Wonwoo duduk di meja makan Bersama Ayah dan Bunda, begitu dirinya melihatku, ia langsung bangkit dari duduknya.
“Kamu dari mana aja, Nak?” Ayah bersuara.
“Cuma jalan jalan aja, Yah, sebentar” Ayah dan Ibu saling melempar pandang, kemudian berjalan mendekatiku.
“Bunda sama Ayah tinggal ya, ngobrol dulu sama Wonwoo” Keduanya kemudian hilang dibalik daun pintu, ada suara mesin mobil yang hidup kemudian samar dan hilang. Kini hanya ada aku dan Wonwoo, di meja makan dan saling mematung, berdiam diri menatap kekosongan.
“Tadi, kemana?” Sahutnya, memulai obrolan.
“Dermaga”
“Sendirian?” Aku menatap Wonwoo yang sekarang menatapku.
Aku diam sejenak, menimbang, apa alasan yang harus aku katakan, mencoba jujur atau berbohong. “Sama Mingyu”
Hening. Tensi didalam rumah kini jadi tidak lagi sama seperti sebelumnya. Wonwoo mengusap wajahnya, mengangguk.
“Kamu mau ngomong apa?” Kali ini aku yang bersuara, ia di ujung sana membuang nafasnya.
“How’s with Mingyu, by the way?”
“Fine, we just talked”
“About?”
“How life treated us. How our lover treated us” Wonwoo diam, aku diam, yang terdengar hanya tetesan air di wadah tempat pencucian piring di dapur.
“Kamu mau ngomong duluan, atau aku yang ngomong duluan?” Tanyaku.
Raut wajah Wonwoo berubah, menjadi lebih serius dari biasanya.
“Kamu bilang, kita butuh ruang, tapi kenapa aku disini sama sekali gak bisa bernafas?” Pupilnya bergetar, suaranya tiba tiba tercekat, parau.
“Kita.. dimakan ego kita sendiri, Wonwoo. Sesak”
Kini, bulir air mata mulai memupuk di kelopak mataku, bersiap untuk jatuh. Wonwoo, kita kacau.
“Kalau gitu, ayo berhenti ngasih makan ego kita masing masing.” Aku mendongak, menangkap manik mata Wonwoo yang benar benar sepenuhnya tertutup pupukan air matanya sendiri, Wonwoo-ku, menangis.
Aku bangkit, berjalan menemui sosok yang dulu mewarnai abu abu nya hariku. Yang melukis bintang pada lukaku, walaupun akhirnya lukanya kembali berdarah.
Aku sentuh bahunya, aku jatuhkan ia pada rengkuh pelukku, dan kami berdua akhirnya runtuh menuju tangis.
Tidak apa-apa lukaku kembali berdarah, agar supaya dapat kembali aku rawat dengan baik, agar supaya aku mengerti arti sembuh dan sakit.
Kini tangannya melingkar di pinggangku, memelukku kuat. Benar, jarak dan ruang membuat semua terlihat jelas. Kita yang butuh ruang agar bebas bergerak, kita yang butuh jarak agar mengerti arti sebuah menghargai keberadaan satu sama lain. Hari ini, semua jadi lebih jelas.
“Wonwoo, aku sayang kamu” Masih terseguk, ia tidak menjawab, semakin mengeratkan peluknya, seakan akan besok ada yang harus berpisah.
“Kita mulai semua dari awal lagi, ya?”