#12, message in a bottle.


“He'll never know how strongly a girl had once loved him.” -cynthia go


Hansol mengerlingkan satu matanya, menutup kaca helm fullfacenya, kemudian melesat hilang dengan motor sport bermerek Kawasaki kesayangannya.

Aku kemudian masuk ke dalam rumah, setelah lambaian kecil yang aku berikan untuk sosoknya tadi, aku masih sedikit lebih banyak mengharapkan perputaran waktu tidak berhenti di angka 24, karena, kalau bisa aku mau menghabiskan lebih banyak waktu dengan Hansol.

Setelah bebersih diri, aku membanting tubuhku di atas kasur, memainkan ponsel dan menunggu pesan singkat yang akan dikirimkan Hansol Ketika dirinya sudah sampai di rumah.

Ting!

Muncul namanya di notifikasi barku.

‘Arrived home safely, babe.’

Dan selalu saja, semburat merah di pipiku merekah-rekah, serta tidak lupa senyum lebar yang aku sunggingkan. Jujur saja, terkadang aku harus membekap wajahku di atas bantal karena ‘salah tingkah’. Padahal perputaran waktu yang lama selalu menjadi saksi antara aku dan Hansol yang selalu berselaras bersama.

‘okay. Bebersih terus tidur, ya?’ Balasku kemudian.

Berselang beberapa menit, ada balasan lainnya.

‘wait for me ya. Jangan tidur dulu, I’ll call you asap!’

Kalimat sederhana yang Hansol ucapkan seperti itu selalu membuatku berbunga-bunga. Bagaimana tidak? Hal hal sederhana semacam perkataannya barusan selalu jadi hal paling berkesan. Apalagi, di jam hampir tengah malam seperti ini, selalu ada obrolan penuh romantisasi akan hal hal yang kadang tidak masuk akal bagi orang lain, namun selalu menjurus pada pengungkapan bahwa Hansol itu, menyayangiku.

Awal pertemuanku dan Hansol waktu itu ada di sebuah pusat toko buku. Aku ingat bagaimana gaya Hansol saat itu, leather jacket dengan hoodie di dalamnya, jeans yang koyak dimana mana serta beanie di kepalanya. Bocah Emo, batinku.

Secara spesifik, pertemuanku dan dirinya ada di pusat Informasi buku, Ketika kami berdua sama sama ingin menanyakan perihal buku yang kami cari pada petugas toko.

“Buku apa?”

“Aan Mansyur.” Jangan salah, tapi itu suara aku dan Hansol yang berbicara secara serempak. Aku terkejut, tentu saja. Namun yang membuatku dua kali lebih terkejut adalah, bocah emo ini, mencari buku sajak?

“Oke?” Petugas lelaki tadi tertawa kecil, menatap layarnya mengetik sesuatu. “Ada judul yang lebih spesifik?”

“Melihat..” Aku menatap raut wajahnya yang sama bingungnya denganku. “..Api Bekerja.” Kami kembali bercicit bersama, tidak melepas pandang ketika kalimat terakhir terlontarkan. Semesta, pasti saat itu sedang bercanda.

“Lorong nomor dua dari rak buku fiksi ya.” Begitu kata petugas toko buku tersebut, kemudian aku melangkahkan kaki menjauhi sosoknya.

Di depan rak buku pun, ketika dirinya tepat berdiri di sampingku, aku hanya diam, tidak mau bersuara sekecil apapun diafragmanya, karena menurutku, kejadian tadi sudah sepenuhnya aneh.

Yang aku dengar di telingaku adalah lagu milik Taylor Swift berjudul Message in A Bottle yang mengudara menghiasi seluruh penjuru toko buku. Lagu kesukaanku.

“Aku..” Hansol bersuara, membuatku menoleh. “..duluan, ya?” Tidak mendapatkan jawaban apapun dariku, punggungnya kemudian hilang di balik rak rak besar buku, hilang dari pandanganku. Menyisakan aku yang masih bingung, dia tadi berpamitan?

Setelah membeli buku yang aku mau, aku beralih ke salah satu toko kue donat yang letaknya tepat di sebelah pusat toko buku. Ini sudah masuk jam makan siang, jadi daripada menahan lapar yang bekepanjangan, aku langsung melangkahkan kakiku masuk ke dalam sana.

Bayangan soal betapa manisnya gula halus yang menyelimuti roti serta isian coklat lumer benar benar membuat perutku berteriak ingin di beri asupan makanan dengan segera.

Sampai ketika mataku bertemu mata Hansol. Dirinya, sedang membawa wadah kertas berisi beberapa donat dan satu cup minuman di tangan lainnya.

“H-hai?” Sapanya canggung.

“H-hai?” Kali ini, aku membalas perkataannya.

“Duluan.. ya?” Tidak seperti yang tadi, ia berdiri mematung menunggu jawabanku.

“Eh? I-iya.” Ia berlalu.

Aku melangkahkan kaki mendekati etalase berisi berbagai macam jenis donat. Favoritku tentu saja donat isi coklat yang diselimuti oleh gula halus yang sudah sempat aku bayang-bayangkan. Aku mengambil 3 buah, pergi ke kasir dan membayar.

Wadah kertas berisi donat tadi ada di tangan kananku, serta satu Cappuccino Frape di tangan kiriku. Mataku mengembara, berusaha mencari setidaknya satu tempat kosong untuk aku menghabiskan makanan manis ini, namun nihil, penuh.

Sampai ketika mataku bertemu Hansol yang duduk di sudut toko, menyantap donatnya serta memainkan ponselnya.

Aku tidak punya pilihan lain. Pilih duduk bersamanya, atau membawa pulang makanan ini ke rumah yang jaraknya berkilo-kilo meter jauhnya.

Tukaiku kemudian berjalan mendekati ia yang masih sibuk mengunyah.

“Ehem..” Aku berdeham, membuatnya mendongak dan terkesiap. “Kosong?” Mataku menunjuk ke arah bangku kosong tepat di hadapannya.

“Kosong.”

“Can I, then?”

“Of Course.” Ia menggeser kotak donat miliknya mendekati dirinya sendiri, memberikan tempat untukku.

“Thanks.”

“No problem.”

Selama berpuluh-puluh menit, yang ada hanya aku dan dirinya yang fokus memakan donat pilihan masing-masing, sesekali suara seruput dari minuman yang sama sama kami pesan.

“What is that?” Aku yang memulai percakapan kemudian.

“Ini?” Tunjuknya pada donat miliknya. “Isian coklat.”

“No way?” Aku menunjukan donat milikku yang sudah setengah tergigit. Dirinya membulatkan mata tidak percaya. “How about this?” Kini aku menunjuk ke cup minuman milik Hansol yang sudah tersisa es batu.

“Cappuccino Frape..”

“No way..” Mataku mungkin dua kali lebih bulat dari pada sosoknya. Begitu, sampai beberapa menit kedepan.

Kami tertawa.

“What kind of coincidence is this?” Hansol terkikik geli.

Aku hanya menggeleng, tertawa menutup mulutku menatap dirinya.

Dan entah kebetulan semacam apa lagi, alunan musik di toko kue donat ini memutar lagu milik Taylor Swift yang tadi sempat terputar di toko buku ketika aku berada bersama Hansol, Message in A Bottle.

“Kamu sadar gak? Kalau tadi di toko buku yang diputer lagu ini juga?” Tanyaku masih sambil tertawa.

“Sadar.” Katanya, membuatku mendadak terdiam.

“Y-ya.. gitu. Haha.” Aku menggaruk kepalaku padahal sama sekali tidak ada rasa gatal disana.

Setelah tawa yang menggelegar barusan, kini hanya menyisakan sunyi senyap dan canggung di antara aku dan sosoknya. Dari sudut mataku, dapat aku lihat Hansol yang mengawangkan matanya kemana mana, menghindar untuk menatapku.

“Hansol.” Setelah berpuluh menit lamanya, ia bersuara. “If you ever courious about my name, it’s Hansol.”

“Hansol..” Panggilku. “I like that.” Kini senyumku merekah mendengar ia yang memperkenalkan dirinya, di ikuti ia yang ikut tersenyum dan mendadak menunduk menatap sepatunya.

“I like that song, by the way.” Ucapku.

“Oh ya?”

“Yup. Riding sambil dengerin lagu Message In A Bottle cocok banget kalau menurutku.”

“Memangnya kamu pernah Riding sambil denger lagu?”

Aku mengusap tekukku. “Gak pernah sih, cuma berspekulasi aja. Pasti seru. Apalagi kalau Ridingnya agak tengah malam gitu.”

“Kamu korban film ya?”

“Sebenernya.. lebih ke korban book—worthy. Banyak adegan adegan plot di buku yang aku baca yang worth to experienced. Aku sering kasih ten out of ten, walaupun belum pernah ngerasain dan walaupun deep down wanted to.”

Then why not?”

“Ngerasain Riding?” Hansol mengangguk. “Sendiri?”

“Terus?” Aku agak tertawa mendengar pertanyaan Hansol.

“Aku kasih ten out of ten karena they have someone special, Hansol atau kejadian yang wow menurutku. Kalau mereka cuma sendirian, well yea, going Solo sometimes sounds better, but..” Aku menggantungkan kalimatku, mengawang menatap langit langit toko kue donat. “Being with someone special actually give it a hundred out of ten.”

Then.. why don’t we?”

Apa?

“Gimana?” Hansol membenarkan posisi duduknya, kini tubuhnya bergerak mendekat.

I got the coolest motorcycle. A sport actually. Not tryna to flexing but.. I ask you. Riding, in the middle of the night and Message in A bottle, Would you?”

-

Pertemuan terakhirku dan Vernon akhirnya saling bertukar nomor ponsel. Bukan tanpa alasan, tapi aku menyetujui ajakannya soal late night riding yang sebelumnya di janjikan oleh Hansol. Namun, karena hari itu aku memiliki janji lain, aku dan ia memutuskan untuk membuat janji di lain kesempatan.

‘Gak lucu, Hansol, kalau tiba-tiba sehabis acara night riding aku di labrak. Hahaha’ Ketikku dan menekan tombol kirim. Tidak lama balasan dari Hansol muncul dari layar ponselku.

‘I am single, by the way. In case kamu penasaran. Hahaha.’

‘Good then, jadi aku gak perlu was-was soal ajakan kamu.’

‘kalau aku punya pacar juga aku gak akan ajak kamu.’

‘oke. Nice move.’

‘Hahahah, damn?’

Aku hanya tersenyum menatap balasan yang dikirimkan oleh Hansol. Kemudian, mulai mengetik kalimat lain.

‘do you mind if we do the so-called late night riding pas malam tahun baru?’

‘minggu depan?’ Bubble Message dari Hansol langsung muncul.

‘yup. Tapi kalau kamu udah ada janji ya udah gak usah.’

‘I’ll cancel everything.’

‘what? Even janji tahun lalu sama temen-temen kamu? Makes no sense.’

‘I wanted to feel the book-worthy you mentioned before. Might be got hundred out of ten.’

Aku terbahak keras di atas kasurku. Menggelengkan kepala kemudian kembali mengetik.

‘Gak harus tahun baru.’

‘might be got thousand out of ten in the new year eve, why not?’

‘god, you are so ambitious.’

‘not gonna lie but I am.’

Pada akhirnya, janji soal late night riding berakhir pada tahun baru. Di 31 Desember pukul 9. Ia menjemputku di depan rumah setelah lokasi yang sebelumnya aku kirimkan kepada Hansol.

Melihat penampilannya tidak lagi membuatku terkejut, tapi melihat bagaimana ia duduk diatas motor besar itu membuatku menarik nafas dan membuangnya, terkejut dan terus menerus menggumamkan gumam seperti, “wow, he is so damn cool.”

Ia menyodorkan helm fullface kepadaku.

“Safety first.” Katanya.

“Hansol,” Ia mengangkat dagunya, kemudian melepas helm dan disana surai coklatnya teracak berantakan.

“Yup?”

“You sure about this agenda?” Aku bertanya memastikan.

“Why not?” Ia mengangkat tinggi bahunya kini. “You said you wanted to do this agenda, kan?”

“Iya, tapi..”

“Tapi?”

“Are you sure this is about both of us? Maksudku, kamu nurutin ini bukan gara-gara aku kan? Maksudny—”

“Me too.” Hansol memotong kalimatku. “I never experienced this, before.” Kini ia turun dan berdiri, meletakkan helmnya di atas jok motor dan berjalan mendekatiku. “So, it is all about you and me.”

Aku pikir, pertemuanku dengan Hansol yang bahkan belum menginjak angka 30 hari ini benar benar keluar dari akal sehatku sendiri. Bertemu seorang asing di pusat toko buku, punya selera yang sama soal makanan manis dan minuman Capuccino, dan bagaimana obrolan yang selalu berselaras tanpa ada distrak sedikitpun.

Semesta yang sedang bercanda ini, memang membawa Hansol kepadaku, ya?

Aku tersenyum, sedikit mendongak menatapnya yang lebih tinggi dariku dan helm yang aku peluk.

“Tapi..”

“Tapi apalagi? Hansol memiringkan kepalanya sedikit, bertanya dan aku berani bersumpah, dirinya benar-benar manis dan membuatku menekuk senyum karena malu.

“Kamu tau lagu Message in A Bottle, kan?” Ia terbahak sampai membuang kepalanya kebelakang.

“Cause you could be the one that I love, I could be the one that you dream of.” Ia bergumam kecil menyanyikan potongan liriknya. Dengan kedua tangan yang masuk ke dalam kantung jaket kulitnya, ia mengangkat bahu dan alisnya tinggi-tinggi, seakan akan berkata, “See? I truly know that song.”

Aku tertawa kecil. “Okay, karena gak lucu kita ngelakuin ini tapi kamu gak tau lagunya.”

“It’s all about us, kan?”

“Yup, about us.”

Hansol kemudian memiringkan kepala ke arah motornya yang sedari tadi di parkirkan, “So, let’s go?”

Aku mengangguk. Ketika dirinya sudah siap, dengan helmnya dan mulai menghidupkan mesin. Aku cengkram kuat bahunya dan naik, memasang helm yang tadi sempat di pegangnya sebentar kemudian duduk.

Dari visualku, dapat aku lihat ia menoleh ke arah kanan dan membuka kaca helmnya, kemudian samar aku dengar, “You can hug me if you want.”

Aku mengernyitkan alis, ikut membuka kaca helm fullface milik Hansol yang aku pakai. “Is anyone that sit here, hug you from the back?”

Ia menggeleng, “For you, it's a privillege.”

Kepalanya kembali lurus kedepan menatap jalanan, dan ia mulai menjalankan motornya.

Di kota, suasana ramai. Mungkin orang-orang ini juga sedang menjalankan agenda yang sudah di janjikan untuk merayakan acara tahun baru. Dan aku, disini, duduk diatas motor orang asing yang bahkan belum sebulan aku kenal dengan baik.

Yang aku tau, segala ucapan dan gelagatnya adalah manis. Kalau saja pertahananku tidak kuat, bisa-bisa aku jatuh dalam perangainya.

Disepanjang jalan kami hanya diam, menikmati suasana terang di seluruh sudut kota sampai ketika pada satu jalan yang panjang dan sepi, ia berhentikan motornya.

“You ready?”

“R-ready?”

Hansol diam, kemudian turun dari motor dan mengeluarkan Airpods dari kantung jaketnya.

“Satu sama kamu, satu sama aku.” Kami berdua kemudian sama-sama saling melepaskan helm tadi dan menyumpal salah satu lubang telinga dengan Airpods milik Hansol. Hansol lagi lagi merogoh kantungnya, mengeluarkan ponsel dan mengotak-atiknya.

“This, right?” Ketika alunan musik familiar yang berminggu lalu aku dengar di pusat toko buku serta toko donat mengalun di pendengaranku, aku mengangguk.

“I meant it.” Kata Hansol.

“About what?”

“You hug me from the back. It’s privillege.”

“You know what?” Aku melipat kedua tanganku di depan dada. “Kamu kaya buaya. Are you?” Hansol terbahak kencang.

“Am I look like that?”

“Yes. Setelah aku perhatiin kamu kaya buaya.”

“Okay, I’ll take that as a compliment.”

“Compliment?!”

“Yup. Did you say that I look like ‘buaya’ karena motor, muka, selera musik dan..” Ia memicingkan matanya menatapku. “Ajakan soal meluk aku dari belakang?”

Aku diam tidak percaya.

“It’s okay if you don’t want to. Aku bukan laki-laki yang kaya kamu pikirin kok. You can trust me.”

“Okay. I trust you ya, Hansol.”

You don’t have to worry.” Hansol kemudian kembali naik dan menjalankan motornya.

Dari larik pertama lagu yang mengalun dan jalanan sudut kota yang sepi ini, intensitas kecepatannya stabil. Membuatku sangat-sangat menikmati. Sambil menatap jauh lampu kelap-kelip gedung-gedung tinggi dari kejauhan.

Ketika masuk bagian chorus, suara knalpot motornya mulai menderu kencang membuatku terkejut sampai harus mencengkram kuat jaketnya.

Lagi-lagi, ia membuka kaca helm, berteriak, “I TRULY MEANT IT. SAFETY FIRST, YOU CAN HUG ME!

Shit! Aku memang harus kalau tidak mau jatuh kebelakang.

Dan begitu, bagaimana kedua tanganku kemudian bertaut melingkar di pinggang Hansol.

These days I'm restless Work days are endless, look how you've made me, made me But time moves faster, replaying your laughter. Disaster

Seperti ini, bagaimana adegan di seluruh buku dan karakter yang aku baca. Bagaimana aku yang membekap wajahku sendiri karena cerita fantasi di dalam buku yang membuat aku bergidik geli akibat kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutku.

Dan aku, jadi karakter utamanya pada malam ini.

Kembang api yang saling beradu di langit penuh bintang, deru angin dan hangatnya pelukan serta alunan musik yang mengalun di telinga. Juga, agenda yang sangat-sangat ingin aku rasakan bagaimana perasaannya.

Dan aku tidak pernah menyesal memberikan skala sepuluh dari sepuluh untuk agenda semacam ini di dalam buku, maupun yang sekarang sedang aku rasakan.

Message in a bottle is all I can do, Standin' here, hopin' it gets to you.

Dan ini, adalah tiga menit paling menakjubkan dalam hidupku.

-

Hansol memarkirkan motornya setelah satu lagu yang kami janjikan selesai. Ia turun, membuka helmnya, pun aku.

Aku lepas Airpods tadi dan menyodorkannya kembali kepada Hansol.

“How was that?”

Aku tertawa geli, tersenyum merekah kemudian menyahut, “Wow..”

“Wow..” Hansol tertawa kemudian mengangguk beberapa kali, meletakan helmnya di atas jok motor.

“The best that I’ve ever had, Hansol.”

“Me too.” Kami kemudian saling melempar pandang dan tertawa. Di langit sana, kembang api belum juga selesai meletup-letup.

“Happy new year.” Cicit Hansol.

“Happy New year, Hansol.” Dirinya tersenyum begitu cerah, dan teduh manik matanya yang menatapku.

“Did I got thousand out of ten?” Aku terbahak.

“Maybe.” Aku mengangkat bahuku. Hansol tertawa sambal mengangguk beberapa kali.

“If I kiss you right away, how much will I get?”

Aku terdiam sejenak, menatap dalam manik matanya. “You are so ambitious, Hansol. Indeed.” Kataku.

“I told you, I am.” Kemudian hening. Aku dan sosoknya masih diam saling tatap beberapa detik sampai ketika aku membuang pandanganku dari matanya.

“No.” Kataku, menggeleng. “Sorry.”

“You don’t have to say sorry. Thousand out of ten was exactly cool.”

“It doesn’t mean that I don’t like you, Hansol.”

“I know. I am the coolest. Why didn’t you like me, tho. right?” Aku memukul bahunya pelan dan membuatnya terkikik. “But you like me?” Tanyanya. Tawa kami meredam, lagi-lagi saling tatap.

“You are the coolest, and I like you.” Senyum cerah tersungging di kedua sudut bibirnya. Serta dirinya yang mengusap tekuk. Dinding pertahananku, ternyata runtuh,

“Nice. Berarti perasaanku enggak sebelah tangan. Thank you, by the way.” Ia menekuk senyum, menatap sepatunya atau menatap jauh entah kemana-mana. Tidak mau menatapku.

“I’ll take you home.” Cicitnya. Kali ini, rekah senyum menghiasi wajahku. Dari sini, aku tatap punggung lebarnya yang sedang bersiap untuk menjalankan motornya kembali.

“Hansol..” Panggilku.

“Ya?”

“If you don’t mind.. Can I hug you from the back?” Dapat aku lihat bahunya yang bergetar kecil, mungkin tertawa di depan sana.

“You don’t have to asked, sure. I don’t ever mind.”

-

Di depan rumahku, Ketika aku turun dan mengambalikan helmnya, Hansol pun ikut turun dari jok motor Sport tingginya itu.

“I love this agenda, truly.” Kataku.

“Me too.”

“Safe drive sampai ke rumah ya, Hansol.” Ia tersenyum, menyandarkan tubuhnya di motor.

“Will do.” Hansol kemudian berbalik, bersiap untuk naik namun terhenti dan kembali berbalik ke arahku. Ia mendongak, menatap rumah di belakang punggungku kemudian ke kanan dan ke kiri.

“If I kiss you here, will I get a million out of ten?” Aku tertawa, mengernyitkan alis.

“Kata kamu, thousand of ten was exactly cool?”

“Tell me..” Hansol menyandarkan tubuhnya kembali seperti tadi. “Have you ever kissed someone in your whole life?”

“Of course. My mom in her cheeks, my dad in his forehe—”

“A man..” Dirinya langsung memotong kalimatku barusan. Aku tersenyum kecil menatap matanya, menggeleng.

“Well, my nephew.” Balasku dengan cepat dan malah mengundang tawa kecil dari Hansol.

“Okay, then. Aku gak akan pernah menang kalau gini ceritanya.” Ia menunduk, menatap sepatu sketchnya.

“How about you?” Kini aku yang melempar tanya. “Have you ever kissed.. a woman?”

“Yes.” Aku mengangkat kedua alisku, mengangguk paham menatap dirinya. “My mom, on her cheek.”

“Balas dendam?” Hansol terbahak, menggeleng.

“It seems so impolite, but truly.. I wanted to kissed you so damn bad.” Sahutnya. “Thousand out of ten was exactly cool, not gonna line. But if I add another zero to a million, might be the most coolest scale ever.” Ia menjelaskan di sertai gerak-gerik dari tangannya.

Aku tertawa, menunduk menatap kakiku. Namun ketika aku kembali mendongak untuk menatap mata Hansol, dia diam menjadikan aku objek fungsi penglihatannya.

Katanya, dia mau menciumku. Tapi, bukan rona merah bibirku yang di tatapnya, melainkan kedua manik mataku.

“You said you wanted to kissed me.”

“Hm..”

“Tapi kamu ngeliatin mataku?”

“Kamu kira kita ada di film rate 17 tahun ke atas? Yang sebelum mereka ciuman mereka saling lihat bibir masing-masing?” Hansol menaikan satu alisnya.

“Hansol, aku gak pernah tau soal hal hal begitu.”

“Your eyes..” Ia bersuara dengan diafragma yang halus. “Is burning red. Lebih merah dari bibir kamu. Its actually a screaming color. Its pretty.”

Aku diam. Tidak tau harus menjawab apa. Hanya mampu menatap seluruh lekuk sudut dimensi wajahnya. The way he thinks, make me wanted to breaking down on my knees.

Kini ia bergerak, mulai bersiap untuk naik ke atas motornya.

“Aku harus balik.”

“Hansol..”

“Hm?” Dirinya yang tadi sibuk, kini lagi-lagi harus menghentikan kegiatan bersiapnya dan kembali menoleh ke arahku.

“I will not give you a million out of ten for nothing.” Dirinya menyunggingkan senyum, mengistirahatkan tangannya di atas jok motor.

“Kamu mau apa?”

“Aku gak suka ditanya. You know what exactly it is, okay?” Aku melangkahkan kaki mendekat. Ketika jarak wajahku dan wajahnya hanya se-ruas jari, ketika nafasnya menyapu seluruh pori-pori wajahku, Ketika degup jantungku meledak-ledak di dalam sana, aku menggenggam bahunya kuat, kemudian berjinjit dan dengan cepat melayangkan kecupan singkat di ranum merah jambu bibirnya.

“That was my first.” Kataku.

“I’ll call you as soon as possible when I arrived at home..” Manik matanya belum berpindah sejak kejadian berdetik yang lalu, bahkan ketika aku sudah melangkah menjauh dari wajahnya. “..babe.”

Aku tersenyum. Hansol tau. Hansol tidak perlu aku beri tau. Ia tau apa yang aku mau dengan kasat kata.

“You know, itu pertama kalinya jantungku memompa darah sampai rasanya kepalaku mau pecah. I am so glad that you were the reason why. Aku balik dulu, I love you.”

Begitu kemudian ia berlalu menghilang di telan gelapnya malam.

Ini tidak masuk di akal. Aku mencium orang asing yang baru aku kenal di depan rumahku sendiri. Dan, menjadikannya pacarku? Hansol yang menjadikan aku pacarnya, kan? Terserah, apapun itu, Hansol tau, aku tau, kami tau, tanpa harus di beri tau.

-

Aku turun dari motornya, motor yang sama setelah bertahun-tahun menjalani hubungan bersama. Ketika aku ingin melepas helm milik Hansol, ia menahan tanganku.

“Tunggu..” Samar aku dengar suaranya akibat di bekap helm fullface yang sampai sekarang masih ada di kepalanya.

Dari kantong jacket denim yang di kenakan Hansol, ia mengeluarkan satu sticky notes, dan pulpen.

Hah? Batinku.

Helm fullface milik Hansol masih aku pakai, kemudian ketika ia selesai menulis, dengan cepat ia tarik satu lembar sticky notes tadi dan menempelkannya di depan helm yang aku pakai, akibatnya visualisasiku sedikit terhalang.

“Di baca di dalam..” Katanya.

Untuk kali ini, Hansol tidak meminta kembali helmnya, tanpa bersuara kemudian berlalu meninggalkan diriku.

Sampai di dalam rumah, Ketika aku menarik helm besar itu, aku baca tulisan di atas sticky notesnya, kemudian tersenyum lebar dengan detak jantung disana.

Lagi-lagi, Hansol dengan cara berfikirnya dan lagi-lagi membuatku jatuh.


Aku duduk di dalam kamarku, menatap kosong lantai dan memainkan jemari kakiku. Aku mendongak, menatap satu foto Hansol yang di bingkai rapi, serta stickynotes yang malam itu di tempelkannya di helm miliknya yang aku pakai.

Sebuah tulisan karya Aan Mansyur berjudul Melihat Api Bekerja. “Puisi bertamu ke dalam dirimu. Dia datang dari hal-hal sederhana. Dari bahaya. Dan pikiran-pikiran yang menolak waspada, dan kau jatuh cinta.”

Helmnya masih aku simpan di rak di dalam kamarku ini. Sesekali aku sapu dengan tisu dan tersenyum penuh perasaan rindu tanpa mampu meredamnya.

Aku melangkah, berjinjit dan menggenggam bingkainya kemudian. Mengelus wajah dalam dua dimensi di dalam sana, kemudian tersenyum getir.

Tanpa sadar, ada bulir air mata yang mulai memupuk, ada perih yang kembali terasa dan tenggorokan yang mulai tercekat.

Aku tarik bingkai foto tadi dalam pelukku, menangis.

“Hansol, I miss you so damn bad. 'Till this day passed by.”

6 Bulan yang lalu, aku harus menerima fakta bahwa dalam perjalanan pulang, Hansol meregang nyawa di jalanan kota saat hujan sedang turun dengan derasnya.

Pihak kepolisian menemukan satu Airpod berselimut bercak darah dan ponselnya yang retak. Katanya, Hansol berkendara sambil menggunakannya. Ditambah, jalanan yang licin akibat di guyur hujan.

Aku ingat, kali terakhir ia yang meminta aku pinjamkan alat untuk mendengar musik tersebut, katanya, “Aku kalau pisah sama kamu, suka kangen. Jadi di perjalan pulang aku mau dengerin lagu yang bisa ingetin aku sama kamu.”

“Message in A Bottle?”

“Mesaage in A Bottle.”

Ia melaju, melesat dan hilang di persimpangan. Sampai pada pukul 10 malam, ketika sama sekali tidak ada pesan ‘arrived home safely’ darinya, yang aku dapat adalah sebuah pesan dari adik perempuannya, Sofia.

‘Kak, abang kecelakaan. Ikhlas ya, Kak?”

Aku dua kali lebih runtuh dan hancur, ketika mengetahui bahwa satu lagu yang terakhir di mainkannya adalah ‘Message in A bottle.’ Satu lagu penuh kenangan manis dan kini berakhir tragis. Sampai detik ini, aku tidak mampu mendengar larik musik yang jadi kesukaanku tersebut.

Aku masih memeluk kuat bingkai dengan foto Hansol di dalamnya. Meraung menatap bagaimana teduh senyumnya dan cahaya matanya. Aku rindu, beratus-ratus hari tanpa sosoknya, menyiksa diriku.

Setelahnya, di bawah sticky notes dengan tulisan miliknya, aku tempelkan satu sticky notes dengan tulisan milikku. Masih menjadi karya milik Aan Mansyur,

“Di jalan menuju rumah aku ingin memikirkan semua bunyi-bunyian—bahkan yang paling jauh—dan tidak ingin mengerti apa-apa. Di rumah hanya ingin kurenungkan diriku dan seluruh yang tidak ingin kulupakan. Jika mimpi datang, aku ingin jadi jendela yang luas untuk langit, buku-buku, dan kau.”

Aku mundur beberapa langkah, masih dengan seguk yang tak kunjung mereda. Aku tatap lamat senyumnya yang tidak berubah dan tidak akan pernah berubah di dalam bingkai di sana.

“Hansol, I will love you as we find ourselves farther and farther from one another. And I will love you until your face is fogged by distant memory. I will love you even as the world goes on its wicked way.”

(“Aku selalu bersyukur kita bisa ketemu. I don’t know what exactly I am doing right now without you.”

“Ketemu orang lain? Ain’t me.”

They might be not like you.”

Might be better than me, Hansol.”

“Aku selalu mau kamu. Entah itu lebih atau kurang, aku maunya kamu.”)

—fin.