#9, august.
“You can love who you want, but so can they.”
“Namanya Mingyu, anak IS 11 A.”
“Oh..”
“Kok Oh?”
“Ya terus apa?”
“Katanya suka?”
“Gue puter haluan, Ryu..”
“Lah kenapa gitu?”
“Taken.”
“Tau darimana?” Aku memutar tubuhku, kini berhadapan dengan Ryujin, yang duduk tepat di belakang bangkuku.
“See?” Aku tunjukan layar ponselku ke wajahnya. Menunjukan sebuah story dari salah satu platform sosial media, Mingyu tadi dengan seorang gadis.
“Yuna?” Aku mengangguk.
“Lagian apasih yang bisa dilihat dari gue, Ryu? Mingyu itu anak basket, kalau sparing sama sekolah lain, cewe cewe sekolah lain malah dukungnya Mingyu bukan anak sekolahnya. Satu sekolah juga tau siapa dia, lah gue? Kelas sebelah aja belum tentu tau gue siapa.”
“Lagian lo, udah tau bakal sakit hati, tetep aja ngejar yang itu.”
“Ya masa perasaan gue disalahin.” Aku menjatuhkan kepalaku ke atas meja, kemudian menyembunyikannya dengan tangan yang aku lipat. Apasih yang salah sama perasaan?
Jam pelajaran selanjutnya dimulai 20 menit lagi, seharusnya aku hari ini menghabiskan waktu di kantin untuk sekedar mengobrol dengan Ryujin atau teman-teman yang lain. Tapi hari ini, aku memutuskan duduk sendirian di kelas sambil memainkan ponsel, tidak ingin melakukan apapun. Not in a good mood.
“Permisi..” Aku menoleh ketika mendengar satu sahutan, menemukan seorang lelaki dengan surai gelap dan lekuk dimensi wajah yang tidak asing. Jantung di dalam sana buru buru memompa darahku sampai kepala, membuatku panik sampai menjatuhkan barang-barang di atas mejaku ke lantai, Mingyu.
“Eh, Sorry.” Katanya. “Ini anak anak yang lain belum pada masuk ya? Lo sendirian?” Aku mengangguk.
“Kalau gitu, gue mau minta tolong.. Ntar kasih tau sama yang lain kalau nanti hari Sabtu tim basket sekolah kita tanding sama sekolah lain. Jadi, minta tolong datang buat dukung ya, atau sekedar ngeramein aja. Biar tribun bagian tim sekolah kita rame.” Aku mengangguk patah patah, masih menatap dirinya yang berdiri di ambang pintu.
“Kalau gitu.. Makasih ya, gue balik dulu..” Aku mematung. Berusaha memproses kejadian yang baru saja terjadi. Kemudian aku menoleh, menatap sekelilingku untuk mencari validasi bahwa aku memang sendirian, dan barusan, seorang Mingyu yang selalu aku elu-elu kan namanya di dalam hati, mengajakku berbicara, berdua.
Bohong kalau aku bilang bahwa aku biasa saja, rasanya darah di kepalaku terpompa begitu kencang sampai sampai membuatku ingin meledak. Aku tidak peduli status apa yang dimiliki dia oleh orang lain, tapi.. Perasaan bodoh ini, perasaan yang membodoh-bodohi diriku ini, tak akan pernah mampu untuk di hilangkan eksistensi semunya.
Aku tersenyum, pipiku panas. Jantungku masih berdetak tak karuan dan.. Kupu kupu yang beterbangan, membuat perutku geli. Jatuh cinta memang se-menyenangkan sekaligus se-menyebalkan ini.
Disana kemudian aku di akhir pekan pada hari Sabtu, sesuai instruksi yang disampaikan Mingyu tempo hari yang lalu. Aku duduk bersebelahan dengan Ryujin di tribun paling bawah, disebuah gedung olahraga indoor dekat sekolah.
“Gue cari Yuna daritadi, kok gak keliatan, ya?” Ryujin sedikit berteriak ke telingaku. Karena GOR sedang berisik-berisiknya akibat teriakan yang saling menyahut.
“Ngapain di cariin?” Balasku, juga sedikit berteriak. “Ada, cuman banyak orang kaya gini mana mungkin keliatan.” Sambungku.
“Gaada, gue liatin satu-satu gaada. Masa sih dia gak nonton cowonya tanding basket?” Aku mengangkat bahuku, memberi isyarat bahwa aku tidak tau dan tidak mau tau.
“Tapi serius kemarin dia datang sendiri ke kelas?”
“Iya, emang kenapa?”
“Kemaren kata kelas sebelah, Jaehyun datangnya barengan sama anak basket yang lain. Ngabarin yang sama juga sih.”
“Oh.. Palingan biar cepet kali, Ryu. Jadinya si Mingyu misah sendiri.”
“Lo kok positive thinking banget?”
“Lah terus gue harus mikirin apa?”
“Lo apa gak mikir, mungkin dia sengaja?”
“Enggak?”
“Jangan jangan dia juga suka sama lo kali.”
“Ngaco, dia udah ada pacar.”
“Lo apa gatau? Kalau Yuna itu gatel? Maksudnya.. Bisa jadi Yuna nya yang gebet si Mingyu duluan? Terus kalau ternyata emang Mingyu nya suka sama lo? Kan, bisa jadi, loh?”
“Please, Ryu. Omongan lo beneran udah ngaco. Terus jangan berspekulasi terlalu dini lah, cuma gara gara dia kebetulan dateng sendiri ke kelas. Mending lo nikmati aja nih acara, gausah ngomongin yang aneh aneh.” Jelasku.
“Oh iya, satu lagi. Jangan bikin gue makin kacau cuma gara-gara spekulasi aneh lo. Gue gak mau memperburuk keadaan dengan perasaan gue, Ryu. Gue ngeliatin dia dari jauh kaya gini aja udah cukup.” Sambungku.
Teriakan meraung dari tribun sana ke tribun sini, yel-yel yang bersuara menyemangati masing-masing tim, dan para pemain dengan semangat yang menggebu gebu terus men-dribble bola, loncatan demi loncatan untuk memasukan bola kedalam ring, maupun saling lempar kesana dan kesini.
Dan Mingyu, dengan jersey basketnya ber-nomer punggung 09. Berpuluh pasang mata tidak lepas dari sosoknya, sahutan demi sahutan meng-elu kan namanya, sama seperti bagaimana aku, berteriak kuat didalam hatiku, melihat bagaimana luwesnya ia memainkan olahraga yang jadi kesukaannya.
Keringat yang bercucuran hingga membuat surainya basah, lenguhan nafas yang tak terpompa dengan stabil, tangan yang menepuk ke udara untuk memberikan isyarat bahwa ia siap untuk di oper bola, dan bagaimana ia men-dribble bola hingga lompat dan mencetak nilai, semua suara berteriak serempak meneriakan namanya.
Dan aku, hanya bagian kecil dari itu semua.
Kedua tim semakin bersemangat, melempar sana dan sini, hingga ketika tensi permainan mencapai puncak, bola basket yang di oper terlempar kencang ke tribun bawah, tepat di hadapanku, di depan mataku.
Mampus.
Mampus.
Mampus.
Sebuah langkah kaki mengejar, tidak tekontrol sampai sampai intensitas kecepatannya harus ditahan dengan tangan yang menapak pada dinding tribun di belakangku. Kini, tubuhku terkunci didalamnya, jarak wajahku dengan wajahnya hanya terhitung dengan ruas jari.
Bau keringat yang menyeruak, serta leguhan nafas yang menyapu wajahku. Mingyu.
“You okay? Sorry” Bisiknya, kini ia langsung kembali berlari menuju lapangan, mengambil bola yang sempat hampir mengenaiku, mengangkat tangan ke udara, memberikan isyarat pada pemain satu timnya, melempar, kemudian berlari dan kembali menjadi Mingyu yang profesional.
“Wow..” Ryujin terpaku di tempatnya ketika aku menoleh.
“Wow.. Ryu..”
“Gila.. Cuma beberapa detik, tapi..”
“I know.. It feels like I wanted to explode any of time..”
“Sedeket itu?”
“Bahkan nafasnya aja bisa gue rasain di muka..”
“Damn..”
-
“Les, gue di tempat les” Kataku menyahut dengan ponsel di telinga sebelah kanan, Ryujin menelfonku.
“Lo ikut ya, acara reunian SMP yang kemaren kita omongin.”
“Kapan?”
“Minggu ketiga bulan Agustus sih kata mereka.”
“Lama banget? Tapi udah bikin janji sekarang? Agustus aja belom.”
“Ya mana gue tau, mereka bilangnya gitu.”
“Yaudah iya gue ikut, tapi lo juga harus ikut.”
“Iya, gue pasti ikut lah.”
“Yaudah oke.” Begitu kemudian panggilannya terputus. Sebenarnya jam lesku sudah berakhir 20 menit yang lalu, dan aku berdiri di depan halte bus sambil mengotak atik ponsel, menunggu bus dengan jadwal paling akhir untuk pulang ke rumah.
“Lo,” Sebuah suara mengejutkanku, bahkan ponsel di tanganku hampir terlempar. “Yang kemaren mukanya hampir kena basket kan?” Mingyu.
“Mingyu?”
“Sorry, tapi lo kemaren gak papa kan?”
“I-iya, gue gak papa kok.” Senggang. Kemudian Mingyu duduk di kursi halte bus menciptakan jarak dariku.
“Lo.. Nunggu bus?” Aku mengangguk. “Habis darimana emang?” Tanyanya lagi.
“Les.” Jantungku disana, kini berdegup kencang. “Lo sendiri?” Kini bergantian aku yang bertanya pada sosoknya.
“Gue main kerumah temen, kebetulan disekitar sini.”
“Jaehyun?”
“Kok lo tau?”
“Temen les gue.” Mingyu mengangguk sembari menekuk bibirnya, kemudian lagi lagi ada sunyi senyap yang mengudara.
“Lo beneran gak papa?” Sekali lagi ia bertanya.
“Iya, Mingyu. Gue gak papa. Gak kena kok. Oh iya, makasih juga.. Udah di selamatin?” Ia terbahak sampai-sampai membuang kepalanya kebelakang, dari sudut visualisasiku, dapat aku lihat satu gigi taringnya yang mengalihkan pandangku, terfokus kesana dan ikut tersenyum.
“Kaya Basarnas aja gue ya, bahasanya nyelamatin.”
“Hahaha, pokoknya.. Makasih”
“Iya.. Sama sama.” Dirinya tau, dirinya sadar, bahwa pernah ada jarak seruas jari antara aku dan dirinya. Bahwa ada sapuan hangat nafas yang ia lenguhkan dan tertampar pori-pori wajahku. Dirinya, tau.
Dari sini, aku bisa melihat ia yang memainkan ponselnya. “Eh, gue duluan ya.. Dicariin soalnya..”
“Sama?” Aku menyeletuk, tanpa sadar. Padahal harusnya bukan jadi urusanku.
“Hm.. Cewe gue.” Ia kemudian berjalan berlalu. Namun, baru beberapa langkah, ia berbalik, kembali berjalan mendekatiku. “Sorry but.. Can I have you number? Hm... In case kalau ada apa apa gara gara kemarin, you can call me. Or, I can check it up on you?”
-
Dua minggu. Dua minggu berturut turut, ada aku dan Mingyu yang saling bertukar pesan. Alasan awal aku dan ia saling bertukar nomor adalah seputar aku dan kejadian bola basket berminggu-minggu yang lalu, padahal aku sepenuhnya baik baik saja. Namun makin kesini, percakapan yang tercipta tak lagi soal alasan awal atas adanya nomor Mingyu yang tersimpan di ponselku.
Tak jarang, kadang ada dia di tengah malam yang meminta izin untuk menelfon, ada dia yang bertanya alamat rumahku dimana, ada dia yang bertanya bagaimana hari-hariku, ada kita, yang mulai melenceng dari satu alasan kenapa hal ini ada.
“Gyu..” Panggilku. Malam semakin larut, ponsel di telingaku juga semakin panas akibat panggilan yang tak kunjung menuju titik akhir. Aku menatap plafon kamarku di atas kasur, dengan penerangan yang hanya berasal dari lampu jalan di luar jendela kamarku.
“Hm?” Sahutnya diseberang sana.
“Emangnya Yuna gak marah, kamu nelfon cewe lain kaya gini?” Dan kemudian, tercipta sapaan lain yang berbeda dari awal bagaimana kita bertemu.
“Dia udah tidur.”
“Berarti, aku cuma pelarian kamu, ya? Waktu Yuna udah tidur?” Ada diam yang mengudara, yang aku dengar adalah deru nafasnya disana.
“Kamu mau lebih?”
Deg.
“Maksudnya?” Kita lagi-lagi terdiam. Masih dapat aku dengar suara nafasnya dari sana.
“Kalau kamu bilang pelarian, berarti aku lari ke kamu kalau aku lagi ada masalah sama Yuna, kan? Atau pas Yuna lagi tidur? Kaya yang kamu bilang barusan? Tapi aku gak lari, aku sepenuhnya ada walaupun aku gak bermasalah sama Yuna, kadang kalau Yuna pun belum tidur. Aku selalu ada walaupun aku lagi baik-baiknya sama Yuna, dan kamu juga,” Jelasnya.
“Maksudku.. Aku ngerasanya, kamu juga selalu ada buat aku. Kita selalu ada buat satu sama lain.” Sambung Mingyu. Dapat aku dengar sedikit gemerisik disana, mungkin ia sedang membenarkan posisinya.
“Terus? Maksud lebihnya?”
“Aku.. Suka sama kamu. Apapun yang aku omongin sama kamu, kadang suka ketemu titik cerahnya, obrolan kita nyambung, bahasa klisenya.. Nyaman? Aku nyaman kalau ngobrol kaya gini, atau misal ketemu kamu di kantin.. Ya walaupun, aku gabisa nunjukin itu secara terang-terangan. Intinya, aku suka sama kamu.”
“Aku tau, apa yang aku lakuin ini salah dan gak seharusnya aku kaya gini. But I have a desire, to have you.. More than a friend.. Jadi, in case.. Kalau kamu mau, terjun ke kesalahan ini sama aku, dan.. basah sama-sama bareng aku.”
“Terus Yuna gimana, Mingyu?”
“Kamu gak perlu mikirin dia. Ini soal aku sama kamu.. Yuna biar urusanku.”
Lenggang. Cukup lama di antara kita sampai sampai yang aku dengar hanya detak jam dinding disana dan disini.
“Would you?”
“You sure?”
“Iya.”
“Aku gapernah coba hal kaya gini.”
“Aku juga, so.. Would you try this? With me? Considered, as Bonnie and Clyde? Ngelakuin kejahatan sama-sama.” Ia terkikik ringan, bahkan sangking ringannya, tidak mampu aku kategorikan sebagai sebuah kikikan.
“Tapi kamu tau kan, mau kaya gimana pun, ini bakal berakhir dengan gak baik?”
“Iya.. Aku tau.”
“Oke..”
“Mau?”
“Yes..”
Whispers of “Are you sure? Never have I ever before”
Kalau Mingyu punya keinginan, pun aku. Lebih mendalam. Dari dulu, semenjak pertama kali aku melihat sosoknya di dalam tim basket sekolah, aku jatuh. Dengan cara dia bermain, cara dia tersenyum dengan gigi taringnya, surainya yang basah akibat keringat, dan kulitnya yang coklat terpapar cahaya matahari. Apapun soal Mingyu, selalu membuat hatiku bergetar hebat.
Gelagatnya, segala apapun yang aku perhatikan, selalu membawaku terjun menuju palung yang aku gali sendiri atas nama perasaanku terhadap Mingyu. Dan betapa kacaunya aku, ketika menyadari bahwa aku yang tidak pernah terlihat, bahkan dari sudut matanya. Betapa kacaunya aku, bahwa ternyata ada tempat untuk seorang gadis lain dihatinya, bukan aku. Bukan diriku.
Aku salah, beribu kali salah ketika terjun ke masalah ini. Kalaupun di akhir nanti aku dan Mingyu harus hancur akibat sebuah permainan jahat di dalam gelap, dan seribu kesalahan akan di bebankan kepadaku, maka, aku siap. Beribu panggilan tak pantas akan aku terima, aku siap. Apapun itu, setidaknya, aku punya sedikit waktu untuk sekedar memanggil Mingyu dengan sebuah kata ‘milikku’. Walaupun harus bersembunyi dan mungkin tidak akan di akui.
Tapi aku tidak peduli. Mingyu milikku. Dan itu cukup. Mungkin lebih dari cukup.
Dan, di 1 Agustus, dimana akhirnya sebuah permainan tak pantas ini dimulai.
-
Cahaya matahari menyirami lengan serta punggung Mingyu yang mengenakan jersey basketnya. Hari ini, tim basket sekolah sedang berlatih di lapangan. Ada banyak pasang mata yang sedang menyaksikan, tak terkecuali Yuna, yang dengan semangat terus menerus meneriakan namanya.
“Chae!” Teriakku di koridor sekolah. Seseorang yang aku panggil tadi menoleh. “Mau minta tolong.”
“Apa?” Chaeryeong, murid kelas sebelah yang sebenarnya tidak begitu dekat denganku.
“Lo sodaraan sama Jaehyun kan?” Ia mengangguk. “Titipin sama Jaehyun, terus suruh Jaehyun kasih sama Mingyu.” Aku menyodorkan sebotol air mineral.
“Hah?”
“Ntar kalau ditanya, bilang dari orang tapi titipin buat Mingyu, okay?”
Dari kejauhan, dapat aku lihat bagaimana Chaeryeong tadi menyerahkan sebotol air mineral kepada Jaehyun, yang merupakan teman satu tim basket Mingyu. Dan dapat aku perhatikan kembali, botol mineral itu berpindah tangan ke tangan Mingyu, serta mulut Jaehyun yang bergerak entah mengatakan apa.
Mingyu mengedarkan pandangannya, masih memegang sebotol air mineral, mungkin berusaha mencari eksistensiku yang tidak dapat ditemuinya. Kemudian, ia berjalan menemui Yuna yang duduk di pinggir lapangan, sambil menegak air mineral yang aku titipkan tadi.
Kira kira, apa Mingyu akan mengirim pesan atau menelfon setelah jam sekolah selesai? Untuk mencari validasi soal sebotol air mineral yang kini digenggamnya?
Your back beneath the sun, wishin' I could write my name on it. Will you call when you're back at school?
'Sibuk? Aku telfon?'
Sebuah pesan muncul di notifikasi bar ponselku, dari Mingyu, dan buru buru aku balas.
'Enggak sibuk, Mingyu.' Beberapa menit kemudian, panggilan masuk memunculkan namanya di layar ponselku.
“Halo?”
“Hai..”
“How’s your day?”
“Nice. Kamu? Latihan tadi, gimana?”
“Air mineralnya dari kamu, ya?” Senyum kecil terangkat di ujung bibirku.
“Iya.”
“Makasih.”
“Sama sama, Mingyu. Jadi.. gimana latihannya?”
“Capek.. Tadi air mineralnya di tanya Yuna, tapi aku bilang dari Jaehyun.”
“Maaf.”
“No.. It's not a big deal. Thank you, sekali lagi.”
“Hmmm, sama-sama.”
“Aku capek banget, boleh tidur gak?” Tanyanya dari ujung sana.
“Boleh, mau tidur?”
“Tapi telfonnya jangan di matiin, ya?” Degup jantungku tak karuan. Aku menggigit bibirku, namun kemudian tersenyum.
“Nanti kalau Yuna nelfon?”
“Itu ntar urusanku, kamu jangan pusingin Yuna. Jangan di matiin, ya?”
“Iya, Mingyu” Dari sini, gemerisik ditangkap pendengaranku. Dapat aku gambarkan mungkin disana ia sedang merapihkan selimutnya, atau merapikan bantalnya agar tidurnya menjadi nyenyak, atau lain hal yang membuatku terus menerus tersenyum disertai panas di pipiku.
Semenjak mengagumi sosoknya, aku tidak pernah membayangkan bahwa akan jadi seperti ini agenda yang akan aku lakukan bersamanya. Menginginkan dirinya, tidak pernah secandu ini.
“Selamat bobo-in dong.” Katanya. Dengan suara serak mengantuk yang meraung dipendengaranku. Aku tertawa.
“Selamat bobo siang, Mingyu.”
10 menit kemudian, kini yang aku dengar adalah suara dengkuran kecil dan sesekali suara gemerisik akan ia yang bergerak disana.
Mingyu, kalau egois adalah suatu hal yang diwajarkan seluruh penduduk bumi, maka aku akan menginginkan sosokmu selamanya, sepenuhnya.
-
'Di PIM'
Sebuah pesan dari Ryujin muncul dari layar ponselku.
'Jam 4 sore' Bubble Message dari Ryujin kemudian muncul kembali.
'Oke' Balasku.
Sebuah sweater dan jeans melekat di tubuhku, sesekali aku sisir rambutku dengan jemari dan tertunduk memainkan ponsel.
'Aku mau ke PIM' Ketikku, mengirimkan pesan kepada seseorang.
'Aku juga.'
'Bareng Yuna?'
'Nope, boys on duty.'
Aku tersenyum kecil melihat balasannya. 'Wanna meet? Aku bawa mobil.'
'Emang bisa?'
'Dunno, lihat keadaan ya?'
'Okay.'
Disini aku kemudian, duduk disebuah restoran bersama Ryujin dan menunggu teman teman lainnya untuk hadir. Pandanganku sesekali mengembara kemana mana, dari dalam restoran menuju luar, berusaha mencari eksistensi seseorang yang aku harap tiba-tiba muncul secara tidak sengaja. Tidak perlu melakukan apapun, hanya berdiri dan aku nikmati dari kejauhan, sudah cukup dan lebih cukup.
Satu persatu teman-teman masa SMP-ku mulai berdatangan, memenuhi kursi namun belum sepenuhnya. Tatkala tawa memenuhi suasana, notifikasi ponselku berbunyi, memunculkan satu nama,
'Meet me behind the mall?'
“Guys,” Seluruh pasang mata kemudian menoleh ke arahku. “Sorry, gue ada urusan mendadak. Sorry, Ryu. Gue duluan.”
Cancel my plans just in case you'd call, And say, “Meet me behind the mall.”
-
Aku mengedarkan pandangan, di langit sana, warna birunya mulai memendar menjadi Jingga, dan suara klakson mengejutkanku. Di dalamnya, Mingyu tersenyum sambil melambai kearahku. Buru buru aku berlari kearah mobil yang dinaikinya, membuka pintu dan masuk.
“Lama?” Tanyaku.
“Engga kok.”
“Temen temen kamu?”
“Udah pulang semua.” Aku mengangguk.
“Kamu ada acara apa kok boys on duty?”
“Gapapa, biasanya juga gitu kalau habis tanding basket atau sparing. Kamu? Ada acara apa?”
“Oh.. Reunian bareng temen SMP dulu..”
“Udah selesai acaranya?”
“Udah, Mingyu.” Bohong. Bahkan baru saja dimulai, aku sudah melangkahkan kaki pergi. Dirinya kemudian memutar kemudi keluar dari pekarangan PIM.
“Kamu mau aku ajakin kemana?”
“Kita di mobil aja, gausah kemana mana.” Kataku.
“Drivethru?”
“Boleh.”
Ada banyak alasan kenapa aku menyarankan agar aku dan dirinya tidak perlu menghabiskan waktu di luar mobil. Aku yakin, dimana mana ada banyak pasang mata, dan sebuah alasan lain, bahwa aku yang egois ini, tidak ingin apa yang aku dan Mingyu mainkan berakhir. Aku mau tetap seperti ini.
Kami kemudian berhenti di pinggir jalan sambil menikmati makanan yang sudah kami beli melalui drivethru tadi, menyiptakan obrolan kecil dan ringan serta suara tawa yang sesekali memenuhi mobil.
Mingyu suka the 1975 katanya, dia juga suka beberapa lagu milik Greenday, Coldplay, dan katanya lagi dia juga suka lagu-lagunya Oasis.
“Kalau Radiohead?” Tanyaku, mengunyah kentang goreng.
“Hahaha, aku cuman tau No Surprises sama Creep.”
“Whatever makes you happy, whatever you want,” Dirinya mulai menyanyikan sepenggal lirik lagu milik Radiohead dengan judul Creep tersebut. Lebih kepada menggumam kecil.
“You're so fuckin' special, I wish I was special,” Aku ikut menyambung. “But I'm a creep, I'm a weirdo. What the hell am I doin' here?” Sambungku lagi. Kini sambil menatap manik matanya.
“You are special, though. You don’t have to worry.” Jemari tangannya bermain di pipiku, kini buku-buku jarinya mengelus disana. Ditambah, senyum simpul dari kedua sudut bibirnya.
“Kok kamu tau lagu Radiohead?” Kini sosoknya melemparkan pertanyaan.
“Papa aku biasanya suka muterin lagu itu kalau di rumah pas hari minggu, apalagi yang Creep, dia suka banget.” Jelasku, tertawa singkat.
“Aku kalau nyetir malem dengar lagunya Radiohead yang Creep itu jadi gagal ngantuk.” Ia tertawa.
“Yuna juga suka Radiohead ga?” Mingyu yang tadi sedang mengunyah tiba-tiba terhenti, menatapku serius.
“Jangan bawa Yuna kesini, ini soal aku sama kamu. Aku gak mau denger nama dia disini.” Aku menatapnya yang membuang muka, menarik nafas panjang dan membuangnya pelan.
“Sorry..”
Lenggang, tak ada sahutan. Bahkan agenda mengunyah makanan pun terhenti. Kemudian Mingyu berdeham, “Mau aku hidupin lagu?”
“Engga usah, Mingyu.”
“Okay, kalau kamu mau hidupin lagu, hidupin aja ya..”
“Kita, bakal sampe kapan ya kaya gini?”
“Emang kenapa?” Aku yang tadi tertunduk, kini mendongak menatapnya. Beribu kata yang aku sudah rangkai mendadak kelu, meninggalkan tatap tanpa makna yang menjurus ke wajahnya. Mingyu yang bingung, hanya diam, menunggu.
“No.. Argumentasi apapun yang aku keluarin gak akan masuk di akal karena ini memang udah salah.” Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulutku.
“Kita sama sama setuju kalau ini endingnya gak bakal baik..” Jelas Mingyu. “Terima aja, gimana akhirnya nanti, ya?”
“Kalau aku mau kamu, bisa ga?”
“Ini aku juga jadi punya kamu, kan?”
“Sepenuhnya, Mingyu.”
“Jangan gitu.”
“Egois ya?”
“Kita berdua sama sama egois.”
“Enak ya, jadi Yuna..”
“Aku bilang jangan bawa bawa Yuna.” Dapat aku dengar Mingyu berdecak kesal.
“Bisa punya tempat di hati kamu secara terang terangan.”
“Tolong dong, bisa gak jang—”
“Kalau disuruh milih—”
Mingyu memukul stirnya dengan keras, menarik nafas, sempat menahannya beberapa detik sebelum melepaskannya, kemudian bersuara, “Jangan.”
“Kenapa? Karena kamu bakal selalu milih dia ya?”
“Aku anter kamu pulang..” Mingyu menarik rem tangan mobilnya, sampai akhirnya aku tahan pergelangan tangannya.
“Sorry,” Aku tidak mampu menatap matanya, karena sekarangpun aku menahan bulir air mata agar tidak jatuh dari pelupuk mata. “Jangan anter aku pulang. Can we.. Just.. Strolling around downtown? Aku belum mau pulang, Mingyu. Masih mau.. Sama kamu.”
“Okay.. But this is all about us ya. Jangan bawa bawa siapapun, aku gak suka.”
“Iya, Mingyu. Maaf.” Aku menunduk, masih berusaha sekuat tenaga menahan tumpahan air mata agar tak mengucur keluar. Kemudian, ada tangan yang menangkup pipiku.
“Hey?” Irisnya menangkap irisku. “Sorry.. For bringing you to this stupid situation.” Aku menggeleng, mengusap air mata yang sialnya sudah jatuh sejak tadi.
“Aku tau konsekuensinya dan aku siap.” Lirihku. Lalu ia menarikku kedalam peluknya. Hangat. Sebuah hal yang untuk kesekian kalinya tidak pernah aku bayangkan ketika mengelukan namanya atas sebuah dasar perasaan suka. Dan rasanya, aku mau dipeluk, aku mau dicintai dan aku mau disayang oleh sosoknya, secara terang-terangan.
Namun, saat menyadari kenyataan, aku kembali menangis, menumpahkan air dari pelupuk mata dan menyembunyikan wajahku di dalam peluknya. Siapa yang salah kalau begini? Aku yang mendambakan sosoknya secara candu atau dirinya yang egois tak ingin memiliki satu? Atau, sebuah perasaan tak menentu? Yang membuat pemiliknya kacau tidak mengenal waktu? Perasaan tidak akan pernah salah, ia berada di tahta paling tinggi, paling atas. Maka, salahkan budak yang meringis dibawah kekuasaannya, membodohi diri sendiri, menjunjung tinggi sebuah nama perasaan.
“I love you, it is clear, it is real and everyone doesn’t have to see it. Okay?”
“Okay.. It is you and me, and that’s enough.”
“That’s enough.”
Aku salah, Mingyu. Mendambakanmu, jauh dari sebuah kata cukup.
-
“Ngaku dan jujur sama gue!” Ryujin menggebrak mejaku, membuatku terkejut.
“Apaan sih, Ryu?”
“Ikut gue.” Pergelangan tanganku ditarik cukup kuat, dan berakhir di toilet sekolah. Aku sedikit meringis kesakitan.
Ryujin mengedarkan pandangannya, berusaha memastikan bahwa di toilet hanya ada aku dan dia. “Jujur.. Mingyu, sama lo..” Kini aku mendongak menatap dirinya. Terkejut dan membulatkan mata.
“Gue marah.”
“Ryu, gak gitu—”
“Satu” Katanya. “Gue marah karena lo main hubungan gelap sama dia. Gue tau dia masih bareng sama Yuna karena jelas jelas gue barusan ngeliat tu dua orang jalan ke kantin berdua.”
“Kedua,” Sambungnya. “Gue marah karena lo ngambil keputusan sendiri tanpa ngomong dan nanya apa-apa sama gue.. Lo ini temen gue bukan sih?” aku tertunduk. Kali ini, membiarkan dirinya menghakimiku habis habisan.
“Lo tau gak, kalau yang lo lakuin ini salah?” Aku mengangguk.
“Terus? Kenapa masih dipertahanin?” Aku diam, tidak mampu berkata kata. “Oke, in case dia udah putus sama pacarnya, go ahead. Tapi ini—”
“I know, Ryu.. Gue gabisa membela diri karena disini gue salah..”
“Terus, kenapa masih dipertahanin?” Aku menatap dirinya. “Cinta? Lo cinta sama dia?” Apa ada tulisan di jidatku sampai sampai jawaban yang belum aku sampaikan malah disampaikan olehnya?
“Please.. Lo jangan bodoh.. Tolong.”
“Ryu.. Gue dapat kesempatan, kemauan gue yang ini, buat milikin Mingyu.”
“Gak gini caranya.”
“Terus gimana? Selama ini gue sama Mingyu juga baik baik aja kok, dan Yuna juga gak tau.”
“Kenapa lo mikirin perasaan lo doang? Pernah gak terbesit gimana perasaan Yuna kalau tau? Dan disini posisinya lo juga tau kalau Mingyu masih bareng si Yuna..”
“Yuna juga gak mikirin perasaan gue jadi ngapain gue—”
“Kok lo mikirnya gitu sih? Please lo udah ngaco. Ngapain dia mikirin perasaan lo sedangkan dia gak tau apa apa kalau lo suka sama Mingyu? Lo jangan minta dimengerti, kalau lo gak memberikan jalan buat orang mengerti..” Aku ditampar oleh kalimat yang dilempar oleh Ryujin, sakit? Sakitnya bahkan melebihi tamparan fisik yang bisa saja dilakukan oleh Ryujin detik ini juga.
“Jangan mau dibodoh bodohin sama perasaan.. Gue tau gimana lo sukanya sama si Mingyu ini, gue bareng sama lo dan gue selalu dengerin ocehan lo soal dia. Tapi gak gini caranya buat milikin dia.” Kini aku terseguk, lagi lagi disakiti, oleh kalimatnya.
Ryujin menyentuh pundakku. “Gue tau, lo adalah manusia paling bijak yang pernah gue temuin seumur hidup dan gue tau, lo gak akan bodoh cuma karena stupid love yang kapan kapan bisa aja hilang ditelan waktu. Jadi.. Akhiri, ya? Gue gak mau lo sakit hati dan gue gak mau Yuna juga sakit hati walaupun gue gak terlalu kenal sama dia. Tapi.. Yang paling penting buat gue itu lo. Gue gak mau lo salah ngambil langkah karena menomor satukan perasaan dibandingkan akal sehat.”
“Iya..” Suaraku mulai parau. “Kasih gue waktu barang sebentar ya, Ryu.. Sebentar aja..”
“Take your time.”
“Siapa aja yang udah tau?”
“Lo tenang aja, cuma gue. Waktu kita reunian kemaren, gue gak sengaja baca notifikasi di HP lo, maaf ya.”
“Gue yang minta maaf, Ryu, dan makasih”
-
Penghujung bulan Agustus, aku duduk di dalam mobil Mingyu yang berhenti di pinggir jalanan yang sepi dan dingin serta sunyi, tak terdengar suara apapun selain deru nafasku dan dirinya. Kami, diam seribu bahasa dan memberi waktu serta sebuah jeda.
“Do you ever.. Love me?” Aku memecah keheningan.
“I do.. I always do.” cicitnya. “Walaupun caranya salah.” Aku mengangguk.
“Kita sama sama tau kan, kalau ini bakal berakhir kaya gini?”
“Dua. Dua skenario di kepalaku. Antara akhirnya Yuna tau, atau kita yang sama sama nyerah.”
“Kita nyerah” Sahutku. “Aku yang nyerah, Mingyu.” Ia menoleh, dengan embun di pelupuk matanya. Entah apa maknanya, yang jelas, bagiku, maknanya hanya keabu-abu-an semata.
Aku yang tadi sempat menoleh ke arahnya, kini membuang pandangan jauh ke depan.
“Aku pikir, bikin kamu jadi punyaku bakal cukup dan bikin aku puas, tapi ternyata, semakin kamu jadi punyaku, semakin besar kemauan-kemauan lain yang bikin aku berfikir gak jernih. Jadi, aku pikir, wanting was enough. For me, it was enough.”
“Kita cuma manusia, yang kepengen ego nya dikasih makan sampe lupa kalau ternyata bumi ini berputarnya, pusatnya, dan radarnya gak hanya untuk kita, gak hanya untuk aku. Jadi untuk itu, aku nyerah atas nama kebaikan kita. Aku, kamu, Yuna. Ini salah..”
“Mingyu..” Suaraku parau. “I need to let you go, and you have to let me let you go.. Let's make it easy, ya?”
“You were mine, once. And thank you. Thank you for this beautiful stupid relationship. I am happy I was yours. You are a right person, believe me you are.. But our time, is wrong.” Ucapnya, Mingyu mengusap buku jarinya di pipiku. “We ended this.. For us. For you, for me..”
“And Yuna..” Ucap kami serempak.
Semenjak malam itu, dunia seakan akan menghapus ingatanku maupun Mingyu. Tidak pernah ada lirikan ketika aku berjumpa dengannya, tidak pernah ada tatap yang bertemu dengan sosoknya secara tidak sengaja, seakan akan tidak pernah ada kita.
Tidak pernah ada pesan masuk lagi, tidak pernah ada telfon ditengah malam lagi, tidak pernah ada ajakan untuk lari dan bersembunyi dari dunia, dan aku merasa kosong, seakan akan ada sebuah kehilangan.
Tidak, ini salah. Dia tidak pernah jadi milkku, dan seharusnya tidak perlu ada sebuah rasa kehilangan di relung hatiku. Tapi, setiap melihat dirinya berdiri bermeter-meter jauhnya, ada lubang besar yang tidak mampu ditutup oleh apapun.
Ada secercah perasaan di tiga puluh satu hari penuh bulan Agustus, ada dua manusia egois yang dengan berani menyebut kata ‘kita’. Ada perasaan yang dikira cukup, tapi ternyata lebih dari cukup ketika ‘mau’ tanpa harus ‘memiliki’.
Kata kita kemudian hilang dalam ingatan, seperti segelas wine yang disesap tak tersisa. Menapak tilas sesaat ketika tinggi harapan menjulang hanya untuk sekedar memiliki, berujung sakit karena akhirnya harus mengakhiri.
Mingyu, ketika nanti akhirnya bumi mengatur sebuah waktu menuju kata tepat, maka aku harap, semoga ada kita yang kembali bertemu. Melambai dengan leluasa kepada dunia, tanpa harus menyembunyikan tangan atas cinta dan kasih sayang yang mungkin dulu pernah terhalang keadaan.
“Meet me behind them all?”
But I can see us lost in the memory, August slipped away into a moment in time, 'Cause it was never mine.
—fin.