Minghao tau, betapa putus asanya sahabat laki laki dihadapannya ini. Mingyu yang terus menatap pusara istrinya, Mingyu yang bahkan sudah tidak mampu mengeluarkan air matanya.

“Gyu” Panggil Minghao, ikut berjongkok disamping sahabatnya. “Seung Wan juga gak seneng ngeliat lo kaya gini”

Mingyu masih diam, masih menatap tanah dihadapannya dengan kosong. “Hao” Kali ini dirinya bersuara. “Sehabis ini, gue harus apa?”

Minghao runtuh. Melihat bagaimana sahabatnya Kembali menangis dengan memukul dadanya. Minghao runtuh, melihat ada tetesan air mata yang jatuh keatas tanah. Kini, bendungan itu tidak lagi mampu ditahan oleh Minghao sendiri.

“Ikhlas, Gyu.. Ikhlas”

“Gue ikhlasin Seung Wan pergi, Hao. Tapi gue gabisa ikhlasin hari hari gue tanpa dia..” Mingyu terseguk. “Hao, Gue harus apa setelah ini?”

Minghao tidak mampu menjawab, tidak mampu melakukan apa apa, hanya tepukan kecil yang mampu Minghao berikan di pundak Mingyu. Hanya itu, hanya mampu sekecil itu.

3 bulan, Mingyu harus bolak balik kerumah sakit untuk menemani Seung Wan memeriksa fungsi hatinya secara berkala. Kata dokter, Seung Wan didiagnosa terkena Sirosis hati akibat penumpukan zat besi didalam tubuhnya atau hemokromatosis.

Ada Mingyu yang selalu menyisihkan waktunya. Terkadang membiarkan pekerjaannya terbengkalai hanya untuk menemani istrinya.

Pikiran Mingyu yang bercabang, soal bagaimana perusahaan yang dirintisnya di negeri kangguru itu serta bagaimana masa depannya, masa depan Seung Wan, dan desperasi penuh melankolis yang menggerogoti jiwanya.

“Kira kira aku bisa gak ya, menang?” Malam itu, di beranda rumah. Seung Wan memainkan jari Mingyu.

“Bisa dong, harus bisa” Lelaki itu mencolek ujung hidung wanitanya.

“Maaf ya, belum ada bahagia yang bisa aku kasih ke kamu”

Noo..” Kini Mingyu menangkup kedua pipi istrinya. “Ketemu kamu, jalan berdua sama kamu di altar, anything you did with me, sampe hari ini, itu udah jadi kebahagiaan buat aku, loh. Kamu duduk sama aku disini aja, aku bahagia”

“Halah, gombal” Seung Wan terkikik.

“Loh kok gombal, serius”

Tawa keduanya memenuhi beranda rumah. Selalu ada cinta untuk perjuangan di antara mereka, namun, terkadang cinta tak pernah cukup untuk sekedar mempertahankan hidup.

1 bulan terakhir, dokter bilang sudah terjadi komplikasi parah. Hipertensi portal yang menyebabkan aliran darah tersumbat, pembesaran limpa atau splenomegali yang menyebabkan sel darah putih dan trombosit terperangkap didalam pembuluh darah kecil dan yang terakhir, Ensefalopati Hepatik, dimana terjadi penumpukan racun di otak akibat fungsi hati yang tidak bekerja dengan normal.

Dan 1 bulan terakhir, Mingyu menghabiskan waktunya menatap Seung Wan yang tergolek lemas di ranjang rumah sakit. Mengelus tangannya yang bahkan tidak mampu bergerak se-senti pun. Harapannya hancur dan lebur, yang ia lakukan hanya terduduk di samping Seung Wan, tidak ingin melakukan apapun.

“Nak, makan dulu” Ibunya prihatin, melihat putra tunggalnya sudah seperti mayat hidup. Terus terusan memegang jemari belahan jiwanya.

“Nanti aja, Ma. Ajakin Hao aja dulu itu makan” Minghao disana, ikut menatap nanar sahabatnya.

“Makan dulu, Gyu.”

“Nak, Hao. Tante minta tolong” Bisik wanita paruh baya tersebut. Minghao berjalan mendekat, menepuk bahu Mingyu yang bahkan manik matanya tidak bergerak sedikit pun dari sana.

“Ayo kita makan dulu” Mingyu menggeleng. “Nyokap lo udah masak, sayang itu kalau lauknya pada jadi dingin” Lagi lagi Mingyu menggeleng.

Minghao menarik nafasnya, memijit pelipisnya. “Gyu, tolong. Jangan siksa diri lo kaya begini lah. Kasian tau Seung Wan nya juga.” Mingyu tetap menggeleng, kali ini entah apa maknanya, sama sekali tidak relevan dengan pernyataan Minghao barusan.

“Gyu, lo gak sayang ngeliat nyokap lo?” Ibu Mingyu, sudah lebih dulu menjatuhkan air matanya diujung sana.

“Gak bisa Hao, gue gak bisa ninggalin Seung Wan barang sedetik aja”

“Gyu..”

“Kalau dia tiba tiba pergi pas gue lagi gak ngeliat dia, gimana?” Kini, seguk terdengar diujung sana. Ibunya, sudah tidak mampu membendung semua. “Kalau dia pergi dan gue gabisa ngucapin selamat tinggal, gimana?” Suara Mingyu berat dan parau.

“Hao..” Lirih MIngyu. “Kalau Seung Wan pergi, gimana?” Suara Mingyu bergetar. Matanya bahkan tidak berkedip sedetik dari wajah Seung Wan yang tidak lagi berdaya.

“Hao, terus gue gimana kalau Seung Wan pergi?” Mingyu menjatuhkan dahinya diatas tangan Seung Wan, membekap isak tangisnya sendiri.

“Lo harus ikhlas, Mingyu. Apapun ketetapan Tuhan, lo harus ikhlas”

3 Jam kemudian, alat pendeteksi detak jantung yang terletak di pinggir Kasur Seung Wan berbunyi hebat dan nyaring. Memberi tanda, bahwa kini, jantungnya tidak lagi berdetak, bahwa kini, nafasnya terhenti, bahwa kini, belahan jiwanya, telah pergi.

Mingyu terjatuh diatas lututnya, Ketika Seung Wan sudah sepenuhnya ditutup oleh kain putih. Tangannya bergetar hebat saat ingin membuka sekat yang menutup wajah istrinya itu, ia menciuminya. Dari kedua matanya yang sudah tertutup, puncak hidungnya yang kini tak lagi dapat ia rasakan sapuan hangat nafasnya, kedua pipinya yang tidak mampu lagi merona apabila tertawa, dahi nya yang tidak lagi berkerut apabila bingung dengan ucapan suaminya, dan ranum merah jambu bibir Seung Wan yang tidak lagi berwarna. Mingyu, tidak akan mampu lagi melihat senyum yang terlukis disana.

Sesaat setelah Seung Wan diantar menuju kamar mayat untuk dipulangkan besok, Mingyu runtuh. Ia runtuh dan tergolek di dinginnya lantai rumah sakit. Menangis dan meraung, memukul dadanya berkali kali. Merasakan sakit dan perih di ulu hatinya, tenggorokannya yang rasanya di koyak-koyak, dan kebas diseluruh tubuhnya.

Apa yang akan Mingyu lakukan setelah ini? Apa yang akan ia lakukan dengan bagian kosong yang mengangga didalam hatinya ini? Apa yang akan ia lakukan, saat dunia terus berputar, sedangkan tidak ada lagi belahan jiwanya disisinya? Apa yang harus dirinya lakukan?

Ia terus mengutuk dirinya, menghakimi dirinya sendiri dan berkata bahwa ini adalah sebuah karma yang harus ia terima. Tapi, apa memang rasanya sesakit ini? Dan untuk penutup malam yang kejam seumur hidupnya, ia berteriak, suara miliknya, memenuhi ruangan, hingga ke koridor dingin rumah sakit.

-

Sebulan setelah kepergian Seung Wan, Ibunya harus Kembali ke Jakarta. Pada akhirnya, Mingyu Kembali sendirian.

Ditatapnya seluruh sudut rumahnya. Hening, sepi, sunyi, gelap, dan ia sendirian.

Ada keheningan yang berteriak sangat hebat sampai sampai memekakkan telinganya. Mingyu benci ini.

Dirinya memutuskan untuk menghidupkan TV, menyalakan laptopnya secara bersamaan dan kembali duduk di sofa.

Tidak, masih terlalu hening.

Ia menghidupkan kompor, agar suara apinya dapat ia dengar dari ruang tengah.

Belum. Belum cukup.

Shower dikamar mandi. Keran di atas bathup.

Kali ini, seluruh perabotan dirumahnya ia jatuhkan.

Satu, dua, tiga, hingga sepuluh, bahkan lebih dan meninggalkan beling diatas lantai.

Kini, ia tatap beling kaca yang sudah tidak lagi berbentuk. Menatapnya nanar, kemudian terduduk diatas lututnya.

“Itu..” Lirih Mingyu. “Pajangan kesukaan Seung Wan”

Ia memeluk lututnya, menyembunyikan wajahnya dan lagi lagi menangis disana. Kebisingan akan suara suara yang sudah bercampur jadi satu, masih membuatnya merasakan keheningan yang luar biasa.

Mingyu ternyata salah, yang sosoknya cari adalah suara belahan jiwanya. Suara saat Seung Wan menghidupkan televisi, suara saat Seung Wan menghidupkan kompor di dapur, suara Seung Wan saat menyalakan shower serta keran di dalam kamar mandi, suara Seung Wan di hari minggu saat merapihkan perabotan rumahnya.

Kebisingan yang Mingyu cari, adalah Seung Wan sendiri.

Mingyu tidak mampu menetap di Australia dengan segala bayangan semu milik Seung Wan diseluruh sudutnya. Maka ia memutuskan pulang ke Jakarta. lebih tepatnya, membuat rencanya hidup paling baru. Apapun itu, agar dia mampu menutup kekosongan di jiwanya.