Day 499 to 500, Sunsetz.
Sunsets, we wander through a foreign town.
“Udah pernah ke Bogor kamu?” Aku menoleh, menatap Wonwoo yang fokus menatap jalanan. Sebagai jawaban, aku hanya menggeleng.
“Kamu udah sering ya?” Kali ini aku yang bertanya.
“Sering, tapi tetep aja kaya asing” Aku mengangguk. Sesekali mengedarkan pandanganku keluar jendela mobil.
“Tempat yang kamu ajak aku ini, kamu udah pernah kesitu?”
Dirinya mengangguk, “Dulu sama anak anak kantor pernah kesana”
“Kalau gitu.. Kita cari tempat lain” Ia mengerutkan alisnya, secara bergantian menatapku dan jalanan.
“Mau kemana?”
“Ya terserah”
“Kamu mau ngomong apa sih memang?”
“Nanti, kepo banget.” Ia menyunggingkan senyumnya. “Kita jajan dipinggiran gini aja terus nyari tempat lain”
“Yaudah, kita cari pelan pelan ya”
Strangely, there’s nobody else around
On the swing sets at the old playground.
Decitan di ayunan tua yang aku dan Wonwoo naiki mengusik pendengaran, walaupun pada kenyataannya, kami berdua menikmati es krim di tangan masing masing, dan di sepanjang mata memandang, hanya ada semburat jingga oranye di langit sana.
Lenggang, aku dan dirinya sibuk menjilati makanan dingin tersebut. Aku menoleh, menatap dimensi wajahnya yang teriluminasi warna oranye akibat pantulan cahaya matahari yang sebentar lagi jatuh diufuk barat sana, indah. Jeon Wonwoo yang indah. Sunset yang indah. Hidupku yang Indah.
Ia ikut menoleh, sadar kalau dirinya sedang di nikmati parasnya.
“Kenapa?”
“Gak papa” Aku mengalihkan pandangan menatap lurus kedepan, sesekali mengayunkan ayunan yang aku duduki.
“Kamu suka ga?”
“Apa? Suka apa?”
“Aku” Kemudian dia terbahak. “Enggak, Itu” Tunjuknya kini ke langit sana.
“Suka” Kataku. “Kamu”
Kita tersenyum, kemudian terkikik geli.
“Aku 27 tahun” Katanya.
“Aku 23 tahun” Balasku.
“Kenapa malah kaya anak remaja?”
“Biasanya juga gitu, Ayah sama Bundaku udah punya anak satu tapi suka gombal gombal kaya anak SMP” Ucapku, Wonwoo tertawa menunduk, dapat aku lihat hidungnya yang ikut mengkerut.
“Won..” Panggilku.
“Hm?”
“Selama ini, aku jahat ya sama kamu?”
“Kenapa ngomong kaya gitu?”
“Semenjak ketemu Mingyu kemarin, aku tau aku kayanya udah keterlaluan ya..” Jelasku.
“Nope, setiap orang selalu punya alasan sendiri, tugasku cuman harus belajar ngerti”
“Besok besok, kamu ga perlu belajar ngertiin orang lain” Sudut bibirnya tertarik.
“Setiap manusia punya jiwa egoisnya masing masing di dalam diri, ada beberapa egois yang menuntut kebaikan satu sama lain, ada egois untuk kepuasaan diri sendiri. Aku kangen, Won, sama Mingyu, terus terang. Tapi ngeliat dia yang desperate sampai mengharapkan sebuah kesempatan lain sama aku bener bener bikin aku gak habis pikir..”
“Dia selalu jadi cerita cinta yang sampai kapanpun gak bakal aku lupain, tapi langkahku udah gabisa disini aja. Aku sadar, aku kira selama ini aku udah jalan yang jauh, tapi ternyata cuma jalan ditempat.”
“Tiba tiba.. Ada kamu” Semburat oranye di ujung sana kini pelahan lahan menjadi semu, bersiap digantikan gelap. “Kamu yang berusaha runtuhin dinding yang aku bangun, kamu yang berusaha memperbaiki boundary yang aku set untuk diriku, kamu yang punya perasaan sabar segunung, kamu..” Manik matanya bertemu milikku ketika kalimatnya aku gantungkan.
“..yang berusaha belajar ngertiin alasan orang lain padahal itu seharusnya bukan ranah kamu untuk mengerti. Aku gatau kalau ternyata orang kaya kamu ada di bumi, lagi menghirup udara yang sama kaya yang lagi aku hirup” Aku menarik nafas, tersenyum kearahnya. “You are a beautiful soul, Won. You are, and I am grateful you do exist. Thank you for existing” Ia tersenyum lembut.
“Orang orang bilang, kita cuma harus belajar terbiasa. Sekarang, kalau kamu gak mencurahkan afeksi afeksi kecil buat aku, aku selalu mencari. Aku selalu berspekulasi dan akhirnya capek sendiri. Kadang aku bilang aku harus hati hati, kadang lagi aku bilang ini obat hati. Aku sampe bingung sama perasaan sendiri, sampe akhirnya aku nanya, ini.. apa aku jatuh cinta?”
Wonwoo tersenyum, entah senyum keberapa yang ia lukis diwajahnya pada agenda ini.
“Maafin aku, I have love you too late”
“No..” Buku buku jarinya kini mengusap pipiku. “Gaada yang namanya telat, adanya belum tepat. Mungkin sekarang emang waktunya. Waktu kamu udah melepaskan segala beban, segala sakit, segala sedih dan segala hal yang mengikat diri kamu sendiri, dan akhirnya kamu merasa udah lega, kamu juga masih butuh waktu kan? Terus akhirnya kamu siap, dan kamu ada di waktu yang tepat. No worries, aku disini”
“But what if, kamu pergi? Disaat aku belum siap? Kan namanya telat”
“It means, I am not meant for you?”
“you are meant for me?”
“dunno, let’s find out?”
“kalaupun in the midst on our way, ternyata you and me aren’t meant to be, make me the only one you could never ever compare till the day you die”
“I will make you the one till the day I die”
Langkahku mengembara, pada akhirnya bukan lagi perkara pergi, tetapi pulang. Dimulai di kota asing yang belum pernah aku datangi. Kali ini entah kemana dan akan kemana, tapi selama Wonwoo ada, aku yakin aku akan baik baik saja. Aku bisa mengistirahatkan diri di matanya, di mata yang membuatku tersesat dan jatuh sejatuh jatuhnya. Aku kini bisa meminjam bahunya untuk sekedar mencurahkan sedikit afeksi nyata padanya. Aku tidak peduli, apa yang terjadi kemarin, apa yang akan terjadi di hari esok, tapi yang aku tau, aku jatuh cinta kepada sosok ini seakan akan tidak ada lagi hari esok. Aku punya hari ini, dan hari ini ada Wonwoo disini, Wonwoo—ku.
(Quit, don’t quit. Noodles, don’t noodles. You are to concerned with whats and what will be. Here is a saying, yesterday was history, tomorrow is mystery, and today is a gift, that is why it called present.
—Oogway, KungFu Panda)
But when you go away, I still see you.
The sunlight on your face in my rear-view.
(“Won? Mau temenin aku ke acara nikahan Mingyu?”
“Masih sempet?”
“Masih, ada night party nya”
“Sure”)
-Midnight, 02.00 A.M. Day 500, the Acceptance.
“You happy?” Wonwoo menoleh sedikit kepadaku, aku tersenyum.
“All is well now, Wonwoo. You are here, and all is well.”