Katanya ‘kita harus cari tau apa yang salah dari diri kita didalam space itu’. Kata Soonyoung, ini soal kami berdua.
Soal aku dan dirinya yang meminta untuk acara pernikahan yang di tunda, untuk kami yang membutuhkan ruang gerak lebih.
Soal aku yang semakin kesini semakin susah yakin dan percaya, soal aku yang semakin memikirkan soal apakah ini benar sebuah jalan untukku, soal apakah dirinya juga akan tetap mencintaiku dan keluargaku. Lebih dan kurangku.
“Wonwoo.. sudah tidur?” Seorang Wanita paruh baya muncul di balik daun pintu.
“Belum, Ma”
“Sudah ngobrol? Mau ditunda sampai kapan?”
“Udah, tapi kita juga masih sama sama butuh waktu”
“Ada yang salah, ya?”
“Enggak kok, Ma. Ya Namanya sebelum sebelum nikah pasti ada aja yang dipikirin”
“Oh iya, tadi Mama di contact sama tempat fitting baju, kalau ada gaun yang paling baru sama ini jas nya sekalian juga” Mama mengeluarkan ponselnya. Aku mengangguk, mendengarkan dengan seksama bagaimana Mama mendeskripsikan gaun gaun serta jas yang dipilihnya. Sekali-kali membetulkan letak kacamataku.
“Kamu suka yang mana?”
“Menurut Mama?”
“Loh kok Mama? Yang mau nikah siapa?” Aku mengusap tekukku.
“Nanti aja deh Ma, aku pikirin dulu sama Dia”
“Kabarin Mama ya, Nak?”
“Iya, Ma” Sosoknya kemudian hilang dari balik pintu.
Sudah hampir satu jam, aku belum mendapatkan kabar bahwa Dirinya sudah sampai dirumah. Belum ada bunyi notifikasi yang aku harapkan muncul.
Dia, baik baik aja kan?
Aku kemudian mengirimkan beberapa pesan singkat, bertanya apakah dia sudah sampai dirumahnya atau belum, dan ya.. beberapa menit kemudian Dirinya bilang bahwa sudah sampai dirumah.
Ucapan selamat malam dan kalimat kalimat manis yang biasa aku kirimkan biasanya tidak sehambar ini. Melihat bagaimana jarak yang perlahan tercipta, membuat berbagai macam perasaan didalam diriku tidak karuan. Jalan ini, memang jalanku, kan?
-
“Lo kenapa deh. Tunggakan belum selesai? Kusut banget tu muka.” Soonyoung mengerutkan alisnya. Aku terkikik kecil, menyeruput minuman didepanku.
“Lo tau ga, gue ngerasa makin jauh sama dia”
“Hah? Ngaco? Dimana mana orang mau nikah ya jadi makin intens lah”
“Itu dia.” Aku menyilangkan kedua tanganku didepan dada. Menatap kosong kedalam gelas.
“Udah ngobrol?”
“Udah, tapi ya gak ketemu titik terangnya”
“Lo ngomong apa?”
“Ya gue nanya, mau ditunda sampe kapan karna ini sumpah gaada kejelasan sama sekali”
“Terus?”
“Kata dia sampe gue ketemu kurangnya gue di space ini”
“Yaelah, Won..” Soonyoung memijit alisnya. Membuang nafas kemudian menyandarkan pundaknya ke kepala kursi cafetaria kantor yang saat ini sedang di padati karyawan, jam istirahat. “Kaya gitu mah anak SMP baru puber juga bisa. Ini lo mau nikah loh, Nikah. N-I-K-A-H” Soonyoung menekankan ditiap abjad.
“Sampe mati anjir” Sambungnya.
“Gue.. salah banget ya?”
“Lo gak salah, komunikasi lo aja yang lack parah. Gue kira lo sempurna”
“Dikira Tuhan kali gue” Aku mengedarkan pandangan keluar jendela kaca, menatap kota Jakarta yang riuh dan sibuk.
“Sama satu lagi, Won” Soonyoung menopang dagunya dengan kedua tangan yang tertaut. “Lo harus berani milih dan membuat keputusan”
Aku mengkerutkan alis.
“Gue tau lo kepada departemen HRD, punya banyak bawahan. Lo jago deh kalau handle kerjaan. Tapi untuk ukuran kecil kaya kopi yang lo minum itu, lo milih gak? dan ngambil keputusan sendiri, gak?”
(“Lo mau apa?”
“Ikut aja sama kaya lo”
“Kagak. Lo maunya apa?”
“Pilihannya?”
“Black coffee atau coffee latte?”
“Menurut lo enakan yang mana?”
“Coffee latte sih kalau lo nanya gue”
“Yaudah coffee latte”)
“Lagian, selama ini lo juga ngehandle segalanya dibawah tanggung jawab CEO kan. Maksud gue, lo gak punya ranah untuk memilih, Wonwoo. Untuk ngambil keputusan didalam otak lo sendiri.”