“Mingyu?” Suara seseorang membuyarkan lamunanku. Dia. Dirinya yang tempo hari aku temui dengan kucir kuda dan baju one set berwarna abunya. Dirinya yang secara terang terangan, dulu pernah kucinta, dan ku lukai hatinya.

“Loh? Kamu ngapain disini?”

“Kamu sendiri?” Aku mengusap tekukku, memasukan tanganku kedalam kantong jaket dan mengangkat bahuku tinggi tinggi.

Just..” Ia menaikkan alisnya, menunggu jawabanku. “Apa ya?”

Dirinya masih menunggu. “Sesak, aku butuh ruang sedikit, jadinya nyari tempat sepi dan kebetulan dermaga lagi sepi sepinya” Jawabku sedikit tertawa, dia mengangguk. Kini ia melempar pandangannya ke laut biru sana, menopang tubuhnya dengan sikut yang bertumpu pada pagar pinggir jembatan.

“Kamu sendiri?”

“Kabur”

“Hah? Kabur?”

“Iya. Kabur”

Is there any problem?”

A lot, Mingyu. A Lot.

Sorry to hear that” Ia tersenyum miris, menggelengkan kepalanya kemudian melamun menatap kedepan, menghiraukanku yang ada di sampingnya.

“Oh iya, kemarin aku lupa nanya. Kok kamu sendirian ke Jakarta, Seung Wan gak diajak?” God.

“Oh.. Dia..” Aku menggantungkan kalimatku.

“Dia di Australia?”

“Iya di Australia”

“Terus? Kok gak diajak ke Jakarta?”

She just.. “ Aku menarik nafasku pelan, membuangnya dengan menatap kosong air laut. “..left

“Hah? Left? Maksud kamu?”

She is fly higher, so high. Might be in heaven right now

I wish that heaven, had visiting hours. And I would ask them, if I could take you home.