#8, the lost baby's breath.


“I have no reason to love you anymore, but my heart can't unlove you.” -Letters to Lilac


Minghao mendorong pintu disertai suara bel yang mengudara di toko kecilku, toko bunga yang selalu jadi cita citaku semenjak dulu, dan Minghao, yang jadi satu dari sekian banyak alasan di dalamnya.

Morning.” Sapanya, menarik pinggulku dan dengan cepat mengecup puncak kepalaku.

Morning!” Balasku bersemangat. “Tumben main kesini?”

It’s weekend, babe.” Katanya, mendelisik melihat banyak wadah penuh bunga di rak besar serta bunga bunga lain yang terpajang diluar rak.

Melihatnya mengendus tiap bunga yang ia pegang, membuatku tersenyum sembari mengingat bagaimana pertama kali ia mendukungku dengan ketulusan, padahal saat itu aku dan dia tidak memiliki relasi apapun.

Pertemuanku dengan Minghao kala itu di sebuah rooftop apartement lamaku, seorang asing tanpa beban yang mengistirahatkan dirinya di beton balkon rooftop, berbicara seolah aku dan sosoknya sudah mengenal berpuluh tahun lamanya.

“Cuacanya bagus.” Aku memandang aneh dirinya, yang tidak sedikitpun menoleh kepadaku, mengawangkan pandangannya ke langit sana.

“Gaada yang bilang lagi hujan juga..” Balasku.

Soo.. which floor are you?”

None of your business, Sir.” Ia terkikik kecil, mengangguk serta menekuk bibirnya.

I am on 8 floor, number 8, if you ever need a…” Kini aku menoleh, menunggu kalimatnya. “Friend.” Dirinya mengangkat bahu serta tersenyum kecil.

Aku menggelengkan kepala kemudian tertawa, semacam berfikir kalau apa yang baru saja di lakukan laki-laki ini adalah hal yang tidak masuk akal dan kalau boleh jujur, ‘sok asik’.

Yea. Up to you, Sir.

It’s Minghao, Xiu Minghao”

“Minghao.” Ulangku. kini, tidak sedikitpun menoleh kearahnya.

Dirinya diam, sesekali dapat aku dengar suara jaket kulitnya yang saling beradu, atau sekelebat dirinya yang menyisir rambut dengan jemarinya.

What kind of problem do you have?” Aku memutar bola mataku, kini ikut memutar tubuh, berhadapan dengan sosoknya dan melipat kedua tanganku didepan dada.

“Harusnya aku yang nanya gitu, Minghao. What kind of problem do you have? Sampai harus ganggu orang lain. I mean, stranger.” Kini, dirinya ikut memutar tubuh, mengangkat bahu sekaligus memasukan tangannya ke dalam kantong celana jeans yang robek di beberapa bagian.

We are not strangers. We are..” Ia tersenyum kecil. “Neighbor.”

Aku membuang nafas agak berat, sedikit kesal. “Sorry, if I bothering you.” Katanya. “Aku cuma mau make sure, kalau kamu gak ngelakuin hal hal aneh di rooftop.”

“Hal aneh maksudnya?”

Jump.”

Aku tertawa, terbahak sampai sampai membuang kepalaku kebelakang. “Almost.” Kataku, diam kemudian. “I won’t say thank you to you, Minghao. Don’t expect that words.” Sambungku lagi, dengan percaya diri.

I won’t ask you, anyway.” Kini ia mengistirahatkan kedua sikutnya diatas beton, menggosok telapak tangannya dan menghirup dalam dalam udara dingin malam hari.

“Minghao..?” Panggilku, dan dengan cepat ia menoleh. “What is your biggest fear?

Minghao terdiam cukup lama, mengerutkan alis, entah berusaha memproses pertanyaanku atau sedang merangkai kalimat untuk menjawab. Atau mungkin berfikir bahwa aku ini aneh, karena berdetik yang lalu yang aku lakukan hanya membuang kalimat sarkas ke arahnya.

“Kalau aku pribadi..” Kini ia membelakangi beton balkon rooftop, mengawang pada langit, rambutnya jadi berantakan akibat di tiup oleh angin. “Gak bisa jadi orang yang berguna buat orang sekitarku.”

Make sense.”

“Kenapa? Karna aku dari tadi being an annoying person, ya?” Aku tertawa kecil, sejujurnya membenarkan pertanyaannya barusan.

What yours, then?” Kini ia membalikan pertanyaannya kepadaku.

“Ngecewain orang orang yang paling aku sayang.”

“uh.. berat.” Balas Minghao.

“Yeah. Berat.” Kataku memberi validasi.

So, is your fear being the reason why you are here?”

“Lebih dan kurang, kurang dan lebih.”

Why?” Suara Minghao tiba tiba jadi lebih memekakkan. Riuh kendaraan tiba tiba menghilang, bahkan deru suara angin sama sekali tidak terdengar. Suara Minghao, jadi yang paling keras di telingaku, padahal aku yakin, itu kali pertamanya aku bertemu seseorang dengan penuturan suara yang lembut.

Aku meninggalkan pertanyaan Minghao dengan kesunyian. Menimbang, apakah orang asing ini pantas mendengarkan permasalahanku, atau mungkin dirinya hanya orang yang suka ikut campur urusan orang lain dan berlagak jadi pahlawan.

It’s okay if you don’t want to say anything. I mean, considered as a friend. Atau, se-simple jadi tempat kamu cerita.”

“Siapa kamu?” Kataku, kembali sarkas.

Friend? Tetangga? or anything you ask.”

Kini aku memutar tubuhku, berdiri menyamping dan menghadap lurus menatap Minghao. “If you ask me, then be my boyfriend.”

Bola mata Minghao membulat, alisnya mengernyit dan dirinya membeku di atas pijakannya. “Excuse me? Boyfriend? After 20 minutes of meeting?”

“Yes. Kamu gak salah dengar. B-O-Y-F-R-I-E-N-D. Why? You’ve already dated?” Minghao tertawa kecil, menunduk.

No. Aku belum pernah get into relationship. Jadi, agak terkejut.”

Liar.”

“Kamu gak percaya?”

“Xiu Minghao.” Panggilku, membuatnya menaikan alis. “20 menit yang lalu, the way you tried to talk to me, sangat sangat tidak bisa di validasi kalau kamu gak pernah get into relationship.”

You just don’t know how my heart beating 20 minutes ago.

For a lil convo?”

Yes. For a lil convo.” Aku masih tidak menyangka soal pernyataan Minghao yang bilang kalau dirinya tidak pernah ‘get into relationship’ karena menurutku, he seems like an expert.

“Dan soal tawaran kamu tadi, yes. With pleasure.” Minghao menyunggingkan senyum kecil di sudut bibirnya. “But can I ask you?”

What?”

“Kenapa harus Boyfriend? Kenapa kamu gak ajak kaya semacam.. hmmm” Minghao mengetuk dagunya dengan jari beberapa kali. “Teman aja?”

Dunno. For me personally, ya. Boyfriend itu jadi orang yang bisa dipercaya in any of situation, Minghao. Keeping a secret, being a person who cared, giving an advice, yang masuk akal maupun sama sekali gak masuk akal, being the sweetest, being the comfortable one, and love his girlfriend.”

Not exactly my style.” Balasnya, sedikit menggeleng.

I don’t ask you for years, Minghao. I’ll dump you as soon as possible.” Dirinya sedikit terbahak.

But.. friends can do that, don’t you think so?”

Nope. It’s either they stab you in the back, or just pretending.”

“Memangnya, menurut kamu, boyfriend gak bakal ngelakuin itu?”

Aku menggeleng kecil, tersenyum dan bersuara, “No, Minghao. They have a little feeling called love, and they can get rid of it.”

Minghao tersenyum, mengangguk kemudian kembali menatap lampu kota. “Make sense, sedikit. Tapi, bukannya kadang ada orang orang diluar sana yang cuma playing with feelings? Yang sama sekali gak punya perasaan?”

“Mau gimana pun hubungan yang mereka jalani, seberapa lama waktunya, gimana prosesnya, mereka gak bakal bisa bohong soal perasaan, Minghao. Seberapa kecilpun perasaan yang mereka punya, it called love. That's all.” Jelasku, beropini.

Damn, girl. Who hurt you?” Aku tertawa, mengangkat bahuku tinggi.

Berdetik kemudian, Minghao berjalan mendekat, menarik pinggulku mendekat dengannya, membuatku sedikit membulatkan mata. Bahkan, jarak wajahku dan wajahnya hanya beberapa ruas jari.

Wha—”

Isn’t it what lovers do?” Tangannya masih di pinggulku. “I’m your boyfriend, kan?”

Jujur, aku tidak bisa berbohong kalau pipiku mendadak panas dan jantungku berdetak tidak karuan.

“Apalagi yang biasanya ‘couple’ lakuin? Holding hands? Ngerangkul bahu? Or maybe, kiss—”

“Minghao..” Aku berdeham sedikit, menelan saliva-ku takut takut. “Kita.. gak bakal lakuin sampai sejauh itu. O-okay?” Kemudian aku lepas tangannya yang sedari tadi setia di pinggulku.

Okay, then.” Kini dirinya tepat berada di sampingku, bahkan lenganku dan lengannya saling tersentuh. “What’s your problem, babe?” Sahutnya.

Ugh, hal ini benar benar tidak ada di skenarioku. Padahal, aku pikir dia akan berfikir kalau aku ini gila dan akhirnya meninggalkanku sendirian. Tapi, kenapa dia jadi yang lebih berani disini? I mean, it seems like, ‘if you wanted to play the game, then let’s play it.’

“Hey? Kok diem?” Aku mengerjap, menoleh dan menatap lekuk dimensi wajahnya, kali ini jadi lebih dekat, lebih jelas dan lebih.. indah. Jujur saja. “Kamu kenapa? Ada masalah apa?”

“Hao..” Panggilku. Seakan akan sudah mengenal sosoknya berpuluh tahun yang lalu. “Kamu pernah gak punya mimpi yang kamu pengeeeeen banget, tapi, disatu sisi, kamu gak bisa merealisasikan mimpi kamu yang itu karna it doesn’t make sense buat orang orang yang kamu sayang.”

Minghao berfikir, sesekali alisnya mengkerut, atau bola matanya yang berputar keatas. “No? emang ada, mimpi yang gak make sense?”

“Kalau menurutku ya gak ada, tapi apa bisa kita samain pemikiran kita sama orang banyak diluar sana?”

“Emangnya apa? Mimpi kamu yang kata orang orang gak make sense?”

Being a florist.” Minghao diam sebentar, kemudian tertawa hebat sampai membuang kepalanya kebelakang.

“Menurut kamu juga itu gak make sense?” Aku sedikit kesal menatap ia yang belum reda dari tawanya.

No! Ya enggak lah. Aku ngetawain orang yang bilang kalau itu gak make sense. Aku pikir, mimpi kamu pengen jadi Captain Marvel, taunya being a florist.” Jemari Minghao kini menggapai jemariku.

Go chase them, sweetheart. If it what makes you happy, it doesn’t have to make sense to the other. Okay?” Bagiku, ini jadi terlihat salah. Cara Minghao bersuara, cara dia menatapku, cara dia yang sekarang sedang mengelus jemariku, ini semua benar-benar jadi terlihat salah.

“Minghao?” Panggilku.

Yes?”

Are you being my real boyfriend, right now?”

Yes. Of course. It's Minghao your boyfriend.”

Even those words? You said it as my boyfriend?”

“Iya. Kenapa? Emang ada yang salah?”

“Bukan gara gara ‘the game that I asked you to play’ kan?”

Wait? You play a game? I don’t even think it is a game?” Aku diam, bahkan jemari lentik miliknya masih disana, belum berpindah barang sedetik pun. “Are you playing with my feeling?” Sambungnya, mengernyit.

No, Enggak.” Aku buang pandanganku kemudian, menatap jauh kebawah sana. Tinggi, aku dan Minghao berada di tempat yang tinggi dan rasanya, aku adalah karakter utama di cerita hidupku sendiri.

“Jadi.. siapa yang bilang kalau mimpi kamu gak make sense?”

Aku tersenyum getir, mengingat seseorang yang selalu aku panggil ‘Ibu’ yang ternyata menentang hebat mimpi sederhana yang aku punya.

My mom..” Cicitku.

Minghao menarik nafasnya dalam dan membuangnya agak kasar, kemudian bersuara, “It’s kinda sad, actually. Karena harusnya keluarga yang bisa jadi support system nomor 1, bukan malah yang bikin kita jatuh terpuruk.” Aku mengangguk kecil, setuju dengan apa yang Minghao barusan katakan, harusnya, Ibuku yang paling bangga dengan segala mimpi yang anaknya gantungkan.

“Tapi..” Minghao berhenti sejenak. “This is about you. Bukan Ibu kamu, Ayah kamu, bukan orang lain dan bukan juga aku..” Matanya kini bertemu mataku, masih dengan jemarinya yang mengelus jemariku. “Yaa.. walaupun aku baru jadi pacar kamu 20 menit yang lalu.” Ia terkikik kecil.

“Ini semua, soal kamu dan kamu. Kamu harus yakin sama mimpi kamu yang kata orang gak make sense sama sekali, kalau argumentasi yang tadi aku bilang soal, ‘it doesn’t have to make sense to the other’ gak relevan sama kamu, maka kamu harus bikin hal itu jadi make sense buat orang banyak.” Sambungnya.

“Kamu tau..” Minghao lagi-lagi menarik nafas. “Ada banyak orang diluar sana yang being a florist dan jadi kebanggaan orang banyak, bahkan orang orang yang gak kenal sama dia. Dengan keyakinannya, semuanya jadi masuk akal soal mimpi itu. So.. go chase them, yang paling pertama adalah yakin kalau kamu memang pantas buat mewujudkan mimpi itu. Ini soal kamu, kamu dan kamu.”

Aku membisu, pandanganku tidak lepas dari sosoknya. Begitu menakjubkan, dan penuh dengan hal magis. Perkataannya, dukungan kecilnya, sosoknya yang tidak meremehkan mimpi kecil yang aku elu-elu kan. Minghao, benar benar mengubah dan mengembalikan cara pandangku soal sebuah mimpi yang aku damba.

Thank you, Minghao.”

Ia mengibaskan tangannya didepan wajah. “It is not a big problem, babe. Chill.”

Aku tertawa.

So.. it is nice to have a boyfriend like you, Minghao. I think its time to us to ended it.”

Dirinya tersenyum menunduk, “But I think.. you don’t get my consent..”

“Maksudnya?”

“Dari awal, waktu kamu nanya soal ‘ask me for being your boyfie’ kamu dapet persetujuan dari aku, so that’s why we are here. Kamu setuju, aku setuju. Tapi untuk kali ini, I am not. Sorry to say.”

“Hah?”

It is really nice to have a girlfriend like you, not gonna lie.” Dirinya merangkul pundakku. “Lagian, mana ada sih orang yang pacaran cuma 20 menit? Let’s make it count, okay?” Kemudian, secara terang terangan ia tarik aku dalam pelukannya, menjatuhkan dagunya di atas puncak kepalaku dan menepuk bahuku dalam ritme pelan.

It is okay, you have me now.”

You’ve got to be joking..”

Couple biasanya ngapain aja sih? Nonton yuk?”

“Minghao?”

“Oh, sebelum itu..” Dia mengeluarkan ponselnya, mengangkat tanganku dan menjatuhkan benda itu di telapak tangan. “Leave me your number..”

What?”

We are couple? What’s the matter? Masa ada couples yang gak punya nomor telfon?”

“Kamu beneran bercanda ya, Hao?”

“Mukaku keliatan lagi bercanda, gak?” Tidak. Itu adalah jawaban atas keseriusan di seluruh sudut wajah Minghao.

Pun pada akhirnya, dengan keputusan dan pemikiran panjang namun singkat, aku tinggalkan nomorku di ponselnya.

-

Minghao tidak bercanda, semenjak aku meninggalkan nomor ponselku, dirinya selalu mengirim pesan secara berkala, terkadang menelfonku pada malam hari.

“Kamu di lantai berapa?” Tanyanya, lewat panggilan telfon.

Dunno.”

“Jangan sampe aku ngetok setiap pintu cuma buat nyari tau kamu di pintu berapa, ya?”

Try it.” Aku memutus panggilan telfonnya kemudian, tertawa geli di atas sofa apartemenku. Harusnya Minghao tau, bahwa aku tidak akan mungkin semudah itu memberi tahu dirinya, terutama soal di lantai berapa aku tinggal.

Malam terakhir, aku dan dirinya berpisah di lift. Jadi, dia sama sekali tidak mengetahui akan hal yang selalu di ributkannya, perihal ada di lantai berapa dan pintu nomor berapa aku tinggal.

Aku kemudian menghabiskan waktuku dengan sibuk menonton siaran televisi, memakan makanan ringan dan acuh perihal percakapan singkatku dengan Minghao beberapa puluh menit yang lalu. Minghao, tidak mungkin senekat itu.

Menjelang malam, suara bell memekakkan pendengaran, mengudara di seluruh sudut apartemenku. Ketika aku intip dari lubang kecil yang ada di pintu, aku temukan sosok familiar yang mengacak pinggangnya diluar sana, menunggu untuk di bukakan pintunya, Minghao.

Senyum lebar merekah di dimensi wajahnya ketika ia menemukanku keluar dari balik pintu. “Got you.”

“Kamu beneran ngetok pintu satu satu?”

Like I said.” Ia mengangkat bahunya, menyombongkan diri.

“Kamu bercanda, Minghao.”

“Setidaknya ajak aku masuk dulu, aku capek tau naik turun tangga.”

From first floor?”

From first floor.”

God, you are not, tell me you are not.”

-

Kemudian, ini rasanya benar benar seperti menyelam dalam sebuah hubungan serius. Kadang, ada banyak afeksi yang sampai kepadaku. Minghao, benar benar menjalaninya sebagai seorang pacar dan terkadang selalu membuatku berspekulasi bahwa dia sedang berpura-pura. Namun tidak pada kenyataannya.

Mengajakku menonton, makan bersama di restoran mewah, atau di pedagang kaki lima. Memberiku bunga di hari Valentine dan menghadiahkan ku berbagai macam hadiah saat tiba tanggal ulang tahunku. Minghao, tiba tiba menjadi orang yang mampu aku percaya, menjadi orang sekaligus tempat yang paling membuatku nyaman.

Begitu, sampai menyentuh angka 2 dalam satuan tahun.

Terkadang, di malam malam sepi, kami kembali bertemu di rooftop, menertawakan kejadian kejadian yang telah berlalu diantara kami berdua. Kemudian, sesekali menapak tilas soal bagaimana hubungan ini bisa ada, bisa terjalin hingga selama ini dan akhirnya menimbulkan sebuah perasaan yang bukan hanya sekedar rasa, tapi lebih dari itu semua.

Soal, bahwa yang aku mau hanyalah Minghao yang memenuhi masa depanku.

-

Satu malam, aku datang ke lantai apartemennya, menekan angka di smartlocknya, dan yang aku temukan adalah seorang gadis yang sedang berkeliling menatap sudut demi sudut apartement Minghao.

Terkejut? Lebih dari pada itu.

“Siapa?” Tanyaku. Sebelum si gadis itu menjawab, Minghao muncul dari balik kamarnya.

Babe?”

“Siapa?” Kali ini, aku bertanya kepada Minghao. Jari telunjukku masih menunjuk si gadis, tapi pandanganku secara bergantian menatap keduanya.

“Nak, ini celana kamu udah sobek sobek kenapa masih disimpan di lemari?” Seorang wanita paruh baya ikut muncul dari kamar Minghao.

Mom..” Sahutnya. Wanita itu kemudian menatapku, mendekat. “Ini, pacarku.” Kata Minghao memperkenalkan aku pada seseorang yang dia panggil Ibu barusan.

Si wanita tadi tersenyum kecil, mengelus pipiku, “Halo, saya Mamahnya Minghao. Baru sampe tadi pagi dari Surabaya.” Jelasnya, aku mengangguk dan menyunggingkan senyum kecil, lalu mencium punggung tangannya. “Kalau ini..” Ibu Minghao menunjuk seorang gadis yang aku temui Ketika pertama memijak apartemen Minghao. “Tzuyu, teman kecilnya Minghao.”

Sorry, kalau tadi bikin salah paham.” Sahutnya, menggaruk kepala kemudian menawarkan jabatan tangan. “Chou Tzuyu, salam kenal.”

Semenjak saat itu, aku dan Tzuyu jadi saling kenal. Saling bertukar informasi bagaimana kehidupan Minghao dulu ketika menghabiskan masa kecil bersamanya, dan tidak jarang, menghabiskan waktu kualitas bersama, hanya berdua, layaknya adik-kakak maupun sahabat.

Minghao bilang, Tzuyu sudah seperti adik perempuannya. Orang tua Minghao yang menganggap Tzuyu seperti putrinya dan orang tua Tzuyu menganggap Minghao sebagai putranya. Aku pribadi, sangat senang dengan kehadiran Tzuyu, karena secara tidak langsung, aku jadi mempunya teman dalam berbagai aspek.

Namun, bohong kalau aku bilang bahwa aku tidak punya perasaan khawatir, walaupun pada hakikatnya, kehadiran Tzuyu lebih dulu ada daripada aku. Tapi perasaan mengganjal itu selalu menghantui hari-hariku. Terlebih, ketika melihat keduanya bercanda di sekelilingku.

Malam itu aku temukan Minghao yang secara tiba tiba memelukku dari belakang, lagi lagi menghabiskan waktu di rooftop apartemen.

“Kenapa kamu gak angkat telfonku?” Bisiknya.

“Hp nya aku silent.” Balasku singkat.

“Kenapa?”

“Aku lagi pengen sendiri.” Minghao melepas peluknya, kemudian memutar tubuhku dan akhirnya secara sempurna berhadapan dengan dirinya.

“Kamu kenapa?” Aku menggeleng kecil, menolak menatap manik mata Minghao. “You okay?” aku mengangkat bahuku sebagai jawaban.

“Kalau ada masalah, sini cerita sama aku.” Dirinya memainkan helai rambutku.

Dunno, Hao. Cuman ada perasaan ganjal aja.”

“Apa?” Kini, dengan berani aku bertemu tatapnya. Tatap hangat milik Minghao dan senyum kecil indah disudut bibirnya.

“Hao..” Panggilku.

“Hm?”

If in any cases.. kamu di hadapkan dengan dua pilihan, antara aku, atau perempuan lain, what will you choose?”

“Kamu bukan pilihan, kamu keputusan.” Jawabnya. Harusnya, perkataan itu sudah lebih dari cukup. Namun jawaban Minghao barusan belum mampu meredakan sebuah perasaan mengganjal yang terus menerus ada disana.

Thank you. But, can you just.. choose?” Aku dan dirinya masih saling bertemu dalam tatap. Ia menarik nafas dalam, buku buku jarinya menyentuh pipiku, terus bermain disana.

I will always choose you.” Katanya, sudut bibirnya terangkat dan menciptakan senyum merekah, begitupun denganku. Mungkin, ini sudah lebih dari cukup. “Always.”

-

“Ini bunga baru ya?” Mata Minghao memicing kemudian mengambil wadah berisi satu bunga yang berada di dalam rak.

“Iya. Baru aja datang kemarin.”

What is this?” Tanyanya, memainkan kelopak kelopak kecilnya namun pandangannya di alihkan kepadaku.

Baby’s breath.”

“Namanya bagus.” Senyum indah di dimensi wajahnya terukir sempurna.

“Maknanya lebih bagus.”

“Apa?” Kini aku mendekati Minghao, menempelkan daguku di bahunya kemudian melingkarkan tanganku di perutnya. Memeluk dari belakang.

Baby’s breath itu selalu berhubungan sama ketulusan dan cinta abadi, Minghao. Jadi simbol lembaran baru, harapan baru dan cinta kasih. Sama kaya namanya, nafas bayi, suci.” Dari sudut mataku, dapat aku lihat sunggingan senyumnya yang masih belum juga mereda.

“Nanti..” Kini tanganku ikut memainkan kelopaknya yang mungil. “Aku mau pegang Baby’s breath di hari pernikahanku, a whole bouquet.

Sure.. Baby’s breath. Why not?”

Dirinya lalu meletakan wadah bunga tadi ke rak, memutar tubuhnya dan memelukku jatuh dalam rengkuhnya. Masih hangat, masih sama seperti bertahun lalu di rooftop apartemen yang bahkan sudah tidak lagi kami tempati disana.

Dirinya menjatuhkan dagunya di ubun kepalaku, membawaku ke kanan dan ke kiri dalam ritme pelan. Aku pejamkan mataku, merasakan peluk hangatnya, merasakan tumpahan afeksi yang di berikannya. Minghao-ku sayang.

“Kamu udah ke gereja?” Aku mendongak, agar mampu menatap wajahnya. Ia mengangguk.

“Sehabis dari gereja aku langsung kemari.” Ia tersenyum. “Kamu?”

“Jadwal ibadahku sore.” Balasku.

“Jangan lupa, ya? Atau aku anterin?” Aku menggeleng, merapikan coatnya, menepuk kecil untuk menghilangkan debu yang bahkan tidak terlihat disana, dan kembali menatap manik matanya.

“Kamu kerumah sakit aja, ketemu Mama. Nanti aku nyusul. Oke?” Dirinya mengelus kepalaku dan mencolek ujung hidungku. “Oke.”

Ibu Minghao sedang menjalani pemulihan paska operasi jantung yang baru saja dijalani oleh beliau beberapa hari yang lalu. Dokter bilang, Ibunya di diagnosa mengalami Jantung Koroner akibat penimbunan lemak dan menyebabkan arteri koronernya menjadi tersumbat.

Aku sering mengunjungi beliau, sesekali bersama Minghao, terkadang bertemu Tzuyu disana, atau kadang sendirian.

Sore ini, setelah selesai beribadah, aku langsung memesan taksi dan pergi menuju rumah sakit. Sesuai janjiku tadi, bahwa setelah selesai beribadah aku akan pergi menyusul Minghao kesana. Di tangan kananku, ada plastik putih berisi beberapa buah buahan yang sempat aku beli di sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit.

Lalu, ketika aku sampai di koridor dan akan berjalan menuju kamar inap Ibu Minghao, kutemukan dirinya menangis di kursi tunggu.

“Hao..” Panggilku memegang kedua bahunya, matanya sembab. Aku lempar plastik berisi buah tadi asal, dan beralih menangkup wajahnya.

“Mama..” Suaranya parau. “Mama udah gak ada.”

Gagal jantung.

-

Gaun putih diatas lutut memeluk tubuhku dengan indah. Hari ini, pagi pagi sekali aku sudah menata rambutku. Aku tatap lamat pantulan diriku didepan kaca, merapihkan segala apa yang perlu di rapihkan, kemudian berangkat ke sebuah gereja.

Di dalam, aku mengambil kursi paling depan, duduk dengan anggun dan menunggu mempelai wanita masuk dan menuruni altar.

Tidak lama, pintu gereja terbuka, menampilkan seorang gadis dengan balutan gaun yang melilit tubuhnya, sebuah veil yang mengcover wajahnya dan bouquet yang di genggamnya kuat.

Tzuyu. Hari ini, hari pernikahan Tzuyu.

Dirinya menggandeng tangan Ayahnya, diantarkan menuju mimbar untuk diserahkan kepada mempelai pria, kepada calon suaminya.

Riuh tepuk tangan menggema, pun aku yang dengan bersemangat menatap dirinya. Kini, tangannya berpindah, dijemput oleh seorang lelaki yang sudah lebih dulu menunggunya disana,

Minghao.

Sebuah realita yang harus aku saksikan di hidupku, menatap angan-ku pergi, membangun ceritanya sendiri.

Setelah Ibu Minghao di makamkan, dirinya menemuiku. Menangkup wajahku sambil menangis dan bilang bahwa permintaan terakhir Ibunya adalah agar ia bersama dengan Tzuyu, teman masa kecilnya yang selalu di elu-elukan. Dan pada akhirnya, ketakutanku bertahun yang lalu, hari itu jadi kenyataan.

Maka sebagai seorang anak yang berbakti, ia melepas tanganku. Ia melepas segala-galanya tentangku, tentang kami, serta berpuluh angan yang sempat kami gantungkan kepada semesta. Minghao, membuka lembaran baru.

Sebelum dirinya menjemput jemari Tzuyu, tatapnya menemukan tatapku. Aku tersenyum kecil, mengangguk serta berusaha sekuat tenaga menahan bulir air mata yang bersiap untuk jatuh. Melihat Minghao dengan jas yang rapi dibandingkan jaket kulit serta jeans koyak-nya, membuatku hampir tidak mengenali sosoknya.

Masih dengan tatap yang saling bertemu, aku katakana pada diriku sendiri : It will be us. Di lain waktu, It will be us.

Dan dapat aku lihat dengan jelas : Minghao yang menungguku diujung altar bersama pendeta. Dirinya yang tadi membelakangiku kini memutar tubuhnya dengan rekah senyum paling bahagia ketika melihatku masuk dari pintu gereja. Rambutku yang ditimpa sinar matahari lewat jendela kacanya, serta se-bouquet penuh bunga baby’s breath di genggamanku.

Ketika dirinya menjemput jemariku, ia bergumam kecil, “What took you so long?” dirinya sedikit menggoda. Dan akan aku balas, “The best things are worth the wait, Minghao.”

Ketika aku kembali mengerjapkan mata, yang aku temui adalah keduanya yang telah selesai bersumpah janji. Kini, Minghao dan Tzuyu berselaras di dalam lembaran yang sama.

Minghao, next time, maybe it’ll be us.

—fin.