#7, what kind of future.
“I have belonged to you in a way you haven’t to me” -Anais Nin
“Jihoon, makan siang kamu jangan lupa dimakan loh”
“hm” Jemari Jihoon sibuk diatas mouse dan keyboard, serta alat alat musik lain di seluruh mejanya yang bahkan aku sendiri tidak tau apa namanya.
“Hoon, lihat aku.” Kataku, ia membuang nafas pelan kemudian menghentikan kesibukannya, menoleh pelan.
“Makan siang, jangan lupa.”
“Iya..” Ia memutar tubuhnya, kembali menuju layar.
“Kamu nerima berapa berapa lagu kali ini?”
“Lima.”
“What?!”
“Biasanya juga lebih banyak, kan?”
“Kamu juga jangan lupa pulang.” Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Mama nelfon kamu lagi?” Tanyanya. Aku mengangguk.
“Bilang aja aku sibuk.”
“Ya aku tau Hoon, kerja rangkap dua buat jadi producer music terus at the same time harus kerja kantoran bener bener bikin sibuk, tapi kamu jangan lupa pulang. Sekedarnya buat munculin muka aja biar Mama sama Papa kamu gak khawatir.” Aku duduk di sofa di dalam studio musik milik Jihoon yang telah ia bangun dengan kerja keras serta peluhnya bertahun tahun jadi budak korporat.
“Iya, nanti sore aku pulang.”
“Sebelum itu, makan dulu makan siang kamu sebelum dingin. Aku udah jauh jauh bawain.”
“Kok tumben kamu tadi ke Kokas?” Jihoon kemudian bangkit mengambil makanan Bento yang sebelumnya aku beli.
“Ada ketemu sama klien.”
Ia mengangguk, sambil menyendok nasi masuk kedalam mulutnya.
“Kalau dipikir pikir, selama bertahun tahun belakangan udah banyak banget ya karya musik kamu.” Dirinya terkikik kecil.
“Nyangka ga kamu punya gaji sekarang dua digit?“ Jihoon kini terbahak.
“Big thanks to you juga lah.” Lelaki itu kini berpindah tempat, duduk disebelahku sambil membawa makanannya. “Makasih udah bareng sama aku buat wujudin cita-citaku.”
Aku tersenyum menekuk bibir, ia menyibakan beberapa helai rambut yang menghalangi wajahku.
“Hari ini kamu warna blush nya kok beda? Klien nya cowo ya?” Ia memicingkan mata.
“Dih, emang harus ketemu klien cowo dulu baru ganti warna blush?”
“Jadi bener klien cowo?”
“Ya bapak bapak sih.”
“Serius?!”
“Udah berkeluarga, Jihoon. Gimana sih?” Dirinya tertawa, terus menyendokan makanan masuk ke dalam mulutnya.
“Kamu desain apa lagi kali ini? Gedung pencakar langit?“
“Kalau itu aku bakal jadi kaya raya dalam semalam.”
“Jadi?”
“Cafe biasa aja sih” Jihoon mengangguk, kemudian bangkit dan membuang tempat makan Bento yang terbuat dari plastik ke tong sampah yang ia letak dibelakang pintu.
“Ini studio kamu, yang desain siapa sih? Aku baru ngeh kalau kamu gak ada ngomong sama aku?”
“Temen sekolahku. Soalnya waktu sekolah dulu aku udah bilang kalau bakal make jasa dia semisal dia beneran jadi Arsitek, eh ternyata sama sama kesampean.”
“Wonho?”
“Iya, sekantor sama kamu kan?”
“Iya, tapi ya gitu.”
“Gitu gimana?”
“Aku kurang suka aja sama dia.”
“Memangnya dia kenapa?”
“Gatau ya, tapi ngeliat dia di kantor tuh kaya yang sombong gitu.”
“Oalah, tapi kalau kamu kenal dia, gak ngerasa gitu lah pasti.”
“Iya kali ya”
Aku kembali mengawangkan pandangan ke seluruh ruangan studio musik Jihoon yang sebenarnya sudah di bangun 1 tahun yang lalu.
“Hoon..” Panggilku, dirinya disana membersihkan tangan serta mulutnya dengan tisu.
“Hm?” Lalu kembali duduk di kursi dan menatap layar.
“Are we, for real?” Jihoon menoleh ke arahku, mengkerutkan alis.
“For real? of course we are. That’s kinda ridiculous question.” Dirinya menggeleng kecil sambil tertawa.
Aku diam, menatap jemariku yang aku mainkan.
“Kamu kenapa?” Suara lembutnya menyambangi pendengarkanku.
“No, i’m okay. Just tryna make sure.” Aku bangkit, membereskan barang barangku.
“Of what?”
“Yah maksudku.. After a long season of our relationship, Hoon. Apa kita bakal gini gini aja?” Aku meletakan sling bag!berukuran sedang ke bahuku.
“Soon, sayang. Just.. belum sekarang.”
“Aku tau kamu bakal jawab gitu” Aku menarik kenop pintu. “Jangan lupa pulang. Call me when you are arrived at home, ya.”
“I will.”
Aku menutup pintunya, memperbaiki posisi tasku dan berjalan menuju basemen, tempat aku memarkirkan mobil kemudian pulang kerumah.
Sampai di rumah, jam di dinding menunjukan pukul 3 sore. Aku membuka laptop, menyelesaikan beberapa desain yang tak kunjung rampung sampai pukul 5, ketika aku mendapat pesan dari Jihoon bahwa dirinya sudah dirumah.
‘Arrived home safely’
‘send my love to Mama’
‘will do’
‘I’ll call you tonight ya. Mau bebersih dulu’
‘okay’
Aku jatuhkan pundakku di kepala sofa, mendongak menatap plafon rumah, membuang nafas kemudian menutup mataku. Membiarkan angin AC menyapu wajahku yang bahkan belum dibersihkan dari make up.
Tas yang tadi sempat aku lempar asal ke atas sofa kini aku ambil, merogoh dan mengambil ponselku didalam sana, menelfon satu nomor yang sangat aku rindukan suaranya, Ibu.
“Ibuuuuu” Panggilku ketika telfon di ujung sana sudah diangkat.
“Halo anak gadis Ibu, kenapa ceria banget hari ini?“ Aku tertawa.
“Bukannya biasanya juga gini ya, Bu?”
“Hari ini suaranya lebih bahagia”
“Oh gituu.. Katanya emang kalau bahagia terus terusan bikin awet muda..”
Ibu tertawa diujung sana. “Kamu kapan pulang?” Aku menekuk bibir, pertanyaan yang pasti akan ditanya oleh wanita yang telah melahirkanku itu. Kalau dihitung, sepertinya sudah setahun yang lalu aku pulang kerumah, bersama Jihoon kala itu.
“Jihoon juga kapan kamu ajak main kesini lagi?”
“Aku sama Jihoon masih sibuk kerja, Bu. Nanti ya, kalau ada cuti aku pulang kerumah.”
Ibu ada di Aceh, sedangkan aku bekerja di Jakarta. Mengingat kadang harga tiket pesawat yang kurang bersahabat, sering aku tunda untuk pulang ke kampung halamanku. Padahal, setiap malamnya ada aku yang menangis karna rindu kepada dua sosok orang tuaku disana.
“Kamu, udah ngomongin yang serius serius belum sama Jihoon?” Oh Tuhan, jangan lagi.
“Ibu kalau aku telfon kenapa bahasannya menjurusnya kesitu terus sih, Bu?”
“Ya kan Ibu penasaran, kapan anaknya naik pelaminan. Masa Ibu gak boleh tanya sih?”
“Ya setiap aku telfon Ibu selalu nanyain gitu”
“Tapi.. Jihoon serius kan, Nak?” Pertanyaan Ibu membuat aku mengkerutkan alisku.
“Loh? Ibu kenapa sih?”
“Bukan gitu. Umur kamu udah berapa loh? Gak baik anak perempuan nikahnya lama. Maksud Ibu, disini Ibu tuh ada kenalan, anak laki lakinya tentara angkatan laut. Kalau—“
“Bu..” Aku membuang nafasku. “Kan aku sama Ibu pernah ngobrol kalau urusan pasangan aku gak mau di atur-atur..”
“Bukan mau diatur-atur, Nak. Ibu kan bertanya..”
“Iya iya oke. Aku gak mau, Bu. Ya? Lain kali gausah ditawarin ke aku. Udah dulu ya, Bu? Nanti kita ngobrol lagi, aku mau bebersih terus istirahat.”
“Makan kamu jangan lupa, usahakan masak ya,Nak? Jangan beli makanan siap saji terus. Ibu sayang kamu..”
“Iya Ibu, aku juga sayang Ibu..” Panggilannya aku matikan kemudian.
Aku menatap kosong kedepan, banyak pemikiran yang bekecamuk disana. Tentang beban beban yang terus memupuk di pundak, tentang masa depan.
Tukaiku berjalan menuju kamar, mengambil handuk kemudian bergegas bebersih tubuh. Mengambil piyama kemudian beringsut di atas kasurku.
Ponselku masih belum memunculkan nama Jihoon disana, dan aku memutuskan mencari tontonan di laptopku.
2 jam, belum juga ada pesan dari Jihoon.
Menuju pukul 10 malam, Jihoon menelfon dan langsung aku angkat.
“Belum tidur?” Suaranya berat diujung sana.
“Belum. Kamu baru bangun ya?”
“Iya maaf ya aku begitu sampe rumah terus bebersih eh malah ketiduran”
“Yaudah gak papa”
“Kamu kenapa belum tidur?”
“Nunggu kamu telfon”
“Kenapa ditunggu?”
“Tadi katanya mau nelfon pas malem” Dapat aku dengar dirinya tertawa kecil disana.
“Maaf ya?”
“Iya Jihoon gak papa”
“Udah makan?”
“Udah”
“Pesen lagi?”
“Iya. Males masak”
“Jangan sering-sering. Ibu kamu sering ngingetin loh jangan sering-sering pesen makan terus”
“Iya Jihoon. By the way, tadi aku nelfon Ibu”
“Oh ya? gimana kabar Ibu? Sehat kan?”
“Iyaa sehat. Terus dia malah mau jodohin aku” Senggang, Jihoon diujung sana diam. Sesekali yang aku dengar hanya gemerisik yang mungkin disebabkan oleh dirinya yang bergerak.
“Hm.. gitu. Terus?”
“Terus gimana?”
“Loh? kok nanya aku?”
“Gimana kita, Jihoon..” Sebagai balasan, Jihoon membuang nafasnya pelan. Dari sini, dapat aku dengar dengan jelas.
“Kenapa kamu gak mau sama yang dijodohin Ibu?”
“Aku maunya sama kamu”
“Kenapa maunya sama aku?”
“There is no one like you..” Aku memainkan ujung selimutku.
“There is one better than me..”
“No, They aren’t you, Jihoon. You are the only one and the only person i want.”
“Kamu jangan ngomong gitu dong, tiba tiba jadi ada beban di pundakku”
“Berat?”
“Berat.”
“Bagi ke aku”
“Nope.”
“Jihoon?” Lagi lagi ada suara gemerisik dari sana.
“Hm?”
“Kamu gak mau sama aku ya?”
“Siapa bilang? Kamu cuma berspekulasi aja, sayang..”
“Tapi nanti tetep ada kita, kan?”
“Hmm..” Jihoon bergumam, menggantungkan kalimat yang mungkin akan dia lempar. “Kalau di buku takdir semesta emang ada nama kita, bakal tetep ada kita. Okay?”
“Okay.”
Ada banyak ketakutan yang sebelumnya menghantui ku, tapi semenjak malam itu, semuanya melebur. Aku tau, aku bisa percaya pada Jihoon walau mungkin tidak ada namaku dan namanya di buku tulis takdir.
-
“Kamu ada jadwal manggung ya, Hoon?” Jihoon mendongak, mengkerutkan alis kemudian menegak minum yang ada di sebelah kanannya.
“Tau darimana?”
“Ini, Cafe yang biasa aku sama temen temen datangin bikin story di Instagram, ada nama kamu sama lagu yang bakal kamu bawa?” Aku menaikan alis.
Jam makan siang, entah kapan terakhir kali aku dan dirinya makan siang bersama, namun akhirnya hari ini terealisasikan.
“Iya, dua minggu lagi”
“Lagunya kamu tulis sendiri?”
“Iya”
“What kind of future?” Dirinya sedikit terbatuk.
“I-iya”
Aku mengangguk, kembali menyantap makanan di hadapanku.
“Jihoon”
“Hm?”
“Kalau kita pulang ke Aceh bulan depan, mau ikut?” Jihoon mengangkat alisnya, kemudian mengangguk.
“Boleh, ada jadwal cuti?“
“Ya kalau bulan depan aku ambil cuti, gaada dapet cuti akhir tahun”
“Yaudah gak papa, aku ikut aja. Ntar jadwalku bisa disesuain”
“Kantor kamu?”
“Gampang itumah, kamu kasih tau aja bulan depannya kapan”
“Bisa ya berarti?”
Jihoon lagi lagi mengangguk. “Bisa, sayang” Jemarinya mendekat, mengambil sesuatu yang sepertinya tersisa di sudut bibirku. Aku tersenyum lebar, dirinya pun ikut tersenyum menatapku.
Rasanya, segalanya jadi serba cukup kalau ada Jihoon, kalau Jihoon disini, kalau Jihoon disampingku.
Aku mau Jihoon, tidak lebih dan tidak kurang, cukup.
-
Berkali kali panggilan dariku tidak kunjung di angkat oleh Jihoon. Padahal aku mau bertanya urusan tiket pesawat dengannya.
Selama di kantor, setiap jam yang aku lakukan adalah menelfonnya secara terus terusan namun tidak kunjung mendapatkan jawaban.
Aku sempat menelfon orang tua Jihoon, tapi kata mereka, Jihoon tidak ada di rumah.
Setelah jam kantor selesai, aku mengunjungi kantornya, katanya hari ini Jihoon tidak masuk untuk bekerja. Tujuan terakhirku tidak lain adalah studio musiknya.
Dengan smartlock yang selalu aku hafal passwordnya, aku lagi lagi menemukan studionya yang kosong melompong, tidak ada Jihoon. Yang ada hanya kertas berserakan dimana mana, dan berantakan.
“ckckck, kebiasaan banget suka ninggalin tempat berantakan.”
Satu persatu aku kumpulkan kertas yang berserakan di lantai. Beberapa ada catatan lirik dengan note yang telah selesai ia kerjakan dan yang akan ia jual, serta yang sedang dalam proses pembuatan.
Aku membaginya kemudian, meletakkannya di map kertas berbeda. Agar supaya ketika Jihoon kembali, ia tidak perlu repot repot mencari.
Pandanganku terpaku pada satu kertas tepat diatas keyboard Jihoon. Tanpa ada keterangan sedang proses atau akan dirinya jual. Yang aku baca hanya judul besar serta lirik yang membuat jantungku bergetar.
Serta tanggal disudut kanan atas.
Aku buru buru mengambil ponselku, membuka salah satu platform media sosial dan mengetikan satu nama. Ketika profilnya sudah sepenuhnya muncul, aku tekan gambar terakhir yang dirinya upload, sama dengan tanggal di kertas serta foto sosoknya dengan Jihoon. Bahkan aku meninggalkan ‘suka’ di fotonya.
Wonho.
‘Wonho, kalau senggang kita ketemu sebentar boleh ya? Di Cafe deket kantor aja. Penting’
Kutinggalkan sebuah pesan singkat lewat direct message.
Aku berlalu, menutup pintu studio Jihoon dengan kasar, menggenggam kertas berisikan lirik tersebut dan pergi menuju tempat tujuanku.
-
Setengah jam aku menunggu di Cafe, Wonho membalas direct messageku dengan ‘ok’ membuatku memutar malas kedua bola mata serta memijit pelipisku.
Maka ada 30 menit lainnya aku duduk disana hanya untuk menunggu sosok ini.
“Sorry ya, tadi ada janji sama temen” Kata Wonho, langsung duduk di kursi kosong dihadapanku.
“Jihoon?”
“Kok tau?”
“Kalau boleh tau emang kemana?”
“Nanti tanya sama Jihoon aja deh” Ia tertawa. “Ada urusan apa emang? kok katanya penting?”
“Kamu bikin lagu ini sama Jihoon, Kan?” Aku menyodorkan selebaran kertas berisi lirik lagu kehadapan Wonho.
Dirinya mengkerutkan alis, menatap lama kertas yang aku sodorkan.
“Aku enggak bikin lagu ini sama dia, cuman..”
“Cuman?”
Wonho diam, tidak bersuara, “Cuman?” Tanyaku lagi.
“em..”
“Kamu temen sekolah Jihoon juga kan? Yang desain studio musiknya?” Dia mengangguk.
“Lagu ini gak masuk ke daftar lagu yang bakal dia jual, Wonho. Dan.. Beberapa hari yang lalu aku denger dia bakal manggung bawain lagu ini”
“Gini” Dirinya memperbaiki posisi duduk. “Ini tuh cuma lagu, there is nothing you have to worry about, okay?”
“have you read the lyrics, by the way?” Ia mengerutkan alis. “Oh kamu gak baca ya? Tapi kamu yang lihat dan tau apa dibalik lagu ini, kan?”
Wonho lagi lagi mengkerutkan alisnya.
“Aku tau kamu tau, Wonho”
“Aku gak tau apa apa”
Aku melipat kedua tanganku didepan dada, menghentakan kakiku dengan ritme pelan.
“Tell me”
“Tell you what? Aku udah bilang aku gak tau apa apa. Kenapa kamu gak tanya aja sama Jihoon langsung?”
“I know, you know, Wonho. Sekali lagi, I know, you know” Aku tekankan segala kata yang aku lemparkan ke dirinya.
Ia menyunggingkan senyum disana. Memperbaiki posisi duduknya kemudian mendekat kehadapan wajahku, sedikit berbisik. “Why should I?”
Aku membuang nafasku pelan dan tersenyum. “Kamu dibayar apa sama Jihoon sampe tutup mulut dengan kekeuh kaya gini?”
“I didn’t got paid, okay? It is just something that—“
“I shouldn’t have to know?”
“Listen..” Wonho menopang dagunya dengan jemari yang saling bertaut. “You are wasting my time, just go home”
“Or what?”
“Or what? I didn’t even say anything”
“Or people would know kalau kamu melebihkan dana produksi perusahan supaya sisanya kamu konsumsi sendiri dan bukan untuk biaya produksi desain kamu?” Wonho mengepalkan tangannya.
“This bitch”
“Let’s make it fair, Wonho. I’ll shut my mouth and you tell me what exactly happened” Wonho diam. Menggigit kuat rahangnya sendiri. Menatapku serta kertas yang ada di hadapanku secara bergantian.
“He didn’t love you. That’s all” Sunyi mengudara, yang aku dengar hanya suara motor dan mobil yang terus berlalu-lalang. “I mean, he trying to, but.. I guess he can’t”
Jantungku rasanya jatuh dari penopangnya, paru paruku rasanya dipenuhi air dan membuatku kesulitan untuk bernafas.
Mataku panas, tenggorokanku tercekat dan yang aku lakukan hanya berusaha mencerna perkataan Wonho barusan.
“Kamu pikir dia secinta itu ya sama kamu?” Wonho menaikan alisnya, tertawa. “After all years passed by, he couldn’t even forget her. Dia tetep hidup, bahkan jadi karya yang bentar lagi bakal kamu denger, bakal orang lain denger.” Wonho mengetuk kertas berisikan lirik dihadapanku dan dirinya. “This masterpiece.”
“Jihoon selalu kekeh dan berfikir bahwa hidupnya akan baik baik aja kalau dia punya seseorang buat gantiin ‘that girl’ “ Wonho menekankan. “The one who was older than him, than us. That he loved the most back then”
Mataku bergetar, telingaku panas mendengar penjelasan Wonho.
“Sampai sampai Jihoon sendiri gak bisa bayangin gimana masa depan dia tanpa sosok ini. This.. What kind of future”
“Nice info, Wonho.” Aku bersiap bangkit, kembali mengambil kertas yang ada di hadapanku.
“Thank you for your time.” Tukaiku bergerak menjauh, namun sejenak aku tahan dan kembali berbalik.
“By the way, the whole office already knew that you did shit about our company’s money production. Soo, tunggu surat pemberhentian turun dari kepala bidang umum ya, Wonho.”
Aku kembali berbalik, dapat aku dengar suara pukulan diatas meja. They did shit, indeed.
-
Aku runtuh diatas pijakanku sesaat sampai dirumah. Meremas kertas dengan coretan tinta hitam bertulis ‘What kind of future’ yang di tulis Jihoon.
Aku terduduk, memukul dadaku berkali kali dan meraung disertai air mata yang tidak kunjung berhenti.
Ada sesak dan nyeri di ulu hatiku.
Sekarang semuanya tampak lebih jelas, alasan kenapa Jihoon tidak suka kalau aku ajak bicara soal pernikahan, dirinya belum siap.
Bahkan semenjak pertama kali sosoknya mengajakku memulai suatu hubungan, Jihoon belum siap, Jihoon tidak disini, Jihoon tidak disampingku. Jihoon-ku, ada di masa lalunya sendiri.
Aku mengambil ponselku, menekan tombol panggil pada nomor Jihoon.
“Hoon” Panggilku dengan suara serak. Ponselnya kini aktif dan tersambung.
“Hey? Kamu kenapa?” Sahutnya diujung sana, sadar akan perubahan suaraku.
“Ke rumahku.”
“Hah? Kok mendadak? Kamu kenapa?”
“I’ll wait ya, Hoon”
Berselang sekitar 30 menit, dirinya muncul diambang pintu.
“Hey?” Jihoon yang tingginya sejajar denganku menyibak rambutku yang tergerai berantakan. “Kamu kenapa?” Menakup kedua pipiku.
Lampu rumah seluruhnya padam, membuatnya mengawangkan pandangan, kemudian menarikku dalam pelukannya.
“It’s okay. I’m here”
Bohong, Jihoon, You are not here.
Hanya cahaya televisi yang mengiluminasi wajahku maupun wajah Jihoon. Di depan TV diatas sofa, aku menyenderkan kepala ke pundaknya, terus terisak dalam diam.
Jemari lentik Jihoon memainkan rambutku disebelah sana, sesekali ikut menjatuhkan kepalanya keatas puncak kepalaku.
Dan itu, membuatku seribu kali lebih sakit.
“Udah mau cerita kenapa, belum?” Bisiknya. Aku menggeleng.
Sudah beberapa menit yang lalu, Jihoon terus menanyakan pertanyaan yang sama dan terus terusan aku jawab dengan gelengan.
“Gak papa, kamu tenangin diri kamu aja dulu”
“Hoon” Kini aku menyahut.
“Hm?”
“Is she pretty?” Jihoon bergerak, membuatku mengangkat kepala dan menatap dirinya yang mengerutkan alis. Ekspresinya dapat aku lihat dengan jelas walau cahaya di rumahku hanya berasal dari televisi.
“Maksudnya?”
“Dia..”
“Dia siapa?”
“What kind of future, Jihoon?” Kini air wajahnya berubah, perubahan yang membuatku menemukan jawaban. “Dia.. cantik, ya?”
Jihoon diam, diam seribu bahasa, bahkan jemarinya yang tadi terus bergerak merapihkan helai demi helai rambutku kini diam diatas pahanya. Jihoon membeku.
“Bener ya, berarti?”
“…”
“Jihoon? Kenapa diam?” Paraunya suaraku kini memenuhi ruangan, air mata itu kini kembali memupuk.
“Jihoon”
“Jihoon”
“Ji..”
“Jihoon”
Kini setelah terus menerus menderukan namanya, tenggorokanku tidak lagi mampu. Hanya sesak tangis yang akhirnya jadi penutup. Jihoon, hanya diam menutup mulutnya.
“Maafin aku” Kalimat itu, lagi lagi menjadi pertanda. Bahwa Jihoon tidak sepenuhnya ada disini, bahwa Jihoon membenarkan tentang sebuah lagu yang tidak mampu membuatnya bergerak menuju masa depan, bergerak menuju masa sekarang, bergerak bersamaku, dan berjalan bersama.
“Untuk kita? What kind of future that will lead us, Hoon? Ada masa depan gak buat kita?”
“Jihoon!” teriakku, dengan isak serta mengguncang tubuhnya.
“I still love her and i am so sorry”
Senggang menyelimuti, bahkan isak tangisku tidak lagi menderu. Aku diam, masih dengan air mata yang terus mengalir menciptakan sungai sungai kecil.
“After all of these years?”
“I still do..”
“Leave.” Cicitku.
“Hey” tangannya yang lagi lagi ingin menangkup wajahku, cepat cepat aku singkirkan. “Leave, Hoon. Please, Leave”
Jihoon bangkit, berdiri lama. Dapat aku lihat kakinya yang terpaku disana. Kemudian, perlahan berlalu.
“Jihoon.” Panggilku, lagi lagi, namun kali ini, lebih kepada bisikan. Namun sosoknya disana tetap berhenti, berbalik arah menatapku.
“If in any miracle, what will you choose? Stay di masa lalu sama dia, atau find me di masa depan? ”
“Don’t ask me things like that, please? Let’s make it easier, ya?”
“Because you will choose her?”
“Sayang..”
“Don’t..” Dirinya berusaha mendekat. “You will choose her, Hoon?”
Entah untuk yang keberapa kali, dirinya terus menerus diam seribu bahasa. Membuatku semakin melihat keadaan dengan sangat jelas tanpa adanya sekat. Karena, kalau dirinya meletakanku pada prioritas nomor satu, memilihku dalam keadaan apapun, dirinya tidak perlu diam entah apapun alasan dibalik diamnya. Kalau saja, kan?
“I’ll choose her, and stay in the past. I wish i could stay there forever, dan gak perlu berusaha mati matian ngelupain dia. I’m sorry.” Kini dapat aku dengar suara decitan pintu yang terbuka dan kemudian tertutup pelan.
“Jihoon..”
‘in the end, what kind of future will come to us?’
—fin.