youngswritting


“You can love who you want, but so can they.”


“Namanya Mingyu, anak IS 11 A.”

“Oh..”

“Kok Oh?”

“Ya terus apa?”

“Katanya suka?”

“Gue puter haluan, Ryu..”

“Lah kenapa gitu?”

“Taken.”

“Tau darimana?” Aku memutar tubuhku, kini berhadapan dengan Ryujin, yang duduk tepat di belakang bangkuku.

See?” Aku tunjukan layar ponselku ke wajahnya. Menunjukan sebuah story dari salah satu platform sosial media, Mingyu tadi dengan seorang gadis.

“Yuna?” Aku mengangguk.

“Lagian apasih yang bisa dilihat dari gue, Ryu? Mingyu itu anak basket, kalau sparing sama sekolah lain, cewe cewe sekolah lain malah dukungnya Mingyu bukan anak sekolahnya. Satu sekolah juga tau siapa dia, lah gue? Kelas sebelah aja belum tentu tau gue siapa.”

“Lagian lo, udah tau bakal sakit hati, tetep aja ngejar yang itu.”

“Ya masa perasaan gue disalahin.” Aku menjatuhkan kepalaku ke atas meja, kemudian menyembunyikannya dengan tangan yang aku lipat. Apasih yang salah sama perasaan?

Jam pelajaran selanjutnya dimulai 20 menit lagi, seharusnya aku hari ini menghabiskan waktu di kantin untuk sekedar mengobrol dengan Ryujin atau teman-teman yang lain. Tapi hari ini, aku memutuskan duduk sendirian di kelas sambil memainkan ponsel, tidak ingin melakukan apapun. Not in a good mood.

“Permisi..” Aku menoleh ketika mendengar satu sahutan, menemukan seorang lelaki dengan surai gelap dan lekuk dimensi wajah yang tidak asing. Jantung di dalam sana buru buru memompa darahku sampai kepala, membuatku panik sampai menjatuhkan barang-barang di atas mejaku ke lantai, Mingyu.

“Eh, Sorry.” Katanya. “Ini anak anak yang lain belum pada masuk ya? Lo sendirian?” Aku mengangguk.

“Kalau gitu, gue mau minta tolong.. Ntar kasih tau sama yang lain kalau nanti hari Sabtu tim basket sekolah kita tanding sama sekolah lain. Jadi, minta tolong datang buat dukung ya, atau sekedar ngeramein aja. Biar tribun bagian tim sekolah kita rame.” Aku mengangguk patah patah, masih menatap dirinya yang berdiri di ambang pintu.

“Kalau gitu.. Makasih ya, gue balik dulu..” Aku mematung. Berusaha memproses kejadian yang baru saja terjadi. Kemudian aku menoleh, menatap sekelilingku untuk mencari validasi bahwa aku memang sendirian, dan barusan, seorang Mingyu yang selalu aku elu-elu kan namanya di dalam hati, mengajakku berbicara, berdua.

Bohong kalau aku bilang bahwa aku biasa saja, rasanya darah di kepalaku terpompa begitu kencang sampai sampai membuatku ingin meledak. Aku tidak peduli status apa yang dimiliki dia oleh orang lain, tapi.. Perasaan bodoh ini, perasaan yang membodoh-bodohi diriku ini, tak akan pernah mampu untuk di hilangkan eksistensi semunya.

Aku tersenyum, pipiku panas. Jantungku masih berdetak tak karuan dan.. Kupu kupu yang beterbangan, membuat perutku geli. Jatuh cinta memang se-menyenangkan sekaligus se-menyebalkan ini.

Disana kemudian aku di akhir pekan pada hari Sabtu, sesuai instruksi yang disampaikan Mingyu tempo hari yang lalu. Aku duduk bersebelahan dengan Ryujin di tribun paling bawah, disebuah gedung olahraga indoor dekat sekolah.

“Gue cari Yuna daritadi, kok gak keliatan, ya?” Ryujin sedikit berteriak ke telingaku. Karena GOR sedang berisik-berisiknya akibat teriakan yang saling menyahut.

“Ngapain di cariin?” Balasku, juga sedikit berteriak. “Ada, cuman banyak orang kaya gini mana mungkin keliatan.” Sambungku.

“Gaada, gue liatin satu-satu gaada. Masa sih dia gak nonton cowonya tanding basket?” Aku mengangkat bahuku, memberi isyarat bahwa aku tidak tau dan tidak mau tau.

“Tapi serius kemarin dia datang sendiri ke kelas?”

“Iya, emang kenapa?”

“Kemaren kata kelas sebelah, Jaehyun datangnya barengan sama anak basket yang lain. Ngabarin yang sama juga sih.”

“Oh.. Palingan biar cepet kali, Ryu. Jadinya si Mingyu misah sendiri.”

“Lo kok positive thinking banget?”

“Lah terus gue harus mikirin apa?”

“Lo apa gak mikir, mungkin dia sengaja?”

“Enggak?”

“Jangan jangan dia juga suka sama lo kali.”

“Ngaco, dia udah ada pacar.”

“Lo apa gatau? Kalau Yuna itu gatel? Maksudnya.. Bisa jadi Yuna nya yang gebet si Mingyu duluan? Terus kalau ternyata emang Mingyu nya suka sama lo? Kan, bisa jadi, loh?”

Please, Ryu. Omongan lo beneran udah ngaco. Terus jangan berspekulasi terlalu dini lah, cuma gara gara dia kebetulan dateng sendiri ke kelas. Mending lo nikmati aja nih acara, gausah ngomongin yang aneh aneh.” Jelasku.

“Oh iya, satu lagi. Jangan bikin gue makin kacau cuma gara-gara spekulasi aneh lo. Gue gak mau memperburuk keadaan dengan perasaan gue, Ryu. Gue ngeliatin dia dari jauh kaya gini aja udah cukup.” Sambungku.

Teriakan meraung dari tribun sana ke tribun sini, yel-yel yang bersuara menyemangati masing-masing tim, dan para pemain dengan semangat yang menggebu gebu terus men-dribble bola, loncatan demi loncatan untuk memasukan bola kedalam ring, maupun saling lempar kesana dan kesini.

Dan Mingyu, dengan jersey basketnya ber-nomer punggung 09. Berpuluh pasang mata tidak lepas dari sosoknya, sahutan demi sahutan meng-elu kan namanya, sama seperti bagaimana aku, berteriak kuat didalam hatiku, melihat bagaimana luwesnya ia memainkan olahraga yang jadi kesukaannya.

Keringat yang bercucuran hingga membuat surainya basah, lenguhan nafas yang tak terpompa dengan stabil, tangan yang menepuk ke udara untuk memberikan isyarat bahwa ia siap untuk di oper bola, dan bagaimana ia men-dribble bola hingga lompat dan mencetak nilai, semua suara berteriak serempak meneriakan namanya.

Dan aku, hanya bagian kecil dari itu semua.

Kedua tim semakin bersemangat, melempar sana dan sini, hingga ketika tensi permainan mencapai puncak, bola basket yang di oper terlempar kencang ke tribun bawah, tepat di hadapanku, di depan mataku.

Mampus.

Mampus.

Mampus.

Sebuah langkah kaki mengejar, tidak tekontrol sampai sampai intensitas kecepatannya harus ditahan dengan tangan yang menapak pada dinding tribun di belakangku. Kini, tubuhku terkunci didalamnya, jarak wajahku dengan wajahnya hanya terhitung dengan ruas jari.

Bau keringat yang menyeruak, serta leguhan nafas yang menyapu wajahku. Mingyu.

You okay? Sorry” Bisiknya, kini ia langsung kembali berlari menuju lapangan, mengambil bola yang sempat hampir mengenaiku, mengangkat tangan ke udara, memberikan isyarat pada pemain satu timnya, melempar, kemudian berlari dan kembali menjadi Mingyu yang profesional.

“Wow..” Ryujin terpaku di tempatnya ketika aku menoleh.

“Wow.. Ryu..”

“Gila.. Cuma beberapa detik, tapi..”

I know.. It feels like I wanted to explode any of time..”

“Sedeket itu?”

“Bahkan nafasnya aja bisa gue rasain di muka..”

Damn..”

-

“Les, gue di tempat les” Kataku menyahut dengan ponsel di telinga sebelah kanan, Ryujin menelfonku.

“Lo ikut ya, acara reunian SMP yang kemaren kita omongin.”

“Kapan?”

“Minggu ketiga bulan Agustus sih kata mereka.”

“Lama banget? Tapi udah bikin janji sekarang? Agustus aja belom.”

“Ya mana gue tau, mereka bilangnya gitu.”

“Yaudah iya gue ikut, tapi lo juga harus ikut.”

“Iya, gue pasti ikut lah.”

“Yaudah oke.” Begitu kemudian panggilannya terputus. Sebenarnya jam lesku sudah berakhir 20 menit yang lalu, dan aku berdiri di depan halte bus sambil mengotak atik ponsel, menunggu bus dengan jadwal paling akhir untuk pulang ke rumah.

“Lo,” Sebuah suara mengejutkanku, bahkan ponsel di tanganku hampir terlempar. “Yang kemaren mukanya hampir kena basket kan?” Mingyu.

“Mingyu?”

Sorry, tapi lo kemaren gak papa kan?”

“I-iya, gue gak papa kok.” Senggang. Kemudian Mingyu duduk di kursi halte bus menciptakan jarak dariku.

“Lo.. Nunggu bus?” Aku mengangguk. “Habis darimana emang?” Tanyanya lagi.

“Les.” Jantungku disana, kini berdegup kencang. “Lo sendiri?” Kini bergantian aku yang bertanya pada sosoknya.

“Gue main kerumah temen, kebetulan disekitar sini.”

“Jaehyun?”

“Kok lo tau?”

“Temen les gue.” Mingyu mengangguk sembari menekuk bibirnya, kemudian lagi lagi ada sunyi senyap yang mengudara.

“Lo beneran gak papa?” Sekali lagi ia bertanya.

“Iya, Mingyu. Gue gak papa. Gak kena kok. Oh iya, makasih juga.. Udah di selamatin?” Ia terbahak sampai-sampai membuang kepalanya kebelakang, dari sudut visualisasiku, dapat aku lihat satu gigi taringnya yang mengalihkan pandangku, terfokus kesana dan ikut tersenyum.

“Kaya Basarnas aja gue ya, bahasanya nyelamatin.”

“Hahaha, pokoknya.. Makasih”

“Iya.. Sama sama.” Dirinya tau, dirinya sadar, bahwa pernah ada jarak seruas jari antara aku dan dirinya. Bahwa ada sapuan hangat nafas yang ia lenguhkan dan tertampar pori-pori wajahku. Dirinya, tau.

Dari sini, aku bisa melihat ia yang memainkan ponselnya. “Eh, gue duluan ya.. Dicariin soalnya..”

“Sama?” Aku menyeletuk, tanpa sadar. Padahal harusnya bukan jadi urusanku.

“Hm.. Cewe gue.” Ia kemudian berjalan berlalu. Namun, baru beberapa langkah, ia berbalik, kembali berjalan mendekatiku. “Sorry but.. Can I have you number? Hm... In case kalau ada apa apa gara gara kemarin, you can call me. Or, I can check it up on you?”

-

Dua minggu. Dua minggu berturut turut, ada aku dan Mingyu yang saling bertukar pesan. Alasan awal aku dan ia saling bertukar nomor adalah seputar aku dan kejadian bola basket berminggu-minggu yang lalu, padahal aku sepenuhnya baik baik saja. Namun makin kesini, percakapan yang tercipta tak lagi soal alasan awal atas adanya nomor Mingyu yang tersimpan di ponselku.

Tak jarang, kadang ada dia di tengah malam yang meminta izin untuk menelfon, ada dia yang bertanya alamat rumahku dimana, ada dia yang bertanya bagaimana hari-hariku, ada kita, yang mulai melenceng dari satu alasan kenapa hal ini ada.

“Gyu..” Panggilku. Malam semakin larut, ponsel di telingaku juga semakin panas akibat panggilan yang tak kunjung menuju titik akhir. Aku menatap plafon kamarku di atas kasur, dengan penerangan yang hanya berasal dari lampu jalan di luar jendela kamarku.

“Hm?” Sahutnya diseberang sana.

“Emangnya Yuna gak marah, kamu nelfon cewe lain kaya gini?” Dan kemudian, tercipta sapaan lain yang berbeda dari awal bagaimana kita bertemu.

“Dia udah tidur.”

“Berarti, aku cuma pelarian kamu, ya? Waktu Yuna udah tidur?” Ada diam yang mengudara, yang aku dengar adalah deru nafasnya disana.

“Kamu mau lebih?”

Deg.

“Maksudnya?” Kita lagi-lagi terdiam. Masih dapat aku dengar suara nafasnya dari sana.

“Kalau kamu bilang pelarian, berarti aku lari ke kamu kalau aku lagi ada masalah sama Yuna, kan? Atau pas Yuna lagi tidur? Kaya yang kamu bilang barusan? Tapi aku gak lari, aku sepenuhnya ada walaupun aku gak bermasalah sama Yuna, kadang kalau Yuna pun belum tidur. Aku selalu ada walaupun aku lagi baik-baiknya sama Yuna, dan kamu juga,” Jelasnya.

“Maksudku.. Aku ngerasanya, kamu juga selalu ada buat aku. Kita selalu ada buat satu sama lain.” Sambung Mingyu. Dapat aku dengar sedikit gemerisik disana, mungkin ia sedang membenarkan posisinya.

“Terus? Maksud lebihnya?”

“Aku.. Suka sama kamu. Apapun yang aku omongin sama kamu, kadang suka ketemu titik cerahnya, obrolan kita nyambung, bahasa klisenya.. Nyaman? Aku nyaman kalau ngobrol kaya gini, atau misal ketemu kamu di kantin.. Ya walaupun, aku gabisa nunjukin itu secara terang-terangan. Intinya, aku suka sama kamu.”

“Aku tau, apa yang aku lakuin ini salah dan gak seharusnya aku kaya gini. But I have a desire, to have you.. More than a friend.. Jadi, in case.. Kalau kamu mau, terjun ke kesalahan ini sama aku, dan.. basah sama-sama bareng aku.”

“Terus Yuna gimana, Mingyu?”

“Kamu gak perlu mikirin dia. Ini soal aku sama kamu.. Yuna biar urusanku.”

Lenggang. Cukup lama di antara kita sampai sampai yang aku dengar hanya detak jam dinding disana dan disini.

Would you?”

You sure?”

“Iya.”

“Aku gapernah coba hal kaya gini.”

“Aku juga, so.. Would you try this? With me? Considered, as Bonnie and Clyde? Ngelakuin kejahatan sama-sama.” Ia terkikik ringan, bahkan sangking ringannya, tidak mampu aku kategorikan sebagai sebuah kikikan.

“Tapi kamu tau kan, mau kaya gimana pun, ini bakal berakhir dengan gak baik?”

“Iya.. Aku tau.”

“Oke..”

“Mau?”

“Yes..”

Whispers of “Are you sure? Never have I ever before”

Kalau Mingyu punya keinginan, pun aku. Lebih mendalam. Dari dulu, semenjak pertama kali aku melihat sosoknya di dalam tim basket sekolah, aku jatuh. Dengan cara dia bermain, cara dia tersenyum dengan gigi taringnya, surainya yang basah akibat keringat, dan kulitnya yang coklat terpapar cahaya matahari. Apapun soal Mingyu, selalu membuat hatiku bergetar hebat.

Gelagatnya, segala apapun yang aku perhatikan, selalu membawaku terjun menuju palung yang aku gali sendiri atas nama perasaanku terhadap Mingyu. Dan betapa kacaunya aku, ketika menyadari bahwa aku yang tidak pernah terlihat, bahkan dari sudut matanya. Betapa kacaunya aku, bahwa ternyata ada tempat untuk seorang gadis lain dihatinya, bukan aku. Bukan diriku.

Aku salah, beribu kali salah ketika terjun ke masalah ini. Kalaupun di akhir nanti aku dan Mingyu harus hancur akibat sebuah permainan jahat di dalam gelap, dan seribu kesalahan akan di bebankan kepadaku, maka, aku siap. Beribu panggilan tak pantas akan aku terima, aku siap. Apapun itu, setidaknya, aku punya sedikit waktu untuk sekedar memanggil Mingyu dengan sebuah kata ‘milikku’. Walaupun harus bersembunyi dan mungkin tidak akan di akui.

Tapi aku tidak peduli. Mingyu milikku. Dan itu cukup. Mungkin lebih dari cukup.

Dan, di 1 Agustus, dimana akhirnya sebuah permainan tak pantas ini dimulai.

-

Cahaya matahari menyirami lengan serta punggung Mingyu yang mengenakan jersey basketnya. Hari ini, tim basket sekolah sedang berlatih di lapangan. Ada banyak pasang mata yang sedang menyaksikan, tak terkecuali Yuna, yang dengan semangat terus menerus meneriakan namanya.

“Chae!” Teriakku di koridor sekolah. Seseorang yang aku panggil tadi menoleh. “Mau minta tolong.”

“Apa?” Chaeryeong, murid kelas sebelah yang sebenarnya tidak begitu dekat denganku.

“Lo sodaraan sama Jaehyun kan?” Ia mengangguk. “Titipin sama Jaehyun, terus suruh Jaehyun kasih sama Mingyu.” Aku menyodorkan sebotol air mineral.

“Hah?”

“Ntar kalau ditanya, bilang dari orang tapi titipin buat Mingyu, okay?”

Dari kejauhan, dapat aku lihat bagaimana Chaeryeong tadi menyerahkan sebotol air mineral kepada Jaehyun, yang merupakan teman satu tim basket Mingyu. Dan dapat aku perhatikan kembali, botol mineral itu berpindah tangan ke tangan Mingyu, serta mulut Jaehyun yang bergerak entah mengatakan apa.

Mingyu mengedarkan pandangannya, masih memegang sebotol air mineral, mungkin berusaha mencari eksistensiku yang tidak dapat ditemuinya. Kemudian, ia berjalan menemui Yuna yang duduk di pinggir lapangan, sambil menegak air mineral yang aku titipkan tadi.

Kira kira, apa Mingyu akan mengirim pesan atau menelfon setelah jam sekolah selesai? Untuk mencari validasi soal sebotol air mineral yang kini digenggamnya?

Your back beneath the sun, wishin' I could write my name on it. Will you call when you're back at school?

'Sibuk? Aku telfon?'

Sebuah pesan muncul di notifikasi bar ponselku, dari Mingyu, dan buru buru aku balas.

'Enggak sibuk, Mingyu.' Beberapa menit kemudian, panggilan masuk memunculkan namanya di layar ponselku.

“Halo?”

“Hai..”

How’s your day?”

Nice. Kamu? Latihan tadi, gimana?”

“Air mineralnya dari kamu, ya?” Senyum kecil terangkat di ujung bibirku.

“Iya.”

“Makasih.”

“Sama sama, Mingyu. Jadi.. gimana latihannya?”

“Capek.. Tadi air mineralnya di tanya Yuna, tapi aku bilang dari Jaehyun.”

“Maaf.”

No.. It's not a big deal. Thank you, sekali lagi.”

“Hmmm, sama-sama.”

“Aku capek banget, boleh tidur gak?” Tanyanya dari ujung sana.

“Boleh, mau tidur?”

“Tapi telfonnya jangan di matiin, ya?” Degup jantungku tak karuan. Aku menggigit bibirku, namun kemudian tersenyum.

“Nanti kalau Yuna nelfon?”

“Itu ntar urusanku, kamu jangan pusingin Yuna. Jangan di matiin, ya?”

“Iya, Mingyu” Dari sini, gemerisik ditangkap pendengaranku. Dapat aku gambarkan mungkin disana ia sedang merapihkan selimutnya, atau merapikan bantalnya agar tidurnya menjadi nyenyak, atau lain hal yang membuatku terus menerus tersenyum disertai panas di pipiku.

Semenjak mengagumi sosoknya, aku tidak pernah membayangkan bahwa akan jadi seperti ini agenda yang akan aku lakukan bersamanya. Menginginkan dirinya, tidak pernah secandu ini.

“Selamat bobo-in dong.” Katanya. Dengan suara serak mengantuk yang meraung dipendengaranku. Aku tertawa.

“Selamat bobo siang, Mingyu.”

10 menit kemudian, kini yang aku dengar adalah suara dengkuran kecil dan sesekali suara gemerisik akan ia yang bergerak disana.

Mingyu, kalau egois adalah suatu hal yang diwajarkan seluruh penduduk bumi, maka aku akan menginginkan sosokmu selamanya, sepenuhnya.

-

'Di PIM'

Sebuah pesan dari Ryujin muncul dari layar ponselku.

'Jam 4 sore' Bubble Message dari Ryujin kemudian muncul kembali.

'Oke' Balasku.

Sebuah sweater dan jeans melekat di tubuhku, sesekali aku sisir rambutku dengan jemari dan tertunduk memainkan ponsel.

'Aku mau ke PIM' Ketikku, mengirimkan pesan kepada seseorang.

'Aku juga.'

'Bareng Yuna?'

'Nope, boys on duty.'

Aku tersenyum kecil melihat balasannya. 'Wanna meet? Aku bawa mobil.'

'Emang bisa?'

'Dunno, lihat keadaan ya?'

'Okay.'

Disini aku kemudian, duduk disebuah restoran bersama Ryujin dan menunggu teman teman lainnya untuk hadir. Pandanganku sesekali mengembara kemana mana, dari dalam restoran menuju luar, berusaha mencari eksistensi seseorang yang aku harap tiba-tiba muncul secara tidak sengaja. Tidak perlu melakukan apapun, hanya berdiri dan aku nikmati dari kejauhan, sudah cukup dan lebih cukup.

Satu persatu teman-teman masa SMP-ku mulai berdatangan, memenuhi kursi namun belum sepenuhnya. Tatkala tawa memenuhi suasana, notifikasi ponselku berbunyi, memunculkan satu nama,

'Meet me behind the mall?'

Guys,” Seluruh pasang mata kemudian menoleh ke arahku. “Sorry, gue ada urusan mendadak. Sorry, Ryu. Gue duluan.”

Cancel my plans just in case you'd call, And say, “Meet me behind the mall.”

-

Aku mengedarkan pandangan, di langit sana, warna birunya mulai memendar menjadi Jingga, dan suara klakson mengejutkanku. Di dalamnya, Mingyu tersenyum sambil melambai kearahku. Buru buru aku berlari kearah mobil yang dinaikinya, membuka pintu dan masuk.

“Lama?” Tanyaku.

“Engga kok.”

“Temen temen kamu?”

“Udah pulang semua.” Aku mengangguk.

“Kamu ada acara apa kok boys on duty?”

“Gapapa, biasanya juga gitu kalau habis tanding basket atau sparing. Kamu? Ada acara apa?”

“Oh.. Reunian bareng temen SMP dulu..”

“Udah selesai acaranya?”

“Udah, Mingyu.” Bohong. Bahkan baru saja dimulai, aku sudah melangkahkan kaki pergi. Dirinya kemudian memutar kemudi keluar dari pekarangan PIM.

“Kamu mau aku ajakin kemana?”

“Kita di mobil aja, gausah kemana mana.” Kataku.

Drivethru?”

“Boleh.”

Ada banyak alasan kenapa aku menyarankan agar aku dan dirinya tidak perlu menghabiskan waktu di luar mobil. Aku yakin, dimana mana ada banyak pasang mata, dan sebuah alasan lain, bahwa aku yang egois ini, tidak ingin apa yang aku dan Mingyu mainkan berakhir. Aku mau tetap seperti ini.

Kami kemudian berhenti di pinggir jalan sambil menikmati makanan yang sudah kami beli melalui drivethru tadi, menyiptakan obrolan kecil dan ringan serta suara tawa yang sesekali memenuhi mobil.

Mingyu suka the 1975 katanya, dia juga suka beberapa lagu milik Greenday, Coldplay, dan katanya lagi dia juga suka lagu-lagunya Oasis.

“Kalau Radiohead?” Tanyaku, mengunyah kentang goreng.

“Hahaha, aku cuman tau No Surprises sama Creep.”

Whatever makes you happy, whatever you want,” Dirinya mulai menyanyikan sepenggal lirik lagu milik Radiohead dengan judul Creep tersebut. Lebih kepada menggumam kecil.

You're so fuckin' special, I wish I was special,” Aku ikut menyambung. “But I'm a creep, I'm a weirdo. What the hell am I doin' here?” Sambungku lagi. Kini sambil menatap manik matanya.

You are special, though. You don’t have to worry.” Jemari tangannya bermain di pipiku, kini buku-buku jarinya mengelus disana. Ditambah, senyum simpul dari kedua sudut bibirnya.

“Kok kamu tau lagu Radiohead?” Kini sosoknya melemparkan pertanyaan.

“Papa aku biasanya suka muterin lagu itu kalau di rumah pas hari minggu, apalagi yang Creep, dia suka banget.” Jelasku, tertawa singkat.

“Aku kalau nyetir malem dengar lagunya Radiohead yang Creep itu jadi gagal ngantuk.” Ia tertawa.

“Yuna juga suka Radiohead ga?” Mingyu yang tadi sedang mengunyah tiba-tiba terhenti, menatapku serius.

“Jangan bawa Yuna kesini, ini soal aku sama kamu. Aku gak mau denger nama dia disini.” Aku menatapnya yang membuang muka, menarik nafas panjang dan membuangnya pelan.

Sorry..”

Lenggang, tak ada sahutan. Bahkan agenda mengunyah makanan pun terhenti. Kemudian Mingyu berdeham, “Mau aku hidupin lagu?”

“Engga usah, Mingyu.”

“Okay, kalau kamu mau hidupin lagu, hidupin aja ya..”

“Kita, bakal sampe kapan ya kaya gini?”

“Emang kenapa?” Aku yang tadi tertunduk, kini mendongak menatapnya. Beribu kata yang aku sudah rangkai mendadak kelu, meninggalkan tatap tanpa makna yang menjurus ke wajahnya. Mingyu yang bingung, hanya diam, menunggu.

No.. Argumentasi apapun yang aku keluarin gak akan masuk di akal karena ini memang udah salah.” Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulutku.

“Kita sama sama setuju kalau ini endingnya gak bakal baik..” Jelas Mingyu. “Terima aja, gimana akhirnya nanti, ya?”

“Kalau aku mau kamu, bisa ga?”

“Ini aku juga jadi punya kamu, kan?”

“Sepenuhnya, Mingyu.”

“Jangan gitu.”

“Egois ya?”

“Kita berdua sama sama egois.”

“Enak ya, jadi Yuna..”

“Aku bilang jangan bawa bawa Yuna.” Dapat aku dengar Mingyu berdecak kesal.

“Bisa punya tempat di hati kamu secara terang terangan.”

“Tolong dong, bisa gak jang—”

“Kalau disuruh milih—”

Mingyu memukul stirnya dengan keras, menarik nafas, sempat menahannya beberapa detik sebelum melepaskannya, kemudian bersuara, “Jangan.”

“Kenapa? Karena kamu bakal selalu milih dia ya?”

“Aku anter kamu pulang..” Mingyu menarik rem tangan mobilnya, sampai akhirnya aku tahan pergelangan tangannya.

Sorry,” Aku tidak mampu menatap matanya, karena sekarangpun aku menahan bulir air mata agar tidak jatuh dari pelupuk mata. “Jangan anter aku pulang. Can we.. Just.. Strolling around downtown? Aku belum mau pulang, Mingyu. Masih mau.. Sama kamu.”

Okay.. But this is all about us ya. Jangan bawa bawa siapapun, aku gak suka.”

“Iya, Mingyu. Maaf.” Aku menunduk, masih berusaha sekuat tenaga menahan tumpahan air mata agar tak mengucur keluar. Kemudian, ada tangan yang menangkup pipiku.

Hey?” Irisnya menangkap irisku. “Sorry.. For bringing you to this stupid situation.” Aku menggeleng, mengusap air mata yang sialnya sudah jatuh sejak tadi.

“Aku tau konsekuensinya dan aku siap.” Lirihku. Lalu ia menarikku kedalam peluknya. Hangat. Sebuah hal yang untuk kesekian kalinya tidak pernah aku bayangkan ketika mengelukan namanya atas sebuah dasar perasaan suka. Dan rasanya, aku mau dipeluk, aku mau dicintai dan aku mau disayang oleh sosoknya, secara terang-terangan.

Namun, saat menyadari kenyataan, aku kembali menangis, menumpahkan air dari pelupuk mata dan menyembunyikan wajahku di dalam peluknya. Siapa yang salah kalau begini? Aku yang mendambakan sosoknya secara candu atau dirinya yang egois tak ingin memiliki satu? Atau, sebuah perasaan tak menentu? Yang membuat pemiliknya kacau tidak mengenal waktu? Perasaan tidak akan pernah salah, ia berada di tahta paling tinggi, paling atas. Maka, salahkan budak yang meringis dibawah kekuasaannya, membodohi diri sendiri, menjunjung tinggi sebuah nama perasaan.

I love you, it is clear, it is real and everyone doesn’t have to see it. Okay?”

Okay.. It is you and me, and that’s enough.”

That’s enough.”

Aku salah, Mingyu. Mendambakanmu, jauh dari sebuah kata cukup.

-

“Ngaku dan jujur sama gue!” Ryujin menggebrak mejaku, membuatku terkejut.

“Apaan sih, Ryu?”

“Ikut gue.” Pergelangan tanganku ditarik cukup kuat, dan berakhir di toilet sekolah. Aku sedikit meringis kesakitan.

Ryujin mengedarkan pandangannya, berusaha memastikan bahwa di toilet hanya ada aku dan dia. “Jujur.. Mingyu, sama lo..” Kini aku mendongak menatap dirinya. Terkejut dan membulatkan mata.

“Gue marah.”

“Ryu, gak gitu—”

“Satu” Katanya. “Gue marah karena lo main hubungan gelap sama dia. Gue tau dia masih bareng sama Yuna karena jelas jelas gue barusan ngeliat tu dua orang jalan ke kantin berdua.”

“Kedua,” Sambungnya. “Gue marah karena lo ngambil keputusan sendiri tanpa ngomong dan nanya apa-apa sama gue.. Lo ini temen gue bukan sih?” aku tertunduk. Kali ini, membiarkan dirinya menghakimiku habis habisan.

“Lo tau gak, kalau yang lo lakuin ini salah?” Aku mengangguk.

“Terus? Kenapa masih dipertahanin?” Aku diam, tidak mampu berkata kata. “Oke, in case dia udah putus sama pacarnya, go ahead. Tapi ini—”

I know, Ryu.. Gue gabisa membela diri karena disini gue salah..”

“Terus, kenapa masih dipertahanin?” Aku menatap dirinya. “Cinta? Lo cinta sama dia?” Apa ada tulisan di jidatku sampai sampai jawaban yang belum aku sampaikan malah disampaikan olehnya?

Please.. Lo jangan bodoh.. Tolong.”

“Ryu.. Gue dapat kesempatan, kemauan gue yang ini, buat milikin Mingyu.”

“Gak gini caranya.”

“Terus gimana? Selama ini gue sama Mingyu juga baik baik aja kok, dan Yuna juga gak tau.”

“Kenapa lo mikirin perasaan lo doang? Pernah gak terbesit gimana perasaan Yuna kalau tau? Dan disini posisinya lo juga tau kalau Mingyu masih bareng si Yuna..”

“Yuna juga gak mikirin perasaan gue jadi ngapain gue—”

“Kok lo mikirnya gitu sih? Please lo udah ngaco. Ngapain dia mikirin perasaan lo sedangkan dia gak tau apa apa kalau lo suka sama Mingyu? Lo jangan minta dimengerti, kalau lo gak memberikan jalan buat orang mengerti..” Aku ditampar oleh kalimat yang dilempar oleh Ryujin, sakit? Sakitnya bahkan melebihi tamparan fisik yang bisa saja dilakukan oleh Ryujin detik ini juga.

“Jangan mau dibodoh bodohin sama perasaan.. Gue tau gimana lo sukanya sama si Mingyu ini, gue bareng sama lo dan gue selalu dengerin ocehan lo soal dia. Tapi gak gini caranya buat milikin dia.” Kini aku terseguk, lagi lagi disakiti, oleh kalimatnya.

Ryujin menyentuh pundakku. “Gue tau, lo adalah manusia paling bijak yang pernah gue temuin seumur hidup dan gue tau, lo gak akan bodoh cuma karena stupid love yang kapan kapan bisa aja hilang ditelan waktu. Jadi.. Akhiri, ya? Gue gak mau lo sakit hati dan gue gak mau Yuna juga sakit hati walaupun gue gak terlalu kenal sama dia. Tapi.. Yang paling penting buat gue itu lo. Gue gak mau lo salah ngambil langkah karena menomor satukan perasaan dibandingkan akal sehat.”

“Iya..” Suaraku mulai parau. “Kasih gue waktu barang sebentar ya, Ryu.. Sebentar aja..”

Take your time.”

“Siapa aja yang udah tau?”

“Lo tenang aja, cuma gue. Waktu kita reunian kemaren, gue gak sengaja baca notifikasi di HP lo, maaf ya.”

“Gue yang minta maaf, Ryu, dan makasih”

-

Penghujung bulan Agustus, aku duduk di dalam mobil Mingyu yang berhenti di pinggir jalanan yang sepi dan dingin serta sunyi, tak terdengar suara apapun selain deru nafasku dan dirinya. Kami, diam seribu bahasa dan memberi waktu serta sebuah jeda.

Do you ever.. Love me?” Aku memecah keheningan.

I do.. I always do.” cicitnya. “Walaupun caranya salah.” Aku mengangguk.

“Kita sama sama tau kan, kalau ini bakal berakhir kaya gini?”

“Dua. Dua skenario di kepalaku. Antara akhirnya Yuna tau, atau kita yang sama sama nyerah.”

“Kita nyerah” Sahutku. “Aku yang nyerah, Mingyu.” Ia menoleh, dengan embun di pelupuk matanya. Entah apa maknanya, yang jelas, bagiku, maknanya hanya keabu-abu-an semata.

Aku yang tadi sempat menoleh ke arahnya, kini membuang pandangan jauh ke depan.

“Aku pikir, bikin kamu jadi punyaku bakal cukup dan bikin aku puas, tapi ternyata, semakin kamu jadi punyaku, semakin besar kemauan-kemauan lain yang bikin aku berfikir gak jernih. Jadi, aku pikir, wanting was enough. For me, it was enough.”

“Kita cuma manusia, yang kepengen ego nya dikasih makan sampe lupa kalau ternyata bumi ini berputarnya, pusatnya, dan radarnya gak hanya untuk kita, gak hanya untuk aku. Jadi untuk itu, aku nyerah atas nama kebaikan kita. Aku, kamu, Yuna. Ini salah..”

“Mingyu..” Suaraku parau. “I need to let you go, and you have to let me let you go.. Let's make it easy, ya?”

You were mine, once. And thank you. Thank you for this beautiful stupid relationship. I am happy I was yours. You are a right person, believe me you are.. But our time, is wrong.” Ucapnya, Mingyu mengusap buku jarinya di pipiku. “We ended this.. For us. For you, for me..”

“And Yuna..” Ucap kami serempak.

Semenjak malam itu, dunia seakan akan menghapus ingatanku maupun Mingyu. Tidak pernah ada lirikan ketika aku berjumpa dengannya, tidak pernah ada tatap yang bertemu dengan sosoknya secara tidak sengaja, seakan akan tidak pernah ada kita.

Tidak pernah ada pesan masuk lagi, tidak pernah ada telfon ditengah malam lagi, tidak pernah ada ajakan untuk lari dan bersembunyi dari dunia, dan aku merasa kosong, seakan akan ada sebuah kehilangan.

Tidak, ini salah. Dia tidak pernah jadi milkku, dan seharusnya tidak perlu ada sebuah rasa kehilangan di relung hatiku. Tapi, setiap melihat dirinya berdiri bermeter-meter jauhnya, ada lubang besar yang tidak mampu ditutup oleh apapun.

Ada secercah perasaan di tiga puluh satu hari penuh bulan Agustus, ada dua manusia egois yang dengan berani menyebut kata ‘kita’. Ada perasaan yang dikira cukup, tapi ternyata lebih dari cukup ketika ‘mau’ tanpa harus ‘memiliki’.

Kata kita kemudian hilang dalam ingatan, seperti segelas wine yang disesap tak tersisa. Menapak tilas sesaat ketika tinggi harapan menjulang hanya untuk sekedar memiliki, berujung sakit karena akhirnya harus mengakhiri.

Mingyu, ketika nanti akhirnya bumi mengatur sebuah waktu menuju kata tepat, maka aku harap, semoga ada kita yang kembali bertemu. Melambai dengan leluasa kepada dunia, tanpa harus menyembunyikan tangan atas cinta dan kasih sayang yang mungkin dulu pernah terhalang keadaan.

“Meet me behind them all?”

But I can see us lost in the memory, August slipped away into a moment in time, 'Cause it was never mine.

—fin.


“I have no reason to love you anymore, but my heart can't unlove you.” -Letters to Lilac


Minghao mendorong pintu disertai suara bel yang mengudara di toko kecilku, toko bunga yang selalu jadi cita citaku semenjak dulu, dan Minghao, yang jadi satu dari sekian banyak alasan di dalamnya.

Morning.” Sapanya, menarik pinggulku dan dengan cepat mengecup puncak kepalaku.

Morning!” Balasku bersemangat. “Tumben main kesini?”

It’s weekend, babe.” Katanya, mendelisik melihat banyak wadah penuh bunga di rak besar serta bunga bunga lain yang terpajang diluar rak.

Melihatnya mengendus tiap bunga yang ia pegang, membuatku tersenyum sembari mengingat bagaimana pertama kali ia mendukungku dengan ketulusan, padahal saat itu aku dan dia tidak memiliki relasi apapun.

Pertemuanku dengan Minghao kala itu di sebuah rooftop apartement lamaku, seorang asing tanpa beban yang mengistirahatkan dirinya di beton balkon rooftop, berbicara seolah aku dan sosoknya sudah mengenal berpuluh tahun lamanya.

“Cuacanya bagus.” Aku memandang aneh dirinya, yang tidak sedikitpun menoleh kepadaku, mengawangkan pandangannya ke langit sana.

“Gaada yang bilang lagi hujan juga..” Balasku.

Soo.. which floor are you?”

None of your business, Sir.” Ia terkikik kecil, mengangguk serta menekuk bibirnya.

I am on 8 floor, number 8, if you ever need a…” Kini aku menoleh, menunggu kalimatnya. “Friend.” Dirinya mengangkat bahu serta tersenyum kecil.

Aku menggelengkan kepala kemudian tertawa, semacam berfikir kalau apa yang baru saja di lakukan laki-laki ini adalah hal yang tidak masuk akal dan kalau boleh jujur, ‘sok asik’.

Yea. Up to you, Sir.

It’s Minghao, Xiu Minghao”

“Minghao.” Ulangku. kini, tidak sedikitpun menoleh kearahnya.

Dirinya diam, sesekali dapat aku dengar suara jaket kulitnya yang saling beradu, atau sekelebat dirinya yang menyisir rambut dengan jemarinya.

What kind of problem do you have?” Aku memutar bola mataku, kini ikut memutar tubuh, berhadapan dengan sosoknya dan melipat kedua tanganku didepan dada.

“Harusnya aku yang nanya gitu, Minghao. What kind of problem do you have? Sampai harus ganggu orang lain. I mean, stranger.” Kini, dirinya ikut memutar tubuh, mengangkat bahu sekaligus memasukan tangannya ke dalam kantong celana jeans yang robek di beberapa bagian.

We are not strangers. We are..” Ia tersenyum kecil. “Neighbor.”

Aku membuang nafas agak berat, sedikit kesal. “Sorry, if I bothering you.” Katanya. “Aku cuma mau make sure, kalau kamu gak ngelakuin hal hal aneh di rooftop.”

“Hal aneh maksudnya?”

Jump.”

Aku tertawa, terbahak sampai sampai membuang kepalaku kebelakang. “Almost.” Kataku, diam kemudian. “I won’t say thank you to you, Minghao. Don’t expect that words.” Sambungku lagi, dengan percaya diri.

I won’t ask you, anyway.” Kini ia mengistirahatkan kedua sikutnya diatas beton, menggosok telapak tangannya dan menghirup dalam dalam udara dingin malam hari.

“Minghao..?” Panggilku, dan dengan cepat ia menoleh. “What is your biggest fear?

Minghao terdiam cukup lama, mengerutkan alis, entah berusaha memproses pertanyaanku atau sedang merangkai kalimat untuk menjawab. Atau mungkin berfikir bahwa aku ini aneh, karena berdetik yang lalu yang aku lakukan hanya membuang kalimat sarkas ke arahnya.

“Kalau aku pribadi..” Kini ia membelakangi beton balkon rooftop, mengawang pada langit, rambutnya jadi berantakan akibat di tiup oleh angin. “Gak bisa jadi orang yang berguna buat orang sekitarku.”

Make sense.”

“Kenapa? Karna aku dari tadi being an annoying person, ya?” Aku tertawa kecil, sejujurnya membenarkan pertanyaannya barusan.

What yours, then?” Kini ia membalikan pertanyaannya kepadaku.

“Ngecewain orang orang yang paling aku sayang.”

“uh.. berat.” Balas Minghao.

“Yeah. Berat.” Kataku memberi validasi.

So, is your fear being the reason why you are here?”

“Lebih dan kurang, kurang dan lebih.”

Why?” Suara Minghao tiba tiba jadi lebih memekakkan. Riuh kendaraan tiba tiba menghilang, bahkan deru suara angin sama sekali tidak terdengar. Suara Minghao, jadi yang paling keras di telingaku, padahal aku yakin, itu kali pertamanya aku bertemu seseorang dengan penuturan suara yang lembut.

Aku meninggalkan pertanyaan Minghao dengan kesunyian. Menimbang, apakah orang asing ini pantas mendengarkan permasalahanku, atau mungkin dirinya hanya orang yang suka ikut campur urusan orang lain dan berlagak jadi pahlawan.

It’s okay if you don’t want to say anything. I mean, considered as a friend. Atau, se-simple jadi tempat kamu cerita.”

“Siapa kamu?” Kataku, kembali sarkas.

Friend? Tetangga? or anything you ask.”

Kini aku memutar tubuhku, berdiri menyamping dan menghadap lurus menatap Minghao. “If you ask me, then be my boyfriend.”

Bola mata Minghao membulat, alisnya mengernyit dan dirinya membeku di atas pijakannya. “Excuse me? Boyfriend? After 20 minutes of meeting?”

“Yes. Kamu gak salah dengar. B-O-Y-F-R-I-E-N-D. Why? You’ve already dated?” Minghao tertawa kecil, menunduk.

No. Aku belum pernah get into relationship. Jadi, agak terkejut.”

Liar.”

“Kamu gak percaya?”

“Xiu Minghao.” Panggilku, membuatnya menaikan alis. “20 menit yang lalu, the way you tried to talk to me, sangat sangat tidak bisa di validasi kalau kamu gak pernah get into relationship.”

You just don’t know how my heart beating 20 minutes ago.

For a lil convo?”

Yes. For a lil convo.” Aku masih tidak menyangka soal pernyataan Minghao yang bilang kalau dirinya tidak pernah ‘get into relationship’ karena menurutku, he seems like an expert.

“Dan soal tawaran kamu tadi, yes. With pleasure.” Minghao menyunggingkan senyum kecil di sudut bibirnya. “But can I ask you?”

What?”

“Kenapa harus Boyfriend? Kenapa kamu gak ajak kaya semacam.. hmmm” Minghao mengetuk dagunya dengan jari beberapa kali. “Teman aja?”

Dunno. For me personally, ya. Boyfriend itu jadi orang yang bisa dipercaya in any of situation, Minghao. Keeping a secret, being a person who cared, giving an advice, yang masuk akal maupun sama sekali gak masuk akal, being the sweetest, being the comfortable one, and love his girlfriend.”

Not exactly my style.” Balasnya, sedikit menggeleng.

I don’t ask you for years, Minghao. I’ll dump you as soon as possible.” Dirinya sedikit terbahak.

But.. friends can do that, don’t you think so?”

Nope. It’s either they stab you in the back, or just pretending.”

“Memangnya, menurut kamu, boyfriend gak bakal ngelakuin itu?”

Aku menggeleng kecil, tersenyum dan bersuara, “No, Minghao. They have a little feeling called love, and they can get rid of it.”

Minghao tersenyum, mengangguk kemudian kembali menatap lampu kota. “Make sense, sedikit. Tapi, bukannya kadang ada orang orang diluar sana yang cuma playing with feelings? Yang sama sekali gak punya perasaan?”

“Mau gimana pun hubungan yang mereka jalani, seberapa lama waktunya, gimana prosesnya, mereka gak bakal bisa bohong soal perasaan, Minghao. Seberapa kecilpun perasaan yang mereka punya, it called love. That's all.” Jelasku, beropini.

Damn, girl. Who hurt you?” Aku tertawa, mengangkat bahuku tinggi.

Berdetik kemudian, Minghao berjalan mendekat, menarik pinggulku mendekat dengannya, membuatku sedikit membulatkan mata. Bahkan, jarak wajahku dan wajahnya hanya beberapa ruas jari.

Wha—”

Isn’t it what lovers do?” Tangannya masih di pinggulku. “I’m your boyfriend, kan?”

Jujur, aku tidak bisa berbohong kalau pipiku mendadak panas dan jantungku berdetak tidak karuan.

“Apalagi yang biasanya ‘couple’ lakuin? Holding hands? Ngerangkul bahu? Or maybe, kiss—”

“Minghao..” Aku berdeham sedikit, menelan saliva-ku takut takut. “Kita.. gak bakal lakuin sampai sejauh itu. O-okay?” Kemudian aku lepas tangannya yang sedari tadi setia di pinggulku.

Okay, then.” Kini dirinya tepat berada di sampingku, bahkan lenganku dan lengannya saling tersentuh. “What’s your problem, babe?” Sahutnya.

Ugh, hal ini benar benar tidak ada di skenarioku. Padahal, aku pikir dia akan berfikir kalau aku ini gila dan akhirnya meninggalkanku sendirian. Tapi, kenapa dia jadi yang lebih berani disini? I mean, it seems like, ‘if you wanted to play the game, then let’s play it.’

“Hey? Kok diem?” Aku mengerjap, menoleh dan menatap lekuk dimensi wajahnya, kali ini jadi lebih dekat, lebih jelas dan lebih.. indah. Jujur saja. “Kamu kenapa? Ada masalah apa?”

“Hao..” Panggilku. Seakan akan sudah mengenal sosoknya berpuluh tahun yang lalu. “Kamu pernah gak punya mimpi yang kamu pengeeeeen banget, tapi, disatu sisi, kamu gak bisa merealisasikan mimpi kamu yang itu karna it doesn’t make sense buat orang orang yang kamu sayang.”

Minghao berfikir, sesekali alisnya mengkerut, atau bola matanya yang berputar keatas. “No? emang ada, mimpi yang gak make sense?”

“Kalau menurutku ya gak ada, tapi apa bisa kita samain pemikiran kita sama orang banyak diluar sana?”

“Emangnya apa? Mimpi kamu yang kata orang orang gak make sense?”

Being a florist.” Minghao diam sebentar, kemudian tertawa hebat sampai membuang kepalanya kebelakang.

“Menurut kamu juga itu gak make sense?” Aku sedikit kesal menatap ia yang belum reda dari tawanya.

No! Ya enggak lah. Aku ngetawain orang yang bilang kalau itu gak make sense. Aku pikir, mimpi kamu pengen jadi Captain Marvel, taunya being a florist.” Jemari Minghao kini menggapai jemariku.

Go chase them, sweetheart. If it what makes you happy, it doesn’t have to make sense to the other. Okay?” Bagiku, ini jadi terlihat salah. Cara Minghao bersuara, cara dia menatapku, cara dia yang sekarang sedang mengelus jemariku, ini semua benar-benar jadi terlihat salah.

“Minghao?” Panggilku.

Yes?”

Are you being my real boyfriend, right now?”

Yes. Of course. It's Minghao your boyfriend.”

Even those words? You said it as my boyfriend?”

“Iya. Kenapa? Emang ada yang salah?”

“Bukan gara gara ‘the game that I asked you to play’ kan?”

Wait? You play a game? I don’t even think it is a game?” Aku diam, bahkan jemari lentik miliknya masih disana, belum berpindah barang sedetik pun. “Are you playing with my feeling?” Sambungnya, mengernyit.

No, Enggak.” Aku buang pandanganku kemudian, menatap jauh kebawah sana. Tinggi, aku dan Minghao berada di tempat yang tinggi dan rasanya, aku adalah karakter utama di cerita hidupku sendiri.

“Jadi.. siapa yang bilang kalau mimpi kamu gak make sense?”

Aku tersenyum getir, mengingat seseorang yang selalu aku panggil ‘Ibu’ yang ternyata menentang hebat mimpi sederhana yang aku punya.

My mom..” Cicitku.

Minghao menarik nafasnya dalam dan membuangnya agak kasar, kemudian bersuara, “It’s kinda sad, actually. Karena harusnya keluarga yang bisa jadi support system nomor 1, bukan malah yang bikin kita jatuh terpuruk.” Aku mengangguk kecil, setuju dengan apa yang Minghao barusan katakan, harusnya, Ibuku yang paling bangga dengan segala mimpi yang anaknya gantungkan.

“Tapi..” Minghao berhenti sejenak. “This is about you. Bukan Ibu kamu, Ayah kamu, bukan orang lain dan bukan juga aku..” Matanya kini bertemu mataku, masih dengan jemarinya yang mengelus jemariku. “Yaa.. walaupun aku baru jadi pacar kamu 20 menit yang lalu.” Ia terkikik kecil.

“Ini semua, soal kamu dan kamu. Kamu harus yakin sama mimpi kamu yang kata orang gak make sense sama sekali, kalau argumentasi yang tadi aku bilang soal, ‘it doesn’t have to make sense to the other’ gak relevan sama kamu, maka kamu harus bikin hal itu jadi make sense buat orang banyak.” Sambungnya.

“Kamu tau..” Minghao lagi-lagi menarik nafas. “Ada banyak orang diluar sana yang being a florist dan jadi kebanggaan orang banyak, bahkan orang orang yang gak kenal sama dia. Dengan keyakinannya, semuanya jadi masuk akal soal mimpi itu. So.. go chase them, yang paling pertama adalah yakin kalau kamu memang pantas buat mewujudkan mimpi itu. Ini soal kamu, kamu dan kamu.”

Aku membisu, pandanganku tidak lepas dari sosoknya. Begitu menakjubkan, dan penuh dengan hal magis. Perkataannya, dukungan kecilnya, sosoknya yang tidak meremehkan mimpi kecil yang aku elu-elu kan. Minghao, benar benar mengubah dan mengembalikan cara pandangku soal sebuah mimpi yang aku damba.

Thank you, Minghao.”

Ia mengibaskan tangannya didepan wajah. “It is not a big problem, babe. Chill.”

Aku tertawa.

So.. it is nice to have a boyfriend like you, Minghao. I think its time to us to ended it.”

Dirinya tersenyum menunduk, “But I think.. you don’t get my consent..”

“Maksudnya?”

“Dari awal, waktu kamu nanya soal ‘ask me for being your boyfie’ kamu dapet persetujuan dari aku, so that’s why we are here. Kamu setuju, aku setuju. Tapi untuk kali ini, I am not. Sorry to say.”

“Hah?”

It is really nice to have a girlfriend like you, not gonna lie.” Dirinya merangkul pundakku. “Lagian, mana ada sih orang yang pacaran cuma 20 menit? Let’s make it count, okay?” Kemudian, secara terang terangan ia tarik aku dalam pelukannya, menjatuhkan dagunya di atas puncak kepalaku dan menepuk bahuku dalam ritme pelan.

It is okay, you have me now.”

You’ve got to be joking..”

Couple biasanya ngapain aja sih? Nonton yuk?”

“Minghao?”

“Oh, sebelum itu..” Dia mengeluarkan ponselnya, mengangkat tanganku dan menjatuhkan benda itu di telapak tangan. “Leave me your number..”

What?”

We are couple? What’s the matter? Masa ada couples yang gak punya nomor telfon?”

“Kamu beneran bercanda ya, Hao?”

“Mukaku keliatan lagi bercanda, gak?” Tidak. Itu adalah jawaban atas keseriusan di seluruh sudut wajah Minghao.

Pun pada akhirnya, dengan keputusan dan pemikiran panjang namun singkat, aku tinggalkan nomorku di ponselnya.

-

Minghao tidak bercanda, semenjak aku meninggalkan nomor ponselku, dirinya selalu mengirim pesan secara berkala, terkadang menelfonku pada malam hari.

“Kamu di lantai berapa?” Tanyanya, lewat panggilan telfon.

Dunno.”

“Jangan sampe aku ngetok setiap pintu cuma buat nyari tau kamu di pintu berapa, ya?”

Try it.” Aku memutus panggilan telfonnya kemudian, tertawa geli di atas sofa apartemenku. Harusnya Minghao tau, bahwa aku tidak akan mungkin semudah itu memberi tahu dirinya, terutama soal di lantai berapa aku tinggal.

Malam terakhir, aku dan dirinya berpisah di lift. Jadi, dia sama sekali tidak mengetahui akan hal yang selalu di ributkannya, perihal ada di lantai berapa dan pintu nomor berapa aku tinggal.

Aku kemudian menghabiskan waktuku dengan sibuk menonton siaran televisi, memakan makanan ringan dan acuh perihal percakapan singkatku dengan Minghao beberapa puluh menit yang lalu. Minghao, tidak mungkin senekat itu.

Menjelang malam, suara bell memekakkan pendengaran, mengudara di seluruh sudut apartemenku. Ketika aku intip dari lubang kecil yang ada di pintu, aku temukan sosok familiar yang mengacak pinggangnya diluar sana, menunggu untuk di bukakan pintunya, Minghao.

Senyum lebar merekah di dimensi wajahnya ketika ia menemukanku keluar dari balik pintu. “Got you.”

“Kamu beneran ngetok pintu satu satu?”

Like I said.” Ia mengangkat bahunya, menyombongkan diri.

“Kamu bercanda, Minghao.”

“Setidaknya ajak aku masuk dulu, aku capek tau naik turun tangga.”

From first floor?”

From first floor.”

God, you are not, tell me you are not.”

-

Kemudian, ini rasanya benar benar seperti menyelam dalam sebuah hubungan serius. Kadang, ada banyak afeksi yang sampai kepadaku. Minghao, benar benar menjalaninya sebagai seorang pacar dan terkadang selalu membuatku berspekulasi bahwa dia sedang berpura-pura. Namun tidak pada kenyataannya.

Mengajakku menonton, makan bersama di restoran mewah, atau di pedagang kaki lima. Memberiku bunga di hari Valentine dan menghadiahkan ku berbagai macam hadiah saat tiba tanggal ulang tahunku. Minghao, tiba tiba menjadi orang yang mampu aku percaya, menjadi orang sekaligus tempat yang paling membuatku nyaman.

Begitu, sampai menyentuh angka 2 dalam satuan tahun.

Terkadang, di malam malam sepi, kami kembali bertemu di rooftop, menertawakan kejadian kejadian yang telah berlalu diantara kami berdua. Kemudian, sesekali menapak tilas soal bagaimana hubungan ini bisa ada, bisa terjalin hingga selama ini dan akhirnya menimbulkan sebuah perasaan yang bukan hanya sekedar rasa, tapi lebih dari itu semua.

Soal, bahwa yang aku mau hanyalah Minghao yang memenuhi masa depanku.

-

Satu malam, aku datang ke lantai apartemennya, menekan angka di smartlocknya, dan yang aku temukan adalah seorang gadis yang sedang berkeliling menatap sudut demi sudut apartement Minghao.

Terkejut? Lebih dari pada itu.

“Siapa?” Tanyaku. Sebelum si gadis itu menjawab, Minghao muncul dari balik kamarnya.

Babe?”

“Siapa?” Kali ini, aku bertanya kepada Minghao. Jari telunjukku masih menunjuk si gadis, tapi pandanganku secara bergantian menatap keduanya.

“Nak, ini celana kamu udah sobek sobek kenapa masih disimpan di lemari?” Seorang wanita paruh baya ikut muncul dari kamar Minghao.

Mom..” Sahutnya. Wanita itu kemudian menatapku, mendekat. “Ini, pacarku.” Kata Minghao memperkenalkan aku pada seseorang yang dia panggil Ibu barusan.

Si wanita tadi tersenyum kecil, mengelus pipiku, “Halo, saya Mamahnya Minghao. Baru sampe tadi pagi dari Surabaya.” Jelasnya, aku mengangguk dan menyunggingkan senyum kecil, lalu mencium punggung tangannya. “Kalau ini..” Ibu Minghao menunjuk seorang gadis yang aku temui Ketika pertama memijak apartemen Minghao. “Tzuyu, teman kecilnya Minghao.”

Sorry, kalau tadi bikin salah paham.” Sahutnya, menggaruk kepala kemudian menawarkan jabatan tangan. “Chou Tzuyu, salam kenal.”

Semenjak saat itu, aku dan Tzuyu jadi saling kenal. Saling bertukar informasi bagaimana kehidupan Minghao dulu ketika menghabiskan masa kecil bersamanya, dan tidak jarang, menghabiskan waktu kualitas bersama, hanya berdua, layaknya adik-kakak maupun sahabat.

Minghao bilang, Tzuyu sudah seperti adik perempuannya. Orang tua Minghao yang menganggap Tzuyu seperti putrinya dan orang tua Tzuyu menganggap Minghao sebagai putranya. Aku pribadi, sangat senang dengan kehadiran Tzuyu, karena secara tidak langsung, aku jadi mempunya teman dalam berbagai aspek.

Namun, bohong kalau aku bilang bahwa aku tidak punya perasaan khawatir, walaupun pada hakikatnya, kehadiran Tzuyu lebih dulu ada daripada aku. Tapi perasaan mengganjal itu selalu menghantui hari-hariku. Terlebih, ketika melihat keduanya bercanda di sekelilingku.

Malam itu aku temukan Minghao yang secara tiba tiba memelukku dari belakang, lagi lagi menghabiskan waktu di rooftop apartemen.

“Kenapa kamu gak angkat telfonku?” Bisiknya.

“Hp nya aku silent.” Balasku singkat.

“Kenapa?”

“Aku lagi pengen sendiri.” Minghao melepas peluknya, kemudian memutar tubuhku dan akhirnya secara sempurna berhadapan dengan dirinya.

“Kamu kenapa?” Aku menggeleng kecil, menolak menatap manik mata Minghao. “You okay?” aku mengangkat bahuku sebagai jawaban.

“Kalau ada masalah, sini cerita sama aku.” Dirinya memainkan helai rambutku.

Dunno, Hao. Cuman ada perasaan ganjal aja.”

“Apa?” Kini, dengan berani aku bertemu tatapnya. Tatap hangat milik Minghao dan senyum kecil indah disudut bibirnya.

“Hao..” Panggilku.

“Hm?”

If in any cases.. kamu di hadapkan dengan dua pilihan, antara aku, atau perempuan lain, what will you choose?”

“Kamu bukan pilihan, kamu keputusan.” Jawabnya. Harusnya, perkataan itu sudah lebih dari cukup. Namun jawaban Minghao barusan belum mampu meredakan sebuah perasaan mengganjal yang terus menerus ada disana.

Thank you. But, can you just.. choose?” Aku dan dirinya masih saling bertemu dalam tatap. Ia menarik nafas dalam, buku buku jarinya menyentuh pipiku, terus bermain disana.

I will always choose you.” Katanya, sudut bibirnya terangkat dan menciptakan senyum merekah, begitupun denganku. Mungkin, ini sudah lebih dari cukup. “Always.”

-

“Ini bunga baru ya?” Mata Minghao memicing kemudian mengambil wadah berisi satu bunga yang berada di dalam rak.

“Iya. Baru aja datang kemarin.”

What is this?” Tanyanya, memainkan kelopak kelopak kecilnya namun pandangannya di alihkan kepadaku.

Baby’s breath.”

“Namanya bagus.” Senyum indah di dimensi wajahnya terukir sempurna.

“Maknanya lebih bagus.”

“Apa?” Kini aku mendekati Minghao, menempelkan daguku di bahunya kemudian melingkarkan tanganku di perutnya. Memeluk dari belakang.

Baby’s breath itu selalu berhubungan sama ketulusan dan cinta abadi, Minghao. Jadi simbol lembaran baru, harapan baru dan cinta kasih. Sama kaya namanya, nafas bayi, suci.” Dari sudut mataku, dapat aku lihat sunggingan senyumnya yang masih belum juga mereda.

“Nanti..” Kini tanganku ikut memainkan kelopaknya yang mungil. “Aku mau pegang Baby’s breath di hari pernikahanku, a whole bouquet.

Sure.. Baby’s breath. Why not?”

Dirinya lalu meletakan wadah bunga tadi ke rak, memutar tubuhnya dan memelukku jatuh dalam rengkuhnya. Masih hangat, masih sama seperti bertahun lalu di rooftop apartemen yang bahkan sudah tidak lagi kami tempati disana.

Dirinya menjatuhkan dagunya di ubun kepalaku, membawaku ke kanan dan ke kiri dalam ritme pelan. Aku pejamkan mataku, merasakan peluk hangatnya, merasakan tumpahan afeksi yang di berikannya. Minghao-ku sayang.

“Kamu udah ke gereja?” Aku mendongak, agar mampu menatap wajahnya. Ia mengangguk.

“Sehabis dari gereja aku langsung kemari.” Ia tersenyum. “Kamu?”

“Jadwal ibadahku sore.” Balasku.

“Jangan lupa, ya? Atau aku anterin?” Aku menggeleng, merapikan coatnya, menepuk kecil untuk menghilangkan debu yang bahkan tidak terlihat disana, dan kembali menatap manik matanya.

“Kamu kerumah sakit aja, ketemu Mama. Nanti aku nyusul. Oke?” Dirinya mengelus kepalaku dan mencolek ujung hidungku. “Oke.”

Ibu Minghao sedang menjalani pemulihan paska operasi jantung yang baru saja dijalani oleh beliau beberapa hari yang lalu. Dokter bilang, Ibunya di diagnosa mengalami Jantung Koroner akibat penimbunan lemak dan menyebabkan arteri koronernya menjadi tersumbat.

Aku sering mengunjungi beliau, sesekali bersama Minghao, terkadang bertemu Tzuyu disana, atau kadang sendirian.

Sore ini, setelah selesai beribadah, aku langsung memesan taksi dan pergi menuju rumah sakit. Sesuai janjiku tadi, bahwa setelah selesai beribadah aku akan pergi menyusul Minghao kesana. Di tangan kananku, ada plastik putih berisi beberapa buah buahan yang sempat aku beli di sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit.

Lalu, ketika aku sampai di koridor dan akan berjalan menuju kamar inap Ibu Minghao, kutemukan dirinya menangis di kursi tunggu.

“Hao..” Panggilku memegang kedua bahunya, matanya sembab. Aku lempar plastik berisi buah tadi asal, dan beralih menangkup wajahnya.

“Mama..” Suaranya parau. “Mama udah gak ada.”

Gagal jantung.

-

Gaun putih diatas lutut memeluk tubuhku dengan indah. Hari ini, pagi pagi sekali aku sudah menata rambutku. Aku tatap lamat pantulan diriku didepan kaca, merapihkan segala apa yang perlu di rapihkan, kemudian berangkat ke sebuah gereja.

Di dalam, aku mengambil kursi paling depan, duduk dengan anggun dan menunggu mempelai wanita masuk dan menuruni altar.

Tidak lama, pintu gereja terbuka, menampilkan seorang gadis dengan balutan gaun yang melilit tubuhnya, sebuah veil yang mengcover wajahnya dan bouquet yang di genggamnya kuat.

Tzuyu. Hari ini, hari pernikahan Tzuyu.

Dirinya menggandeng tangan Ayahnya, diantarkan menuju mimbar untuk diserahkan kepada mempelai pria, kepada calon suaminya.

Riuh tepuk tangan menggema, pun aku yang dengan bersemangat menatap dirinya. Kini, tangannya berpindah, dijemput oleh seorang lelaki yang sudah lebih dulu menunggunya disana,

Minghao.

Sebuah realita yang harus aku saksikan di hidupku, menatap angan-ku pergi, membangun ceritanya sendiri.

Setelah Ibu Minghao di makamkan, dirinya menemuiku. Menangkup wajahku sambil menangis dan bilang bahwa permintaan terakhir Ibunya adalah agar ia bersama dengan Tzuyu, teman masa kecilnya yang selalu di elu-elukan. Dan pada akhirnya, ketakutanku bertahun yang lalu, hari itu jadi kenyataan.

Maka sebagai seorang anak yang berbakti, ia melepas tanganku. Ia melepas segala-galanya tentangku, tentang kami, serta berpuluh angan yang sempat kami gantungkan kepada semesta. Minghao, membuka lembaran baru.

Sebelum dirinya menjemput jemari Tzuyu, tatapnya menemukan tatapku. Aku tersenyum kecil, mengangguk serta berusaha sekuat tenaga menahan bulir air mata yang bersiap untuk jatuh. Melihat Minghao dengan jas yang rapi dibandingkan jaket kulit serta jeans koyak-nya, membuatku hampir tidak mengenali sosoknya.

Masih dengan tatap yang saling bertemu, aku katakana pada diriku sendiri : It will be us. Di lain waktu, It will be us.

Dan dapat aku lihat dengan jelas : Minghao yang menungguku diujung altar bersama pendeta. Dirinya yang tadi membelakangiku kini memutar tubuhnya dengan rekah senyum paling bahagia ketika melihatku masuk dari pintu gereja. Rambutku yang ditimpa sinar matahari lewat jendela kacanya, serta se-bouquet penuh bunga baby’s breath di genggamanku.

Ketika dirinya menjemput jemariku, ia bergumam kecil, “What took you so long?” dirinya sedikit menggoda. Dan akan aku balas, “The best things are worth the wait, Minghao.”

Ketika aku kembali mengerjapkan mata, yang aku temui adalah keduanya yang telah selesai bersumpah janji. Kini, Minghao dan Tzuyu berselaras di dalam lembaran yang sama.

Minghao, next time, maybe it’ll be us.

—fin.


“I have belonged to you in a way you haven’t to me” -Anais Nin


“Jihoon, makan siang kamu jangan lupa dimakan loh”

“hm” Jemari Jihoon sibuk diatas mouse dan keyboard, serta alat alat musik lain di seluruh mejanya yang bahkan aku sendiri tidak tau apa namanya.

“Hoon, lihat aku.” Kataku, ia membuang nafas pelan kemudian menghentikan kesibukannya, menoleh pelan.

“Makan siang, jangan lupa.”

“Iya..” Ia memutar tubuhnya, kembali menuju layar.

“Kamu nerima berapa berapa lagu kali ini?”

“Lima.”

What?!

“Biasanya juga lebih banyak, kan?”

“Kamu juga jangan lupa pulang.” Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“Mama nelfon kamu lagi?” Tanyanya. Aku mengangguk.

“Bilang aja aku sibuk.”

“Ya aku tau Hoon, kerja rangkap dua buat jadi producer music terus at the same time harus kerja kantoran bener bener bikin sibuk, tapi kamu jangan lupa pulang. Sekedarnya buat munculin muka aja biar Mama sama Papa kamu gak khawatir.” Aku duduk di sofa di dalam studio musik milik Jihoon yang telah ia bangun dengan kerja keras serta peluhnya bertahun tahun jadi budak korporat.

“Iya, nanti sore aku pulang.”

“Sebelum itu, makan dulu makan siang kamu sebelum dingin. Aku udah jauh jauh bawain.”

“Kok tumben kamu tadi ke Kokas?” Jihoon kemudian bangkit mengambil makanan Bento yang sebelumnya aku beli.

“Ada ketemu sama klien.”

Ia mengangguk, sambil menyendok nasi masuk kedalam mulutnya.

“Kalau dipikir pikir, selama bertahun tahun belakangan udah banyak banget ya karya musik kamu.” Dirinya terkikik kecil.

“Nyangka ga kamu punya gaji sekarang dua digit?“ Jihoon kini terbahak.

Big thanks to you juga lah.” Lelaki itu kini berpindah tempat, duduk disebelahku sambil membawa makanannya. “Makasih udah bareng sama aku buat wujudin cita-citaku.”

Aku tersenyum menekuk bibir, ia menyibakan beberapa helai rambut yang menghalangi wajahku.

“Hari ini kamu warna blush nya kok beda? Klien nya cowo ya?” Ia memicingkan mata.

“Dih, emang harus ketemu klien cowo dulu baru ganti warna blush?”

“Jadi bener klien cowo?”

“Ya bapak bapak sih.”

“Serius?!”

“Udah berkeluarga, Jihoon. Gimana sih?” Dirinya tertawa, terus menyendokan makanan masuk ke dalam mulutnya.

“Kamu desain apa lagi kali ini? Gedung pencakar langit?“

“Kalau itu aku bakal jadi kaya raya dalam semalam.”

“Jadi?”

“Cafe biasa aja sih” Jihoon mengangguk, kemudian bangkit dan membuang tempat makan Bento yang terbuat dari plastik ke tong sampah yang ia letak dibelakang pintu.

“Ini studio kamu, yang desain siapa sih? Aku baru ngeh kalau kamu gak ada ngomong sama aku?”

“Temen sekolahku. Soalnya waktu sekolah dulu aku udah bilang kalau bakal make jasa dia semisal dia beneran jadi Arsitek, eh ternyata sama sama kesampean.”

“Wonho?”

“Iya, sekantor sama kamu kan?”

“Iya, tapi ya gitu.”

“Gitu gimana?”

“Aku kurang suka aja sama dia.”

“Memangnya dia kenapa?”

“Gatau ya, tapi ngeliat dia di kantor tuh kaya yang sombong gitu.”

“Oalah, tapi kalau kamu kenal dia, gak ngerasa gitu lah pasti.”

“Iya kali ya”

Aku kembali mengawangkan pandangan ke seluruh ruangan studio musik Jihoon yang sebenarnya sudah di bangun 1 tahun yang lalu.

“Hoon..” Panggilku, dirinya disana membersihkan tangan serta mulutnya dengan tisu.

“Hm?” Lalu kembali duduk di kursi dan menatap layar.

Are we, for real?” Jihoon menoleh ke arahku, mengkerutkan alis.

For real? of course we are. That’s kinda ridiculous question.” Dirinya menggeleng kecil sambil tertawa.

Aku diam, menatap jemariku yang aku mainkan.

“Kamu kenapa?” Suara lembutnya menyambangi pendengarkanku.

No, i’m okay. Just tryna make sure.” Aku bangkit, membereskan barang barangku.

Of what?”

“Yah maksudku.. After a long season of our relationship, Hoon. Apa kita bakal gini gini aja?” Aku meletakan sling bag!berukuran sedang ke bahuku.

Soon, sayang. Just.. belum sekarang.”

“Aku tau kamu bakal jawab gitu” Aku menarik kenop pintu. “Jangan lupa pulang. Call me when you are arrived at home, ya.”

I will.

Aku menutup pintunya, memperbaiki posisi tasku dan berjalan menuju basemen, tempat aku memarkirkan mobil kemudian pulang kerumah.

Sampai di rumah, jam di dinding menunjukan pukul 3 sore. Aku membuka laptop, menyelesaikan beberapa desain yang tak kunjung rampung sampai pukul 5, ketika aku mendapat pesan dari Jihoon bahwa dirinya sudah dirumah.

‘Arrived home safely’

‘send my love to Mama’

‘will do’

‘I’ll call you tonight ya. Mau bebersih dulu’

‘okay’

Aku jatuhkan pundakku di kepala sofa, mendongak menatap plafon rumah, membuang nafas kemudian menutup mataku. Membiarkan angin AC menyapu wajahku yang bahkan belum dibersihkan dari make up.

Tas yang tadi sempat aku lempar asal ke atas sofa kini aku ambil, merogoh dan mengambil ponselku didalam sana, menelfon satu nomor yang sangat aku rindukan suaranya, Ibu.

“Ibuuuuu” Panggilku ketika telfon di ujung sana sudah diangkat.

“Halo anak gadis Ibu, kenapa ceria banget hari ini?“ Aku tertawa.

“Bukannya biasanya juga gini ya, Bu?”

“Hari ini suaranya lebih bahagia”

“Oh gituu.. Katanya emang kalau bahagia terus terusan bikin awet muda..”

Ibu tertawa diujung sana. “Kamu kapan pulang?” Aku menekuk bibir, pertanyaan yang pasti akan ditanya oleh wanita yang telah melahirkanku itu. Kalau dihitung, sepertinya sudah setahun yang lalu aku pulang kerumah, bersama Jihoon kala itu.

“Jihoon juga kapan kamu ajak main kesini lagi?”

“Aku sama Jihoon masih sibuk kerja, Bu. Nanti ya, kalau ada cuti aku pulang kerumah.”

Ibu ada di Aceh, sedangkan aku bekerja di Jakarta. Mengingat kadang harga tiket pesawat yang kurang bersahabat, sering aku tunda untuk pulang ke kampung halamanku. Padahal, setiap malamnya ada aku yang menangis karna rindu kepada dua sosok orang tuaku disana.

“Kamu, udah ngomongin yang serius serius belum sama Jihoon?” Oh Tuhan, jangan lagi.

“Ibu kalau aku telfon kenapa bahasannya menjurusnya kesitu terus sih, Bu?”

“Ya kan Ibu penasaran, kapan anaknya naik pelaminan. Masa Ibu gak boleh tanya sih?”

“Ya setiap aku telfon Ibu selalu nanyain gitu”

“Tapi.. Jihoon serius kan, Nak?” Pertanyaan Ibu membuat aku mengkerutkan alisku.

“Loh? Ibu kenapa sih?”

“Bukan gitu. Umur kamu udah berapa loh? Gak baik anak perempuan nikahnya lama. Maksud Ibu, disini Ibu tuh ada kenalan, anak laki lakinya tentara angkatan laut. Kalau—“

“Bu..” Aku membuang nafasku. “Kan aku sama Ibu pernah ngobrol kalau urusan pasangan aku gak mau di atur-atur..”

“Bukan mau diatur-atur, Nak. Ibu kan bertanya..”

“Iya iya oke. Aku gak mau, Bu. Ya? Lain kali gausah ditawarin ke aku. Udah dulu ya, Bu? Nanti kita ngobrol lagi, aku mau bebersih terus istirahat.”

“Makan kamu jangan lupa, usahakan masak ya,Nak? Jangan beli makanan siap saji terus. Ibu sayang kamu..”

“Iya Ibu, aku juga sayang Ibu..” Panggilannya aku matikan kemudian.

Aku menatap kosong kedepan, banyak pemikiran yang bekecamuk disana. Tentang beban beban yang terus memupuk di pundak, tentang masa depan.

Tukaiku berjalan menuju kamar, mengambil handuk kemudian bergegas bebersih tubuh. Mengambil piyama kemudian beringsut di atas kasurku.

Ponselku masih belum memunculkan nama Jihoon disana, dan aku memutuskan mencari tontonan di laptopku.

2 jam, belum juga ada pesan dari Jihoon.

Menuju pukul 10 malam, Jihoon menelfon dan langsung aku angkat.

“Belum tidur?” Suaranya berat diujung sana.

“Belum. Kamu baru bangun ya?”

“Iya maaf ya aku begitu sampe rumah terus bebersih eh malah ketiduran”

“Yaudah gak papa”

“Kamu kenapa belum tidur?”

“Nunggu kamu telfon”

“Kenapa ditunggu?”

“Tadi katanya mau nelfon pas malem” Dapat aku dengar dirinya tertawa kecil disana.

“Maaf ya?”

“Iya Jihoon gak papa”

“Udah makan?”

“Udah”

“Pesen lagi?”

“Iya. Males masak”

“Jangan sering-sering. Ibu kamu sering ngingetin loh jangan sering-sering pesen makan terus”

“Iya Jihoon. By the way, tadi aku nelfon Ibu”

“Oh ya? gimana kabar Ibu? Sehat kan?”

“Iyaa sehat. Terus dia malah mau jodohin aku” Senggang, Jihoon diujung sana diam. Sesekali yang aku dengar hanya gemerisik yang mungkin disebabkan oleh dirinya yang bergerak.

“Hm.. gitu. Terus?”

“Terus gimana?”

“Loh? kok nanya aku?”

“Gimana kita, Jihoon..” Sebagai balasan, Jihoon membuang nafasnya pelan. Dari sini, dapat aku dengar dengan jelas.

“Kenapa kamu gak mau sama yang dijodohin Ibu?”

“Aku maunya sama kamu”

“Kenapa maunya sama aku?”

There is no one like you..” Aku memainkan ujung selimutku.

There is one better than me..”

No, They aren’t you, Jihoon. You are the only one and the only person i want.

“Kamu jangan ngomong gitu dong, tiba tiba jadi ada beban di pundakku”

“Berat?”

“Berat.”

“Bagi ke aku”

Nope.

“Jihoon?” Lagi lagi ada suara gemerisik dari sana.

“Hm?”

“Kamu gak mau sama aku ya?”

“Siapa bilang? Kamu cuma berspekulasi aja, sayang..”

“Tapi nanti tetep ada kita, kan?”

“Hmm..” Jihoon bergumam, menggantungkan kalimat yang mungkin akan dia lempar. “Kalau di buku takdir semesta emang ada nama kita, bakal tetep ada kita. Okay?”

“Okay.”

Ada banyak ketakutan yang sebelumnya menghantui ku, tapi semenjak malam itu, semuanya melebur. Aku tau, aku bisa percaya pada Jihoon walau mungkin tidak ada namaku dan namanya di buku tulis takdir.

-

“Kamu ada jadwal manggung ya, Hoon?” Jihoon mendongak, mengkerutkan alis kemudian menegak minum yang ada di sebelah kanannya.

“Tau darimana?”

“Ini, Cafe yang biasa aku sama temen temen datangin bikin story di Instagram, ada nama kamu sama lagu yang bakal kamu bawa?” Aku menaikan alis.

Jam makan siang, entah kapan terakhir kali aku dan dirinya makan siang bersama, namun akhirnya hari ini terealisasikan.

“Iya, dua minggu lagi”

“Lagunya kamu tulis sendiri?”

“Iya”

What kind of future?” Dirinya sedikit terbatuk.

“I-iya”

Aku mengangguk, kembali menyantap makanan di hadapanku.

“Jihoon”

“Hm?”

“Kalau kita pulang ke Aceh bulan depan, mau ikut?” Jihoon mengangkat alisnya, kemudian mengangguk.

“Boleh, ada jadwal cuti?“

“Ya kalau bulan depan aku ambil cuti, gaada dapet cuti akhir tahun”

“Yaudah gak papa, aku ikut aja. Ntar jadwalku bisa disesuain”

“Kantor kamu?”

“Gampang itumah, kamu kasih tau aja bulan depannya kapan”

“Bisa ya berarti?”

Jihoon lagi lagi mengangguk. “Bisa, sayang” Jemarinya mendekat, mengambil sesuatu yang sepertinya tersisa di sudut bibirku. Aku tersenyum lebar, dirinya pun ikut tersenyum menatapku.

Rasanya, segalanya jadi serba cukup kalau ada Jihoon, kalau Jihoon disini, kalau Jihoon disampingku.

Aku mau Jihoon, tidak lebih dan tidak kurang, cukup.

-

Berkali kali panggilan dariku tidak kunjung di angkat oleh Jihoon. Padahal aku mau bertanya urusan tiket pesawat dengannya.

Selama di kantor, setiap jam yang aku lakukan adalah menelfonnya secara terus terusan namun tidak kunjung mendapatkan jawaban.

Aku sempat menelfon orang tua Jihoon, tapi kata mereka, Jihoon tidak ada di rumah.

Setelah jam kantor selesai, aku mengunjungi kantornya, katanya hari ini Jihoon tidak masuk untuk bekerja. Tujuan terakhirku tidak lain adalah studio musiknya.

Dengan smartlock yang selalu aku hafal passwordnya, aku lagi lagi menemukan studionya yang kosong melompong, tidak ada Jihoon. Yang ada hanya kertas berserakan dimana mana, dan berantakan.

“ckckck, kebiasaan banget suka ninggalin tempat berantakan.”

Satu persatu aku kumpulkan kertas yang berserakan di lantai. Beberapa ada catatan lirik dengan note yang telah selesai ia kerjakan dan yang akan ia jual, serta yang sedang dalam proses pembuatan.

Aku membaginya kemudian, meletakkannya di map kertas berbeda. Agar supaya ketika Jihoon kembali, ia tidak perlu repot repot mencari.

Pandanganku terpaku pada satu kertas tepat diatas keyboard Jihoon. Tanpa ada keterangan sedang proses atau akan dirinya jual. Yang aku baca hanya judul besar serta lirik yang membuat jantungku bergetar.

Serta tanggal disudut kanan atas.

Aku buru buru mengambil ponselku, membuka salah satu platform media sosial dan mengetikan satu nama. Ketika profilnya sudah sepenuhnya muncul, aku tekan gambar terakhir yang dirinya upload, sama dengan tanggal di kertas serta foto sosoknya dengan Jihoon. Bahkan aku meninggalkan ‘suka’ di fotonya.

Wonho.

‘Wonho, kalau senggang kita ketemu sebentar boleh ya? Di Cafe deket kantor aja. Penting’

Kutinggalkan sebuah pesan singkat lewat direct message.

Aku berlalu, menutup pintu studio Jihoon dengan kasar, menggenggam kertas berisikan lirik tersebut dan pergi menuju tempat tujuanku.

-

Setengah jam aku menunggu di Cafe, Wonho membalas direct messageku dengan ‘ok’ membuatku memutar malas kedua bola mata serta memijit pelipisku.

Maka ada 30 menit lainnya aku duduk disana hanya untuk menunggu sosok ini.

Sorry ya, tadi ada janji sama temen” Kata Wonho, langsung duduk di kursi kosong dihadapanku.

“Jihoon?”

“Kok tau?”

“Kalau boleh tau emang kemana?”

“Nanti tanya sama Jihoon aja deh” Ia tertawa. “Ada urusan apa emang? kok katanya penting?”

“Kamu bikin lagu ini sama Jihoon, Kan?” Aku menyodorkan selebaran kertas berisi lirik lagu kehadapan Wonho.

Dirinya mengkerutkan alis, menatap lama kertas yang aku sodorkan.

“Aku enggak bikin lagu ini sama dia, cuman..”

“Cuman?”

Wonho diam, tidak bersuara, “Cuman?” Tanyaku lagi.

“em..”

“Kamu temen sekolah Jihoon juga kan? Yang desain studio musiknya?” Dia mengangguk.

“Lagu ini gak masuk ke daftar lagu yang bakal dia jual, Wonho. Dan.. Beberapa hari yang lalu aku denger dia bakal manggung bawain lagu ini”

“Gini” Dirinya memperbaiki posisi duduk. “Ini tuh cuma lagu, there is nothing you have to worry about, okay?

have you read the lyrics, by the way?” Ia mengerutkan alis. “Oh kamu gak baca ya? Tapi kamu yang lihat dan tau apa dibalik lagu ini, kan?”

Wonho lagi lagi mengkerutkan alisnya.

“Aku tau kamu tau, Wonho”

“Aku gak tau apa apa”

Aku melipat kedua tanganku didepan dada, menghentakan kakiku dengan ritme pelan.

Tell me

Tell you what? Aku udah bilang aku gak tau apa apa. Kenapa kamu gak tanya aja sama Jihoon langsung?”

I know, you know, Wonho. Sekali lagi, I know, you know” Aku tekankan segala kata yang aku lemparkan ke dirinya.

Ia menyunggingkan senyum disana. Memperbaiki posisi duduknya kemudian mendekat kehadapan wajahku, sedikit berbisik. “Why should I?”

Aku membuang nafasku pelan dan tersenyum. “Kamu dibayar apa sama Jihoon sampe tutup mulut dengan kekeuh kaya gini?”

I didn’t got paid, okay? It is just something that—“

I shouldn’t have to know?”

Listen..” Wonho menopang dagunya dengan jemari yang saling bertaut. “You are wasting my time, just go home

Or what?”

Or what? I didn’t even say anything

Or people would know kalau kamu melebihkan dana produksi perusahan supaya sisanya kamu konsumsi sendiri dan bukan untuk biaya produksi desain kamu?” Wonho mengepalkan tangannya.

This bitch

Let’s make it fair, Wonho. I’ll shut my mouth and you tell me what exactly happened” Wonho diam. Menggigit kuat rahangnya sendiri. Menatapku serta kertas yang ada di hadapanku secara bergantian.

He didn’t love you. That’s all” Sunyi mengudara, yang aku dengar hanya suara motor dan mobil yang terus berlalu-lalang. “I mean, he trying to, but.. I guess he can’t

Jantungku rasanya jatuh dari penopangnya, paru paruku rasanya dipenuhi air dan membuatku kesulitan untuk bernafas.

Mataku panas, tenggorokanku tercekat dan yang aku lakukan hanya berusaha mencerna perkataan Wonho barusan.

“Kamu pikir dia secinta itu ya sama kamu?” Wonho menaikan alisnya, tertawa. “After all years passed by, he couldn’t even forget her. Dia tetep hidup, bahkan jadi karya yang bentar lagi bakal kamu denger, bakal orang lain denger.” Wonho mengetuk kertas berisikan lirik dihadapanku dan dirinya. “This masterpiece.

“Jihoon selalu kekeh dan berfikir bahwa hidupnya akan baik baik aja kalau dia punya seseorang buat gantiin ‘that girl’ “ Wonho menekankan. “The one who was older than him, than us. That he loved the most back then

Mataku bergetar, telingaku panas mendengar penjelasan Wonho.

“Sampai sampai Jihoon sendiri gak bisa bayangin gimana masa depan dia tanpa sosok ini. This.. What kind of future

Nice info, Wonho.” Aku bersiap bangkit, kembali mengambil kertas yang ada di hadapanku.

Thank you for your time.” Tukaiku bergerak menjauh, namun sejenak aku tahan dan kembali berbalik.

By the way, the whole office already knew that you did shit about our company’s money production. Soo, tunggu surat pemberhentian turun dari kepala bidang umum ya, Wonho.”

Aku kembali berbalik, dapat aku dengar suara pukulan diatas meja. They did shit, indeed.

-

Aku runtuh diatas pijakanku sesaat sampai dirumah. Meremas kertas dengan coretan tinta hitam bertulis ‘What kind of future’ yang di tulis Jihoon.

Aku terduduk, memukul dadaku berkali kali dan meraung disertai air mata yang tidak kunjung berhenti.

Ada sesak dan nyeri di ulu hatiku.

Sekarang semuanya tampak lebih jelas, alasan kenapa Jihoon tidak suka kalau aku ajak bicara soal pernikahan, dirinya belum siap.

Bahkan semenjak pertama kali sosoknya mengajakku memulai suatu hubungan, Jihoon belum siap, Jihoon tidak disini, Jihoon tidak disampingku. Jihoon-ku, ada di masa lalunya sendiri.

Aku mengambil ponselku, menekan tombol panggil pada nomor Jihoon.

“Hoon” Panggilku dengan suara serak. Ponselnya kini aktif dan tersambung.

“Hey? Kamu kenapa?” Sahutnya diujung sana, sadar akan perubahan suaraku.

“Ke rumahku.”

“Hah? Kok mendadak? Kamu kenapa?”

I’ll wait ya, Hoon”

Berselang sekitar 30 menit, dirinya muncul diambang pintu.

“Hey?” Jihoon yang tingginya sejajar denganku menyibak rambutku yang tergerai berantakan. “Kamu kenapa?” Menakup kedua pipiku.

Lampu rumah seluruhnya padam, membuatnya mengawangkan pandangan, kemudian menarikku dalam pelukannya.

It’s okay. I’m here

Bohong, Jihoon, You are not here.

Hanya cahaya televisi yang mengiluminasi wajahku maupun wajah Jihoon. Di depan TV diatas sofa, aku menyenderkan kepala ke pundaknya, terus terisak dalam diam.

Jemari lentik Jihoon memainkan rambutku disebelah sana, sesekali ikut menjatuhkan kepalanya keatas puncak kepalaku.

Dan itu, membuatku seribu kali lebih sakit.

“Udah mau cerita kenapa, belum?” Bisiknya. Aku menggeleng.

Sudah beberapa menit yang lalu, Jihoon terus menanyakan pertanyaan yang sama dan terus terusan aku jawab dengan gelengan.

“Gak papa, kamu tenangin diri kamu aja dulu”

“Hoon” Kini aku menyahut.

“Hm?”

Is she pretty?” Jihoon bergerak, membuatku mengangkat kepala dan menatap dirinya yang mengerutkan alis. Ekspresinya dapat aku lihat dengan jelas walau cahaya di rumahku hanya berasal dari televisi.

“Maksudnya?”

“Dia..”

“Dia siapa?”

What kind of future, Jihoon?” Kini air wajahnya berubah, perubahan yang membuatku menemukan jawaban. “Dia.. cantik, ya?”

Jihoon diam, diam seribu bahasa, bahkan jemarinya yang tadi terus bergerak merapihkan helai demi helai rambutku kini diam diatas pahanya. Jihoon membeku.

“Bener ya, berarti?”

“…”

“Jihoon? Kenapa diam?” Paraunya suaraku kini memenuhi ruangan, air mata itu kini kembali memupuk.

“Jihoon”

“Jihoon”

“Ji..”

“Jihoon”

Kini setelah terus menerus menderukan namanya, tenggorokanku tidak lagi mampu. Hanya sesak tangis yang akhirnya jadi penutup. Jihoon, hanya diam menutup mulutnya.

“Maafin aku” Kalimat itu, lagi lagi menjadi pertanda. Bahwa Jihoon tidak sepenuhnya ada disini, bahwa Jihoon membenarkan tentang sebuah lagu yang tidak mampu membuatnya bergerak menuju masa depan, bergerak menuju masa sekarang, bergerak bersamaku, dan berjalan bersama.

“Untuk kita? What kind of future that will lead us, Hoon? Ada masa depan gak buat kita?”

“Jihoon!” teriakku, dengan isak serta mengguncang tubuhnya.

I still love her and i am so sorry

Senggang menyelimuti, bahkan isak tangisku tidak lagi menderu. Aku diam, masih dengan air mata yang terus mengalir menciptakan sungai sungai kecil.

After all of these years?”

I still do..”

Leave.” Cicitku.

“Hey” tangannya yang lagi lagi ingin menangkup wajahku, cepat cepat aku singkirkan. “Leave, Hoon. Please, Leave

Jihoon bangkit, berdiri lama. Dapat aku lihat kakinya yang terpaku disana. Kemudian, perlahan berlalu.

“Jihoon.” Panggilku, lagi lagi, namun kali ini, lebih kepada bisikan. Namun sosoknya disana tetap berhenti, berbalik arah menatapku.

If in any miracle, what will you choose? Stay di masa lalu sama dia, atau find me di masa depan? ”

Don’t ask me things like that, please? Let’s make it easier, ya?”

Because you will choose her?”

“Sayang..”

Don’t..” Dirinya berusaha mendekat. “You will choose her, Hoon?”

Entah untuk yang keberapa kali, dirinya terus menerus diam seribu bahasa. Membuatku semakin melihat keadaan dengan sangat jelas tanpa adanya sekat. Karena, kalau dirinya meletakanku pada prioritas nomor satu, memilihku dalam keadaan apapun, dirinya tidak perlu diam entah apapun alasan dibalik diamnya. Kalau saja, kan?

I’ll choose her, and stay in the past. I wish i could stay there forever, dan gak perlu berusaha mati matian ngelupain dia. I’m sorry.” Kini dapat aku dengar suara decitan pintu yang terbuka dan kemudian tertutup pelan.

“Jihoon..”

‘in the end, what kind of future will come to us?’

—fin.

— “I have belonged to you in a way you haven’t to me” -Anais Nin

“Jihoon, makan siang kamu jangan lupa dimakan loh”

“hm” Jemari Jihoon sibuk diatas mouse dan keyboard, serta alat alat musik lain di seluruh mejanya yang bahkan aku sendiri tidak tau apa namanya.

“Hoon, lihat aku.” Kataku, ia membuang nafas pelan kemudian menghentikan kesibukannya, menoleh pelan.

“Makan siang, jangan lupa.”

“Iya..” Ia memutar tubuhnya, kembali menuju layar.

“Kamu nerima berapa berapa lagu kali ini?”

“Lima.”

What?!

“Biasanya juga lebih banyak, kan?”

“Kamu juga jangan lupa pulang.” Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“Mama nelfon kamu lagi?” Tanyanya. Aku mengangguk.

“Bilang aja aku sibuk.”

“Ya aku tau Hoon, kerja rangkap dua buat jadi producer music terus at the same time harus kerja kantoran bener bener bikin sibuk, tapi kamu jangan lupa pulang. Sekedarnya buat munculin muka aja biar Mama sama Papa kamu gak khawatir.” Aku duduk di sofa di dalam studio musik milik Jihoon yang telah ia bangun dengan kerja keras serta peluhnya bertahun tahun jadi budak korporat.

“Iya, nanti sore aku pulang.”

“Sebelum itu, makan dulu makan siang kamu sebelum dingin. Aku udah jauh jauh bawain.”

“Kok tumben kamu tadi ke Kokas?” Jihoon kemudian bangkit mengambil makanan Bento yang sebelumnya aku beli.

“Ada ketemu sama klien.”

Ia mengangguk, sambil menyendok nasi masuk kedalam mulutnya.

“Kalau dipikir pikir, selama bertahun tahun belakangan udah banyak banget ya karya musik kamu.” Dirinya terkikik kecil.

“Nyangka ga kamu punya gaji sekarang dua digit?“ Jihoon kini terbahak.

Big thanks to you juga lah.” Lelaki itu kini berpindah tempat, duduk disebelahku sambil membawa makanannya. “Makasih udah bareng sama aku buat wujudin cita-citaku.”

Aku tersenyum menekuk bibir, ia menyibakan beberapa helai rambut yang menghalangi wajahku.

“Hari ini kamu warna blush nya kok beda? Klien nya cowo ya?” Ia memicingkan mata.

“Dih, emang harus ketemu klien cowo dulu baru ganti warna blush?”

“Jadi bener klien cowo?”

“Ya bapak bapak sih.”

“Serius?!”

“Udah berkeluarga, Jihoon. Gimana sih?” Dirinya tertawa, terus menyendokan makanan masuk ke dalam mulutnya.

“Kamu desain apa lagi kali ini? Gedung pencakar langit?“

“Kalau itu aku bakal jadi kaya raya dalam semalam.”

“Jadi?”

“Cafe biasa aja sih” Jihoon mengangguk, kemudian bangkit dan membuang tempat makan Bento yang terbuat dari plastik ke tong sampah yang ia letak dibelakang pintu.

“Ini studio kamu, yang desain siapa sih? Aku baru ngeh kalau kamu gak ada ngomong sama aku?”

“Temen sekolahku. Soalnya waktu sekolah dulu aku udah bilang kalau bakal make jasa dia semisal dia beneran jadi Arsitek, eh ternyata sama sama kesampean.”

“Wonho?”

“Iya, sekantor sama kamu kan?”

“Iya, tapi ya gitu.”

“Gitu gimana?”

“Aku kurang suka aja sama dia.”

“Memangnya dia kenapa?”

“Gatau ya, tapi ngeliat dia di kantor tuh kaya yang sombong gitu.”

“Oalah, tapi kalau kamu kenal dia, gak ngerasa gitu lah pasti.”

“Iya kali ya”

Aku kembali mengawangkan pandangan ke seluruh ruangan studio musik Jihoon yang sebenarnya sudah di bangun 1 tahun yang lalu.

“Hoon..” Panggilku, dirinya disana membersihkan tangan serta mulutnya dengan tisu.

“Hm?” Lalu kembali duduk di kursi dan menatap layar.

Are we, for real?” Jihoon menoleh ke arahku, mengkerutkan alis.

For real? of course we are. That’s kinda ridiculous question.” Dirinya menggeleng kecil sambil tertawa.

Aku diam, menatap jemariku yang aku mainkan.

“Kamu kenapa?” Suara lembutnya menyambangi pendengarkanku.

No, i’m okay. Just tryna make sure.” Aku bangkit, membereskan barang barangku.

Of what?”

“Yah maksudku.. After a long season of our relationship, Hoon. Apa kita bakal gini gini aja?” Aku meletakan sling bag!berukuran sedang ke bahuku.

Soon, sayang. Just.. belum sekarang.”

“Aku tau kamu bakal jawab gitu” Aku menarik kenop pintu. “Jangan lupa pulang. Call me when you are arrived at home, ya.”

I will.

Aku menutup pintunya, memperbaiki posisi tasku dan berjalan menuju basemen, tempat aku memarkirkan mobil kemudian pulang kerumah.

Sampai di rumah, jam di dinding menunjukan pukul 3 sore. Aku membuka laptop, menyelesaikan beberapa desain yang tak kunjung rampung sampai pukul 5, ketika aku mendapat pesan dari Jihoon bahwa dirinya sudah dirumah.

‘Arrived home safely’

‘send my love to Mama’

‘will do’

‘I’ll call you tonight ya. Mau bebersih dulu’

‘okay’

Aku jatuhkan pundakku di kepala sofa, mendongak menatap plafon rumah, membuang nafas kemudian menutup mataku. Membiarkan angin AC menyapu wajahku yang bahkan belum dibersihkan dari make up.

Tas yang tadi sempat aku lempar asal ke atas sofa kini aku ambil, merogoh dan mengambil ponselku didalam sana, menelfon satu nomor yang sangat aku rindukan suaranya, Ibu.

“Ibuuuuu” Panggilku ketika telfon di ujung sana sudah diangkat.

“Halo anak gadis Ibu, kenapa ceria banget hari ini?“ Aku tertawa.

“Bukannya biasanya juga gini ya, Bu?”

“Hari ini suaranya lebih bahagia”

“Oh gituu.. Katanya emang kalau bahagia terus terusan bikin awet muda..”

Ibu tertawa diujung sana. “Kamu kapan pulang?” Aku menekuk bibir, pertanyaan yang pasti akan ditanya oleh wanita yang telah melahirkanku itu. Kalau dihitung, sepertinya sudah setahun yang lalu aku pulang kerumah, bersama Jihoon kala itu.

“Jihoon juga kapan kamu ajak main kesini lagi?”

“Aku sama Jihoon masih sibuk kerja, Bu. Nanti ya, kalau ada cuti aku pulang kerumah.”

Ibu ada di Aceh, sedangkan aku bekerja di Jakarta. Mengingat kadang harga tiket pesawat yang kurang bersahabat, sering aku tunda untuk pulang ke kampung halamanku. Padahal, setiap malamnya ada aku yang menangis karna rindu kepada dua sosok orang tuaku disana.

“Kamu, udah ngomongin yang serius serius belum sama Jihoon?” Oh Tuhan, jangan lagi.

“Ibu kalau aku telfon kenapa bahasannya menjurusnya kesitu terus sih, Bu?”

“Ya kan Ibu penasaran, kapan anaknya naik pelaminan. Masa Ibu gak boleh tanya sih?”

“Ya setiap aku telfon Ibu selalu nanyain gitu”

“Tapi.. Jihoon serius kan, Nak?” Pertanyaan Ibu membuat aku mengkerutkan alisku.

“Loh? Ibu kenapa sih?”

“Bukan gitu. Umur kamu udah berapa loh? Gak baik anak perempuan nikahnya lama. Maksud Ibu, disini Ibu tuh ada kenalan, anak laki lakinya tentara angkatan laut. Kalau—“

“Bu..” Aku membuang nafasku. “Kan aku sama Ibu pernah ngobrol kalau urusan pasangan aku gak mau di atur-atur..”

“Bukan mau diatur-atur, Nak. Ibu kan bertanya..”

“Iya iya oke. Aku gak mau, Bu. Ya? Lain kali gausah ditawarin ke aku. Udah dulu ya, Bu? Nanti kita ngobrol lagi, aku mau bebersih terus istirahat.”

“Makan kamu jangan lupa, usahakan masak ya,Nak? Jangan beli makanan siap saji terus. Ibu sayang kamu..”

“Iya Ibu, aku juga sayang Ibu..” Panggilannya aku matikan kemudian.

Aku menatap kosong kedepan, banyak pemikiran yang bekecamuk disana. Tentang beban beban yang terus memupuk di pundak, tentang masa depan.

Tukaiku berjalan menuju kamar, mengambil handuk kemudian bergegas bebersih tubuh. Mengambil piyama kemudian beringsut di atas kasurku.

Ponselku masih belum memunculkan nama Jihoon disana, dan aku memutuskan mencari tontonan di laptopku.

2 jam, belum juga ada pesan dari Jihoon.

Menuju pukul 10 malam, Jihoon menelfon dan langsung aku angkat.

“Belum tidur?” Suaranya berat diujung sana.

“Belum. Kamu baru bangun ya?”

“Iya maaf ya aku begitu sampe rumah terus bebersih eh malah ketiduran”

“Yaudah gak papa”

“Kamu kenapa belum tidur?”

“Nunggu kamu telfon”

“Kenapa ditunggu?”

“Tadi katanya mau nelfon pas malem” Dapat aku dengar dirinya tertawa kecil disana.

“Maaf ya?”

“Iya Jihoon gak papa”

“Udah makan?”

“Udah”

“Pesen lagi?”

“Iya. Males masak”

“Jangan sering-sering. Ibu kamu sering ngingetin loh jangan sering-sering pesen makan terus”

“Iya Jihoon. By the way, tadi aku nelfon Ibu”

“Oh ya? gimana kabar Ibu? Sehat kan?”

“Iyaa sehat. Terus dia malah mau jodohin aku” Senggang, Jihoon diujung sana diam. Sesekali yang aku dengar hanya gemerisik yang mungkin disebabkan oleh dirinya yang bergerak.

“Hm.. gitu. Terus?”

“Terus gimana?”

“Loh? kok nanya aku?”

“Gimana kita, Jihoon..” Sebagai balasan, Jihoon membuang nafasnya pelan. Dari sini, dapat aku dengar dengan jelas.

“Kenapa kamu gak mau sama yang dijodohin Ibu?”

“Aku maunya sama kamu”

“Kenapa maunya sama aku?”

There is no one like you..” Aku memainkan ujung selimutku.

There is one better than me..”

No, They aren’t you, Jihoon. You are the only one and the only person i want.

“Kamu jangan ngomong gitu dong, tiba tiba jadi ada beban di pundakku”

“Berat?”

“Berat.”

“Bagi ke aku”

Nope.

“Jihoon?” Lagi lagi ada suara gemerisik dari sana.

“Hm?”

“Kamu gak mau sama aku ya?”

“Siapa bilang? Kamu cuma berspekulasi aja, sayang..”

“Tapi nanti tetep ada kita, kan?”

“Hmm..” Jihoon bergumam, menggantungkan kalimat yang mungkin akan dia lempar. “Kalau di buku takdir semesta emang ada nama kita, bakal tetep ada kita. Okay?”

“Okay.”

Ada banyak ketakutan yang sebelumnya menghantui ku, tapi semenjak malam itu, semuanya melebur. Aku tau, aku bisa percaya pada Jihoon walau mungkin tidak ada namaku dan namanya di buku tulis takdir.

-

“Kamu ada jadwal manggung ya, Hoon?” Jihoon mendongak, mengkerutkan alis kemudian menegak minum yang ada di sebelah kanannya.

“Tau darimana?”

“Ini, Cafe yang biasa aku sama temen temen datangin bikin story di Instagram, ada nama kamu sama lagu yang bakal kamu bawa?” Aku menaikan alis.

Jam makan siang, entah kapan terakhir kali aku dan dirinya makan siang bersama, namun akhirnya hari ini terealisasikan.

“Iya, dua minggu lagi”

“Lagunya kamu tulis sendiri?”

“Iya”

What kind of future?” Dirinya sedikit terbatuk.

“I-iya”

Aku mengangguk, kembali menyantap makanan di hadapanku.

“Jihoon”

“Hm?”

“Kalau kita pulang ke Aceh bulan depan, mau ikut?” Jihoon mengangkat alisnya, kemudian mengangguk.

“Boleh, ada jadwal cuti?“

“Ya kalau bulan depan aku ambil cuti, gaada dapet cuti akhir tahun”

“Yaudah gak papa, aku ikut aja. Ntar jadwalku bisa disesuain”

“Kantor kamu?”

“Gampang itumah, kamu kasih tau aja bulan depannya kapan”

“Bisa ya berarti?”

Jihoon lagi lagi mengangguk. “Bisa, sayang” Jemarinya mendekat, mengambil sesuatu yang sepertinya tersisa di sudut bibirku. Aku tersenyum lebar, dirinya pun ikut tersenyum menatapku.

Rasanya, segalanya jadi serba cukup kalau ada Jihoon, kalau Jihoon disini, kalau Jihoon disampingku.

Aku mau Jihoon, tidak lebih dan tidak kurang, cukup.

-

Berkali kali panggilan dariku tidak kunjung di angkat oleh Jihoon. Padahal aku mau bertanya urusan tiket pesawat dengannya.

Selama di kantor, setiap jam yang aku lakukan adalah menelfonnya secara terus terusan namun tidak kunjung mendapatkan jawaban.

Aku sempat menelfon orang tua Jihoon, tapi kata mereka, Jihoon tidak ada di rumah.

Setelah jam kantor selesai, aku mengunjungi kantornya, katanya hari ini Jihoon tidak masuk untuk bekerja. Tujuan terakhirku tidak lain adalah studio musiknya.

Dengan smartlock yang selalu aku hafal passwordnya, aku lagi lagi menemukan studionya yang kosong melompong, tidak ada Jihoon. Yang ada hanya kertas berserakan dimana mana, dan berantakan.

“ckckck, kebiasaan banget suka ninggalin tempat berantakan.”

Satu persatu aku kumpulkan kertas yang berserakan di lantai. Beberapa ada catatan lirik dengan note yang telah selesai ia kerjakan dan yang akan ia jual, serta yang sedang dalam proses pembuatan.

Aku membaginya kemudian, meletakkannya di map kertas berbeda. Agar supaya ketika Jihoon kembali, ia tidak perlu repot repot mencari.

Pandanganku terpaku pada satu kertas tepat diatas keyboard Jihoon. Tanpa ada keterangan sedang proses atau akan dirinya jual. Yang aku baca hanya judul besar serta lirik yang membuat jantungku bergetar.

Serta tanggal disudut kanan atas.

Aku buru buru mengambil ponselku, membuka salah satu platform media sosial dan mengetikan satu nama. Ketika profilnya sudah sepenuhnya muncul, aku tekan gambar terakhir yang dirinya upload, sama dengan tanggal di kertas serta foto sosoknya dengan Jihoon. Bahkan aku meninggalkan ‘suka’ di fotonya.

Wonho.

‘Wonho, kalau senggang kita ketemu sebentar boleh ya? Di Cafe deket kantor aja. Penting’

Kutinggalkan sebuah pesan singkat lewat direct message.

Aku berlalu, menutup pintu studio Jihoon dengan kasar, menggenggam kertas berisikan lirik tersebut dan pergi menuju tempat tujuanku.

-

Setengah jam aku menunggu di Cafe, Wonho membalas direct messageku dengan ‘ok’ membuatku memutar malas kedua bola mata serta memijit pelipisku.

Maka ada 30 menit lainnya aku duduk disana hanya untuk menunggu sosok ini.

Sorry ya, tadi ada janji sama temen” Kata Wonho, langsung duduk di kursi kosong dihadapanku.

“Jihoon?”

“Kok tau?”

“Kalau boleh tau emang kemana?”

“Nanti tanya sama Jihoon aja deh” Ia tertawa. “Ada urusan apa emang? kok katanya penting?”

“Kamu bikin lagu ini sama Jihoon, Kan?” Aku menyodorkan selebaran kertas berisi lirik lagu kehadapan Wonho.

Dirinya mengkerutkan alis, menatap lama kertas yang aku sodorkan.

“Aku enggak bikin lagu ini sama dia, cuman..”

“Cuman?”

Wonho diam, tidak bersuara, “Cuman?” Tanyaku lagi.

“em..”

“Kamu temen sekolah Jihoon juga kan? Yang desain studio musiknya?” Dia mengangguk.

“Lagu ini gak masuk ke daftar lagu yang bakal dia jual, Wonho. Dan.. Beberapa hari yang lalu aku denger dia bakal manggung bawain lagu ini”

“Gini” Dirinya memperbaiki posisi duduk. “Ini tuh cuma lagu, there is nothing you have to worry about, okay?

have you read the lyrics, by the way?” Ia mengerutkan alis. “Oh kamu gak baca ya? Tapi kamu yang lihat dan tau apa dibalik lagu ini, kan?”

Wonho lagi lagi mengkerutkan alisnya.

“Aku tau kamu tau, Wonho”

“Aku gak tau apa apa”

Aku melipat kedua tanganku didepan dada, menghentakan kakiku dengan ritme pelan.

Tell me

Tell you what? Aku udah bilang aku gak tau apa apa. Kenapa kamu gak tanya aja sama Jihoon langsung?”

I know, you know, Wonho. Sekali lagi, I know, you know” Aku tekankan segala kata yang aku lemparkan ke dirinya.

Ia menyunggingkan senyum disana. Memperbaiki posisi duduknya kemudian mendekat kehadapan wajahku, sedikit berbisik. “Why should I?”

Aku membuang nafasku pelan dan tersenyum. “Kamu dibayar apa sama Jihoon sampe tutup mulut dengan kekeuh kaya gini?”

I didn’t got paid, okay? It is just something that—“

I shouldn’t have to know?”

Listen..” Wonho menopang dagunya dengan jemari yang saling bertaut. “You are wasting my time, just go home

Or what?”

Or what? I didn’t even say anything

Or people would know kalau kamu melebihkan dana produksi perusahan supaya sisanya kamu konsumsi sendiri dan bukan untuk biaya produksi desain kamu?” Wonho mengepalkan tangannya.

This bitch

Let’s make it fair, Wonho. I’ll shut my mouth and you tell me what exactly happened” Wonho diam. Menggigit kuat rahangnya sendiri. Menatapku serta kertas yang ada di hadapanku secara bergantian.

He didn’t love you. That’s all” Sunyi mengudara, yang aku dengar hanya suara motor dan mobil yang terus berlalu-lalang. “I mean, he trying to, but.. I guess he can’t

Jantungku rasanya jatuh dari penopangnya, paru paruku rasanya dipenuhi air dan membuatku kesulitan untuk bernafas.

Mataku panas, tenggorokanku tercekat dan yang aku lakukan hanya berusaha mencerna perkataan Wonho barusan.

“Kamu pikir dia secinta itu ya sama kamu?” Wonho menaikan alisnya, tertawa. “After all years passed by, he couldn’t even forget her. Dia tetep hidup, bahkan jadi karya yang bentar lagi bakal kamu denger, bakal orang lain denger.” Wonho mengetuk kertas berisikan lirik dihadapanku dan dirinya. “This masterpiece.

“Jihoon selalu kekeh dan berfikir bahwa hidupnya akan baik baik aja kalau dia punya seseorang buat gantiin ‘that girl’ “ Wonho menekankan. “The one who was older than him, than us. That he loved the most back then

Mataku bergetar, telingaku panas mendengar penjelasan Wonho.

“Sampai sampai Jihoon sendiri gak bisa bayangin gimana masa depan dia tanpa sosok ini. This.. What kind of future

Nice info, Wonho.” Aku bersiap bangkit, kembali mengambil kertas yang ada di hadapanku.

Thank you for your time.” Tukaiku bergerak menjauh, namun sejenak aku tahan dan kembali berbalik.

By the way, the whole office already knew that you did shit about our company’s money production. Soo, tunggu surat pemberhentian turun dari kepala bidang umum ya, Wonho.”

Aku kembali berbalik, dapat aku dengar suara pukulan diatas meja. They did shit, indeed.

-

Aku runtuh diatas pijakanku sesaat sampai dirumah. Meremas kertas dengan coretan tinta hitam bertulis ‘What kind of future’ yang di tulis Jihoon.

Aku terduduk, memukul dadaku berkali kali dan meraung disertai air mata yang tidak kunjung berhenti.

Ada sesak dan nyeri di ulu hatiku.

Sekarang semuanya tampak lebih jelas, alasan kenapa Jihoon tidak suka kalau aku ajak bicara soal pernikahan, dirinya belum siap.

Bahkan semenjak pertama kali sosoknya mengajakku memulai suatu hubungan, Jihoon belum siap, Jihoon tidak disini, Jihoon tidak disampingku. Jihoon-ku, ada di masa lalunya sendiri.

Aku mengambil ponselku, menekan tombol panggil pada nomor Jihoon.

“Hoon” Panggilku dengan suara serak. Ponselnya kini aktif dan tersambung.

“Hey? Kamu kenapa?” Sahutnya diujung sana, sadar akan perubahan suaraku.

“Ke rumahku.”

“Hah? Kok mendadak? Kamu kenapa?”

I’ll wait ya, Hoon”

Berselang sekitar 30 menit, dirinya muncul diambang pintu.

“Hey?” Jihoon yang tingginya sejajar denganku menyibak rambutku yang tergerai berantakan. “Kamu kenapa?” Menakup kedua pipiku.

Lampu rumah seluruhnya padam, membuatnya mengawangkan pandangan, kemudian menarikku dalam pelukannya.

It’s okay. I’m here

Bohong, Jihoon, You are not here.

Hanya cahaya televisi yang mengiluminasi wajahku maupun wajah Jihoon. Di depan TV diatas sofa, aku menyenderkan kepala ke pundaknya, terus terisak dalam diam.

Jemari lentik Jihoon memainkan rambutku disebelah sana, sesekali ikut menjatuhkan kepalanya keatas puncak kepalaku.

Dan itu, membuatku seribu kali lebih sakit.

“Udah mau cerita kenapa, belum?” Bisiknya. Aku menggeleng.

Sudah beberapa menit yang lalu, Jihoon terus menanyakan pertanyaan yang sama dan terus terusan aku jawab dengan gelengan.

“Gak papa, kamu tenangin diri kamu aja dulu”

“Hoon” Kini aku menyahut.

“Hm?”

Is she pretty?” Jihoon bergerak, membuatku mengangkat kepala dan menatap dirinya yang mengerutkan alis. Ekspresinya dapat aku lihat dengan jelas walau cahaya di rumahku hanya berasal dari televisi.

“Maksudnya?”

“Dia..”

“Dia siapa?”

What kind of future, Jihoon?” Kini air wajahnya berubah, perubahan yang membuatku menemukan jawaban. “Dia.. cantik, ya?”

Jihoon diam, diam seribu bahasa, bahkan jemarinya yang tadi terus bergerak merapihkan helai demi helai rambutku kini diam diatas pahanya. Jihoon membeku.

“Bener ya, berarti?”

“…”

“Jihoon? Kenapa diam?” Paraunya suaraku kini memenuhi ruangan, air mata itu kini kembali memupuk.

“Jihoon”

“Jihoon”

“Ji..”

“Jihoon”

Kini setelah terus menerus menderukan namanya, tenggorokanku tidak lagi mampu. Hanya sesak tangis yang akhirnya jadi penutup. Jihoon, hanya diam menutup mulutnya.

“Maafin aku” Kalimat itu, lagi lagi menjadi pertanda. Bahwa Jihoon tidak sepenuhnya ada disini, bahwa Jihoon membenarkan tentang sebuah lagu yang tidak mampu membuatnya bergerak menuju masa depan, bergerak menuju masa sekarang, bergerak bersamaku, dan berjalan bersama.

“Untuk kita? What kind of future that will lead us, Hoon? Ada masa depan gak buat kita?”

“Jihoon!” teriakku, dengan isak serta mengguncang tubuhnya.

I still love her and i am so sorry

Senggang menyelimuti, bahkan isak tangisku tidak lagi menderu. Aku diam, masih dengan air mata yang terus mengalir menciptakan sungai sungai kecil.

After all of these years?”

I still do..”

Leave.” Cicitku.

“Hey” tangannya yang lagi lagi ingin menangkup wajahku, cepat cepat aku singkirkan. “Leave, Hoon. Please, Leave

Jihoon bangkit, berdiri lama. Dapat aku lihat kakinya yang terpaku disana. Kemudian, perlahan berlalu.

“Jihoon.” Panggilku, lagi lagi, namun kali ini, lebih kepada bisikan. Namun sosoknya disana tetap berhenti, berbalik arah menatapku.

If in any miracle, what will you choose? Stay di masa lalu sama dia, atau find me di masa depan? ”

Don’t ask me things like that, please? Let’s make it easier, ya?”

Because you will choose her?”

“Sayang..”

Don’t..” Dirinya berusaha mendekat. “You will choose her, Hoon?”

Entah untuk yang keberapa kali, dirinya terus menerus diam seribu bahasa. Membuatku semakin melihat keadaan dengan sangat jelas tanpa adanya sekat. Karena, kalau dirinya meletakanku pada prioritas nomor satu, memilihku dalam keadaan apapun, dirinya tidak perlu diam entah apapun alasan dibalik diamnya. Kalau saja, kan?

I’ll choose her, and stay in the past. I wish i could stay there forever, dan gak perlu berusaha mati matian ngelupain dia. I’m sorry.” Kini dapat aku dengar suara decitan pintu yang terbuka dan kemudian tertutup pelan.

“Jihoon..”

‘in the end, what kind of future will come to us?’

—fin.


“We rush to make love last forever and end up ending it.” -Kavya Dixit


Wonwoo menghujamiku dengan berpuluh kecupan di puncak kepala, membawaku dalam rengkuhnya, menari ke kanan dan ke kiri dalam ritme pelan, dagunya jatuh diatas puncak kepalaku. Malam ini, ada makan malam kecil kecilan dirumah untuk merayakan ulang tahun pernikahanku dan Wonwoo yang ke 5 tahun.

Lagu milik Daniel Caesar yang berjudul Blessed terus memenuhi ruangan, sesekali Wonwoo ikut menggumamkan liriknya dan masih membawaku dalam rengkuh hangatnya.

And yes, I'm a mess but I'm blessed to be stuck with you.” Suara rendah dan berat milik Wonwoo benar benar menghanyutkanku. Aku jatuhkan kepalaku di bahunya, memejamkan mata dan menikmati deru suara beratnya.

“Selamat ulang tahun pernikahan yang ke 5 Tahun, Mama Na Eun.”

“Selamat jadi tua satu tahun juga, Papa Na Eun.”

17 Juli, sekaligus merayakan hari ulang tahun Wonwoo.

Ia mengusap pundakku, lagi lagi menghujamiku dengan puluhan ciuman di kepala. Menumpahkan segala afeksinya dan kemudian aku balas dengan kecupan kilat di ranum merah jambu bibirnya.

“Hadiah dari aku, karna udah jadi kepala keluarga sekaligus Papa yang hebat selama ini.”

I am the luckiest to have you being my half, thank you.

“Aku juga makasih, kak Wonwoo”

Wonwoo dan aku terpaut jarak umur yang cukup jauh, 6 tahun. Tapi kadang secara tidak sadar Wonwoo bukan hanya menjadi seseorang yang punya segudang pengalaman dalam hidup. Tapi, kadang jadi orang yang selalu berusaha bersama dalam menemukan jawaban dari beribu masalah. Kata Wonwoo, aku boleh jadikan dia pasangan, teman, sahabat dan segala bentuk tameng yang mampu untuk aku andalkan.

Aku ingat dulu, bagaimana Wonwoo jadi orang yang menulis bahagia dibalik lukaku. Selalu berusaha menomor-satu-kan aku mau bagaimanapun keadaan dan kondisinya.

Dan untuk itu, akhirnya aku jatuh dalam peluknya. Berjanji untuk terus ada hari ini, esok, sampai mati nanti.

“Kita jemput Na Eun aja yuk?” Katanya tiba tiba, aku tertawa membuang kepalaku kebelakang.

“Baru aja tadi sore di titipin sama neneknya, mau dijemput?”

“Kangen.”

“Udah malem, Wonwoo, pasti Na Eun juga udah bobok disana.”

“Kak-nya mana, cantik.” ia mencolek ujung hidungku.

“Biasanya aku panggil Wonwoo kamu biasa aja tuh? kok sekarang protes?”

“Inget gak, dulu kamu gengsi banget manggil aku pake sebutan ‘Kak’ ?”

Aku lagi lagi terbahak, karena memang jauh sebelum aku memiliki hubungan lebih dengan lelaki dihadapanku ini, aku adalah seorang gadis yang sangat dan berusaha menciptakan jarak dengan Wonwoo.

Kalau ditanya alasan, mungkin semacam trust issues. Dulu, aku pernah mencintai sampai akhirnya disakiti, berspekulasi bahwa siapapun laki laki di dunia ini, tidak ada jaminan bahwa ia tidak akan bertindak untuk menyakiti.

Namun, segala argumen dan spekulasiku langsung patah ketika Wonwoo selalu menjadikanku prioritasnya, berusaha memastikan bahwa aku baik baik saja dengan sikapnya, bertanya apakah boleh dirinya bersikap seperti ini, seperti itu, bertanya apakah mungkin dirinya akan menyakitiku ketika ia melakukan sesuatu.

Kadang, dulu sewaktu awal dekat, ia selalu penasaran. Menanyakan apa makanan kesukaanku, buku yang aku baca, kemudian kutemukan dirinya membaca buku yang sama, dan saat aku tanya alasannya apa, katanya, “kita harus berbahasa yang sama supaya aku bisa nemuin bahasa kamu, dan jalan yang sama.”

“supaya aku luluh?”

“mungkin lebih ke…” ia menggantungkan kalimatnya kala itu. “supaya kamu nerima aku.”

Alasan klise, tapi ternyata benar adanya. Wonwoo selalu mempunyai bahasan untuk diceritakan tentang buku yang aku baca maupun dirinya, yang secara garis besar mengikutiku. Dan obrolannya, mendadak jadi satu frekuensi.

“Oke, jadi sebenernya Ray ini adalah anak di kejadian kebakaran itu?”

“Yup”

God, such a plot twist.

“Wonwoo, kamu belum nemuin banyak plot twist menuju akhir di sepanjang jalan hidup Ray.” Tunjukku pada buku novel berjudul Rembulan Tenggelam di Wajahmu karya Tere Liye yang di genggamnya.

“Part yang paling kamu suka, yang mana?” Tanyanya.

“Aku Cinta Pertama.”

“Kenapa?”

It is such a beautiful moment aja, soal cinta pertama.” Aku menatap kosong meja dihadapanku kala itu, di sebuah cafe ditengah rintik tipis hujan diluar sana. Membayangkan soal bagaimana indahnya sebuah agenda perihal cinta pertama, walaupun pada hakikatnya, tidak selalu berakhir indah.

“berarti cinta pertama kamu mengesankan ya? sampe kamu bilang a beautiful moment?

Indeed, Wonwoo. Tapi cinta pertama gak selalu berjalan mulus.”

“Ray?”

Dunno, you better find it out.

Hari kemudian jadi minggu, minggu kemudian jadi bulan dan bulan akhirnya jadi tahun. Kala itu, Wonwoo tetap setia menjalani hari untuk mengharapkan sebuah pintu yang akan terbuka.

Ada satu pernyataan yang sudah bosan aku dengar, ‘Batu yang keras pun bertahun di tetesi air, maka tetap jadi rapuh.’ Menurutku, itu hanya argumentasi untuk menggambarkan streotipe beberapa kelompok yang menomor-satu-kan sebuah kesabaran diatas segalanya. Namun ternyata, perasaanku berakhir demikian.

Akhirnya, aku jatuh. Pada perangai sosok Wonwoo, bahkan sedikitnya, pada simpul senyum indahnya ketika menemuiku sewaktu pulang dari kantor dulu.

Cinta pertamaku mungkin tidak berjalan indah seperti Ray didalam novel favoritku dan Wonwoo, tapi aku selalu berharap, semoga cinta terakhirku ini, selalu berjalan dengan indah. Dan aku harap lagi, Wonwoo orangnya.

Aku selalu ingat bagaimana dirinya yang terus menarik jemarinya dikarenakan gelisah ketika meminta izin kepada Ayah untuk mengambil hari hariku, lebih tepatnya menyempurnakan setengahnya, menjemput rusuknya dan mengajakku pulang setelah bertahun mengembara tanpa tujuan.

Dan lagi, aku selalu ingat dan akan selalu ingat, bagaimana ia yang menangis tersedu ketika akhirnya aku resmi menjadi pasangan sehidup sematinya, didepan Ayah, bahkan memeluk Ayah kuat, menumpahkan segala rasa terimakasihnya.

Aku, adalah yang paling beruntung ketika mengetahui bahwa setengah rusukku, adalah Wonwoo.

Dan malam ini, ketika aku menapak tilas kembali ke banyak kejadian akan hari hariku bersama Wonwoo sebelum berada di titik ini, aku kembali merasa jadi yang paling beruntung sejagat raya, karena jadi milik Wonwoo.

Namun entah kenapa, tahun ini menyisakan perasaan melankolis di dalam hatiku. Menatap wajahnya, membuatku menyunggingkan senyum kecil penuh getir.

“Kak, aku sayang banget sama kamu gimana ya?” Wonwoo terkekeh, hidungnya mengkerut.

“Aku juga gimana ya? rasanya tuh kaya aku pengen teriak di puncak gunung Everest supaya orang orang tau aku sayang banget sama kamu.”

“emang kamu punya duit mau ke puncak Everest?”

“Yaaa dicari dulu pelan pelan.”

“kalau udah di puncak Everest beneran teriak gak?”

“Iyaa teriak, supaya orang orang seluruh dunia tau kamu tuh punyaku terus aku sayang bangeetttttt sama kamu.” Ia mengecup puncak kepalaku. Aku tertawa.

“Kita kumpulin sama sama ya.”

“Apanya?”

“Duitnya, supaya kita bisa ke Everest.

“Gausah ah, kamu cari duit buat kamu aja, biar duit untuk kita, urusan aku.” Aku tersenyum, hatiku didalam sana rasanya meledak ledak.

“Di puncak Semeru aja kamu teriaknya, gausah jauh jauh ke Everest.

“Yah.. kalau gitu ntar orang di negara seberang gatau dong kalau aku sayang sama kamu?“

“Emang penting?”

“Yaiyalah, kan kamu sayangnya aku.”

“Ih kamu kaya anak SMP, alay.” Aku melepaskan diri dari pelukannya.

“Heh enak aja aku dibilang alay.”

“Emang, wlee” Aku kemudian berlari menjauh sambil menjulurkan lidah.

“Sayang, umurku udah 30 tahun loh, gausah diajak lari lari. Males ah aku ngejar kamu.”

“Jompo.”

“APA?” Dirinya tetap mengejarku. Menangkapku, menjatuhkan diri ke sofa, memelukku erat dengan seluruh tenaganya.

“Siapa yang jompo sekarang?“

“Tetep kamu lah, Wonwoo. Kan kamu tuh udah tua.”

Disela tawa kikikan diantara kami berdua, telfon Wonwoo berdering. Ia kemudian melepaskan pelukan dan berjalan mendekati ponselnya yang sebelumnya ia letakkan di meja makan tadi.

“Bentar ya.” katanya meninggalkanku, aku mengangguk.

Wonwoo berjalan keluar kemudian, menjawab telfon sedangkan aku membuka kulkas untuk menegak jus jeruk dingin yang aku simpan disana, menunggu Wonwoo dengan kesibukannya.

Tidak lama berselang, ia kembali.

“Siapa?”

“Namjoon.”

“Oh” kataku mengangguk. “tapi biasanya kalau Namjoon nelfon kamu gak pernah pergi buat ngangkat telfonnya?”

“Sekalian nyari angin.”

“Engap ya pelukan sama aku?”

“Gak gitu. Kok kamu gitu sih ngomongnya?”

“Ya gatau, aneh aja kamu ngangkat telfon sampe keluar rumah.”

“Iyaa, maaf ya. Tadi refleks aja dibawa keluar, terus emang agak penting.”

“Yaudah, aku mau bersih bersih dulu ya.”

“Mau langsung tidur?”

“Iya.”

“Yaudah kalau gitu biar piringnya aku aja yang cuciin. kamu langsung istirahat aja.”

Aku mengangguk, kemudian berlalu menuju kamar, di sela langkahku, aku berhenti sejenak, memutar tubuhku menatap Wonwoo. “Wonwoo makasih, sama maaf.”

“Iya sayang, besok kita jemput Na Eun bareng ya?”

“Iya..” Aku membalikan badan, namun lagi lagi menoleh ke sosoknya.

“Wonwoo.” panggilku.

“Hm?”

“Aku sayang kamu.”

-

Seorang lelaki muncul di ambang pintu dengan menggengam tangan kecil Na Eun, senyum khas si gadis kecil serta mata nya yang mirip sekali dengan Wonwoo membuatku rindu, padahal pagi tadi baru saja aku antar dia ke sekolah sekalian berangkat ke kantor.

“Mama, hari ini yang jemput aku Om Jung!” Jeon Jungkook, adik laki laki Wonwoo yang juga terpaut umur sangat jauh dengan Wonwoo sendiri.

“Kata Abang, Abang ada urusan mendadak Kak, jadi minta tolong dijemputin Na Eun nya.” Katanya. Aneh, biasanya mau seberapa sibuknya Wonwoo, selalu menyempatkan waktu untuk menjemput Na Eun.

Its okay, Jung. Thank you ya udah jemput Na Eun.”

“Santai, Kak. Kalau gitu aku balik dulu ya?”

“Gak mau makan malem disini aja?” Tawarku.

“Gausah, Kak, Makasih. Mamah juga udah masak makan malam dirumah.”

“Yaudah kamu hati hati, salam sama Mamah ya..”

“Oke kak, Aku balik ya!”

Ia kemudian berlalu dengan mobilnya.

“Mamah, tadi aku dibeliin om Jung Yogurt, rasa stroberi”

“Mana Yogurtnya?”

“Udah habis, hehe.”

“Yah.. Mamah gak kebagian dong?”

“Besok kita beli sama Papah ya, Mama.. Sama pas Fieldtrip hari sabtu aku juga mau dibawain Yogurt yang itu..”

“Iya, nanti kita bilang Papa ya, kita tunggu Papa pulang.”

Namun beranjak tengah malam, Wonwoo belum sampai dirumah.

Mungkin umur pernikahanku masih sebesar biji jagung, tapi aku selalu paham dengan Wonwoo. Tidak pernah sekalipun dirinya tidak memberikan kabar perihal ia yang akan pulang lembur disaat bekerja. Berjam yang lalu aku mengiriminya pesan, namun tidak kunjung dibalas.

Aku juga sempat mengirim pesan kepada Jungkook, bertanya soal keberadaan kakaknya, namun dirinya mengaku bahwa terakhir kali menerima telfon adalah sore tadi, ketika Wonwoo meminta tolong untuk menjeput Na Eun.

Suara pintu kemudian mengusik pendengaranku.

Wonwoo.

“Kamu dari mana aja? Aku Imess terus aku coba telfon nomor HP kamu gak aktif, Wonwoo..” Ia membuka jasnya, membuangnya asal dan mendarat diatas sofa.

“Besok aja ya? Aku capek banget mau mandi dulu.. Okay?” Wonwoo menangkup wajahku, mengecup ujung hidungku kemudian langsung berjalan masuk ke kamar. Dapat aku dengar suara decitan pintu kamar mandi dan suara shower yang dinyalakannya.

Aku tidak langsung tidur, aku masih menunggunya selesai bebersih di sudut kasur, menggenggam jas yang tadi sempat dilemparnya asal.

“Loh, kok belum tidur?” Rambutnya basah, dirinya yang masih memakai handuk kimono kemudian membongkar lemari, mencari piyama yang biasa dikenakannya untuk tidur.

Aku diam, sampai ketika ia selesai dan menghampiriku, berdiri diatas lututnya mengelus lututku.

“Hey? kamu kenapa belum tidur? nungguin?”

“Ini..” aku gantungkan kalimatku sejenak. “Punya siapa?”

Mata Wonwoo membulat sempurna, bergetar. Dapat aku lihat jakunnya yang bergerak naik dan turun, matanya tidak lepas dari benda yang aku pegang, sampai ketika manik matanya beralih menuju manik mataku.

“Kamu.. ketemu dimana?”

“Jas kamu.”

“Punya kamu? Mungkin tadi pagi pas aku berangkat ke kantor gak sengaja masuk ke kantong jas aku.”

“Aku..” Mataku mulai memanas, tenggorokanku tercekat. “Aku gak pernah punya lipstik merek ini karena kamu tau sendiri, kalau aku gak suka semua koleksi warnanya, dan teksturnya kalau di bibir aku. Punya siapa?”

“Kamu yakin? lipstik kamu banyak loh, masa—“

“Coba kamu lihat disana, ada gak aku punya lipstik merek ini?” Tunjukku di satu rak akrilik berisi puluhan lipstik di atas meja riasku. Dirinya diam.

“Sayang—“

“Kamu habis dari mana aja? Jujur sama aku.”

“Aku kerja. Oke, aku minta maaf kalau semisal tadi HP ku gabisa kamu hubungin. Tadi suasana kantor hectic banget jadi ak—“

“Bohong.”

“Kok bohong sih?”

“Bohong, Wonwoo.”

“Kamu tuh..” Dirinya yang tadi sempat berdiri diatas lututnya supaya bisa menatap wajahku yang menunduk kini berdiri. “Bisa gak jangan cari masalah tengah malem gini? Aku capek, aku baru pulang terus kepalaku pusing mikirin kerjaan tapi kamu malah ngajak berantem kaya gini. Tau apa coba kamu soal kerjaanku sampe bilang bilang aku bohong? Kamu ada bukti kalau aku gak di kantor hari ini?”

-When you are young, they assume you know nothing.-

“Kamu gak pernah gak ngasih aku kabar, Wonwoo.”

“Ya terus cuma gara gara aku gak ngasih kabar kamu berspekulasi yang aneh aneh, gitu?”

“Terus lipstik ini apa?!” Aku berusaha menahan suaraku untuk tidak meninggi, karena bagaimana pun, aku tidak mau Na Eun mendengarkan apa yang sedang terjadi.

“Ya mana aku tau?”

“Aku dapet ini di kantong jas kamu loh, Wonwoo.”

“Ya emang kamu gak mikir apa bisa jadi temen sekantorku gak sengaja nyenggol lipstik yang dia punya terus jatuh?”

“oh.. terus langsung masuk ke kantong jas kamu, gitu? it makes no sense.

I swear to god i don't know who owned that fucking stupid lipstick.”Dirinya menatapku dan benda yang ada di tanganku secara bergantian.

“Kamu dari mana?”

“Hah? Kantor! Aku bilang aku dari kantor, kantor, kantor!”

“Jangan bohong, Wonwoo.”

“Kapan aku pernah bohong sama kamu?”

“Kamu pikir sekarang kamu lagi ngomong jujur?”

“Emang kamu ada bukti kalau aku lagi gak ngomong jujur?”

“Oke, Wonwoo. You ask me to do this.” Disela seguk tangisanku, aku mengambil ponsel yang aku letakan di seberang kasur, mengotak atiknya kemudian menunjukan layar ponselku kedepan wajahnya. “How can you explain this?” Suaraku bergetar hebat, menunjukan sebuah foto hasil tangkapan layar dari story sebuah platform sosial media.

Wonwoo diam, ia diam seribu bahasa. Matanya kembali bergetar hebat disertai jakunnya yang bergerak naik dan turun.

“Kamu dapet ini dari mana?”

“Aku gatau apa aku yang bodoh karena dibohongin atau kalian berdua yang kurang pinter bohongin aku. But do you know, Wonwoo? Kalau restoran tempat kamu sama Yerin itu makan, selalu update story selama hampir 24 jam penuh?”

“Dan sanggupnya lagi, kamu ajak dia ke restoran tempat favorit aku, kamu dan Na Eun kalau makan, Wonwoo!!” Aku menekan telunjukku ke dadanya.

“A-aku—“

“Wonwoo kamu tau? itu cuma satu dari sekian banyak bukti yang aku punya dan simpan. Selama ini aku diam, aku tahan, karena aku gak mau Na Eun harus pisah sama Papahnya..” Aku menelan salivaku, dapat aku rasakan perih disana dan perlahan menjalar ke seluruh tubuhku.

“Dan aku juga gak mau kehilangan kamu, Wonwoo..” Lirihku, tertunduk membekap tangis.

-But I knew you'd linger like a tattoo kiss, I knew you'd haunt all of my what-ifs. The smell of smoke would hang around this long, 'Cause I knew everything when I was young.-

“Namjoon bahkan bilang bahwa hubungan kalian gak seakrab itu sampe dia harus nelfon kamu di jam jam malam, jadi.. Namjoon mana yang kamu maksud?”

You met Namjoon?

Yes, I met him after i saw that Namjoon profile pic in your phone looks different. Sekarang kamu mau jawab apa?”

“Kamu gak izin sama aku kalau mau ketemu Namjoon.”

“Buat apa? Kamu izin gak sama aku ketemu Yerin? bahkan setiap minggu kan? Enak ya, Won? main dibelakang?”

“Gak gitu perjanjian awal kita nikah.”

“Oh jadi aku harus izin sama kamu kemanapun aku mau sedangkan kamu bisa sesuka hati pergi sama siapapun tanpa aku harus tau? Gitu?!”

“Kamu bisa gak jangan naikin suara kamu kaya gitu?”

“Dari awal, apa yang kamu lakuin, aku tau, apa yang aku lakuin, kamu tau. Sesimpel itu perjanjian awal kita pas nikah, Wonwoo. Jangan berlagak seakan akan kamu korban waktu aku pergi nemuin Namjoon untuk mastiin bahwa kamu emang lagi ngelakuin hal yang gak bener.”

“OKE OKE STOP!”

“KENAPA WON? AKU KURANG APA DIMATA KAMU?!”

“Mamah? Papah?”

Kita kemudian harus berhenti ketika Na Eun muncul di ambang pintu sambil mengucek matanya dengan rambut yang berantakan.

“Aku denger berisik berisik, Mama sama Papa okay?“

Wonwoo berjalan mendekatinya. “Mama sama Papa okay kok, Nak. Kita balik bobok lagi ayo?” Ia menjatuhkan dirinya ke tubuh Wonwoo yang berjongkok agar bisa menyelaraskan diri dengan si kecil Na Eun.

“Papah, Na Eun kangen. Kok Papa pulangnya lama banget sih.”

Aku pecah, aku buang pandanganku kemudian menangis menahan suara, tidak mampu menatap pemandangan disana lebih lama.

“Iya, maafin Papah ya, kan Papah kerja buat Na Eun, jadinya pulangnya agak telat.”

“Berarti Papah kerja sekarang duit untuk Na Eun ada?”

“Ada dong.”

“Kalau gitu besok kita beli Yogurt kaya yang dibeli om Jungkook tadi sore yuk, Pah? Boleh?”

“Boleh sayang, boleh.. Besok kita pergi beli bareng ya sama Mamah juga.”

Yogurtnya buat Fieldtrip hari sabtu juga, Papah.”

“Iya, nanti kita beli satu dus ya? supaya bisa di stock dirumah juga, okay? Sekarang Na Eun bobok lagi ayo? Papah temenin.”

Dari sudut mataku, dapat aku lihat Na Eun yang mengangguk dan kembali menjatuhkan pipinya di bahu Wonwoo. Wonwoo kemudian menggendongnya, Sebelum sepenuhnya keluar dari kamar ia menatapku dan bergumam, “Stay here.” dan lagi lagi membuatku menangis.

-You drew stars around my scars, But now I'm bleedin'-

Berpuluh malam yang panjang, aku lalui dengan menghabiskan air mata. Ketika pertama kali mengetahui ada perempuan lain hadir ditengah tengah keluarga kecilku yang jauh dari kata sempurna. Tapi malam ketika akhirnya aku tau bahwa Wonwoo menyematkan rambut gadis lain kebelakang telinganya di sebuah restoran favorit ku dan Wonwoo bahkan semenjak belum menikah dulu, duniaku hancur.

Malam ketika aku harus menemani Na Eun pergi tidur, aku menahan tangis dengan tenggorokan yang perih. Menatap lamat gadis kecilku bahwa Papahnya tidak jadi cinta pertama yang bisa dia banggakannya pada dunia.

Menciumi puncak kepalanya lama, bahkan terkadang tidak sengaja menjatuhkan air mata di pipinya.

Maka atas nama Na Eun, aku menahan semua gejolak yang membara didalam sana.

Berkali kali aku ingin menyelesaikan perkara ini, entah secara baik baik ataupun dengan amarah. Namun malam kemarin, mau tidak mau, aku meledak.

Hari ini lagi lagi aku harus menahan tangis, ketika Wonwoo dan Na Eun bercanda saling tertawa seperti tidak terjadi apa apa.

Wonwoo yang mendorong troli dimana ada Na Eun dan belanjaan lain di dalamnya. Sedangkan aku yang harus menggenggam jemari Wonwoo didepan Na Eun untuk menjaga perasaannya. Untuk memberi tau bahwa Mamah dan Papah nya memang baik baik saja.

“Kamu mau makan diluar dulu?” Setelah selesai berbelanja, Wonwoo memutar stirnya keluar dari pekarangan pusat perbelanjaan.

“Aku gak laper, kamu kalau mau makan diluar gak papa aku temenin.”

“Papah aku mau McDonalds.” Na Eun bersuara dari kursi belakang.

“Kamu mau sesuatu?”

“Enggak, ke McDonalds aja.”

“Kalau McDonalds nya kita bawa pulang Na Eun mau gak?” Wonwoo menatap si kecil dari kaca spion tengah.

“Terserah aja, pokoknya Na Eun mau McDonalds.

“Kamu maunya gimana?“ Kini pandangan Wonwoo beralih kepadaku.

“Terserah.”

“Mamah sakit ya? kok dari tadi diem aja? Mamah juga gak beli kopi kaleng kesukaan Mamah, padahal biasanya kalau ketemu Mamah selalu beli.” Jelas Na Eun dari kursi belakang, sedikit menjorokkan tubuhnya agak mampu menatap wajahku.

“Enggak kok, Mamah cuma lagi gak pengen minum kopi yang itu, Sayang.”

“Mamah..”

“Iya?”

“Mamah lagi sedih ya?”

Nak, Mamah gabisa nangis kalau harus kaya gini.

-

“Bunda..”

“Halo, Nak? Kok tumben kamu telfon? Kemarin kan baru telfon?” Suara Bundaku dari ujung sana lagi lagi membuatku ingin menangis.

“Gak papa.. cuma.. Kangen aja.” Suara Ibuku mendadak hilang di ujung sana, sampai sampai aku harus mengecek ulang layar ponselku untuk memastikan bahwa sambungannya memang tidak terputus.

“Nak?” Memang belum terputus.

“Iya, Bunda?”

“Kamu gak papa kan?” Kali ini aku yang diam, menyunggingkan senyum getir dan lambat laun kini ada perih di tenggorokanku.

“Bunda..” Suaraku bergetar.

“Kamu kenapa? Hei? Kok nangis?”

“Aku mau pulang..”

Jarak tempuh antara Jakarta menuju Bandung kira kira memakan waktu paling lama 3 jam. Aku mengendarai mobil seorang diri, menitipkan Na Eun kepada Ibu Wonwoo kemudian pergi, bahkan tanpa berpamitan dengan Wonwoo.

Di pohon belakang rumah, ada ayunan gantung yang dibangun Ayah sewaktu aku kecil dulu. Aku memainkannya pelan, menyenderkan kepalaku kepada rantainya, mengawangkan pikiran.

“Nak..” Suara Bunda memecah lamunanku. “Mau cerita apa?”

“Bun.. aku pengen deh balik jadi kecil lagi, main di ayunan.” Aku tertawa.

“Hahaha, dulu Bunda inget banget, Ayah bela belain libur kerja supaya masangin Ayunan ini buat kamu.” Bunda memegang rantai nya yang sampai sekarang masih kuat menggantung di batang pohon besar belakang rumah. “Padahal ini awalnya pohonnya mau di tebang, karena kamu merengek minta dibikinin ayunan, gak jadi ditebang.” Bunda menengadah, menatap rimbun pohon.

“Ayah.. sayang banget ya sama aku, Bun..”

“Ya sayang lah, gimana sih kamu.”

“Bun..”

“Hm? Kamu mau cerita apa?”

“Ayah, sayang sama Bunda?”

“Kok kamu nanya gitu?”

“Ayah pernah nemuin perempuan lain selain Bunda gak, Bun?”

“Heehh.. kamu ini ngomong apa?” Aku diam, tidak lagi lanjut bertanya. Karena mungkin pun, pertanyaan yang aku ajukan tidak etis untuk Bunda terima.

Tapi kemudian, ia berlutut didepan lututku, mendongak sedikit menatap wajahku.

“Nak, rumah tangga mu baik baik aja, kan?”

Aku menggeleng. Aku menggeleng kemudian menangis sejadi jadinya.

“Bunda, aku salah apa ya Bun?” Kini aku ikut berlutut diatas tanah penuh rumput, memeluk wanita paruh baya yang telah melahirkanku.

Ia mengusap pundakku, dapat aku rasakan bahunya yang ikut bergetar.

“Bunda, aku mau pulang ke Ayah..” Kini, tangisan Bunda yang meraung. “Wonwoo baik, Bun. Tapi aku gak bisa nerima kesalahan yang Wonwoo buat. Aku gabisa maafin kesalahan dia dan aku gabisa kasih kesempatan lain buat dia. Tapi, aku gak mau Na Eun punya orang tua yang pisah..”

Kini ia pegang bahuku, wajahnya yang sudah mulai keriput, dipenuhi bercak air mata.

“Sejak kapan, nak?”

“Bunda.. Hampir setahun.” Bundaku menutup matanya, menarik nafas.

“Nak.. kalaupun Ayah tau ini, Ayah pasti bangga. Karena anaknya tetap menjaga nama baik keluarga, dan menjaga aib rumah tangganya sampai selama ini..”

“Nak.. Pelan pelan, apapun keputusan kamu, Bunda akan selalu ada.”

-

Secarik kertas aku serahkan ke hadapan Wonwoo.

Ia menggeleng.

“Hak asuh gak akan aku minta penuh di aku, mau kaya gimanapun Na Eun tetap harus tumbuh sama Mamah maupun Papah nya.”

Wonwoo lagi lagi menggeleng.

“Kenapa kamu gak ngomong dulu sama aku?”

“Wonwoo, kamu mau aku ngomong apa? Ngasih kamu pilihan? Emang kamu mau ninggalin Yerin?”

Sosoknya diam, menatap kertas dihadapannya.

“Gak mau kan, Wonwoo? Yaudah, jangan dibikin rumit lagi.” Lagi lagi aku sodorkan kertas surat pengajuan cerai kehadapannya.

“Enggak, aku gak bakal ngelepasin kamu dan kamu juga gak bakal ngelepasin aku.”

“Kalau gitu lepasin Yerin dan balik kesini.”

Rahang Wonwoo mengeras, dapat aku lihat dengan jelas.

“Maaf, Wonwoo. Kalau kamu ngejar dua perempuan, kamu harus kehilangan satu. Entah itu Yerin yang selalu kamu akui sebagai temen kerja kamu.. atau aku, yang bersumpah mati bakal selalu ada buat kamu di saat kamu sakit dan sehat, kaya atau miskin, dan segala kemungkinan baik maupun buruk didepan sana.”

-A friend to all is a friend to none, Chase two girls, lose the one, When you are young, they assume you know nothin'-

Wonwoo lagi lagi menggeleng, menggingit keras rahangnya, serta suara nafasnya yang menderu berat.

“Enggak, aku gak akan ngelepasin kamu” Kertas tadi diambil kasar olehnya, kemudian ia berlalu dan keluar dari rumah, membanting pintu. Suara mesin mobil menderu dan ia berlalu, entah mau kemana.

Aku meringkuk diatas kasurku, menangis membekap wajah dengan bantal. Menerka nerka dimana Wonwoo bermalam, entah pergi kerumah Ibunya, atau pergi menemui gadis yang selama ini disembunyikannya.

Namun, pukul empat pagi, suara telfon berdering nyaring memenuhi kamar, dan kutemukan nama Jungkook di layarnya.

“Kak.. Abang udah gak ada.”

-

Mobil Wonwoo hancur tidak berbentuk, tidak lagi sempurna seperti di Minggu pagi dimana dengan semangat ia mencucinya. Tidak lagi bisa aku maupun Na Eun duduki di kursi penumpangnya.

Kata pihak kepolisian, mobil Wonwoo menabrak beton pembatas jalan pukul 3 pagi, berputar sampai berkali kali hingga ringsek tidak berbentuk. Dan satu jam setelahnya, Wonwoo harus pergi.

Mobil milik Wonwoo hancur, tapi dunia milikku dua kali lebih hancur.

Langit mendung, seakan akan ia pun ikut berduka melambai pada kepergian seseorang hari ini.

Wonwoo akhirnya dipeluk bumi, tidak lagi dapat hadir disini bahkan untuk sekedar menghujamiku dengan beribu kecupan manisnya. Tidak lagi mampu membelikan putri kecilnya Yogurt kesukaannya karena eksistensi nya tak lagi mampu untuk diharapkan.

Wonwoo-ku kini hanya ukiran nisan.

Bermeter jauhnya dari pusara Wonwoo, dapat aku lihat Yerin ikut hadir. Mungkin menunggu untuk semua orang pergi, agar dia dengan leluasa meraung diatas tanah basah sebagai seseorang yang entah dengan status apa.

Jeon Jungkook, berjalan mendekatiku.

“Kak, pertama kali abang kenalin kakak dan bilang jatuh cinta sejatuh jatuhnya sama kakak, abang bilang sama aku kalau sampai mati pun abang gak akan pernah ngelepas kakak..”

“Abang.. berani sumpah sampai mati kalau mau dunia ini pun perputarannya terbalik, abang gak akan ngelepas kakak.. Dan abang pegang sumpahnya sampai abang mati, Kak..”

“Hari terakhir pun waktu abang pulang kerumah, dia tetep gak mau nandatanganin surat cerai, karena aku tau abang gak akan mampu hidup tanpa kakak walaupun kesannya abang jadi keliatan egois. Tapi kak.. cinta abang, gak hanya tertulis diatas dua buku nikah yang kalian tanda tangani atas bukti sahnya kalian sebagai suami dan istri.”

“Jadi.. Aku harap, kakak juga tetap nepatin janji kakak buat mencintai abang terus sampai mati.”

Wonwoo, aku marah. Aku marah sampai rasanya saraf di otakku hampir pecah ketika tau bahwa ada wanita lain tersisip dihatimu. Bahwa ada waktu yang kamu sisihkan bukan hanya untukku dan perempuan kecil berparas sepertimu yang sedang aku peluk ini. aku marah, tapi bukan berarti akhirnya segala perasaan yang kita bangun dan akhirnya tumbuh subur ini begitu saja menghilang di telan waktu.

“Tapi, Jung.. sampai akhir hayatnya pun, aku gak tau hati kecilnya berlabuh untuk siapa.. karena ada dua nama disana..”

Wonwoo-ku pergi, kisahku tak berujung manis seperti banyaknya angan yang aku gantungkan ke langit sana. Menua bersama, menggendong cucu dan menikmati segelas teh hangat di beranda rumah dengan tangan yang saling bertaut walaupun terlanjur keriput.

Wonwoo-ku, siapapun itu, namamu akan selalu hidup sebagai perjalanan serta perjuangan cintaku paling hebat, walaupun diakhir cerita, tersebut nama lain yang menghancurkan segala isinya.

—fin.


“I love the parts of you that i didn't own, and you owned the parts of me that you didn't love.” -Najwa Zebian.


(tw//burnout)


Mari aku deskripsikan sedikit tentang fisik Soonyoung. Tinggi, kulitnya lebih putih dari kulitku, senyum manis dan mata yang sipit. Kalau bertemu, maka punchline andalanku adalah “bukalah matamuuuuu selebar dunia ini”

Maka Soonyoung akan mulai bereaksi dalam 1..2..

“Bacot Anjing”

Yap, perangai Soonyoung.

“Rapat Rapattt!!” Teriaknya. Padahal, sesi kelas baru selesai 3 menit yang lalu.

“Rapat mulu lo, kalah noh anggota DPR.” Ini Hoseok, baru saja merapikan tasnya dan bangkit dari bangku.

“Lo.” Tunjuknya dari depan pintu menujuku yang duduk jauh disudut kelas “Ikut gue rapat atau nyawa lo melayang detik ini juga.”

“Dih, situ siapa ngatur ngatur takdir.”

“Gue General Manager Himpunan anjir, kemana aja lo selama ini?” Iya. Soonyoung adalah kepala Himpunan Mahasiswa di Teknik Geodesi.

“Udah tau, gausah koar-koar lo” Aku melewatinya yang dari tadi berdiri didepan pintu menghalangi jalan. Kemudian dapat aku dengar langkah kakinya ikut dibelakangku.

“Btw, lo laper gak sih?” Kini langkah kami berselaras.

Aku menggeleng.

“Gua laper.”

“Derita lo.”

“Bisa gak, lo jadi seorang teman yang sedikitnya membantu teman lo ini yang lagi kesusahan?”

“Kenapa? Lo mau minjem duit?”

“Ga begitu, bangsat

“Ya terus apa dong? Kalau ngomong yang jelas jangan ngang-ngong ngang-ngong mulu, Soonyoung”

“Gue lagi pengen ayam geprek, lesgo” Tanpa aba aba, ia menggenggam pergelangan tanganku, ingin menariknya namun aku tahan.

“lesga lesgo. Katanya rapat?”

“Ntar aja itu mah, paling juga ngaret”

“Lo gimana sih, gimana anak anak lo yang lain bisa ngikut sama apa kata lo kalau lo aja masih sepele sama urusan kaya gini? Gabisa Soonyoung. Jam 5, lo sebagai ketua himpunan harus sampe di sekretariat hima bahkan sebelum jam 5.”

Soonyoung memutar bola matanya malas.

“Iye iyee, yaudah ntar selesai rapat aja.”

“Lo masih mau nunggu Hoseok apa gue duluan?” Tanyaku.

“Ya bareng lo lah, yok.”

Gedung fakultas tempat diadakannya kelas tadi dan sekretariat hima letaknya agak jauh. Jadi aku dan Soonyoung masih harus berjalan melewati kantin fakultas, parkiran, gedung seminar, koridor gedung lain dan diujung sana didekat lapangan futsal, sekretariat hima Geodesi terletak.

Ruangannya cukup besar untuk menampung paling banyak sekitar 40-an orang, mengingat anggota himpunan mahasiswa Geodesi berjumlah sekitar 30-an. Yap, sangat sedikit dibandingkan anggota himpunan mahasiswa lain di fakultas Teknik.

Soonyoung kemudian mengambil tempat duduk di paling depan, selagi menunggu anggota himpunan lain untuk datang.

“Seok Seok, tutup pintu. Ntar AC nya gak terasa” Ucap Soonyoung sesaat Hoseok datang ke ruangan sekretariat.

“Rapat apalagi hari ini?” Hoseok melempar tasnya ke atas meja dan membanting tubuhnya malas diatas kursi.

“Sabaran kek, ntar 5 menit lagi kita mulai”

Memang kebiasaan orang lokal, rapat kali ini dimulai 20 menit lebih lama dibandingkan apa yang dijanjikan Soonyoung 15 menit yang lalu. Kini ruangan sekretariat sudah terisi kurang lebih 80% dari seluruh anggota himpunan Geodesi.

“Halo selamat sore menuju malam temen temen semua.” Soonyoung membuka rapat. “Makasih banyak buat yang udah nyempetin buat hadir sekarang ini, jadi gue disini mau ngabarin kalau di akhir periode kepengurusan Himpunan, bakal ada rapat pleno akhir periode. Nah, gue berharap banget untuk semua anggota himpunan buat hadir supaya kita semua tau proker apa aja yang udah terlaksana dari setiap departemen dan evaluasi untuk perkembangan proker menuju Himpunan yang lebih baik.”

“Rapat kali ini bakal bahas laporan apa aja yang bakal disiapin, bentuk mentah dan matangnya kaya gimana, sistemnya ntar gimana, tanggalnya juga belom gue tembak soalnya harus ada persetujuan dari kalian semua. Intinya, kita bakal bahas sampe bersih untuk persiapan rapat pleno akhir periode ini”

Kalian percaya itu Soonyoung yang barusan suka melempar kata kata kasar? Tidak kan? Kalau aku percaya, dan bangga. Menurutku, Soonyoung keren, profesional, dan reputasinya terpandang. Bukan hanya anak anak jurusan Geodesi, tapi karena relasinya yang luas, coba tanya anak anak fakultas teknik, terutama yang berkecimpung di dunia organisasi, nama Soonyoung, menggema dimana mana.

Mau tau apa keren nya lagi? Dia adalah teman yang berselaras denganku.

Kadang aku sering berfikir, ada hal keren lagi yang harusnya patut aku banggakan. Aku bekerja di dalam departemen dibawah tanggung jawabnya, intinya, aku harus melewati bertahap-tahap jabatan untuk bertemu dengan si Soonyoung Kepala Manajer Himpunan Mahasiswa Geodesi itu. Tapi diluar masalah himpunan, dia adalah temanku, sahabatku, orang aneh di pukul 11 malam dan mengajakku mencari makan, orang yang secara tiba tiba menelfonku dengan alasan ‘gua gabut anjing’, dia yang tiba tiba mengajakku main kesana dan kesini, dia yang secara lempeng aku mintai tolong ‘jemput gua dong, ujan nih’. Soonyoung, dan aku, kami.

Kalau dipikir pikir, rasanya hidupku seperti alur cerita novel remaja, tapi itu terlalu fiksi dan basi.

Dari sini, dari tempat aku duduk, aku bisa melihat bagaimana sosoknya berbicara kepada para bawahannya, sangat profesional. Kadang aku suka bertanya, Soonyoung itu, punya masalah kejiwaan ya? Kenapa aku merasa bahwa dia memiliki kepribadian ganda? Coba lihat, itu bukan Soonyoung yang mengajakku makan Ayam Geprek tadi kan?

“Woi!” Seulgi, mengejutkanku. “Bengong lo”

“Gi, jantung gue terbang ke langit”

“Hahahah, coba kasih tau gue tadi Soonyoung bilang apa soal pelaporan proker?”

Mampus.

“Kan, mikirin Soonyoung mulu lo”

“Gak gitu, gue laper jadi gak fokus”

“Bohong! lo kalau laper tuh tangannya tremor, itu gue liat baik baik aja”

“Ah udah deh, apa yang harus gue kerjakan nih?” Seulgi, atau biasa aku panggil Egi, adalah kepala Departemen ku di Research and Education, aku berada dibawah naungan tanggung jawabnya sebelum ke Soonyoung yang posisinya ada di paling atas.

“Nih, kasih perincian dana yang turun dari fakultas buat Entrepreneur Festival kemaren, kan lo bendaharanya.”

“Aduh, surat pertanggung jawabannya belum kelar”

“Yaelah, revisi lagi?” Aku mengangguk. “Dananya belum pada keluar semua berarti?” Sambungnya.

“Udah sih, cuman total cairnya belum tau berapa”

“Yaudah samain aja sama dana perkiraan di surat pertanggung jawaban”

“Terus lampiran buktinya gimana? Kan belum ditanda tangani Kepala Prodi.”

“Lo bisa gerak cepet gak?”

“Gi, gua panas panasan bolak balik fotokopian, fakultas, fotokopian, fakultas, tetep aja salah.”

“Besok? Gimana?”

“Ntar deh gue ketemuin Kepala Prodi dulu.”

“Secepatnya loh ya, ini dua minggu lagi rapat pleno akhir periode nya.”

“Hah? Dua minggu?”

“Kan, otaklo kemana aja sih daritadi?”

“Serius?”

“Kalau lo gabisa ngejar dua minggu, nego noh sama kepala himpunan, kali aja bisa.”

“Lo kira gua siapa, Gi” Seulgi terkikik kecil.

“Alah, se—himpunan juga tau.”

“Tau apa?”

“Tau deh apaaann” Seulgi kemudian bangkit dari duduknya dan pergi menuju Soonyoung, membawa beberapa lembar kertas hasil laporan mentah departemen dibawah tanggung jawabnya.

Memangnya apa?

-

Rapat selesai menjelang pukul 7 malam, semua anak anak himpunan satu persatu pamit dan meninggalkan sekretariat hima Geodesi, meninggalkan Soonyoung yang menjadi orang terakhir yang membersihkan ruangan. Mengangkat kursi keatas meja, membuang sampah, mematikan lampu dan mengunci ruangan.

“Gue balik duluan apa lo mau m—”

“Iya gue mau makan, lesgo” Ia menarik tanganku. Selama kembali menuju gedung fakultas sebelumnya, ia terus menggandeng pergelangan tanganku. Melewati koridor gedung, kantin fakultas lagi, dan sampai di parkiran.

“Lo gausah motoran, pake motor gua. Gaasik bawa motor sendiri sendiri.”

“Lah terus ini motor gua gimana?”

“Ntar gue anterin kesini lagi, habis itu baru kita pulang” Soonyoung naik ke motornya. “Lagian fakultas masih terang, ada anak anak jam kelas malam kok, tenang aja lo. Ntar lo sekalian gue anter sampe ke lampu merah persimpangan kedua sebelum rumah lo.”

“Ngapain anjir? Ada juga lo jauh muter sebelum pulang kerumah”

“Gak papa, hobi gua adalah keliling keliling kota bukan pake becak, becak, tolong bawa saya.”

“Hah? Jokes lo setingkat bokap gua anjir. Bingung, ga lucu”

“Yaelah, namanya juga usaha gimana sih. Hargain kek.”

“Jadi ni gimana?”

“Yaudah ayo naik. Nunggu apa lagi? Nunggu naik haji? Itu juga kalau mampu.”

“Pea lo” Aku menoyor kepalanya. “Helm lo pake”

“Ogah”

“Pake, Soonyoung”

“Ntar gua kaga denger lo ngoceh apaan.”

“Bacot, pake ga?”

“Kaga. Udah ayo cepetan sebelum gue mati kelaparan.”

“Kalo kita mati berdua, lo tanggung jawab diakhirat sana.”

“Tanggung jawab apaan, emang gua ngehamilin lo?”

“Plis, kok bisa sih lo jadi Kepala Manajer Himpunan?”

“auk deh, nyogok kali gue”

-

Bermenit aku dan Soonyoung menunggu makanan yang kami pesan, berbincang kecil dan terbahak sampai sampai warung makan yang kami datangi dipenuhi oleh suara aku dan dirinya.

“Lo..” Soonyoung menelan makanannya agak susah payah. “Selesai wisuda langsung kerja apa S2?”

Aku berfikir sejenak. “Sebenernya tuh bingung, kalau gue S2 tapi belum dapet kerja ya sama aja. Tapi gue pengen S2.”

“Dimana?”

Kalau aku boleh jujur, aku mau ke Jerman, Soonyoung. ada banyak mimpi yang aku gantung di sana.

“Ada..” Balasku, belum mau secara terbuka berbicara soal mimpi itu.

“Gue juga pengen S2.”

“Oh ya? Kemana?”

“Jerman..” Pernyataan Soonyoung barusan membuatku berhenti mengunyah barang sebentar, kemudian menyunggingkan senyum kecil dan tertawa.

“Woilah, lo kira Jerman di Kokas kali ya.” Dirinya pun ikut tertawa.

“Gue mau mencapai cita cita seseorang sih.”

Aku terdiam, memangnya.. Aku udah pernah cerita ya, Soonyoung?

Dari sini aku bisa melihat bagaimana sudut bibirnya yang terangkat kecil ketika mengunyah, bagaimana matanya yang sipit tidak bisa berbohong kalau ia sedang berbunga-bunga ketika membahas itu.

Apa yang anggota himpunan tau? Soal aku dan Soonyoung? Teman kan? Soonyoung, kita itu.. Teman kan? Tapi.. Kalau aku berharap sedikit lebih banyak, semesta merestui kita tidak, ya?

“Rapat Pleno akhir periode nanti..” Ia lagi-lagi sedikit susah payah menelan makanannya. “Lo wajib ngomong.”

“Emang gabisa Egi aja yang ngomong semua hasil proker yang terlaksana?”

“Berbuih dah tu mulut” Soonyoung menegak segelas air putih yang tadi sempat aku tuangkan untuknya. “Proker departemen lo banyak banget woi, kasian Egi.”

“Yaudah iya santai, ngomong doang kan?”

“Enggak, entar gue tanya terus lo jawab. Habis itu kita cerdas cermat.”

“Hah?”

“Ahela.. Gajadi lucu dah.”

“Lagian jokes lo gak nyampe di otak gue, Soonyoung. Lo tuh kalau ngejokes ga becus.”

“Iyadah emang gue jadi kepala himpunan doang becusnya.”

“Jan ampe ni meja gue jungkir balikin ya, Soonyoung”

“Jangan dulu, ni ayam geprek gue dikit lagi. Sayang.. Mubazir” Aku memijit pelipisku dan menggeleng, menatap Soonyoung yang masih lahap makan dihadapanku.

5 menit sempat sunyi, aku dan dirinya yang sibuk mengunyah dan fokus mengisi perut yang kelaparan semenjak berjam yang lalu. Sampai Ketika Soonyoung menghela nafas dan menyenderkan punggungnya ke kepala kursi.

“Kenyang banget.”

By the way, kita udah kenal berapa lama sih?” Sahutku secara impulsif dan mengundang kerutan di alis Soonyoung. Dirinya mengawangkan pandangan, berfikir.

“Yang waktu lo mau bunuh diri itu bukan sih? Udah berapa lama ya?”

“Anjir gak bunuh diri, Soonyoung”

“Yaa.. gue kira mau bunuh diri”

Awal jadi mahasiswa baru, aku adalah yang ambisius. Dari mulai ikut Himpunan Mahasiswa, BEM, panitia bagian Pemilu untuk cakupan seluruh Universitas dan juga bagian dari Dewan Mahasiswa atau orang-orang suka menyebutnya dengan DeMa. Soonyoung pun begitu, mungkin lebih? Disertai event diluar kampus yang diikutinya.

Intinya, disetiap acara pasti akan aku lihat batang hidung Soonyoung dimana mana.

Jadi kalau sebenarnya ditanya sudah berapa lama kenal, dari awal masuk ke Geodesi pun aku sudah mengenal dirinya. Kwon Soonyoung.

Namun, ada sebuah hubungan pertemanan yang lebih intens setelah hari dimana Soonyoung menemukanku berdiri dibalik balkon lantai 8 gedung fakultas, pukul 9 menuju 10 di malam hari.

Semua berawal dari faktor kekacauan dan miskomunikasi sering terjadi didalam organisasi maupun event, dan itu adalah sesuatu yang wajar. Yang tidak wajar adalah bagaimana aku menahan segalanya serta tidak memberikan diri sebuah ruang untuk beristirahat.

Malam itu di Gedung fakultas dimana orang orang terus berargumentasi dan tidak memperbolehkan seluruh anggotanya untuk pulang sampai kekacauan acara yang akan berlangsung besok menemukan titik terangnya, maka aku yang sudah tidak mampu menahan segalanya izin untuk pergi ke toilet.

Padahal aku berjalan menuju lift dan naik ke lantai paling puncak salah satu Gedung paling tinggi di fakultas.

Pencahayaan dilantai 8 saat itu hanya lampu lampu yang berasal dari Gedung lain, maka aku terduduk diatas lututku, menggigit lengan bajuku agar tidak berteriak dan menyakiti diriku sendiri. Memukul dinding, memukul kepalaku, tubuhku. Bahwa aku lelah, aku letih dan aku butuh ketenangan barang sebentar setelah 4 bulan lebih setiap harinya tidak memiliki waktu istirahat yang baik.

Maka aku pecah dalam tangisanku.

Niatku pada malam itu hanya untuk mencari udara dengan berdiri di balik balkon, sesekali masih terisak. Sampai ketika tangan seseorang menarikku hingga membuatku terjatuh ke lantai.

Dirinya tiba tiba menangkup wajahku. “L-l-lo, kesurupan, ya?” Soonyoung, bola matanya bergetar.

Di pipiku, dapat aku rasakan telapak tangannya yang dingin. Aku tertawa, dan semakin membuat air wajah Soonyoung ketakutan.

“Sumpah g-gue gatau harus ngapain. Gue gak hafal ayat kursi. L-lo tungguin gue panggil anak-anak tapi lo jangan loncat, ya?” Lagi lagi aku tertawa, sampai harus memegang perutku.

“Gue gak kesurupan, Soonyoung.” Ekspresinya berubah. Terdiam agak lama dan masih menatap wajahku.

“Serius anjir? Ngaco lo ya?” Kali ini, dia memukul pipinya. “Gue ngomong sama lo apa sama setan yang ada didalem badan lo sih?”

“Sama gue.” Lagi lagi, ia berlutut, mengangkup pipiku dan menginvestigasi seluruh sudut yang ada di wajahku.

“Lo.. gak papa?” Aku yang bodoh. Padahal berdetik yang lalu aku tertawa dengan seluruh tingkah serta raut wajah Soonyoung yang lucu, tapi ketika di tanya hal semacam itu, ada perih di sekujur tubuhku.

Aku tatap wajahnya, kemudian menggeleng dan kembali menangis.

Untuk pertama kalinya semenjak aku tau sosok Kwon Soonyoung, malam itu dia menarikku dalam pelukannya. Membiarkan aku membekap wajah dan membasahi kemeja flannelnya, dan dengan ritme yang pelan terus menepuk pundakku, sesekali mengelusnya.

Di lantai 8 gedung fakultas yang bahkan remang tanpa pencahayaan, hanya ada suaraku yang meraung dan menggema. Soonyoung, juga ikut menjatuhkan kepalanya ke puncak kepalaku.

“Kita semua capek, kok. tapi gak papa, capek lo kali ini, gue hadiahin peluk yang gue sendiri gak tau apa bisa bikin perasaan lo jadi membaik. tapi, semoga membaik.”

Malam itu, aku akhirnya beristirahat, dalam rengkuh hangat pelukan seorang Kwon Soonyoung yang saat itu hanya sepenggal namanya yang menggema di telingaku. Tapi, keadaan jadi lebih membaik, bahkan sampai detik ini.

“Tapi muka lo pas itu asli lucu banget” Aku tertawa, Soonyoung pun disana.

“Gua takut banget asli dah, mana pas malem itu gedung lagi sepi sepinya.”

“Tapi kok lo bisa disana sih?” Aku menegak es teh manisku.

“Gue ngeliat lo beloknya ngelenceng, gue kira lo mau cabut duluan. Rencananya sih mau gue ciduk, eh tau tau malah mau bunuh diri”

“Dibilang bukan mau bunuh diri, gimana sih.”

“Tapi, lo udah gak papa kan?” Pertanyaan Soonyoung membuatku tersenyum, mengangguk.

“Kata psikiater gue, kalau mau nangis ya nangis aja, jangan ditahan”

“Lagian lo sih, nangis pake acara ditahan.”

“Bukan kemauan gue, Soonyoung. Kadang ada masanya gue tuh yang sedih banget tapi gak bisa nangis. Akhirnya kekumpul terus ujung ujungnya jadi—”

Burnout.

Burnout.” Jelasku sekali lagi.

Aku bahkan masih ingat sampai sekarang, setelah kejadian malam itu Soonyoung secara berkala selalu menanyakan kabarku. Dan sesekali, sering mengajakku melakukan ‘little escape’ dan membawaku ke tempat tempat yang bahkan aku sendiri tidak tau bahwa tempat itu ada.

“Makasih ya, Soonyoung.”

“Dih apaan sih anjir merinding gue”

“Makasih karena kalau malam itu gaada lo, kali aja gue beneran mau loncat.”

Mungkin, itu juga salah satu fakta baru yang akhirnya diketahui Soonyoung malam ini. Keadaan dimana pikiranku tidak mampu berfikir lurus malam itu di lantai 8 gedung paling tinggi di fakultas. Rasanya, kalau tidak ada Soonyoung, mungkin angin malam kala itu mampu membuatku terbang, sampai langit ke-7.

-

Bukannya mengantarku kembali ke fakultas untuk mengambil motor dan pulang, Soonyoung mengajakku sedikit berkeliling kota yang sepenuhnya sudah reda dari sibuk hiruk pikuk masyarakat pada jam jam aktif, malam ini, jalanan lebih senggang.

“Lo tau gak..” Soonyoung sedikit berteriak.

“Apa?”

“Persamaan tukang jualan bakso sama tukang jualan sate?”

“Sama sama jualan?”

“Salah”

“Sama sama pedagang?”

“Yee, apa bedanya sama jawaban lo yang sebelumnya?”

“Gatau gue, males mikir”

“Sama sama gak jualan nasi goreng” Dapat aku lihat bahunya bergetar, menandakan bahwa dia tertawa. “Gak lucu ya?” Tanyanya.

“Enggak.” Kata gue.

“Yaudah, kalau gitu gue tanya serius deh”

“Apa?”

“Kalau orang yang lo suka nyatain perasaannya sama lo, lo bakal gimana reaksinya?”

“Seneng?”

“Udah gitu aja?”

“Ya terus apalagi? Maksudnya ya seneng, Soonyoung, kalau ternyata orang yang gue harapin juga mengharapkan gue, gitu..”

“Hmmm.. terus misal nih ya, misal. Kalau orang yang lo suka ngajakin lo makan, terus lo mau, berarti itu tandanya lo suka juga gak?”

“Ya suka juga gak sih?”

“Gatau, kan gue nanyain lo.”

“Suka kali, Soonyoung”

“Oke”

“Hah? Oke?”

“Lo tau gak?” Aku memutar bola mataku sedikit malas karena lagi lagi dia bertanya.

“Apa lagi?”

“Kata kiasan ‘bulan malam ini indah?’”

“Tau”

“Romantis gak menurut lo?”

“Hmm, romantis sih. Soalnya ngungkapinnya secara gak langsung gitu. Bikin orang penasaran, hahaha.” Dari kaca spion motor Soonyoung, dapat aku lihat ujung bibirnya yang sedikit terangkat.

Soonyoung itu lagi jatuh cinta ya?

Aku bahagia, melihat bagaimana senyum tipis diwajahnya terukir. Membentuk ¼ lingkaran, tidak sepenuhnya setengah, tapi tetap indah. Tapi bagaimana bisa ya, seperempat itu menunjukan bahwa dirinya sedang bahagia bahagianya?

Matanya, cara ia tertawa dan sedikit menunduk, gelagatnya. Semesta, kalau cerita magis di novel remaja itu ada di dunia nyata, aku boleh tidak ya, jadi alasan di baliknya?

-

Rapat Pleno akhir periode di laksanakan di meeting room gedung seminar fakultas teknik. Sekiranya ada sekitar 30 mahasiswa dibawah naungan himpunan yang hadir pagi itu.

Acaranya berjalan sebagaimana seharusnya, aku di departemenku dengan baik menjelaskan soal prokerku. Permasalahan yang aku hadapi, mulai dari dana yang susah cair, sampai membuat janji dengan kepala prodi yang super sibuk.

“Mungkin buat pencairan dana itu bisa di follup lebih duluan, apalagi kemarin selesainya beberapa hari sebelum rapat ini kan?” Soonyoung bertanya, duduk tengah sebagai pemandu rapat pagi ini. Aku mengangguk kemudian sebagai jawaban.

“Revisi itu suatu hal yang wajar, tapi menurutku lebih baik pakai acuan dari laporan pertanggung jawaban yang udah di sah kan dari dekan, kepala prodi yang tahun lalu supaya jelas dan gak perlu revisi berulang kali. Udah segitu aja, makasih.” Soonyoung menjauhkan micnya setelah mengevaluasi hasil pelaksanaan proker yang aku pertanggung jawabkan. Lagi lagi, sebagai jawaban aku mengangguk.

Selanjutnya, pemimpin rapat mempersilahkan kepala departemen Public Relation yang berada di tangan Irene, primadona kampus yang namanya selalu di elu-elu kan.

“Iren, bisa langsung aja.” Iren kemudian menjelaskan secara detail apa apa saja proker yang telah terlaksana, dan semua mata, telinga, tertuju padanya.

Sudut pandang mataku menatap Soonyoung, tarikan senyum kecilnya, cahaya matanya, lekukan matanya, gelagatnya,semuanya, seakan akan menunjukan kalau dia... sedang jatuh cinta.

Semakin lama aku menatap sosoknya, menatap orang lain yang juga menatap Irene, perlahan, ada benang kusut yang kini mulai terurai.

“Lo tau gak, temen lo tadi malam aneh banget?” Egi berbisik disebelahku ditengah rapat yang sedang berjalan.

“Siapa?”

“Ya siapa lagi, tuh!” Tunjuknya pada Soonyoung.

“Iren cerita, masa tiba tiba Soonyoung nelfon tengah malem terus bilang ‘Ren, coba deh lihat, bulan malam ini tuh lagi cantik cantiknya’ terus dimatiin. Padahal, pas itu lagi gaada bulan.” Egi tertawa menggeleng.

Benang kusut lainnya,

Egi lagi lagi mendekat, berbisik “Terus, kan Iren mau lanjut S2 di Jerman, terus Soonyoung ngajuin surat rekomendasi ke kepala prodi. Daftar beasiswanya juga ke Jerman. Tapi gue yakin lo pasti tau lah kan yang ini?” Aku mengangguk, terpatah patah.

“I-iya, tau kok gue, Gi.”

“Yang kocaknya tau ga apaan?” Seulgi menutup mulutnya sedikit, terkikik. “Kemaren si Iren iya iya aja diajakin Soonyoung makan di kantin fakultas Ekonomi. Hahaha. Plis ya, seumur umur gue temenan sama Iren, dia gak pernah mau memijakkan kaki di fakultas ekonomi, aneh banget sama Soonyoung malah mau.”

Lagi, lagi dan lagi. Sebuah benang lainnya.

2 jam, akhirnya rapat Pleno akhir periode selesai. Semuanya merapikan barang bawaan dan bersiap untuk kembali.

“Gi, gue mau nanya.” Seulgi mengangguk, bersiap mendengar pertanyaanku.

“Yang waktu itu lo bilang ‘se-himpunan juga tau’ soal gue sama Soonyoung, maksudnya?”

“Oh.. Yaa se-himpunan juga tau kalo lo satu satunya temen Soonyoung yang dia gak bakal tega gak nurutin apa mau lo. Soonyoung kok yang bilang sendiri, karena katanya apa yang lo bilang dan saranin itu tuh realistis, jadi bantu dia banget buat buka pikiran. Emang lo kira apa?”

“Hahaha, ya sama sih. Gue cuma mau memastikan aja.”

“Oalah, gue kira apaan deh. Yaudah, gue balik duluan ya. Lo hati hati baliknya.” Aku mengacungkan jempol, kemudian melihat Seulgi yang berlalu dan keluar dari pintu.

Satu persatu anggota himpunan juga mulai meninggalkan ruangan, sampai tersisa hanya aku dan Soonyoung.

“Gak mau balik? Apa lo yang rapiin nih meeting room?”

“Soonyoung..” Panggilku.

“Hah? Apaan dah.”

“Kalau orang yang lo gak suka ngungkapin perasaannya, lo bakal apa?”

Soonyoung diam sejenak, mencerna pertanyaanku, mengerutkan alisnya.

“Orang yang gue benci, gitu? Tiba tiba confess?”

Aku menggeleng, “Orang yang lo sama sekali gaada perasaan.. I mean, suka?” Soonyoung berhenti melakukan aktivitasnya, berdiam dan menatap lurus kearahku.

“Ya.. Gue bakal bilang makasih.. Terus maaf.”

“Maaf kenapa?”

“Ya maaf karena gue gabisa suka sama dia.. Lo kenapa sih kok tiba tib—”

“Kalau gitu.. minta maaf sama gue, Soonyoung.”

“Hah?”

“Minta maaf.”

“Kenapa gue harus min..” Kalimatnya, dirinya sendiri yang redakan. Mungkin menjadi pertanda bahwa benang kusut dikepalanya terurai dengan sempurna. Aku diam, menatap sosoknya yang terdiam diatas pijakannya sendiri.

Aku lupa, sudah berapa lama aku mengenal Soonyoung, aku kira aku akan paham sepenuhnya dengan makna dibalik gelagatnya, cahaya matanya, naikan kecil sudut bibirnya, air wajahnya, segalanya. Tapi nyatanya, Soonyoung selalu abu, tidak berwarna, tidak hitam, tidak putih.

“Makasih..” Cicitnya kemudian. “.. dan maaf.”

Aku meninggalkan meeting room, melangkahi koridor gedung seminar fakultas dengan sesak didada, tenggorokan yang tercekat, mata yang panas dan perih.

Ini salah, aku harusnya bahagia untuk apapun keputusan Soonyoung sendiri. Tapi mendengar jawaban valid dari mulutnya, tetap saja menghujam jantungku. Bahwa ternyata, bukan aku yang jadi alasan dibalik tarikan kecil sudut bibirnya, bukan aku yang jadi alasan dibalik raut wajah bahagianya, bukan aku dan bukan aku. Aku, dijatuhkan oleh harapan yang aku bangun sendiri.

Cerita magis di dalam novel remaja adalah sepenuhnya fiksi, dan bodohnya, aku mengharapkan bahwa hal basi itu ada di dunia nyata. Dan yang lebih bodohnya lagi, aku berharap ada langkah kaki kecil yang mengejarku di sepanjang lorong ini.

Soonyoung selalu jadi orang yang mampu membuatku menangis dan meraung ketika aku tidak mampu meluapkan emosiku sendiri. Selalu ada kata dan kalimat yang dirinya lemparkan sehingga membuat hatiku perih dan akhirnya bulir bulir air mata itu jatuh.

Seperti hari ini, Soonyoung yang kembali mampu membuat ulu hatiku kembali perih, dan menghasilkan bulir bulir air mata yang membangun sungai kecil di pipiku.

Kalau dulu ada jemarinya yang membantuku mengusapnya, maka hari ini, jemariku yang akan menyelesaikan segalanya. Soal perasaan ini, soal garis pertemanan ini, dan soal hubungan lainnya.

—fin

hi! it’s kittenpalm speaking!

Sebelumnya dan sejujurnya aku gak pernah nyangka bahwa tulisanku ini akhirnya bisa sampai sejauh ini dan selalu mendapat respon positif, untuk itu terimakasih banyak.

Karena perjalanan kita udah panjang, sesuai judulnya, “..dan pulang” We are heading home. Hari ini kita istirahat dan rehat setelah berbagai kejadian naik dan turun dalam tiap alurnya.

Terimakasih sudah mau mencintai Mingyu, Wonwoo dan ‘Aku’ serta karakter pendukung lainnya. Beribu terimakasih juga gak akan cukup aku sampaikan buat kalian semua.

Jadi, sampai jumpa di cerita lain. Semoga kalian akan terus mencintai setiap karakter yang aku buat dan akan terus mencintai tulisan amatir user kittenpalm ini.

send all of you a big virtual hug.

with love, youngies.

and happy valentines day! may you all get enough love🥰❤️

Bagian Barat Los Angeles, California, Amerika Serikat. Kota Malibu.

Rambut Mingyu menyeruak bak singa yang baru saja terbangun dari tidurnya, dan oh ya, Mingyu pun sama, baru bangkit dari mimpinya.

Bermodalkan kaos oblong dan celana ponggol, ia berjalan kedapur, membuka kulkas dan menegak sebotol air mineral dingin. Nyawanya masih belum sepenuhnya terkumpul.

Dari sekat kaca bening di rumah barunya, ia dapat melihat bagaimana deburan ombak terus datang dan pergi dari sisi pantai, pemandangan yang selalu Mingyu elu-elu kan semenjak dulu.

Selagi Matahari belum berdiri dipuncak kepala, Mingyu mengganti pakaiannya, hanya menyikat giginya serta mencuci wajahnya asal kemudian mengajak anak anjingnya berolahraga kecil, namanya Mickey.

Diatas pasir pantai, Frisbee berwarna kuning berada ditangan kanan Mingyu, berkali kali ia lempar dan dengan sigap Mikey menangkapnya dan membawanya kembali ke tangan Mingyu. Begitu terus, sampai beberapa anak kecil mulai mengerumuni Mickey.

“Namanya siapa?” Seorang anak lelaki mengelus kepalanya.

“Mickey”

Ew, sounds like a mouse.

You named your mouse with Mickey?

No, it’s Mickey Mouse. You don’t know?

“Oh. Didn't think about that.” Jawab Mingyu, mengusap tekuknya. “What’s your name?” Mingyu menanyai satu dari 3 anak yang ada dihadapannya.

“Jake, he is Niki and she..” Ia menunjuk satu anak kecil perempuan, “She is Wan.”

“Wan?”

“Sebenernya nama aku tuh jelek, jadi aku maunya dipanggil Wan aja”

“Memangnya nama kamu siapa?”

“Seung Wan” Mingyu terpaku. Ia tersenyum getir dengan matanya yang mendadak panas.

It’s like my wife's name, it is such a pretty name you know? Gak jelek sama sekali, kok. ” Mingyu mengelus puncak kepalanya.

Is she pretty?

The prettiest girl I’ve ever seen.

Then, where is she?” Mingyu menyunggingkan senyum, berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan 3 orang anak kecil ini.

Dirinya sedikit berfikir sebelum menjawab pertanyaan si gadis kecil. “Hmm.. She’s at home.

Making you a tea?” Si gadis bersuara dengan tertawa kecil.

Yes, making me a tea.

Well, then we should come to your home to drink some cup of tea.” Anak laki laki yang memperkenalkan diri dengan nama Jake tadi berseru.

“Hm.. not today, I guess.

Whyyyy?” Gadis kecil Seung Wan merengek.

Hm.. she is kind a bit sick. So sorry.

Next time when we meet again, we’ll drink your wife’s tea, Mr..?” Yang ditunjuk Niki tadi mengerutkan alisnya, bertanya.

“Kim. It’s Kim”

“Oke, Mr. Kim. We’ll see you next time! Bye.” Setelah dua anak lelaki tadi berlalu, si gadis mendekatkan bibirnya ke telinga Mingyu, berbisik.

Am I pretty like your wife, Mr. Kim?”

Of course you are, Seung Wan”

“Kalau gitu, aku titip salam buat dia ya, nanti kapan kapan, aku harus ketemu dia.”

Yes, of course, lil girl” Mingyu mengelus puncak kepalanya. Ia kemudian melambai, memanggil kedua temannya yang sudah meninggalkan dirinya sampai keujung sana.

-

Berjalan di pinggir pantai pada malam hari tidak terlalu buruk, mungkin itu yang ada di kepala Mingyu ketika sandalnya memijak pasir pantai serta deburan ombak yang samar samar didengarnya, karna lubang telinga yang tersumpal oleh Airpods.

Lord Huron, The Night we Met, mengalun di sana.

Mingyu sama sekali tidak habis pikir dengan agenda nya pada malam ini, mungkin se-simpel, mencari udara segar dimalam hari.

Kedua tangannya ia simpan didalam kantong celana, surainya jadi acak-acakan tertiup angin dan terkadang tubuh besarnya sedikit oleng karena pasir yang di injaknya.

Ia berhenti di satu titik, ketika matanya menangkap siluet dari kejauhan yang tubuhnya sudah hampir setengah dimakan air pantai. Jantungnya berdegup kencang, mengira bahwa dirinya mungkin memiliki indra yang tidak semua orang miliki. Tapi, ketakutan itu langsung tertepis ketika sosok siluet itu melempar sepuntung rokok ke tengah pantai sana, kemudian mundur kembali ke garis pantai dengan baju yang sudah setengah basah.

“Aku kira aku ngeliat hantu” Sosok siluet tadi menoleh ketika Mingyu mendekat di sebelahnya, menggeser sedikit poninya yang hampir menutupi mata. Seorang gadis dengan rambut dikucir, walaupun kucirannya sudah sedikit melorot, dan poni yang menutupi dahinya.

“Ada ya, orang malam malam gini main ke pantai?”

No. Rumahku disekitar sini” Tunjuk Mingyu keujung dari arah ia datang.

I smell money.” Mingyu terkekeh mendengar pernyataan si gadis.

And you, what did you do? You are half soaked

Just..” Si gadis menggantungkan kalimatnya.

Just?

Dunno.. I just don’t know” Ia melipat tangannya didepan dada, menunduk.

Kemudian hening, yang didengar keduanya hanya suara angin pantai serta ombak yang sekali kali menyapu kaki mereka.

My dad passed away this morning.” Si gadis mulai berbicara, membuat Mingyu menoleh. “Maybe it is not a big deal to you to know, because we’ll never meet again.” Perempuan itu mengangkat bahunya tinggi.

Sorry, about your father.

It’s okay.

“Terus kamu ngapain disini? Maksudnya, lagi berduka, kan?”

“Abunya dibuang kesini” Mingyu sedikit terpatung, kemudian paham dan mengangguk kecil. “I miss him. Seumur-umur aku hidup, aku gak pernah ngerasa se-rindu ini sama dia.”

“Aku gak mau bikin kamu tambah sedih, tapi kadang presensi seseorang jauh lebih berharga ketika orang itu udah gak ada. Bahkan sangking rindunya, you don’t want the people you missed to do a things, just as simple as existing right in front of your eyes, and that’s enough. Am I right?

Si Gadis tersenyum. “It seems like you had been through a rollercoaster in your life.” Mingyu mengangkat bahunya, menengadah kemudian, ikut melipat tangannya didepan dada, membuang nafasnya pelan.

I lost my dad when I was in high school..” Mingyu menyunggingkan senyum disudut bibirnya, mengingat kenangan pahit ketika ia masih bersekolah dulu. Dunianya serasa berhenti berputar, saar mengetahui fakta bahwa ketika ia pulang kerumah, yang ia dapati hanya Ibunya seorang diri. Dunianya, mendadak sepi.

Sorry.

And also my wife, two hundred days ago.

Damn..” Cicit sang gadis, Mingyu lagi lagi membuang nafasnya, menoleh kemudian tersenyum. “I think it’s not a big deal to you to know, since we wouldn’t meet again, right?

“Yeah.” Keduanya terbahak kecil, kemudian diam mengawang ke langit yang bahkan enggan untuk setidaknya memberikan sedikit cahaya. “How does it feel, when you lose the one you love twice?”

“rasanya kaya.. ini aku lagi ngapain ya di dunia? Mungkin, karena udah terlalu kebas dan mati rasa.”

“Yup. So numb.” Si gadis mengangguk, kemudian menatap kakinya. Perlahan membuka mulut dan berusaha bersuara, “Tadi.. aku mau tenggelamin diriku, karna udah hopeless dan rindu Ayah, kepengen biarin ombak pantai narik aku ketengah laut sana.. Tapi engga jadi, karna aku tau kamu ngeliat aku.”

Rahang Mingyu jatuh, matanya sedikit membulat, terkejut atas pernyataan si gadis barusan. Sesuatu yang membuatnya kehabisan akal untuk berfikir atas agendanya malam ini. “You do really miss him. Indeed.

So much it hurts. Kaya yang kamu bilang barusan, kaya.. ini aku lagi ngapain ya di dunia?”

But you still here, tho?” Si gadis tersenyum.

Yes. That’s the saddest Irony, but.. You too. You are still here.

“Yup. We are.” Keduanya bertemu dalam tatap, melempar senyum kecil untuk setidaknya sedikit saling menguatkan. “Just as simple as, we are stronger than we think. Aren’t we?”

Yes, stronger than we think.” Perempuan itu mengulang kalimat milik Mingyu barusan, kembali dan terus tersenyum.

It is okay, tetap memijak di bumi untuk sekedar harapan yang enggak pasti di esok hari. So, it is nice to know that I am the one who saved you, secara gak langsung.” Mingyu tertawa pelan.

Thank you for that, truly and I meant it.” Keduanya kini kembali menatap jauh ke lautan sana, menerka nerka di dalam kepala tentang apa yang akan hari esok suguhkan kepada keduanya. “It’s nice to have a little talk with you..?

“Kim. It’s Mingyu Kim”

“Kim.” Ia mengangguk, menjulurkan sebuah jabatan, “Nadit, it’s Nadeeta. Germany, if you ever curious.

Bulan bahkan tertutup oleh awan di atas langit sana, gemerlap bintang pun enggan menunjukan cahaya kecilnya. Mungkin keduanya sedikit iri, atau bingung dan gelisah, karena gemerlap cahaya yang mereka punya malam ini berpindah tempat ke kedua manik mata dua orang asing yang bertemu di pinggir pantai bagian utara kota kecil yang orang orang dengan bangga menyebutnya, “Ini Malibu!”

Agenda berpetualang kali ini masih samar, belum menemukan sebuah titik atau tanda henti. Lagi lagi, soal pulang dan mencari tempat untuk berteduh. Entah itu di dalam iris mata seseorang, entah itu bahu kokoh lainnya, atau pelukan hangat yang jadi hal pertama yang dicari setelah beribu peluh dan pelik.

Jadi, atas kemungkinan kemungkinan lain yang ada di masa depan, biar di penuhi oleh semesta atas kejutan kejutan lainnya.

Mingyu, rumah didalam rumah mungkin jadi terdengar klise. Tapi, semoga tulisan semesta kali ini mengantarmu pada rumah yang dituju.

‘and sometimes, home isn’t 4 walls, it’s 2 eyes and a heartbeat’

Mingyu mendongak, menatap satu jendela yang lampunya masih menyala. Kedua tangannya masuk ke saku kantong celana, serta beberapa lapis pakaian yang dipakainya. Saat ini, sedikit gerimis.

Ia menatap nanar, rumah yang ia lupa sudah berapa tahun yang lalu selalu jadi destinasinya, selalu ada mobilnya yang berhenti didepan pagar, dan terkadang ada Dia yang muncul dari daun pintu, tersenyum ceria menyambut Mingyu.

Kemudian, muncul sebuah spekulasi tak wajar. Soal, bagaimana kalau seandainya dulu Mingyu tidak melakukan hal itu. Apa sampai detik ini, rumah ini tetap jadi destinasinya? Apa seorang gadis dengan lampu kamar yang masih menyala itu, tetap menjadi belahan hatinya? Apa mungkin, hanya ada Mingyu dan Dirinya, tanpa ada..

“Mingyu, ya?”

..Wonwoo.

Dengan coat panjang berwarna coklat susu serta sebuah kantong plastik kecil di tangan kirinya.

“Wonwoo?” Mingyu memastikan.

“Iya, Wonwoo” Sosok lelaki itu tersenyum.

“Kenapa gak masuk?” Mingyu mengkerutkan alisnya, laki laki ini tau kan, siapa Mingyu sebenarnya? Tau kan, apa yang terjadi antara Mingyu dan Gadisnya?

“Hah?”

“Kenapa gak masuk?” Ulang Wonwoo.

“em..” Mingyu bingung, harus menjawab apa.

“Mau ketemu Dia, kan?” Wonwoo bertanya memastikan.

“Maaf ya, Wonwoo. Mungkin jadinya lain kali aja” Kini Mingyu berjalan meninggalkan Wonwoo yang masih mematung diatas pijakannya.

“Mingyu..” Panggilnya, sang empunya nama langsung menoleh. “Kalau saya ajak kamu ngobrol, kamu keberatan?”

Untuk apa? Apa urusan lelaki ini denganku? Mungkin, itu isi kepala Mingyu saat ini, penuh pertanyaan.

“Boleh boleh aja” Balasnya.

“Didepan ada warung kecil, kalau duduk disana, mau?”

“Sejak kapan didepan ada warung kecil?” Wonwoo sedikit tertawa.

“Belum lama, kesana aja gak papa, ya?”

“Yaudah, boleh”

Warung kecil yang disebut Wonwoo tidak seperti yang awalnya Mingyu bayangkan. Mungkin kumuh, mungkin sedang becek mengingat langit sedang tidak bersahabat. Tapi, ini mungkin lebih baik dari sekedar disebut warung, walaupun agak menjorok didalam lorong.

“Mau pesen kopi? Atau teh?”

Mingyu menggeleng. “Gue harus manggil lo apa?”

“Terserah, senyamannya aja”

“Kalau gue panggil Wonwoo gak masalah ya?”

“Ya.. gak papa”

Wonwoo memesan satu gelas kopi hitam dan segelas air putih, tetap saja, ia yang mengajak Mingyu untuk duduk dan mengobrol, harus tetap disuguhkan apapun.

“Lo ngajak gue ngobrol atas dasar apa? Kalau mau balas dendam, gue udah kena karma.”

“Saya gak ada terlintas pikiran sedikitpun, Hahaha” Wonwoo tertawa, menerima segelas kopi yang sudah disediakan, serta menyodorkan segelas air putih kepada Mingyu. “Ya ngobrol kecil aja, mau gimana pun, kamu bagian dari masa lalu calon istri saya.”

Ada perih barang sedetik Ketika Wonwoo dengan gamblang menyebut ‘calon istri’. Sedetik, ia teringat pada sosok Seung Wan yang tidak ada lagi di sisinya.

She’s doing good, kan? Lo gak ragu lagi, kan, Won?”

Wonwoo menggeleng mantap, tersenyum kecil. “She’s much better. Dan saya gaada ragu sama sekali, untuk kali ini”

Mingyu menegak air putihnya, mengangguk beberapa kali dan menatap kosong meja dihadapannya.

“Oh iya, saya turut berduka cita yang sedalam dalamnya ya, Mingyu. She’s a strong fighter.” Mingyu mungkin salah menilai Wonwoo, karena dari gelagat kecil bahkan cara dia berbicara, Wonwoo penuh dengan segudang hal hal magis dan wajar membuat Gadisnya yang dulu itu jatuh sejatuhnya.

Thank you

Wonwoo tersenyum, mengangguk.

“Gue boleh jujur ga Won, sama lo?”

Sure, go ahead.

“Tadi, didepan rumah Dia, gue sempet bayangin hal yang gak semestinya gue bayangin”

For example?

“Kalau Dia masih ada di genggaman gue” Mingyu pikir, Wonwoo akan marah, bukan secara harfiah meneriaki dirinya, mungkin mengatakan beberapa kalimat sarkas yang bisa saja menyinggung Mingyu sendiri.

“Kalau gitu, saya boleh balik nanya?” Mingyu mengangguk. “Dulu, kenapa kamu ngelakuin itu?”

“Selingkuh, ya?”

Whatever you said, I won’t mention it

“Kalau dipikir pikir, beberapa argumentasi yang dulu dulu pun udah gak mampu bikin berbagai alasan jadi relevan. Maksudnya, itu semua salah, udah. I was bored, like.. I want something that I couldn’t get from her back then.

She’s not enough, ya?”

She’s enough, always enough. It was me that never felt enough.” Jelas Mingyu. “Sekarang, saking dulu gue pengen sesuatu yang penuh dan cukup buat gue, hari ini gue jadi kosong melompong. Harusnya memang semua di porsi secukupnya.”

Kini, bagai petir yang menyambar diluar jendela, Mingyu terbangun dari tidurnya. Harusnya, Mingyu bangun lebih awal untuk menyadari bahwa ada banyak hal hal berharga yang melewati dirinya.

She looks happier since last day I left her with tears.” Mingyu menyunggingkan senyum.

Is she?”

What did you do?”

Let her be free. Gak memaksa apapun, gak meminta apapun, gak mengatur apapun, anything. Just let her do whatever she wants.

Dulu, Mingyu pun melakukan hal yang sama. Tapi Mingyu bukan Wonwoo, dan Wonwoo bukan Mingyu. Porsi mereka berbeda dan tidak ada yang perlu disalahkan soal itu. Gadisnya yang dulu itu, sudah sepenuhnya menemukan bahagianya.

“Gue boleh gantian nanya, gak?”

“Boleh”

“Kenapa lo ragu sama dia?” Wonwoo menaikan sudut bibirnya sedikit, menyadari kesalahan yang dibuatnya tempo hari.

I was not in the decision I made, Mingyu. And I was suck, Indeed. To be honest.” Wonwoo menyeruput kopinya, kemudian melempar pandangannya menuju luar sana, hujan.

Setelah perbincangan kecil yang terjadi, beberapa canda yang membuat keduanya terlihat akrab padahal baru bertemu beberapa puluh menit yang lalu, kini keduanya bangkit, berniat meninggalkan warung namun terhalang hujan yang turun dengan derasnya.

Masih dibawah atap warung sederhana itu dengan menatap hujan, keduanya menengadah.

“Mingyu, if in any miracle, you can turn back time to the good old days, what will you do?” Wonwoo tidak mengalihkan pandangannya, memilih menatap hujan didepan matanya.

“Mungkin.. make everything right. Kalaupun pada akhirnya takdir semesta nulis gue dan Seung Wan, gue mau pamit dan pisah sama Dia dengan cara yang baik dan wajar.” Jawab Mingyu.

She is.. the diamond itself, isn’t she?” Wonwoo tersenyum, membayangkan gadisnya dirumah yang mungkin sedang menunggu dirinya hadir dibalik pintu, membayangkan senyum manisnya ketika menyambut dirinya, membayangkan bahagia yang sudah berada didepan mata.

She is.

“Saya tau, ada banyak berlian lain didepan sana, Mingyu. Just find it. I’m so sorry, the diamond that maybe you craved for, it’s already mine.

“Gue yang harusnya minta maaf, karna bikin berlian lo lecet dan dengan senang hati you fix it. Such a good man, kalau kata gue” Keduanya tertawa kecil. “Take care of her till the death separate both of you, ya?”

I will, Mingyu. I will always do that.

“Gue jarang dan rasanya aneh kalau bilang makasih, tapi.. makasih, Won. Secara gak langsung gue belajar gimana caranya menghargai keadaan.”

It is not a big deal, but, your welcome?” Wonwoo mengangkat bahunya sedikit, mengangguk kecil.

Setelah hujan sedikit reda, kini keduanya berhenti di tempat pertama saat saling perpapasan tadi, sebuah rumah familiar yang selalu Mingyu tandai di dalam kompleks.

Mingyu lagi lagi mendongak, menatap jendela yang sampai detik ini pun lampunya masih menyala, berarti Dirinya belum tidur.

“Gak masuk?” Tanya Wonwoo.

Mingyu sempat berfikir sejenak, kemudian dengan mantap menggeleng.

“Gue mungkin gak bakal sanggup buat ninggalin Jakarta kalau ngeliat mukanya. Gue cuma mau make sure kalau kesempatan kedua yang kemarin sempet gue obrolin memang gaada. Gue titip salam dan pamit ya, Won.”

Wonwoo mengangguk. “Will do. Safe flight sampe ke LA ya”

She told you about that?” Mingyu terkekeh.

Wonwoo mengangguk. “Dia cerita semua apa apa yang kemarin di obrolin di dermaga”

Keduanya terbahak, Mingyu menekuk senyumnya kemudian bersuara, “Oh, and.. happy wedding. Sorry, couldn’t attend next week.” Sambung Mingyu.

No problem, and thank you, Mingyu.”

Kini Mingyu berjalan menjauh membelakangi rumah yang ternyata masih ditempati oleh gadis tersayangnya dulu. Ada banyak perasaan bercampur aduk didalam hatinya. Namun, akan ia lepas dengan lapang dada, lagi lagi hidup masih soal mengikhlaskan.

Pada akhirnya, semua menemukan pintu rumahnya masing masing. Mungkin, agenda melanglang buana miliknya bukan lagi soal pergi, kali ini, mencari rumah sebagai tempat berteduh, tempat berlindung, tempat beristirahat dan tempat untuk pulang. Mencari tempat untuk memulai hari dan mengakhirinya dengan ringan hati tanpa beban yang menghantui.

Ini Mingyu dengan kekacauan hidupnya, Ini Mingyu dengan ketidakadilan semesta, katanya. Ini Mingyu, dengan masih banyak kemungkinan kemungkinan yang akan ditemuinya didepan sana. Tapi untuk sekarang, yang harus Mingyu lakukan adalah mencari rumah.. dan pulang.

Aku dan Wonwoo duduk berdua di sofa ruang tengah, menonton tayangan sebuah series dari salah satu channel berbayar yang jadi langgananku. Di meja, ada sebuah piring kotor dengan bercak saus dan mayones serta dua gelas air mineral yang tinggal setengah. Berpuluh menit yang lalu, Wonwoo membuat omelet walaupun agak sedikit gosong.

Disetiap suap demi suap, aku ceritakan apa yang terjadi di dermaga sore hari tadi, soal aku dan Mingyu. Seperti kata Jun, semua, semua aku ceritakan, tidak terkecuali soal kesempatan lain yang mungkin terjadi di masa depan.

It is not a big problem buatku” Kata Wonwoo.

“Kenapa?”

I don’t know. You love me, udah. Sama sekali gak ganggu aku walaupun kenyataannya kamu pernah cinta juga sama dia. I mean, kalaupun kamu sama dia ketemu lagi di satu titik, it's not my own bussiness lagi. itu urusan kamu sama dia.”

“Emang kamu gak takut aku bakal bareng sama dia?”

“Tapi nyatanya kamu disini sama aku”

Aku tersenyum, memiringkan kepalaku sedikit, menatap setiap lekuk wajahnya. “Kalaupun aku boleh minta, aku Cuma mau sama kamu. aku mau terus terusan jatuh cinta sama kamu seribu kali sehari.”

Exactly, that’s it. Aku gak perlu khawatirin apa apa lagi. Truly, i meant it.” Ia memainkan rambutku yang sedikit menutup sudut mata. Kini dirinya menegak air mineral dalam gelas dihadapannya sampai habis. To be honest, He looks so hot, dengan kemeja putih yang lengannya dilipat seperempat bagian. Apalagi setelah melempar pernyataan barusan. Aku tertawa kecil.

Okay? You look so confident ya” Kataku, dia tertawa kecil, dengan kerutan dihidungnya.

Why not?” Kami kemudian pecah dalam tawa.

“Dulu..” Aku mengerutkan alis, agak bingung karena Wonwoo tiba tiba mengalihkan pembicaraan. “Papa pernah punya perusahaan” Wonwoo tiba tiba memulai cerita.

“Oh ya?” Mataku membulat, sebuah fakta yang baru saja aku ketahui. Wonwoo mengangguk.

It was nice, waktu Papa akhirnya turun jabatan dan nyerahin tanggung jawabnya di tanganku. Tapi aku lupa, kalau aku masih terlalu muda, kayanya umurku waktu itu 23 tahun apa ya?” Wonwoo mendongak menatap langit langit, berfikir.

Kini, kami duduk bersender pada kepala sofa, memiringkan tubuh saling berhadapan.

“Karna aku masih muda, jadi aku pikir it is okay if I made a mistake saat mengambil keputusan di perusahaan, jalanku masih panjang dan aku masih bisa belajar banyak. Turns out, akibat kesalahan yang aku buat, perusahaan Papa bangkrut”

Ia menopang kepalanya dengan sikut yang bertumpu pada kepala sofa, kini tangannya yang lain menarik jemariku. “Dulu aku seterpuruk itu, aku sama keluarga makan mie instan satu bagi empat” Wonwoo tersenyum masam, menatap kosong kearah jemariku, mengingat masa lalunya.

“Yang sampe sekarang selalu bikin aku sedih ya.. Chan. Aku inget banget mukanya dulu kalau nahan nahan lapar, aku jadi sedih.” Tapi, Wonwoo memang bersedih sesaat menceritakan itu, karena matanya sedikit mulai berkaca kaca.

Everybody said that I am so bad at making decision, itu bukan pure suatu prespektif psikologi yang selalu aku dengar, tapi ada satu trauma masa lalu yang I can’t get rid of it. Maafin aku, bisa bisanya aku ragu sama kamu, padahal kamu keputusan terbaik yang pernah aku buat” Aku tersenyum, mengelus pipi tirusnya, menggeleng.

It’s okay. It doesn’t mean that you are a bad leader back then, Wonwoo. Leader yang baik adalah leader yang selalu bertanggung jawab atas keputusannya. Mungkin kamu kehilangan perusahaan Papa, tapi kamu bertanggung jawab atas keluarga kamu. Look at you now, kayanya kalau beli perusahaan baru juga mampu” Dirinya tertawa.

“Aku menghalalkan segala cara supaya bisa membalik keadaan, though it wasn’t easy” Wonwoo mengucek matanya, menahan agar tidak ada air mata yang jatuh.

I know” Tanganku masih disana, masih mengelus pipinya. “Ini.. hadiah afeksi dari aku, makasih udah mampu bertahan, dan makasih, hari ini udah berani mengambil keputusan. Sekarang, kita ada di ruang gerak yang sama, Wonwoo. Gak perlu berjarak lagi”

Pupilku bertemu miliknya, sama sama melempar senyum, saling menghadiahkan afeksi dengan cara masing masing.

“Kamu..” sahutnya, menggantung. “Mau jadi tempatku pulang, gak?”

“Hm?”

“Mau jadi tempat sehat dan sakitku, gak? Mau jadi tempat susah maupun senang, miskin atau kaya, tempat lebih dan kurang. Kamu, mau jadi setengah dari aku, gak?”

“Wonwoo, kamu ngapain?”

I Proposed you.

Kali ini, pipiku panas.

“Kenapa kalimatnya panjang banget gitu sampe aku bingung, Wonwoo?” Aku tertawa hingga membuang kepalaku kebelakang.

“Kalau gitu, Will you marry me?” Ia merogoh kantong celananya, mengeluarkan sebuah cincin bahkan tanpa kotak. “I said I wanna start all over again, kan? So I proposed you in a proper way

Ah, dasar Wonwoo.

Mataku tiba tiba jadi panas dan tanpa sadar ada bulir yang mulai jatuh dari sana.

Of course I do” Kataku, tanpa ragu namun masih sulit mendeskripsikan bahagiaku pada malam ini. Dirinya aku peluk, dengan dua cicin yang sangat pas melingkari jari manisku. Iya, dua-duanya ada di jari manisku. Lamaran pertama, dan ini, yang kedua. Yang katanya ‘I Proposed you in a proper way

“Aku jadi punya dua cincin” Kataku.

“Ya emang kenapa? Cantik.” Wonwoo mengetuk-ngetuk cincinnya dengan jari telunjuk.

“Kamu duitnya banyak banget ya sampe beliin aku dua cincin?” Wonwoo tertawa, membuang kepalanya kebelakang. Tidak lupa, kerutan di tulang hidungnya.

-

Pukul 10 pagi, aku temui Wonwoo di ruangannya.

“Pagi, pak” Sapaku, mengundang tawa darinya.

“Pagi. Ada kepentingan apa kira kira?” Aku kemudian berdiri tegak di depan mejanya dan mengeluarkan satu amplop kertas.

“Surat resign” Aku letakan diatas meja dan aku sodorkan kepadanya. Dirinya, mengkerutkan alis bingung.

“Kok resign?”

“Ya, resign.

“Kenapa?”

“Ya emang kenapa? Lagian ntar juga kalau kita tinggal serumah kamu ngeliatnya aku terus”

“Ya terus kalau aku ngeliat kamu di kantor juga, emang kenapa?” Aku tersenyum.

“Wonwoo, sampai kapanpun, kita bakal selalu butuh ruang dan jarak. Sesak, kalau ntar kita ketemu terus, gaada kangen-kangennya mana enak” Jelasku, tertawa.

Wonwoo mengkerutkan alisnya, berusaha mencerna kalimatku barusan, kemudian tertawa.

“Yaudah kalau gitu saya terima ya.” Katanya.

“Berarti hari ini saya gak perlu kerja kan, pak?” Wonwoo menggeleng, menarikku dan menghadiahi ciuman singkat di pipi.

“ASTAGFIRULLAH! KENAPA MESUM DI KANTOR? Ini melanggar SOP kerja kalau begini. Awas, Won, gue laporin!” Kak Soonyoung tiba tiba muncul dibalik daun pintu, menggeleng kepalanya. “Ga ada yang namanya boss mesra mesraan sama karyawannya sendiri” Kali ini, ia mengelus dadanya, mengundang tawa dariku dan Wonwoo.

“Siapa yang mesra mesraan sama karyawan? Udah bukan karyawan lagi, wle” Aku menaikan amplop berisi surat resign tadi sambil menjulurkan lidah. “Ada juga mesra mesraan sama calon suami, hehe” Sambungku.

“Lah, lo resign, dek?”

“Iya, bye kak!”

“Ada gitu gue liat orang resign malah ketawa-tiwi kaya gini. Ngaco!”

“SIAPA YANG RESIGN?!” Tidak, Ryujin.

“Lo resign?” Ryujin muncul dibalik punggung kak Soonyoung. “Demi apa lo resign gak bilang gue?!”

Ryu, maaf ya, aku belum tega buat ngomong. hehe.