youngswritting


Enam belas, seragam putih abu-abu, dan kehidupan menyenangkan tanpa beban. Melangkahkan kaki masuk dari gerbang sekolah hanya memikirkan soal PR Matematika yang tidak kunjung rampung. Mungkin itu yang sedikitnya Wonwoo pikirkan ketika duduk di bangku SMA.

Tidak, Wonwoo selalu menyelesaikan PR Matematikanya, kecuali satu orang di ujung sana yang sedang grasak-grusuk dan bahkan saat ini menulis dengan cara berdiri dan menempelkan bukunya di dinding. Bahkan dasinya hanya dikalungkan tanpa di di ikat rapi, Mingyu, namanya Mingyu.

“Geser dikit anjing gua kaga keliatan ntu nomor 3.” Wonwoo sudah terlalu biasa menonton pertunjukan semacam ini di tiap pagi harinya.

Bagi Wonwoo, sulit mendeskripsikan teman sekelasnya yang satu itu. Atau mungkin, agar menjadi cakupan sempit dan tanpa perlu bertele-tele, Wonwoo akan sebut dia berandalan sekolah.

Jangan tanya sudah seberapa familiar Wonwoo dengan wajah kedua orang tua Mingyu. Terkadang setiap dua bulan sekali, seorang lelaki paruh baya dengan setelan rapi akan berjalan masuk ke pekarangan sekolah, dengan alis yang mengkerut dan wajah yang kusut, semua tau, itu adalah Ayah Mingyu. Lain halnya dengan Bundanya, wanita itu tetap akan menebar senyum, entah apa maksud dan makna dibalik itu.

Maka kemudian yang akan Wonwoo dengar dari mulut ke mulut adalah, “Mingyu ketauan merokok.”, “Mingyu cabut lewat belakang sekolah.”, “Mingyu alpa.”, “Mingyu ikut tawuran, tau.”, “Mingyu udah dua minggu berturut-turut gak ngerjain tugas.”, “Mingyu mau di drop out.”

Namun nyatanya, spekulasi yang terakhir tidak valid, buktinya, anak itu saat ini masih dengan fokus menulis PR nya di dinding sana.

Dibalik itu semua, dengan label Wonwoo yang adalah anak teladan dan patuh di sekolah, itu sama sekali tidak menganggunya. Wonwoo tidak pernah berdecak sebal kalau Mingyu harus ribut di kelas ketika dirinya sedang belajar sebelum ulangan harian di jam pelajaran berikutnya, Wonwoo tetap santai ketika Mingyu tidak sengaja melempar gumpalan kertas dan mengenai wajahnya, segala kelakukan Mingyu, tidak pernah mengusik diri Wonwoo sendiri.

“Dasi lo, pake yang bener.” Mingyu menoleh, kemudian mengapit buku catatannya di ketiak dan mulai menggapai dasi yang tadi sempat hanya dikalungkannya.

“Gabisa gue, pakein.” Wonwoo menatap lama dasi berwarna abu-abu di hadapannya yang sedang di sodorkan. Dengan cepat, dirinya meraih dan berdiri, memakaikan dasi untuk satu teman sekelasnya itu.

“Kalau gabisa, terus selama ini yang pakein siapa?” Mingyu sedikit menunduk, menatap temannya yang sibuk mengikat dasi di kerah baju putihnya.

“Nyokap.”

Wonwoo mendengus dengan sunggingan kecil di sudut bibirnya. “Kenapa?” Tanya Mingyu.

“Gak papa. Ngeliat kelakukan lo di sekolah tau-tau di rumah dasi di pasangin sama nyokap, yaa semua orang juga bakal ketawa.”

“Yaelah, emang anak kaya gue gak boleh dasinya di pasangin sama nyokap?” Kini, ada dasi yang sudah terikat rapi.

“Baju lo, masukin ke dalam celana.”

Alis Mingyu mengkerut. “Lo OSIS, ya?”

Wonwoo yang tadi berdiri, kini duduk meraih pena dan mulai menarik buku paketnya. Ia menggeleng. “Bukan.”

“Ngapain ngatur gue kalau gitu?” Helaan nafas jadi jawaban untuk Mingyu. Kini yang menghela nafas mendongak, bertemu wajah teman satu kelasnya.

“Biar rapi, Mingyu.” Kini bergantian, ada Mingyu yang menarik nafasnya, agak sedikit malas. Dirinya kemudian berjalan memutar, duduk di sebelah bangku Wonwoo yang kosong. Ia yang duduk memiringkan tubuh kali ini sempurna menatap lekuk wajah milik Wonwoo.

“Lo kenapa ambisius banget?”

Tanpa mengalihkan pandangannya dari buku paket, Wonwoo bersuara, “Soal?”

“Jadi yang paling-paling.”

“Emang salah kalau gue jadi yang paling-paling?” Mingyu sebal, dengan intonasi suara Wonwoo. Dirinya yang tidak berekspresi memiringkan sedikit kepalanya, membuat Wonwoo kini sepenuhnya menoleh.

“Gausah ngajakin gue kalau gitu.”

“Gak ada yang ngajakin lo.”

“Lo ngatur.”

“Urusan kemeja masuk ke dalam celana lo bilang gue ngatur?”

“Ya iyalah.”

“Kalau gak mau di atur gausah sekolah. Hidup di hutan aja sana.” Mingyu diam, memijit pelipisnya, agak tidak percaya dengan kalimat Wonwoo barusan.

Tanpa menjawab, Mingyu kini berdiri. Memutar tubuh dan berjalan menjauh. Di tengah langkahnya, ia terhenti, memutar tubuh, bertemu dengan kedua manik mata Wonwoo. “Makasih, dasinya.”

-

“Males ah.” Wonwoo membenamkan wajahnya di balik bantal sofa, ia merebahkan diri menghadap langit langit rumah.

“Anjir kapan lagi? Sekelas datang loh, Won.” Soonyoung menarik bantal yang tadi sempat menutupi wajah sahabatnya. Menurut Wonwoo, Kunjungan Soonyoung ke rumahnya untuk memberikan kabar barusan bagikan petir di siang bolong.

“Gue gak datang.”

“Datang, lo harus datang.” Soonyoung bangkit, berlalu dan berniat melangkah menuju dapur, namun sejenak terhenti. “Anjir, Won? Jangan bilang?”

“Enggak.”

“Enggak apanya? Terus alesan lo gak mau dateng apaan?”

“Yaaaa..” Wonwoo menyilangkan tangannya di depan dada. “Gue mager aja. Lo bayangin, gue harus milih baju, nyari topik buat ngobrol, belum lagi kalo ditanyain soal ‘kapan’, jujur, gue males banget, Nyong.”

Soonyoung menggelengkan kepala. “Itu cuma spekulasi lo aja. Belum tentu apa yang lo pikirin barusan beneran kejadian. Enjoy aja kali, Won. Have fun.” Kali ini Soonyoung memutar malas kedua bola matanya dan melangkah pergi menuju dapur, membuka kulkas.

“Lagian ya, masa sih, setelah bertahun-tahun lamanya, lo gak mau ketemu dia?” Wonwoo menoleh melihat sobat karibnya itu meneguk satu jus kotak yang telah ia tuang di dalam gelas. “Apa gak kangen?”

Sialan.

“Yakin lo? Gak dateng?” Kini Soonyoung duduk bersebrangan dari posisi duduk Wonwoo. Melipat kaki dan memeluk bantal, serta satu alisnya yang menungkik tajam, berusaha mencari validasi dari rekannya, bahwa memang, ‘Mager’ hanya alibi semata untuk kabur dan bersembunyi.

“Besok?” Soonyoung mengangguk.

“Ikut?”

“Jemput gue.”

Atas permintaan Wonwoo, pada esok hari, mobil Soonyoung dengan rapi terparkir di halaman depan rumahnya. Dengan gaya kasual, Wonwoo langsung duduk di kursi penumpang, membiarkan temannya yang satu itu membawanya menuju lokasi reuni.

Di Jakarta Pusat, ada semacam Restoran dengan tema makanan khas nusantara, Seribu Rasa. Wonwoo duduk di sana dengan menunduk, memainkan jemarinya dan menolak bertemu tatap beberapa teman SMA yang bahkan sudah hadir disana.

Soonyoung tenggelam jauh dalam perbincangan. Tawa akibat menapak tilas bagaimana kejadian kejadian di masa lalu, serta banyaknya kenangan yang rasanya sayang kalau tidak di ungkit kejadiannya.

Wonwoo hanya menghadiahkan senyum tipis, tidak mampu tertawa dengan hebat, ia hanya mendengar, sesekali mengangguk bahkan enggan untuk ikut menimpali. Padahal, di ingatannya, ia ada disana, di beberapa kenangan manis masa putih abu-abu, dan bagaimana masa-masa itu mampu membawa euforia yang membawa debar.

Satu teman Wonwoo menyahut, mengangkat tangannya ke udara, menyambut kedatangan seseorang. Kini Wonwoo pun ikut menoleh. Langkah kakinya serta eksistensi yang di tangkap manik mata Wonwoo, selalu sama, bahkan setelah beberapa tahun berlalu, sosok itu, seakan-akan masih sama seperti mereka di umur enam belas tahun.

-

“Mingyu!” Soonyoung berdiri cepat ketika mendapati eksistensi Mingyu yang melangkah memasuki kelas. Ia sibuk dengan dasinya.

“Apa lagi?”

“Yaelah, lu mah.”

Alis Mingyu mengkerut hebat. “Apaan si, Nyong? Mending lo daripada banyak bacot lo iketin nih dasi gue.”

Alis Soonyoung tidak kalah berkerutnya disana, menatap sang teman dari atas sampai bawah. “Lo.. gabisa ngiket dasi?”

“Gausah banyak tanya, iketin.”

Soonyoung memutar bola matanya malas. “Mending nih ye, lo perhatiin nih satu kelas..” Ia merangkul Pundak Mingyu, menunjuk ke seluruh sudut kelas. “..Siapa yang dasinya paling rapi, coi?”

Pupil mata Mingyu menangkap milik Wonwoo.

“Yak betul. Sono, ama Wonwoo.” Ia menepuk bahu Mingyu berkali-kali, dan tanpa dosa berjalan meninggalkan dirinya keluar dari kelas dan berlalu entah kemana.

“Nyong! Woi!”

Mingyu berdeham, ketika sahutannya tidak mampu mendistrak satu temannya itu. Dengan santai, dirinya berjalan menuju bangkunya sendiri yang tepat membelakangi Wonwoo.

“Gak mau gue iketin nih jadinya dasi lo?” Bulu kuduk Mingyu berdiri, padahal ia yakin bahwa Wonwoo sama sekali tidak berbisik di telinganya.

Mingyu lantas menoleh menatap Wonwoo di belakang, “Lo mau?”

“Ya kenapa enggak? Kemarin juga gue iketin.”

Dirinya berbalik sekejap, berbicara pada dirinya sendiri. Si bodoh Mingyu, bahkan urusan kecil semacam mengikat dasi harus jadi alasan di balik sebuah argumen semacam ‘daripada gue di marahin, mending..’

Mingyu kembali memutar tubuh kebelakang. “Yaudah sini, iketin.”

Alis Wonwoo berkerut. “Yang butuh gue, apa lo?”

“Ah! Lo banyak pertimbangannya urusan dasi kaya gini.”

“Yaudah, terserah.”

Setelahnya Mingyu diam, menimbang banyak pilihan di kepalanya dengan kaki kanan yang terus menerus terhentak.

“Hansol! Pasangin dasi gue.” Seorang lelaki dengan wajah ke-bule-bule-an mengkerutkan wajah dengan bingung.

“Apaan sih lo, malu sama surat peringatan. Udah numpuk malah gabisa ngiket dasi.”

“Anjing lo sensi banget kenapa dah? Datang bulan?” Mingyu membuang kasar nafasnya.

“Chae, iketin dasi gue dongg~” Kali ini ia memanyunkan bibirnya, memohon pada satu gadis yang sedang asik membaca novel remaja di sudut kelas.

“Gue cewe anjir, gak pake dasi kaya lo.”

Kini Mingyu buntu. Banyak, ada banyak pilihan sekarang, hanya saja tidak ada harapan di tiap-tiap pilihannya.

Dengan memutar bola mata, helaan nafas pelan, ia bangkit dan berdiri di sebelah meja Wonwoo. Mengetuk dengan tangan yang mengepal dan membuat Wonwoo terkesiap, mendongak menemukan Mingyu yang berdiri dengan wajah memelas.

“Pasangin.”

“Tolong..”

“Ah elah, lu mah..” Entah untuk keberapa kalinya Mingyu membuang nafasnya terus-menerus, akhirnya bersuara, “Tolong pasangin dasi gue, Wonwoo.”

Tanpa satu ekspresi pun, Wonwoo berdiri, mulai mengikat dari sini ke sana. “Itu basic manner, Mingyu. Tolong, Maaf, Makasih.” Jelas Wonwoo pelan.

“Lagian lo kenapa sebelum sekolah gak minta tolong nyokap lo pasang dasi, sih?” Mingyu menolak menatap orang di hadapannya, memilih menatap lurus ke arah jendela kelas yang menjurus lurus menuju lapangan upacara sekolah.

“Nyokap gue udah berangkat kerja dari jam 6.”

“Di rumah lo emang gak ada pembantu?” Kali ini, dengan alis yang menungkik tajam, ia tatap sosok satu itu dengan terkejut, tidak percaya atas pertanyaannya barusan.

“Lo kira gue anak konglomerat?”

“Emang bukan?”

“Gila kali lo, Won. Kaga.”

“Oh, kirain.”

Wonwoo mundur berapa langkah, menatap hasil lipat melipat dasi yang kini sudah sepenuhnya terpasang dengan rapi di kerah baju Mingyu. Dirinya mengangguk pelan, mengamati hasil karyanya sendiri. Ya, setidaknya sebelum terlepas dan tidak lagi menjadi bentuk dasi pada umumnya ketika jam istirahat nanti.

“Udah nih?” Mingyu menunduk berusaha menemukan dasi di kerah bajunya yang sudah dipasang.

“Udah. Beres.” Wonwoo bersiap untuk duduk.

Dengan sedikit dehaman kecil, dan tangan kanan yang mulai masuk ke dalam kantong celana, serta elusan di tekuk, Mingyu bercicit, “Makasih..”

Tanpa menoleh barang sedikit pun, Wonwoo menggumamkan kata ‘sama-sama’ bahkan agak sedikit sulit di dengar oleh pendengaran Mingyu sendiri.

Tukainya kini bergerak ingin melangkah pergi, namun terhenti ketika satu suara meraup indra pendengarannya.

“Mingyu..” Panggil Wonwoo.

“Iya?”

Wonwoo diam cukup lama, menimbang haruskah ia bertanya perihal rasa penasaran di kepalanya. “Gue denger dari Soonyoung sore ini lo mau tawuran?”

Bangsat, Soonyoung. Batin Mingyu.

“Hah? Manaada.” Mingyu terkekeh, mengibaskan tangannya di depan wajah.

“Lo gak capek apa, Gyu, nyari-nyari masalah terus? Padahal masalah gak di cari juga dateng sendiri.”

“Gue gak mau tawuran. Apaan sih lo, Won. Ngaco.”

Di sana, dapat Mingyu lihat bagaimana frustasinya helaan nafas milik Wonwoo. “Gue bukan siapa-siapa sih emang, tapi gue temen lo. Gue gak mau lo harus nyakitin banyak perasaan, Mingyu. Terutama nyokap dan bokap lo yang udah capek ngeliat kelakuan lo.”

“Lagian biar apa sih tawuran? Lo mau mencari validasi kah dari orang-orang bahwa lo itu keren? Atau masalah yang gak kelar-kelar dari zaman kapan tau sama sekolah seberang? Yang bahkan gak masuk di akal sampe-sampe harus tawuran?”

Mingyu masih memberikan ruang untuk Wonwoo berbicara.

“Masih ada banyak waktu buat lo memperbaiki diri dan buang kebiasaan gak jelas lo kaya gitu. Gue gak berusaha ngatur hidup lo, disini gue cuman..” Wonwoo menggantungkan kalimatnya sejenak. “..gue cuman gak mau lo kenapa-napa.”

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa gak mau gue kenapa-napa?”

“Ya siapa yang rela ngeliat temennya kenapa-napa?”

Mingyu mengangkat cepat bahunya, “Hansol rela kok ngeliat gue kenapa-napa.”

“Sol!” Sahut Mingyu memanggil satu temannya yang saat ini sibuk dengan ponsel.

“Paan?”

“Gue kalo kenapa-napa pas tawuran lo rela gak?”

“Bukan urusan gua.”

Mendengar jawaban yang baru saja tercetus lewat mulut Hansol, Mingyu kembali mengalihkan pandangnya kepada Wonwoo dengan satu alis yang menungkik. “See? Hansol aja gak peduli.”

Kini Mingyu berjalan mendekat beberapa Langkah. “Lo harusnya kasih alasan yang jelas, Wonwoo. Soal kenapa lo yang gak rela temen lo yang satu ini kenapa- napa pas tawuran. Atau mungkin alasan jelas yang lain, kenapa gue gak harus nyerang sama temen-temen gue di saat lo cuma sekedar temen sekelas gue yang kerjaannya tiap hari mantengin buku paket gitu.”

Kali ini, giliran Wonwoo yang diam.

“Awas, nanti kacamata lo bisa-bisa makin tebel.”

Wonwoo diam bukan karena menimbang bahwa perkataan Mingyu sepenuhnya benar soal dirinya. Ia diam, karena ia tidak akan menemukan titik henti dalam berargumentasi dengan Mingyu yang keras kepala itu.

Acuh. Ia hanya menatap punggung Mingyu menghilang dari balik daun pintu, kemudian kembali bertumpu pada buku paket di hadapannya.

Sebagai teman, memangnya salah kalau Wonwoo sedikitnya khawatir terhadap perangai berandal seorang Mingyu? Sebagai teman, ia juga sedikitnya mengharapkan yang terbaik. Selalu. Entah itu Mingyu, maupun teman temannya yang lain yang mengambil andil dalam hari-harinya.

Di sore hari, dengan satu jajanan yang sedang dikunyah Wonwoo dan sebotol air mineral yang sama sekali belum terbuka, ia temukan Mingyu duduk di trotoar pinggir sekolah bersama Yugyeom, teman sepatarannya dari kelas sebelah. Mungkin sedang menunggu rombongannya yang lain.

Langkah Wonwoo mendekat, membuat Mingyu dan Yugyeom mendongak menatap Wonwoo yang berdiri tegak, masih mengunyah.

“Lo ngapain disini?” Mingyu bersuara.

Bukannya menjawab, dirinya kemudian menyodorkan sebotol air mineral tadi yang sama sekali belum di buka, membuat Mingyu maupun Yugyeom menungkikan alis dengan tajam, bingung.

“Biar semangat tawurannya.” Keduanya yang masih duduk di trotoar otomatis menunjukan raut wajah aneh dan mempertanyakan apa yang Wonwoo maksud. “Nih, ambil.” Ulang Wonwoo lagi.

“Apaan sih lo?”

“Yaelah, dibilangin supaya tawurannya makin semangat. Ambil.” Air Mineral yang di sodorkannya tidak kunjung berpindah tangan, maka Wonwoo tinggalkan di atas jalanan beraspal, tepat di ujung sepatu hitam legam milik Mingyu, kemudian ia memutar tubuh berlalu.

“Won!” Acuh, si empunya nama terus melangkahkan kaki menjauh. Sampai ketika pendengarannya mendengar langkah lain yang mengikuti.

“Maksud lo apaan?” Kini, ada satu lelaki yang lebih tinggi dari Wonwoo yang berjalan bersampingan.

“Apaan?”

“Dih.”

“Gue dukung lo buat tawuran, salah lagi?” Wonwoo terpaksa harus menghentikan langkah kaki tatkala tubuh besar Mingyu berhenti tepat di hadapannya, menghadang.

“Tadi pagi gue ngelarang lo gak suka, ini gue dukung lo juga gak suka? Ekspresi muka lo sama aja dari yang tadi pagi sama sekarang.”

“Lo aneh, tau gak?”

“Enggak. Gak mau tau juga gue. Minggir.” Langkah yang di ambil Wonwoo dari samping kanan Mingyu, tetap di halangi, begitupun sebaliknya. “Kali ini apa lagi mau lo?”

“Lo tau gak, dengan sikap lo yang kaya begini, gue jadi gak punya semangat lagi buat nyerang sama temen yang lain.”

“Bagus dong kalau gitu.”

“Bagus?”

“Iya, bagus.”

“Lo kenapa sih, Won?”

“Gue kenapa? Emangnya ada yang salah?”

“Lo siapa, Wonwoo? Apa ranah lo sampe harus bertingkah kaya gini?”

“Loh? Ranah gue sebagai temen lo buat ngedukung segala passion yang lo bangun, salah?” Mingyu mengacak rambutnya kasar, menggigit bibir bawahnya.

“Lo tau gak, apa yang lo lakuin barusan itu secara gak langsung sarkas-in gue?”

“Tau. Sengaja. Biar lo sadar, kalau selama ini yang lo lakuin tu salah.”

Mingyu diam di atas pijakannya sendiri, ada percikan api di dalam tubuhnya.

“Lo gak perlu nanya gue siapa, Mingyu. Lo gak perlu mempertanyakan ranah gue apa sampe harus ngelakuin ini. Karna kalau gak ada yang mulai buat nyadarin lo, lo bakalan tersesat dan gak nemuin jalan keluar sama sekali.”

Kini, ada yang redam di sudut hati.

“Minggir, gue mau pulang. Lo lanjutin aja agenda lo, kasian ditungguin Yugyeom.”

Wonwoo benar, Mingyu adalah salah.

-

Pelajaran Kimia pada pagi hari yang tenang mendadak jadi sedikit ricuh akibat sahutan demi sahutan yang ditimbulkan oleh beberapa siswa dan siswi Ketika mendapati eksistensi seorang Kim Mingyu yang duduk dengan tenang tanpa beban di bangku kelasnya. Tidak terkecuali, pak Bambang, seorang guru Konseling yang menatap Mingyu tidak percaya.

“Saya bermimpi, kah?” Sahut lelaki yang berumur kira kira 40 tahun keatas itu ketika melihat Mingyu.

“Kenapa, Pak?” Seseorang yang sedang jadi puncak perbincangan seluruh antero sekolah pun mendadak ikut bingung.

Pak Bambang menepuk kedua pipi Mingyu pelan secara bergantian.

“Kamu.. Mingyu, toh?” Logat kental Jawa nya tidak hilang.

“Y-Ya iya, Pak. Saya Mingyu.”

“Loh..”

“Kenapa sih, Pak?”

“Kok kamu disini, toh? Ndak di kantor Polisi?”

“Lah? Ngapain saya di kantor polisi, Pak? Ditilang juga enggak.” Pak Bambang mengelus dagunya pelan, masih menatap Mingyu yang dirinya sendiri juga sedang kebingungan.

“Kamu kabur dari kantor polisi, ya?” Mata Mingyu membulat, tidak percaya atas pertanyaan yang baru saja di lemparkan oleh guru dihadapannya.

“Yah.. si bapak ngaco. Lagian saya ngapain pak di kantor Polisi? Kurang kerjaan aja saya pak.”

“Ya bukannya biasanya itu kerjaan kamu?”

“Apa pak?”

“Kamu tau ndak? Yugyeom dan geng geng kamu itu di tangkap polisi kemarin sore gara-gara tawuran? Lha kamu ketua gengnya kok malah disini duduk enak.”

“Lho, kok malah saya ketua gengnya sih, Pak? Mana ada.”

Guru Kimia yang awalnya mengajar dan menulis di papan tulis, kini ikut terjun dengan permasalahan yang sedang terjadi.

“Lho.. bukan kamu toh, ketua gengnya?”

“Bukan, Pak.” Pak Bambang memanyunkan bibirnya sambal mengangguk, tidak membuang tatap pada satu siswa di hadapannya.

“Lha terus kamu disini ngapain?”

“Yaelah pak, Disekolah ngapain sih pak? Main kelereng?”

Bincang demi bincang yang sedang terjadi di depan sana, menghadirkan sedikit senyum di kedua sudut bibir Wonwoo.

Jam istirahat, ketika Wonwoo baru saja keluar dari bilik kamar mandi, ditemukannya kepulan asap yang berasal dari bilik lain. Membuatnya mendobrak pintu dan menemukan seorang Mingyu yang sebegitu paniknya sampai membuang puntung ke dalam toilet.

“Anjing!” Mingyu mengelus dada, menopang tubuh pada dinding. “Tai lo, kaget gue.”

“Lo gak ketangkep tawuran tapi malah ngelunjak ngerokok di kamar mandi.” Sosok tinggi itu keluar, sedikit menyenggol bahu Wonwoo dan mencuci tangannya di wastafel.

“Mumet gue.”

“Kenapa? Karena gak ikutan ketangkep?” Kini tubuh tingginya berbalik menatap Wonwoo.

“FYI aja nih ya, gue gak ikutan bukan karna apa yang lo bilang kemaren, tapi emang karna mood gue tiba tiba rusak. Jadi jangan berbangga hati.”

“Terserah.” Wonwoo mengangkat tinggi bahunya. “Yang penting, gue bangga sama lo. Apapun alasan dibalik ke-tidak-ikut-serta-an lo sama agenda kemarin.” Ia berbalik, hendak meninggalkan kamar mandi.

“Won..” Dan tubuhnya mendadak terhenti, berputar kembali, menemukan Mingyu. “Kantin, mau gak?”

“Ayo.” Wonwoo melangkah dan berlalu cepat, memimpin di depan di ikuti Mingyu yang ikut melangkah di belakang.

“Won..” Wonwoo lagi lagi berhenti secara mendadak dan memutar tubuhnya, sedang orang yang mengikuti dirinya hampir secara kencang menabrak.

“Apa lagi?”

“Hmm..” Mingyu mengelus tekuk. “Gue tuh.. Biasanya pulang sekolah makan nasi goreng kampung di Seribu Rasa..”

Alis Wonwoo mengkerut. “Terus? Hubungannya sama gue?”

“Sebenernya gak biasanya juga si, cuman kalau lagi kepengen gue pergi sama Yugyeom.”

“Poinnya?” Mingyu menunduk, enggan menatap lawan bicaranya.

“Gue paling anti nongkrong sendiri. Jadi.. ikut gue? Mau gak? Ntar pas pulang sekolah. Gue lagi pengen nasi goreng kampung-nya Seribu Rasa..”

Kedua alis Wonwoo terangkat, ia mengangguk pelan, kemudian menyahut. “Kalau dibayarin.” Langkahnya cepat meninggalkan Mingyu.

“Gampang! Ikut ya?”

Tidak menjawab, Wonwoo hanya mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi ke udara, tanda bahwa ia setuju.

-

Pada satu sudut restoran paling terkenal dengan menu khas Nusantara itu, dua orang mengambil tempat, dengan canggung berdiam diri.

Wonwoo kemudian meletakkan tas ranselnya ke atas meja, membuat orang di hadapannya memasang raut wajah bingung karena Wonwoo malah mengeluarkan beberapa buku catatan dan buku paketnya.

“Lo mau belajar?”

Setelah menurunkan tasnya kembali dan meletakkannya di kursi kosong sebelahnya, Wonwoo bersuara, “Latihan yang disuruh Bu Revin tadi tinggal satu nomor yang belum gue selesain, keburu bel istirahat kan tadi, terus di jadiin PR.”

Wonwoo bahkan tidak mendongak ketika pelayan mulai meletakan daftar menu di atas meja, hanya Mingyu yang sibuk menerima dan tersenyum sembari menggumamkan kata terimakasih.

“Yaudah kan judulnya Pekerjaan Rumah, bukan Pekerjaan Restoran.” Ucap Mingyu. Kalimatnya barusan otomatis mendistrak si lelaki dengan kacamata yang duduk di tulang hidungnya, ia diam cukup lama.

“Masuk akal.” Balas Wonwoo. “Tapi tanggung, satu lagi.”

Mingyu menyerah, ia hanya membuang nafasnya pelan sembari membuka menu dan mulai menulis pesanannya sendiri.

“Lo mau apa?”

“Samain aja.”

“Lah..”

“Iya, samain aja sama yang lo pesen.”

Lagi-lagi, helaan nafas menyambut pendengaran Wonwoo, Mingyu smenuruti keinginan satu orang di hadapannya yang bahkan sedari tadi hanya sibuk berkutat dengan buku dan angka disana, pelajaran Matematika.

“Pedes gak?” Dirinya melempar tanya, gelengan kemudian menjadi jawaban yang Mingyu terima.

“Ni serius ya sama, gue gak mau nerima koment—”

“Iya. Sama.”

Lenggang, Mingyu agak lama menatap Wonwoo yang sedikitpun sama sekali tidak berpaling dari bukunya, memanggil Waiter dan menyerahkan apa-apa yang jadi pesanan mereka.

“Lo seneng banget belajar?”

Wonwoo mengangkat tinggi bahunya, “Bukannya emang kewajiban? Bukan berdasarkan seneng atau enggak?”

“Ya iya sih, cuman masa di segala kondisi lo menghalalkan berbagai cara cuman buat nyelesain satu nomor doang?”

Akhirnya, Wonwoo menarik pena dari putihnya kertas dan menutup catatannya. Menyelipkan di dalam buku paket tebal kemudian menegak satu gelas air putih yang sudah semenjak tadi disuguhkan.

“Kalau dirumah, biasanya gue udah males dan ujung-ujungnya tidur.”

“Oh..” Mingyu mengangguk kecil. “By the way.. Makasih ya udah mau temenin gue.”

Wonwoo hampir menyemburkan air yang tertampung di dalam mulutnya, sedikit tersedak dan terbatuk.

“Gampang ya lo ngucapin makasih ternyata.”

“Emang tampang kaya gue salah ya kalau gampang ngucapin makasih?”

“Y-ya enggak, cuman.. Agak aneh aja.” Anak laki-laki dengan kacamata itu membuang pandangannya jauh keluar jendela, enggan menatap lawan bicaranya.

“Yugyeom sama temen-temen yang lain di drop out.” Pernyataan Mingyu sontak membuat Wonwoo membulatkan matanya serta mulut yang menganga tidak percaya.

“Sumpah lo?” Anggukan kecil di terima Wonwoo. “Terus gimana?”

“Ya terus gimana? Ya di keluarin.”

“Lagian sih. Biar apa coba pake acara tawuran-tawuran gitu? Dipikir keren? Enggak sama sekali.”

“Lo kan gak tau latar belakang permasalahannya, Won.”

“Ya emang setiap permasalahan harus diselesaikan dengan tawuran kaya gitu?”

“Ya terus? Harus pake apa? Lagian ya, yang selalu ngajakin ribut tuh anak sekolah yang sana. Anak-anak kita mah kalem.”

“Kalem tapi tetep aja di ladenin.”

Seribu Rasa, namanya. Sebuah restoran yang selalu jadi favorit Mingyu tidak hanya di akhir pekan. Untuk pertama kalinya, ada teman lain yang bersedia duduk dan jadi lawan bicara anak keras kepala dan berbagai perangai yang membangun dirinya.

Argumentasi, alis penuh kerut serta ekspresi dan raut wajah bingung. Setidaknya, semua hal yang tidak memiliki bumbu manis mampu menjadi larik awal sebuah benang panjang dengan banyak simpul serta kusut yang menjadi lampiran hidup keduanya.

Seribu Rasa, mungkin lagi Seribu makna, atau, Seribu cerita.

-

Itu adalah yang paling Wonwoo ingat. Bagaimana sosok ini yang sekarang sudah sepenuhnya duduk tepat di hadapannya dan saling melempar canda dengan teman lain.

Waktu, benar-benar yang paling egois. Tidak mau ditunggu dan akhirnya berlalu.

“Won..” Sapanya.

“Hai. Apa kabar?”

Ia mengangkat bahunya tinggi. “Never been better.”

“Good for you.”

“Eh woi. Foto dulu dong fotooo.” Soonyoung mengeluarkan ponselnya dari kantong. “Sol, Sol. Ambil dari sono.”

“Ah elu, nyusahin mulu dari jaman sekolah.”

“Yaelah, sekali-kali inimah kapan lagi coba tetep ngumpul walaupun udah bangkotan.” Hansol memutar malas bola matanya, tetap menerima ponsel yang Soonyoung sodorkan.

Hansol kemudian mengangkat tinggi layar ponsel, memantulkan figure orang-orang yang hampir bertahun tidak lagi bercengkrama. Yang tidak lagi saling melangkah di lapangan upacara dengan celana abu-abu, yang tidak lagi saling melempar jawaban ketika ujian dari sana ke sini, yang tidak lagi cabut saat jam pelajaran menuju kantin, dan yang tidak lagi berlarian di koridor sekolah menghindari satu guru BK karena alasan razia dadakan.

Waktu, memang benar-benar tidak mau ditunggu.

Wonwoo memajukan tubuhnya, merapat kepada teman-teman yang lain agar dirinya terpantul di dalam kamera. Namun, secara tidak sengaja, ia harus mengelus pelan kepalanya serta sebuah ringisan, akibat serudukan kepala orang lain di depannya yang tidak mau kalah untuk muncul di dalam kamera, Mingyu.

“Sorry, Won.”

-

“ANJING KIM MINGYU!” Soonyoung meringis memegangi bahunya, tidak terkecuali beberapa orang yang tertidur di lantai, lebih tepatnya akibat tertimpa tubuh besar seorang Mingyu.

“Lagian lo kenapa harus manjat kursi sih, pe’a.” Yang di salahkan mengelus dahinya, dirinya pun sedang meringis kesakitan.

“Gua gak keliatan, bangsat. Itu adalah satu-satunya cara supaya gue keliatan di foto.”

Tidak terkecuali Wonwoo, memegangi kepalanya. Ia yakin, kepala Mingyu membenturnya sebelum semua orang-orang ini tersungkur ke lantai dengan tubuh Mingyu yang bertahta di paling atas.

Pada hari ini, siswa dan siswi bersuka cita. Sekolah libur belajar, mereka hanya memainkan games dengan lawan antar kelas untuk merayakan hari ulang tahun sekolah.

Hari ini, sekolah lebih bebas dari biasanya.

Dan yang membuat acara ini lebih unik adalah, ulang tahunnya, bertepatan dengan hari valentine.

“Nyong..” Selepas kejadian tadi, Mingyu menepuk bahu Soonyoung yang berdiri di daun pintu kelas. “Jihoon tuh..” Dagu Mingyu menunjuk satu lelaki disana yang sedang bercengkrama sambil terbahak entah menceritakan apa dengan temannya yang lain.

“Tau gue Jihoon, terus apa?”

“Lo gak nyiapin apa-apa?”

“Nyiapin apa?”

“Ini 14 Februari, anjir.” Soonyoung mengerutkan alisnya.

“Tau gua, terus apa?” Mingyu memijit pelipisnya pelan.

“Kasih apa kek, coklat kek.”

Soonyoung yang tadi berdiri menyamping tidak mau menatap Mingyu kini akhirnya berhadapan. “Lo sendiri?”

Mingyu mendengus sambil tertawa kecil. “Gua mau ngegebet siapa pake acara beli coklat?”

“Auk deh siapa kali. Lo kan anaknya paling gak bisa di tebak.”

Di lain sisi, Wonwoo dengan satu novel di tangannya memperhatikan dua anak manusia yang sedang berbincang di muka pintu sana. Atau, beberapa temannya yang dengan suka cita menceritakan bagaimana sebuah kisah anak remaja yang mampu menggelitik perut.

Dan ia tidak peduli.

Berusaha tidak mau peduli.

Mungkin menyenangkan membayangkan bagaimana lucunya kalau ternyata diam-diam ada orang lain yang menyukainya. Tapi, Wonwoo sendiri paham bagaimana perangai yang tumbuh di dalam dirinya sendiri. Tidak ada yang mau dengan seseorang yang menghabiskan waktu berjam-jam menghitung dalam pelajaran matematika, atau seseorang yang menghabiskan waktu membaca novel remaja di sudut kelas.

Wonwoo terlalu cupu dan kisah kisah remaja penuh kupu-kupu itu tidak mungkin terjadi pada dirinya.

Maka, ia lanjutkan agenda agenda membosankannya dengan mengurangi harap.

Hidup manusia memang tidak henti-hentinya di penuhi dengan ragu, ke-tidak-mungkin-nan yang di elu agar harap tidak tumbuh dengan subur, serta acuh pada banyaknya tanda dunia.

Maka Wonwoo akhirnya terdiam, ketika menatap satu coklat di lokernya pada siang hari ketika jam sekolah sudah selesai. Mendelisik berusaha menemukan hadir entah siapapun, nihil.

Ragu, mungkin tidak selamanya menjadi hambat, sebuah mustahil pun tidak mungkin selamanya tidak terjadi, dan tanda dunia, selalu ada di tiap detik waktu melangkah.

Wonwoo meraihnya, dengan senyum kecil memasukannya ke dalam tas dan melangkah meninggalkan kelas, sembari menerka, siapa tokoh yang akan jadi pokok pikirannya selama satu minggu kedepan, atau mungkin, lebih.

Pada satu penghujung minggu, Wonwoo punya les tambahan. Langit sama sekali tidak berwarna dan hanya di dominasi oleh abu, mendung. Dirinya buru-buru berlari menuju halte bus terdekat tatkala rintik kecil hujan mulai jatuh, dan benar saja, ketika langkahnya terhenti di tempat tujuan, hujan turun dengan derasnya.

Ia mengangkat tangan kirinya dan menedelisik jam tangan yang melingkar disana, “Kira-kira bus terakhir datangnya lama gak ya?”

“WONWOO!!” Wonwoo sontak menoleh, mendapati sosok tinggi Mingyu yang sedang mengangkat ranselnya di atas kepala, agar terhalang dari hujan.

“Lo ngapain disini, Mingyu?” Mingyu memukul tasnya beberapa kali, membersihkan rintik hujan yang tadi memupuk disana.

“Gue?“ Sembari duduk dan melipat kaki, ia sadarkan pundaknya. “Abis main.”

“Dari pulang sekolah tadi?” Anggukan dari sosoknya jadi jawaban yang Wonwoo terima. “Lo main apaan dari siang sampe sore gini baru selesai?”

Mingyu mendengus dengan sunggingan tawa di bibirnya, menatap Wonwoo yang terus berdiri semenjak tadi ia sampai di halte. “Ya main, namanya juga main, ya kali main cuma lima menit.” Jawaban agak ketus dari Mingyu hanya menghadiahkan putaran bola mata malas dan tatap yang enggan berjumpa, Wonwoo lebih memilih menatap air yang jatuh dari langit sana.

“Lo betah banget berdiri, duduk.”

“Ya biasa aja nyuruh duduknya.”

“Nyuruh biasa aja tuh yang kaya gimana?”

“Ya menurutlo aja nyuruh yang biasa aja kaya gimana.” Kini, tangan Wonwoo menengadah, membiarkan rintik air dari atap memukul telapak tangannya. Senggang banyak tercipta, Mingyu hanya mampu menikmati punggung orang yang sedang asik dengan agenda kekanakannya sampai sampai mulutnya tertutup dengan rapat.

“Jadi lo.. enak ya, Won?” Begitu kalimat itu meluncur keluar, Wonwoo sontak membalikan badan. Ia sama sekali tidak bersuara, tidak menjawab apa yang baru saja jadi hal yang dirinya dengar, Ia hanya menatap sosok yang kini lamat menunduk memperhatikan sepatu hitam miliknya.

“Pinter, punya banyak temen dan kayanya gak punya beban sama sekali.” Wonwoo menaikan alisnya tinggi, terbahak kecil dan mengambil tempat di kursi disebelah Mingyu, menyisakan satu yang kosong agar tercipta jarak di antara mereka.

“Lo tau apa soal gue sih, Mingyu? Sampe seenaknya ngomong gitu?” Wonwoo memainkan jemarinya. “Bukannya enakan lo, ya? Kayanya urusan temen banyakan lo deh, terus lo juga gak perlu pusing-pusing buat mikirin masa depan? Maksud gue, kasarnya nih ya, orang tua lo pasti mampu buat biayain lo kuliah di kampus swasta kalau semisal udah gak ada jalan.”

“Gue? Kalau jadi gue enak, mungkin selama ini gue gak harus mati-matian belajar supaya bisa kuliah di kampus negeri dan cari beasiswa.” Sambung Wonwoo.

Wonwoo salah, begitu hati kecilnya bersuara. Ia salah harus menukar kisah hidupnya dengan orang asing di sebelahnya ini. Wonwoo salah, ia tidak seharusnya mempercayakan ceritanya kepada Mingyu.

“Sorry.” Wonwoo bangkit, membelakangi Mingyu dengan mengambil posisi seperti bermenit yang lalu. Ia genggam erat tas ranselnya, sambil memandangi hujan yang tidak kunjung reda. “Harusnya lo gak perlu dengar cerita gue.” Cicitnya.

“Gue suka ngeliat lo.”

Apa?

“Maksud gue.. lo punya positivity yang cara lo nyampeinnya itu beda dari yang lain, dan gue suka itu.”

Masih menoleh pada sosok yang saat ini menatap dalam pupilnya, Wonwoo tidak menujukan raut wajah apapun.

“Makasih, Wonwoo.”

Kini, alis Wonwoo perlahan mengkerut. “Lo aneh.”

“Kenapa aneh?”

“Ya aneh,” Wonwoo kembali pada agenda yang sama, enggan menatap Mingyu yang duduk di belakangnya dan lebih memilih menatap air yang terjun satu per satu. “Mungkin.. Aneh aja, sekarang udah jarang ngeliat lo masuk BK.”

Mingyu terbahak hebat.

“Ditambah ngomong ngelantur kaya tadi.”

“Gue gak ngelantur anjir, Won. Gue serius.” Tangan Wonwoo kembali menengadah, menyambut air yang turun dari atap, membiarkan alirannya membasahi telapak tangannya. Dan satu tangan lain yang tiba-tiba muncul disebelahnya.

Mingyu mendongak, menyaksikan bagaimana derasnya air yang turun dari atap halte dan yang dari langit sana. Jakunnya bergerak naik dan turun, serta cahaya matanya yang berbeda dari bermenit yang lalu.

“Rumah temen lo, disekitar sini?” Tidak menoleh ke arah Wonwoo, Mingyu mengangguk.

“Lo sendiri? Disini ngapain?”

“Les, tadi.”

Wonwoo mengangguk, ia tidak memalingkan wajah, masih sibuk menatap sosok yang lebih tinggi beberapa centi dari dirinya.

“Won..”

“Hm?”

“Lo.. Pernah pacaran, gak?”

Degup jantung Wonwoo mendadak tidak karuan, apalagi ketika Mingyu menoleh dengan raut wajah serius. Yang Wonwoo mampu lakukan hanya mengedipkan matanya beberapa kali, mencerna pertanyaan yang baru saja terlempar.

“Eng-engak. Belum pernah.” Jawabnya patah-patah.

“Kenapa?”

“Kenapa nanya ‘Kenapa?’ “

“Memangnya gue gak boleh nanya?”

Wonwoo diam.

“Ya gak papa sih, Won. Kalau lo emang gak mau jawab. Chill.” Mingyu terbahak. Kini bergantian, sosok Wonwoo yang menatap lekuk wajah lawan bicaranya dari sisi samping.

“Kalo lo tanya kenapa, gue secara personally bakal bilang kalau gue tuh anaknya se-membosankan itu. Lo liat aja, kerjaan gue belajar melulu, baca komik ataugak novel remaja. Hahaha.” Wonwoo kemudian menarik nafasnya pelan. “Lagian, gue tau kok kalo gue bukan tokoh utama di hidup gue, jadi penulis skenario cuman fokusin pemeran utamanya. Gue? yaudah, setidaknya ada di plot udah bikin gue seneng.”

“Kenapa lo mikir kalau lo bukan pemeran utamanya? Kan ini hidup lo? Ya pasti lo lah pemeran utamanya. Dan balik lagi sama kaya yang gue bilang. Lo punya positivity yang cara nyampeinnya tuh beda dari orang kebanyakan, so, menurut gue lo gak se-membosankan itu.”

“itu opini lo, Mingyu. Manabisa prespektiflo sama dengan orang lain?”

Mingyu diam sebentar dan mengangguk pelan. “Iyasih, masuk akal.”

“Lo sendiri? Punya pacar?”

Yang ditanya menggeleng dengan sudut bibir yang sedikit tertarik kebawah. “Buat sekarang gak ada sih.”

“Kenapa?”

“Soalnya gue ngerasa lagi having fun aja sama hidup, jadi gak butuh pacar.”

“Lo having fun ketika sama sekali gak ketauan merokok di kamar mandi dan gak jadi langganan BK?” Mingyu terbahak kencang sampai harus membuang kepalanya kebelakang.

“Lo bangga gak, ketika alasan gue having fun udah bukan lagi hal hal kaya gitu?”

Dengan sudut bibir yang terangkat, Wonwoo membalas. “Bangga, Mingyu. Karna akhirnya temen gue bangkit dan gak melulu nemuin kesenengan dari negativity.” Mingyu menyunggingkan senyum lebar, menatap dalam manik mata lawan bicaranya, sebentar saling tatap.

“Ini kemauan gue, lo gausah ge-er.” Wonwoo meringis sekaligus terkejut bukan main, ketika Mingyu secara terang-terangan mencubit hidungnya. Bahkan kacamatanya menjadi miring akibat guncangan kecil di wajahnya tadi.

“Siapa yang ge-er?!” Balas Wonwoo sedikit berteriak. “Jangan sentuh-sentuh muka gue!”

“Dih.. ngambek.”

“Mending lo pulang.”

“Gimana mau pulang? Hujan.”

Enam belas umur mereka. Masih belum punya waktu menerka apa yang ada ketika beranjak dewasa. Hujan, halte bus dan senyum rekah satu anak manusia dan gigi taringnya, sedang yang satunya masih menggerutu sebal.

Wonwoo kini sudah jarang mendengar sahutan di speaker yang biasa memanggil nama Mingyu, atau komplotannya yang lain. Setiap hari, biasanya Mingyu hanya akan bergelut argumentasi dengan guru yang mengajar mata pelajaran, dan berakhir berdiri di depan kelas.

Tidak jarang, dirinya mengambil tempat duduk di bangku kosong sebelah Wonwoo, sampai sampai membuat teman sebangku Wonwoo sendiri jadi kesal, maka, Mingyu akan mengeluarkan sebuah alasan “gue mau belajar sama Wonwoo, lo kan udah pinter. Duduk aja di sana.”

Namun, terkadang nalar dan akal pikiran manusia tidak berjalan sesempit itu.

“PDKT-an lo?” Mingyu mengerutkan alis mendengar pertanyaan Soonyoung untuknya.

“Sama siapa anjir?”

“Halah.” Soonyoung mengibaskan tangannya di depan wajah. “Lengket banget belakangan gue liat-liat.”

“Wonwoo?”

“Tuh, lo aja sadar sendiri.”

Mingyu tertawa kecil. “Enggak, gue gak lagi PDKT-an.”

“Terus itu apa namanya? Duduk berdua, kikik-kikikan, lo ajakin makan juga ke Seribu Rasa.”

“Ya emang hal-hal kaya gitu selalu berhubungan sama PDKT-an? Enggak, kan?”

“Lo yakin?”

Alis Mingyu berkerut. “Yakin apa?”

“Ya, yakin gak PDKT-in?” Mingyu yang duduk di bangkunya sendiri, perlahan menoleh jauh kebelakang sudut kelas. Menatap satu anak lelaki yang sedang membenarkan letak kacamatanya dan fokus pada buku di tangannya. Mingyu tidak yakin, entah itu buku cerita, atau buku dengan berpuluh-puluh angka yang menghiasi di dalamnya.

“Gue nyaman temenan sama dia, Nyong. Gue gak bisa mastiin kalau memang gue sama dia bisa lebih.”


For my weird and wonderful phase of time, Mingyu. Happiest Birthday, Love.


“Terserah.” Telfonnya terputus kemudian. Aku mengerutkan alis, berdecak sebal serta terus menerus menggerutu mengutuk satu nama, Mingyu.

Kemudian apa? Ponselku aku matikan. Mati total agar supaya sosoknya tidak harus dan terus menerus memunculkan nama disaat nada panggilnya berdering masuk.

Aku membenamkan tubuhku di dalam selimut tebal hangat yang selalu memelukku di tiap pagi, siang, sore atau malam pada saat saat tertentu. Membiarkan nafasku sendiri menampar pori wajahku, kemudian diam dan berfikir.

Sialan! Bisa-bisanya dia lupa soal janji di tiap bulan yang selalu aku dan ia lakukan. Bisa-bisanya tanpa berdosa ia mengucap, “Oh iyaya? Kita ada janji?”

Bisa-bisanya dia membuatku ingin berteriak mengutuk namanya di jam dua dini hari ini. Sial. Sial. Sial!

Aku yang membenamkan diriku dalam selimut tadi kini membukanya lebar agar dapat aku hirup oksigen dan menatap plafon kamarku dengan cahaya remang lampu tidur di kamar.

Sekarang, aku acak rambutku dengan lebih sebal serta memukul kasurku sendiri berkali-kali.

Ini jadi dua kali menyebalkan. Kenapa? Karna aku tiba-tiba ingin mendengarkan suaranya menyanyikan bait lagu yang tanpa sengaja suka ia rangkai sendiri.

Suara beratnya serta nada mengantuknya ketika bernyanyi. Demi seluruh alam semesta, momen itu adalah momen paling indah dari sosok Kim Mingyu.

Dan aku ingin mendengarkannya.

Kira-kira, dia disana khawatir tidak ya, tiba tiba panggilannya tadi aku matikan? Terus tiba-tiba tidak bisa di hubungi? Dia khawatir tidak, ya?

Apa dia mencoba menelfon orang lain? Hanya untuk menjelaskan satu dari banyak alibi-alibinya?

Biasanya dia akan langsung menelfon nomor Chan, adikku. Tapi sudah hampir 30 menit, Chan tidak masuk ke kamarku.

Dia masih sayang aku tidak, sih?

Kini aku benamkan wajahku pada bantal. Memukulnya berkali-kali dan kali ini mengutuk diri sendiri.

Ah, bodohnya diriku kalau saja si Mingyu itu tidak lagi menyayangiku dan aku disini malah merindukan suaranya. Atau suara dengkurannya ketika secara tidak sengaja saat panggilannya masih berjalan dan dirinya malah ketiduran. Atau, segala-galanya yang selama ini aku anggap karna dirinya menyayangiku hanya tipuan belaka? Hubungan ini kan aku dan Mingyu yang jalani? Apa mungkin ini semua terjadi? Tapi bisa saja kan dia sama sekali tidak menyayangiku? Kenapa dia bisa lupa soal agenda agenda sederhana semacam tadi?

Kim Mingyu sialan!

-

Langit tidak lagi gelap dan bulan sudah meninggalkan tugasnya. Sudah pagi.

Aku terduduk diam, masih mengumpulkan sisa-sisa nyawa yang bertebaran entah kemana. Berusaha mencari jawaban dimana aku berada setelah perjalanan mimpi yang panjang disepanjang malam.

Rumah.

Dan ponsel.

Aku ambil ponselku yang sempat aku matikan tadi malam karena menghindari sosok seorang Kim Mingyu. Sembari menunggu ponselku menyala total, aku menerka-nerka.

Apakah akan aku dapatkan ratusan panggilan tidak terjawab? Apa akan aku dapatkan ribuan pesan darinya yang sama sekali tidak ku balas? Apa mungkin pagi ini Chan akan naik ke atas dan mengetuk pintu kamarku kemudian bilang, “Kak, tadi malam bang Mingyu nelfonin terus. Maaf ya, soalnya aku udah tidur.” Atau, “Kak, Bang Mingyu tadi malem nelfon sama kirim Imess, di Imess katanya suruh angkat telfon dia.”

Nihil.

Tidak ada ratusan telfon masuk dari Mingyu. Apalagi ribuan pesan yang sudah aku bayangkan.

Dan, Chan. Yang sosoknya sama sekali tidak aku temui di ambang pintuku.

Dan aku jadi yang paling bodoh disini. Karna tiba tiba menangis menatap kosongnya notifikasi di ponselku sendiri.

Selama 20 menit tadi menangis bodoh dengan ponsel yang sudah aku lempar entah kemana (lagi), aku turun kemudian.

Belum menyikat gigi apalagi mandi, masih dengan kaos oblong kebesaran milik Chan yang secara suka hati aku ambil dari lemarinya dan aku pakai. Serta celana jersey basket yang juga milik adik bungsuku itu. Lemariku, krisis baju tidur.

Masih di tengah tangga menuju lantai bawah, aku diam dan terkesiap. Jantungku disana memompa darah sampai titik paling ujung saraf pusat sampai-sampai rasanya ingin membuatku pecah.

Entah dalam tangis maupun amarah.

Ada Mingyu pagi ini di meja makan rumahku serta piring kotor di hadapannya.

Sedang apa si Sialan itu di rumahku pagi pagi begini?

Tanpa dosa yang menyelimuti atas kejadian tadi malam, ia malah tersenyum hangat menatapku dengan keadaan yang memprihatinkan karna baru saja bangkit dari singgasana tidurku.

Sekali lagi. Kim Mingyu sialan!

Lalu? Aku turun dan mengacuhkannya kemudian mengambil sarapan sendiri?

Tidak.

Aku naik kembali dan membanting pintu kamarku kuat. Lompat ke atas kasur dan lagi-lagi membenamkan wajah di atas bantal. Berteriak.

Beberapa menit kemudian, aku dengar suara langkah kaki serta suara ketukan pintu yang mengikuti dari luar sana, dan sahutan kecil, “Sarapan dulu.”

Sekarang itu yang sudah gila aku apa dirinya sih? Apa sama sekali tidak ada kata maaf yang mampu terluncur dari bibirnya? Kenapa malah aku yang terlihat seperti orang bodoh?

Lagi-lagi suara ketukan, dan sahutan, “Ayo turun sarapan, tadi aku beliin nasi uduk simpangan biasa kesukaan kamu.”

Bodoamat. Makan saja sana sendiri.

“Pake ayam goreng kalasan.”

Sial!

Kutemukan tubuhnya yang tinggi berdiri di ambang pintuku. Aku putar malas kedua bola mataku dan berlalu meninggalkan sosoknya, turun menuju meja makan dan mengambil satu bungkusan nasi uduk dan ayam goreng kalasan yang di belinya, katanya.

Mingyu ikut turun. Setelah aku duduk dengan rapi di meja makan dengan bungkusan nasi uduk tadi, sosoknya ikut duduk di sampingku.

“Kalian sedang berkelahi, toh?” Ibu melipat bungkusan nasi uduk miliknya yang sudah habis tidak bersisa, kemudian bangkit dan membuangnya di tong sampah dapur.

Mingyu diam. Aku diam dan hanya memilih mengunyah makananku dibanding menyahuti pertanyaan Ibu, apalagi menatap sosoknya.

Namun, dari gerak cepat sudut mataku, laki-laki ini malah tersenyum kecil.

Mingyu yang ternyata gila, bukan aku.

“Nak Mingyu pagi-pagi sudah bawakan kita sarapan. Kamu kok baru bangun.” Di tengah kunyahan demi kunyahan, aku lagi-lagi memutar bola mataku, hanya diam dan malas menimpali.

Mingyu tertawa kecil, dapat aku dengar dengan jelas. Kemudian ia berdeham dan menyahut, “Hari ini anaknya dipinjem dulu ya, Bu. Mau Mingyu ajak main-”

“-Main aja sana sendiri.” Aku menyambar cepat, tidak sama sekali menoleh pada sosoknya yang duduk tepat disebelahku. Lebih memilih mengunyah makanan di hadapanku ini.

“Lho, to, Bu.. Beneran berantem rupanya.” Kali ini Ayah yang sedari tadi menatapku menyantap sarapan yang ikut menyahut.

“Anak muda ya, Yah.. ya.” Ibu menarik kembali kursi meja makan dan duduk. “Kamu tuh, Mingyu-nya udah datang pagi-pagi kok malah di-diemin. Ajak ngobrol kalau sedang berantem. Di depan boleh, di halaman belakang boleh, di ruang tamu boleh, di sini juga boleh, biar Ibu sama Ayah naik ke atas.”

“Yang salah dong, Bu, yang ajak ngobrol. Aku gak merasa salah.” Aku lipat bungkusan bekas nasi uduk yang sudah aku santap habis, bangkit dari kursi dan membuangnya ke tong sampah dapur, persis seperti yang Ibu lakukan bermenit yang lalu.

“Mingyu ajak main boleh ya, Bu?” Dapat aku dengar bisikan Mingyu dari sana.

“Main sendiri, Mingyu. Aku males.”

“Padahal aku pengen ajakin kamu ke museum terus nonton. Habis nonton kita jajan, terus—“

“Sendirian aja.”

Tukaiku bergerak berlalu melewati sosoknya sebelum melangkah menaiki anak tangga menuju kamarku. Namun terhenti sejenak, ketika ia bersuara, “Kamu beneran marah?”

“Gak tau, pikir aja sendiri.” Kini, aku benar-benar melangkah pergi naik menuju lantai atas dan meninggalkan sosoknya bersama Ayah dan Ibu disana.

-

Selama 20 menit, aku pikir Mingyu sudah meninggalkan rumahku. Jadi, ketika suara ketukan pintu menderu, aku melangkahkan kaki dan dengan santai membukanya dengan lebar.

Kutemui sosoknya disana. Di depan manik mataku.

“Main?”

Tanpa menjawab, ketika hampir aku tutup, jemarinya menahan daun pintu, “Maaf.”

Itu. Kalau kalimat itu sudah keluar entah dari mulut siapapun, maka aku tidak mampu melakukan apapun selain mendengar, menatap.

“Kamu sebel ya sama aku?” Bukan, ini pertanyaan yang aku sendiri lontarkan untuk dirinya.

Mingyu mengerutkan alisnya, patah-patah kemudian menggeleng. “Eng-enggak, tuh?”

“Jadi sehabis aku bilang ‘terserah’ kamu sama sekali gak telfon, gak kirim Imess atau apapun? Gitu?”

“Aku mau kasih kamu ruang sendiri, jadi—“

“Aku gak butuh ruang, Mingyu. Aku gak butuh ruang buat sendiri. Aku mau ruang antara kamu sama aku, itu aja. Aku mau kamu ngerti, kalau hal-hal kecil yang selalu kamu lupain itu bikin aku sebel, kesel, marah.” Aku menahan nafas, menahan perih di tenggorokan dan mengatur kapasitas paru-paruku sendiri, agar tidak pecah dalam tangis.

“Kamu.. bisa ngerti gak, sih?” Sambungku.

Cercah cahaya manik mata Mingyu tidak lari semenjak detik pertama argumentasi keluar dari mulutku. Ia dengarkan dengan baik. Tidak menyela walaupun aku suka menyela, tidak ikut marah walau aku suka marah kalau menjelaskan satu dari banyak hal.

“Iya.. Maaf.”

Benar. Kelemahanku adalah kata magis semacam itu. Karna kemudian, aku akan merasa bahwa aku adalah pelaku utama pada permasalahan ini. Bukannya aku ini sekarang adalah korban?

Aku buang nafasku, kemudian perlahan berusaha kembali menutup pintu. Tapi, lagi-lagi di tahan oleh jari jemari Mingyu.

“Ayo kita main sebentar. Ini hari Minggu. Mumpung masih jam segini, biar bisa lama mainnya. Besok aku udah harus balik kerja.”

“Aku gak mood, Mingyu.”

“Minggu depan aku gak bisa ketemu kamu, jadinya aku dateng pagi ini.”

Sial. Padahal Minggu depan soal janji yang dirinya lupakan bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Enam April.

“Kamu kemana memangnya?” Cicitku.

“Kerjaan akhir bulan Maret harus aku selesaiin sampe awal April ini. Jadi aku bakalan lembur terus.” Jelasnya. Manik matanya sedari tadi tidak mampu pergi menjauh dari milikku. “Kemarin aja aku tidur di asrama kantor.”

“Mangkanya kamu gak telfonin aku?”

“Itu.. satu dari sekian banyak alasan yang sejujurnya bikin aku frustasi. Tapi bukan kamu yang bikin aku frustasi. Beneran..” Matanya membulat berusaha meyakinkan. Lucu, batinku.

“Bisa gak, kita main sebentar? Ya?”

Melihat bagaimana caranya meminta dan memohon, lagi-lagi jadi kelemahanku. Aku kalah telak, benar-benar kalah telak.

-

Ada satu Cafe sederhana yang titiknya jauh dari hiruk pikuk kebisingan kota. Tempat aku lari untuk mengasingkan diri dan menenangkan pikiran barang sejenak. Sendiri, maupun bersama satu sosok orang yang kini berjalan mengikutiku dari belakang ketika memasuki pintu Cafe.

“Kamu duduk aja cari tempat, biar aku yang pesenin.” Kataku, merogoh tas selempang untuk mengambil dompet. “Kamu mau makan?”

Mingyu menggeleng, kemudian mendongak menatap tulisan daftar menu besar di atas kepala satu orang kasir lelaki disana.

“Aku mau..” Ia berfikir sembari menggigit dalam bibirnya. “..Hot Cappuccino aja.”

Aku mengangguk, kemudian berbalik sampai dirinya menarik bahuku pelan untuk kembali berhadapan dengannya. “Kamu apa?” Tanya Mingyu.

“Aku? Biasa. Iced Caramel Macchiato.”

Dirinya mendengus, menyolek ujung hidungku, “Jangan kebanyakan minum es, nanti pilek.”

“Biarin aja.”

“Nanti aku repot bulak-balik kantor buat jengukin kamu.”

“Gak ada yang nyuruh kamu bulak-balik kantor buat jengukin aku kalau aku sakit.” Aku berbalik dan melangkah mendekati kasir. “Udah sana cari tempat duduk.”

Mingyu mengacak puncak kepalaku, kemudian melangkah berjalan menjauh, berlalu. Aku mendongak, memastikan dirinya sudah benar-benar pergi dari sisiku dan mencari sudut bangku untuk menghabiskan sisa sisa cerita atau lain dari banyaknya hal.

“Mas..” Bisikku. “Hot Cappuccinonya satu sama Iced Caramel Macchiatonya satu.”

“Kenapa bisik-bisik, Kak?”

“Hehe. Saya minta tolong dong mas. Di simpang sana tuh ada toko kue. Ada satu kue coklat kesukaan saya. Saya boleh minta tolong mas buat beliin gak?”

Raut wajah seorang di hadapanku ini mengkerut bingung.

Aku mendekatkan wajah, berbisik lebih pelan, “Pacar saya yang tadi.. ulang tahun.”

Dirinya mengangguk. “Boleh ya, Mas. Nanti duitnya saya lebihin.”

Setelah mencatat pesananku, ia acungkan ibu jarinya, memberikan tanda bawa ia paham akan maksud dan tujuanku, serta satu permintaan sederhanaku yang lain.

Dengan jantung yang berdegup, aku melangkah dengan mata yang mengembara mencari sosok Mingyu. Di ujung sana, dibawah bingkai-bingkai hiasan cafe, ia topang dagunya dengan jemari yang saling bertaut, menoleh keluar jendela.

Aku sunggingkan senyum kecil di kedua sudut bibirku. Menatap eksistensinya sesederhana ini saja membuatku merasakan kelimpahan bahagia yang membucah di dada. Melihat keindahan lekuk dimensi wajahnya dari samping seperti ini, membuatku jatuh dalam sungai panjang yang melapang bagai laut, tenggelam tanpa menyentuh dasar.

Aku melangkah mendekat, dirinya terdistrak atas agenda menatap kosong hal di hadapannya tadi ketika diriku mulai duduk. Dengan senyum serta gigi taring panjangnya yang muncul, dirinya bersuara, “Udah?”

Anggukan kemudian jadi jawaban yang di terimanya.

“Aku serius tau, soal kamu yang jangan makan es terus.”

“Makan apa minum?”

“Minum.” Dirinya menarik jari telunjukku, kemudian mengeluskan pelan, sesekali ia ketuk dengan jari telunjuknya beberapa kali.

“Aku bukan anak SD. Jangan di larang-larang terus.”

“Bukan masalah kamu anak SD atau anak Kuliah, kamu kalau makan es suka gak kira-kira.”

“Hari ini aku makan es baru pesenan aku yang tadi loh, Mingyu.”

“Kalau gitu pulang nanti jangan es lagi.”

“Kalau aku lagi pengen es?”

“Jangan.”

“Mau es.”

“No.”

“Es!”

“Gak.”

“Es!!”

“No no no.”

“Ya namanya orang pengen makan es, masa di larang.”

“No.”

“Mau es, es, es, es, es.”

“Gak boleh, gak, gak, gak, gak, enggak.”

“Mau kamu juga gak boleh?”

“Itumah lain lagi.”

“Oh gak boleh.”

“Siapa bilang gak boleh?”

“Tadi, katanya gak boleh.”

“Itu es.”

“Berarti boleh?”

“Boleh.” Aku menekuk senyum. Berusaha menyembunyikannya sekuat tenaga, bahkan membuang pandanganku keluar jendela.

“Gausah di tahan gitu kali, senyum aja.” Ia sandarkan pundaknya pada bahu kursi, serta tangan yang ia lipat di depan dada. Dan yang paling menyebalkan adalah, satu alisnya yang menungkik tajam, dirinya sedang berlagak.

“Dih, siapa yang senyum?”

Kini ia dekatkan tubuhnya, masih dengan satu tangannya yang terlipat, dan satu tangan lainnya menunjuk sudur bibirku. “Tuh, senyum.”

Aku pukul pelan tangannya yang menunjuk tadi, agar menjauh dari sudut bibirku. Gelak tawa tercipta dari sana.

“Hari ini, kita baca buku lagi?” Aku bertanya, namun mendapat gelengan dari sosoknya.

Biasanya, di cafe ini atau cafe lainnya yang aku dan dirinya kunjungi, kami selalu menyempatkan diri untuk membaca. Entah itu sekedar buku fiksi yang kami bawa dari rumah, atau buku dengan genre lainnya yang kami beli di toko buku. Namun hari ini, dirinya menggeleng. Entah menolak, atau tidak lagi menemukan sebuah esensi di balik agenda sederhana tersebut.

“Hari ini aku mau fokusnya kamu, kamu fokusnya aku.” Katanya dengan manik mata yang menjurus jatuh di milikku.

“Kenapa?”

“Minggu depan aku udah mulai sibuk kan?, gak tau kapan bisa ajak kamu main kaya gini lagi.”

Aku tersenyum kecil, bersuara, “Kan kalau malem bisa, bawain martabak manis kaya biasa.”

“Itu kan kalau kamu ngambek, obatnya ya martabak manis.”

“Siapa bilang?”

“Ya buktinya kalau aku gak bawa martabak manis kamu gak mau keluar.”

“Mana ada gitu, Mingyu.”

“Ada. Yang paham kamu siapa?”

“Aku lah. Kan aku diriku sendiri. Aneh banget pertanyaannya.”

“Aku juga paham kamu, kan kamu punyaku.”

Aku memicingkan mataku menatap dirinya, ini yang keberapa kali sih aku menekuk senyum menahan tawa? Menyebalkan.

Aku selalu ingat, si Mingyu ini adalah orang nomor satu yang selalu pandai membuatku jadi orang paling marah sedunia. Tapi, dengan mahir, dengan hal sesederhana martabak manis di malam hari yang dibawanya, dengan obrolan singkat di beranda rumah, serta pertanyaannya ketika satu potongan makanan manis itu aku gigit, “enak?” dan tatapan letih dari manik mata dengan kemeja putih kusut yang memeluk tubuhnya.

Ia harusnya mengistirahatkan diri, tapi ia memilih pergi jauh ke sudut kota hanya untuk membeli makanan manis tersebut, karena disana, letak pedagang yang menjual martabak manis paling enak di kotaku ini.

Dan selalu, dirinya mampu membawaku kembali jadi orang nomor satu yang paling mencintainya. Jadi orang yang ingin mengabiskan malam-malam penuh penat dengan sosoknya, mengisahkan banyak hal perihal hari-hari penuh canda tawa semesta.

Mingyu benar, ia adalah yang paling paham ketika aku sama sekali tidak mampu memahami diriku sendiri. Dan untuk itu, dengan garis besar tanpa ujung, aku seribu kali mensyukuri ini. Mensyukuri bahwa dirinya ada di bumi yang terkadang tidak bersahabat ini, mensyukuri ia yang duduk mendengarkan celotehan tanpa ujungku, mensyukuri argumentasi penuh amarah serta percikan api emosi dengan ego yang memakan jiwa, mensyukuri ia yang bersyukur atas hidup dan diriku di sisinya.

Segalanya soalnya, penuh dengan kata syukur.

Lamat aku dengar satu alunan lagu yang familiar di telingaku. Mingyu mengkerutkan alis, bersuara, “Ini.. bukannya lagu—“

“Selamat ulang tahun, Kak Mingyu.” Mingyu terkesiap di tempat duduknya. Satu kue coklat pesananku tadi yang dibawa oleh pelayan cafe di letakan di atas meja dan dua pesanan yang sempat aku pesan tadi. Serta alunan lagu milik Ed Sheeran, Best Part of Me, kesukaanku dan Mingyu.

Ketika dua pelayan tadi pergi meninggalkan aku dan Mingyu, serta kue dan lilin dengan angka 25 yang sudah setengah meleleh menutupi kue coklatnya, aku tersenyum hangat menatap manik matanya dan raut wajahnya yang penuh dengan pertanyaan.

“Selamat ulang tahun, Kak.” Cicitku pelan.

Mingyu meraih ponselnya, menatap layar, kemudian bersuara, “Bukan tanggal enam.”

“Kamu bilang minggu depan gak bisa ketemu aku. Jadi, happy early-early birthday, sweet creature. I love you.” Aku colek krim coklatnya, kemudian aku tempel di ujung hidungnya, aku tergelak.

“Tiup dulu lilinnya.” Setelah membersihkan ujung hidung, dengan rekah senyum yang menghiasi seluruh sudut wajahnya, dengan cepat ia tiup kepulan api di dua lilin bentuk angka tersebut.

“Makasih..” Lagi-lagi, ia acak kepalaku. Ia cabut dua lilin tadi dan ia potong kuenya dengan pisau plastik yang sudah disediakan.

“Kenapa ulang tahun lagunya Best Part of Me, sih?” Masih sibuk memotong kue, Mingyu menyahut.

Aku tertawa kecil, “Biar beda aja.”

Mingyu ikut tertawa, “Iya, kamu memang yang paling beda.”

Suapan kue coklat pertama, mendarat di lidahku.

Enak?” Aku selalu suka soal bagaimana dirinya yang selalu menanyakan hal itu ketika setiap makanan masuk ke dalam mulutku. Terlebih, ketika kecil senyuman yang tercipta di ranum merah jambu bibirnya.

Aku mengangguk. “Ini selalu enak buatku.” Kini aku ambil pisau plastik tadi, bergantian memberikan satu potongan kue coklat lain untuk masuk ke dalam mulutnya. “Buat kamu, enak gak?”

“Pilihan kamu selalu enak, kok.”

“Halah.”

“Loh, kan iya?” Mulutnya mengunyah kecil, masih dengan rekah senyum yang tak kunjung hilang dari raut wajahnya.

Aku dan sosoknya saling tatap, lagu milik Ed Sheeran tadi masih mengalun memenuhi seluruh sudut cafe. Samar, dapat aku dengar Mingyu ikut menggumamkan sedikit dari bait-bait liriknya,

“Baby, the best part of me is you. Lately, everything's making sense too. Oh, baby, I'm so in love with you.”

Mingyu jatuhkan jari telunjuknya di puncak hidungku dengan cepat, membuatku sedikit berkedip kemudian tertawa. Dirinya disana melipat kedua tangan di atas meja, tidak sedikitpun menghilangkan intensitas senyum di bibirnya.

Dan demi Tuhan, ia adalah yang paling indah.

-

Mingyu parkirkan mobilnya di parkiran satu taman kota. Sedangkan aku dan dirinya berjalan menyisiri pinggiran kota di atas trotoar, menoleh kemana-mana, melihat bagaimana orang-orang menjalani harinya.

Disana, lamat Mingyu gerakan tangannya agar mampu meraih jemariku untuk saling ditautkan.

Aku mendongak, menatap dirinya yang lebih tinggi dariku dan ia menunduk, tersenyum. Langkahku dan langkahnya masih berselaras, sesekali, jemari yang masih bertaut ini ia ayunkan pelan ke depan dan kebelakang.

Hampir sore, sudah banyak agenda yang terealisasikan hari ini, semua hampir selesai dan aku berharap waktu agaknya menjadi sedikit melambat.

“Buat tadi malam, aku minta maaf ya..” Mingyu bergumam. Tatapku yang terpaku pada langkah, kini mendongak ke arah wajahnya di sebelah kananku.

“It’s okay. It’s already over.”

“Maaf kalau belum bisa jadi manusia yang bisa paham kamu sepenuhnya.”

Langkah aku hentikan, begitupun dengan dirinya. “Mingyu..” Cicitku.

“Hm?”

“Aku aja gak sepenuhnya bisa paham sama diriku sendiri, gimana ceritanya ada orang lain yang nyoba pahamin diriku?”

“I’ll try, why not?”

Aku mengelus pundaknya pelan, “Apapun hubungan kita, mencoba memahami orang lain di atas kata sempurna bukan ranah kamu, ya?” Jelasku. “so.. don’t try too hard.”

“Apapun hubungan kita, kalau itu kamu, aku mau..”

Aku tersenyum kecil, menemukan manik coklat iris matanya. “Kenapa?”

“Kamu cuma satu, aku gak bakalan bisa ketemu kamu dimanapun, di diri siapapun. Jadi, aku mau kamu disini. Maaf kalau aku belum bisa bikin kamu nyaman sama aku.”

Senyumku masih disana, bahkan lebih rekah dari sebelumnya. “Jangan kemana mana.” Sambung Mingyu.

“I won’t.” Balasku. “I can’t, actually.”

Dirinya terbahak.

“Tapi, Mingyu..”

“Hm?”

“Jangan bersikeras. Kita semua bukan kesempurnaan.“

“Aku bakalan bersikeras, sayang. Jadiin kita yang paling sempurna diatas ketidaksempurnaan yang mungkin suatu hari bisa kita bangga-in. Setidaknya, buat aku sama kamu. Itu aja.”

Di dalam palung manik matanya, bisa aku rasakan tumpahan afeksi tak kasat mata, namun penuh dengan rasa.

Ini manusia yang paling aku cinta sampai rasanya darahku menyentuh titik derajat didih, yang membuatku ingin meledak kapan saja. Ini manusia yang disetiap detik menatap lekuk wajahnya, selalu aku selipkan doa agar bahagia selalu dihadiahkan pada dirinya. Karna dari berjuta banyaknya orang yang memijak bumi, dia adalah yang pantas.

Kalau saja aku dan Mingyu bukan berada di tempat umum, aku mungkin sudah loncat dan jatuh dalam rengkuh peluknya. Kalau saja ini bukan tempat umum, tidak akan aku lepas dekapnya barang sedetik menuju waktu berpisah untuk menyambut hari lainnya.

I meant it, buat jangan kemana-mana.”

I won’t. i told you i can’t.

God..” Gumam Mingyu. “I really love you so damn bad it hurts.”

I do too.”

Ia diam, masih dengan jemari yang saling bertaut, ia belum mengalihkan pandangannya kemana-mana.

“Aku harap aku bisa jadi penulis yang nulis jalan takdir hidup, tempat pulang.” Katanya. “I would write your name a million times, underlined.”

Aku terbahak.

We are so drawn and high to the love we owned itself. Seakan-akan, dunia berhenti berputar di titik ini dan kebahagiaan seperti ini yang akan terus aku rasakan tanpa pernah menemukan ujung dan akhir.

Mingyu di setiap katanya, bayangan Mingyu di setiap sudut kota dan kita yang jatuh dengan sebuah perasaan tidak karuan seperti seorang anak remaja.

Kita, adalah yang paling mabuk.

-

Malam hari, sesaat kami sampai dari agenda penuh magis di tiap sudut kota siang menuju sore tadi, ia melambai kecil sambil menyandarkan tubuhnya pada mobil. Sudut simpul senyumnya sama sekali tidak menghilang.

“Dah..” Cicitnya, masih melambai.

“Dah.. Kak..” Ia terkikik geli.

“Kakak balik?” Kami kemudian pecah dalam tawa, terbahak hebat.

“Hati-hati, Kak.” Candaku lagi.

Dirinya yang lebih tua, dirinya yang penuh dengan jawaban kedewasaan di tiap kalimatnya. Dan aku, bagaikan seorang anak kecil yang mengintip di balik daun pintu, menunggu ia menatap eksistensiku kemudian membuka lebar kedua tangannya untuk merengkuhku.

“Hari ini.. Makasih udah mau main sama aku.” Katanya.

“Kita kaya baru kenal kemarin aja..”

I don’t know. It kinda felt different.”

Different gimana?”

Loveliest than before, warmest than the warm, and..”

And?”

“..those butterflies. they flew much more today. don’t know why.” Aku menyunggingkan senyum.

“Kak..” Sahutku.

“Hm?”

'I Love you' sounds cliché, don’t you think so?“ Mingyu mengawang, memanyunkan bibirnya serta alis yang menungkik tajam, berfikir.

Well i’d say.. maybe? Hm, sometimes it feels a lil bit cringy, but if it comes from you.. i do really like it.”

“Kak.. i’ll find a sentence that shows better than ‘i love you’ itself. Until that day, i love you.

Jarak yang tercipta tidak mampu membuat rekah senyum serta kikikan kecil dari sosoknya jadi semu. Semuanya jelas di mataku.

Can you find.. a sentence that shows much more than ‘i love you’?”

Aku mengangkat bahuku tinggi. “Dunno..” Jawabku. “..But I’ll try.”

Mingyu membenarkan posisinya, kali ini berdiri tegak, tidak lagi mengistirahatkan tubuhnya pada mobil.

“Masuk, udah malem. Dingin.” Ucapnya lembut. “I’ll call you as soon as possible, pas aku sampe rumah, oke?”

“Oke.” Aku mengangguk menekuk senyum. “Makasih, buat hari ini. Hati-hati.” Di tengah lambaian kecil dan langkahku menuju pintu, dirinya di ujung sana ikut kembali melambai. Dapat aku lihat ia yang mulai masuk ke dalam mobil, dan hilang di depan muka rumahku, pulang.

Tukaiku melangkah naik menuju lantai atas, kamarku. Aku buang asal slingbag yang aku bawa, membuka outer yang aku pakai, lalu membuang tubuh ke atas kasur sambil menatap langit kamar.

Kemudian berandai-andai.

Kalau. Kalau ternyata semesta jadi yang paling keji, bagaimana kalau tiba-tiba ia merenggut yang kusayang kapanpun saja? Bagaimana kalau detik ini? Bagaimana kalau, ternyata bahagiaku ini tidak mampu menyentuh angka 24 pada satuan jam?

Bagaimana kalau—

Ting!

Denting suara dari ponselku membuyarkan agenda tadi. Buru-buru aku ambil alat elektronik tersebut di dalam slingbag yang sempat aku lempar asal ketika memijak kaki di dalam kamar, dan membuang nafas lega.

‘Arrived home.’

Secercah senyum terlukis di kedua sudut bibirku yang terkatup. Buru-buru aku ketikan sebuah pesan lain untuk membalas pesan yang sudah Mingyu kirimkan.

‘Istirahat. Kamu udah capek seharian ini.’

‘will do.’ Balasnya di beberapa menit kemudian.

‘can i call you?’ Aku terkekeh membaca satu pesan lain yang muncul, lalu dengan cepat aku mengetik untuk balasan lainnya.

‘sure.’

Namanya muncul di layar ponselku, buru-buru aku angkat dan dapat aku dengar gemerisik di ujung sana. Mingyu mungkin memang sudah merebahkan diri di atas kasurnya.

Topik sederhana kemudian jadi obrolan singkat di penghujung hari ini. Dengan memeluk selimutku sendiri, menatap langit kamar dengan suara serak mengantuk milik Mingyu. Ia kadang suka tiba tiba bernyanyi, menulis lirik yang entah apa dengan asal di luar kepala, kadang esok hari sudah terlupa.

Lalu di beberapa menit kemudian akan aku dengar alunan yang semakin melambat, tiba-tiba jadi sunyi dan meninggalkan suara dengkuran kecil.

Dirinya, sudah sampai di dunia mimpi.

Sehabis itu, maka aku akan bersiap untuk ikut mengejarnya bertemu di dunia magis dalam alam bawah sadar. Mungkin saling menautkan jemari seperti tadi? tapi di lapangan hijau yang luas dan penuh ilalang. Atau mungkin, bermain ayunan di satu pohon besar dan sosoknya yang menolak punggungku dengan tawa lebar dan gigi taringnya? Mungkin saja. Pada intinya, hanya aku dan dia saja eksistensi nyatanya pada satu dunia semu tanpa kejelasan. Karna mungkin, esok hari ketika aku membuka mata, semuanya hilang dari ingatan.

Aku menyayangi sosok ini. Tanpa jeda, tidak terhingga.

“Selamat malam. Semoga hujan dalam mimpi cuma lagu. Semoga ada aku. Aku sayang kamu, Kak.”

Dengkuran lain menghiasi pendengaran, malah menjadi lagu pengantar tidurku.

-

Enam April.

“Good morning! Kenapa nelfon?” Dapat aku dengar dirinya yang agak sibuk di seberang sana. “Aku telat ke kantor.”

“Tapi masih sempet angkat telfonku?” Ada suara pintu yang berdecit terbuka, grasak-grusuk dan nafas yang tersenggal.

“will never missed it.” Aku tertawa kecil. “Gak kuliah?” Kali ini dirinya yang melempar tanya.

“Habis siang.”

“Oke.”

“Aku cuma mau ngucapin selamat ulang tahun.” Suara grasak-grusuk tadi kemudian hilang.

“Wait.” Ada suara decitan pintu lainnya dan langkah kaki yang bisa aku dengar. “God. Aku bahkan gak tau kalau hari ini tanggal enam.”

“Well, now you know.” Ia terbahak kecil di ujung sana.

“Makasih.” Sahutnya, kini keadaan dapat aku rasakan jadi lebih tenang dibandingkan bermenit yang lalu.

“Semoga hari ini semesta baik sama kamu.” Kataku.

“Semoga hari ini semesta kasih aku waktu lebih, biar bisa ketemu kamu.”

“I hope so.. because I kinda miss you.”

“me too.”

“Sekali lagi.. Selamat ulang tahun, Kak. Aku sayang kamu. Aku gak bisa ngomong langsung, yang paling penting.. makasih udah ada di bumi. Gausah pindah ke Mars, di Mars gak ada aku. Gak ada oksigen, kalaupun di jual pasti mahal.”

Mingyu terbahak hebat.

“Aku kerja keras supaya bisa beli oksigen dan kita pindah ke Mars. Biar cuma ada kamu sama aku doang.”

“Aneh, kemarin katanya tiap satu tahun sekali bakal ada 100 orang yang pindah ke Mars. Ini kok tiba-tiba malah jadi aku sama kamu doang.”

“Nanti orang lain aku blacklist. Pokoknya cuma ada aku sama kamu.”

“Gimana kalau orang-orang aja yang pindah ke Mars? Kita di Bumi aja, berdua.”

Mingyu lagi lagi terbahak.

“Terserah, yang penting aku sama kamu, kamu sama aku.”

Akupun ikut tertawa. “Aku sama kamu, kamu sama aku.” Ulangku.

“Aku berangkat kerja, ya?” Sahutnya dengan lembut dari sana.

“Iya. Hati-hati di jalan.”

“Lagu Tulus?”

“Nooooo. Beneran hati-hati di jalan sampe ke kantor.”

Dirinya berdeham dan tertawa kecil, “Will do.”

Telfonnya akhirnya terputus.

Aku bukanlah yang paling mahir dalam berkata-kata. Namun, aku terlalu jatuh dalam perangainya, jadi, aku ingin hadiahkan sedikit afeksi lewat tulisan dan ungkapan yang rencananya akan aku kirimkan lewat email pagi ini.

Aku ambil laptopku yang aku letak di dalam totebag yang biasa aku bawa ke kampus, membukanya dan sadar akan satu notifikasi dari sudut layarnya.

‘you’ve receive an email from @mingyukim97@gmail.com.'

'tap to open.’

31 Maret, seminggu sebelum dirinya berulang tahun, dan hari dimana aku dan sosoknya dikikis api emosi. Memang, semenjak hari itu, tidak pernah barang sebentar aku buka alat elektronik ini. Sebuah lampiran penuh dengan tulisan aku temukan.

-

Sleep well.

Mingyukim, March 31, 03.32. to me.

Pertama-tama, maaf.

Aku tau sehabis kamu matiin telfon kita tadi, kamu juga ikut matiin ponsel kamu. I know you too well, sayang.

Yang kedua, maaf. Lagi.

Karna sehabis itu aku gak berusaha buat reach kamu with any of ways. Telfon, Imess, atau lewat adik kamu, Chan. But well yea, i reach you with this email, padahal gak tau kapan kamu bakal buka laptop. Again, I know you too well.

Yang ketiga, another word of ‘maaf’.

Maaf aku kasih kamu ruang sendiri padahal kamu gak suka hal itu, dan maaf, karna aku juga butuh ruang disini. Jadi mungkin, sewaktu kamu baca ini, kita jadi saling paham satu sama lain. Walaupun aku gak mau ranah memahami itu jadi urusan kamu buat aku. Aku mau, itu cukup jadi urusanku. Tapi, aku juga manusia, kan? Yang se-capek capeknya juga kadang mau di pahami. Jadi untuk itu, aku minta maaf, walaupun aku adalah yang paling susah bilang maaf secara lisan, jadi, maaf lagi karna aku harus minta maaf lewat tulisan.

Kali ini, yang ke-empat, bukan kata maaf lagi, tapi terimakasih.

Makasih untuk selalu jadi alasan aku buat memahami makna cinta yang gak melulu soal rasa, gak melulu soal bahagia dan kupu-kupu di dalam perut yang biasa di rasain anak remaja. I know it isn't that easy but, let us hanging for a lil while. I'll take you home soon. I promise i will take you home.

Sleep well, i’ll go to sleep after this and i’ll meet you where everything will always be alright. You know where exactly it is.

i do love you so much from the moon to saturn and will spin it all over again.

—yours forever, kmg.

Ini aku, dengan segala perasaan yang bercampur aduk di dalam diri. Ini aku, yang tidak sempurna dan yang ingin disempurnakan. Lagi, ini aku, yang paling egois yang mendambakan perasaan jatuh. Aku, sepenuhnya manusia.

-

Enam April, selamat lahir.

me, April 6, 09.12 to Mingyukim.

Kak, kita bertemu kembali di tanggal enam bulan ke-empat tahun ini, ternyata, masih ada kita yang berselaras. Untuk itu, aku ucapkan selamat untuk kamu.

Sedikit menapak tilas, aku ingat, bagaimana kita dahulu yang selalu berebut untuk saling mencoba makanan yang kita pesan untuk satu sama lain, kemudian berlagak seolah memberikan komentar atas selera masing-masing. Tidak jarang, kita malah berkelahi saling adu argumentasi.

Atau kejadian lain semacam ucapan telat yang selalu aku tunggu di tiap malamnya dan membuatmu berlari ke rumahku hanya untuk meminta maaf.

“Maafin kakak, kakak lupa.” Begitu katamu, dan kita malahan berakhir duduk di beranda rumah dengan satu bungkus martabak manis dan kemeja putihmu yang sudah sepenuhnya kusut. Harusnya kamu pulang untuk mengistirahatkan diri, tapi malah memilih duduk dengan memasang senyum paling cerah serta menatapku dengan sebuah pertanyaan ketika satu gigitan itu masuk ke dalam mulutku, “enak?” selalu, kamu selalu begitu.

Kamu, tau dan paham bagaimana mengembalikan suasana burukku menjadi lebih baik. Walaupun, tidak jarang kamu itu adalah sebab dan akibatnya.

Ingat obrolan aneh yang selalu kita perbincangkan kalau makan di rumahku? “Kamu lebih pilih tinggal di bumi sendiri, atau ikut Kakak ke Mars?”

Aku hanya akan meninggalkan jawaban dengan sebuah gelengan dan wajah aneh. “Bumi.” Jawabku.

“Tapi Setiap tahun tuh, ada seratus orang yang bakal berangkat ke Mars, jadi mending kamu langsung ikut Kakak aja ke Mars, gimana?” Dan lagi, kemudian kita akan kembali berkelahi.

Hari-hari tidak hanya jadi sekedar hari kalau nama kamu ada di dalamnya, Kak. Itu semua, jadi lebih bermakna dari sekedar menjalani hari selama 24 jam lamanya.

Mendengar kamu mendengkur lewat sambungan telfon, menyanyikan satu sampai dua bait lagu kesukaan kita, membaca buku sederhana di pinggir kota, atau main ke sebuah museum untuk merehatkan diri. Juga beberapa foto, hasil jepretanmu yang selalu aku kagumi.

Kak, kita bukan rumah yang hangat, kita bukan rumah dengan ornamen indah di dindingnya yang mampu mencipta kagum, memang. Tapi aku tetap ingin pulang.

Aku tetap ingin menemukanmu tanpa sebuah setapak dan kompas yang rusak. Aku ingin rengkuh pelukmu walaupun aku tersesat. Aku hanya ingin sentuhan dingin puncak jemarimu yang jatuh di atas kulitku dan yang aku ingin hanya rumahmu dengan dindingnya yang bahkan mungkin sudah retak.

Aku hanya ingin pulang menuju figurmu, menuju sihirmu, menuju larik sajakmu, menuju kamu.

Kak, sekali lagi selamat ulang tahun. Selamat bertemu kembali di tanggal yang sama untuk dua puluh lima kalinya. Semoga bahagia selalu menyertai, entah untuk di angka pada tahun ini, atau seratus tahun yang akan datang.

Terimakasih sudah bernafas di bumi yang fana ini.

Mungkin sesederhana kalimat itu yang mampu aku sampaikan. Hanya untuk sebuah kisah sederhana atas gigitan martabak manis dan argumentasi tanpa makna makanan yang kita pesan di satu restoran di pinggir kota, lagi-lagi terimakasih.

Untuk satu bait lagu pengantar tidur yang kamu buat sendiri, untuk langkah demi langkah serta tautan jemari di trotoar kota, untuk satu foto yang kamu ambil dengan sepenuh hati. Semuanya, kamu, dan terimakasih banyak.

—yours truly, for evermore.

Ada sedikit tetes air mata yang menghujani pipiku, tidak deras namun cukup membuat batinku bergetar. Rasanya aku ingin berteriak kepada dunia, memberi tau bahwa sosok ini adalah yang paling aku sayang dan mampu membuatku jatuh tanpa menemukan titik henti.

Dan sepanjang hari, aku menanti.

Menanti kabar dari sosoknya sampai jam di dinding mulai menunjukan jam pada malam hari.

Tidak kuasa menahan kantuk, aku kirimkan pesan singkat untuk Mingyu, memberi tau kalau aku akan tidur duluan agar dirinya tidak perlu bertanya-tanya kemana sosokku pergi.

‘Aku ngantuk, tidur duluan ya?’

10 menit, ketika aku hampir terbang menuju mimpi, denting notifikasi mengejutkanku dan membuatku sepenuhnya jadi sadar kembali.

‘aku dibawah. udah tidur banget ya?’

Secepat kilat aku raih kenop pintu kamarku dan berlari menuruni tangga, membuka pintu depan dan menemukan sosoknya masih mengenakan pakaian kantornya.

Kemeja putihnya kusut.

“Udah tidur ya?” Dirinya berjalan mendekat. Aku menggeleng, mengucek sedikit mataku.

Berdetik selanjutnya, ia tarik aku ke dalam rengkuh peluknya. Membuatku mengerutkan alis dan sedikit panik, karena tubuh besarnya yang memelukku sedikit bergetar.

“Mingyu? Kamu kenapa?” Suaraku hampir tidak terdengar, di bekap kuat oleh dirinya.

“How can i deserve someone like you, ya?” Lirihnya, suaranya tercekat.

“Mingyu..”

“Aku baca email kamu, di sepanjang jalan mau kesini, tenggorokan ku perih.” Katanya, belum melepaskan pelukan tadi. “Semesta selalu baik, gak cuma buat hari ini, tapi from the first day i met you. Kok bisa ya aku di ketemuin sama kamu. You just.. perfectly fine.”

Aku tertawa. Kini aku ikut memeluknya. Mengeratkan lengan pada punggungnya dan menepuknya pelan serta usapan-usapan kecil yang juga aku hadiahkan.

“Kak..” Panggilku.

“Hm?”

Malam yang dingin, dengan piyama yang memeluk tubuhku serta sunyi yang mengudara, gumam miliknya serasa yang paling memekakan di indra pendengaranku.

“Kalau ‘i love you’ itu sepenuhnya segala konsekuensi. I’ll take it. Konstan, konsisten.. dan kontinu.”

Kini Mingyu lepaskan dekapannya, sedikit agak menunduk menatap manik mataku.

“Did you find it already?”

Aku menekuk bibir, mengangkat bahuku cepat kemudian menggeleng pelan, “Can’t find the sentence that shows much more. But.. i love you.” cicitku dengan tawa malu.

“For me, you are all those sentences.”

Dengan alis yang mengkerut aku melempar tanya, “Maksudnya?”

Kedua sudut ranum merah jambu bibirnya kemudian menungkik tajam, matanya yang lelah serta bercak air sisa sendu tadi di kedua sudut matanya kini melambung berbentuk setengah lingkaran, ia kemudian bersuara pelan, “Every sentence that shows emotion, you. Every sentence that shows an adjective, you. Every sentence with a million meaning behind it, will always be you. Favorite sentence? Word? You. Without hesitation, You.”

You. Kamu. Anda. Dirinya. Sosoknya. Entah dari sudut pandang pertama, kedua atau ketiga, atau banyaknya sudut pandang lain dalam bercerita, Mingyu adalah satu dan porosnya. Dirinya memang pencuri atensi di segala kondisi. Ia adalah tokoh favorit di tiap-tiap penulis menggambarkan karakteristik satu tokoh utama pria di tulisannya, ia adalah kalimat serta jutaan kata, ia adalah alunan serta tangga nada, dan ia adalah bentuk cinta tanpa melulu soal rasa.

Di kota, pada tiap bayang dirinya yang tidak mampu terlepas. Pada kata ketika lemparan-lemparannya yang menyatu jadi kalimat sihir penuh adiksi. Dan kita, yang diperbudak oleh rasa, yang rela di sihir terus menerus tanpa jeda.

—fin.

it was a real rollercoaster for me. indeed.

Sedikit cerita yang mau aku bagikan, Tropes yang pertama kali menginjak kata selesai adalah milik si ketua himpunan : Soonyoung, dan yang paling terakhir ada di milik Hansol.

Kenapa aku bilang ini adalah rollercoaster, ada tiga belas plot yang aku harus aku rangkai secara berbeda, menyusun akhir yang berbeda, walaupun ujuk-ujuk tetap berakhir sama, berpisah.

Entah sebuah sebab akibat akan perbedaan : perasaan, kepercayaan, dan yang satu : kematian. Pada intinya, hidup tidak selamanya menuntun kita pada sebuah akhir bahagia, tapi kebahagiaan yang berselaras menuntun pada cerita.

Dan bahagia, tidak melulu terletak pada sebuah akhir, kan?

Begitu aku membawa kalian terbang menjulang merasakan bagaimana bahagia menggerogoti jiwa, sampai-sampai lupa kalau bahagia itu sendiri adalah fana.

Akhir bahagia itu tidak ada. Yang ada adalah kebahagiaan yang berselaras dengan nestapa untuk menyambut kehidupan baru dan abadi di langit sana.

Jadi untuk itu, mari kembali bangkit untuk menyambut bahagia dan nestapa lain yang menunggu untuk di jemput di depan mata.

Kembali lagi, di tiga belas plot ini, aku tau ada beberapa cerita yang gagal aku tumpahkan afeksinya, ada beberapa cerita yang mungkin jauh dari kata masuk akal, ada beberapa cerita yang mungkin kurang sampai ke perasaan dan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan. Untuk itu, aku minta maaf karena belum bisa menyentuh ekpektasi yang telah kalian semua bangun.

Tulisan ini, adalah murni fiksi. Kalau ternyata ada unsur ketidaksengajaan, entah dalam karakter, tokoh, jalan cerita, maupun segala hal yang jadi bagian dalam cerita, itu semua hanyalah imajinasi belaka. Hanya beberapa bagian yang aku ambil dari sebuah buku, film, lagu untuk menjadikannya prompt penuntun.

Sekali lagi, terimakasih untuk segala apresiasi yang sudah kalian tuangkan. Beribu terimakasih aku ucapkan dan sampai jumpa di entah kisah apalagi yang akan aku ceritakan kepada kalian.

Semoga, ada kesempatan baru untuk membangun kisah yang baru lagi.

—with love, youngies a.k.a. your amateur writter-nim, kittenpalm.

🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍

Langit tidak selamanya abu, laut tidak selamanya biru, angin tidak selamanya menderu, dan rapuh, tidak selamanya hancur dan melebur.

Ada banyak rasa yang tidak pulang kerumah, ada banyak kesalahan manis yang terulang, ada banyak pergi yang tidak diharap dan ada banyak pamit yang tidak tersuara. Pada akhirnya, semua kembali pada sebuah melepas dan ikhlas.

Dentang jam dinding kadang menjadi sebuah pertanda bahwa setiap detik detaknya, terkadang menjadi sia sia, terkadang menjadi berharga dan terkadang lagi menjadi tempat untuk sebuah harapan tidak pasti yang sedang ditunggu kepastiannya.

Entah sampai kapan.

Entah mungkin sampai ketika ada kereta lain yang berhenti di sebuah stasiun, atau seseorang yang kembali pulang ke rumah panti asuhan? Atau, sampai dikehidupan lainnya untuk memenangkan sebuah cinta yang gagal dikehidupan ini?

Atau mungkin, sampai ketika ada paru paru bersih lain yang datang agar mampu bernafas tanpa bantuan selang oksigen? Atau sampai ketika si ketua himpunan yang tidak lagi melihat bulan yang indah di tengah gelapnya langit malam tanpa bintang? Atau, sampai ketika sang lelaki yang akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada rusuknya, atau mungkin sampai ketika seseorang yang berhasil meninggalkan masa lalunya kemudian hidup di masa kini?

Atau mungkin, sampai seseorang berhasil melabuhkan pilihannya untuk berjalan bersama di sebuah altar dengan pilihannya sendiri, atau sampai ketika tidak perlu ada perasaan yang tertutup di satu bulan Agustus penuh luka dan memar yang terus membiru? atau mungkin sampai hujan tidak perlu lagi menyimpan cerita sendu dibalik rintik dan genangannya.

Mungkin lagi, sampai tidak adanya kematian diatas tekanan untuk seseorang yang seribu kali lebih dari cukup, atau sampai seseorang yang kembali dengan aman sampai kerumah dengan motornya dan mengirimkan satu pesan manis yang ditunggu? atau yang paling tragis, mungkin sampai ada maskapai penerbangan dari negeri kangguru yang mendarat dengan selamat disebuah bandara tempat orang orang berlalu lalang untuk pergi dan pulang pada hari itu.

Apapun itu, dan sampai kapanpun itu, tidak perlu ada yang disesali, karena sesuatu yang tidak pasti tidak akan memiliki sebuah jawaban untuk menjadi penenang hati. Karenanya, sambutlah hari hari lain dengan sorak sorai atas segala bentuk sakit maupun sembuh sebuah hati yang ringkih.

Sekali lagi, entah sampai kapan. mungkin, ada kita, kembali.

—kittenpalm.


“Last night, i asked the stars to bring you back to me.” -K. Azizian


Namanya Lee Chan, duduk di kelas 12 IPS 2, mata pelajaran kesukaannya adalah Geografi. Teman sekelasku dan teman sebangku ku, bahkan semenjak kelas 10 dulu.

Chan akan selalu bersemangat kalau guru mata pelajaran Geografi sudah masuk ke kelas, ia akan meluruskan punggungnya, tersenyum merekah dan selalu penasaran tentang segala bentuk bumi, isi, fenomena, gejala dan kejadiannya.

Kalau Chan akan bersemangat soal pelajaran Geografi, maka aku akan menemukan diriku sendiri dan seluruh teman sekelasku terduduk murung dan malas, terlebih saat sisa-sisa jam pelajaran menuju istirahat, kenapa? Karena Chan akan terus bertanya.

“Jadi, kronologi perkembangan muka bumi itu belum ada jawaban yang valid ya, Bu?” Chan mengangkat tangannya ke udara, sebelum melontarkan pertanyaan.

“Ada banyak teori dari para ahli, ya yang namanya teori pasti akan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Mulai dari 180 tahun yang lalu yang dikemukakan bahwa Benua Pangea yang merupakan daratan India, Australia, Antartika dan Amerika selatan yang menjadi satu akhirnya terbelah menjadi dua. Kemudian di 130 tahun yang lalu, dua Benua yang mulai memencar ke Utara dan banyak penjelasan ahli lainnya. Untuk penjelasan kompleks, kamu bisa tanyain saya langsung atau baca di buku ya, Chan? Karena kalau saya jelaskan, ntar sampe sore kita gak pulang pulang.” Guruku tertawa, Chan mengangguk tersenyum.

“Sekian ya buat hari ini, sampai bertemu lagi minggu depan.” Guruku yang terlihat masih muda kira kira berada di tengah umur 20-an itu berjalan meninggalkan kelas, dan murid murid mulai memecah keheningan.

Aku mengistirahatkan kepalaku dengan tangan, menatap Chan. “Chan, kenapasih lo seneng banget sama Geografi?” Chan menoleh sedetik, kemudian hanya mengangkat bahunya.

“Seru kalau kata gue.”

“Apa serunya?”

“Menurut gue nih ya,” Kini dirinya memutar tubuh, kini berhadapan denganku. “Kenapa benua benua ini tuh bisa pisah pisah, karena kekuatan angin gak sih? Maksudnya, gimana ceritanya daratan ini tuh bisa bergerak ke khatulistiwa? Atau, jangan jangan dulu ada gempa bumi dahsyat yang bikin daratan tenggelam dan akhirnya tercipta lautan yang misahin seluruh benua? Kalau gitu berarti—”

“Stttttt” Aku meletakkan jari telunjukku di depan bibir, menutup mata kemudian menarik nafas. “Chan, waktunya istirahat. Mari kita jajan!”

“Oke, lets go.” Chan tidak pernah marah kalau omongannya aku potong, ia akan ikut masuk dalam pembahasan baru yang aku lontarkan untuk menghilangkan pembahasan miliknya yang lama. Maafin aku, Chan, tapi aku gak suka Geografi.

Di kantin, Chan akan terus memesan makanan kesukaannya, indomie goreng dan jus jeruk yang menurutku rasanya 100 persen lemon karena luar biasa masam, tapi anehnya, Chan suka.

Chan punya kebiasaan, suka mengambil sesuatu yang menyangkut di rambutku. Semisal, kalau saat perjalanan balik dari kantin menuju kelas, ada daun kering yang hinggap di puncak kepalaku, ia akan sigap mengambil dan membuangnya..

..atau sisa coklat di sudut bibirku.

Seperti saat ini misalnya, ada helai benang disana. Selagi mengunyah, matanya terpaku pada benang tersebut dan tangannya siap menyingkirkan, dan aku selalu berharap, agar setiap hari selalu ada Chan yang menyingkirkan hal apapun dari diriku. Entah itu di rambutku, puncak kepalaku, pipiku, maupun ujung bibirku.

“Kenapa?” Katanya, sadar kalau dirinya aku pandangi. Aku tersenyum, kemudian menggeleng.

By the way, Masa lo gak penasaran sih kok bisa benua kita tuh—”

“Chaannnnn,” Rengekku. “Gue gak suka Geografi.”

“Lo sukanya apadeh?”

Lo. Lo, Chan.

“Ya apa aja selain Geografi.”

“Matematika juga ngeluh melulu, Bahasa Inggris juga, Ekonomi juga, apalagi?”

Coba deh, Chan. Kamu ceritain semua tentang kamu, aku bakal dengerin dan gak akan ngeluh.

“Yaudah sih yang penting sekolah.”

“Gak gitu, kan dari minat lo di SMA, lo bisa nentuin bakal kuliah apa nanti.”

“Yaudah itu urusan belakangan, sekarang lo habisin tu Indomie goreng, sebentar lagi masuk jam pelajaran.”

“Mau gak?” Tawarnya pada es jeruk masam yang dia pesan, aku menggeleng.

“Asem.”

“Iya, kaya muka lo kalau lagi belajar, asem terus.”

“Kurang ajar”

-

“Pulang sekolah main yuk?” Chan mengerutkan alisnya ketika aku melontarkan ajakan itu. Ia memasukan beberapa buku dari laci ke dalam tasnya.

“Mau main kemana?”

“Kemana aja, Chaan. gue bosen di rumah terus.”

“Yang jelas dulu kemana baru gue mau.”

“Hmmmm...” Aku meletakkan jari telunjuk di daguku, bola mata keatas, berfikir. “Mending lo ikut gue aja dulu, gimana?”

“Yang jelas dulu mau kemana.”

“Adaaa.”

“Gak, pergi sendiri aja sana.”

“Yah, gak asik lo.”

“Ya yang jelas mau kemana.”

Chan itu gampang dibujuk, buktinya, hanya dengan menarik narik tangannya sambil merengek di depan kelas dan jadi bahan tontonan kelas lain, dia langsung setuju untuk aku ajak ke suatu tempat.

Ada satu danau kecil yang jauh dari kota. Aku menyisihkan sedikit jajanku agar bisa menaiki busway untuk menuju kesana bersama Chan. Diatas rumput di pinggir danau yang dia pijak, Chan menggerutu.

“Lo mau berenang ngajakin gue main ke danau?”

“Ih enggak, Chan..” Aku melipat tanganku di depan dada. “Terakhir gue kesini, ketemu dua angsa tau.. Jadi gue kepikiran mau ngeliat angsanya lagi bareng lo..”

“Aneh aneh aja deh lo.” Ia membanting ras ranselnya ke atas rumput, kemudian duduk memeluk lutut. Sesekali angin meniup surai gelapnya. Aku kemudian ikut duduk disampingnya, tersenyum.

“Lo bosen gak sih temenan sama gue?” Tanyaku, ia mengerutkan alisnya.

“Biasa aja.”

“Berarti seneng?”

“Apanya?”

“Ya temenan sama gue?”

“Ya seneng..”

“Sebangku terus sama gue dari dulu, seneng juga?”

“Hmm.. Seneng.”

“Chan.. Kalau kita ngomong pake aku-kamu, aneh gak ya?” Raut wajah Chan kemudian berubah.

“kenapa kok pengen ngomong pake aku-kamu? Emang gue-elo kenapa?”

“Ya gak papa, lucu aja kalau pake aku-kamu, kaya spesial gitu.”

“Lo bukan martabak, gaada spesial spesial.” Aku memutar malas kedua bola mataku. Kini akupun sama, duduk memeluk lutut sama seperti yang dilakukan Chan. Ia mengedarkan pandangannya kemana mana, menatap sekitar. Disini sunyi, lumayan jauh dari jalanan kota, karena tadi pun sehabis turun dari busway, aku dan Chan masih harus jalan beberapa meter untuk sampai kesini.

“Angsa yang kamu bilang tadi, mana?” Senyum merekah terlukis di wajahku, ingin tertawa tapi sedikit malu. Jadi aku memutuskan untuk acuh, dan ikut mencari dengan mengedarkan pandangan.

“Hmm, kali aja nanti keliatan.” Chan mengangguk.

“Chan..” Panggilku.

“Hm?” Ia menoleh kali ini, menatap diriku yang menatapnya.

“Kamu tau ga? Kalau angsa itu simbol kesetiaan?”

“Engga, siapa yang bilang?”

“Ih.. Serius.”

“Ya kan aku nanya? Emang iya?”

“Angsa tuh, kalau punya pasangan , pasti cuma satu sampai mati.”

“Masa?”

“Katanya sih gitu.”

“Loh, kok malah katanya.”

“Ya aku baca baca sih gitu.”

“Mending kamu baca ensiklopedia, infonya pasti dan gak ‘katanya’ ” Aku memukul pelan bahu Chan, ia sedikit meringis.

“Kenapa mau ngajakin aku liat angsa?” Chan bertanya, masih mengelus bahunya yang sempat aku pukul tadi.

“Kadang tuh ya,” Aku mengawangkan pandangan ke langit sana, hampir sore. “Kalau aku ngeliat hal hal yang menarik, kepikirnya kamu terus, Chan..” Kini aku menoleh, Ia pun, masing masing manik kami bertemu.

“Misal kaya angsa ini, pasti aku langsung mikir ‘kalau lihat bareng Chan, pasti seru ya’ atau, kaya naik busway tadi, pasti kepikiran ‘kalau naik busway berdua sama Chan, pasti seru’ “ Aku menunduk menyembunyikan senyum.

“Kesampean ya..” Dapat aku lihat sudut bibir Chan yang tertarik ke atas. “Lagian kamu ngapain kesini sendirian?”

Aku mengangguk kecil menatap rumput dengan kosong, “Rumah, belakangan lagi gak baik.”

“Masih?”

“Iya..” Kini Chan mengelus pundakku, menepuknya pelan.

It’s okay, you have me. You will always have me, Kan?” Rumah, bukan lagi sekedar tempat, tetapi manusia. Anak manusia yang setiap detiknya selalu aku teriakan namanya. Tempat istirahat kini bukan lagi sekedar kasur untuk di tiduri, melainkan manik matanya, bahu kokohnya, dan gesekan kulitnya yang terkadang terkena kulitku. Rumahku yang hangat, Chan.

“Aku udah bilang sama Mamah buat ninggalin Papah..” Cicitku. “Tapi kata Mamah, kita nanti mau makan apa..” Aku menyunggingkan senyum kekecewaan.

“Papa.. Ketauan lagi?”

Aku mengangguk, “Kali ini cewenya beda lagi, Chan. Aku gak habis pikir, padahal harusnya duit buat mainin cewe bisa buat pendidikan aku, buat jajanin Mamah, tapi..” Mataku mulai panas dan perih, mengingat bagaimana laki-laki berstatus Ayah Kandungku itu tak puas-puasnya mencari kebebasan tak beretika di luar sana.

“Hey..Kapanpun kalau rumah lagi gak baik baik aja, pulang.. Ke aku.” Chan tersenyum, mengusap tetesan air mata yang mengucur deras di satu pipiku.

“Aku boleh peluk gak?” Chan terkikik kecil mendengar permintaanku, kemudian mengangguk.

Aku benamkan kepalaku, aku sembunyikan wajahku. Tetesan air mataku sedikit membekas di seragam sekolah yang masih di gunakannya. Ia mengelus pundakku, lagi lagi menepuknya pelan.

Ya, mungkin rumah hanya sesederhana dua tangan yang saat ini sedang memelukku erat di situasi paling bawah tekanan hidupku.

Aku ingat, pertama kali Chan menemukanku duduk sendirian di halte bus pada malam hari. Ia menggunakan kaos oblong dengan mengendarai sepeda motor, sedangkan aku masih menggunakan pakaian sekolah lengkap. Dan lagi, aku tidak mau pulang kerumah kala itu karena keadaan rumahku, yang tidak baik baik saja.

“Lo ngapain disini malem malem?” Katanya, membuyarkan lamunanku.

“Chan?”

“Lo ngapain?”

“Gue.. Nunggu-”

“Nunggu apa? Bus? Yakali udah jam segini lo nungguin bus. Lo ngapain?”

Aku diam, tidak memberikan jawaban. “Jangan bilang.. Lo kabur dari rumah ya?” Aku mendongak, menatap dirinya yang berdiri didepanku. Ragu-ragu ingin menyuarakan perihal satu hal yang sedari tadi aku lamunkan.

“Chan, kalau lo gak keberatan, ajak gue kabur, boleh? Kemana aja.” Raut wajah Chan berubah, ia mengernyitkan alisnya kuat.

“Gila lo?”

“Sebentar aja, Chan.” Manik matanya masih belum pergi dari sosokku, ia kemudian menarik nafas pelan dan membuangnya.

“Yaudah, habis itu kasih tau rumah lo, biar gue anter pulang.”

Di sepanjang perjalanan yang aku sendiri tidak tau kemana, kita hanya diam. Terlebih aku, menangis dalam diam, membiarkan angin menyapu wajah, mengeringkan air mata, dan sesekali menatap Chan lewat kaca spion motornya.

“Udah ya, sekarang kasih tau rumah lo dimana, biar gue anterin pulang.”

“Iya, Chan.”

Pukul 10 malam, motor Chan berhenti tepat di depan halaman rumahku. Aku yakin, malam itu Chan juga mendengar suara yang bersahutan dari dalam, serta beberapa barang yang berjatuhan.

“Didalem—”

“Iya, Chan. Gapapa.. Biasa juga gitu. Makasih ya, gue balik dulu..” Ketika aku membalikan tubuh, Chan menahan pergelangan tanganku. Dapat aku lihat jakunnya yang bergerak naik dan turun.

“Gue coba telfon.. nyokap gue, kalau dibolehin, lo ke rumah gue aja. Mau?” Aku tatap maniknya, diam tidak memberikan jawaban, tapi jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin kabur dan bersembunyi dari situasi yang menyesakkan ini, dan Chan, jadi tempatku kala itu.

“Bentar ya..” Berselang beberapa menit, ia kembali menghampiriku. “Yuk?”

“Boleh, Chan?”

“Boleh, kata Bunda boleh..” Sampai detik ini, aku tidak pernah lupa bagaimana segaris senyum yang hadir di wajah Chan malam itu, bagaimana ia yang menarik tanganku untuk ikut naik kembali ke motornya, bagaimana Bundanya mempersilahkan ku masuk. Padahal kalau dipikir, bagaimana perasaan orang tua melihat anak lelakinya membawa seorang gadis kerumah pukul 10 malam, tapi malam itu, ada yang membuka tangan, untuk sekedar memberikanku wadah untuk beristirahat dari sebuah kebisingan.

-

Chan meminjamkan bajunya, dan aku sedikit tenggelam karena ukuran badannya yang dua kali lebih besar dari badanku.

“Gue cuma punya kaos kaya gitu kalo di rumah..” Katanya.

“Gak papa.”

“Lucu lo tenggelem gitu,” Ia terkikik kecil. “Lo tidur di kamar tamu gak papa ya?”

“Iya Chan, gak papa.”

“Lo udah bilang orang tua lo kalau disini?” Aku menyunggingkan senyum kecil.

“Mereka biasanya gak sadar kalau gue udah pulang, gak sadar kalau gue pergi. Jadi.. Kayanya gak bakal kecarian.”

Chan mengangguk kecil, “Sorry..” Cicitnya.

No.. It's okay. Tetangga gue juga kalau ngeliatin gue pulang ke rumah suka miris..” Kemudian hening tercipta.

Chan sedikit berdeham, kemudian bersuara, “Lo tau kopi dalgona gak?” Tanyanya tiba tiba.

“Tau, emang kenapa?”

“Mau coba bikin? Di atas ada balkon kecil, ntar kita ngobrol diatas, mau?”

“Boleh..”

Malam semakin larut, sampai sampai aku dan Chan harus menahan tawa kalau kalau terjadi sesuatu yang lucu. Semisal ketika Chan harus mengaduk adonan dalgona tapi mangkuknya malah berlari kesana dan kesini, atau dia yang secara tidak sengaja menumpahkan susu, atau es batu yang bertumpahan ke lantai atau malah terbang ke sink cucian piring hingga menimbulkan suara yang cukup kuat.

Ups..” Katanya, kemudian terkikik.

“Pelan pelan, Chan..”

Aku melirik ke jam dinding saat berjalan menaiki anak tangga menuju lantai atas, hampir pukul 12 malam. Sebelum berlalu, Bunda Chan bilang supaya tidak bergadang dan langsung tidur kalau agenda mengobrolnya sudah selesai, dan kami mengangguk paham.

Chan meminjamkan sweaternya, mengingat angin malam kurang bagus untuk kesehatan. Aku mengencangkannya, sesekali menggigil menggertakan gigi, tapi tetap menyesap es kopi dalgona yang dibuat tadi. Kami menopang dagu di balkon rumah milik Chan, menatap komplek perumahan yang sudah sepenuhnya sepi.

“Lo ntar sakit udah tau dingin minum es.”

“Lo juga.”

“Gue tahan banting” Chan menyahut dengan menepuk dadanya beberapa kali, membuatku tertawa kecil.

“Chan..” Panggilku, ia menoleh. “Hm?”

“Kenapa.. Lo peduli soal urusan rumah gue? Maksudnya, bisa aja tadi lo pergi tanpa harus repot repot nelfon nyokap lo dan ngasih gue tempat?”

Chan tersenyum dengan mengawangkan pandangannya ke langit sana. “Dulu.. gue punya temen..” Suaranya sedikit parau, entah karena udara dingin yang membuat hidungnya tersumbat atau lain hal, tapi suaranya agak serak. “Namanya Chan Hee. Mirip ya kaya nama gue?” Ia tertawa kecil.

“Terus? Hubungannya sama ngasih gue tempat?”

“Sebelum itu, coba gue tanya, kenapa lo mau?”

“Ada disini?”

“Iya, kenapa mau gue ajakin? Bisa aja lo mikir kalau gue nipu? Atau lo gue bawa kemana gitu? Kenapa lo malah mau?”

“Gue.. Mau kabur, Chan. Di rumah.. berisik. Kalaupun In case lo ngelakuin suatu yang jahat kaya yang lo bilang tadi, gue udah pasrah karena gue capek.”

That’s why. Karena lo capek, dan karena lo mau kabur. Disini gue ngasih lo tempat escape, disini gue ngasih lo tempat istirahat. Bukan cuma bising sekitar, tapi juga bising di kepala lo.”

Aku terdiam, kemudian menggumamkan kata terimakasih. “Terus hubungannya sama Chan Hee tadi, apa?” Chan yang tadi berbincang dengan manatap mataku, kini menunduk, memainkan jemarinya.

“Dia sama kaya lo, rumahnya bising. Setiap gue mau main atau mau jemput dia, nyokap bokapnya selalu berantem..” Jelas Chan, kini menatap langit gelap tanpa bintang.

“Terus? Gue masih belum menemukan korelasi antara temen lo dengan lo yang bantuin gue.”

“Dia..” Chan menggantungkan kalimatnya, “Dia bunuh diri, di kamarnya sendiri.” Dengan suara parau, Chan menatap tangannya yang saling bertaut.

Sorry..” Kataku.

“Lo tau.. Mungkin dia butuh tempat buat sekedar melarikan diri dan tempat buat mengistirahatkan kebisingan di sekitarnya.. Tapi gue gak pernah mencoba untuk menawarkan itu, sampe sampe dia capek dan memutuskan cari tempat istirahat sendiri, selamanya..” Kini Chan menatapku, sedikit tersenyum masam. “Dia masih belasan tahun, pemikirannya belum panjang. Gue gak mau kehilangan temen gue yang lainnya, mau itu temen deket, sekedar temen, temen baru kenal, gue gak mau..” Dari sini, ada embun di pelupuk matanya yang bisa aku lihat dengan jelas.

“Gue nangis nangis di lutut Bunda.. Walaupun Bunda terus terusan bilang itu bukan ranah gue buat menyesali keadaan, tapi tetep aja, Chan Hee adalah sahabat gue, dan gue ngerasa jadi sahabat yang gagal buat dia, bahkan untuk sekedar ngasih tempat buat istirahat.” Kini aku tepuk pelan bahunya, mengelusnya dan tersenyum memandang wajahnya.

“Lo beruntung banget bisa punya Nyokap kaya Bunda..” Kataku, Chan mengangguk.

“Gue pun, kalau seandainya harus lahir kembali, gue mau tetep lahir dari rahim Bunda..”

“Kalau gue.. Kalau harus lahir kembali, gue harap bukan dari Sperma bokap gue.”

“Bokap lo kenapa?”

Aku menarik nafas sedikit dalam, “Gue gak ngerti deh Chan, Bokap Nyokap gue nikah diatas janji satu untuk sehidup semati, tapi bokap gue kayanya kalo punya satu gak merasa puas. Jadi dia melanglang buana entah kemana mana buat sekedar ngasih makan egonya, brengsek.”

Sorry.. to hear that.. sad story of yours. Tapi nyokap lo, dan lo, adalah perempuan hebat. Not gonna lie.”

“Biasa aja, lo jangan ngeliatin gue kaya gitu, ntar jatohnya lo sama tetangga-tetangga gue gak ada bedanya”

“oke, so.. You have me

“Hah?”

“Katanya tadi gue harus beda? Mungkin tetangga lo cuman bisa natap lo miris dengan pulang ke rumah yang berisik. Lo bisa andalin gue, you have me, dan lo bisa pulang kapanpun lo mau.”

“Ke.. Sini?”

“Boleh, ke gue.. Juga boleh.”

Pulang, dan rumah.

Selesai menapak tilas bagaimana sosok ini hadir untukku, aku selalu punya banyak permintaan. Kalau aku boleh minta sama Tuhan, aku mau orang yang sedang aku peluk ini jadi rumahku selamanya. Hal yang tidak aku dapatkan di rumah, yang secara harfiah adalah bukan manusia, tapi di rumah ini, Chan, aku bisa dapatkan segalanya.

Aku masih dibekap oleh tubuhnya, Chan masih terus mengelus dan menepuk pundakku pelan, sampai akhirnya bergumam, “Aku minggu depan mau ke Australia..”

Aku lepas pelukanku kemudian, menatap manik matanya.

“Ketemu adik Bunda ya?”

“Iya, katanya lagi sakit disana.”

“Lama gak?”

“Enggak, 5 hari doang.”

“5 hari itu lama, Chan..”

“Gak sampe seminggu loh”

“Ya tetep aja, kamu gak ada.” Ia terkikik geli sambil menunduk.

“Gak lama, aku bakal pulang.. Janji” Ia mengeluarkan jari kelingkingnya, kemudian aku taut dengan jari kelingkingku.

“Udah janji ya, Chan..”

“Iya, janji aku bakal pulang. Kaya mau kemana aja deh.”

Lenggang tercipta, sangking sunyinya, yang aku dengar adalah suara gemerisik akibat daun dan ranting pohon yang saling bersinggungan. Dan gemericik air yang disebabkan oleh dua angsa yang sekarang di tangkap oleh kedua manik mataku dan Chan. Kemudian, aku bersuara, “Kamu tuh, kalau lagi liat sesuatu pernah kepikiran aku gak?”

“Pernah..”

“Contohnya?”

“Pengen bawa kamu ke Australia.” Aku tertawa hebat, sampai sampai membuang kepalaku kebelakang. “Kenapa malah ketawa?”

“Gimana kalau kita berdua kuliahnya ntar di Australia aja?”

“Boleh, ayo?”

“Kamu tuh..” Aku menggantungkan kalimatku sejenak, “Ngajak ke Australia kaya mau ngajak berangkat sekolah deh, Chan”

“Tadi katanya mau kuliah di Australia?”

“Oke, tahun depan, aku sama kamu ngobrol kaya gini tapi di depan Sydney Opera House, gimana?”

“Hahaha, See you tahun depan?”

Nope, kita berangkat bareng”

“Oke! Deal!

-

Menuju keberangkatan Chan ke Australia, dia jadi sering mengirimkan pesan secara intens, bahkan untuk sekedar menanyakan apakah aku sudah makan atau belum, atau tiba tiba berada didepan rumahku membawakan makanan, kemudian berbincang kecil sampai akhirnya dia pergi untuk kembali pulang ke rumah.

Di Bandara pun ketika aku mengantarnya sampai ke pintu keberangkatan, ia terus terusan menggenggam pergelangan tanganku. Mungkin, dia juga tau sebuah batasan, bahwa diantara kami memang tidak ada apa-apa, dan mungkin, argumentasi soal menjadi teman itu cukup, memang cukup untukku dan Chan.

Sampai ketika masuk jam untuk memasuki ruang tunggu keberangkatan, ia memelukku erat. Terus berbisik untuk menunggunya pulang.

Chan, tanpa kamu menyuruhku, tanpa kamu beri aba aba pun, aku akan selalu menunggu.

5 hari katanya. Aku meyakinkan diriku bahwa 5 hari memang bukan waktu yang lama. Disanapun, ketika Chan memberikan kabar bahwa ia telah mendarat dengan selamat, ia terus terus mengirimkanku pesan. Lagi lagi menanyakan apakah aku sudah makan, hari ini akan makan apa dan sebagainya. Chan, tidak pernah jadi se-intens ini perihal hal-hal kecil, dan perasaan yang terpendam jauh didalam sana, bergejolak merasakan kebahagiaan.

“Pengen ketoprak.” Katanya lewat sambungan telfon.

“Emang di Australia gaada ketoprak?”

“Yee, mikir ajadeh di Australia ada ketoprak gak?”

“Ya kali aja ada pedagang kaki lima disana.” Aku terbahak.

“Ngaco kamu.”

“Yaudah, ntar pas pulang kesini kita jajan ketoprak. Mangkanya cepet pulang.”

“Baru sebentar aja udah kangen.”

“Dih? Siapa yang bilang gitu?”

“Jadi gak kangen?”

“Eh?”

“Kangen gak?”

“Apaansih, Chan?”

“Ditanya bukannya jawab. Jadi kangen gak nih? Hm?”

“Hm, kangen sih.. Sedikit.” Cicitku, menjawab takut-takut.

“Sedikitnya seberapa?”

“Setengah sendok makan.”

“Garem setengah sendok makan bisa bikin makanan jadi keasinan”

“Terus?”

“Ya kangen setengah sendok makan juga bisa bikin gelisah galau merana, iya gak?”

“Gak galau.”

“Masa?”

“Ya ini di telfon kan jadinya gak galau.”

“Kalau tadi gak di telfon?”

“Bisa di chat?”

“Kalau gak di chat?”

“IH CHAN KAMU APAANSIH?” Dapat aku dengar suara tawanya yang terbahak di ujung sana, sampai beberapa menit hingga membuatku jengkel.

“Ntar pas pulang, aku mau ngomong sama kamu.” Katanya tiba-tiba.

“Ya ngomong aja kali, Chan. Gausah pake acara pas pulang. Tua nungguin jadinya tau gak?” Lagi lagi aku dengar ia terkikik kecil diseberang sana.

“Ya aku mau ngomongnya eyes to eyes

“Video Call bisa.”

“Oh kamu jadi pengen Video Call? Yaudah nih aku—”

“IH KAN KAMU APAANSIH?”

“Hahahahah, iyaiya bercanda. Ya lebih enak eyes to eye langsung, biar maknanya bisa langsung sampe.”

“Yaudah mangkanya cepet pulang, Chan..” Dapat aku dengar sedikit gemerisik di ujung sana.

“Kamu nungguin?”

“Tapi disuruh nunggu.. Kemarin di Bandara di bisik-bisikin.”

“Kalau gak disuruh?”

“Tetep Chan, aku bakal tetep dan akan selalu nunggu kamu buat pulang.”

-

Di luar hujan cukup deras, bahkan sesekali petir menyambar. Chan bilang, pesawatnya akan take off pukul 7 pagi waktu setempat, dan estimasi landingnya kira kira pukul 2 siang waktu Indonesia. Sejak pagi, jantungku tidak karuan menunggu pesan darinya, menerka-nerka apa yang mungkin akan Chan katakan, perihal obrolan tengah malam tempo hari yang lalu.

Aku sudah bersiap dengan rapi sejak tadi, berangkat ke Bandara untuk bertemu dengannya, Bundanya, dan Ayahnya.

Disini aku, di pintu kedatangan, masih menatap jadwal landing beberapa pesawat.

Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukan pukul 3 sore, tapi belum ada tanda tanda keberadaan Chan, dan pesawat yang dinaikinya mendarat. Beberapa orang disekitarku juga ikut resah dan khawatir. Aku berusaha berfikir positif, mungkin pesawatnya harus delay disana karena cuaca yang kurang bersahabat, iya kan? Bisa saja kan? Mungkin Chan terlalu repot membawa barang sampai lupa mengabarkan bahwa pesawatnya delay. Bisa saja begitu, kan?

Atau mungkin tidak.

Berdetik barusan, aku menyadari, semua orang menyadari, atas sebuah berita di layar televisi, bahwa Airlines tujuan Indonesia dari Sydney, hilang kontak di selat Lombok.

Kakiku bergetar, jantungku berdegup kencang memompa darah menuju titik tertinggi saraf di kepala.

Tidak, tidak mungkin, Chan tidak ada didalam Airlines itu kan?

Semua orang berteriak, gaduh, sampai sampai petugas Bandara harus turun tangan agar menenangkan kondisi yang semakin tidak kondusif.

Aku tertatih, mengejar salah satu petugas yang juga sibuk terus berlalu lalang, dan bertanya, “Penerbangan dari Sydney ke Indonesia ada berapa hari ini?”

Jantungku berdegup kencang menanti jawaban yang keluar dari mulut orang dengan seragam lengkap di hadapanku ini, sampai ketika ia menjawab, “Satu, cuma satu.”


Di ufuk barat sana, matahari perlahan tenggelam, meninggalkan semburat jingga di langitnya. Biru, ungu, oranye, warna berbeda lainnya dan segalanya jadi satu. Kakiku berkali kali ditabrak deburan ombak, sampai membuat baju terusan warna khaki yang kupakai sedikit basah. Di tangan kananku, ada perahu kertas kecil, dan sekantung plastik penuh kelopak bunga.

Aku tebar kelopak bunga tadi hingga mengotori air dihadapanku, aku hanyutkan perahu kertas tadi, kini visualisasinya sudah semu di mataku akibat sudah jauh ditarik dari garis pantai.

Di sebuah pantai di pulau Lombok, 3 tahun setelah Chan pergi.

Chan tidak pernah pulang, Chan tidak pernah mengatakan apa yang ingin dia katakan. Kata Mama, Chan sudah terbang sangat tinggi, bersama Bunda, bersama Ayahnya.

Tubuh kakunya tidak pernah ada, tidak pernah dipeluk bumi. Tidak ada coretan namanya di batu nisan manapun, dan tidak ada aku yang bisa mengunjungi pusara miliknya secara pasti. Yang ada hanya bangkai pesawat yang diangkat dari dalam air, tapi satu jasad pun, tidak pernah ditemukan. Maka disinilah aku, di sebuah pantai di pulau Lombok, titik terakhir hilangnya kontak pesawat dimana ada Chan di dalamnya.

3 tahun yang lalu, di Bandara dimana semua orang berteriak meraung memanggil nama keluarganya, aku diatas pijakanku mengirimkan pesan berkali kali kepada Chan, namun tidak pernah sampai. Berhari kemudian, kutemukan nama Chan ada di dalam daftar penumpang, dan aku hancur beribu kali hancur.

Aku meraung di atas lutut Mama, meneriakan namanya, berlagak seolah olah ia akan datang ke muka pintu rumahku, untuk berlari memelukku erat dalam rengkuhannya. Mungkin membisikan satu kalimat yang aku harapkan keluar dari mulutnya, 'Jangan nangis, aku disini, aku pulang.'

Tidak ada, dan tidak pernah ada.

Chan-ku kini pergi, rumah-ku kini tak lagi disini.

“Chan..” Angin menyibak rambutku. “Mamah udah gak sama Papah lagi.. Mamah akhirnya berani ngelepas cintanya walaupun berat, jadi aku juga harus berani ngelepasin kamu walaupun kamu belum sepenuhnya jadi cintaku..” Aku menyunggingkan senyum penuh keputusasaan.

“Angsa di danau yang kita datangin, udah mati.. Dua duanya, Chan.” Selama 3 tahun lamanya, kini air mataku akhirnya mengering, walaupun masih menyisakan pilu di dalam hati. “Dan aku.. Baru balik dari Sydney..” Aku tersenyum, memandang jauh ke arah pantai sana.

“Enggak, Chan. Aku gak kuliah di sana. Maaf aku gabisa nepatin janji kita.. Karena kalaupun aku kuliah disana, kamu tetep harus minta maaf sama aku karena kamu gak ada disini buat nepatin janji, buat ngobrol didepan Sydney Opera House.. Dan kamu, gak ada buat harus minta maaf sama aku.”

“Chan.. Mimpi mimpi yang kita gantung ke langit, kamu pegang baik baik ya. Aku harus lepas semua, aku gabisa ngerealisasiin, karena di semua mimpi yang kita langitkan, selalu ada kamu.”

Bohong, aku masih terluka. Mataku tidak pernah kering, dan embun embun yang tak diharapkan itu kembali memupuk.

“Disana, ada Chan Hee, ya? Titip salam ya, Chan. Bilang sama dia, kalau selama ini, kamu bisa jadi sahabat yang baik, yang hebat, bahkan kamu bisa jadi rumah buat aku untuk sekedar lari dan istirahat.”

“Chan.. Terimakasih udah pernah ada dan memijak di bumi. In another life, meet me. Promise me you’ll meet me and.. I’ll wait. A thousand times will wait..” Suaraku parau, tenggorokanku tercekat, dan kini aku runtuh diatas kakiku. “Aku bakal selalu ada untuk nunggu kamu buat pulang.”

Rumahku tidak runtuh, rumahku ada di langit sana. Chan tidak pernah memintaku untuk jadi tempatnya beristirahat, maka hari ini surga hadiahkan ia sebuah rumah, tempatnya untuk beristirahat, tempat yang seribu kali pantas ia dapatkan. Kini, dirinya yang jatuh membumi namun terbang meninggi hanya meninggalkan memori manis, asam dan pahit di dalam palung paling dangkal dalam hati.

(“Did we made it?”

“No, Chan. Sorry.”

“It’s okay. Life ain’t always works like that, and it will always be okay.”)

.

“Chan, selamat pulang.”

My little dove? why do you cry? I’m sorry I left, but It was for the best, though it never felt right.

—fin.


“He'll never know how strongly a girl had once loved him.” -cynthia go


Hansol mengerlingkan satu matanya, menutup kaca helm fullfacenya, kemudian melesat hilang dengan motor sport bermerek Kawasaki kesayangannya.

Aku kemudian masuk ke dalam rumah, setelah lambaian kecil yang aku berikan untuk sosoknya tadi, aku masih sedikit lebih banyak mengharapkan perputaran waktu tidak berhenti di angka 24, karena, kalau bisa aku mau menghabiskan lebih banyak waktu dengan Hansol.

Setelah bebersih diri, aku membanting tubuhku di atas kasur, memainkan ponsel dan menunggu pesan singkat yang akan dikirimkan Hansol Ketika dirinya sudah sampai di rumah.

Ting!

Muncul namanya di notifikasi barku.

‘Arrived home safely, babe.’

Dan selalu saja, semburat merah di pipiku merekah-rekah, serta tidak lupa senyum lebar yang aku sunggingkan. Jujur saja, terkadang aku harus membekap wajahku di atas bantal karena ‘salah tingkah’. Padahal perputaran waktu yang lama selalu menjadi saksi antara aku dan Hansol yang selalu berselaras bersama.

‘okay. Bebersih terus tidur, ya?’ Balasku kemudian.

Berselang beberapa menit, ada balasan lainnya.

‘wait for me ya. Jangan tidur dulu, I’ll call you asap!’

Kalimat sederhana yang Hansol ucapkan seperti itu selalu membuatku berbunga-bunga. Bagaimana tidak? Hal hal sederhana semacam perkataannya barusan selalu jadi hal paling berkesan. Apalagi, di jam hampir tengah malam seperti ini, selalu ada obrolan penuh romantisasi akan hal hal yang kadang tidak masuk akal bagi orang lain, namun selalu menjurus pada pengungkapan bahwa Hansol itu, menyayangiku.

Awal pertemuanku dan Hansol waktu itu ada di sebuah pusat toko buku. Aku ingat bagaimana gaya Hansol saat itu, leather jacket dengan hoodie di dalamnya, jeans yang koyak dimana mana serta beanie di kepalanya. Bocah Emo, batinku.

Secara spesifik, pertemuanku dan dirinya ada di pusat Informasi buku, Ketika kami berdua sama sama ingin menanyakan perihal buku yang kami cari pada petugas toko.

“Buku apa?”

“Aan Mansyur.” Jangan salah, tapi itu suara aku dan Hansol yang berbicara secara serempak. Aku terkejut, tentu saja. Namun yang membuatku dua kali lebih terkejut adalah, bocah emo ini, mencari buku sajak?

“Oke?” Petugas lelaki tadi tertawa kecil, menatap layarnya mengetik sesuatu. “Ada judul yang lebih spesifik?”

“Melihat..” Aku menatap raut wajahnya yang sama bingungnya denganku. “..Api Bekerja.” Kami kembali bercicit bersama, tidak melepas pandang ketika kalimat terakhir terlontarkan. Semesta, pasti saat itu sedang bercanda.

“Lorong nomor dua dari rak buku fiksi ya.” Begitu kata petugas toko buku tersebut, kemudian aku melangkahkan kaki menjauhi sosoknya.

Di depan rak buku pun, ketika dirinya tepat berdiri di sampingku, aku hanya diam, tidak mau bersuara sekecil apapun diafragmanya, karena menurutku, kejadian tadi sudah sepenuhnya aneh.

Yang aku dengar di telingaku adalah lagu milik Taylor Swift berjudul Message in A Bottle yang mengudara menghiasi seluruh penjuru toko buku. Lagu kesukaanku.

“Aku..” Hansol bersuara, membuatku menoleh. “..duluan, ya?” Tidak mendapatkan jawaban apapun dariku, punggungnya kemudian hilang di balik rak rak besar buku, hilang dari pandanganku. Menyisakan aku yang masih bingung, dia tadi berpamitan?

Setelah membeli buku yang aku mau, aku beralih ke salah satu toko kue donat yang letaknya tepat di sebelah pusat toko buku. Ini sudah masuk jam makan siang, jadi daripada menahan lapar yang bekepanjangan, aku langsung melangkahkan kakiku masuk ke dalam sana.

Bayangan soal betapa manisnya gula halus yang menyelimuti roti serta isian coklat lumer benar benar membuat perutku berteriak ingin di beri asupan makanan dengan segera.

Sampai ketika mataku bertemu mata Hansol. Dirinya, sedang membawa wadah kertas berisi beberapa donat dan satu cup minuman di tangan lainnya.

“H-hai?” Sapanya canggung.

“H-hai?” Kali ini, aku membalas perkataannya.

“Duluan.. ya?” Tidak seperti yang tadi, ia berdiri mematung menunggu jawabanku.

“Eh? I-iya.” Ia berlalu.

Aku melangkahkan kaki mendekati etalase berisi berbagai macam jenis donat. Favoritku tentu saja donat isi coklat yang diselimuti oleh gula halus yang sudah sempat aku bayang-bayangkan. Aku mengambil 3 buah, pergi ke kasir dan membayar.

Wadah kertas berisi donat tadi ada di tangan kananku, serta satu Cappuccino Frape di tangan kiriku. Mataku mengembara, berusaha mencari setidaknya satu tempat kosong untuk aku menghabiskan makanan manis ini, namun nihil, penuh.

Sampai ketika mataku bertemu Hansol yang duduk di sudut toko, menyantap donatnya serta memainkan ponselnya.

Aku tidak punya pilihan lain. Pilih duduk bersamanya, atau membawa pulang makanan ini ke rumah yang jaraknya berkilo-kilo meter jauhnya.

Tukaiku kemudian berjalan mendekati ia yang masih sibuk mengunyah.

“Ehem..” Aku berdeham, membuatnya mendongak dan terkesiap. “Kosong?” Mataku menunjuk ke arah bangku kosong tepat di hadapannya.

“Kosong.”

“Can I, then?”

“Of Course.” Ia menggeser kotak donat miliknya mendekati dirinya sendiri, memberikan tempat untukku.

“Thanks.”

“No problem.”

Selama berpuluh-puluh menit, yang ada hanya aku dan dirinya yang fokus memakan donat pilihan masing-masing, sesekali suara seruput dari minuman yang sama sama kami pesan.

“What is that?” Aku yang memulai percakapan kemudian.

“Ini?” Tunjuknya pada donat miliknya. “Isian coklat.”

“No way?” Aku menunjukan donat milikku yang sudah setengah tergigit. Dirinya membulatkan mata tidak percaya. “How about this?” Kini aku menunjuk ke cup minuman milik Hansol yang sudah tersisa es batu.

“Cappuccino Frape..”

“No way..” Mataku mungkin dua kali lebih bulat dari pada sosoknya. Begitu, sampai beberapa menit kedepan.

Kami tertawa.

“What kind of coincidence is this?” Hansol terkikik geli.

Aku hanya menggeleng, tertawa menutup mulutku menatap dirinya.

Dan entah kebetulan semacam apa lagi, alunan musik di toko kue donat ini memutar lagu milik Taylor Swift yang tadi sempat terputar di toko buku ketika aku berada bersama Hansol, Message in A Bottle.

“Kamu sadar gak? Kalau tadi di toko buku yang diputer lagu ini juga?” Tanyaku masih sambil tertawa.

“Sadar.” Katanya, membuatku mendadak terdiam.

“Y-ya.. gitu. Haha.” Aku menggaruk kepalaku padahal sama sekali tidak ada rasa gatal disana.

Setelah tawa yang menggelegar barusan, kini hanya menyisakan sunyi senyap dan canggung di antara aku dan sosoknya. Dari sudut mataku, dapat aku lihat Hansol yang mengawangkan matanya kemana mana, menghindar untuk menatapku.

“Hansol.” Setelah berpuluh menit lamanya, ia bersuara. “If you ever courious about my name, it’s Hansol.”

“Hansol..” Panggilku. “I like that.” Kini senyumku merekah mendengar ia yang memperkenalkan dirinya, di ikuti ia yang ikut tersenyum dan mendadak menunduk menatap sepatunya.

“I like that song, by the way.” Ucapku.

“Oh ya?”

“Yup. Riding sambil dengerin lagu Message In A Bottle cocok banget kalau menurutku.”

“Memangnya kamu pernah Riding sambil denger lagu?”

Aku mengusap tekukku. “Gak pernah sih, cuma berspekulasi aja. Pasti seru. Apalagi kalau Ridingnya agak tengah malam gitu.”

“Kamu korban film ya?”

“Sebenernya.. lebih ke korban book—worthy. Banyak adegan adegan plot di buku yang aku baca yang worth to experienced. Aku sering kasih ten out of ten, walaupun belum pernah ngerasain dan walaupun deep down wanted to.”

Then why not?”

“Ngerasain Riding?” Hansol mengangguk. “Sendiri?”

“Terus?” Aku agak tertawa mendengar pertanyaan Hansol.

“Aku kasih ten out of ten karena they have someone special, Hansol atau kejadian yang wow menurutku. Kalau mereka cuma sendirian, well yea, going Solo sometimes sounds better, but..” Aku menggantungkan kalimatku, mengawang menatap langit langit toko kue donat. “Being with someone special actually give it a hundred out of ten.”

Then.. why don’t we?”

Apa?

“Gimana?” Hansol membenarkan posisi duduknya, kini tubuhnya bergerak mendekat.

I got the coolest motorcycle. A sport actually. Not tryna to flexing but.. I ask you. Riding, in the middle of the night and Message in A bottle, Would you?”

-

Pertemuan terakhirku dan Vernon akhirnya saling bertukar nomor ponsel. Bukan tanpa alasan, tapi aku menyetujui ajakannya soal late night riding yang sebelumnya di janjikan oleh Hansol. Namun, karena hari itu aku memiliki janji lain, aku dan ia memutuskan untuk membuat janji di lain kesempatan.

‘Gak lucu, Hansol, kalau tiba-tiba sehabis acara night riding aku di labrak. Hahaha’ Ketikku dan menekan tombol kirim. Tidak lama balasan dari Hansol muncul dari layar ponselku.

‘I am single, by the way. In case kamu penasaran. Hahaha.’

‘Good then, jadi aku gak perlu was-was soal ajakan kamu.’

‘kalau aku punya pacar juga aku gak akan ajak kamu.’

‘oke. Nice move.’

‘Hahahah, damn?’

Aku hanya tersenyum menatap balasan yang dikirimkan oleh Hansol. Kemudian, mulai mengetik kalimat lain.

‘do you mind if we do the so-called late night riding pas malam tahun baru?’

‘minggu depan?’ Bubble Message dari Hansol langsung muncul.

‘yup. Tapi kalau kamu udah ada janji ya udah gak usah.’

‘I’ll cancel everything.’

‘what? Even janji tahun lalu sama temen-temen kamu? Makes no sense.’

‘I wanted to feel the book-worthy you mentioned before. Might be got hundred out of ten.’

Aku terbahak keras di atas kasurku. Menggelengkan kepala kemudian kembali mengetik.

‘Gak harus tahun baru.’

‘might be got thousand out of ten in the new year eve, why not?’

‘god, you are so ambitious.’

‘not gonna lie but I am.’

Pada akhirnya, janji soal late night riding berakhir pada tahun baru. Di 31 Desember pukul 9. Ia menjemputku di depan rumah setelah lokasi yang sebelumnya aku kirimkan kepada Hansol.

Melihat penampilannya tidak lagi membuatku terkejut, tapi melihat bagaimana ia duduk diatas motor besar itu membuatku menarik nafas dan membuangnya, terkejut dan terus menerus menggumamkan gumam seperti, “wow, he is so damn cool.”

Ia menyodorkan helm fullface kepadaku.

“Safety first.” Katanya.

“Hansol,” Ia mengangkat dagunya, kemudian melepas helm dan disana surai coklatnya teracak berantakan.

“Yup?”

“You sure about this agenda?” Aku bertanya memastikan.

“Why not?” Ia mengangkat tinggi bahunya kini. “You said you wanted to do this agenda, kan?”

“Iya, tapi..”

“Tapi?”

“Are you sure this is about both of us? Maksudku, kamu nurutin ini bukan gara-gara aku kan? Maksudny—”

“Me too.” Hansol memotong kalimatku. “I never experienced this, before.” Kini ia turun dan berdiri, meletakkan helmnya di atas jok motor dan berjalan mendekatiku. “So, it is all about you and me.”

Aku pikir, pertemuanku dengan Hansol yang bahkan belum menginjak angka 30 hari ini benar benar keluar dari akal sehatku sendiri. Bertemu seorang asing di pusat toko buku, punya selera yang sama soal makanan manis dan minuman Capuccino, dan bagaimana obrolan yang selalu berselaras tanpa ada distrak sedikitpun.

Semesta yang sedang bercanda ini, memang membawa Hansol kepadaku, ya?

Aku tersenyum, sedikit mendongak menatapnya yang lebih tinggi dariku dan helm yang aku peluk.

“Tapi..”

“Tapi apalagi? Hansol memiringkan kepalanya sedikit, bertanya dan aku berani bersumpah, dirinya benar-benar manis dan membuatku menekuk senyum karena malu.

“Kamu tau lagu Message in A Bottle, kan?” Ia terbahak sampai membuang kepalanya kebelakang.

“Cause you could be the one that I love, I could be the one that you dream of.” Ia bergumam kecil menyanyikan potongan liriknya. Dengan kedua tangan yang masuk ke dalam kantung jaket kulitnya, ia mengangkat bahu dan alisnya tinggi-tinggi, seakan akan berkata, “See? I truly know that song.”

Aku tertawa kecil. “Okay, karena gak lucu kita ngelakuin ini tapi kamu gak tau lagunya.”

“It’s all about us, kan?”

“Yup, about us.”

Hansol kemudian memiringkan kepala ke arah motornya yang sedari tadi di parkirkan, “So, let’s go?”

Aku mengangguk. Ketika dirinya sudah siap, dengan helmnya dan mulai menghidupkan mesin. Aku cengkram kuat bahunya dan naik, memasang helm yang tadi sempat di pegangnya sebentar kemudian duduk.

Dari visualku, dapat aku lihat ia menoleh ke arah kanan dan membuka kaca helmnya, kemudian samar aku dengar, “You can hug me if you want.”

Aku mengernyitkan alis, ikut membuka kaca helm fullface milik Hansol yang aku pakai. “Is anyone that sit here, hug you from the back?”

Ia menggeleng, “For you, it's a privillege.”

Kepalanya kembali lurus kedepan menatap jalanan, dan ia mulai menjalankan motornya.

Di kota, suasana ramai. Mungkin orang-orang ini juga sedang menjalankan agenda yang sudah di janjikan untuk merayakan acara tahun baru. Dan aku, disini, duduk diatas motor orang asing yang bahkan belum sebulan aku kenal dengan baik.

Yang aku tau, segala ucapan dan gelagatnya adalah manis. Kalau saja pertahananku tidak kuat, bisa-bisa aku jatuh dalam perangainya.

Disepanjang jalan kami hanya diam, menikmati suasana terang di seluruh sudut kota sampai ketika pada satu jalan yang panjang dan sepi, ia berhentikan motornya.

“You ready?”

“R-ready?”

Hansol diam, kemudian turun dari motor dan mengeluarkan Airpods dari kantung jaketnya.

“Satu sama kamu, satu sama aku.” Kami berdua kemudian sama-sama saling melepaskan helm tadi dan menyumpal salah satu lubang telinga dengan Airpods milik Hansol. Hansol lagi lagi merogoh kantungnya, mengeluarkan ponsel dan mengotak-atiknya.

“This, right?” Ketika alunan musik familiar yang berminggu lalu aku dengar di pusat toko buku serta toko donat mengalun di pendengaranku, aku mengangguk.

“I meant it.” Kata Hansol.

“About what?”

“You hug me from the back. It’s privillege.”

“You know what?” Aku melipat kedua tanganku di depan dada. “Kamu kaya buaya. Are you?” Hansol terbahak kencang.

“Am I look like that?”

“Yes. Setelah aku perhatiin kamu kaya buaya.”

“Okay, I’ll take that as a compliment.”

“Compliment?!”

“Yup. Did you say that I look like ‘buaya’ karena motor, muka, selera musik dan..” Ia memicingkan matanya menatapku. “Ajakan soal meluk aku dari belakang?”

Aku diam tidak percaya.

“It’s okay if you don’t want to. Aku bukan laki-laki yang kaya kamu pikirin kok. You can trust me.”

“Okay. I trust you ya, Hansol.”

You don’t have to worry.” Hansol kemudian kembali naik dan menjalankan motornya.

Dari larik pertama lagu yang mengalun dan jalanan sudut kota yang sepi ini, intensitas kecepatannya stabil. Membuatku sangat-sangat menikmati. Sambil menatap jauh lampu kelap-kelip gedung-gedung tinggi dari kejauhan.

Ketika masuk bagian chorus, suara knalpot motornya mulai menderu kencang membuatku terkejut sampai harus mencengkram kuat jaketnya.

Lagi-lagi, ia membuka kaca helm, berteriak, “I TRULY MEANT IT. SAFETY FIRST, YOU CAN HUG ME!

Shit! Aku memang harus kalau tidak mau jatuh kebelakang.

Dan begitu, bagaimana kedua tanganku kemudian bertaut melingkar di pinggang Hansol.

These days I'm restless Work days are endless, look how you've made me, made me But time moves faster, replaying your laughter. Disaster

Seperti ini, bagaimana adegan di seluruh buku dan karakter yang aku baca. Bagaimana aku yang membekap wajahku sendiri karena cerita fantasi di dalam buku yang membuat aku bergidik geli akibat kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutku.

Dan aku, jadi karakter utamanya pada malam ini.

Kembang api yang saling beradu di langit penuh bintang, deru angin dan hangatnya pelukan serta alunan musik yang mengalun di telinga. Juga, agenda yang sangat-sangat ingin aku rasakan bagaimana perasaannya.

Dan aku tidak pernah menyesal memberikan skala sepuluh dari sepuluh untuk agenda semacam ini di dalam buku, maupun yang sekarang sedang aku rasakan.

Message in a bottle is all I can do, Standin' here, hopin' it gets to you.

Dan ini, adalah tiga menit paling menakjubkan dalam hidupku.

-

Hansol memarkirkan motornya setelah satu lagu yang kami janjikan selesai. Ia turun, membuka helmnya, pun aku.

Aku lepas Airpods tadi dan menyodorkannya kembali kepada Hansol.

“How was that?”

Aku tertawa geli, tersenyum merekah kemudian menyahut, “Wow..”

“Wow..” Hansol tertawa kemudian mengangguk beberapa kali, meletakan helmnya di atas jok motor.

“The best that I’ve ever had, Hansol.”

“Me too.” Kami kemudian saling melempar pandang dan tertawa. Di langit sana, kembang api belum juga selesai meletup-letup.

“Happy new year.” Cicit Hansol.

“Happy New year, Hansol.” Dirinya tersenyum begitu cerah, dan teduh manik matanya yang menatapku.

“Did I got thousand out of ten?” Aku terbahak.

“Maybe.” Aku mengangkat bahuku. Hansol tertawa sambal mengangguk beberapa kali.

“If I kiss you right away, how much will I get?”

Aku terdiam sejenak, menatap dalam manik matanya. “You are so ambitious, Hansol. Indeed.” Kataku.

“I told you, I am.” Kemudian hening. Aku dan sosoknya masih diam saling tatap beberapa detik sampai ketika aku membuang pandanganku dari matanya.

“No.” Kataku, menggeleng. “Sorry.”

“You don’t have to say sorry. Thousand out of ten was exactly cool.”

“It doesn’t mean that I don’t like you, Hansol.”

“I know. I am the coolest. Why didn’t you like me, tho. right?” Aku memukul bahunya pelan dan membuatnya terkikik. “But you like me?” Tanyanya. Tawa kami meredam, lagi-lagi saling tatap.

“You are the coolest, and I like you.” Senyum cerah tersungging di kedua sudut bibirnya. Serta dirinya yang mengusap tekuk. Dinding pertahananku, ternyata runtuh,

“Nice. Berarti perasaanku enggak sebelah tangan. Thank you, by the way.” Ia menekuk senyum, menatap sepatunya atau menatap jauh entah kemana-mana. Tidak mau menatapku.

“I’ll take you home.” Cicitnya. Kali ini, rekah senyum menghiasi wajahku. Dari sini, aku tatap punggung lebarnya yang sedang bersiap untuk menjalankan motornya kembali.

“Hansol..” Panggilku.

“Ya?”

“If you don’t mind.. Can I hug you from the back?” Dapat aku lihat bahunya yang bergetar kecil, mungkin tertawa di depan sana.

“You don’t have to asked, sure. I don’t ever mind.”

-

Di depan rumahku, Ketika aku turun dan mengambalikan helmnya, Hansol pun ikut turun dari jok motor Sport tingginya itu.

“I love this agenda, truly.” Kataku.

“Me too.”

“Safe drive sampai ke rumah ya, Hansol.” Ia tersenyum, menyandarkan tubuhnya di motor.

“Will do.” Hansol kemudian berbalik, bersiap untuk naik namun terhenti dan kembali berbalik ke arahku. Ia mendongak, menatap rumah di belakang punggungku kemudian ke kanan dan ke kiri.

“If I kiss you here, will I get a million out of ten?” Aku tertawa, mengernyitkan alis.

“Kata kamu, thousand of ten was exactly cool?”

“Tell me..” Hansol menyandarkan tubuhnya kembali seperti tadi. “Have you ever kissed someone in your whole life?”

“Of course. My mom in her cheeks, my dad in his forehe—”

“A man..” Dirinya langsung memotong kalimatku barusan. Aku tersenyum kecil menatap matanya, menggeleng.

“Well, my nephew.” Balasku dengan cepat dan malah mengundang tawa kecil dari Hansol.

“Okay, then. Aku gak akan pernah menang kalau gini ceritanya.” Ia menunduk, menatap sepatu sketchnya.

“How about you?” Kini aku yang melempar tanya. “Have you ever kissed.. a woman?”

“Yes.” Aku mengangkat kedua alisku, mengangguk paham menatap dirinya. “My mom, on her cheek.”

“Balas dendam?” Hansol terbahak, menggeleng.

“It seems so impolite, but truly.. I wanted to kissed you so damn bad.” Sahutnya. “Thousand out of ten was exactly cool, not gonna line. But if I add another zero to a million, might be the most coolest scale ever.” Ia menjelaskan di sertai gerak-gerik dari tangannya.

Aku tertawa, menunduk menatap kakiku. Namun ketika aku kembali mendongak untuk menatap mata Hansol, dia diam menjadikan aku objek fungsi penglihatannya.

Katanya, dia mau menciumku. Tapi, bukan rona merah bibirku yang di tatapnya, melainkan kedua manik mataku.

“You said you wanted to kissed me.”

“Hm..”

“Tapi kamu ngeliatin mataku?”

“Kamu kira kita ada di film rate 17 tahun ke atas? Yang sebelum mereka ciuman mereka saling lihat bibir masing-masing?” Hansol menaikan satu alisnya.

“Hansol, aku gak pernah tau soal hal hal begitu.”

“Your eyes..” Ia bersuara dengan diafragma yang halus. “Is burning red. Lebih merah dari bibir kamu. Its actually a screaming color. Its pretty.”

Aku diam. Tidak tau harus menjawab apa. Hanya mampu menatap seluruh lekuk sudut dimensi wajahnya. The way he thinks, make me wanted to breaking down on my knees.

Kini ia bergerak, mulai bersiap untuk naik ke atas motornya.

“Aku harus balik.”

“Hansol..”

“Hm?” Dirinya yang tadi sibuk, kini lagi-lagi harus menghentikan kegiatan bersiapnya dan kembali menoleh ke arahku.

“I will not give you a million out of ten for nothing.” Dirinya menyunggingkan senyum, mengistirahatkan tangannya di atas jok motor.

“Kamu mau apa?”

“Aku gak suka ditanya. You know what exactly it is, okay?” Aku melangkahkan kaki mendekat. Ketika jarak wajahku dan wajahnya hanya se-ruas jari, ketika nafasnya menyapu seluruh pori-pori wajahku, Ketika degup jantungku meledak-ledak di dalam sana, aku menggenggam bahunya kuat, kemudian berjinjit dan dengan cepat melayangkan kecupan singkat di ranum merah jambu bibirnya.

“That was my first.” Kataku.

“I’ll call you as soon as possible when I arrived at home..” Manik matanya belum berpindah sejak kejadian berdetik yang lalu, bahkan ketika aku sudah melangkah menjauh dari wajahnya. “..babe.”

Aku tersenyum. Hansol tau. Hansol tidak perlu aku beri tau. Ia tau apa yang aku mau dengan kasat kata.

“You know, itu pertama kalinya jantungku memompa darah sampai rasanya kepalaku mau pecah. I am so glad that you were the reason why. Aku balik dulu, I love you.”

Begitu kemudian ia berlalu menghilang di telan gelapnya malam.

Ini tidak masuk di akal. Aku mencium orang asing yang baru aku kenal di depan rumahku sendiri. Dan, menjadikannya pacarku? Hansol yang menjadikan aku pacarnya, kan? Terserah, apapun itu, Hansol tau, aku tau, kami tau, tanpa harus di beri tau.

-

Aku turun dari motornya, motor yang sama setelah bertahun-tahun menjalani hubungan bersama. Ketika aku ingin melepas helm milik Hansol, ia menahan tanganku.

“Tunggu..” Samar aku dengar suaranya akibat di bekap helm fullface yang sampai sekarang masih ada di kepalanya.

Dari kantong jacket denim yang di kenakan Hansol, ia mengeluarkan satu sticky notes, dan pulpen.

Hah? Batinku.

Helm fullface milik Hansol masih aku pakai, kemudian ketika ia selesai menulis, dengan cepat ia tarik satu lembar sticky notes tadi dan menempelkannya di depan helm yang aku pakai, akibatnya visualisasiku sedikit terhalang.

“Di baca di dalam..” Katanya.

Untuk kali ini, Hansol tidak meminta kembali helmnya, tanpa bersuara kemudian berlalu meninggalkan diriku.

Sampai di dalam rumah, Ketika aku menarik helm besar itu, aku baca tulisan di atas sticky notesnya, kemudian tersenyum lebar dengan detak jantung disana.

Lagi-lagi, Hansol dengan cara berfikirnya dan lagi-lagi membuatku jatuh.


Aku duduk di dalam kamarku, menatap kosong lantai dan memainkan jemari kakiku. Aku mendongak, menatap satu foto Hansol yang di bingkai rapi, serta stickynotes yang malam itu di tempelkannya di helm miliknya yang aku pakai.

Sebuah tulisan karya Aan Mansyur berjudul Melihat Api Bekerja. “Puisi bertamu ke dalam dirimu. Dia datang dari hal-hal sederhana. Dari bahaya. Dan pikiran-pikiran yang menolak waspada, dan kau jatuh cinta.”

Helmnya masih aku simpan di rak di dalam kamarku ini. Sesekali aku sapu dengan tisu dan tersenyum penuh perasaan rindu tanpa mampu meredamnya.

Aku melangkah, berjinjit dan menggenggam bingkainya kemudian. Mengelus wajah dalam dua dimensi di dalam sana, kemudian tersenyum getir.

Tanpa sadar, ada bulir air mata yang mulai memupuk, ada perih yang kembali terasa dan tenggorokan yang mulai tercekat.

Aku tarik bingkai foto tadi dalam pelukku, menangis.

“Hansol, I miss you so damn bad. 'Till this day passed by.”

6 Bulan yang lalu, aku harus menerima fakta bahwa dalam perjalanan pulang, Hansol meregang nyawa di jalanan kota saat hujan sedang turun dengan derasnya.

Pihak kepolisian menemukan satu Airpod berselimut bercak darah dan ponselnya yang retak. Katanya, Hansol berkendara sambil menggunakannya. Ditambah, jalanan yang licin akibat di guyur hujan.

Aku ingat, kali terakhir ia yang meminta aku pinjamkan alat untuk mendengar musik tersebut, katanya, “Aku kalau pisah sama kamu, suka kangen. Jadi di perjalan pulang aku mau dengerin lagu yang bisa ingetin aku sama kamu.”

“Message in A Bottle?”

“Mesaage in A Bottle.”

Ia melaju, melesat dan hilang di persimpangan. Sampai pada pukul 10 malam, ketika sama sekali tidak ada pesan ‘arrived home safely’ darinya, yang aku dapat adalah sebuah pesan dari adik perempuannya, Sofia.

‘Kak, abang kecelakaan. Ikhlas ya, Kak?”

Aku dua kali lebih runtuh dan hancur, ketika mengetahui bahwa satu lagu yang terakhir di mainkannya adalah ‘Message in A bottle.’ Satu lagu penuh kenangan manis dan kini berakhir tragis. Sampai detik ini, aku tidak mampu mendengar larik musik yang jadi kesukaanku tersebut.

Aku masih memeluk kuat bingkai dengan foto Hansol di dalamnya. Meraung menatap bagaimana teduh senyumnya dan cahaya matanya. Aku rindu, beratus-ratus hari tanpa sosoknya, menyiksa diriku.

Setelahnya, di bawah sticky notes dengan tulisan miliknya, aku tempelkan satu sticky notes dengan tulisan milikku. Masih menjadi karya milik Aan Mansyur,

“Di jalan menuju rumah aku ingin memikirkan semua bunyi-bunyian—bahkan yang paling jauh—dan tidak ingin mengerti apa-apa. Di rumah hanya ingin kurenungkan diriku dan seluruh yang tidak ingin kulupakan. Jika mimpi datang, aku ingin jadi jendela yang luas untuk langit, buku-buku, dan kau.”

Aku mundur beberapa langkah, masih dengan seguk yang tak kunjung mereda. Aku tatap lamat senyumnya yang tidak berubah dan tidak akan pernah berubah di dalam bingkai di sana.

“Hansol, I will love you as we find ourselves farther and farther from one another. And I will love you until your face is fogged by distant memory. I will love you even as the world goes on its wicked way.”

(“Aku selalu bersyukur kita bisa ketemu. I don’t know what exactly I am doing right now without you.”

“Ketemu orang lain? Ain’t me.”

They might be not like you.”

Might be better than me, Hansol.”

“Aku selalu mau kamu. Entah itu lebih atau kurang, aku maunya kamu.”)

—fin.


“we're soulmates, you and i, but that doesn't mean it works.”


Seungkwan itu adalah manusia paling positif yang pernah aku temui sosoknya. Dia adalah yang paling ambisius dalam berbagai aspek, walaupun tidak jarang, konotasi negatif malah berputar balik ke arahnya.

Tapi aku tidak bohong saat bilang dirinya adalah manusia paling positif. Segala titik cerah yang aku temui sampai saat ini, tidak pernah jauh dan tidak jarang selalu berasal dari mulutnya.

“Kwan! Psst!” Bisikku dari bangku. Dirinya kemudian menoleh, mengangkat alisnya seakan akan menjawab, “Kenapa?”

“Pulang sekolah kita main yuk?” Aku masih berbisik. Sebenarnya takut-takut karna guru pelajaran Kimia masih mengoceh di depan sana.

Ia tertawa, “Ada les.”

Aku memutar malas bola mataku, kemudian melipat tangan di depan dada.

“Bolos aja ayo sehari.”

“Nanti di marahin Mama..” Jelasnya lagi.

“Jangan sampe ketauan mangkanya.”

“Emang mau kemana?”

“YANG DI BELAKANG!” Aku dan Seungkwan langsung terkesiap. Jangan tanya bagaimana jantungku terpompa begitu kencang di dalam sana, dan aku yakin Seungkwan juga.

“Udah selesai ngobrolnya?” Aku hanya menunduk, dapat aku dengar hentakan sepatu yang menujukan bahwa guru perempuanku ini sedang berjalan mendekat.

Mampus.

“Seungkwan?” Dapat aku lihat sekelebat dirinya yang mendongak ketika namanya di panggil.

“Iya, Bu?”

“Pantas gak juara kelas ngobrol di tengah-tengah saya menjelaskan? Ga ada gunanya nilai kamu itu kalau gak punya etika sama sekali..”

Aku mengernyitkan alis, menatap penuh perasaan tidak suka akan argumentasinya barusan.

“Seungkwan etikanya selalu baik kok, Bu. Cuman hari ini Ibu kurang beruntung aja kali.” Wanita itu kemudian menoleh ke arahku, dan Seungkwan dengan bola matanya yang membulat sempurna.

“Bukan, bukan kurang beruntung sama Seungkwan. Sama saya.”

“Kamu mau saya kasih nilai C?!”

“Akreditasi Ibu juga patutnya di pertanyakan sih, Bu. Kok bisa guru Kimia kaya Ibu dapat nilai A sedangkan cara ngajarnya gini?” Mungkin aku akan menyesali perbuatanku hari ini, seluruh pasang mata benar benar tertuju padaku, serta bisikan bisikan yang entah menjurus ke konotasi apa, setuju atas argumentasiku atau tidak.

Tapi jujur saja, cara perempuan ini mengajar salah satu pelajaran bagian dari IPA itu benar benar membuatku ingin muntah.

“Kamu, ikut saya ke kantor.”

Aku mengerlingkan mata ke arah Seungkwan, rahangnya masih terbuka tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Setelah keluar dari kantor? Aku dapat surat skors selama seminggu.

“Goblok!” Seungkwan menoyor kepalaku. Jam sudah menunjukan pukul tiga sore, sudah jam pulang sekolah.

“Emangnya kamu gak gedek kalau denger dia ngajar?” Seungkwan hanya tertawa.

“Habis ini kamu boleh sombong, soalnya anak-anak pada salut sama kamu.” Seungkwan kini mengacak puncak kepalaku.

“Kan, aku bilang juga apa. Memang dia gak becus kalau ngajar.” Dirinya terbahak, kemudian menggenggam erat ranselnya.

“Terus ini kamu mau bilang apa sama orang tua kamu?”

“Yaaa.. di-skors? Emang mau bilang apa lagi? Paling di usir dari rumah.” Candaku.

“Kalau gitu nginep di rumahku.”

“Habis itu aku yang di usir Mama kamu..” Tawa kemudian pecah hingga kami terbahak.

Langkahku dan langkah Seungkwan berselaras keluar dari pekarangan sekolah, menunggu jemputan masing-masing.

Sebenarnya ikut menunggu Seungkwan untuk di jemput sopirnya. Kalau aku? Apa gunanya kendaraan umum?

Seungkwan kini menyenderkan bahunya pada pagar sekolah, mengawang ke langit sana.

“Jadi, gak jadi mau main?” Tanyaku, dan ia menggeleng.

“Kamu tuh apa gak capek ya, Kwan?”

“Capek apa?”

“Ya gini.. Pulang sekolah ikut les. Seeettiaaaaap hari, weekend? Les musik. Terus waktu buat diri kamu sendiri, kapan?” Dari sudut mataku, dapat aku lihat sudut bibirnya yang terangkat.

“Gak ada.”

“Tuh kan.. Ayo kita main. Sehari aja kamu lepas penat, Kwan. Kasih waktu buat diri kamu.” Kini ia menunduk menatap sepatunya.

“Kapan-kapan aja, oke?” Dirinya sama sekali tidak menoleh kearahku, melainkan aku yang memutar tubuh menoleh ke arahnya. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Temanku ini, di kekang sampai-sampai tidak punya waktu untuk dirinya sendiri.

“Yaudah, count on me ya kalau kamu mau kemana mana. I meant it.” Aku tepuk bahunya pelan beberapa kali, memunculkan senyum singkat dari sudut bibirnya.

“Okay.”

-

Sore hari pada hari Senin, ku temukan Seungkwan berdiri di depan halaman rumahku dengan sekantong plastik putih di tangannya.

“Udah pulang sekolah ya?”

Ini adalah hari pertamaku di skors.

Seungkwan kemudian berbalik, kini berdiri menghadapku, menyerahkan satu kantong plastik tadi.

“Hari pertama kamu gak ada di sekolah hari ini udah selesai. Nih, terang bulan.” Aku menerimanya, “Masih ada 6 hari lagi.”

Aku menarik senyum simpul, hampir berkaca-kaca.

You missed me?” Candaku, membuatnya menggaruk tekuk.

A little?” Aku terbahak menutup mulutku, menunduk menatap plastik tadi kemudian memelintir pegangannya.

“Aku balik ya kalau gitu..”

“Kwan!”

“Ya?” Belum sempat dirinya melangkah, kini ia berbalik.

“Ayo makan bareng di dalem..” Ajakku. Dirinya menggeleng.

“Les.”

“5 menit aja, kamu makan satu potong. Masa kamu yang bawa tapi kamunya gak makan.” Dirinya terkekeh kecil.

“Kan memang buat kamu?”

“Iya, bareng ayo makannya. 5 menit aja.”

“Yaudah kalau gitu.”

Aku dan dirinya duduk di beranda rumah, tidak jadi masuk ke dalam. Aku membuka isi kantong plastik tadi dan mulai mengunyah, menatap pekarangan rumah sambil sesekali tertawa.

“Kamu tau gak,” Seungkwan bersuara, sesekali menyapu ujung bibirnya dengan jari untuk membersihkan coklat yang menempel. “Aku dapet surat lagi di loker.”

“Oh ya?” Dirinya mengangguk. “Masih anon?” Tanyaku.

“Iya, aku gak tau itu dari siapa.”

“Memangnya dia kirim suratnya berapa kali sih?” Seungkwan memutar bola matanya ke atas, berfikir.

“Kadang seminggu dua kali? Kadang seminggu sekali.” Katanya memastikan.

Secret admirer kamu kali.” Kataku berspekulasi.

Seungkwan malah mengerutkan alisnya, menggeleng. “Dia gak pernah nyinggung soal perasaan di tiap isinya. Yang selalu dia singguh tuh selalu soal, aku itu cukup, gak perlu ini gak perlu itu, gitu.”

Seungkwan kini berhenti mengunyah.

“Ya.. mungkin itu cara secret admirer kamu nyampein perasaannya, Kwan. Mungkin dia pengen kamu tau kalau kamu cukup, gak perlu maksain apa apa, udah.”

“Apa sih motivasi para secret admirer ini? Kenapa mereka gak mau ngasih tau jati dirinya?”

“Malu kali.”

“Kenapa dia harus malu?”

“Ya mereka mungkin takut, Kwan. Kalau kamu tau mereka siapa, kamu nolak mereka. Make sense, right?“ Aku mengambil satu potong terang bulan lainnya.

“Kalau gitu, berarti tandanya mereka gak siap sama segala konsekuensi soal jatuh cinta. Kalau memang gak siap, lebih baik gausah di mulai. Iyakan?” Kini aku berhenti mengunyah, menatap dirinya.

“Setiap surat dengan tulisan yang aku sama sekali gak tanda tulisan siapa itu dan selalu aku dapet di lokerku jadi tanda gak sih? Kalau dia udah memulai, siapapun itu, kalaupun aku belum bisa nerima, itu berarti konsekuensi yang harus dia terima. Make sense, Right?” Sambungnya, kini ia menekuk bibirnya menunduk sambil memainkan jemari.

“Tapi, kalaupun aku tau orangnya, aku bakal berusaha buat nerima dia seberapa kurangpun dia..”

“Kenapa, Kwan?”

“Hm..” Seungkwan mengawangkan pandangannya, jauh kedepan. “Bebanku kadang jadi suka keangkat kalau baca suratnya, walaupun keangkatnya cuman sedikit.” Dari sudut visualku, dapat aku lihat bola matanya yang bergetar dan mulai berembun.

Aku tau, hidup Seungkwan bukan yang sempurna seperti yang terlihat. Bagaimana anak anak sekolah yang selalu mengelu-kan namanya. Yang bilang bahwa hidup Seungkwan adalah yang paling di dambakan.

Rumah mewah, anak tunggal, sopir pribadi, mobil khusus, pintar, juara kelas dan kalau ikut olimpiade, tidak jarang Seungkwan selalu memboyong pulang piala kemenangan.

Namun melihat sosoknya duduk di sampingku sambil menghembuskan nafas berat, membuatku menyimpulkan banyak hal. Selalu ada celah kecacatan disetiap kesempurnaan, dan sebenarnya bukan jadi sebuah masalah atas kecacatan itu sendiri. Bukan tanpa alasan Tuhan menciptakan tiap insan dengan kekurangannya, agar selalu menghargai hidup, agar selalu bersyukur atas bagaimana perputaran dunia menuntun.

Aku menepuk bahunya, kemudian mengelusnya pelan.

“Kwan, kamu tau kan tempat kamu buat cerita ada dimana?” Dirinya menoleh, menyinggung senyum tulus penuh arti.

You, of course. Siapa lagi?” Kami tergelak dalam tawa singkat, dirinya kemudian berdiri.

“Aku harus pergi les.” Katanya, aku mengangguk.

“Semangat! Nanti malem telfon aku.” Godaku membuatnya terbahak sampai-sampai bertepuk tangan.

Stay on your phone, ya.”

Will do!”

Belum sempat ia melangkah keluar dari pekarangan rumahku, ia berbalik. “Besok aku kesini lagi, mau dibawain apa?”

“Ngapain kesini lagi?”

“Sehari gak ketemu kamu rasanya kaya aneh. Jadi sampe skors kamu selesai, aku bakal main kesini terus.” Jelasnya. “Mau dibawain apa, besok?”

“Besok,” Aku gantungkan kalimatku sejenak. “Bawa diri kamu sendiri aja. Sama…”

“Sama apa?”

“Sama waktu kamu. Barang se-jam aja, Kwan. Kita main, ya?” Lagi-lagi senyum kecil menghiasi dimensi wajahnya, dirinya mengangguk.

I’ll try.”

Aku mengangkat bahuku, “I’ll wait, then.”

See you next evening.”

See you, Kwan.”

-

Besoknya di sore hari aku temukan dirinya lagi lagi berdiri mengetuk pintu. Kemeja sekolah yang sudah tidak lagi rapi, bahkan tidak lagi memakai dasi. Ranselnya ia gantung di sebelah bahu.

“Gimana?” Tanyaku sesaat membuka pintu.

Can’t.” Dirinya kemudian kembali menyodorkan jajanan ringan sekantung plastik penuh. “Jajan buat kamu.”

Aku membuang nafas, sedikit kecewa. Karena padahal malam tadi, segala skenario sudah memenuhi kepalaku. Bagaimana aku dan dirinya main di Timezone, makan di restoran, melakukan photobooth dan lain sebagainya.

Can’t say no.”

What?” Aku mendongak, menatap dirinya yang agak lebih tinggi dariku.

Seungkwan mengedarkan pandangannya. “Supir aku lagi pergi ke supermarket sebentar, katanya beli rokok. Kamu ada pintu belakang kan?”

“Hah?”

C’mon! Ayo kita main.”

“Nanti kalau kamu di marahin Mama kamu gimana, Kwan?”

“Paling besoknya juga udah baik lagi. Let’s go?”

Senyumku merekah hebat, pun dengan sosok di depanku ini. Tanpa menyuruhnya membuka sepatu, aku tarik ia masuk ke dalam rumahku untuk keluar dari pintu belakang.

“MAMAH! AKU PERGI MAIN SEBENTAR YA!” Teriakku, berharap Ibuku mendengar.

“Udah sore?” Dapat aku dengar sahutan wanita tersebut menyambangi pendengaranku.

“Satu jam aja!”

Kemudian, sosokku dan sosoknya hilang dari balik daun pintu belakang rumah, serta gebrakan yang agak kuat, mungkin saja membuat orang-orang di rumahku terkejut mendengarnya.

Aku berlari, masih dengan tangan yang mencengkram kuat pergelangan tangan Seungkwan. Dari sini, dapat aku lihat dirinya yang menggenggam ransel, kemudian terbahak sambil sesekali menggerakan kepalanya untuk membenarkan surai yang teracak akibat menabrak angin.

Aku, belum pernah melihat tawa Seungkwan sampai sebahagia ini.

Kemudian di halte bus, kami buru buru naik, namun harus berdiri karna seluruh bangku di penuhi orang-orang yang baru saja pulang dari segala kegiatannya.

Seungkwan mengawangkan pandangannya ke seluruh sudut bus, dengan terhimpit.

“Udah pernah naik metrotrans?” Tanyaku, mendongak dengan berhadapan tepat di depan wajahnya. Ia menggeleng. Tangannya yang satu menggapai penopang, menahan diri dari guncangan-guncangan kecil.

“Seru gak?”

“Panas.” Katanya, dapat aku lihat butir-butir keringat di pelipisnya. Aku tertawa.

“Nanti kalau ada yang kosong, kita duduk.” Seungkwan hanya mengangguk memberikan jawaban.

Beberapa menit, aku dan dirinya berlari ketika mendapat bangku kosong yang bersebrangan, kini aku dan Seungkwan saling duduk berhadapan.

Tidak lama, ia mengeluarkan ponsel, memotret diriku dan secara bergantian aku memotret dirinya.

“Kali pertama Seungkwan naik metrotrans.” Ucapku agak berteriak sambil mengotak-atik ponsel, memberikan note pada gambarnya.

Setelah sampai di satu pusat perbelanjaan, aku dan ia lebih dulu pergi makan sebelum bermain.

Pepperlunch, gerai tempat makan paling terkenal jadi tujuanku dan Seungkwan.

Sesekali ada gelak tawa sampai-sampai membuat beberapa orang menatap penuh keheranan. Kadang, ada suara garpu yang jatuh ke lantai dan lagi-lagi jadi bahan tontonan. Pada intinya, rekah senyum serta tawa di raut wajah Seungkwan, hari ini lebih berwarna dari pada hari-hari sebelumnya.

Setelahnya, aku dan dirinya bermain ke Timezone. Mengisi satu kartu kemudian bermain segala yang ada. Bola basket, capit boneka tapi selalu gagal sampai percobaan ke-lima, dan akhirnya menuju ke Photobooth.

Satu kali putaran dengan empat gambar yang berbeda, kemudian putaran kedua dengan empat gambar berbeda lainnya. Ketika hasilnya keluar, aku dan Seungkwan terkikik geli, mengomentari gaya masing-masing.

Pada hampir pukul 5 sore, aku duduk di rooftop pusat perbelanjaan yang sama dengan dua cone es krim di masing masing tangan.

Langit warnanya tidak lagi biru, hampir menjadi oranye.

Thank you for today.” Sahutnya.

Aku mengibaskan tangan di depan wajah. “Lebay.” Kataku. Seungkwan malah tertawa kecil. “Seneng kan hari ini?”

The best i ever have.”

“Kapan-kapan lagi pokoknya.”

Sure. Seharian penuh kalau bisa.”

Why not?”

Kami menatap lamat langit senja, membiarkan angin menyapu wajah, tersenyum kecil menghargai hari ini, detik ini. Karna mungkin, belum tentu terjadi dua kali. Itu sebabnya, banyak orang yang mengabadikan momen di dalam potret.

Potret!

Aku buru buru mengeluarkan ponsel, membuka kamera kemudian diam-diam memotret Seungkwan dengan latar belakang langit sore.

Dirinya menoleh terkejut ketika suara dari ponselku berbunyi ketika memencet tombolnya.

“Hehe. Seungkwan with Sunset.” Aku tunjukan hasilnya kemudian.

“Bagus.” Katanya.

“Mau lagi?”

Ia menggeleng. “Kalau di foto lagi, kan udah sadar. Gak keliatan kalau lagi menikmati momennya.” Aku terbahak agak kuat.

“Bener juga ya.”

Ketika aku membuka kembali isi galeriku untuk hari ini, ada banyak wajah Seungkwan yang menghiasi. Lagi-lagi membuatku memunculkan senyum.

“SEUNGKWAN!” Aku dan ia menoleh cepat ketika satu suara bentakan terdengar.

Seorang wanita familiar muncul dari daun pintu rooftop, Mama Seungkwan.

Dengan suara hentak dari Heelsnya, ia mendekat ke meja tempat aku dan Seungkwan duduk. Dari raut wajahnya, beliau sedang di bakar api kemarahan.

Hal selanjutnya yang membuatku menganga sampai membulatkan mata, bahkan melempar ponselku sendiri adalah ketika sebuah tamparan mendarat di salah satu pipi Seungkwan.

“Tante..” Kataku menghampiri.

Dan satu tamparan ikut mendarat di pipiku.

“Mah..” Dapat aku dengar lirih suara Seungkwan.

Aku masih memegang pipiku yang panas, melihat sekitar bagaimana orang-orang menjadikan ini sebagai bahan tontonan. Bahkan, ada beberapa kamera yang tertuju kepada kami.

“Kamu tau hari ini jadwal les Kimia kamu, kan?” Dapat aku lihat bagaimana rahang wanita itu mengeras.

“Tante.. di bicarain di tempat lain aja. Ini jadi bahan tontonan orang, tante..” Aku mendekat, berusaha menggapai lengannya, namun di tepis kuat sampai sampai membuatku oleng dari atas pijakanku.

“Kamu dalangnya ya? Yang bikin anak saya bisa-bisanya bolos dari les wajibnya? Kamu pikir yang biayai les Seungkwan itu kamu? Kamu tau biaya les buat Seungkwan yang saya keluarkan berapa?! Hah?!” Api amarah dari manik mata Ibu Seungkwan terlihat jelas.

“Mamah..” Hanya panggilan kecil yang mampu keluar dari mulut Seungkwan.

“Saya gak mau lihat lagi kamu bergaul sama anak saya. Bisa-bisanya anak kaya kamu berani berteman dengan Seung—“

“MAMAH!” Wajah Seungkwan merah, matanya, serta bibirnya yang bergetar.

“Mamah tau gak..” Seungkwan menangis. “Mamah tau ga seberapa capeknya Kwan ngikutin segala omongan Mamah? Seungkwan capek, Mah. Seungkwan capek tiap pulang sekolah harus pergi les. Seungkwan capek setiap akhir pekan bukannya istirahat malah Les musik.” Ia menarik nafasnya.

“Seungkwan capek, capek, capek, Mah. Barang sehari aja apa Kwan gak boleh main? Kwan juga pengen main bukan cuma belajar doang tiap detik.”

Tidak ada jawaban. Berdetik kemudian, Ibunya menarik tangannya pergi dari sana. Meninggalkanku serta beberapa pasang mata yang semenjak tadi belum mengalihkan pandangannya.

Harusnya ini jadi hari bahagia, namun, secepat cahaya hancur di depan mata.

Aku pulang sendiri kemudian. Menahan tangis di sepanjang perjalanan. Menerka, apa yang terjadi dengan Seungkwan di rumahnya sana.

Sesampainya di rumah, aku cepat-cepat kirimkan sosoknya sebuah pesan, memastikan bahwa dirinya baik-baik saja.

I’m okay! Aku udah ngomong berdua sama Mama.’ Balasnya.

You sure, Kwan?’

Bubble Message lain kemudian muncul.

‘Of course I am. You don’t have to worry.’

‘Good, then.’

Lama aku menunggu balasan lainnya. Sampai-sampai membuat aku menggigit bibir, menerka bahwa memang dirinya baik-baik saja disana.

Tidak lama, notifikasi lain atas namanya muncul kembali.

‘can i call you?’ Aku membuang nafas lega, dirinya memang baik-baik saja.

‘sure, Kwan. You can.’

Ponselku berdering, memunculkan nama Seungkwan disana.

“Halo?”

“Hai..” Aku balas sahutannya dari seberang. “You okay, kan?”

Dengan suara serak, ia tertawa. “Aku gak papa, serius deh.”

“Kok Mamah kamu bisa tau?”

“Kamu tau kan, aplikasi bawaan find my phone? Ternyata phoneku kesangkut disana. Jadi ketauan.” Dapat aku dengar ia yang terkikik.

“Maaf ya, gara-gara aku kamu jadi di marahin kaya gini. Mana tadi jadi bahan tontonan orang lagi.”

No.. Kita sama-sama ngerencanain ini. Lagian tadi di awal kamu juga udah concerned. Aku yang bandel.”

“Tetep aja, Kwan. Aku gak enak.”

“Gak papa.” Katanya. Dari sini, dapat aku dengar ia yang terus terusan menarik lendir hidungnya.

“Kamu pilek?” Tanyaku.

Dengan suara yang sedikit bindeng, ia menjawab, “Iya..”

“Kamu beneran pilek apa nangis, Kwan? Jujur.” Aku mengernyitkan alis, tidak paham atas situasi yang sedang terjadi.

“Pilek..” Balasnya.

“Jujur.”

“Pilek. Beneran pilek, gimana sih..” Ia terbahak kecil. Aku diam sejenak, berusaha menimbang soal pernyataannya yang mengatakan bahwa apakah benar ia memang baik-baik saja disana.

“Cepet sembuh, kalau gitu.” Cicitku.

“Makasih. Padahal cuma pilek doang.” Dirinya terus menerus terbahak kecil, padahal tidak ada yang lucu dalam percakapan yang terjadi antara aku dan dirinya.

“Oiya..” Seungkwan menyahut kembali. “Hari ini aku dapat surat lagi.” Katanya.

“Masih anon dan tulisan yang sama?” Tanyaku.

“Iya..” Kemudian dapat aku dengar suara lipatan kertas dari sana. “Kamu mau denger gak?”

“Seungkwan..” Dan dari sini, samar aku dengar suara wanita yang menyahut. “Kamu kenapa gak belajar?” Aku dengar dengan seksama.

“Iya, Mah. Habis ini Kwan buka buku..” Kemudian suara decitan pintu tertutup. “Sorry ya, tadi Mamah masuk..” Ia kembali padaku.

“Iya gak papa, Seungkwan.” Beberapa menit, sunyi dan senyap mengudara. Dan sesekali dengan sengat jelas, dapat aku dengar dirinya yang membuang nafas.

“Kwan..” Panggilku.

“Hm?”

“Kalau tiba-tiba yang ngirimin kamu surat itu ngaku, di depan muka kamu langsung, gimana?”

I would love to. I will try to accept her feeling. Karna kaya yang aku bilang kemarin sama kamu, setiap aku baca suratnya aku selalu ngerasa bebanku di angkat. Jadi kalaupun eksistensinya jadi nyata, it will make my life easier, don’t you think so?” Aku mengangguk, menggigit dalam bibirku.

“Yup. It’ll be easier.”

“Kamu gak ngantuk?” Seungkwan kini melempar pertanyaan.

“Hm.. kamu?”

“Dikit..” Katanya, memberikan validasi.

“Yaudah, tidur, yuk?”

“Mataku perih banget.” Jelasnya lagi.

“Gara-gara nangis tadi ya?”

“Haha, iya kayanya.” Aku terdiam, masih mengingat kejadian sore tadi dengan jelas dan tiba-tiba kembali bersedih. “Oiya.. aku mau sampein maaf atas nama Mamah, ya? Maaf tadi Mamah sampe nampar kamu kaya gitu.”

Aku tidak menangis ketika telapak tangan wanita tadi menyentuh pipiku, sama sekali tidak. Namun perkataan Seungkwan barusan, malah membuat ulu hatiku nyeri, tenggorokanku mendadak jadi perih dan embun air mata mulai memupuk.

Aku terseguk, dan membuat Seungkwan terkesiap di ujung sana.

“Loh, kok malah nangis?”

Dapat aku bayangkan dengan jelas, bagaimana perihnya menjadi seorang Seungkwan, yang di tampar oleh Ibu kandungnya sendiri. Dan itu, itu jadi alasan lebih besar atas tangisku, daripada aku yang di tampar oleh Ibunya.

“Sekali lagi maafin aku.” Lirihnya semakin membuatku ngilu. “Aku janji, setelah hari ini gak boleh ada yang nyentuh kamu, termasuk Mamahku sendiri..”

-

Hari ini hari Rabu, hari ketiga masa skorsku. Di sore hari, aku tidak menemukan Seungkwan di beranda rumah seperti janji yang sebelumnya ia janjikan.

‘Maaf ya, aku gak enak badan. Hari ini gak sekolah.’

Bubble Message dari nya muncul di layar ponselku.

‘Mau aku jenguk?’ Lama. Lama aku mendapat balasan dari sosoknya di seberang sana.

‘Gausah, gak papa. Mamah moodnya lagi gak baik juga’

‘Kalau gitu cepet sembuh, ya?’

‘Will do!’

Di malam hari, kembali ada aku dan dirinya yang saling bertukar cerita lewat telfon serta gelak tawa yang menggembara.

Namun, lagi-lagi dari Kamis menuju Sabtu, masih belum kutemukan dirinya berdiri di depan daun pintu rumahku lagi di sore hari selepas pulang sekolah.

Dan aku mencari.

Beberapa pesan singkat aku kirim, namun tidak kunjung mendapatkan balasan.

Aku menghela nafas, berfikir positif mungkin Seungkwan butuh banyak istirahat. Jadi dia tidak sempat menyentuh ponselnya.

‘Seungkwan bakalan baik-baik aja. Kalau sakit dia pasti bakal sembuh. He will be okay, you don’t have to worry.’ Bisikku kepada diriku sendiri.

Lamat aku tatap meja belajarku, dan secarik kertas serta pena yang tidak tersentuh disana. Kemudian aku melangkah, duduk di depan meja dan berfikir lama.

“Tapi, kalaupun aku tau orangnya, aku bakal berusaha buat nerima dia seberapa kurangpun dia.”

Begitu kalimat Seungkwan kembali mengembara di ingatanku. Katanya, Seungkwan akan berusaha untuk menerima.

Menerima seseorang yang selalu mengiriminya secarik surat sederhana. Dan katanya lagi, ada beban yang terangkat.

Kini, aku bulatkan tekadku.

Untuk mengaku.

Bahwa selama hampir tiga tahun belakangan, ada aku yang rela memanjat pagar sekolah dan mendelisik masuk diam-diam ke dalam kelas. Hanya untuk menyelipkan sebuah surat ke dalam lokernya.

Bahkan di masa skorsku ini.

Memberi tau bahwa ia tidak perlu harus terus dan menerus memaksakan diri. Bahwa dia akan selalu baik-baik saja tanpa harus membawa pulang sebuah piala pada satu lomba olimpiade, bahwa tidak masalah kalau dia turun dari angka 1 menjadi 2 atau 3 di juara kelas.

Bahwa tidak menjadi ambisius pun, tidak apa-apa.

Kini tinta hitam itu sudah mencoret di atas kertas putih. Aku, di hari senin nanti, harus memberikan ini secara langsung.

Bahwa aku berani mengambil risiko serta konsekuensinya, bahwa aku memang berani memulai.

Ketika coretan-coretan itu kini selesai, aku lipat kertasnya. Aku masukan ke dalam amplop kertas berwarna vintage, serta beberapa hiasan poststamp di beberapa bagiannya.

Aku membuang nafasku pelan. Hari senin nanti, aku akan mengaku.

-

Hari ini, aku memakai seragam sekolahku lebih rapi. Dasi kupu-kupu di kerah kemejanya aku ikat kuat, dan menepuk beberapa bagian untuk merapikan.

Aku siap.

Siap memulai hari, siap bertemu Seungkwan dan siap untuk mengaku.

Jangan tanya seberapa kencangnya jantungku terpompa di dalam sana.

Sampai di koridor sekolah, ada perasaan meletup-letup di dadaku. Perasaan tidak sabar untuk kembali bertemu dengan Seungkwan setelah beberapa hari harus berpisah. Perasaan campur aduk, senang, takut-takut, sedih, bahagia, segalanya benar-benar tercampur menjadi satu. Sesekali tubuhku bergetar, menggigil dan merinding karna rasa gugup yang menggerogoti.

Dan amplop berisi secarik surat yang telah aku tulis, aku genggam kuat di tangan kananku.

Tidak sabar, kini tukaiku mulai menciptakan langkah lebih banyak, berlari.

Aku harus mengaku, itu aku, aku yang memanipulasi tulisanku sendiri, dan bahwa aku akhirnya berani mengambil segala konsekuensi yang ada soal jatuh cinta.

Seungkwan, aku sekarang sama seperti kamu, berani. Dan aku bangga pada diriku.

Ketika aku sampai di depan daun pintu kelas, berpasang mata kini tertuju padaku.

Pipi panas yang tadi sempat merona, senyum cerah yang tadi sempat terukir, mendadak hilang. Menciptakan bingung.

Salah satu temanku berjalan mendekat, menepuk pundakku, Umji. Kemudian sosoknya bersuara, “Seungkwan pasti bangga punya temen kaya kamu.” Katanya.

Ketika Umji menggeser tubuhnya, dapat aku lihat berikat-ikat rangkaian bunga tergeletak di atas meja Seungkwan.

Fotonya, serta amplop-amplop surat.

“Tadi pagi, kata Ibu wali kelas, Seungkwan udah gak ada.”

-

‘Seungkwan udah gak ada.’

Kalimat itu terus mengiang di kepalaku. Memekakkan.

Pagi tadi, aku berlari terseok, menangis menggigit lengan kemeja sekolahku ke rumah Seungkwan yang berkilo-kilo meter jauhnya.

Hanya untuk menemukan dirinya yang sudah terbujur kaku.

Tidak, itu bukan Seungkwan-ku.

“Hasil autopsi Kwan, dia bunuh diri di kamar mandi kamarnya.”

Ketika aku melangkah mendekat, dapat aku lihat sayatan di pergelangan tangannya.

“Kata pihak polisi, orang tuanya masih di selidiki.”

Segala pernyataan yang aku dengar pagi tadi membuatku muak. Dunia, sedang bercanda, kan?

Aku runtuh di atas lututku, beteriak meraung sampai harus di peluk orang-orang yang ada di sana.

Aku terlambat.

Aku terlambat ya, Kwan? Maaf.

-

Jendela kelas terbuka lebar, angin menyeruak masuk menghantam kain gorden putih transparan serta rambutku, sudah jam pulang sekolah. Sudah sore.

Sekolah sudah sepi, koridor tidak ada suara canda dan tawa lagi, hanya tinggal sosokku yang menyendiri.

Aku berdiri menghadap keluar jendela sana, dan meja kosong Seungkwan di samping kiriku.

Aku tatap lamat, memvisualisasikan dirinya yang sedang menatapku dengan rekah senyum menawannya.

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa liatin aku kaya gitu?”

Ia menggeleng, bersuara, “Warna bola mata kamu jadi terang.”

Sesaat aku mengerjapkan mata atas embun yang menumpuk, semua ternyata hanya ilusiku.

Tangan kananku masih menggenggam surat yang belum sempat aku berikan. Yang belum sempat aku serahkan. Dan aku yang belum sempat mengaku.

Kalau saja, aku mengirim surat lainnya sebelum surat ini, mungkin beban Seungkwan akan terangkat barang sedikit, kan? Mungkin, Seungkwan masih ada disini. Duduk di bangkunya, menatapku dengan senyum tulusnya kemudian saling tertawa.

Berdua di kelas ini.

Dengan tangan yang bergetar hebat, aku sobek amplopnya, aku keluarkan kertasnya dan aku bentang agar mampu aku baca tulisannya.

Dengan seguk hebat dan suara yang parau, aku bersuara, “Seungkwan..” Namanya sebagai larik pertama atas pembuka.

Aku tarik nafasku dalam dalam, menutup mata dan berusaha sekuat tenaga menahan perih di tenggorokan.

“Ini jadi surat penutup untukmu.”

“Besok, maaf kalau kamu enggak dapet surat lagi di dalam loker, karena aku memutuskan untuk berhenti jadi orang 'sok' misterius dan memutuskan untuk menjadi diriku sendiri.”

“Seungkwan, koridor sekolah yang panjang dan selalu jadi tempat kita berlari saling kejar untuk sampai di kantin, akan jadi saksi bahwa perasaanku lebih dari sekedar saling tertawa di atas hubungan pertemanan ini.”

“Kantin tempat kita minum minuman favorit kita, lebih dari sebuah kenangan sederhana, mereka istimewa.”

“Pohon rindang di belakang sekolah yang jadi tempat kita berteduh sambil membaca buku novel romantis yang kita beli di Gramedia, kalah subur di bandingkan bagaimana rasa ini tumbuh di tiap hari manik mataku bertemu milik kamu.”

“Seungkwan, aku udah berani, untuk ambil segala konsekuensi soal jatuh cinta. Tapi sebelum cinta hilang dan bersisa jatuh, gapai tanganku sejenak, boleh ya?”

“Kalau boleh, aku mau agenda-agenda yang biasa kita lakukan tidak lagi berlandaskan sebuah status pertemanan, aku mau lebih. Aku mau kamu lebih untuk mengakui perasaanku daripada seorang teman.”

“Kalau kamu baca surat ini sewaktu di sekolah, jangan lihat mata aku ya. Apalagi kalau kamu mutusin untuk tetep temenan aja, karna aku takut visualisasiku jadi kabur dan akhirnya aku harus nangis di depan kamu.”

“Tapi.. aku berani kan perihal konsekuensi soal jatuh cinta? Yaa.. Bukan berarti aku kuat kalau di tolak sama kamu, Kwan.”

“Jadi, aku harap kamu bisa pertimbangkan waktu yang udah kita jalani dan yang akan kita jalani bukan lagi berlandaskan perasaan antara teman dengan teman yang lainnya, tapi mungkin, lebih dari itu.”

Yours truly, yours for evermore.”

Kalimat dari kalimat selesai aku baca, meninggalkan pilu yang lebih mendalam. Aku meraung menepuk dadaku, meremas kertas di tanganku, terjatuh di atas lutut.

Berdetik kemudian, lagi lagi ilusiku menggambarkan bagaimana sosoknya yang menemuiku di jam pulang sekolah. Menengadahkan tangan di depan wajahku dan barangkali selesai mempertimbangkan satu dari banyak hal, mungkin saling menautkan jemari di sepanjang perjalanan pulang.

—fin.


“If i lived a million lives, i would've felt a million feelings and i still would've fallen a million times for you.” -Robert M. Drake


“Seokmin!” Aku berjongkok, membiarkan anak kecil laki laki berumur 5 tahun berlari memelukku. Lucunya, di dalam rengkuhku, dirinya secara impulsif mengelus pundakku dengan tangan kecilnya, sesekali menepuk dan secara bergantian mencium pipi kanan dan pipi kiriku. Tidak lama, seseorang ikut muncul dari balik pintu.

Hayoung, Oh Hayoung.

“Diluar hujan deras banget.” Katanya, aku kini berdiri, memeluk dirinya yang sudah lama tidak aku jumpai. Erat sampai-sampai menimbulkan tawa di antara kita berdua.

“Gimana kabar kamu?”

“Baik, baik banget.”

“Seokmin?” Si kecil Seokmin menoleh, kemudian ketika tau bahwa subjek pembicaraannya adalah bukan dirinya, ia acuh dan kembali sibuk memainkan mobil mainannya.

“Baik.” Aku tersenyum mendengar jawaban Hayoung, kemudian buru buru mengganti pakaianku karena hari ini aku akan pergi mengunjungi Seokmin setelah waktu yang cukup lama. Lama sekali sampai-sampai untuk memvisualisasikan wajahnya saja aku harus di bantu oleh si kecil Seokmin.

Aku kemudian duduk di kursi penumpang dan memangku si kecil Seokmin, membiarkan Hayoung yang menyetir.

“Dulu tuh Seokmin bandel banget ya?” Tiba-tiba Hayoung membuka percakapan.

“Iya, selalu diteriakin Mamihnya.” Aku tersenyum kecil, mengawangkan pikiran dan mengingat bagaimana dulu sosoknya selalu menciptakan percikan api kecil di kepala Ibunya. Kemudian, berdetik kemudian, ada kenangan yang Kembali menuju masa lalu, menapak tilas Ketika agenda harianku adalah melihat batang hidung Seokmin yang selalu muncul di depan pintu rumahnya.

-

“Seokmin!” Seseorang keluar dari pintu rumah.

“Seok mau ngumpul dulu.”

“Kalau pulang bau rokok kamu mending gausah pulang.”

“Yaelah, Mih. Baru juga sekali.”

“Gausah pulang kamu, Seok!”

“Iya gak pulang.”

“Anak durhaka!” Seokmin tadi menarik zipper jaket kulitnya, berjalan keluar dengan wajah kusut kemudian menemukan manik mataku yang saat itu kebetulan sedang duduk di beranda rumah.

“Loh? Kamu pulang?” Sapanya.

“Iyanih, Seok. Kuliah lagi libur.” Aku yang tadi duduk di beranda rumah, kini mendekati pagar, dimana Seokmin berdiri. “Kuliah kamu, gimana?”

“Ngulang satu semester.” Katanya secara gamblang seperti tidak ada beban.

“Kok bisa?”

“Ya gitulah, doain aja gak di DO, atau gak bisa-bisa aku ditendang Mami dari rumah.” Ia tertawa, menampakan gigi kelincinya. “Duluan, ya?”

“Mau kemana?”

“Ada janji sama anak anak.”

“Seok..” Ia yang hampir melangkah, terhenti ketika namanya aku panggil lagi. “Jangan ngerokok”

Seokmin menghela nafas, menekuk bibirnya kemudian dengan berat ia bersuara, “Iya..”

Sosoknya adalah tetangga sekaligus teman masa kecil, rumahnya hanya berjarak 10 langkah dari kediamanku. Dirinya pindah kesini ketika umur kita sama sama 7 tahun, dan karena aku tidak memiliki teman yang sepataran, maka Seokmin berakhir menjadi teman disegala kondisi.

Ia jadi anak yang selalu mendorong punggungku di ayunan sebuah taman kanak-kanak, walaupun dengan wajah yang masam dan sesekali menggerutu. Tapi setiap kali aku meminta, Seokmin akan selalu merealisasikannya. Ia akan berjalan ke belakang punggungku, kemudian akan mendorongnya dengan pelan kemudian kencang sampai menimbulkan gelak tawa.

Semenjak lulus SMA, aku dan Seokmin tidak banyak lagi menghabiskan waktu bersama. Aku yang harus pergi ke Bandung untuk kuliah, sedangkan dia berkuliah disalah satu universitas swasta disini. Setelah 1 tahun aku tidak bertemu dengannya akibat sibuk kuliah dan sesekali berorganisasi, pagi tadi, dengan ramah ia menyapaku.

Senyumnya, cahaya matanya, segalanya masih sama seperti tiga ratus enam puluh lima hari yang lalu. Masih sama ketika aku masih berpijak di umur tujuh, masih Lee Seokmin.

Aku tidak bilang bahwa akulah orang yang paling tau dan paham soal Seokmin, tapi perihal menghisap batang penuh bahan adiksi itu, sudah aku sadari semenjak SMA dulu.

Aku ingat betapa kerasnya Seokmin menerima pukulan di wajahnya, yang disebabkan oleh Papi nya sendiri akibat ketahuan merokok. Aku juga ingat bagaimana dulu tercipta gaduh yang membuat Seokmin harus tinggal dirumahku selama beberapa hari untuk menghindari Ayahnya sendiri.

“Sakit banget ya, Seok?” Aku mengompres luka lebam di tulang rahangnya. Ia malah terkikik geli, sesekali meringis.

“Sakit, tapi lebih sakit lagi kalau dia harus mukulin Mami, ngatain Mami dan bilang kalau Mami gak becus jagain anak kaya aku.” Malam itu, dapat aku lihat bagaimana raut kesedihan di dalam manik matanya. Aku tau, Seokmin akan jadi yang paling tersakiti kalau perihal Maminya, walaupun ia bukan anak yang penurut seperti kelihatannya.

Kembali lagi, dapat aku lihat punggung Seokmin yang mengenakan jaket kulit tadi menghilang dibalik persimpangan, entah siapa anak anak yang dimaksudnya, tapi aku harap di umur yang sedang panas panasnya ini, dirinya tidak melakukan hal yang akan menjerumuskannya kepada kesalahan.

“Hati- hati Seokmin.”

Pada malam hari, aku mendengar jendela kamarku dilempari kerikil dari luar, ketika kaca jendelanya aku buka, Seokmin mengistirahatkan dagunya di atas tangan yang terlipat di pagar rumahku, menatap lurus ke diriku yang terkejut akan eksistensinya.

“Seokmin?”

“Aku udah lama gak ngelemparin jendela kamu.” Katanya.

“Kamu dari mana?”

“Habis main sama anak anak, kan tadi pagi aku udah bilang.”

“Kenapa gak langsung pulang? Nanti dimarahin Mami lagi.”

“Kata Mami juga gausah pulang.” Ia membuang nafasnya, kemudian kembali meletakan dagunya. “Kamu kapan balik lagi ke Bandung?”

“Hmm.. Bulan depan.”

“Lama dong berarti disini?”

“Iya, Seok. Lama..” Dirinya mengangguk dengan memanyunkan bibir.

“Mau main ayunan di TK lagi gak?” Ia menahan tawanya, berbicara sedikit berbisik karena malam sudah larut.

“Emang ayunannya masih ada?”

“Gatau,” Ia mengangkat bahunya, “aku juga udah ga pernah kesana.”

“Kamu selama aku gak ada, ngapain aja, Seok?”

“Main sama anak anak, atau gak..” Ia menggantungkan kalimatnya. “..nungguin kamu pulang?” Aku terdiam, 'ada yang menunggu ku pulang'. Sedikit senyum simpul tercipta di kedua sudut bibirku, kemudian aku menunduk sedikit menahan malu.

“Besok ada janji gak?” Tanyanya.

“Memangnya kenapa?”

“Besok.. Mau main?”

“Sama siapa?”

“Ya sama aku, atau kamu mau main sama anak anak?”

“Temen temen kamu? Enggak ah, Seok, kan aku gak kenal.”

“Yaudah.. Berdua.” Aku lagi lagi tersenyum.

“Boleh..”

“Oke, besok ya? Aku jemput.”

Aku kemudian tertawa menunduk, menggelengkan kepala kemudian menatap dirinya kembali. “Ngapain dijemput? Kan rumahnya cuman 10 langkah aja?” Ia terkekeh kecil, mengangkat bahunya.

“Tetep aja, aku jemput.”

“Yaudah, Seokmin.”

“Ketemu besok, ya?”

Esok hari, sebuah mobil berhenti di depan rumahku. Seokmin menurunkan kaca jendela mobilnya kemudian tersenyum dengan gigi kelinci dan matanya yang tiba tiba menghilang jadi lengkungan kecil. Akupun tersenyum, berjalan, membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang. Seokmin memperbaiki posisi duduknya, meluruskan badannya kemudian mengusap tekuknya canggung.

“Kamu mau aku ajakin nonton gak?”

“Mau, Seok. Ngapain aja dan kemana aja kalau sama kamu aku mau.” Senyumnya terukir lebar, kini ia menarik rem tangan mobilnya, kemudian berjalan meninggalkan kompleks perumahan.

-

“Dulu.. Asal kemana mana selalu main ke ayunan di TK deket rumah. Padahal waktu itu udah sama sama kuliah.” Kataku. Hayoung menaikan alisnya sedikit terkejut, kemudian terkekeh tidak percaya.

“Main ayunan? Udah kuliah?” Ulangnya lagi, masih terkejut. “Seokmin tuh emang ada ada aja, ya?” Balas Hayoung lagi, terbahak.

“Iya, dia tuh emang adaaaa aja agendanya yang kadang bikin kita gak nyangka.”

“Gak nyangkanya?”

“Ya gitu, anaknya hobi ngerokok tapi ngajak main malah ke ayunan.” Hayoung kembali terkekeh geli.

-

Decitan ayunan tua disebuah TK dengan pencahayaan remang menganggu pendengaranku dan juga pastinya Seokmin. Berjam yang lalu, kami habiskan waktu untuk menonton film keluaran terbaru di bioskop, makan di salah satu restoran baru yang ternyata makanannya biasa saja, kemudian keluar masuk jalan tol hanya untuk menikmati lagu yang di stel di stereotape mobil Seokmin.

Robbers milik the 1975, Perfect milik One Direction, dan lagu lagu lain yang berunjung meromantisasikan jalanan tol di malam hari yang sepi. Dan Seokmin bilang, agenda ini akhirnya dapat ia wujudkan.

“Kamu di Bandung pernah night drive juga kaya tadi gak?” Tanyanya.

Noo.. Disana aku kebanyakan jalan kaki kalau kemana mana.”

“Berarti ini yang pertama ya, night drive bareng aku?”

“Iya, Seokmin..” Ia mengangguk, rintik kecil air dapat aku lihat jatuh dari langit sana, dan dirinya yang mengawang.

“Mau hujan kayanya..”

“Seok..” Panggilku, lebih kepada bisikan. Kini ia menoleh, “Hm?”

“Yang tadi itu.. Kencan bukan?”

-

Disepanjang perjalanan, aku menyunggingkan sedikit banyak senyum perihal agenda agenda yang dulu selalu aku lalui dengan sosoknya. Perangai Seokmin yang selalu aku suka, bahan bercandaannya kalau aku sedang tidak dalam keadaan yang baik baik saja, segala hal tentang Seokmin, selalu mewarnai hari hariku yang abu.

Aku ingat,bagaimana dulu dia yang datang ke Bandung untuk menghadiri wisuda ku, membawa bouquet bunga yang besarnya hampir menutupi seluruh wajahku, tersenyum lebar dengan gigi kelincinya serta matanya yang berubah jadi setengah lingkaran ketika berfoto bersama.

Harusnya, fotonya aku simpan dengan baik. Seharusnya.

-

“Senyum yang lebar dong!” Katanya, menoleh ke arahku yang kesusahan membawa banyak bouquet bunga.

“Iya, Seok.. Ini panas banget, peganganku juga banyak banget ini.”

“Sini aku bantu.” Kemudian, setengah dari bouquet bunga ucapan selamat untukku berpindah ke tangannya. Kami kembali mengambil beberapa kali jepretan foto, tersenyum merekah, seakan hari bahagia ini tidak memiliki ujung, seakan tidak akan ada ribuan beban yang akan menghujami pundak setelahnya.

Tapi tidak apa, akan aku nikmati selagi ada Seokmin yang bela-bela datang jauh ke Bandung, hanya untuk sekedar mengabadikan kenangan bersamaku.

Aku mendongak kecil, menatap sudut matanya diam-diam. Tersenyum singkat dan merasa bersyukur, bahwa dalam langkah perjalanan hidupku, Seokmin ada disana ikut menggores tinta.

Satu tahun setelahnya, giliran Seokmin yang mengenakan toga dan dengan bangga memamerkan ijazahnya. Aku juga hadir dan bawakan ia sebouquet bunga serta hadiah selamat untuknya. Lagi lagi, tercipta foto-foto baru akan secercah senyum menawan miliknya. Milik kita.

Sama seperti menapak di satu tahun sebelumnya, aku lagi-lagi diam-diam menatap sudut mata milik Seokmin. Menyunggingkan senyum kecil dan rasa-rasanya ingin menangis.

Bukan menangis penuh dengan sendu dan luka, tapi ingin menangis karena bahagia. Menyaksikan Seokmin melalui semuanya, dan aku adalah yang paling bangga.

-

Gerimis pagi itu, cuaca gelap padahal jam sudah menunjukan hampir jam 11 siang. Aku baru saja kembali dari kantorku, ketika menemukan Seokmin dan teman temannya di sebuah lorong dekat persimpangan kompleks rumah, menghisap batang penuh nikotin serta beberapa botol minuman di atas tanah, ketika Seokmin mendapati eksistensiku, buru buru di lemparnya batang tadi dan di injaknya, kemudian menghampiriku.

“Gak kerja?” Tanyanya. Aku diam, belum menjawab. Sesekali melempar tatap ke sosoknya dan teman temannya di dalam lorong sana.

Aku menggeleng.

“Tapi tadi pagi aku lihat kamu berangkat kerja, kok udah pulang?”

“Seok..” Panggilku, kini menatap irisnya. “Papi.. Papi udah gaada, Seok.”

Seokmin tidak pernah punya hubungan yang baik dengan Ayah kandungnya itu, dan aku tau. Sedari kecilpun, aku tau Seokmin mendapatkan perlakuan yang tidak pantas untuk anak di umurnya yang masih belia, sampai ketika ia tumbuh dewasa, tidak jadi yang penurut dan mencari bahagianya diluar sana, dan yang harus menanggung segalanya adalah Ibunya.

Maminya yang dihujami pukulan dan dimaki kemudian mengatakan bahwa Maminya adalah perempuan yang tidak becus karena gagal mendidik Seokmin. Itu adalah kalimat yang selalu aku dengar sendiri, tanpa perantara siapapun, apapun, karena suara yang menggelegar dari rumah Seokmin, selalu mengembara sampai ke telingaku.

Sore itu setelah pemakaman, ketika semua orang sudah kembali, bahkan Maminya sendiri, Seokmin masih setia berdiri di atas tanah basah yang memeluk bagian dari dirinya, masih setia menatap nama keluarga yang diturunkan kepadanya itu diatas sebuah nisan.

Aku berdiri di sebelahnya, mengelus pundaknya. Ekspresinya sulit aku jabarkan, tatapannya kosong melompong, terus menatap pusara milik Ayahnya.

“Pih..” Bisiknya. “Makasih udah ngasih Seokmin nama keluarga ini.”

“Makasih udah ketemu sama Mami dan membangun keluarga yang.. sangat sangat tidak harmonis..”

“Seokmin..” Panggilku.

“Makasih atas luka fisik dan batin yang udah Papi ciptain buat Seokmin dan buat Mami..”

“Seok..”

Ia terjatuh di atas lututnya, “Memang gaada Pih yang bisa balas segala perbuatan Papi kecuali Tuhan.”

“Seokmin!”

Aku tau, Seokmin juga rapuh. Mau seberapa kejam perbuatan Ayah kandungnya tersebut, pasti dan akan selalu pasti terselip kasih sayang atas seorang anak kepada orang tuanya. Karena di atas lututnya, disela amarahnya, Seokmin menyembunyikan kedua matanya dengan tangan kemudian meraung, meremas tanah basah di hadapannya.

“Seok..” Kini, ia sembunyikan wajahnya di ceruk leherku. Dapat aku rasakan air matanya yang menetes dan mengalir disana, ada seguk yang tak kunjung mereda, bahu yang bergetar dan perasaan kacau di dalam hati. Seokmin hari ini, bukan dia yang menjadi cahaya bagi orang lain, Seokmin hari ini adalah dia yang membutuhkan cahaya.

6 bulan setelahnya, Seokmin akhirnya menunjukan banyak senyum merekah, entah itu ketika menyapaku di pagi hari ketika akan berangkat bekerja, atau ketika pulang di malam hari dan tidak sengaja bertemu denganku, atau ketika sesekali melempari jendela kamarku dengan kerikil, seperti malam ini lagi, misalnya.

“Malem! Kok belum tidur?” Ia berdiri dibalik pagar yang tidak sampai setingginya itu.

“Dibangunin kamu.” Balasku.

“Hehe, Sorry” Ia terkikik kecil, “.. Nih” Katanya menyodorkan kantung plastik. “Jajan.”

“Malem banget ngasih jajan, Seok. Ini apa? Ada acara apa jajanin aku?”

“Terang bulan, gaji pertama..” Ia sedikit menahan tawanya. Dari dalam, aku sedikit mendorong tubuhku keluar dari bingkai jendela untuk menggapai kantung plastik tadi.

“Makasih, Seok.” Ia tersenyum, mengistirahatkan dagunya di atas pagar dengan tangan yang ia lipat. “Nunggu apa lagi? Balik sana, kasian Mami sendirian.”

“Lebih baik Mami sendirian daripada sama Papi.”

“Seok..”

Ia membuang nafasnya. “Kadang tuh aku bersyukur banget Papi udah gaada” Kini bergantian, aku menarik nafasku, membuangnya pelan. “Iya, tau.., kamu tuh gasuka kalau aku ngomong kaya gini, tapi.. Udah gaada yang nyakitin Mami lagi, dan aku harusnya bahagia, dong?”

Aku tau bagaimana perasaan Seokmin, bertahun tahun harus menyaksikan Ibunya menderita dan disebabkan oleh Ayahnya sendiri membuat batinnya bergejolak, mempertanyakan soal benar atau tidak pemikirannya, atau mensyukuri kehilangan yang ia alami.

“Kalau gitu, sekarang bikin Mami bahagia ya, Seok?”

“Pasti kalau itu.” Ia tersenyum, entah untuk yang keberapa kalinya, tapi malam ini, senyumnya lebih lembut dan tulus dari senyum senyum lain yang dulu pernah ia tunjukan. “Makasih ya,” Ucapnya tiba tiba membuatku mengerutkan alis, bingung.

“Buat?”

“Udah jadi temenku dari kecil dulu, udah jadi sahabat, udah jadi segala galanya..” Aku menunduk, sedikit terharu atas pernyataannya barusan. “Aku..” Ia menggantungkan kalimatnya. “Aku.. Sayang sama kamu lebih dari apapun.”

“Seok..”

“Sebagai teman.. Iya. Makasih ya?” Ia kemudian berlalu. Meninggalkan aku di atas pijakanku sendiri.

(“Yang tadi itu.. Kencan bukan?”

“Kalau considered as a friend, kamu kecewa gak?”

“Enggak, lebih baik buat kita juga kan?”

“Iya, lebih baik buat kita.“)

Seokmin, adalah perasaan tanpa ujung bagiku. Segala apapun tentangnya, akan melukiskan kebahagiaan tersendiri yang tidak bisa aku coret dengan kata kata. Aku kacau hanya dengan melihat keindahan eksistensinya, namun, kekacauan itu tidak akan aku perburuk dengan harus mengungkapkan apa yang aku rasakan. Semuanya tergantung Seokmin, segalanya aku serahkan kepada Seokmin, dan dengan ia yang berdiri di depanku tanpa melakukan apapun, sudah lebih dari cukup untukku. Perasaanku, selamanya akan jadi urusanku.

Aku kembali ingat, di suatu sore ketika aku baru kembali dari kantor. Gerimis terus menghujam bumi, genangan dimana mana, dan suasananya yang muram. Biasanya sehabis turun dari ojek online yang aku tumpangi, aku akan berjalan barang sedikit untuk masuk ke perumahan, dan di tengah jalan, aku bertemu Seokmin.

Tapi dia tidak sendirian, pun tidak bersama teman temannya.

“Kenalin, Hayoung.. Oh Hayoung.”

Aku yakin, di langit sedang tidak ada petir, aku yakin bahwa jantung tidak akan bisa jatuh dari penopangnya, dan aku yakin, tidak mungkin ada benda yang bisa menghujam jantungku tapi membiarkanku tetap hidup, tapi sore itu, aku hancur. Ada sakit yang menggerogoti, padahal tidak ada yang menyentuh diriku sama sekali.

Foto hasil jepretan saat aku dan dirinya wisuda aku bakar sampai berakhir jadi abu. Aku meratapinya, tidak mungkin menyalahkan keadaan, dan tidak mungkin menyalahkan perasaan. Mungkin, yang harusnya aku salahkan adalah sedikit banyaknya ekspetasi yang aku gantungkan ke langit sana. Berharap semoga semesta memiliki sedikit hal magis untuk hidupku dan membiarkan cerita cintaku berjalan indah. Tidak, keajaiban tidak melulu soal hal tak kasat mata bernama cinta.

Namun, rasanya tidak pantas aku memusuhi seorang gadis yang sama sekali tidak mempunyai kesalahan apapun, terutama kepadaku secara langsung. Tapi, bohong kalau aku bilang tidak ada rasa iri didalam hatiku ketika melihatnya keluar dari rumah Seokmin, keluar dari mobil Seokmin, atau mengaitkan jemarinya dengan jemari Seokmin.

Kadang, ada perasaan yang membakar seluruh jiwaku.

Sampai suatu saat, pada satu titik, ketika aku memang harus mengakhirinya, memaafkan diriku sendiri, dan berdamai dengan keadaan, terutama perasaan. Aku terus berusaha menerima dengan lapang dadambahwa sejatinya perputaran bumi tidak selalu berporos padaku, bahwa ego di dalam diri, memang harus dipadamkan.

Di sebuah kamar hotel, melihat gaun pernikahan melilit manis tubuh Hayoung.

“Hayoung..” Panggilku. Ia menoleh, sadar akan eksistensiku.

“Hai..” Ia berlari kecil untuk memelukku, meletakan handbouquet-nya ke kasur, sedikit terseok akibat gaun yang mungkin terlalu ketat memeluk tubuhnya. “It is nice to see you.

Mee too.

“Udah ketemu Seokmin?”

“Belum..” Ia tersenyum, entah apa maknanya, tapi senyumnya sangat indah, Lagi-lagi membuatku teringat akan sosok Seokmin dan merasakan pilu. “Kamu.. Cantik banget hari ini.”

“Kamu juga, makasih ya udah mau jadi bridesmaid aku..”

“Maaf ya sempet aku tolak beberapa kali.”

It’s okay. Truly okay

“Hayoung..” Panggilku. Mengelus lengannya. “Kamu tau kan, kalau kamu akan selamanya jadi perempuan paling bahagia?” Ia mengangguk. “Kapanpun dan dimanapun, Seokmin pasti bakal selalu ada buat kamu, believe me and congratulations..”

Kini ia kembali memelukku, lebih erat dari pelukan sebelumnya, “Maaf.. Dan makasih banyak.”

-

Aku turun dari mobil, lagi lagi gerimis belum juga mereda. Si kecil Seokmin aku pakaikan jas hujan karakter kesukaannya, Dinosaurus, kemudian tangannya menengadah, meminta untuk di gandeng.

Kami berjalan, melangkah karena akhirnya sampai di tujuan. Hatiku bergejolak, tidak sabar untuk bertemu Seokmin.

Dari jauh, seorang lelaki dengan senyum dan tawa familiar mendekat, membuka kedua tangannya untuk merengkuh putra kecilnya yang selalu dipanggil ‘Seokmin’ dan terkadang membuat beberapa orang kebingungan, kini si kecil Seokmin sudah berada di gendongannya. Lalu, Hayoung ikut terjatuh di dalam rengkuhnya, ia menciumi puncak kepalanya berkali kali, kemudian beralih ke kedua pipi meronanya.

Kemudian, sosoknya bergantian menatapku. Ia menurunkan Seokmin kecil ke atas pijakannya sendiri, lalu tersenyum dan berjalan mendekat ke arahku. Senyum yang tidak pernah berubah, lekuk dimensi wajah yang selalu aku rindukan, cahaya matanya, segalanya. Ia memelukku, merengkuhku dalam peluknya setelah ratusan hari lamanya. Seokmin-ku, ini Seokmin-ku yang dulu dan aku rindu.

Namun, ketika aku berkali-kali mengerjapkan mata akibat embun air yang memupuk, semua hanyalah bayangan dan fantasiku, yang aku dapati hanyalah sebongkah nisan dengan ukiran nama Seokmin di atasnya. Senyumnya, lekuk dimensi wajahnya, cahaya matanya, tidak ada. Seokmin-ku, telah pergi.

Seokmin harus pulang, akibat kanker paru paru yang dideritanya, pada malam itu, saat hujan turun dengan meraung di luar sana, aku beringsut di atas kasur rumah sakit, menatap pada alat pendeteksi detak jantung yang intensitas gelombangnya semakin menurun.

Aku memeluknya, atas izin Hayoung, sepanjang malam.

Seokmin-ku yang ini, seribu kali lebih rapuh, tapi selalu menghantarkan hangat dan senyum merekah, berusaha memastikan bahwa ia baik baik saja, padahal tidak.

“Hey..” Panggilnya, mengelus rambutku, kemudian menyematkannya di belakang telinga. Mengusap pipiku dan menghapus aliran air yang terus menerus keluar dari mataku. “I am okay.” Katanya, aku menggeleng.

“Kamu.. Harus selalu bahagia ya?” Lagi-lagi aku menggeleng. “Makasih, udah mau tumbuh bareng sama aku, kamu cerita petualanganku yang paling hebat..” Suara Seokmin parau, berat, bibirnya tidak berwarna dan tubuhnya kurus.

“Maafin aku.” Sahutnya penuh dengan kesedihan. Tangisku semakin pecah, entah untuk yang keberapa kalinya aku menggeleng, tidak berkata, tidak bersuara.

.

.

“Aku-” Seokmin menggantungkan kalimatnya.

.

.

.

.

.

.

“Aku.. Sayang sama kamu lebih dari apapun.”

.

.

Seokmin lelah, Seokmin kalah. Ia petarung yang hebat, maka Tuhan harus menjemputnya dan menghadiahinya sebuah tempat untuk beristirahat.

Ini sebuah kisah, tentang petualangan cintaku dan bagaimana harus berakhir sepihak. Ini ceritaku tentang hujan, gerimis dan beribu genangan yang sampai kapanpun tidak akan pernah aku lupakan ada apa dibalik sendunya. Tentang seorang anak manusia dengan cerah senyum di kedua sudut bibirnya, cahaya matanya yang mengalahkan hangatnya sinar mentari, surai kelam nya yang selalu dihembuskan oleh angin.

Seokmin, Lee Seokmin namanya.

—fin.