Mingyu menangis, ada bulir air mata yang jatuh di pipinya. Untuk pertama kali semenjak aku berpisah dengan sosoknya, ini kali pertama aku melihat kesedihan yang penuh desperasi di dalam sana.

Sorry” Cicitnya. Mengusap sudut matanya dengan buku jari.

It’s okay. It’s okay if you wanted to cry, Mingyu.” Sunyi senyap kemudian hadir diantara aku dan dirinya. Yang terdengar hanya suara angin dan deburan ombak kecil. “You miss her?” Tanyaku.

It feels like I really wanted to die

“Tapi Seung Wan disana juga udah gak sakit sakit lagi, Mingyu”

“Iya”

I’m sorry, my deep condolences

Thank you” Mingyu menekuk bibirnya, menengadah dan menatap jauh ke atas langit sana. “Hari ini 100 hari nya”

“Terus kok kamu disini?”

“Mama baru aja ngabarin aku, dia lupa dan aku juga gak mau ingat kalau hari ini 100 harinya Seung Wan. So, that’s why. Aku pergi”

Is it hard? 100 hari kamu belakangan?”

So damn hard” Mingyu membuang nafasnya. “Gimana ya.. kosong, sampe aku bingung ini aku lagi ngapain ya di dunia?”

“Australia sama Jakarta jadi gak ada bedanya. Sama sama selalu ada dia” Sambung Mingyu. Aku tidak mampu merespon apapun. Yang aku tau, manusia disebelahku ini sedang berada di titik paling dasar hidupnya, berkali kali kehilangan orang yang ia sayangi.

“Kalau gaada bedanya kenapa kamu balik ke Jakarta, Mingyu?” Ia tersenyum, menoleh kearahku.

“Aku mau jenguk Mama, sekalian mau ngajak dia pindah. Gaada lagi yang aku punya selain Mama”

“Pindah? Kamu mau pindah kemana?”

“Malibu. Aku mau mulai semua dari awal kesana. Mulai kehidupan baru. Yang gaada Papa, gaada Seung Wan, dan gaada kamu” Ia masih menatapku, dengan matanya yang berembun. “Cuma ada aku sama Mama”

Aku diam. Mendengar pernyataan dia barusan. Hidup Mingyu, sudah sepenuhnya kacau. Entah seperti itu memang jalan takdir semesta untuknya, atau memang itu jadi sebab akibat atas apa yang telah dia lakukan, entah, aku tidak mau memperburuk keadaan dengan berspekulasi tanpa arah.

Aku hanya mampu untuk diam, tidak mampu dan sebenarnya tidak mau menimpali lebih dalam.

“Kamu sendiri? Kenapa disini?” Aku tersenyum miring, tidak mau menatap dirinya, hanya mau menatap laut lepas.

Just.. don’t know. Belakangan banyak banget hal yang bikin kepalaku terus bercabang”

“Wonwoo?”

“Masih inget?”

Of course lah. Ya kali aku engga inget” Mingyu tertawa kecil, juga mengundang tawa dariku.

“Yah, gitu lah”

“Rumah tangga juga?”

“No, belum, Mingyu” Aku terkikik. “Muka ku udah keliatan stress kaya Ibu rumah tangga ya?”

Mingyu tertawa kecil setelah tangisan penuh keputusasaan nya barusan. “Enggak, gak gitu. Maksudku, ya siapa tau kamu lagi ada masalah rumah tangga jadinya kabur. “ Aku menggeleng. “Tapi sama Wonwoo?”

“Masalahnya apa nikahnya?” Nada suaraku sedikit meledek.

“Dua duanya?”

“Iya, sama Wonwoo” Jelasku dan mendapat balasan sebuah anggukan dari Mingyu.

Aku menunduk memainkan jariku, ragu ragu ingin menyampaikan satu pertanyaan yang terus terusan berlari di kepala, namun akhirnya tetap keluar dari mulutku, “Mingyu.. aku kalau nanya, boleh gak?”

“Ya boleh lah, kenapa engga?” Aku tertawa kecil, tidak langsung bertanya, sedang merangkai kata.

“Dulu, kamu pernah ngerasa ragu gak, buat nikahin Seung Wan?”

Mingyu mengerutkan alisnya. “Ragu? No. Not even a little bit. Bahkan aku selalu excited. Apalagi detik detik menuju akad, hahaha” Ia tertawa.

Right.” Aku mengangguk. Dirinya bingung, dari raut wajahnya, dirinya berusaha menebak banyak hal.

Are you okay?”

“Yah.. as it seems

You are not, then” Mingyu melempar pandangannya jauh, tidak lagi menoleh kepadaku. kali ini, giliran aku yang menoleh pada sosoknya.

How could you say kalau Wonwoo ragu sama kamu?” Oh, benang kusut itu cepat terurai di kepala Mingyu ternyata.

Don’t know. The way he acts, the way he talks, the way he sees me, sometimes it wasn’t right

Maybe there is something wrong?”

“Gak tau, Mingyu. Sekarang juga lagi di cari tau”

Good luck?”

Thank you” Balasku. “Dan makasih juga buat jawaban kamu” Mingyu mengibaskan tangannya didepan wajah, seakan berbicara ‘No, it is not a big prob, chill’

Lagi lagi hening. Dirinya dan diriku hanya mampu memandang ke dinginnya laut lepas sana, entah karena canggung yang tiba tiba hadir, atau indahnya sesuatu dihadapanku dan dirinya jauh lebih indah untuk dinikmati daripada perbincangan kecil.

“Hey?” Mingyu menyahut.

“Hm?”

“Kamu inget gak pertama kali kita ketemu sehabis aku balik dari Australia setelah kekacauan yang aku buat?”

“Inget”

“Aku pernah bilang, kalau ternyata ditengah jalan aku masih punya kesempatan kedua buat bareng sama kamu, boleh aku ambil gak kesempatannya?”

“Terus?”

“Kamu mau mempertimbangkan, gak? Untuk ngasih aku kesempatan itu?”

Aku diam, untuk yang kesekian kalinya. Diam seribu Bahasa dan tidak mampu berkata kata.

“Gak sekarang, maksudku. I mean, if someday, you just lost. And you have no home” Katanya, aku melirik, sedikit ada senyum tertekuk di bibir Mingyu.

I know you do really love Wonwoo, and it is not easy to coming back to me, kan? You know, after everything I did” Ia menatap jemarinya, menunduk.

And you do really love Seung Wan, Mingyu. After everything you did, kan?”

Dirinya menoleh, bersuara, “Yes, I do. I do love her.”

“Mingyu, jalan kita kan udah beda”

I know. Tapi kamu gak bisa nutup kemungkinan kemungkinan lain yang bisa bikin kita ketemu lagi di satu titik yang mungkin kita sendiri gak pernah tau.”

Pernyataan Mingyu tidak 100 persen benar dan tidak 100 persen salah, memang, tidak ada yang bisa di kalkulasi soal kemungkinan kemungkinan yang akan terjadi di depan sana.

If in case, I said. If” Ulangnya lagi. Menekankan satu kata.

Aku hanya tertunduk, tidak mau menjawab apapun perihal lelaki ini. Pemikiranku terus bercabang entah sampai kemana, tidak lagi mampu berfikir seperti seharusnya. Jadi, aku hanya memilih untuk diam.

“Aku pernah baca satu buku yang mungkin semua orang juga tau, bukunya Collen Hoover yang It Ends with Us, kamu tau?” Tanya Mingyu.

“Tau, tapi aku belum pernah baca” Kini Mingyu memutar tubuhnya menyamping, tidak lagi memandang jauh ke laut lepas sana, tapi ke arahku.

“Lebih dan kurang,..” Katanya. “Satu paragraph dimana dia nulis ‘In the future, if by some miracle you ever find yourself in the position to fall in love again, fall in love with me’” Matanya mengawang ke langit, mungkin sedang berusaha mengingat. “Mungkin bakal aku tambah, ‘if you ever find yourself hurt and being homeless, you know where to run into.’” Sambungnya, kali ini manik matanya berpindah ke arahku.

Aku sedikit menyunggingkan senyum, mengangguk kecil dan menemukan iris mata coklat yang dulu selalu aku suka.

If” Kataku.

Yes. If

Matahari sudah mulai terpeleset diujung sana, hampir digantikan oleh malam. Cahaya oranye mengiluminasi wajah Mingyu, tidak ada secercah kebahagiaan disana, yang ada hanya kesedihan, kekacauan, dan perasaan melankolis yang mungkin terus menggerogotinya. Jiwanya, sedang kesusahan mencari kebahagiaan, jiwanya, sedang rapuh dan hancur berantakan.

Dari sekian banyak kejadian tentang aku dan Mingyu, hari ini aku menemukan sebuah fakta bahwa tidak masalah menoleh kebelakang barang sebentar untuk melihat bagaimana luka masa lalu pernah tergores. Karna saat ini, ketika semuanya telah sepenuhnya sembuh, ada yang perlu dihargai, sakit dan luka untuk sembuh dan bahagia.