Hari ini sebuah dermaga jadi destinasi agenda kaburku, pukul 4 sore setelah aku kembali dari kantor. Tadi pagi aku sempat bertemu Wonwoo, berada di satu lift yang sama menuju lantai yang sama, namun rasanya asing.

Rasanya seperti hari pertama aku masuk ke kantor dan berkenalan dengan kepala departemen HRD. Aku dan Wonwoo yang asing.

Aku sempat diam di dalam mobil cukup lama, setelah membalas pesan Kak Jeonghan, banyak hal yang berkecamuk di kepalaku.

Wonwoo just bad at making decision.

Tidak ada jaminan atas jabatannya di kantor. Wonwoo, hanyalah Wonwoo dengan segudang masa kecilnya yang ternyata tidak sesempurna keadaannya.

Beberapa teman Psikolog yang aku temui secara gamblang mengatakan bahwa banyak faktor yang bisa mempengaruhi, entah itu trauma masa lalu, atau memang tidak adanya pilhan yang diterapkan sejak ia tumbuh.

Persis seperti apa yang diberitau oleh Kak Jeonghan beberapa saat yang lalu.

Dan aku, tidak akan menyalahkan siapapun atas apapun kekurangan seseorang yang aku sayangi.

Semenjak awal Wonwoo dan keluarganya datang kerumah untuk berbincang dengan Ayah dan Bunda, senyum di wajah Wonwoo terlihat berbeda. Cara ia bergelagat serta nada bicaranya. Mama Wonwoo yang selalu bilang akan menyelesaikan segala galanya, sedangkan Wonwoo hanya menghabiskan waktu seperti tidak terjadi apa apa.

Terkadang, dan tidak jarang, ada keraguan dari tatapan matanya.

Setiap malam, aku selalu menangis dalam diam dan mempertanyakan, ini pilihan Wonwoo, kan? Tapi kenapa rasanya ini bukan Wonwoo? Kenapa Wonwoo penuh dengan keraguan?

Cinta Wonwoo padaku, juga keraguan? Segala perjuangan dan jalan Panjang yang sama sama dilalui, atas sebuah dasar apa?

Lagi lagi, aku menangis menjatuhkan dahiku pada stir mobil. Terisak, dan terus mempertanyakan banyak hal dikepalaku. Soal bagaimana masa depanku, bagaimana sebuah akhir yang akan aku temui bersama Wonwoo.

Aku keluar dari mobil, memakai coat Panjang selutut yang menutupi kemeja kantorku, sekaligus untuk menghalangi hawa dingin dipinggir laut. Dermaga sore ini sepi, tidak ada aktivitas maupun orang yang sibuk berlalu Lalang, mungkin ada beberapa diujung sana, yang jaraknya cukup jauh dariku.

Ruang gerak. Itu yang aku butuh, itu yang Wonwoo butuh, tapi rasanya makin kesini ada perasaan sesak di dadaku sendiri.

Aku bertumpu pada sikutku di pagar kayu jembatan dermaga. Membiarkan angin mengacak rambutku, menyapu wajahku, barangkali kacaunya emosi yang terus membakar dadaku jadi reda ketika menemukan sedikit ketenangan.

Baru sejenak aku berdiri disana, manik mataku menangkap siluet tidak asing yang berdiri agak jauh diujung sana. Menautkan jemarinya dan juga bertumpu pada sikutnya di pagar pinggir jembatan. Sosok familiar yang aku temui tempo hari di supermarket kota, Mingyu.