jeonghan tidak pulang, waktu yang panjang untukku menunggu lekuk senyumnya yang kembali hadir ternyata berujung sia sia. Tidak pernah ada waktu yang tepat untukku dan dirinya. Sekarang, yang ada hanya kenangan kecil semata untuk di sorak-soraikan, bahwa ternyata, dulu pernah ada kita sebagai dua rasa atas sebuah cinta pertama.
—fin.