youngswritting

Wonwoo duduk di meja makan Bersama Ayah dan Bunda, begitu dirinya melihatku, ia langsung bangkit dari duduknya.

“Kamu dari mana aja, Nak?” Ayah bersuara.

“Cuma jalan jalan aja, Yah, sebentar” Ayah dan Ibu saling melempar pandang, kemudian berjalan mendekatiku.

“Bunda sama Ayah tinggal ya, ngobrol dulu sama Wonwoo” Keduanya kemudian hilang dibalik daun pintu, ada suara mesin mobil yang hidup kemudian samar dan hilang. Kini hanya ada aku dan Wonwoo, di meja makan dan saling mematung, berdiam diri menatap kekosongan.

“Tadi, kemana?” Sahutnya, memulai obrolan.

“Dermaga”

“Sendirian?” Aku menatap Wonwoo yang sekarang menatapku.

Aku diam sejenak, menimbang, apa alasan yang harus aku katakan, mencoba jujur atau berbohong. “Sama Mingyu”

Hening. Tensi didalam rumah kini jadi tidak lagi sama seperti sebelumnya. Wonwoo mengusap wajahnya, mengangguk.

“Kamu mau ngomong apa?” Kali ini aku yang bersuara, ia di ujung sana membuang nafasnya.

How’s with Mingyu, by the way?”

Fine, we just talked

About?”

How life treated us. How our lover treated us” Wonwoo diam, aku diam, yang terdengar hanya tetesan air di wadah tempat pencucian piring di dapur.

“Kamu mau ngomong duluan, atau aku yang ngomong duluan?” Tanyaku.

Raut wajah Wonwoo berubah, menjadi lebih serius dari biasanya.

“Kamu bilang, kita butuh ruang, tapi kenapa aku disini sama sekali gak bisa bernafas?” Pupilnya bergetar, suaranya tiba tiba tercekat, parau.

“Kita.. dimakan ego kita sendiri, Wonwoo. Sesak”

Kini, bulir air mata mulai memupuk di kelopak mataku, bersiap untuk jatuh. Wonwoo, kita kacau.

“Kalau gitu, ayo berhenti ngasih makan ego kita masing masing.” Aku mendongak, menangkap manik mata Wonwoo yang benar benar sepenuhnya tertutup pupukan air matanya sendiri, Wonwoo-ku, menangis.

Aku bangkit, berjalan menemui sosok yang dulu mewarnai abu abu nya hariku. Yang melukis bintang pada lukaku, walaupun akhirnya lukanya kembali berdarah.

Aku sentuh bahunya, aku jatuhkan ia pada rengkuh pelukku, dan kami berdua akhirnya runtuh menuju tangis.

Tidak apa-apa lukaku kembali berdarah, agar supaya dapat kembali aku rawat dengan baik, agar supaya aku mengerti arti sembuh dan sakit.

Kini tangannya melingkar di pinggangku, memelukku kuat. Benar, jarak dan ruang membuat semua terlihat jelas. Kita yang butuh ruang agar bebas bergerak, kita yang butuh jarak agar mengerti arti sebuah menghargai keberadaan satu sama lain. Hari ini, semua jadi lebih jelas.

“Wonwoo, aku sayang kamu” Masih terseguk, ia tidak menjawab, semakin mengeratkan peluknya, seakan akan besok ada yang harus berpisah.

“Kita mulai semua dari awal lagi, ya?”

Mingyu menangis, ada bulir air mata yang jatuh di pipinya. Untuk pertama kali semenjak aku berpisah dengan sosoknya, ini kali pertama aku melihat kesedihan yang penuh desperasi di dalam sana.

Sorry” Cicitnya. Mengusap sudut matanya dengan buku jari.

It’s okay. It’s okay if you wanted to cry, Mingyu.” Sunyi senyap kemudian hadir diantara aku dan dirinya. Yang terdengar hanya suara angin dan deburan ombak kecil. “You miss her?” Tanyaku.

It feels like I really wanted to die

“Tapi Seung Wan disana juga udah gak sakit sakit lagi, Mingyu”

“Iya”

I’m sorry, my deep condolences

Thank you” Mingyu menekuk bibirnya, menengadah dan menatap jauh ke atas langit sana. “Hari ini 100 hari nya”

“Terus kok kamu disini?”

“Mama baru aja ngabarin aku, dia lupa dan aku juga gak mau ingat kalau hari ini 100 harinya Seung Wan. So, that’s why. Aku pergi”

Is it hard? 100 hari kamu belakangan?”

So damn hard” Mingyu membuang nafasnya. “Gimana ya.. kosong, sampe aku bingung ini aku lagi ngapain ya di dunia?”

“Australia sama Jakarta jadi gak ada bedanya. Sama sama selalu ada dia” Sambung Mingyu. Aku tidak mampu merespon apapun. Yang aku tau, manusia disebelahku ini sedang berada di titik paling dasar hidupnya, berkali kali kehilangan orang yang ia sayangi.

“Kalau gaada bedanya kenapa kamu balik ke Jakarta, Mingyu?” Ia tersenyum, menoleh kearahku.

“Aku mau jenguk Mama, sekalian mau ngajak dia pindah. Gaada lagi yang aku punya selain Mama”

“Pindah? Kamu mau pindah kemana?”

“Malibu. Aku mau mulai semua dari awal kesana. Mulai kehidupan baru. Yang gaada Papa, gaada Seung Wan, dan gaada kamu” Ia masih menatapku, dengan matanya yang berembun. “Cuma ada aku sama Mama”

Aku diam. Mendengar pernyataan dia barusan. Hidup Mingyu, sudah sepenuhnya kacau. Entah seperti itu memang jalan takdir semesta untuknya, atau memang itu jadi sebab akibat atas apa yang telah dia lakukan, entah, aku tidak mau memperburuk keadaan dengan berspekulasi tanpa arah.

Aku hanya mampu untuk diam, tidak mampu dan sebenarnya tidak mau menimpali lebih dalam.

“Kamu sendiri? Kenapa disini?” Aku tersenyum miring, tidak mau menatap dirinya, hanya mau menatap laut lepas.

Just.. don’t know. Belakangan banyak banget hal yang bikin kepalaku terus bercabang”

“Wonwoo?”

“Masih inget?”

Of course lah. Ya kali aku engga inget” Mingyu tertawa kecil, juga mengundang tawa dariku.

“Yah, gitu lah”

“Rumah tangga juga?”

“No, belum, Mingyu” Aku terkikik. “Muka ku udah keliatan stress kaya Ibu rumah tangga ya?”

Mingyu tertawa kecil setelah tangisan penuh keputusasaan nya barusan. “Enggak, gak gitu. Maksudku, ya siapa tau kamu lagi ada masalah rumah tangga jadinya kabur. “ Aku menggeleng. “Tapi sama Wonwoo?”

“Masalahnya apa nikahnya?” Nada suaraku sedikit meledek.

“Dua duanya?”

“Iya, sama Wonwoo” Jelasku dan mendapat balasan sebuah anggukan dari Mingyu.

Aku menunduk memainkan jariku, ragu ragu ingin menyampaikan satu pertanyaan yang terus terusan berlari di kepala, namun akhirnya tetap keluar dari mulutku, “Mingyu.. aku kalau nanya, boleh gak?”

“Ya boleh lah, kenapa engga?” Aku tertawa kecil, tidak langsung bertanya, sedang merangkai kata.

“Dulu, kamu pernah ngerasa ragu gak, buat nikahin Seung Wan?”

Mingyu mengerutkan alisnya. “Ragu? No. Not even a little bit. Bahkan aku selalu excited. Apalagi detik detik menuju akad, hahaha” Ia tertawa.

Right.” Aku mengangguk. Dirinya bingung, dari raut wajahnya, dirinya berusaha menebak banyak hal.

Are you okay?”

“Yah.. as it seems

You are not, then” Mingyu melempar pandangannya jauh, tidak lagi menoleh kepadaku. kali ini, giliran aku yang menoleh pada sosoknya.

How could you say kalau Wonwoo ragu sama kamu?” Oh, benang kusut itu cepat terurai di kepala Mingyu ternyata.

Don’t know. The way he acts, the way he talks, the way he sees me, sometimes it wasn’t right

Maybe there is something wrong?”

“Gak tau, Mingyu. Sekarang juga lagi di cari tau”

Good luck?”

Thank you” Balasku. “Dan makasih juga buat jawaban kamu” Mingyu mengibaskan tangannya didepan wajah, seakan berbicara ‘No, it is not a big prob, chill’

Lagi lagi hening. Dirinya dan diriku hanya mampu memandang ke dinginnya laut lepas sana, entah karena canggung yang tiba tiba hadir, atau indahnya sesuatu dihadapanku dan dirinya jauh lebih indah untuk dinikmati daripada perbincangan kecil.

“Hey?” Mingyu menyahut.

“Hm?”

“Kamu inget gak pertama kali kita ketemu sehabis aku balik dari Australia setelah kekacauan yang aku buat?”

“Inget”

“Aku pernah bilang, kalau ternyata ditengah jalan aku masih punya kesempatan kedua buat bareng sama kamu, boleh aku ambil gak kesempatannya?”

“Terus?”

“Kamu mau mempertimbangkan, gak? Untuk ngasih aku kesempatan itu?”

Aku diam, untuk yang kesekian kalinya. Diam seribu Bahasa dan tidak mampu berkata kata.

“Gak sekarang, maksudku. I mean, if someday, you just lost. And you have no home” Katanya, aku melirik, sedikit ada senyum tertekuk di bibir Mingyu.

I know you do really love Wonwoo, and it is not easy to coming back to me, kan? You know, after everything I did” Ia menatap jemarinya, menunduk.

And you do really love Seung Wan, Mingyu. After everything you did, kan?”

Dirinya menoleh, bersuara, “Yes, I do. I do love her.”

“Mingyu, jalan kita kan udah beda”

I know. Tapi kamu gak bisa nutup kemungkinan kemungkinan lain yang bisa bikin kita ketemu lagi di satu titik yang mungkin kita sendiri gak pernah tau.”

Pernyataan Mingyu tidak 100 persen benar dan tidak 100 persen salah, memang, tidak ada yang bisa di kalkulasi soal kemungkinan kemungkinan yang akan terjadi di depan sana.

If in case, I said. If” Ulangnya lagi. Menekankan satu kata.

Aku hanya tertunduk, tidak mau menjawab apapun perihal lelaki ini. Pemikiranku terus bercabang entah sampai kemana, tidak lagi mampu berfikir seperti seharusnya. Jadi, aku hanya memilih untuk diam.

“Aku pernah baca satu buku yang mungkin semua orang juga tau, bukunya Collen Hoover yang It Ends with Us, kamu tau?” Tanya Mingyu.

“Tau, tapi aku belum pernah baca” Kini Mingyu memutar tubuhnya menyamping, tidak lagi memandang jauh ke laut lepas sana, tapi ke arahku.

“Lebih dan kurang,..” Katanya. “Satu paragraph dimana dia nulis ‘In the future, if by some miracle you ever find yourself in the position to fall in love again, fall in love with me’” Matanya mengawang ke langit, mungkin sedang berusaha mengingat. “Mungkin bakal aku tambah, ‘if you ever find yourself hurt and being homeless, you know where to run into.’” Sambungnya, kali ini manik matanya berpindah ke arahku.

Aku sedikit menyunggingkan senyum, mengangguk kecil dan menemukan iris mata coklat yang dulu selalu aku suka.

If” Kataku.

Yes. If

Matahari sudah mulai terpeleset diujung sana, hampir digantikan oleh malam. Cahaya oranye mengiluminasi wajah Mingyu, tidak ada secercah kebahagiaan disana, yang ada hanya kesedihan, kekacauan, dan perasaan melankolis yang mungkin terus menggerogotinya. Jiwanya, sedang kesusahan mencari kebahagiaan, jiwanya, sedang rapuh dan hancur berantakan.

Dari sekian banyak kejadian tentang aku dan Mingyu, hari ini aku menemukan sebuah fakta bahwa tidak masalah menoleh kebelakang barang sebentar untuk melihat bagaimana luka masa lalu pernah tergores. Karna saat ini, ketika semuanya telah sepenuhnya sembuh, ada yang perlu dihargai, sakit dan luka untuk sembuh dan bahagia.

Minghao tau, betapa putus asanya sahabat laki laki dihadapannya ini. Mingyu yang terus menatap pusara istrinya, Mingyu yang bahkan sudah tidak mampu mengeluarkan air matanya.

“Gyu” Panggil Minghao, ikut berjongkok disamping sahabatnya. “Seung Wan juga gak seneng ngeliat lo kaya gini”

Mingyu masih diam, masih menatap tanah dihadapannya dengan kosong. “Hao” Kali ini dirinya bersuara. “Sehabis ini, gue harus apa?”

Minghao runtuh. Melihat bagaimana sahabatnya Kembali menangis dengan memukul dadanya. Minghao runtuh, melihat ada tetesan air mata yang jatuh keatas tanah. Kini, bendungan itu tidak lagi mampu ditahan oleh Minghao sendiri.

“Ikhlas, Gyu.. Ikhlas”

“Gue ikhlasin Seung Wan pergi, Hao. Tapi gue gabisa ikhlasin hari hari gue tanpa dia..” Mingyu terseguk. “Hao, Gue harus apa setelah ini?”

Minghao tidak mampu menjawab, tidak mampu melakukan apa apa, hanya tepukan kecil yang mampu Minghao berikan di pundak Mingyu. Hanya itu, hanya mampu sekecil itu.

3 bulan, Mingyu harus bolak balik kerumah sakit untuk menemani Seung Wan memeriksa fungsi hatinya secara berkala. Kata dokter, Seung Wan didiagnosa terkena Sirosis hati akibat penumpukan zat besi didalam tubuhnya atau hemokromatosis.

Ada Mingyu yang selalu menyisihkan waktunya. Terkadang membiarkan pekerjaannya terbengkalai hanya untuk menemani istrinya.

Pikiran Mingyu yang bercabang, soal bagaimana perusahaan yang dirintisnya di negeri kangguru itu serta bagaimana masa depannya, masa depan Seung Wan, dan desperasi penuh melankolis yang menggerogoti jiwanya.

“Kira kira aku bisa gak ya, menang?” Malam itu, di beranda rumah. Seung Wan memainkan jari Mingyu.

“Bisa dong, harus bisa” Lelaki itu mencolek ujung hidung wanitanya.

“Maaf ya, belum ada bahagia yang bisa aku kasih ke kamu”

Noo..” Kini Mingyu menangkup kedua pipi istrinya. “Ketemu kamu, jalan berdua sama kamu di altar, anything you did with me, sampe hari ini, itu udah jadi kebahagiaan buat aku, loh. Kamu duduk sama aku disini aja, aku bahagia”

“Halah, gombal” Seung Wan terkikik.

“Loh kok gombal, serius”

Tawa keduanya memenuhi beranda rumah. Selalu ada cinta untuk perjuangan di antara mereka, namun, terkadang cinta tak pernah cukup untuk sekedar mempertahankan hidup.

1 bulan terakhir, dokter bilang sudah terjadi komplikasi parah. Hipertensi portal yang menyebabkan aliran darah tersumbat, pembesaran limpa atau splenomegali yang menyebabkan sel darah putih dan trombosit terperangkap didalam pembuluh darah kecil dan yang terakhir, Ensefalopati Hepatik, dimana terjadi penumpukan racun di otak akibat fungsi hati yang tidak bekerja dengan normal.

Dan 1 bulan terakhir, Mingyu menghabiskan waktunya menatap Seung Wan yang tergolek lemas di ranjang rumah sakit. Mengelus tangannya yang bahkan tidak mampu bergerak se-senti pun. Harapannya hancur dan lebur, yang ia lakukan hanya terduduk di samping Seung Wan, tidak ingin melakukan apapun.

“Nak, makan dulu” Ibunya prihatin, melihat putra tunggalnya sudah seperti mayat hidup. Terus terusan memegang jemari belahan jiwanya.

“Nanti aja, Ma. Ajakin Hao aja dulu itu makan” Minghao disana, ikut menatap nanar sahabatnya.

“Makan dulu, Gyu.”

“Nak, Hao. Tante minta tolong” Bisik wanita paruh baya tersebut. Minghao berjalan mendekat, menepuk bahu Mingyu yang bahkan manik matanya tidak bergerak sedikit pun dari sana.

“Ayo kita makan dulu” Mingyu menggeleng. “Nyokap lo udah masak, sayang itu kalau lauknya pada jadi dingin” Lagi lagi Mingyu menggeleng.

Minghao menarik nafasnya, memijit pelipisnya. “Gyu, tolong. Jangan siksa diri lo kaya begini lah. Kasian tau Seung Wan nya juga.” Mingyu tetap menggeleng, kali ini entah apa maknanya, sama sekali tidak relevan dengan pernyataan Minghao barusan.

“Gyu, lo gak sayang ngeliat nyokap lo?” Ibu Mingyu, sudah lebih dulu menjatuhkan air matanya diujung sana.

“Gak bisa Hao, gue gak bisa ninggalin Seung Wan barang sedetik aja”

“Gyu..”

“Kalau dia tiba tiba pergi pas gue lagi gak ngeliat dia, gimana?” Kini, seguk terdengar diujung sana. Ibunya, sudah tidak mampu membendung semua. “Kalau dia pergi dan gue gabisa ngucapin selamat tinggal, gimana?” Suara Mingyu berat dan parau.

“Hao..” Lirih MIngyu. “Kalau Seung Wan pergi, gimana?” Suara Mingyu bergetar. Matanya bahkan tidak berkedip sedetik dari wajah Seung Wan yang tidak lagi berdaya.

“Hao, terus gue gimana kalau Seung Wan pergi?” Mingyu menjatuhkan dahinya diatas tangan Seung Wan, membekap isak tangisnya sendiri.

“Lo harus ikhlas, Mingyu. Apapun ketetapan Tuhan, lo harus ikhlas”

3 Jam kemudian, alat pendeteksi detak jantung yang terletak di pinggir Kasur Seung Wan berbunyi hebat dan nyaring. Memberi tanda, bahwa kini, jantungnya tidak lagi berdetak, bahwa kini, nafasnya terhenti, bahwa kini, belahan jiwanya, telah pergi.

Mingyu terjatuh diatas lututnya, Ketika Seung Wan sudah sepenuhnya ditutup oleh kain putih. Tangannya bergetar hebat saat ingin membuka sekat yang menutup wajah istrinya itu, ia menciuminya. Dari kedua matanya yang sudah tertutup, puncak hidungnya yang kini tak lagi dapat ia rasakan sapuan hangat nafasnya, kedua pipinya yang tidak mampu lagi merona apabila tertawa, dahi nya yang tidak lagi berkerut apabila bingung dengan ucapan suaminya, dan ranum merah jambu bibir Seung Wan yang tidak lagi berwarna. Mingyu, tidak akan mampu lagi melihat senyum yang terlukis disana.

Sesaat setelah Seung Wan diantar menuju kamar mayat untuk dipulangkan besok, Mingyu runtuh. Ia runtuh dan tergolek di dinginnya lantai rumah sakit. Menangis dan meraung, memukul dadanya berkali kali. Merasakan sakit dan perih di ulu hatinya, tenggorokannya yang rasanya di koyak-koyak, dan kebas diseluruh tubuhnya.

Apa yang akan Mingyu lakukan setelah ini? Apa yang akan ia lakukan dengan bagian kosong yang mengangga didalam hatinya ini? Apa yang akan ia lakukan, saat dunia terus berputar, sedangkan tidak ada lagi belahan jiwanya disisinya? Apa yang harus dirinya lakukan?

Ia terus mengutuk dirinya, menghakimi dirinya sendiri dan berkata bahwa ini adalah sebuah karma yang harus ia terima. Tapi, apa memang rasanya sesakit ini? Dan untuk penutup malam yang kejam seumur hidupnya, ia berteriak, suara miliknya, memenuhi ruangan, hingga ke koridor dingin rumah sakit.

-

Sebulan setelah kepergian Seung Wan, Ibunya harus Kembali ke Jakarta. Pada akhirnya, Mingyu Kembali sendirian.

Ditatapnya seluruh sudut rumahnya. Hening, sepi, sunyi, gelap, dan ia sendirian.

Ada keheningan yang berteriak sangat hebat sampai sampai memekakkan telinganya. Mingyu benci ini.

Dirinya memutuskan untuk menghidupkan TV, menyalakan laptopnya secara bersamaan dan kembali duduk di sofa.

Tidak, masih terlalu hening.

Ia menghidupkan kompor, agar suara apinya dapat ia dengar dari ruang tengah.

Belum. Belum cukup.

Shower dikamar mandi. Keran di atas bathup.

Kali ini, seluruh perabotan dirumahnya ia jatuhkan.

Satu, dua, tiga, hingga sepuluh, bahkan lebih dan meninggalkan beling diatas lantai.

Kini, ia tatap beling kaca yang sudah tidak lagi berbentuk. Menatapnya nanar, kemudian terduduk diatas lututnya.

“Itu..” Lirih Mingyu. “Pajangan kesukaan Seung Wan”

Ia memeluk lututnya, menyembunyikan wajahnya dan lagi lagi menangis disana. Kebisingan akan suara suara yang sudah bercampur jadi satu, masih membuatnya merasakan keheningan yang luar biasa.

Mingyu ternyata salah, yang sosoknya cari adalah suara belahan jiwanya. Suara saat Seung Wan menghidupkan televisi, suara saat Seung Wan menghidupkan kompor di dapur, suara Seung Wan saat menyalakan shower serta keran di dalam kamar mandi, suara Seung Wan di hari minggu saat merapihkan perabotan rumahnya.

Kebisingan yang Mingyu cari, adalah Seung Wan sendiri.

Mingyu tidak mampu menetap di Australia dengan segala bayangan semu milik Seung Wan diseluruh sudutnya. Maka ia memutuskan pulang ke Jakarta. lebih tepatnya, membuat rencanya hidup paling baru. Apapun itu, agar dia mampu menutup kekosongan di jiwanya.

“Mingyu?” Suara seseorang membuyarkan lamunanku. Dia. Dirinya yang tempo hari aku temui dengan kucir kuda dan baju one set berwarna abunya. Dirinya yang secara terang terangan, dulu pernah kucinta, dan ku lukai hatinya.

“Loh? Kamu ngapain disini?”

“Kamu sendiri?” Aku mengusap tekukku, memasukan tanganku kedalam kantong jaket dan mengangkat bahuku tinggi tinggi.

Just..” Ia menaikkan alisnya, menunggu jawabanku. “Apa ya?”

Dirinya masih menunggu. “Sesak, aku butuh ruang sedikit, jadinya nyari tempat sepi dan kebetulan dermaga lagi sepi sepinya” Jawabku sedikit tertawa, dia mengangguk. Kini ia melempar pandangannya ke laut biru sana, menopang tubuhnya dengan sikut yang bertumpu pada pagar pinggir jembatan.

“Kamu sendiri?”

“Kabur”

“Hah? Kabur?”

“Iya. Kabur”

Is there any problem?”

A lot, Mingyu. A Lot.

Sorry to hear that” Ia tersenyum miris, menggelengkan kepalanya kemudian melamun menatap kedepan, menghiraukanku yang ada di sampingnya.

“Oh iya, kemarin aku lupa nanya. Kok kamu sendirian ke Jakarta, Seung Wan gak diajak?” God.

“Oh.. Dia..” Aku menggantungkan kalimatku.

“Dia di Australia?”

“Iya di Australia”

“Terus? Kok gak diajak ke Jakarta?”

She just.. “ Aku menarik nafasku pelan, membuangnya dengan menatap kosong air laut. “..left

“Hah? Left? Maksud kamu?”

She is fly higher, so high. Might be in heaven right now

I wish that heaven, had visiting hours. And I would ask them, if I could take you home.

Hari ini sebuah dermaga jadi destinasi agenda kaburku, pukul 4 sore setelah aku kembali dari kantor. Tadi pagi aku sempat bertemu Wonwoo, berada di satu lift yang sama menuju lantai yang sama, namun rasanya asing.

Rasanya seperti hari pertama aku masuk ke kantor dan berkenalan dengan kepala departemen HRD. Aku dan Wonwoo yang asing.

Aku sempat diam di dalam mobil cukup lama, setelah membalas pesan Kak Jeonghan, banyak hal yang berkecamuk di kepalaku.

Wonwoo just bad at making decision.

Tidak ada jaminan atas jabatannya di kantor. Wonwoo, hanyalah Wonwoo dengan segudang masa kecilnya yang ternyata tidak sesempurna keadaannya.

Beberapa teman Psikolog yang aku temui secara gamblang mengatakan bahwa banyak faktor yang bisa mempengaruhi, entah itu trauma masa lalu, atau memang tidak adanya pilhan yang diterapkan sejak ia tumbuh.

Persis seperti apa yang diberitau oleh Kak Jeonghan beberapa saat yang lalu.

Dan aku, tidak akan menyalahkan siapapun atas apapun kekurangan seseorang yang aku sayangi.

Semenjak awal Wonwoo dan keluarganya datang kerumah untuk berbincang dengan Ayah dan Bunda, senyum di wajah Wonwoo terlihat berbeda. Cara ia bergelagat serta nada bicaranya. Mama Wonwoo yang selalu bilang akan menyelesaikan segala galanya, sedangkan Wonwoo hanya menghabiskan waktu seperti tidak terjadi apa apa.

Terkadang, dan tidak jarang, ada keraguan dari tatapan matanya.

Setiap malam, aku selalu menangis dalam diam dan mempertanyakan, ini pilihan Wonwoo, kan? Tapi kenapa rasanya ini bukan Wonwoo? Kenapa Wonwoo penuh dengan keraguan?

Cinta Wonwoo padaku, juga keraguan? Segala perjuangan dan jalan Panjang yang sama sama dilalui, atas sebuah dasar apa?

Lagi lagi, aku menangis menjatuhkan dahiku pada stir mobil. Terisak, dan terus mempertanyakan banyak hal dikepalaku. Soal bagaimana masa depanku, bagaimana sebuah akhir yang akan aku temui bersama Wonwoo.

Aku keluar dari mobil, memakai coat Panjang selutut yang menutupi kemeja kantorku, sekaligus untuk menghalangi hawa dingin dipinggir laut. Dermaga sore ini sepi, tidak ada aktivitas maupun orang yang sibuk berlalu Lalang, mungkin ada beberapa diujung sana, yang jaraknya cukup jauh dariku.

Ruang gerak. Itu yang aku butuh, itu yang Wonwoo butuh, tapi rasanya makin kesini ada perasaan sesak di dadaku sendiri.

Aku bertumpu pada sikutku di pagar kayu jembatan dermaga. Membiarkan angin mengacak rambutku, menyapu wajahku, barangkali kacaunya emosi yang terus membakar dadaku jadi reda ketika menemukan sedikit ketenangan.

Baru sejenak aku berdiri disana, manik mataku menangkap siluet tidak asing yang berdiri agak jauh diujung sana. Menautkan jemarinya dan juga bertumpu pada sikutnya di pagar pinggir jembatan. Sosok familiar yang aku temui tempo hari di supermarket kota, Mingyu.

Katanya ‘kita harus cari tau apa yang salah dari diri kita didalam space itu’. Kata Soonyoung, ini soal kami berdua.

Soal aku dan dirinya yang meminta untuk acara pernikahan yang di tunda, untuk kami yang membutuhkan ruang gerak lebih.

Soal aku yang semakin kesini semakin susah yakin dan percaya, soal aku yang semakin memikirkan soal apakah ini benar sebuah jalan untukku, soal apakah dirinya juga akan tetap mencintaiku dan keluargaku. Lebih dan kurangku.

“Wonwoo.. sudah tidur?” Seorang Wanita paruh baya muncul di balik daun pintu.

“Belum, Ma”

“Sudah ngobrol? Mau ditunda sampai kapan?”

“Udah, tapi kita juga masih sama sama butuh waktu”

“Ada yang salah, ya?”

“Enggak kok, Ma. Ya Namanya sebelum sebelum nikah pasti ada aja yang dipikirin”

“Oh iya, tadi Mama di contact sama tempat fitting baju, kalau ada gaun yang paling baru sama ini jas nya sekalian juga” Mama mengeluarkan ponselnya. Aku mengangguk, mendengarkan dengan seksama bagaimana Mama mendeskripsikan gaun gaun serta jas yang dipilihnya. Sekali-kali membetulkan letak kacamataku.

“Kamu suka yang mana?”

“Menurut Mama?”

“Loh kok Mama? Yang mau nikah siapa?” Aku mengusap tekukku.

“Nanti aja deh Ma, aku pikirin dulu sama Dia”

“Kabarin Mama ya, Nak?”

“Iya, Ma” Sosoknya kemudian hilang dari balik pintu.

Sudah hampir satu jam, aku belum mendapatkan kabar bahwa Dirinya sudah sampai dirumah. Belum ada bunyi notifikasi yang aku harapkan muncul.

Dia, baik baik aja kan?

Aku kemudian mengirimkan beberapa pesan singkat, bertanya apakah dia sudah sampai dirumahnya atau belum, dan ya.. beberapa menit kemudian Dirinya bilang bahwa sudah sampai dirumah.

Ucapan selamat malam dan kalimat kalimat manis yang biasa aku kirimkan biasanya tidak sehambar ini. Melihat bagaimana jarak yang perlahan tercipta, membuat berbagai macam perasaan didalam diriku tidak karuan. Jalan ini, memang jalanku, kan?

-

“Lo kenapa deh. Tunggakan belum selesai? Kusut banget tu muka.” Soonyoung mengerutkan alisnya. Aku terkikik kecil, menyeruput minuman didepanku.

“Lo tau ga, gue ngerasa makin jauh sama dia”

“Hah? Ngaco? Dimana mana orang mau nikah ya jadi makin intens lah”

“Itu dia.” Aku menyilangkan kedua tanganku didepan dada. Menatap kosong kedalam gelas.

“Udah ngobrol?”

“Udah, tapi ya gak ketemu titik terangnya”

“Lo ngomong apa?”

“Ya gue nanya, mau ditunda sampe kapan karna ini sumpah gaada kejelasan sama sekali”

“Terus?”

“Kata dia sampe gue ketemu kurangnya gue di space ini”

“Yaelah, Won..” Soonyoung memijit alisnya. Membuang nafas kemudian menyandarkan pundaknya ke kepala kursi cafetaria kantor yang saat ini sedang di padati karyawan, jam istirahat. “Kaya gitu mah anak SMP baru puber juga bisa. Ini lo mau nikah loh, Nikah. N-I-K-A-H” Soonyoung menekankan ditiap abjad.

“Sampe mati anjir” Sambungnya.

“Gue.. salah banget ya?”

“Lo gak salah, komunikasi lo aja yang lack parah. Gue kira lo sempurna”

“Dikira Tuhan kali gue” Aku mengedarkan pandangan keluar jendela kaca, menatap kota Jakarta yang riuh dan sibuk.

“Sama satu lagi, Won” Soonyoung menopang dagunya dengan kedua tangan yang tertaut. “Lo harus berani milih dan membuat keputusan”

Aku mengkerutkan alis.

“Gue tau lo kepada departemen HRD, punya banyak bawahan. Lo jago deh kalau handle kerjaan. Tapi untuk ukuran kecil kaya kopi yang lo minum itu, lo milih gak? dan ngambil keputusan sendiri, gak?”

(“Lo mau apa?”

“Ikut aja sama kaya lo”

“Kagak. Lo maunya apa?”

“Pilihannya?”

Black coffee atau coffee latte?”

“Menurut lo enakan yang mana?”

Coffee latte sih kalau lo nanya gue”

“Yaudah coffee latte”)

“Lagian, selama ini lo juga ngehandle segalanya dibawah tanggung jawab CEO kan. Maksud gue, lo gak punya ranah untuk memilih, Wonwoo. Untuk ngambil keputusan didalam otak lo sendiri.”

Aku lupa, mungkin sudah setahun lebih nyaman menghirup udara di Canberra, walaupun tidak ada yang berbeda dari udara di Jakarta maupun di sana, oh! Sorry to say,mungkin sedikit lebih berpolusi disini.

3 hari di Jakarta ternyata sama sekali tidak merubah apa apa. Bertemu Mama setelah lama disana juga tetap saja membuatku seperti seongok mayat hidup.

Mayat hidup yang bangun di pagi hari membuka laptopnya untuk memeriksa pekerjaannya, kemudian kembali keatas kasur untuk tidur mengejar mimpi, padahal matahari ada di puncak kepala.

Selama berhari hari, perputaran hidupku hanya berjalan seperti itu. Sepi, sunyi dan rasanya ada lubang besar di dada yang menganga. Dan terkadang, ditengah malam ada perasaan sesak yang mau tidak mau membuat laki laki ini harus terjatuh dan tersungkur diatas lututnya, menangis.

Alasan aku keluar malam ini, juga untuk menyibukkan diri. Sekedar mengelilingi lorong supermarket untuk mencari jajanan ringan atau minuman minuman di lemari pendingin. Yang paling penting, keluar dari kamar yang pengap dan yang sama sekali tidak menimbulkan kebahagiaan.

Dengan jaket denim serta jeans yang koyak di beberapa sisinya, aku berjalan menyusuri supermarket asal yang aku temui di pusat kota. Cukup besar, karena mereka juga menyediakan sayur sayuran bahkan daging serta ayam? Membuatku menggelengkan kepala tidak menyangka, seperti sedang berbelanja di Australia.

“Mba, ada uang 500-an gak?” Aku berjalan menuju kasir. Berhenti dibelakang punggung seorang gadis yang sedang merogoh dompetnya.

“Yah gaada, Mba”

“Kalau uang 2000?” Ia lagi lagi merogoh dompetnya.

“Gaada juga mba”

“Ini saya ada uang 2000” Kataku, karena memang biasanya aku menyediakan uang receh di kantong untuk membayar parkir. Gadis itu kemudian menoleh, matanya bertemu mataku.

“Mingyu?”

Semesta, memang yang paling mahir mempermainkan manusia.

-

Rambutnya dikucir kuda, dengan hoodie serta jogger berwarna abu one set. Dirinya menegak sebotol minuman dingin serta plastik belanjaan yang ia letakan di samping kakinya.

“Udah lama di Jakarta?”

“3 hari” Sahutku. Dirinya mengangguk.

“Ada kerjaan?” Tanyanya lagi.

“Enggak, emang mau pulang aja” Dirinya lagi lagi mengangguk pelan, menatap kakinya yang di balut sandal jepit biasa.

“Mama apa kabar?”

“Baik.” Jawabku. “Bunda sama Ayah?”

Better than good” Sambil menegak kembali minumannya, ia dengan gamblang bertanya, “Seung Wan?”

Aku tersenyum getir, menarik nafas dalam kemudian mengawang ke gelapnya langit malam. Padahal, aku harap tidak ada yang menyebut nama sosoknya.

Aku angkat bahuku agak tinggi, menjawab, “Fine, I guess

Wonwoo masih dirumah, masih mengenakan kemeja serta celana kantornya. Aku sedikit terdiam ketika melihat sosoknya, kemudian berjalan menuju tangga berniat naik dan masuk ke kamarku.

“Nak..” Langkahku terhenti ketika suara Bunda memanggil. “Kalau ada masalah, diomongin dulu sama Wonwoo-nya” Langkahku terhenti disalah satu anak tangga, memutar tubuh dan melihat wajah lelah Wonwoo.

“Sebentar, aku ganti baju dulu”

-

Diteras depan rumah, aku dan Wonwoo hanya diam seribu bahasa, bingung harus memulai darimana. Yang aku dengar hanya suara jangkrik dan hewan hewan malam lainnya ikut menyaru di gelapnya malam.

“Kamu, kenapa minta ditunda?” Wonwoo, akhirnya bersuara.

Aku menggosok-gosok tanganku, udara agaknya sedikit menusuk. Aku sendiri hanya mampu menunduk, tidak mempunyai keberanian untuk menatapnya.

“Kayanya kita butuh space deh, Won?”

“Kasih aku alasannya dulu”

“Kita tuh..” Aku menaikan bahuku. “Terlalu merumitkan keadaan yang harusnya gak perlu jadi rumit, paham?”

I know you love Mamah so much, tapi bukan berarti urusan kita juga jadi bagian dari urusan Mamah, iya, kan?” Sambungku. Wonwoo menatapku dalam.

Is that a problem to you?”

Isn’t it problem to you?” Mataku kini panas, takut-takut menahan air mata untuk tumpah.

We do really need space, memang”

Like I said

Lagi lagi senggang, sunyi mengembara. Rasanya seperti ada dinding besar yang menjadi pembatas antara aku dan Wonwoo.

Dirinya tiba tiba bangkit.

“Aku balik dulu”

“Iya, hati hati”

Ia masuk kedalam, mengambil beberapa barangnya yang tertinggal. Ketika ia membuka pintu mobilnya yang terparkir diluar pagar rumah, ia terdiam sejenak.

Do you ever love me?” Tanyanya.

What? Are you kidding, Jeon?”

Do you?”

Of course I do

A whole me, kan?”

A whole you.” Wonwoo menutup pintu mobilnya, tidak jadi masuk.

“Kalau kamu nanti bener jadi istriku, kamu bakal cinta segala kekurangan dan kelebihanku, kan?”

I will” Ucapku tanpa ragu.

“Keputusan yang aku buat dan yang bukan aku buat?”

What?” Aku mengkerutkan alis, berusaha memastikan pertanyaan Wonwoo barusan.

Take time with our space, ya. Aku balik” Kini Wonwoo benar benar masuk dan menutup pintunya. Tidak ada kaca yang biasa ia turunkan kemudian melambai dengan senyum dan menghilang di persimpangan. Kali ini, ia benar benar meninggalkanku tanpa sapaan senyum selamat tinggal.

Pun, tidak ada pesan masuk untuk kalimat sekedar ‘aku udah dirumah, udah mandi dan siap buat tidur’ dan kemudian biasanya akan ada ponselku yang berdering, memunculkan Namanya yang ternyata menelfon.

Menghabiskan waktu berjam jam hingga dini hari hanya untuk pembahasan sederhana seperti remaja pubertas yang baru jatuh cinta.

Malam ini, ponselku sepi.

Malam ini, aku menangis sendiri.

“kamu inget gak, pertama kali kita ketemu sehabis aku balik dari Australia setelah kekacauan yang aku buat?”

“Inget”

“Aku pernah bilang, kalau ternyata ditengah jalan aku masih punya kesempatan kedua buat bareng sama kamu, boleh aku ambil ga kesempatannya?”

“Terus?”

“Kamu mau mempertimbangkan gak? untuk ngasih aku kesempatan itu?”

-

“kamu bilang, kita butuh ruang, tapi kenapa aku disini sama sekali gak bisa bernafas?”

”Kita.. dimakan ego kita sendiri, Wonwoo. Sesak”


“We lost June, we lost July. In August we look in mirrors and want to die” -Kim Addonizio; The Women


“Jun”

Mungkin kalian akan terkejut dengan pertemuan pertamaku dengan Jun. Di terminal Bus, disaat semua manusia sedang sibuk sibuknya.

Dan dua selang oksigen, di hidungku dan hidungnya.

We are.. twins” Aku mengernyitkan alis. Lelaki yang aneh.

Aku diam, tidak menjawab, hanya menatap dirinya dari atas hingga kebawah. Dan ya.. selang oksigen yang sama ada di hidungnya, sama seperti yang ada di hidungku.

oh yes.. we are twins” ucapku. Jun tersenyum menekuk bibirnya, mungkin sama sama merasakan hawa canggung.

“Kamu.. mau kemana?” Tanyanya.

“Jakarta”

wow.. same here” Cerewet. Tidak ada urusan sama sekali denganku kalau kamu juga akan ke Jakarta. Dan semoga saja, aku tidak perlu bertemu dengannya diatas bus sana.

“lucu gak kalau ternyata kita sama sama pake selang oksigen gini dan ternyata sakitnya sama?” Ucapnya, menatap pekerja yang mengangkat-angkat barang kedalam bagasi bus.

whats yours?”

“fibrosis kistik”

damn..” Aku diam menatapnya lama, kemudian mengangkat tubuhku dan menciptakan jarak dengan Jun, membuatnya mengernyitkan alis.

don’t say?”

“yes.. dan kita..”

damn.. yes i know

Tidak boleh berdekatan.

Aku menjauh sebanyak lima langkah, menjauh dari sosoknya yang masih duduk di kursi tunggu terminal bus.

“kita.. harusnya juga gak ada disini kan?” aku mengangguk. karena memang, aku kabur. bahkan meninggalkan Jakarta padahal harusnya aku menjalani perawatan dan terapi untuk penyakit genetik menyebalkan ini.

“Jun.. Sorry.. we are not supposed to be—“

Close. Karena kita sama”

Aku kemudian berjalan meninggalkan lelaki yang memperkenalkan dirinya dengan nama Jun tadi. Menjauh, menjauh dan menjauh.

-

“Kamu darimana?!” Ibu mengacak pinggang dan sedikit berteriak didepan wajahku.

“nyari udara segar”

what? hilang selama dua hari dan kamu bilang nyari udara segar? Kurang segar apa udara didepan rumah? Kamar kamu gak ada udaranya?”

“Sayang.. can we solved this without anger?” Ayah memegang kedua bahu Ibu.

“Kamu.. harusnya terapi—“

I just need a new oxy

“Kamu kenapa sih?! Apa masalah kamu sampe sampe gak pernah mau dengerin Ibu kalau ngomong?”

HEY! CAN WE MAKE IT EASIER?! KAMU JANGAN MARAH MARAH TERUS SAMA—“

CAN BOTH OF YOU MAKE IT EASIERRR?!!!” Aku berteriak. Kemudian lenggang.

Mataku panas dan tenggorokanku tercekat.

“Kakek yang harusnya bertanggung jawab atas ini semua karena harus nurunin ke Ayah dan Ayah cuma jadi gen carrier dan akhirnya—“

“Kak.. Maafin Ay—“

“Aku belum selesai ngomong, Yah” Aku dengan cepat memotong kalimat Ayah. “..Akhirnya aku yang harus nanggung ini semua. Bisa ga? Kalian yang make it easier for me.. to die? Jadi aku bisa selesain urusanku sama Kakek disana”

You think..” Ibu berjalan mendekat, meninggalkan Ayah yang terus mengacak rambutnya karena frustasi. “You think we did all for nothing? hm?” Dari sini, dapat aku lihat mata ibu yang berkaca kaca dan suaranya yang sesekali tercekat.

“Ibu mau ngarepin apa? In the end of the day.. we are all die. Ibu, Ayah, Aku.. Just stop, okay? Please

Aku melangkahkan kaki, meninggalkan keduanya dan menaiki tangga menuju kamarku. Membanting pintu, mencabut selang oksigenku secara paksa dan membenamkan diri diatas kasur.

Dan menangis.

Semenjak umur 7 tahun, aku sudah kehilangan harapan. Berpuluh terapi sudah aku jalani dan hasilnya tetap saja seperti ini.

Dan berpuluh kali aku membayangkan bagaimana rasanya kematian.

Berkali kali aku membiarkan diriku tidur tanpa selang oksigen, berharap ketika bangun dari tidur maka yang aku dapati aku sudah di tanam dalam dalam di dalam tanah. Tapi setiap dadaku mulai terasa sesak, aku akan terbangun dan tanpa sadar meraih selang oksigen. Atau ketika pagi hari maka akan aku dapati selang oksigen ku terpasang rapi, tak bisa dipungkiri bahwa Ayah dan Ibu akan selalu datang mengecek diriku di kamar.

Tidak lama, pintu kamarku berdecit, memunculkan Ibu yang berjalan mendekati kasurku.

“Kak..” Panggilnya, duduk di pinggir tempat tidurku. “Ibu sama Ayah sayang sama Kakak..”

I know

“Ayah sama Ibu juga masih mau kakak tetep ada disini” Suaranya parau, dapat aku dengar dengan jelas. “Masih pengen ngeliat kamu setidaknya makan pancake buatan Ibu..”

“Kak..” Panggil Ibu lagi. “Selagi Ayah sama Ibu mampu, kita akan usahain apapun buat kamu.. Jadi Ibu mohon bertahan sedikiiittt lagi, Ya?” Wanita paruh baya dihadapanku mengusap lembut rambutku. Aku mengangguk, memahami beribu desperasi dari manik matanya. Seputus asanya aku, Ayah dan Ibu pasti lebih dari putus asa.

“Maafin aku..” Aku beringsut, memeluk wanita dengan segudang cintanya itu. Ia terus menerus menepuk pelan pundakku, memelukku erat.

“Besok, ikut Ibu yuk?”

“Kemana?”

“Ada.. Mau ya?”

“Oke..”

“Selang oksigennya dipake, ya? Ibu takut”

“Takut aku tiba tiba sesak lagi?”

“Iya..”

“Iya, Bu. malam ini aku pake” Ia tersenyum, kemudian mengecup puncak kepalaku dan berlalu meninggalkan kamar.

-

Pukul 9 pagi, mobil Ibu kemudian berhenti di salah satu gedung, dan aku paham betul itu gedung apa dan tempat apa. Yang tidak membuatku paham adalah bagaimana bisa Ibu berfikir untuk membawaku kesini.

“Ibu ngaco” Kataku.

“Kak—”

No, I won't. Ibu kira aku se-desperasi itu sampe ibu bawa kesini?”

“Kak, mungkin everything will be just fine kalau kamu lebih dekat sama Tuhan, dan sharing soal cerita kamu, atau denger cerita orang lain..”

Mom.. you've got to be joking.. kalau mau lebih deket sama Tuhan mending bawa aku ke rumah ibadah, bukan ke komunitas penyakitan”

It's Disease Support Group, Kak. And i hope you'll make a new friend. I'll pick you at 3, so.. Bye?”

No..”

Please try it, Kak. Make a friends” Aku membuang nafasku berat, diam dan menimbang. Oke, setidaknya cukup untuk pertama dan yang terakhir.

“Oke, sekali aja ya. Soon aku gak mau datang kesini lagi”

Menyebalkan. Aku menggendong tas ranselku yang berisi tabung oksigen kecil kemudian berjalan sambil menggerutu masuk ke dalam gedung. Aku sudah tau dari lama soal komunitas ini, beberapa orang dengan harapan yang tinggi (Katanya) atau orang orang yang tidak memiliki harapan atas penyakitnya berkumpul disini dan entah melakukan apa. Harusnya aku pergi ke rumah sakit saja melakukan terapi daripada harus berakhir disini.

Seseorang turun dari tangga dan menabrakku.

oops, Sorry— hey?”

“Jun?”

“Wow.. Aku pikir kamu bakal lupa sama namaku” Ia terkekeh.

Harusnya memang tidak perlu aku ingat.

“Kamu.. ngapain?” Tanyanya.

“Tunggu, are you a part of this group?”

Yes.. and why?”

Loser” Gumamku, entah didengar oleh sosoknya atau tidak, tapi yah.. bodoamat.

“Kamu mau gabung ya?” Aku melihat senyumnya yang merekah, dan jujur, aku benci senyum itu.

“Sebenernya ini maunya nyokap, jadi ya mau gak mau dateng aja” Aku dapat melihat ia yang juga menggendong ransel yang aku paham betul berisi tabung oksigen sama seperti yang ada di dalam ranselku.

Aku mundur sebanyak 5 langkah menjauhinya.

“Oh.. ya forget about that.” Katanya menyadari. “So.. kamu naik aja keatas, udah banyak orang kok disana”

Ia kemudian memutar tubuhnya hampir berlalu, tapi tertahan karena aku meyahut, “Kamu.. mau kemana?”

“Aku? Tuh” Ia menunjuk satu pintu didepan sana. “Toilet. Mau ikut?”

“Y-ya enggak lah..” Ia hanya tersenyum, kemudian berlalu masuk ke pintu toilet sedangkan aku perlahan berjalan ke atas dan mendapati banyak orang yang duduk diatas kursi membuat lingkaran.

Kanker, Stroke, Kelumpuhan, dan berbagai macam penyakit yang bahkan sebelumnya tidak pernah aku dengar. Satu persatu dari mereka menceritakan bagaimana putus asanya hidup mereka, atas segala angan yang tidak mampu tercapai karena keterbatasan, banyaknya kehilangan, depresi dan berbagai macam hal yang bahkan merujuk menuju mengakhiri hidupnya.

“Kalau kamu?” Entah apa harus aku sebut lelaki ini, tapi sepertinya pemimpin komunitas. Terlihat sehat tanpa ada cerita sedikitpun dan terus berkali kali menunjuk tiap orang untuk menukar cerita. Dari suara decitan pintu, Jun kembali dan duduk tepat dihadapanku.

“fibrosis kistik” Jawabku.

“Sama kaya Jun?” Tunjuk orang yang aku spekulasikan sebagai ketua komunitas tadi, menunjuk kepada Jun yang baru saja duduk diatas kursi.

“Yah, mungkin lebih dan kurang”

“Bukan lebih dan kurang, memang sama” Jun memotong kalimatku. Aku hanya mendengus dan memutar bola mataku malas.

“Ini pertama kali aku datang dan menghabiskan waktuku disini buat dengerin cerita orang orang yang mungkin sama putus asa nya kaya aku. Aku didiagnosa fibrosis kistik waktu umur 7 tahun, berarti kira kira udah 13 tahun yang lalu. Kata dokter yang bisa dilakuin ya transplantasi paru, tapi sebelum dapet pendonor, aku Cuma bisa menghabiskan waktu buat terapi” Jun didepanku, menyimpul senyum dengan menyilangkan kedua tangannya didepan dada.

“Belum dapet pendonor?”

“Orang orang gak segampang itu buat merelakan anggota keluarganya dikubur tanpa organ dalam, jadi.. ya.. mau gak mau aku cuma bisa nunggu”

“Dan, aku gak pernah lagi ngarepin untuk transplantasi, yang aku harapin Cuma aku gak perlu bangun besok pagi” Sambungku. Dari sini, dapat aku lihat senyum Jun yang perlahan memudar. “Yaa.. sesimpel supaya Ayah dan Ibu gak perlu banting tulang Cuma buat ngabisin duit untuk biaya terapi tanpa hasil. Karena diluaran sana juga gak ada relawan yang mau donorin paru paru nya”

“Pernah gak, kamu mikir kalau they all do anything for something? Just for you? Kenapa kamu malah ngarepin supaya gak bangun besok pagi?” Jun kemudian bersuara. Aku yang sebelumnya bercerita sambil berdiri kini duduk, menatap lurus kepadanya.

Don't you think.. anything they do for something, berujung sia sia? Mau kita sembuh pun, kita tetep mati”

“Tapi setidaknya kita bisa mengulur waktu buat mati dan spending time together with our family, kan?”

“Kamu family oriented banget ya ternyata?”

No.. i just love them. Jadi sebelum aku mati, aku mau ngelakuin banyak hal supaya—”

“Supaya kamu punya kenangan manis di akhirat?”

“Supaya aku diingat”

It makes no sense” Aku terkikik kecil. “Gak heran, kenapa kamu ada disini. This is exactly your place

“Okay..” Orang yang mungkin adalah ketua tadi membentangkan tangannya, mungkin berusaha melerai argumentasi yang terus terusan tercipta antara aku dan Jun. “Jun, your turn” Ia kini berdiri.

“Aku Jun, sama kaya orang yang ada didepanku ini. Aku juga di diagnosa sama dokter punya penyakit fibrosis kistik waktu umur 5 tahun. Aku gak boleh deket ataupun bersentuhan sama orang yang di diagnosa sama ataupun orang dengan penyakit infeksi, karena aku lebih rentan terinfeksi.” Ia terus berbicara, tapi manik matanya tidak pergi dari manikku.

“Aku gak bisa hitung berapa kali aku hampir mati, gak bisa hitung berapa kali aku harus diterapi, mungkin sama kaya dia, tapi bedanya.. aku terus berusaha untuk bertahan hidup” Ia menggantungkan kalimatnya, masih terus menatapku.

“Alasannya simpel kok, supaya aku bisa ikut bantuin Mama masak makan malam kalau ada acara keluarga, supaya aku bisa ngobrol lebih lama bareng Papa di beranda rumah, supaya aku bisa ngeliat kedua orang tuaku menua, supaya angan dan cita citaku tercapai, dan semua hal yang aku semogakan, supaya aku bisa dapat waktu lebih banyak” Jun membenarkan selang oksigennya.

“Atau mungkin, untuk sekedar tulisan kecil yang aku tulis, atau es kopi susu kesukaanku di pagi hari”

Iya, ini memang tempat Jun dan orang orang ini. Orang orang dengan harapan tinggi untuk sembuh dan saling memotivasi. Disini, bukan tempatku. Bukan tempat orang yang mengharapkan kematian ditiap pagi setelah bangun tidurnya.

-

Aku berdiri didepan gedung sambil sesekali menatap sepatuku, menyilangkan tangan didepan dada dan menunggu Ibu untuk menjemput.

“Dijemput?” Aku membuang nafasku malas ketika menemui sosok yang sama, Jun. Ia berjarak kira kira 8 langkah dari tempatku berpijak.

None of your bussines

Sorry.. if i ever bothering you about my argument..”

Just be quiet, Jun”

“Jadi, bakal dateng kesini lagi?”

No, of course not

“Yah.. emang udah aku duga gitu sih. But why do you hate this so much?”

“Yaa siapa coba yang suka kaya gini? I mean, look at you dan selang oksigen di hidung kamu, Jun. You look dumb

But you look pretty

Hah?

You look pretty, serius”

“Gak jelas” Ia terkikik kecil.

Listen, gak semua orang itu bisa melihat dengan baik, jadi mereka pake kacamata. Dan mereka tetep kelihatan cantik. Dan gak semua orang bisa bernafas dengan baik, jadi.. mereka pake oksigen. Kaya kita.. kaya kamu, and still pretty. Gak semua orang dengan alat bantu itu keliatan dumb kok, they just.. being different

Aku diam, menoleh ke sosoknya yang menggenggam ransel dibahu kiri dan tangan kanannya yang ia masukan kedalam kantong celana. Mengawang kelangit yang cerah dan menekuk senyumnya.

what motivated you sampe segininya?” Tanyaku, membuatnya menoleh.

Life is precious, that's all. Ada banyak hal yang pengen aku rasain di masa depan”

“Contohnya?”

“Lebih dan kurang kaya yang aku sampein tadi, but.. there's one more

“Apa?”

Finding a lover

“O-okay” Aku terkikik kecil mendengar alasan terakhirnya.

Sounds stupid, right? Tapi, aku tetep mau find one dan hidup lebih lama”

“Oke, Then. Goodluck

You too

For what? Agenda bunuh diriku?” Ia mengernyitkan dahi, tertawa kecil.

For anything you ask

I got nothing to ask, Jun. I'm dead, that's all

You are not, you are just in your cage. Coba keluar, dan coba find the true meaning of life

Not interested

Tidak lama, suara klakson membuyarkan agenda percakapanku dengan Jun tadi, Ibu. Aku buru buru berjalan masuk dan meninggalkan Jun tanpa mengucapkan kata pamit. Membuka pintu mobil, duduk kemudian menutupnya, Ibu sebentar tersenyum kearah Jun yang masih berdiri diatas pijakannya, sebelum akhirnya aku suruh Ibu untuk meninggalkan tempat dan pulang kembali ke rumah.

You made a friend, huh?”

Yeah, whatever you said

-

Bau kimia serta obat obatan menyeruak, bau yang tidak asing, bau rumah sakit. Hari ini aku dapat jadwal terapi entah untuk yang keberapa kali. Suster yang sangat aku kenal betul karena sudah merawatku selama bertahun tahun lamanya mulai mengelompokan obat obatan yang harus aku minum pagi ini, siang nanti dan malam hari.

“Jadi, gimana agenda kabur kamu?” Namanya Linda, aku biasa memanggilnya suster Lin.

“Gak menarik”

“Kebayang gak, oksigen kamu habis ditengah jalan?” Katanya, membelakangiku dan masih sibuk bergelut dengan obat obatan yang sedang disiapkannya.

“Kebayang, and then aku mati” Aku memiringkan kepalaku dan menjulurkan lidah, berlagak seperti orang mati. Suster Lin hanya terkikik, kemudian mendekat membawa botol botol kecil berisi obat obatan.

“Coba aja kamu kaya pasien nomor 4 diujung sana, semangat sembuhnya luar biasa.” Ia tersenyum “Oke, ini untuk pagi, kalau ini siang dan ini—”

“Emang ada yang sakit kistik juga? Disini? Dirawat kaya gini?”

“Kamu kira kamu satu satunya pasien fibrosis kistik di dunia? Ya adalah yang lain, tapi jangan singgah kesana kalaupun penasaran”

“Kenapa?”

“Kamu kaya baru sakit kemarin aja”

“Oiya, aku sering lupa” Ia meletakan botol berisi obat tadi kesamping kasurku. “Cowo apa cewe?”

“Cowo, ganteng”

“Kamu suka?” Tanyaku menyolek suster Lin dan dia terbahak.

“Aku gak suka berondong” dirinya menggelitik daguku. “Buat kamu aja”

“Loh, manabisa, Sus.”

“Mangkanya, cepet sembuh kalian berdua supaya bisa bareng” Aku terbahak sampai menjatuhkan tubuhku yang tadinya sempat duduk karena terus terusan memperhatikan kesibukan Suster Lin di kamar inapku.

“Namanya siapa memang?”

“Wen Jun Hui”

“Hah?” Tidak, yang namanya Jun ada banyak kan? Iyakan?

“Dia jago nulis, tulisannya bagus bagus” Suster Lin kemudian membuka kenop pintu dan berlalu meninggalkanku dengan beribu spekulasi. Mungkin, yang namanya Jun ada banyak di belahan dunia, tapi, Jun dengan Fibrosis Kistik, mungkin.. Cuma satu.

Seseorang membuyarkan lamunanku dengan mengetuk kaca di pintu kamar inapku, seseorang dengan wajah familiar, seseorang dengan selang oksigen di hidungnya, seseorang dengan senyum yang sama, Jun. Dia disana, melambai kearahku.

“JUN! JANGAN MASUK!” Dapat aku dengar samar suara Suster Lin dari luar sana “Balik ke kamar, obat kamu di minum!”

Sosoknya kembali menoleh dari luar, tersenyum kemudian pergi meninggalkanku dengan beribu ribu tanya dikepala. Apakah selama ini aku selalu berjalan beriringan dengannya? Disini, ditempat ini?

-

Jun muncul dari daun pintu dan secara sigap aku todongkan payung agar aku dan dirinya menciptakan jarak.

“Aku pikir, orang yang bertamu gak bakal ngelakuin ini, soalnya gak sopan. But anyway, Hai!” Ia lagi lagi tersenyum. Pukul 9 malam, sebelumnya, aku mengintip dari kaca pintu kamar inapnya, menemukan ia dengan iluminasi cahaya kecil terpantul di wajahnya, dan ia yang sedang menulis diatas ranjang rumah sakit. Aku mengetuk.

“Kamu.. udah berapa lama disini?” Tanyaku, menurunkan payung yang aku todongkan tadi.

“Aku rasa, duluan daripada kamu”

“Bohong”

“Kok bohong? Dulu suster Lin yang cerita ke aku kalau rumah sakit nerima pasien terapi baru dan.. sama sama nunggu donor paru paru” Aku diam, menunduk. Menatap sosoknya dari atas hingga bawah. Ini memang Jun yang menemuiku di terminal bus, ini memang Jun yang menyebalkan yang ada di Disease Support Group.

“Kamu, suka kopi susu gak?” Tanyanya memecah lamunanku.

“Aku?” Ia mengangguk.

“Kalau mau, aku bikinin. Aku bawa mesin kopi kecil, hehe. Terus kita bisa ngobrol di rooftop. Gimana?”

“Kalau suster Lin tau?”

“Suster Lin hari ini gak stay di rumah sakit kok, ini hari Jumat. Yang penting, kita tetep jaga jarak, 5 langkah” Ia mengeluarkan 5 jarinya kedepan wajahku.

“1,5 meter”

“Yaudah boleh, nanti aku ngobrolnya teriak biar kamu denger”

“Aku gak budeg”

“Jadi, mau?”

“Boleh..” Kataku. Ia tersenyum kemudian membalikan tubuh, mungkin ingin membuat kopi sama seperti yang dibilangnya barusan.

“Jun” Panggilku, ia menoleh. “Aku, boleh baca tulisan kamu, gak?” Ia tersenyum menekuk bibirnya tipis, caranya ketika tersenyum, kemudian mengangguk kecil dan mengusap tekuknya.

“Aku tunggu di rooftop” Aku berlalu meninggalkan sosoknya, mengambil cardigan di kamarku karena aku tau angin diatas sana pasti kencang dan dingin. Kemudian berjalan menuju lift dan tiba di rooftop.

-

“Tulisanmu, bagus.. Suster Lin gak bohong” Aku menutup buku kecil yang dibawa Jun tadi, kemudian menyerahkan kembali. “You read a lot ya, Jun?” Tanyaku. Ia menggeleng.

“Engga banyak, Cuma ya kadang kadang”

“Kenapa?”

“Suka membaca?” Aku mengangguk. “Ya, Cuma nyari true meaning of life aja”

“Tapi kan itu fiksi”

“Iya, tapi.. kadang cara mikirnya orang kan bisa bikin kita nemuin makna hidup” Aku diam. Tidak bersuara dan memilih menatap kota yang sampai jam seginipun masih sibuk.

“Kamu.. masih pengen mati?” Aku terkejut dengan pertanyaan Jun barusan, sedikit terkikik kecil.

“Gak tau..” Dari jarak 1,5 meter ini pun, surai Jun yang ditiup angin nampak begitu.. mengesankan. “Tapi bukannya mati itu bakal nyelesain semua masalah ya, Jun?”

Indeed. Tapi.. apa kamu gak mau nikmati hidup lebih lama?”

“Aku gak punya alasan kaya kamu. Kamu bahkan mau bertahan Cuma buat tulisan tulisan kecil yang akan kamu tulis di esok hari, atau bahkan kopi susu hangat yang bakal kamu buat kaya gini” Aku menatap cup kertas berisi kopi susu hangat yang dibuatkan oleh Jun. “Enak, Jun” Kataku, kembali menyesapnya.

“Kalau gitu, bertahan buat kopi susu hangat buatanku, gimana?” Ia menekuk bibirnya, aku mengernyitkan alis. “Kan kamu bilang enak. Kalau kamu mati, emang disana kamu bakal nemuin orang yang bisa bikin kopi susu enak kaya gini?” Ia tertawa kecil.

“Kalaupun engga untuk kopi susu hangat, at least buat orang tua kamu. I mean, mereka masih mau lebih lama buat ngeliat kamu berpijak di bumi”

“Mama sama Papa kamu gitu juga, gak?” Jun tersenyum mengawang ke langit, mengangguk.

“Mereka satu satunya alasan aku tetep minum obat obatan pahit yang selalu di kasih Suster Lin”

What about your lover? Yang katanya mau kamu cari dimasa depan?” Jun tertawa melempar kepalanya kebelakang.

It would be hard

“Oh, you already found her?”

few Years ago, if you ever courious

“Terus kenapa hard?”

“Pertama, aku sama dia gak bisa sama sama—”

Why?”

“Dengerin aku dulu” Katanya, aku mengangguk. “Kedua..” Jun memberi jeda, menunduk menatap sandal rumah sakit dikakinya.

“Kedua?”

“Dia gak mau bertahan di dunia”

“Hah? Kok gak mau, maksudny—” Aku diam, berusaha memproses. Dia yang tidak bisa bersama, dan dia yang tidak mau bertahan di dunia.

“12 tahun yang lalu, ada anak kecil yang kabur kaburan dari kamar inapnya, katanya gak mau minum obat, sampe bikin suster Lin kewalahan”

“Jun..”

“Yup”

“Jadi di terminal bus?”

We are not supposed to get close kan, jadi.. aku Cuma modal nekat aja, walaupun sebentar”

-

Semenjak malam itu di rooftop rumah sakit, aku pikir akan tercipta canggung diantaraku dan Jun, tapi ternyata ada banyak agenda lainnya di rooftop dengan jarak 1,5 meter lainnya. Ada lambaian tangan dari kaca pintu kamar inapku, ada kertas yang masuk dari bawah pintu, dan isinya adalah tulisan tangan Jun atau ajakan ajakan agenda lain soal bertemu tanpa ketauan suster Lin.

Dan perlahan, ada perasaan yang meraung dan berharap, soal aku yang ingin menghirup oksigen lebih lama di bumi, bahkan tanpa bantuan selang. Kini, ada alasan, dan Jun jadi sebab dan akibatnya. Aku tidak pernah melewati obat obatan yang di siapkan suster Lin, aku tidak pernah kabur secara diam diam ditengah malam, dan timbul sedikit banyak bahagia diantara aku, Ayah dan Ibu, tentang kemauanku untuk bertahan lebih lama di dunia.

Tidak lama, seseorang mengetuk kaca pintu kamar inapku, Jun. Ia kemudian berjongkok, memasukan kertas bekas sobekan dari bawah pintu. Aku tersenyum, buru buru turun dan mengambilnya.

'Suster Lin libur berjaga.

1,5 meter, Rooftop, Cardigan, Kopi susu hangat, dan cerita. 90 derajat titik barat dan utara.

p.s. selang oksigen jangan lupa'

Aku terkikik, kemudian mataku dan matanya bertemu diantara sekat kaca pintu kamar inap. Aku mengacungkan jempol, ia menarik senyum simpul kemudian berlalu.

Pukul 9 malam, clue dari 90 derajat titik barat dan utara, aku menemukan Jun menyesap kopi dari cup kertas dan mengawang ke langit, menunggu.

“Kopiku mana?” Aku muncul dari punggungnya, mengambil sisi dikanan Jun kemudian menciptakan jarak kira kira 1,5 meter jauhnya.

Jun kemudian meletakkan kopinya ditengah, berjalan menjauh, kemudian aku ambil dan kembali berjalan menjauhi sosoknya.

Aku menyesap kopi hangat buatan Jun, rasanya tidak berubah. Di ujung sana Jun tersenyum, menatap manik mataku, tapi entah kenapa timbul rasa melankolis didalam diriku.

Betapa sedihnya aku, tidak bisa menggenggam sosok dihadapanku ini. Surainya yang ditiup angin, untuk malam yang dingin di penghujung akhir tahun, rasanya bukan lagi sekedar mengesankan, tapi seperti.. jatuh cinta.

“Jun..” Panggilku, ia menaikan alisnya. “Mama sama Papa apa kabar?”

“Baik”

“Kapan main ke rumah sakit lagi?”

“Mungkin habis terapi yang ini selesai”

“Kamu pulang?”

“Iya, sebentar. Kenapa?”

“Enggak papa” Kemudiang lenggang tercipta diantara kita. “Jun..” Panggilku lagi.

“Hm?”

“Kalau nanti akhirnya kamu dapet pendonor, hal pertama yang bakal kamu lakuin sehabis sembuh apa?”

“Jenguk kamu” Aku tersenyum kecil, kemudian terkikik. “Pegang tangan kamu.. atau..”

“Atau?”

“Peluk kamu” Tenggorokanku perih, mataku panas. Disini, dan disana pun, ada sebuah keinginan untuk sekedar menyentuh kulitnya yang rapuh. Tapi, atas sebuah keterbatasan yang sama sekali tidak diinginkan, aku maupun dirinya, secara klise mungkin yang sedang jatuh cinta, tidak bisa melakukan hal yang seharusnya mampu dan wajar untuk dilakukan dua insan.

“Kalau ternyata i couldn't make it sehabis kamu sembuh?”

No, you have to

“Takdir siapa yang tau, Jun?”

“Diluar takdir, kamu mau berjuang kan?”

“13 tahun ini kamu pikir aku ngapain sih?” Aku tertawa, dia pun diujung 1,5 meter sana.

“Kalau kamu, kalau udah dapet pendonor, terus sembuh, kamu mau ngapain?”

“Jenguk kamu, pegang tangan kamu, peluk kamu” Jun tertawa. “Sama cium kamu” Kini tawa nya mereda, yang tersisa adalah senyum penuh kesedihan. Siapa yang harus aku salahkan kalau begini? Ketika perasaanku tidak mampu didukung semesta, bahkan untuk sekedar menyentuh kulit pucatnya.

“Kita berjuang sama sama buat dapetin pendonor, ya?” Ucap Jun disana.

“Iya”

“Nanti kalau kita sembuh, kita gak perlu ngobrol jauh kaya gini, kita bisa pegang tangan, kita bisa peluk, dan kita bisa.. cium”

“Janji”

“Janji” Jun mengeluarkan jari kelingkingnya dan aku keluarkan jari kelingkingku. Berjanji kemudian mengikatnya di udara.

-

Pagi hari, aku temukan suster Lin yang membuka pintu kamar inapku dengan tergesa-gesa, di tangannya ada sebuah surat.

Ia mengatur nafasnya, “hhh..Donor..”

“Hah? Apa?”

“DONORR!” Aku membulatkan kedua mataku, kemudian menghampiri Suster Lin dan mengambil kertas yang dipegangnya, membacanya pelan dari atas sampai bawah.

“Jun?” Suster Lin mengangguk. “hh..Dua, ada dua” Aku kemudian berlari keluar, dan menemukan Jun yang juga memegang kertas yang sama dan berdiri didepan pintu kamar inapnya.

“JUN!” Ada perasaan bahagia yang membucah di dadaku, aku berlari, ingin dan ingin sekali memeluk sosoknya, sampai ketika suster Lin berteriak.

“BERHENTI!” Disitu kemudian langkahku terhenti. Bahkan membuat orang orang serta petugas rumah sakit ikut menatap apa yang sedang terjadi. “Jangan..”

“Jun..” Panggilku, diatas kaki sejauh 10 langkah lagi menuju dirinya.

It's okay. We will, soon” Katanya.

We will

Dokter bilang operasi transplantasi paru akan dilaksanakan secara bergantian, dua minggu awal dan dua minggu akhir. Aku tidak bisa menyembunyikan banyak bahagia didalam dadaku. Mulai membayangkan bagaimana akhirnya aku bisa menyentuh kulit Jun, memeluknya atau mungkin menciumnya, seperti angan yang aku harapkan sebentar lagi akan terwujud.

Aku, tidak sabar.

Namun, mendekati hari menuju operasi transplantasi, dokter mengabarkan bahwa salah satu pihak pendonor membatalkan dan tidak ingin mendonorkan paru yang awalnya sudah di janjikan kepada ku maupun Jun sebagai pasien penerima, dan disitu rasanya duniaku hancur.

Pada tengah malam, aku temukan Jun mengetuk kaca pintu kamar inapku, kemudian memberikan secarik surat lewat bawah. Aku berjongkok mengambil suratnya kemudian duduk dengan menyandarkan pundakku pada pintu.

'Kalau ditulisan semesta kita tetap ada, maka akan selalu ada kita. Jangan sedih yang berkepanjangan, paru paru nya, boleh jadi punya kamu. Disini, aku senang menunggu.

Aku bakal nunggu kamu buat jenguk aku, pegang tanganku, peluk aku, dan cium aku. Jadi, jangan lupa kamarku, no. 4 paling sudut lorong rumah sakit'

Aku membekap mulutku, menahan tangis walaupun pada akhirnya bulir bulir air mata itu terus jatuh dari pelupuk mataku. Lagi lagi, dunia tidak menjadikan aku porosnya, anganku masih belum direstui.

Aku mengambil pulpen, kutulis kalimat demi kalimat di tempat kosong sisa tulisan yang ditulis oleh Jun.

'Kopi susu dan tulisan kecil tidak pernah jadi alasanku. Makan malam keluarga atau obrolan di beranda rumah, itu punyamu.

Wen, Aku belum melihat makna hidup, yang kulihat hanya kamu. Paru-paru nya milikmu. Jenguk aku.

Ini Materai 6000,

Tertanda, aku.

p.s. tidak bisa diganggu gugat.

p.s.s. Wen, aku mencintaimu'

Masih dengan seguk tangisan, aku masukan surat tadi lewat bawah pintu, dan bermenit kemudian, secarik surat kembali masuk dari bawah sana.

'Apapun yang terjadi, aku lebih mencintaimu'

Dapat aku dengar langkah kakinya yang kemudian berlalu dari sana.

Aku ikhlas, seribu kali pun ikhlas. Jun sudah berada lebih lama disini daripada aku. Jun yang berharap pada tiap bintang agar bisa membantu Mama nya hanya untuk sekedar masak makan malam atau mengobrol dengan Papa nya di beranda rumah. Jun, selalu punya banyak alasan untuk hidup, dan Jun, yang membantuku menemukan alasan kecil untuk setidaknya menghirup nafas lebih lama di bumi.

Jun, Paru-nya, akan selamanya jadi milikmu.

-

“Suster Lin..” ia membelakangiku karena sibuk menyiapkan obat obatan yang harus aku konsumsi sehari penuh.

“Hm?”

“Jun, gimana?” Tanyaku.

“Jam operasinya nanti sore” Aku mengangguk.

“Kirim salamku” Kini ia memutar tubuhnya, beringsut dan duduk dipinggir ranjang rumah sakit, mengelus pipiku.

You do love him so much, ya?”

I do

“Percaya sama aku, Jun will make it. At least, nanti dia bisa peluk kamu kalau udah sembuh”

“Aku juga berharapnya gitu..” Aku menunduk, berusaha menyembunyikan air mata dibalik senyum kecilku.

“Semoga selalu ada kabar baik”

Aku menunggu di kamar inapku. Suasana hari ini rasanya lebih sepi dan suram dari biasanya. Ada sebuah perasaan muram dan sendu yang menerpa tubuhku. Sehari penuh yang aku lakukan hanya beringsut diatas ranjang rumah sakit, tidur, bangun, makan dan menatap jauh keluar jendela, bahkan langit pun mendung.

Pada malam hari, aku tidak mendapatkan kabar apapun. Entah itu dari Mama atau Papa Jun yang dulu sering mengunjungi kamar inap ku, maupun suster Lin, bahkan ketika aku keluar, lorong rumah sakit pun sepi.

Aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit, menuju kamar nomer 4 paling sudut, kamar Jun, tapi tidak aku temui siapapun. Apa operasinya belum selesai?

Menuju tengah malam, perasaanku jadi tidak enak. Aku berkali kali keluar masuk kamar inap hanya untuk melihat apakah ada tanda tanda dari Jun atau kabar dari suster Lin, tapi nihil.

Aku beringsut ke atas ranjangku, mulai menangis dan tidak bisa menghindari banyak pikiran negatif. Aku takut terjadi apa apa pada Jun, aku takut.. kehilangan sosoknya.

Pukul 2 pagi, kutemukan suster Lin masuk ke kamar inapku.

“Jun, gimana?”

“Ayo, kita ketemu Jun”

“Operasinya baru selesai jam segini ya? Kok lama?” Suster Lin hanya mengangguk. Ia membawakanku kursi roda, kemudian mendorongnya menyusuri koridor rumah sakit yang gelap, sunyi dan dingin. Pikiran negatif yang semalam menggerogoti pikiranku setidaknya kini memudar. Aku tidak sabar ingin melihat keadaan Jun.

Suster Lin masih mendorong kursi rodaku, menuju satu jalan menuju tempat yang familiar bagiku. Dan kutemukan Mama dan Papa Jun didepan ruangan.

“Suster Lin?” Panggilku.

“Ya?”

“Kenapa.. kita kesini? Kamu ada urusan dulu ya sebelum kita ketemu Jun?” Sayangnya Suster Lin menggeleng.

Sorry, Jun couldn't make it” Lirihnya.

“Bohong” Ia menggeleng, berdiri diatas lututnya dan menangis diatas lututku, didepan ruang mayat. “Bohong ya? Bohong kan?”

Mama Jun kemudian berjalan menghampiriku, “Maafin Jun, ya?”

“Gak mungkin” Aku membekap wajahku dengan kedua telapak tangan, memukul kepalaku dan berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa ini tidak nyata dan hanya mimpi belaka. Aku meraung, di tengah malam yang dingin, diseluruh koridor sepi rumah sakit, yang terdengar hanya raungan tangisanku.

'Apapun yang terjadi, aku lebih mencintaimu'

-

Wajah Jun pucat, mataku tidak mampu melihat dengan baik karena sudah sepenuhnya bengkak, namun lekuk dimensi wajahnya, masih bisa aku kenali dengan baik. Ini Jun—ku. Ini memang benar Jun—ku. Lagi lagi aku menangis, bahkan selang oksigen yang aku gunakan harus aku lepas akibat lendir yang terus mengalir dari lubang hidungku. Aku menangis, semesta-ku yang kejam.

Aku menoleh, menatap Suster Lin yang menunduk diatas pijakannya.

Dengan suara serak dan parau, aku bersuara, “Aku.. boleh peluk Jun?”

Dan Suster Lin jawab dengan anggukan.

Kini, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku dapat memeluk tubuh Jun. Ia dingin, bahkan tidak ada deru nafas yang bisa aku rasakan menampar kulitku seperti yang dulu aku bayangkan, kini aku menjenguknya, kini aku menggenggam tangannya, memeluknya, dan mengecup cepat kedua matanya yang tertutup dengan tenang, dan bibirnya yang bahkan tidak lagi berwarna.

Dokter bilang, Jun tidak sadarkan diri setelah operasi selesai. Dan beberapa jam kemudian, Jun dinyatakan kritis ketika para dokter mengetahui bahwa Jantung, Ginjal dan Paru-paru nya tidak lagi berfungsi meski batang otak dan sistem pencernaannya masih bekerja. Dan satu jam kemudian, dokter menyatakan Jun harus pulang karena Paru yang diterimanya mengalami gangguan sistem kerja atas organ organ lainnya.

Suster Lin kemudian menyelipkan amplop kecil di jari jemariku, kemudian memeluk tubuh yang rapuh ini jatuh kedalam rengkuhnya.

“Jun.. lebih mencintaimu”

-

'Hadiah coretan kecil, kecilnya adalah perputaran dunia, dan perputaran dunia adalah kamu.

Beranda rumah dan masakan makan malam tidak perlu selamanya jadi milkku, besok jadi milikmu juga pasti dibolehkan semesta. Maka dari itu, kalau diperbolehkan, semoga ada Paru-Paru baru yang datang sebagai hadiah untukmu.

Maaf, aku duluan.

Suster Lin sering bergadang, katanya kamu jarang mau makan dan memuntahkan obat, pahit. Dasar nakal.

Kopi susu hangat, Cardigan yang memeluk tubuhmu dan dinginnya rooftop di 90 derajat titik barat dan utara, agenda favoritku. Besok, aku mau tidak perlu ada angka 1,5 dan satuan meter diantara kita.

Besok, aku mau kamu jatuh dalam rengkuh tubuhku.

Bintang, langit malam, dan terang. Tapi matamu lebih terang. Aku tidak yakin seberapa terang tapi akan aku pastikan nanti ketika aku akhirnya bisa melihat iris matamu tepat diujung hidungku.

Pil obat pahit yang disiapkan warnanya merah, tapi aku yakin, ranum merah jambu bibirmu rasanya tidak akan sepahit itu kan?

Terbang yang tinggi, kalau boleh pulang kembali. Jangan lupa jenguk aku kalau kamu yang duluan tidak perlu menginap di rumah sakit lagi, dan jangan lupa peluk tubuhku yang ringkih ini.

Semesta akan selalu berputar untukmu, walaupun tulisan takdir terkadang menggoreskan merah lebam membiru, jangan takut, ada aku jadi tempat pulangmu.

Apapun yang terjadi hari ini, besok, lusa dan hari lain yang penuh luka, aku mencintaimu'

—fin.