#1, a broken masterpiece.


“Let it go, let it leave, let it happen” -rupikaur.


“Kak Seungcheol?” Seorang lelaki bersurai kelam menoleh.

“Hai? Waah udah lama banget” Ia mendekat, menghampiri diriku.

“Banget kak. Kakak udah lama disini?”

“Hmm.. 3 bulan kali ya?”

3 Bulan.

“Kamu sendirian?”

Aku.. Selalu sendirian Kak.

Sudah 15 menit aku mengelilingi gedung pusat seni ini untuk menikmati sebuah festival museum. Lukisan, grafiti, ilusi optik, semua sudah kunikmati. Sampai akhirnya, iris mata yang selalu aku kagumi ini, setelah bertahun lamanya, aku nikmati kembali.

Pupilnya, tatapnya, adalah museum tersendiri untukku.

Sedikit aku ajak menapak tilas bagaimana Kak Seungcheol akhirnya meninggalkan sejarah sampai sampai harus kubuatkan museum sendiri untuknya disini, di sebuah palung paling dalam di sisi hatiku.

3 tahun yang lalu, sebuah commuterline jurusan antar kota melaju meninggalkan stasiun, setiap gerbongnya dipenuhi sesak manusia dengan kepentingannya masing masing, dan aku ada disana, ikut menyesakkan diri dan secara beruntung, mendapati sebuah tempat duduk di kursi prioritas. Aku mengedarkan pandangan, mencari validasi bahwa memang tidak ada orang prioritas yang pantas untuk mendapatkan kursi ini, dan memang tidak ada.

kakiku aku lipat, dan mataku sibuk memainkan ponsel, menolak menangkap tatap orang orang yang berdiri dihadapanku. Sampai ketika commuterline ini sedikit berbelok, kaki seseorang menabrak lututku.

“Sorry..” Aku mendongak, mendapati ia yang berdiri memegang pegangan besi, berusaha bertahan dari guncangan guncangan kecil.

“Iya gak papa, mas”

Sorry?” katanya lagi, kali ini memanggil.

“Iya?”

“Ini..” Ia mengeluarkan kertas. “Kalau berhenti di stasiun ini, nanti di umumin kan?” Aku mengambil kertas yang diberikannya.

Stasiun yang sama denganku.

“Oh iya mas, ntar diumumin pake speakernya. Saya juga turun disini kok”

“Oh.. iyaa makasih ya. Sorry banget soalnya ini pertama kali naik commuterline disini”

“Iya gak papa kok mas”

“Kalau bareng, boleh?”

Boleh.

“Permisi kursi prioritasnya, ada Ibu hamil” Seorang petugas berteriak, aku langsung berdiri, memberikan kursi prioritas kepada yang pantas.

Aku menggapai pegangan dan bersampingan dengan sosoknya.

“Seungcheol” Ia memperkenalkan diri.

“Iya, salam kenal” kataku.

Sorry ya kalau ngerepotin” Aku menggeleng.

“Gaada yang salah kok sama bantuin orang lain”

“Makasih sekali lagi”

“Iyaa mas, sama sama”

Lenggang, yang terdengar hanya suara desingan rel kereta serta mulut mulut manusia lainnya yang sibuk mengoceh bercerita.

“Kamu ada urusan apa kesana?” Tanya Seungcheol.

“Saya cuma mau main main aja kok mas”

“hm.. Panggil nama saya aja gak papa.. soalnya saya bukan orang Jawa” Ia mengusap tekuknya.

“Oh iya Seungcheol?”

“Cheol juga boleh”

“Memang kamu sebelumnya dimana? kok baru kali ini naik commuterline disini?”

“Kuliah, di Korea”

“Oh? Punya keluarga disana?”

“Iya, Papa saya orang sana”

“Blaster?”

“Iya”

“Oh iya keliatan” Ia terkekeh mendengar jawabanku.

“Kok bisa bahasa Indo?”

“Kan Mama saya orang sini, jadi kalau dirumah ngomongnya bahasa Indo”

“Ke Indo memang ada urusan atau gimana?”

“Saya bakal netap disini.. Soalnya Papah udah pensiun” Aku mengangguk.

“Kamu tadi katanya mau main main, sama siapa?”

“Sendirian”

“Sendirian?”

“Iya” Aku mengangguk. Masih sama sama menggantungkan tangan ke pegangan dan mengobrol berhadapan. “Kebetulan ada pameran museum yang diadainnya cuma setahun sekali, sayang kalau gak ikutan. Lagian harga commuterline lagi murah murahnya.. Jadi ya kenapa engga”

Ia mengangguk.

“Kalau saya ikut, boleh?”

Boleh.

“Sebenernya temen saya bilang bakal jemput dan ajak saya jalan jalan, tapi barusan aja pas saya naik, dia bilang harus nemenin Ibu nya Check Up.. jadi.. Saya ditinggalin. Kan sayang kalau saya harus balik lagi” Ia menunduk tertawa, aku tersenyum. “Yaa, in case if you ever need a friend?”

“Iya, Boleh Seungcheol”

“Makasih?”

No worries

Itu.. pertama kali aku memulai percakapan dan pertama kali cerita ini dimulai.

Pameran museum yang selalu aku hadiri dengan membawa diri sendiri, kali ini membawa Seungcheol, sebagai label teman. Aku tidak berekspetasi apapun, kalaupun ia harus meninggalkan ku ditengah agenda ini, maka segalanya akan aku lanjutkan sendiri.

Tapi, sampai sore menjelang malam, aku dan ia malah duduk di bangku taman pinggiran kota dengan cahaya remang dari lampu jalanan, dan pedagang kaki lima dibelakangnya.

“Kamu memang suka seni?” Ia membuka percakapan.

“Suka”

“Udah berapa kali ikut pameran museum kaya tadi?”

“Lupa.. tapi kayanya gabisa dihitung” Ia mengangguk.

“Kalau sendirian gitu apa gak awkward? Maksudnya biasanya tuh kalau ada temen kan bisa foto foto?” Aku tertawa, menggeleng.

“No, aku mau menikmati seni, Seungcheol.. Bukan mau menikmati diriku sendiri”

Well..” Ia mengeluarkan ponsel. “Since you said that you were always gone alone, i took a few pic of you.. let’s see

Kita sama, pasti akan berfikiran kalau laki laki ini gila dan apakah terobsesi sampai sampai mengambil potret diam diam.

“Aku hapus kok, tenang aja.. I ain’t that kind of impolite person.. believe me” Dari sistem Airdrop, setelah ia kirimkan semua hasil fotonya, didepan mataku ia hapus semua fotoku bahkan sampai menghapus ke ‘recently deleted’ agar terhapus permanen.

It was nice to enjoyed an exhibiton with you. Thank you for lettin’ me in

No worries.. hm thankyou juga.. fotonya” Aku mengangkat ponselku ke udara.

Suasana jadi lengang, jalanan di hadapanku pun hanya satu atau dua motor yang berjalan melewati. Sedikit canggung.

“Aku boleh beropini gak?” Seungcheol memecah sunyi. Aku mengangguk. “Menikmati seni tuh emang point penting sih, tapi kadang menikmati diri sendiri juga gaada salahnya. Because all of us is an artwork.. a masterpiece” Sudut bibirnya terangkat, cahaya remang lampu jalanan mengiluminasi wajahnya. Seni rupa 4 dimensi? 5 dimensi? Berapapun dimensinya, tapi malam itu karya seni yang telah Tuhan ciptakan, aku nikmati dengan perasaan.

We are all an artwork. Indeed

“Kalau saya follow sosial media kamu, boleh?”

Boleh.

//

“Aku mau main ke pameran lagi” Suaranya meraung dari seberang sana, malam ini, kami bertukar cerita melalui telfon.

“Yaudah.. kan tinggal main?” Balasku.

“Yaaa masa sendiri?”

“Yaaa terus mau sama siapaa?”

“Yaaaa sama kamuu?”

“Yaaaa kenapa harus sama aku?”

“Yaaaaaa gak papa mau ajaa”

“Yaaaa kasih aku alasan dong”

“Yaaaaaa karena seruu”

“Yaaaa kan kalau main ke pameran cuman nontonin pamerannya aja?”

“Yaaaa emang kenapasih kok gaboleeh” Aku tertawa, kami berdua tertawa.

“Boleh Kak, Ayo?”

“Asikkkk.”

Katanya, ternyata umurnya lebih tua dariku. Semenjak 4 bulan yang lalu, ada banyak pesan yang tertukar lewat sebuah aplikasi chat dan ada banyak panggilan panggilan tak terhitung yang terkadang berasal dari sana.

Ada cerita tak berujung hingga terkadang berakhir aku yang tertidur dengan panggilan yang masih berjalan, pun kadang ia yang tertidur—dengan permintaan “Telfonnya jangan dimatiin, boleh ya?”

Boleh, Kak.

“Kamu kenapa ngajak aku terus? Emangnya temen temen kamu yang lain gak mau?”

“Temen temen aku gak suka seni kaya kamu, gak suka nonton pagelaran, gak suka diajak main ke museum, gak suka diajak ngobrol apakah bakmi juga bagian dari seni” Dia tertawa, kita masih sama sama tersambung dari telfon. “Kenapa? Kamu bosen ya main sama aku?”

“Enggak kok, kenapa harus bosen. Menurutku, aku sama kamu sama sama nyambung kalau diajak ngobrol. Apalagi soal seni hahahah”

“Se-frekuensi?”

“Lebih dan kurang sih gitu”

“Hmm.. Yaudah kalau gitu kita ketemu besok ya.. Di commuterline jurusan antar kota kaya biasa”

Find me ya.. Aku ga bakal bilang aku ada di gerbong berapa”

“Hahaha.. Kalau aku bisa nemuin kamu?”

“Hmm.. Kamu mau apa?”

“Konteksnya?”

“Ya apapun kak, hadiah, atau kamu mau dibayarin makan, atau apa kek..”

“Oke.. Apapun ya?”

“Iya.. Apapun.. Tapi jangan yang aneh aneh loh ya?”

“Aneh aneh tu misalnya gimana?”

“Misalnya kamu nyuruh aku minta nomer telfon petugas kereta”

“Hahaha, ya enggak lah.” Ia tertawa diujung sana. “Tapi bener ini dikabulin ya, apapun? Kecuali mintain nomer petugas kereta?”

“Ya pokoknya jangan yang aneh aneh kaakkkk”

“Iyaa enggak”

But in case.. Kamu gagal dan nyerah.. Grant my wish” Kataku.

“Aku gak bakal nyerah, in the end, you’ll grant my wish

“Oke let’s see. Siapa yang bakal grant a wish. Aku atau kamu”

Okay, deal. So see you tomorrow and.. Goodnight” Telfonnya kemudian terputus, meninggalkan bunyi dan meninggalkan lenggang di kamarku ini. 4 bulan, biasanya beberapa kali ada aku dan dirinya yang menghabiskan akhir pekan dengan bertemu di satu kota untuk sekedar berjalan mengintari jalanan, atau makan bakmi dan berspekulasi apakah bakmi juga bagian dari seni dan pantas dinikmati.

Kak Seungcheol, dan beribu hal magis dari dirinya yang selalu aku nikmati sebagai bagian dari sebuah karya seni. Kali ini, sebuah kupu kupu yang beterbangan di perutku dan rasanya akan keluar dari tenggorokan, kak Seungcheol adalah bagian dari penciptanya.

Commuterline yang sama seperti 4 bulan yang lalu dimana aku pertama kali bertemu dengan sosoknya, aku sengaja duduk di gerbong yang sama dan di kursi yang sama, kursi prioritas.

Harusnya, Kak Seungcheol tidak perlu susah susah mencari, kalau memang hal ini berkesan dan terpatri dikepalanya.

15 menit kereta berjalan, aku belum menemuka sosoknya. Pesan dengan kata menyerah juga belum aku terima dari notikasi bar di ponselku. Aku mengedarkan pandangan, tapi sosok familiar itu belum tertangkap manikku.

Tidak lama seorang petugas berteriak, “Permisi kursi prioritasnya, ada ibu hamil” Lagi, aku harus berdiri dan memegang pegangan besi untuk bertahan dari guncangan guncangan kecil. Kak Seungcheol, tetap belum aku temui dimensi wajahnya.

15 menit.

10 menit.

5 menit, sebelum commuterline berhenti di stasiun tujuan, tapi dirinya belum aku temui dan ponselku belum menerima pesan darinya.

Kalau begini, siapa yang akhirnya menyerah?

Suara familiar dan sentuhan kecil membuatku menoleh, “Got you” Bisiknya dari belakang telingaku. Aku tersenyum.

“Aku lama banget mikirin Clue, gak kepikiran kalau kamu ada disini”

“Emang disini kenapa?” Tanyaku, kini berbalik, sedikit mendongak karena sosoknya yang cukup tinggi, berhadapan dengannya, dan menggantungkan tangan ke pegangan besi.

The first time we met kan?”

“Kamu inget?”

“Ya inget lah.. “

How?”

How? Ya karena..” Ia menggantungkan kalimatnya, kemudian berdeham, “kinda special momment.. I guess” Ia membuang pandangannya keluar jendela, sudut bibirnya tertarik, menciptakan senyum kecil yang berusaha ia sembunyikan.

thank you..” Kataku, ia mengernyitkan alisnya.

“Buat?”

For made it a special one?

“Hahaha.. Weird” Katanya. “I am 27 but it feels like i am 15

well, then I'll figure it out as.. love?

It is.. For sure” Sudut bibirnya semakin naik keatas, tersenyum menatapku.

Ada banyak manusia yang berdiri dan hadir didalam commuterline menuju satu kota dengan urusan masing masing yang berbeda, dan betapa magisnya sebuah hal bisa terjadi didalam suatu waktu seperti ini. Suka dan duka, kebahagiaan dan kesedihan. Tapi aku, sebagai yang beruntung, jatuh cinta.

Pada agenda kali ini, aku dan Kak Seungcheol menghadiri sebuah museum cahaya sumonar. Dan betapa menakjubkannya bagaimana berbagai bentuk cahaya itu bergerak dan mengiluminasi masing masing wajah tiap insan yang ada, tidak terkecuali sosoknya.

Dari samping, aku dapat melihat bagaimana lekuk wajahnya disiram cahaya bergambar yang berubah ubah, terkadang jadi biru, kadang lagi jadi jingga. Irisnya, sesekali mengikuti bagaimana bentuk iluminasi cahaya cahaya itu.

Grant my wish” Katanya tiba tiba.

Sure

Be mine?”

Hah?

“Ha?”

Don’t make me mentioned it twice. Aku tau kamu denger apa yang barusan aku bilang”

“Y-ya.. Aku denger, Kak. Tapi.. Aku coba cari validasi kalau aku memang gak salah denger”

You aren’t

Why?”

“Kenapa apa?”

“Ya.. Why me?”

Ia diam, tersenyum masih menikmati cahaya sumonar dihadapannya.

i do like art, tapi kamu.. It feels like that you are more than an art. Maksudku, lebih dari sekedar menikmati, aku mau memiliki. Boleh?”

Boleh, Kak. A thousand times, akan selalu boleh.

And that’s how we started.

Minggu minggu kelam, ada Kak Seungcheol yang mengajakku sekedar lari dari kenyataan hidup untuk menikmati jalanan sunyi dan dingin disuatu kota yang kita berdua sama sama gak tau ada apa didalamnya. Meromantisasi commuterline, pedagang kaki lima, maupun kursi dingin dipinggir jalanan. Kak Seungcheol, selalu tau bagaimana menghibur dengan hal hal sederhana.

Dan dengan kesederhanaan itu, aku beribu ribu kali jatuh.

Bertahun dia yang selalu meletakkanku di prioritas nomor satunya, dimanapun itu. Mengejarku dari commuterline satu ke commuterline lainnya untuk sampai dikotaku, menjemputku, apapun itu, aku yang selalu di nomor-satu-kan nya.

“Makan dulu” Pada suatu malam dimana ia menemukan bahwa aku harus dirawat di rumah sakit karena terlalu lelah akibat bekerja.

Aku menolak, karna rasanya setiap ada apapun yang masuk ke mulutku, maka akan aku muntahkan detik itu juga.

“Habis ini minum obat, atau kamu mau aku panggilin suster aja biar di suntik lagi”

“Sakit tau”

“Mana sakit sakitan sama masukin ke makanan ke mulut?”

“Akutu mau muntah kalau makan kak..”

“Ayodong, biar kamu minum obat” Di meja disebelah kananku, ada layar laptopnya yang terus menyala, belum disentuh sedari tadi.

“Kamu gak kerja, Kak?”

“Gimana aku mau kerja kalau kamu gak mau makan kaya gini?”

“Tadi katanya ada meeting?”

“Meetingnya udah aku reschedule, biar kamu makan dulu”

“Kalau aku tetep gak mau makan?”

“Ya aku reschedule lagi”

“Kalau tetep gak mau makan?” Ia menutup matanya, kemudian menarik nafas dalam. Tangannya yang dari tadi memegang sendok untuk menyuapiku, kini ia turunkan.

“Bakal aku reschedule terus sampe kamu mau makan, oke? Jadi..” Ia mengusap kepalaku. “Ayo dong, sama sama bikin supaya jadi lebih gampang, ya? Biar kerjaanku selesai, kamu juga udah makan, minum obat, terus tidur, biar akunya juga tenang, sayang..”

Ia terlalu sempurna, sampai sampai rasanya aku tidak pantas mendapatkan sosoknya. Kelembutan, kesabaran, tanggung jawab, dia punya semua itu dan aku, tidak perlu meminta lebih, karena dengan cara sederhana yang ia tuangkan untukku, ia selalu mampu membuatku jatuh terus menerus.

“Iya..” Balasku, kemudian ia cium puncak kepalaku dan pelan pelan aku mulai melahap makanan yang ia sodorkan dengan sendoknya.

Aku memang selalu mengira bahwa aku paham akan dirinya, terlebih ketika dia yang selalu meletakkan aku pada prioritas utamanya. Aku selalu merasa bahwa apapun, dimanapun dan kapanpun, Kak Seungcheol akan selalu mendahuluiku diatas segalanya, kecuali satu, pendidikan.

“Aku mau ngelanjutin S2”

Siang itu terik, matahari sedang ceria cerianya. Dan di sebuah cafe di kota tempatku tinggal, ada geluduk besar yang mengagetkanku, ditengah cuaca terang menderang.

Tanpa sebuah aba aba, tanpa sebuah peringatan.

“Y-yaudah? Gaada masalah antara aku sama kamu kan kalaupun kamu ngelanjutin S2?”

“Kalau aku minta waktu buat kita, boleh?”

“Maksudnya?” Dirinya diam, pemikiranku mulai kacau.

Harusnya waktu itu, tidak boleh, Kak. Aku tarik semua ucapanku soal 1000 kali pun akan selalu boleh, kalau ini, tidak, harusnya tidak boleh.

“Memangnya kenapa? Kan gak ngerubah apa apa, Kak?”

No.. You don’t understand

“Yaudah, jelasin biar aku ngerti”

“Aku..” Katanya, menggantungkan kalimat.

“Kamu kenapa?”

“Aku gabisa jalani dua prioritas yang sama, jadi mau gak mau aku harus korbankan salah satunya, dan pendidikan.. Maksudku, aku udah ngincar universitas ini jauh sebelum aku lulus S1 dan hari ini.. Aku dapet kesempatannya” Kak Seungcheol menunduk, menatap sepatunya.

“Aku gak papa kok, di jadiin nomer dua. Aku paham kak, 1000 kali paham kalau pendidikan itu yang nomor 1, jadi aku akan selalu gak papa soal itu.”

“Aku gak bisa..” Cicitnya, kita terdiam. “Buat ninggalin kamu aja aku sebenernya gak bisa..”

“Jauh ya, Kak?” Tanyaku, kemudian ia keluarkan amplop dan aku baca dengan seksama, Jepang.

Dari sini, aku bisa lihat bagaimana ada rintik air mata yang jatuh dan mendarat di celananya, segera ia hapus jejak air mata tadi di celana juga di pelupuk matanya. Ia menangis, kak Seungcheol menangis. Dan aku, tidak bisa melakukan apapun selain membiarkan dirinya membuat pilihan, karena bertahun lamanya aku melalui hari bersama dirinya, ia belum mendapatkan apa yang pantas ia dapatkan dariku dan hari ini, akan aku berikan semuanya, segalanya, bahkan waktu yang ia minta barusan.

“Kak..” Panggilku. Kini aku berpindah, yang awalnya duduk dihadapannya, kini beralih ke sampingnya.

Aku tangkup kedua pipinya, aku tatap matanya yang mulai memerah, aku hapus sisa sisa air mata yang tertinggal. Hari ini, kak Seungcheol adalah yang nomor satu, diatas sakit, sedih dan duka yang aku tahan, hari ini ia harus mendapatkan segalanya.

I’ll let you go..” Ia terseguk, meraung. “I’ll let you go, kak..”

Hatiku teriris mendengar seguknya, hatiku teriris melihat ia yang berusaha mengusap pelupuk matanya untuk menyembunyikan tetes air yang tak kunjung mereda, hatiku teriris, ketika ia mulai mengatur nafas dan menangkup wajahku dikedua telapak tangannya. “Ingat kan.. Waktu aku nemuin kamu di gerbong kereta tempat pertama kali kita ketemu?” Aku mengangguk.

I promise..” Kalimatnya terputus akibat segukannya. “I promise I'll find you in the other day, ya?”

Dan begitu, bagaimana hari ini aku dan dia yang saling menemukan. Disebuah tempat yang aku maupun dia sama sekali tidak mempunyai petunjuk akan agenda ini. Tapi setelah bertahun lamanya, tanpa kabar, akhirnya kutemukan dirinya, kak Seungcheol yang tidak berubah, kak Seungcheol yang selalu sama dimataku, dan keindahan parasnya.

Hatiku bergejolak, pikiranku mulai menapak tilas pada perasaan perasaan yang dulu sempat ada, mulai mengingat bagaimana hari hari yang aku lalui dengan sosoknya, bagaimana kemudian secercah harapan didalam diriku meronta ronta ingin mencari validasi bahwa pada akhirnya, kita yang saling menemukan, dan pada akhirnya, apa mungkin kembali ada kata diantara kita?

“Kamu sendirian?”

Aku mengangguk, “Kebetulan sendirian, Kak”

“Oh berarti, selama ini gak sendirian ya kalau main ke museum?” Aku tertawa, mengibaskan tangan ke depan wajahku, ada perasaan canggung yang tumbuh diantara aku dan dia. Mungkin karena jarak waktu perpisahan antara aku dan kak Seungcheol yang memang cukup lama.

“Kakak, sendirian?” Senyum yang ia lemparkan kini memudar, kini tangannya menunjuk pada satu orang penikmat seni yang sedang mendongakan kepalanya, menatap sebuah benda yang dipanjang di dinding. Seorang gadis.

“Namanya Wendy, nanti.. Kenalan, ya?”

Kakiku bergetar hebat, senyum simpul diujung bibirku kini jatuh, dan ada rasa nyeri di ulu hatiku.

Aku akan bilang bahwa kebahagiaan kak Seungcheol akan aku letakkan di prioritas nomor 1 ku, tapi bohong kalau aku bilang bahwa aku bahagia melihat dirinya yang ternyata membawa seseorang, bohong kalau aku bilang aku tidak berharap, bohong kalau aku bilang hatiku tidak meringis kesakitan, dan bohong, kalau tidak ada yang menghujam jantungku barusan. Karena kalimat yang baru ia lemparkan, benar benar menembus dadaku.

I am sorry.. I broke my promise. Harusnya aku gak perlu janjiin kamu apa apa..”

But..” Cicitku. “You found me, Kak. You keep your promise and that’s enough

That is not what i mean..

I know what you mean. Tapi coba kesampingkan hal itu, karena kamu memang nemuin aku..”

I am sorry..”

“Aku juga”

“Kenapa?”

“Maafin aku karena harus balik berharap waktu aku dan kamu ketemu kaya gini, Kak. Aku terlalu tenggelam dan berfikir bahwa selamanya aku akan tetap jadi yang nomor 1. it’s okay, kalau dulu kamu selalu menomor-satu-kan aku diatas apapun, kali ini, kebahagiaan kamu akan aku nomor-satu-kan diatas kebahagiaanku sendiri, Kak.” Air mata sialan itu kini mulai jatuh.

It was nice to know you. It was nice to be your number one, once. It was nice and i wish i can turn back time to the good old days, and stuck there. So it will just you and me, and no Wendy..”

Sorry..”

“Kak, you know that i have loved you, kan? I did my best, now go chase your dream with her. It is nice to see you after a long season, aku balik duluan ya, kak?”

Aku berjalan meninggalkan sosoknya, melambai kemudian menghilang dibalik ruangan lain. Aku menemukannya dan ia menemukanku. Ia menemukanku menunggu, tapi aku menemukannya berlalu, berlalu mengejar mimpinya yang lain dan bukan bersamaku.

Dan untuk yang terakhir, aku selalu bahagia bisa mengenal dirinya. Bagaimana senyumnya pertama kali aku saksikan di commuterline jurusan antar kota, bagaimana pertama kali aku dan ia menikmati sebuah pameran seni dan berujung aku dan ia yang menikmati satu sama lain atas sebuah karya seni ciptaan Tuhan, bagaimana ia yang selalu menjadikan aku nomor 1 nya, maka kini, sebagai sebuah hadiah, ia aku lepas atas sebuah tuai yang telah ia tanam.

I have loved you and I let you go.

—fin.