Aku lupa, mungkin sudah setahun lebih nyaman menghirup udara di Canberra, walaupun tidak ada yang berbeda dari udara di Jakarta maupun di sana, oh! Sorry to say,mungkin sedikit lebih berpolusi disini.

3 hari di Jakarta ternyata sama sekali tidak merubah apa apa. Bertemu Mama setelah lama disana juga tetap saja membuatku seperti seongok mayat hidup.

Mayat hidup yang bangun di pagi hari membuka laptopnya untuk memeriksa pekerjaannya, kemudian kembali keatas kasur untuk tidur mengejar mimpi, padahal matahari ada di puncak kepala.

Selama berhari hari, perputaran hidupku hanya berjalan seperti itu. Sepi, sunyi dan rasanya ada lubang besar di dada yang menganga. Dan terkadang, ditengah malam ada perasaan sesak yang mau tidak mau membuat laki laki ini harus terjatuh dan tersungkur diatas lututnya, menangis.

Alasan aku keluar malam ini, juga untuk menyibukkan diri. Sekedar mengelilingi lorong supermarket untuk mencari jajanan ringan atau minuman minuman di lemari pendingin. Yang paling penting, keluar dari kamar yang pengap dan yang sama sekali tidak menimbulkan kebahagiaan.

Dengan jaket denim serta jeans yang koyak di beberapa sisinya, aku berjalan menyusuri supermarket asal yang aku temui di pusat kota. Cukup besar, karena mereka juga menyediakan sayur sayuran bahkan daging serta ayam? Membuatku menggelengkan kepala tidak menyangka, seperti sedang berbelanja di Australia.

“Mba, ada uang 500-an gak?” Aku berjalan menuju kasir. Berhenti dibelakang punggung seorang gadis yang sedang merogoh dompetnya.

“Yah gaada, Mba”

“Kalau uang 2000?” Ia lagi lagi merogoh dompetnya.

“Gaada juga mba”

“Ini saya ada uang 2000” Kataku, karena memang biasanya aku menyediakan uang receh di kantong untuk membayar parkir. Gadis itu kemudian menoleh, matanya bertemu mataku.

“Mingyu?”

Semesta, memang yang paling mahir mempermainkan manusia.

-

Rambutnya dikucir kuda, dengan hoodie serta jogger berwarna abu one set. Dirinya menegak sebotol minuman dingin serta plastik belanjaan yang ia letakan di samping kakinya.

“Udah lama di Jakarta?”

“3 hari” Sahutku. Dirinya mengangguk.

“Ada kerjaan?” Tanyanya lagi.

“Enggak, emang mau pulang aja” Dirinya lagi lagi mengangguk pelan, menatap kakinya yang di balut sandal jepit biasa.

“Mama apa kabar?”

“Baik.” Jawabku. “Bunda sama Ayah?”

Better than good” Sambil menegak kembali minumannya, ia dengan gamblang bertanya, “Seung Wan?”

Aku tersenyum getir, menarik nafas dalam kemudian mengawang ke gelapnya langit malam. Padahal, aku harap tidak ada yang menyebut nama sosoknya.

Aku angkat bahuku agak tinggi, menjawab, “Fine, I guess