#10, the fallin' rain.


“If i lived a million lives, i would've felt a million feelings and i still would've fallen a million times for you.” -Robert M. Drake


“Seokmin!” Aku berjongkok, membiarkan anak kecil laki laki berumur 5 tahun berlari memelukku. Lucunya, di dalam rengkuhku, dirinya secara impulsif mengelus pundakku dengan tangan kecilnya, sesekali menepuk dan secara bergantian mencium pipi kanan dan pipi kiriku. Tidak lama, seseorang ikut muncul dari balik pintu.

Hayoung, Oh Hayoung.

“Diluar hujan deras banget.” Katanya, aku kini berdiri, memeluk dirinya yang sudah lama tidak aku jumpai. Erat sampai-sampai menimbulkan tawa di antara kita berdua.

“Gimana kabar kamu?”

“Baik, baik banget.”

“Seokmin?” Si kecil Seokmin menoleh, kemudian ketika tau bahwa subjek pembicaraannya adalah bukan dirinya, ia acuh dan kembali sibuk memainkan mobil mainannya.

“Baik.” Aku tersenyum mendengar jawaban Hayoung, kemudian buru buru mengganti pakaianku karena hari ini aku akan pergi mengunjungi Seokmin setelah waktu yang cukup lama. Lama sekali sampai-sampai untuk memvisualisasikan wajahnya saja aku harus di bantu oleh si kecil Seokmin.

Aku kemudian duduk di kursi penumpang dan memangku si kecil Seokmin, membiarkan Hayoung yang menyetir.

“Dulu tuh Seokmin bandel banget ya?” Tiba-tiba Hayoung membuka percakapan.

“Iya, selalu diteriakin Mamihnya.” Aku tersenyum kecil, mengawangkan pikiran dan mengingat bagaimana dulu sosoknya selalu menciptakan percikan api kecil di kepala Ibunya. Kemudian, berdetik kemudian, ada kenangan yang Kembali menuju masa lalu, menapak tilas Ketika agenda harianku adalah melihat batang hidung Seokmin yang selalu muncul di depan pintu rumahnya.

-

“Seokmin!” Seseorang keluar dari pintu rumah.

“Seok mau ngumpul dulu.”

“Kalau pulang bau rokok kamu mending gausah pulang.”

“Yaelah, Mih. Baru juga sekali.”

“Gausah pulang kamu, Seok!”

“Iya gak pulang.”

“Anak durhaka!” Seokmin tadi menarik zipper jaket kulitnya, berjalan keluar dengan wajah kusut kemudian menemukan manik mataku yang saat itu kebetulan sedang duduk di beranda rumah.

“Loh? Kamu pulang?” Sapanya.

“Iyanih, Seok. Kuliah lagi libur.” Aku yang tadi duduk di beranda rumah, kini mendekati pagar, dimana Seokmin berdiri. “Kuliah kamu, gimana?”

“Ngulang satu semester.” Katanya secara gamblang seperti tidak ada beban.

“Kok bisa?”

“Ya gitulah, doain aja gak di DO, atau gak bisa-bisa aku ditendang Mami dari rumah.” Ia tertawa, menampakan gigi kelincinya. “Duluan, ya?”

“Mau kemana?”

“Ada janji sama anak anak.”

“Seok..” Ia yang hampir melangkah, terhenti ketika namanya aku panggil lagi. “Jangan ngerokok”

Seokmin menghela nafas, menekuk bibirnya kemudian dengan berat ia bersuara, “Iya..”

Sosoknya adalah tetangga sekaligus teman masa kecil, rumahnya hanya berjarak 10 langkah dari kediamanku. Dirinya pindah kesini ketika umur kita sama sama 7 tahun, dan karena aku tidak memiliki teman yang sepataran, maka Seokmin berakhir menjadi teman disegala kondisi.

Ia jadi anak yang selalu mendorong punggungku di ayunan sebuah taman kanak-kanak, walaupun dengan wajah yang masam dan sesekali menggerutu. Tapi setiap kali aku meminta, Seokmin akan selalu merealisasikannya. Ia akan berjalan ke belakang punggungku, kemudian akan mendorongnya dengan pelan kemudian kencang sampai menimbulkan gelak tawa.

Semenjak lulus SMA, aku dan Seokmin tidak banyak lagi menghabiskan waktu bersama. Aku yang harus pergi ke Bandung untuk kuliah, sedangkan dia berkuliah disalah satu universitas swasta disini. Setelah 1 tahun aku tidak bertemu dengannya akibat sibuk kuliah dan sesekali berorganisasi, pagi tadi, dengan ramah ia menyapaku.

Senyumnya, cahaya matanya, segalanya masih sama seperti tiga ratus enam puluh lima hari yang lalu. Masih sama ketika aku masih berpijak di umur tujuh, masih Lee Seokmin.

Aku tidak bilang bahwa akulah orang yang paling tau dan paham soal Seokmin, tapi perihal menghisap batang penuh bahan adiksi itu, sudah aku sadari semenjak SMA dulu.

Aku ingat betapa kerasnya Seokmin menerima pukulan di wajahnya, yang disebabkan oleh Papi nya sendiri akibat ketahuan merokok. Aku juga ingat bagaimana dulu tercipta gaduh yang membuat Seokmin harus tinggal dirumahku selama beberapa hari untuk menghindari Ayahnya sendiri.

“Sakit banget ya, Seok?” Aku mengompres luka lebam di tulang rahangnya. Ia malah terkikik geli, sesekali meringis.

“Sakit, tapi lebih sakit lagi kalau dia harus mukulin Mami, ngatain Mami dan bilang kalau Mami gak becus jagain anak kaya aku.” Malam itu, dapat aku lihat bagaimana raut kesedihan di dalam manik matanya. Aku tau, Seokmin akan jadi yang paling tersakiti kalau perihal Maminya, walaupun ia bukan anak yang penurut seperti kelihatannya.

Kembali lagi, dapat aku lihat punggung Seokmin yang mengenakan jaket kulit tadi menghilang dibalik persimpangan, entah siapa anak anak yang dimaksudnya, tapi aku harap di umur yang sedang panas panasnya ini, dirinya tidak melakukan hal yang akan menjerumuskannya kepada kesalahan.

“Hati- hati Seokmin.”

Pada malam hari, aku mendengar jendela kamarku dilempari kerikil dari luar, ketika kaca jendelanya aku buka, Seokmin mengistirahatkan dagunya di atas tangan yang terlipat di pagar rumahku, menatap lurus ke diriku yang terkejut akan eksistensinya.

“Seokmin?”

“Aku udah lama gak ngelemparin jendela kamu.” Katanya.

“Kamu dari mana?”

“Habis main sama anak anak, kan tadi pagi aku udah bilang.”

“Kenapa gak langsung pulang? Nanti dimarahin Mami lagi.”

“Kata Mami juga gausah pulang.” Ia membuang nafasnya, kemudian kembali meletakan dagunya. “Kamu kapan balik lagi ke Bandung?”

“Hmm.. Bulan depan.”

“Lama dong berarti disini?”

“Iya, Seok. Lama..” Dirinya mengangguk dengan memanyunkan bibir.

“Mau main ayunan di TK lagi gak?” Ia menahan tawanya, berbicara sedikit berbisik karena malam sudah larut.

“Emang ayunannya masih ada?”

“Gatau,” Ia mengangkat bahunya, “aku juga udah ga pernah kesana.”

“Kamu selama aku gak ada, ngapain aja, Seok?”

“Main sama anak anak, atau gak..” Ia menggantungkan kalimatnya. “..nungguin kamu pulang?” Aku terdiam, 'ada yang menunggu ku pulang'. Sedikit senyum simpul tercipta di kedua sudut bibirku, kemudian aku menunduk sedikit menahan malu.

“Besok ada janji gak?” Tanyanya.

“Memangnya kenapa?”

“Besok.. Mau main?”

“Sama siapa?”

“Ya sama aku, atau kamu mau main sama anak anak?”

“Temen temen kamu? Enggak ah, Seok, kan aku gak kenal.”

“Yaudah.. Berdua.” Aku lagi lagi tersenyum.

“Boleh..”

“Oke, besok ya? Aku jemput.”

Aku kemudian tertawa menunduk, menggelengkan kepala kemudian menatap dirinya kembali. “Ngapain dijemput? Kan rumahnya cuman 10 langkah aja?” Ia terkekeh kecil, mengangkat bahunya.

“Tetep aja, aku jemput.”

“Yaudah, Seokmin.”

“Ketemu besok, ya?”

Esok hari, sebuah mobil berhenti di depan rumahku. Seokmin menurunkan kaca jendela mobilnya kemudian tersenyum dengan gigi kelinci dan matanya yang tiba tiba menghilang jadi lengkungan kecil. Akupun tersenyum, berjalan, membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang. Seokmin memperbaiki posisi duduknya, meluruskan badannya kemudian mengusap tekuknya canggung.

“Kamu mau aku ajakin nonton gak?”

“Mau, Seok. Ngapain aja dan kemana aja kalau sama kamu aku mau.” Senyumnya terukir lebar, kini ia menarik rem tangan mobilnya, kemudian berjalan meninggalkan kompleks perumahan.

-

“Dulu.. Asal kemana mana selalu main ke ayunan di TK deket rumah. Padahal waktu itu udah sama sama kuliah.” Kataku. Hayoung menaikan alisnya sedikit terkejut, kemudian terkekeh tidak percaya.

“Main ayunan? Udah kuliah?” Ulangnya lagi, masih terkejut. “Seokmin tuh emang ada ada aja, ya?” Balas Hayoung lagi, terbahak.

“Iya, dia tuh emang adaaaa aja agendanya yang kadang bikin kita gak nyangka.”

“Gak nyangkanya?”

“Ya gitu, anaknya hobi ngerokok tapi ngajak main malah ke ayunan.” Hayoung kembali terkekeh geli.

-

Decitan ayunan tua disebuah TK dengan pencahayaan remang menganggu pendengaranku dan juga pastinya Seokmin. Berjam yang lalu, kami habiskan waktu untuk menonton film keluaran terbaru di bioskop, makan di salah satu restoran baru yang ternyata makanannya biasa saja, kemudian keluar masuk jalan tol hanya untuk menikmati lagu yang di stel di stereotape mobil Seokmin.

Robbers milik the 1975, Perfect milik One Direction, dan lagu lagu lain yang berunjung meromantisasikan jalanan tol di malam hari yang sepi. Dan Seokmin bilang, agenda ini akhirnya dapat ia wujudkan.

“Kamu di Bandung pernah night drive juga kaya tadi gak?” Tanyanya.

Noo.. Disana aku kebanyakan jalan kaki kalau kemana mana.”

“Berarti ini yang pertama ya, night drive bareng aku?”

“Iya, Seokmin..” Ia mengangguk, rintik kecil air dapat aku lihat jatuh dari langit sana, dan dirinya yang mengawang.

“Mau hujan kayanya..”

“Seok..” Panggilku, lebih kepada bisikan. Kini ia menoleh, “Hm?”

“Yang tadi itu.. Kencan bukan?”

-

Disepanjang perjalanan, aku menyunggingkan sedikit banyak senyum perihal agenda agenda yang dulu selalu aku lalui dengan sosoknya. Perangai Seokmin yang selalu aku suka, bahan bercandaannya kalau aku sedang tidak dalam keadaan yang baik baik saja, segala hal tentang Seokmin, selalu mewarnai hari hariku yang abu.

Aku ingat,bagaimana dulu dia yang datang ke Bandung untuk menghadiri wisuda ku, membawa bouquet bunga yang besarnya hampir menutupi seluruh wajahku, tersenyum lebar dengan gigi kelincinya serta matanya yang berubah jadi setengah lingkaran ketika berfoto bersama.

Harusnya, fotonya aku simpan dengan baik. Seharusnya.

-

“Senyum yang lebar dong!” Katanya, menoleh ke arahku yang kesusahan membawa banyak bouquet bunga.

“Iya, Seok.. Ini panas banget, peganganku juga banyak banget ini.”

“Sini aku bantu.” Kemudian, setengah dari bouquet bunga ucapan selamat untukku berpindah ke tangannya. Kami kembali mengambil beberapa kali jepretan foto, tersenyum merekah, seakan hari bahagia ini tidak memiliki ujung, seakan tidak akan ada ribuan beban yang akan menghujami pundak setelahnya.

Tapi tidak apa, akan aku nikmati selagi ada Seokmin yang bela-bela datang jauh ke Bandung, hanya untuk sekedar mengabadikan kenangan bersamaku.

Aku mendongak kecil, menatap sudut matanya diam-diam. Tersenyum singkat dan merasa bersyukur, bahwa dalam langkah perjalanan hidupku, Seokmin ada disana ikut menggores tinta.

Satu tahun setelahnya, giliran Seokmin yang mengenakan toga dan dengan bangga memamerkan ijazahnya. Aku juga hadir dan bawakan ia sebouquet bunga serta hadiah selamat untuknya. Lagi lagi, tercipta foto-foto baru akan secercah senyum menawan miliknya. Milik kita.

Sama seperti menapak di satu tahun sebelumnya, aku lagi-lagi diam-diam menatap sudut mata milik Seokmin. Menyunggingkan senyum kecil dan rasa-rasanya ingin menangis.

Bukan menangis penuh dengan sendu dan luka, tapi ingin menangis karena bahagia. Menyaksikan Seokmin melalui semuanya, dan aku adalah yang paling bangga.

-

Gerimis pagi itu, cuaca gelap padahal jam sudah menunjukan hampir jam 11 siang. Aku baru saja kembali dari kantorku, ketika menemukan Seokmin dan teman temannya di sebuah lorong dekat persimpangan kompleks rumah, menghisap batang penuh nikotin serta beberapa botol minuman di atas tanah, ketika Seokmin mendapati eksistensiku, buru buru di lemparnya batang tadi dan di injaknya, kemudian menghampiriku.

“Gak kerja?” Tanyanya. Aku diam, belum menjawab. Sesekali melempar tatap ke sosoknya dan teman temannya di dalam lorong sana.

Aku menggeleng.

“Tapi tadi pagi aku lihat kamu berangkat kerja, kok udah pulang?”

“Seok..” Panggilku, kini menatap irisnya. “Papi.. Papi udah gaada, Seok.”

Seokmin tidak pernah punya hubungan yang baik dengan Ayah kandungnya itu, dan aku tau. Sedari kecilpun, aku tau Seokmin mendapatkan perlakuan yang tidak pantas untuk anak di umurnya yang masih belia, sampai ketika ia tumbuh dewasa, tidak jadi yang penurut dan mencari bahagianya diluar sana, dan yang harus menanggung segalanya adalah Ibunya.

Maminya yang dihujami pukulan dan dimaki kemudian mengatakan bahwa Maminya adalah perempuan yang tidak becus karena gagal mendidik Seokmin. Itu adalah kalimat yang selalu aku dengar sendiri, tanpa perantara siapapun, apapun, karena suara yang menggelegar dari rumah Seokmin, selalu mengembara sampai ke telingaku.

Sore itu setelah pemakaman, ketika semua orang sudah kembali, bahkan Maminya sendiri, Seokmin masih setia berdiri di atas tanah basah yang memeluk bagian dari dirinya, masih setia menatap nama keluarga yang diturunkan kepadanya itu diatas sebuah nisan.

Aku berdiri di sebelahnya, mengelus pundaknya. Ekspresinya sulit aku jabarkan, tatapannya kosong melompong, terus menatap pusara milik Ayahnya.

“Pih..” Bisiknya. “Makasih udah ngasih Seokmin nama keluarga ini.”

“Makasih udah ketemu sama Mami dan membangun keluarga yang.. sangat sangat tidak harmonis..”

“Seokmin..” Panggilku.

“Makasih atas luka fisik dan batin yang udah Papi ciptain buat Seokmin dan buat Mami..”

“Seok..”

Ia terjatuh di atas lututnya, “Memang gaada Pih yang bisa balas segala perbuatan Papi kecuali Tuhan.”

“Seokmin!”

Aku tau, Seokmin juga rapuh. Mau seberapa kejam perbuatan Ayah kandungnya tersebut, pasti dan akan selalu pasti terselip kasih sayang atas seorang anak kepada orang tuanya. Karena di atas lututnya, disela amarahnya, Seokmin menyembunyikan kedua matanya dengan tangan kemudian meraung, meremas tanah basah di hadapannya.

“Seok..” Kini, ia sembunyikan wajahnya di ceruk leherku. Dapat aku rasakan air matanya yang menetes dan mengalir disana, ada seguk yang tak kunjung mereda, bahu yang bergetar dan perasaan kacau di dalam hati. Seokmin hari ini, bukan dia yang menjadi cahaya bagi orang lain, Seokmin hari ini adalah dia yang membutuhkan cahaya.

6 bulan setelahnya, Seokmin akhirnya menunjukan banyak senyum merekah, entah itu ketika menyapaku di pagi hari ketika akan berangkat bekerja, atau ketika pulang di malam hari dan tidak sengaja bertemu denganku, atau ketika sesekali melempari jendela kamarku dengan kerikil, seperti malam ini lagi, misalnya.

“Malem! Kok belum tidur?” Ia berdiri dibalik pagar yang tidak sampai setingginya itu.

“Dibangunin kamu.” Balasku.

“Hehe, Sorry” Ia terkikik kecil, “.. Nih” Katanya menyodorkan kantung plastik. “Jajan.”

“Malem banget ngasih jajan, Seok. Ini apa? Ada acara apa jajanin aku?”

“Terang bulan, gaji pertama..” Ia sedikit menahan tawanya. Dari dalam, aku sedikit mendorong tubuhku keluar dari bingkai jendela untuk menggapai kantung plastik tadi.

“Makasih, Seok.” Ia tersenyum, mengistirahatkan dagunya di atas pagar dengan tangan yang ia lipat. “Nunggu apa lagi? Balik sana, kasian Mami sendirian.”

“Lebih baik Mami sendirian daripada sama Papi.”

“Seok..”

Ia membuang nafasnya. “Kadang tuh aku bersyukur banget Papi udah gaada” Kini bergantian, aku menarik nafasku, membuangnya pelan. “Iya, tau.., kamu tuh gasuka kalau aku ngomong kaya gini, tapi.. Udah gaada yang nyakitin Mami lagi, dan aku harusnya bahagia, dong?”

Aku tau bagaimana perasaan Seokmin, bertahun tahun harus menyaksikan Ibunya menderita dan disebabkan oleh Ayahnya sendiri membuat batinnya bergejolak, mempertanyakan soal benar atau tidak pemikirannya, atau mensyukuri kehilangan yang ia alami.

“Kalau gitu, sekarang bikin Mami bahagia ya, Seok?”

“Pasti kalau itu.” Ia tersenyum, entah untuk yang keberapa kalinya, tapi malam ini, senyumnya lebih lembut dan tulus dari senyum senyum lain yang dulu pernah ia tunjukan. “Makasih ya,” Ucapnya tiba tiba membuatku mengerutkan alis, bingung.

“Buat?”

“Udah jadi temenku dari kecil dulu, udah jadi sahabat, udah jadi segala galanya..” Aku menunduk, sedikit terharu atas pernyataannya barusan. “Aku..” Ia menggantungkan kalimatnya. “Aku.. Sayang sama kamu lebih dari apapun.”

“Seok..”

“Sebagai teman.. Iya. Makasih ya?” Ia kemudian berlalu. Meninggalkan aku di atas pijakanku sendiri.

(“Yang tadi itu.. Kencan bukan?”

“Kalau considered as a friend, kamu kecewa gak?”

“Enggak, lebih baik buat kita juga kan?”

“Iya, lebih baik buat kita.“)

Seokmin, adalah perasaan tanpa ujung bagiku. Segala apapun tentangnya, akan melukiskan kebahagiaan tersendiri yang tidak bisa aku coret dengan kata kata. Aku kacau hanya dengan melihat keindahan eksistensinya, namun, kekacauan itu tidak akan aku perburuk dengan harus mengungkapkan apa yang aku rasakan. Semuanya tergantung Seokmin, segalanya aku serahkan kepada Seokmin, dan dengan ia yang berdiri di depanku tanpa melakukan apapun, sudah lebih dari cukup untukku. Perasaanku, selamanya akan jadi urusanku.

Aku kembali ingat, di suatu sore ketika aku baru kembali dari kantor. Gerimis terus menghujam bumi, genangan dimana mana, dan suasananya yang muram. Biasanya sehabis turun dari ojek online yang aku tumpangi, aku akan berjalan barang sedikit untuk masuk ke perumahan, dan di tengah jalan, aku bertemu Seokmin.

Tapi dia tidak sendirian, pun tidak bersama teman temannya.

“Kenalin, Hayoung.. Oh Hayoung.”

Aku yakin, di langit sedang tidak ada petir, aku yakin bahwa jantung tidak akan bisa jatuh dari penopangnya, dan aku yakin, tidak mungkin ada benda yang bisa menghujam jantungku tapi membiarkanku tetap hidup, tapi sore itu, aku hancur. Ada sakit yang menggerogoti, padahal tidak ada yang menyentuh diriku sama sekali.

Foto hasil jepretan saat aku dan dirinya wisuda aku bakar sampai berakhir jadi abu. Aku meratapinya, tidak mungkin menyalahkan keadaan, dan tidak mungkin menyalahkan perasaan. Mungkin, yang harusnya aku salahkan adalah sedikit banyaknya ekspetasi yang aku gantungkan ke langit sana. Berharap semoga semesta memiliki sedikit hal magis untuk hidupku dan membiarkan cerita cintaku berjalan indah. Tidak, keajaiban tidak melulu soal hal tak kasat mata bernama cinta.

Namun, rasanya tidak pantas aku memusuhi seorang gadis yang sama sekali tidak mempunyai kesalahan apapun, terutama kepadaku secara langsung. Tapi, bohong kalau aku bilang tidak ada rasa iri didalam hatiku ketika melihatnya keluar dari rumah Seokmin, keluar dari mobil Seokmin, atau mengaitkan jemarinya dengan jemari Seokmin.

Kadang, ada perasaan yang membakar seluruh jiwaku.

Sampai suatu saat, pada satu titik, ketika aku memang harus mengakhirinya, memaafkan diriku sendiri, dan berdamai dengan keadaan, terutama perasaan. Aku terus berusaha menerima dengan lapang dadambahwa sejatinya perputaran bumi tidak selalu berporos padaku, bahwa ego di dalam diri, memang harus dipadamkan.

Di sebuah kamar hotel, melihat gaun pernikahan melilit manis tubuh Hayoung.

“Hayoung..” Panggilku. Ia menoleh, sadar akan eksistensiku.

“Hai..” Ia berlari kecil untuk memelukku, meletakan handbouquet-nya ke kasur, sedikit terseok akibat gaun yang mungkin terlalu ketat memeluk tubuhnya. “It is nice to see you.

Mee too.

“Udah ketemu Seokmin?”

“Belum..” Ia tersenyum, entah apa maknanya, tapi senyumnya sangat indah, Lagi-lagi membuatku teringat akan sosok Seokmin dan merasakan pilu. “Kamu.. Cantik banget hari ini.”

“Kamu juga, makasih ya udah mau jadi bridesmaid aku..”

“Maaf ya sempet aku tolak beberapa kali.”

It’s okay. Truly okay

“Hayoung..” Panggilku. Mengelus lengannya. “Kamu tau kan, kalau kamu akan selamanya jadi perempuan paling bahagia?” Ia mengangguk. “Kapanpun dan dimanapun, Seokmin pasti bakal selalu ada buat kamu, believe me and congratulations..”

Kini ia kembali memelukku, lebih erat dari pelukan sebelumnya, “Maaf.. Dan makasih banyak.”

-

Aku turun dari mobil, lagi lagi gerimis belum juga mereda. Si kecil Seokmin aku pakaikan jas hujan karakter kesukaannya, Dinosaurus, kemudian tangannya menengadah, meminta untuk di gandeng.

Kami berjalan, melangkah karena akhirnya sampai di tujuan. Hatiku bergejolak, tidak sabar untuk bertemu Seokmin.

Dari jauh, seorang lelaki dengan senyum dan tawa familiar mendekat, membuka kedua tangannya untuk merengkuh putra kecilnya yang selalu dipanggil ‘Seokmin’ dan terkadang membuat beberapa orang kebingungan, kini si kecil Seokmin sudah berada di gendongannya. Lalu, Hayoung ikut terjatuh di dalam rengkuhnya, ia menciumi puncak kepalanya berkali kali, kemudian beralih ke kedua pipi meronanya.

Kemudian, sosoknya bergantian menatapku. Ia menurunkan Seokmin kecil ke atas pijakannya sendiri, lalu tersenyum dan berjalan mendekat ke arahku. Senyum yang tidak pernah berubah, lekuk dimensi wajah yang selalu aku rindukan, cahaya matanya, segalanya. Ia memelukku, merengkuhku dalam peluknya setelah ratusan hari lamanya. Seokmin-ku, ini Seokmin-ku yang dulu dan aku rindu.

Namun, ketika aku berkali-kali mengerjapkan mata akibat embun air yang memupuk, semua hanyalah bayangan dan fantasiku, yang aku dapati hanyalah sebongkah nisan dengan ukiran nama Seokmin di atasnya. Senyumnya, lekuk dimensi wajahnya, cahaya matanya, tidak ada. Seokmin-ku, telah pergi.

Seokmin harus pulang, akibat kanker paru paru yang dideritanya, pada malam itu, saat hujan turun dengan meraung di luar sana, aku beringsut di atas kasur rumah sakit, menatap pada alat pendeteksi detak jantung yang intensitas gelombangnya semakin menurun.

Aku memeluknya, atas izin Hayoung, sepanjang malam.

Seokmin-ku yang ini, seribu kali lebih rapuh, tapi selalu menghantarkan hangat dan senyum merekah, berusaha memastikan bahwa ia baik baik saja, padahal tidak.

“Hey..” Panggilnya, mengelus rambutku, kemudian menyematkannya di belakang telinga. Mengusap pipiku dan menghapus aliran air yang terus menerus keluar dari mataku. “I am okay.” Katanya, aku menggeleng.

“Kamu.. Harus selalu bahagia ya?” Lagi-lagi aku menggeleng. “Makasih, udah mau tumbuh bareng sama aku, kamu cerita petualanganku yang paling hebat..” Suara Seokmin parau, berat, bibirnya tidak berwarna dan tubuhnya kurus.

“Maafin aku.” Sahutnya penuh dengan kesedihan. Tangisku semakin pecah, entah untuk yang keberapa kalinya aku menggeleng, tidak berkata, tidak bersuara.

.

.

“Aku-” Seokmin menggantungkan kalimatnya.

.

.

.

.

.

.

“Aku.. Sayang sama kamu lebih dari apapun.”

.

.

Seokmin lelah, Seokmin kalah. Ia petarung yang hebat, maka Tuhan harus menjemputnya dan menghadiahinya sebuah tempat untuk beristirahat.

Ini sebuah kisah, tentang petualangan cintaku dan bagaimana harus berakhir sepihak. Ini ceritaku tentang hujan, gerimis dan beribu genangan yang sampai kapanpun tidak akan pernah aku lupakan ada apa dibalik sendunya. Tentang seorang anak manusia dengan cerah senyum di kedua sudut bibirnya, cahaya matanya yang mengalahkan hangatnya sinar mentari, surai kelam nya yang selalu dihembuskan oleh angin.

Seokmin, Lee Seokmin namanya.

—fin.