Aku dan Wonwoo duduk berdua di sofa ruang tengah, menonton tayangan sebuah series dari salah satu channel berbayar yang jadi langgananku. Di meja, ada sebuah piring kotor dengan bercak saus dan mayones serta dua gelas air mineral yang tinggal setengah. Berpuluh menit yang lalu, Wonwoo membuat omelet walaupun agak sedikit gosong.
Disetiap suap demi suap, aku ceritakan apa yang terjadi di dermaga sore hari tadi, soal aku dan Mingyu. Seperti kata Jun, semua, semua aku ceritakan, tidak terkecuali soal kesempatan lain yang mungkin terjadi di masa depan.
“It is not a big problem buatku” Kata Wonwoo.
“Kenapa?”
“I don’t know. You love me, udah. Sama sekali gak ganggu aku walaupun kenyataannya kamu pernah cinta juga sama dia. I mean, kalaupun kamu sama dia ketemu lagi di satu titik, it's not my own bussiness lagi. itu urusan kamu sama dia.”
“Emang kamu gak takut aku bakal bareng sama dia?”
“Tapi nyatanya kamu disini sama aku”
Aku tersenyum, memiringkan kepalaku sedikit, menatap setiap lekuk wajahnya. “Kalaupun aku boleh minta, aku Cuma mau sama kamu. aku mau terus terusan jatuh cinta sama kamu seribu kali sehari.”
“Exactly, that’s it. Aku gak perlu khawatirin apa apa lagi. Truly, i meant it.” Ia memainkan rambutku yang sedikit menutup sudut mata. Kini dirinya menegak air mineral dalam gelas dihadapannya sampai habis. To be honest, He looks so hot, dengan kemeja putih yang lengannya dilipat seperempat bagian. Apalagi setelah melempar pernyataan barusan. Aku tertawa kecil.
“Okay? You look so confident ya” Kataku, dia tertawa kecil, dengan kerutan dihidungnya.
“Why not?” Kami kemudian pecah dalam tawa.
“Dulu..” Aku mengerutkan alis, agak bingung karena Wonwoo tiba tiba mengalihkan pembicaraan. “Papa pernah punya perusahaan” Wonwoo tiba tiba memulai cerita.
“Oh ya?” Mataku membulat, sebuah fakta yang baru saja aku ketahui. Wonwoo mengangguk.
“It was nice, waktu Papa akhirnya turun jabatan dan nyerahin tanggung jawabnya di tanganku. Tapi aku lupa, kalau aku masih terlalu muda, kayanya umurku waktu itu 23 tahun apa ya?” Wonwoo mendongak menatap langit langit, berfikir.
Kini, kami duduk bersender pada kepala sofa, memiringkan tubuh saling berhadapan.
“Karna aku masih muda, jadi aku pikir it is okay if I made a mistake saat mengambil keputusan di perusahaan, jalanku masih panjang dan aku masih bisa belajar banyak. Turns out, akibat kesalahan yang aku buat, perusahaan Papa bangkrut”
Ia menopang kepalanya dengan sikut yang bertumpu pada kepala sofa, kini tangannya yang lain menarik jemariku. “Dulu aku seterpuruk itu, aku sama keluarga makan mie instan satu bagi empat” Wonwoo tersenyum masam, menatap kosong kearah jemariku, mengingat masa lalunya.
“Yang sampe sekarang selalu bikin aku sedih ya.. Chan. Aku inget banget mukanya dulu kalau nahan nahan lapar, aku jadi sedih.” Tapi, Wonwoo memang bersedih sesaat menceritakan itu, karena matanya sedikit mulai berkaca kaca.
“Everybody said that I am so bad at making decision, itu bukan pure suatu prespektif psikologi yang selalu aku dengar, tapi ada satu trauma masa lalu yang I can’t get rid of it. Maafin aku, bisa bisanya aku ragu sama kamu, padahal kamu keputusan terbaik yang pernah aku buat” Aku tersenyum, mengelus pipi tirusnya, menggeleng.
“It’s okay. It doesn’t mean that you are a bad leader back then, Wonwoo. Leader yang baik adalah leader yang selalu bertanggung jawab atas keputusannya. Mungkin kamu kehilangan perusahaan Papa, tapi kamu bertanggung jawab atas keluarga kamu. Look at you now, kayanya kalau beli perusahaan baru juga mampu” Dirinya tertawa.
“Aku menghalalkan segala cara supaya bisa membalik keadaan, though it wasn’t easy” Wonwoo mengucek matanya, menahan agar tidak ada air mata yang jatuh.
“I know” Tanganku masih disana, masih mengelus pipinya. “Ini.. hadiah afeksi dari aku, makasih udah mampu bertahan, dan makasih, hari ini udah berani mengambil keputusan. Sekarang, kita ada di ruang gerak yang sama, Wonwoo. Gak perlu berjarak lagi”
Pupilku bertemu miliknya, sama sama melempar senyum, saling menghadiahkan afeksi dengan cara masing masing.
“Kamu..” sahutnya, menggantung. “Mau jadi tempatku pulang, gak?”
“Hm?”
“Mau jadi tempat sehat dan sakitku, gak? Mau jadi tempat susah maupun senang, miskin atau kaya, tempat lebih dan kurang. Kamu, mau jadi setengah dari aku, gak?”
“Wonwoo, kamu ngapain?”
“I Proposed you.”
Kali ini, pipiku panas.
“Kenapa kalimatnya panjang banget gitu sampe aku bingung, Wonwoo?” Aku tertawa hingga membuang kepalaku kebelakang.
“Kalau gitu, Will you marry me?” Ia merogoh kantong celananya, mengeluarkan sebuah cincin bahkan tanpa kotak. “I said I wanna start all over again, kan? So I proposed you in a proper way”
Ah, dasar Wonwoo.
Mataku tiba tiba jadi panas dan tanpa sadar ada bulir yang mulai jatuh dari sana.
“Of course I do” Kataku, tanpa ragu namun masih sulit mendeskripsikan bahagiaku pada malam ini. Dirinya aku peluk, dengan dua cicin yang sangat pas melingkari jari manisku. Iya, dua-duanya ada di jari manisku. Lamaran pertama, dan ini, yang kedua. Yang katanya ‘I Proposed you in a proper way’
“Aku jadi punya dua cincin” Kataku.
“Ya emang kenapa? Cantik.” Wonwoo mengetuk-ngetuk cincinnya dengan jari telunjuk.
“Kamu duitnya banyak banget ya sampe beliin aku dua cincin?” Wonwoo tertawa, membuang kepalanya kebelakang. Tidak lupa, kerutan di tulang hidungnya.
-
Pukul 10 pagi, aku temui Wonwoo di ruangannya.
“Pagi, pak” Sapaku, mengundang tawa darinya.
“Pagi. Ada kepentingan apa kira kira?” Aku kemudian berdiri tegak di depan mejanya dan mengeluarkan satu amplop kertas.
“Surat resign” Aku letakan diatas meja dan aku sodorkan kepadanya. Dirinya, mengkerutkan alis bingung.
“Kok resign?”
“Ya, resign.”
“Kenapa?”
“Ya emang kenapa? Lagian ntar juga kalau kita tinggal serumah kamu ngeliatnya aku terus”
“Ya terus kalau aku ngeliat kamu di kantor juga, emang kenapa?” Aku tersenyum.
“Wonwoo, sampai kapanpun, kita bakal selalu butuh ruang dan jarak. Sesak, kalau ntar kita ketemu terus, gaada kangen-kangennya mana enak” Jelasku, tertawa.
Wonwoo mengkerutkan alisnya, berusaha mencerna kalimatku barusan, kemudian tertawa.
“Yaudah kalau gitu saya terima ya.” Katanya.
“Berarti hari ini saya gak perlu kerja kan, pak?” Wonwoo menggeleng, menarikku dan menghadiahi ciuman singkat di pipi.
“ASTAGFIRULLAH! KENAPA MESUM DI KANTOR? Ini melanggar SOP kerja kalau begini. Awas, Won, gue laporin!” Kak Soonyoung tiba tiba muncul dibalik daun pintu, menggeleng kepalanya. “Ga ada yang namanya boss mesra mesraan sama karyawannya sendiri” Kali ini, ia mengelus dadanya, mengundang tawa dariku dan Wonwoo.
“Siapa yang mesra mesraan sama karyawan? Udah bukan karyawan lagi, wle” Aku menaikan amplop berisi surat resign tadi sambil menjulurkan lidah. “Ada juga mesra mesraan sama calon suami, hehe” Sambungku.
“Lah, lo resign, dek?”
“Iya, bye kak!”
“Ada gitu gue liat orang resign malah ketawa-tiwi kaya gini. Ngaco!”
“SIAPA YANG RESIGN?!” Tidak, Ryujin.
“Lo resign?” Ryujin muncul dibalik punggung kak Soonyoung. “Demi apa lo resign gak bilang gue?!”
Ryu, maaf ya, aku belum tega buat ngomong. hehe.