Wonwoo masih dirumah, masih mengenakan kemeja serta celana kantornya. Aku sedikit terdiam ketika melihat sosoknya, kemudian berjalan menuju tangga berniat naik dan masuk ke kamarku.

“Nak..” Langkahku terhenti ketika suara Bunda memanggil. “Kalau ada masalah, diomongin dulu sama Wonwoo-nya” Langkahku terhenti disalah satu anak tangga, memutar tubuh dan melihat wajah lelah Wonwoo.

“Sebentar, aku ganti baju dulu”

-

Diteras depan rumah, aku dan Wonwoo hanya diam seribu bahasa, bingung harus memulai darimana. Yang aku dengar hanya suara jangkrik dan hewan hewan malam lainnya ikut menyaru di gelapnya malam.

“Kamu, kenapa minta ditunda?” Wonwoo, akhirnya bersuara.

Aku menggosok-gosok tanganku, udara agaknya sedikit menusuk. Aku sendiri hanya mampu menunduk, tidak mempunyai keberanian untuk menatapnya.

“Kayanya kita butuh space deh, Won?”

“Kasih aku alasannya dulu”

“Kita tuh..” Aku menaikan bahuku. “Terlalu merumitkan keadaan yang harusnya gak perlu jadi rumit, paham?”

I know you love Mamah so much, tapi bukan berarti urusan kita juga jadi bagian dari urusan Mamah, iya, kan?” Sambungku. Wonwoo menatapku dalam.

Is that a problem to you?”

Isn’t it problem to you?” Mataku kini panas, takut-takut menahan air mata untuk tumpah.

We do really need space, memang”

Like I said

Lagi lagi senggang, sunyi mengembara. Rasanya seperti ada dinding besar yang menjadi pembatas antara aku dan Wonwoo.

Dirinya tiba tiba bangkit.

“Aku balik dulu”

“Iya, hati hati”

Ia masuk kedalam, mengambil beberapa barangnya yang tertinggal. Ketika ia membuka pintu mobilnya yang terparkir diluar pagar rumah, ia terdiam sejenak.

Do you ever love me?” Tanyanya.

What? Are you kidding, Jeon?”

Do you?”

Of course I do

A whole me, kan?”

A whole you.” Wonwoo menutup pintu mobilnya, tidak jadi masuk.

“Kalau kamu nanti bener jadi istriku, kamu bakal cinta segala kekurangan dan kelebihanku, kan?”

I will” Ucapku tanpa ragu.

“Keputusan yang aku buat dan yang bukan aku buat?”

What?” Aku mengkerutkan alis, berusaha memastikan pertanyaan Wonwoo barusan.

Take time with our space, ya. Aku balik” Kini Wonwoo benar benar masuk dan menutup pintunya. Tidak ada kaca yang biasa ia turunkan kemudian melambai dengan senyum dan menghilang di persimpangan. Kali ini, ia benar benar meninggalkanku tanpa sapaan senyum selamat tinggal.

Pun, tidak ada pesan masuk untuk kalimat sekedar ‘aku udah dirumah, udah mandi dan siap buat tidur’ dan kemudian biasanya akan ada ponselku yang berdering, memunculkan Namanya yang ternyata menelfon.

Menghabiskan waktu berjam jam hingga dini hari hanya untuk pembahasan sederhana seperti remaja pubertas yang baru jatuh cinta.

Malam ini, ponselku sepi.

Malam ini, aku menangis sendiri.