25, pt.1
Enam belas, seragam putih abu-abu, dan kehidupan menyenangkan tanpa beban. Melangkahkan kaki masuk dari gerbang sekolah hanya memikirkan soal PR Matematika yang tidak kunjung rampung. Mungkin itu yang sedikitnya Wonwoo pikirkan ketika duduk di bangku SMA.
Tidak, Wonwoo selalu menyelesaikan PR Matematikanya, kecuali satu orang di ujung sana yang sedang grasak-grusuk dan bahkan saat ini menulis dengan cara berdiri dan menempelkan bukunya di dinding. Bahkan dasinya hanya dikalungkan tanpa di di ikat rapi, Mingyu, namanya Mingyu.
“Geser dikit anjing gua kaga keliatan ntu nomor 3.” Wonwoo sudah terlalu biasa menonton pertunjukan semacam ini di tiap pagi harinya.
Bagi Wonwoo, sulit mendeskripsikan teman sekelasnya yang satu itu. Atau mungkin, agar menjadi cakupan sempit dan tanpa perlu bertele-tele, Wonwoo akan sebut dia berandalan sekolah.
Jangan tanya sudah seberapa familiar Wonwoo dengan wajah kedua orang tua Mingyu. Terkadang setiap dua bulan sekali, seorang lelaki paruh baya dengan setelan rapi akan berjalan masuk ke pekarangan sekolah, dengan alis yang mengkerut dan wajah yang kusut, semua tau, itu adalah Ayah Mingyu. Lain halnya dengan Bundanya, wanita itu tetap akan menebar senyum, entah apa maksud dan makna dibalik itu.
Maka kemudian yang akan Wonwoo dengar dari mulut ke mulut adalah, “Mingyu ketauan merokok.”, “Mingyu cabut lewat belakang sekolah.”, “Mingyu alpa.”, “Mingyu ikut tawuran, tau.”, “Mingyu udah dua minggu berturut-turut gak ngerjain tugas.”, “Mingyu mau di drop out.”
Namun nyatanya, spekulasi yang terakhir tidak valid, buktinya, anak itu saat ini masih dengan fokus menulis PR nya di dinding sana.
Dibalik itu semua, dengan label Wonwoo yang adalah anak teladan dan patuh di sekolah, itu sama sekali tidak menganggunya. Wonwoo tidak pernah berdecak sebal kalau Mingyu harus ribut di kelas ketika dirinya sedang belajar sebelum ulangan harian di jam pelajaran berikutnya, Wonwoo tetap santai ketika Mingyu tidak sengaja melempar gumpalan kertas dan mengenai wajahnya, segala kelakukan Mingyu, tidak pernah mengusik diri Wonwoo sendiri.
“Dasi lo, pake yang bener.” Mingyu menoleh, kemudian mengapit buku catatannya di ketiak dan mulai menggapai dasi yang tadi sempat hanya dikalungkannya.
“Gabisa gue, pakein.” Wonwoo menatap lama dasi berwarna abu-abu di hadapannya yang sedang di sodorkan. Dengan cepat, dirinya meraih dan berdiri, memakaikan dasi untuk satu teman sekelasnya itu.
“Kalau gabisa, terus selama ini yang pakein siapa?” Mingyu sedikit menunduk, menatap temannya yang sibuk mengikat dasi di kerah baju putihnya.
“Nyokap.”
Wonwoo mendengus dengan sunggingan kecil di sudut bibirnya. “Kenapa?” Tanya Mingyu.
“Gak papa. Ngeliat kelakukan lo di sekolah tau-tau di rumah dasi di pasangin sama nyokap, yaa semua orang juga bakal ketawa.”
“Yaelah, emang anak kaya gue gak boleh dasinya di pasangin sama nyokap?” Kini, ada dasi yang sudah terikat rapi.
“Baju lo, masukin ke dalam celana.”
Alis Mingyu mengkerut. “Lo OSIS, ya?”
Wonwoo yang tadi berdiri, kini duduk meraih pena dan mulai menarik buku paketnya. Ia menggeleng. “Bukan.”
“Ngapain ngatur gue kalau gitu?” Helaan nafas jadi jawaban untuk Mingyu. Kini yang menghela nafas mendongak, bertemu wajah teman satu kelasnya.
“Biar rapi, Mingyu.” Kini bergantian, ada Mingyu yang menarik nafasnya, agak sedikit malas. Dirinya kemudian berjalan memutar, duduk di sebelah bangku Wonwoo yang kosong. Ia yang duduk memiringkan tubuh kali ini sempurna menatap lekuk wajah milik Wonwoo.
“Lo kenapa ambisius banget?”
Tanpa mengalihkan pandangannya dari buku paket, Wonwoo bersuara, “Soal?”
“Jadi yang paling-paling.”
“Emang salah kalau gue jadi yang paling-paling?” Mingyu sebal, dengan intonasi suara Wonwoo. Dirinya yang tidak berekspresi memiringkan sedikit kepalanya, membuat Wonwoo kini sepenuhnya menoleh.
“Gausah ngajakin gue kalau gitu.”
“Gak ada yang ngajakin lo.”
“Lo ngatur.”
“Urusan kemeja masuk ke dalam celana lo bilang gue ngatur?”
“Ya iyalah.”
“Kalau gak mau di atur gausah sekolah. Hidup di hutan aja sana.” Mingyu diam, memijit pelipisnya, agak tidak percaya dengan kalimat Wonwoo barusan.
Tanpa menjawab, Mingyu kini berdiri. Memutar tubuh dan berjalan menjauh. Di tengah langkahnya, ia terhenti, memutar tubuh, bertemu dengan kedua manik mata Wonwoo. “Makasih, dasinya.”
-
“Males ah.” Wonwoo membenamkan wajahnya di balik bantal sofa, ia merebahkan diri menghadap langit langit rumah.
“Anjir kapan lagi? Sekelas datang loh, Won.” Soonyoung menarik bantal yang tadi sempat menutupi wajah sahabatnya. Menurut Wonwoo, Kunjungan Soonyoung ke rumahnya untuk memberikan kabar barusan bagikan petir di siang bolong.
“Gue gak datang.”
“Datang, lo harus datang.” Soonyoung bangkit, berlalu dan berniat melangkah menuju dapur, namun sejenak terhenti. “Anjir, Won? Jangan bilang?”
“Enggak.”
“Enggak apanya? Terus alesan lo gak mau dateng apaan?”
“Yaaaa..” Wonwoo menyilangkan tangannya di depan dada. “Gue mager aja. Lo bayangin, gue harus milih baju, nyari topik buat ngobrol, belum lagi kalo ditanyain soal ‘kapan’, jujur, gue males banget, Nyong.”
Soonyoung menggelengkan kepala. “Itu cuma spekulasi lo aja. Belum tentu apa yang lo pikirin barusan beneran kejadian. Enjoy aja kali, Won. Have fun.” Kali ini Soonyoung memutar malas kedua bola matanya dan melangkah pergi menuju dapur, membuka kulkas.
“Lagian ya, masa sih, setelah bertahun-tahun lamanya, lo gak mau ketemu dia?” Wonwoo menoleh melihat sobat karibnya itu meneguk satu jus kotak yang telah ia tuang di dalam gelas. “Apa gak kangen?”
Sialan.
“Yakin lo? Gak dateng?” Kini Soonyoung duduk bersebrangan dari posisi duduk Wonwoo. Melipat kaki dan memeluk bantal, serta satu alisnya yang menungkik tajam, berusaha mencari validasi dari rekannya, bahwa memang, ‘Mager’ hanya alibi semata untuk kabur dan bersembunyi.
“Besok?” Soonyoung mengangguk.
“Ikut?”
“Jemput gue.”
Atas permintaan Wonwoo, pada esok hari, mobil Soonyoung dengan rapi terparkir di halaman depan rumahnya. Dengan gaya kasual, Wonwoo langsung duduk di kursi penumpang, membiarkan temannya yang satu itu membawanya menuju lokasi reuni.
Di Jakarta Pusat, ada semacam Restoran dengan tema makanan khas nusantara, Seribu Rasa. Wonwoo duduk di sana dengan menunduk, memainkan jemarinya dan menolak bertemu tatap beberapa teman SMA yang bahkan sudah hadir disana.
Soonyoung tenggelam jauh dalam perbincangan. Tawa akibat menapak tilas bagaimana kejadian kejadian di masa lalu, serta banyaknya kenangan yang rasanya sayang kalau tidak di ungkit kejadiannya.
Wonwoo hanya menghadiahkan senyum tipis, tidak mampu tertawa dengan hebat, ia hanya mendengar, sesekali mengangguk bahkan enggan untuk ikut menimpali. Padahal, di ingatannya, ia ada disana, di beberapa kenangan manis masa putih abu-abu, dan bagaimana masa-masa itu mampu membawa euforia yang membawa debar.
Satu teman Wonwoo menyahut, mengangkat tangannya ke udara, menyambut kedatangan seseorang. Kini Wonwoo pun ikut menoleh. Langkah kakinya serta eksistensi yang di tangkap manik mata Wonwoo, selalu sama, bahkan setelah beberapa tahun berlalu, sosok itu, seakan-akan masih sama seperti mereka di umur enam belas tahun.
-
“Mingyu!” Soonyoung berdiri cepat ketika mendapati eksistensi Mingyu yang melangkah memasuki kelas. Ia sibuk dengan dasinya.
“Apa lagi?”
“Yaelah, lu mah.”
Alis Mingyu mengkerut hebat. “Apaan si, Nyong? Mending lo daripada banyak bacot lo iketin nih dasi gue.”
Alis Soonyoung tidak kalah berkerutnya disana, menatap sang teman dari atas sampai bawah. “Lo.. gabisa ngiket dasi?”
“Gausah banyak tanya, iketin.”
Soonyoung memutar bola matanya malas. “Mending nih ye, lo perhatiin nih satu kelas..” Ia merangkul Pundak Mingyu, menunjuk ke seluruh sudut kelas. “..Siapa yang dasinya paling rapi, coi?”
Pupil mata Mingyu menangkap milik Wonwoo.
“Yak betul. Sono, ama Wonwoo.” Ia menepuk bahu Mingyu berkali-kali, dan tanpa dosa berjalan meninggalkan dirinya keluar dari kelas dan berlalu entah kemana.
“Nyong! Woi!”
Mingyu berdeham, ketika sahutannya tidak mampu mendistrak satu temannya itu. Dengan santai, dirinya berjalan menuju bangkunya sendiri yang tepat membelakangi Wonwoo.
“Gak mau gue iketin nih jadinya dasi lo?” Bulu kuduk Mingyu berdiri, padahal ia yakin bahwa Wonwoo sama sekali tidak berbisik di telinganya.
Mingyu lantas menoleh menatap Wonwoo di belakang, “Lo mau?”
“Ya kenapa enggak? Kemarin juga gue iketin.”
Dirinya berbalik sekejap, berbicara pada dirinya sendiri. Si bodoh Mingyu, bahkan urusan kecil semacam mengikat dasi harus jadi alasan di balik sebuah argumen semacam ‘daripada gue di marahin, mending..’
Mingyu kembali memutar tubuh kebelakang. “Yaudah sini, iketin.”
Alis Wonwoo berkerut. “Yang butuh gue, apa lo?”
“Ah! Lo banyak pertimbangannya urusan dasi kaya gini.”
“Yaudah, terserah.”
Setelahnya Mingyu diam, menimbang banyak pilihan di kepalanya dengan kaki kanan yang terus menerus terhentak.
“Hansol! Pasangin dasi gue.” Seorang lelaki dengan wajah ke-bule-bule-an mengkerutkan wajah dengan bingung.
“Apaan sih lo, malu sama surat peringatan. Udah numpuk malah gabisa ngiket dasi.”
“Anjing lo sensi banget kenapa dah? Datang bulan?” Mingyu membuang kasar nafasnya.
“Chae, iketin dasi gue dongg~” Kali ini ia memanyunkan bibirnya, memohon pada satu gadis yang sedang asik membaca novel remaja di sudut kelas.
“Gue cewe anjir, gak pake dasi kaya lo.”
Kini Mingyu buntu. Banyak, ada banyak pilihan sekarang, hanya saja tidak ada harapan di tiap-tiap pilihannya.
Dengan memutar bola mata, helaan nafas pelan, ia bangkit dan berdiri di sebelah meja Wonwoo. Mengetuk dengan tangan yang mengepal dan membuat Wonwoo terkesiap, mendongak menemukan Mingyu yang berdiri dengan wajah memelas.
“Pasangin.”
“Tolong..”
“Ah elah, lu mah..” Entah untuk keberapa kalinya Mingyu membuang nafasnya terus-menerus, akhirnya bersuara, “Tolong pasangin dasi gue, Wonwoo.”
Tanpa satu ekspresi pun, Wonwoo berdiri, mulai mengikat dari sini ke sana. “Itu basic manner, Mingyu. Tolong, Maaf, Makasih.” Jelas Wonwoo pelan.
“Lagian lo kenapa sebelum sekolah gak minta tolong nyokap lo pasang dasi, sih?” Mingyu menolak menatap orang di hadapannya, memilih menatap lurus ke arah jendela kelas yang menjurus lurus menuju lapangan upacara sekolah.
“Nyokap gue udah berangkat kerja dari jam 6.”
“Di rumah lo emang gak ada pembantu?” Kali ini, dengan alis yang menungkik tajam, ia tatap sosok satu itu dengan terkejut, tidak percaya atas pertanyaannya barusan.
“Lo kira gue anak konglomerat?”
“Emang bukan?”
“Gila kali lo, Won. Kaga.”
“Oh, kirain.”
Wonwoo mundur berapa langkah, menatap hasil lipat melipat dasi yang kini sudah sepenuhnya terpasang dengan rapi di kerah baju Mingyu. Dirinya mengangguk pelan, mengamati hasil karyanya sendiri. Ya, setidaknya sebelum terlepas dan tidak lagi menjadi bentuk dasi pada umumnya ketika jam istirahat nanti.
“Udah nih?” Mingyu menunduk berusaha menemukan dasi di kerah bajunya yang sudah dipasang.
“Udah. Beres.” Wonwoo bersiap untuk duduk.
Dengan sedikit dehaman kecil, dan tangan kanan yang mulai masuk ke dalam kantong celana, serta elusan di tekuk, Mingyu bercicit, “Makasih..”
Tanpa menoleh barang sedikit pun, Wonwoo menggumamkan kata ‘sama-sama’ bahkan agak sedikit sulit di dengar oleh pendengaran Mingyu sendiri.
Tukainya kini bergerak ingin melangkah pergi, namun terhenti ketika satu suara meraup indra pendengarannya.
“Mingyu..” Panggil Wonwoo.
“Iya?”
Wonwoo diam cukup lama, menimbang haruskah ia bertanya perihal rasa penasaran di kepalanya. “Gue denger dari Soonyoung sore ini lo mau tawuran?”
Bangsat, Soonyoung. Batin Mingyu.
“Hah? Manaada.” Mingyu terkekeh, mengibaskan tangannya di depan wajah.
“Lo gak capek apa, Gyu, nyari-nyari masalah terus? Padahal masalah gak di cari juga dateng sendiri.”
“Gue gak mau tawuran. Apaan sih lo, Won. Ngaco.”
Di sana, dapat Mingyu lihat bagaimana frustasinya helaan nafas milik Wonwoo. “Gue bukan siapa-siapa sih emang, tapi gue temen lo. Gue gak mau lo harus nyakitin banyak perasaan, Mingyu. Terutama nyokap dan bokap lo yang udah capek ngeliat kelakuan lo.”
“Lagian biar apa sih tawuran? Lo mau mencari validasi kah dari orang-orang bahwa lo itu keren? Atau masalah yang gak kelar-kelar dari zaman kapan tau sama sekolah seberang? Yang bahkan gak masuk di akal sampe-sampe harus tawuran?”
Mingyu masih memberikan ruang untuk Wonwoo berbicara.
“Masih ada banyak waktu buat lo memperbaiki diri dan buang kebiasaan gak jelas lo kaya gitu. Gue gak berusaha ngatur hidup lo, disini gue cuman..” Wonwoo menggantungkan kalimatnya sejenak. “..gue cuman gak mau lo kenapa-napa.”
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa gak mau gue kenapa-napa?”
“Ya siapa yang rela ngeliat temennya kenapa-napa?”
Mingyu mengangkat cepat bahunya, “Hansol rela kok ngeliat gue kenapa-napa.”
“Sol!” Sahut Mingyu memanggil satu temannya yang saat ini sibuk dengan ponsel.
“Paan?”
“Gue kalo kenapa-napa pas tawuran lo rela gak?”
“Bukan urusan gua.”
Mendengar jawaban yang baru saja tercetus lewat mulut Hansol, Mingyu kembali mengalihkan pandangnya kepada Wonwoo dengan satu alis yang menungkik. “See? Hansol aja gak peduli.”
Kini Mingyu berjalan mendekat beberapa Langkah. “Lo harusnya kasih alasan yang jelas, Wonwoo. Soal kenapa lo yang gak rela temen lo yang satu ini kenapa- napa pas tawuran. Atau mungkin alasan jelas yang lain, kenapa gue gak harus nyerang sama temen-temen gue di saat lo cuma sekedar temen sekelas gue yang kerjaannya tiap hari mantengin buku paket gitu.”
Kali ini, giliran Wonwoo yang diam.
“Awas, nanti kacamata lo bisa-bisa makin tebel.”
Wonwoo diam bukan karena menimbang bahwa perkataan Mingyu sepenuhnya benar soal dirinya. Ia diam, karena ia tidak akan menemukan titik henti dalam berargumentasi dengan Mingyu yang keras kepala itu.
Acuh. Ia hanya menatap punggung Mingyu menghilang dari balik daun pintu, kemudian kembali bertumpu pada buku paket di hadapannya.
Sebagai teman, memangnya salah kalau Wonwoo sedikitnya khawatir terhadap perangai berandal seorang Mingyu? Sebagai teman, ia juga sedikitnya mengharapkan yang terbaik. Selalu. Entah itu Mingyu, maupun teman temannya yang lain yang mengambil andil dalam hari-harinya.
Di sore hari, dengan satu jajanan yang sedang dikunyah Wonwoo dan sebotol air mineral yang sama sekali belum terbuka, ia temukan Mingyu duduk di trotoar pinggir sekolah bersama Yugyeom, teman sepatarannya dari kelas sebelah. Mungkin sedang menunggu rombongannya yang lain.
Langkah Wonwoo mendekat, membuat Mingyu dan Yugyeom mendongak menatap Wonwoo yang berdiri tegak, masih mengunyah.
“Lo ngapain disini?” Mingyu bersuara.
Bukannya menjawab, dirinya kemudian menyodorkan sebotol air mineral tadi yang sama sekali belum di buka, membuat Mingyu maupun Yugyeom menungkikan alis dengan tajam, bingung.
“Biar semangat tawurannya.” Keduanya yang masih duduk di trotoar otomatis menunjukan raut wajah aneh dan mempertanyakan apa yang Wonwoo maksud. “Nih, ambil.” Ulang Wonwoo lagi.
“Apaan sih lo?”
“Yaelah, dibilangin supaya tawurannya makin semangat. Ambil.” Air Mineral yang di sodorkannya tidak kunjung berpindah tangan, maka Wonwoo tinggalkan di atas jalanan beraspal, tepat di ujung sepatu hitam legam milik Mingyu, kemudian ia memutar tubuh berlalu.
“Won!” Acuh, si empunya nama terus melangkahkan kaki menjauh. Sampai ketika pendengarannya mendengar langkah lain yang mengikuti.
“Maksud lo apaan?” Kini, ada satu lelaki yang lebih tinggi dari Wonwoo yang berjalan bersampingan.
“Apaan?”
“Dih.”
“Gue dukung lo buat tawuran, salah lagi?” Wonwoo terpaksa harus menghentikan langkah kaki tatkala tubuh besar Mingyu berhenti tepat di hadapannya, menghadang.
“Tadi pagi gue ngelarang lo gak suka, ini gue dukung lo juga gak suka? Ekspresi muka lo sama aja dari yang tadi pagi sama sekarang.”
“Lo aneh, tau gak?”
“Enggak. Gak mau tau juga gue. Minggir.” Langkah yang di ambil Wonwoo dari samping kanan Mingyu, tetap di halangi, begitupun sebaliknya. “Kali ini apa lagi mau lo?”
“Lo tau gak, dengan sikap lo yang kaya begini, gue jadi gak punya semangat lagi buat nyerang sama temen yang lain.”
“Bagus dong kalau gitu.”
“Bagus?”
“Iya, bagus.”
“Lo kenapa sih, Won?”
“Gue kenapa? Emangnya ada yang salah?”
“Lo siapa, Wonwoo? Apa ranah lo sampe harus bertingkah kaya gini?”
“Loh? Ranah gue sebagai temen lo buat ngedukung segala passion yang lo bangun, salah?” Mingyu mengacak rambutnya kasar, menggigit bibir bawahnya.
“Lo tau gak, apa yang lo lakuin barusan itu secara gak langsung sarkas-in gue?”
“Tau. Sengaja. Biar lo sadar, kalau selama ini yang lo lakuin tu salah.”
Mingyu diam di atas pijakannya sendiri, ada percikan api di dalam tubuhnya.
“Lo gak perlu nanya gue siapa, Mingyu. Lo gak perlu mempertanyakan ranah gue apa sampe harus ngelakuin ini. Karna kalau gak ada yang mulai buat nyadarin lo, lo bakalan tersesat dan gak nemuin jalan keluar sama sekali.”
Kini, ada yang redam di sudut hati.
“Minggir, gue mau pulang. Lo lanjutin aja agenda lo, kasian ditungguin Yugyeom.”
Wonwoo benar, Mingyu adalah salah.
-
Pelajaran Kimia pada pagi hari yang tenang mendadak jadi sedikit ricuh akibat sahutan demi sahutan yang ditimbulkan oleh beberapa siswa dan siswi Ketika mendapati eksistensi seorang Kim Mingyu yang duduk dengan tenang tanpa beban di bangku kelasnya. Tidak terkecuali, pak Bambang, seorang guru Konseling yang menatap Mingyu tidak percaya.
“Saya bermimpi, kah?” Sahut lelaki yang berumur kira kira 40 tahun keatas itu ketika melihat Mingyu.
“Kenapa, Pak?” Seseorang yang sedang jadi puncak perbincangan seluruh antero sekolah pun mendadak ikut bingung.
Pak Bambang menepuk kedua pipi Mingyu pelan secara bergantian.
“Kamu.. Mingyu, toh?” Logat kental Jawa nya tidak hilang.
“Y-Ya iya, Pak. Saya Mingyu.”
“Loh..”
“Kenapa sih, Pak?”
“Kok kamu disini, toh? Ndak di kantor Polisi?”
“Lah? Ngapain saya di kantor polisi, Pak? Ditilang juga enggak.” Pak Bambang mengelus dagunya pelan, masih menatap Mingyu yang dirinya sendiri juga sedang kebingungan.
“Kamu kabur dari kantor polisi, ya?” Mata Mingyu membulat, tidak percaya atas pertanyaan yang baru saja di lemparkan oleh guru dihadapannya.
“Yah.. si bapak ngaco. Lagian saya ngapain pak di kantor Polisi? Kurang kerjaan aja saya pak.”
“Ya bukannya biasanya itu kerjaan kamu?”
“Apa pak?”
“Kamu tau ndak? Yugyeom dan geng geng kamu itu di tangkap polisi kemarin sore gara-gara tawuran? Lha kamu ketua gengnya kok malah disini duduk enak.”
“Lho, kok malah saya ketua gengnya sih, Pak? Mana ada.”
Guru Kimia yang awalnya mengajar dan menulis di papan tulis, kini ikut terjun dengan permasalahan yang sedang terjadi.
“Lho.. bukan kamu toh, ketua gengnya?”
“Bukan, Pak.” Pak Bambang memanyunkan bibirnya sambal mengangguk, tidak membuang tatap pada satu siswa di hadapannya.
“Lha terus kamu disini ngapain?”
“Yaelah pak, Disekolah ngapain sih pak? Main kelereng?”
Bincang demi bincang yang sedang terjadi di depan sana, menghadirkan sedikit senyum di kedua sudut bibir Wonwoo.
Jam istirahat, ketika Wonwoo baru saja keluar dari bilik kamar mandi, ditemukannya kepulan asap yang berasal dari bilik lain. Membuatnya mendobrak pintu dan menemukan seorang Mingyu yang sebegitu paniknya sampai membuang puntung ke dalam toilet.
“Anjing!” Mingyu mengelus dada, menopang tubuh pada dinding. “Tai lo, kaget gue.”
“Lo gak ketangkep tawuran tapi malah ngelunjak ngerokok di kamar mandi.” Sosok tinggi itu keluar, sedikit menyenggol bahu Wonwoo dan mencuci tangannya di wastafel.
“Mumet gue.”
“Kenapa? Karena gak ikutan ketangkep?” Kini tubuh tingginya berbalik menatap Wonwoo.
“FYI aja nih ya, gue gak ikutan bukan karna apa yang lo bilang kemaren, tapi emang karna mood gue tiba tiba rusak. Jadi jangan berbangga hati.”
“Terserah.” Wonwoo mengangkat tinggi bahunya. “Yang penting, gue bangga sama lo. Apapun alasan dibalik ke-tidak-ikut-serta-an lo sama agenda kemarin.” Ia berbalik, hendak meninggalkan kamar mandi.
“Won..” Dan tubuhnya mendadak terhenti, berputar kembali, menemukan Mingyu. “Kantin, mau gak?”
“Ayo.” Wonwoo melangkah dan berlalu cepat, memimpin di depan di ikuti Mingyu yang ikut melangkah di belakang.
“Won..” Wonwoo lagi lagi berhenti secara mendadak dan memutar tubuhnya, sedang orang yang mengikuti dirinya hampir secara kencang menabrak.
“Apa lagi?”
“Hmm..” Mingyu mengelus tekuk. “Gue tuh.. Biasanya pulang sekolah makan nasi goreng kampung di Seribu Rasa..”
Alis Wonwoo mengkerut. “Terus? Hubungannya sama gue?”
“Sebenernya gak biasanya juga si, cuman kalau lagi kepengen gue pergi sama Yugyeom.”
“Poinnya?” Mingyu menunduk, enggan menatap lawan bicaranya.
“Gue paling anti nongkrong sendiri. Jadi.. ikut gue? Mau gak? Ntar pas pulang sekolah. Gue lagi pengen nasi goreng kampung-nya Seribu Rasa..”
Kedua alis Wonwoo terangkat, ia mengangguk pelan, kemudian menyahut. “Kalau dibayarin.” Langkahnya cepat meninggalkan Mingyu.
“Gampang! Ikut ya?”
Tidak menjawab, Wonwoo hanya mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi ke udara, tanda bahwa ia setuju.
-
Pada satu sudut restoran paling terkenal dengan menu khas Nusantara itu, dua orang mengambil tempat, dengan canggung berdiam diri.
Wonwoo kemudian meletakkan tas ranselnya ke atas meja, membuat orang di hadapannya memasang raut wajah bingung karena Wonwoo malah mengeluarkan beberapa buku catatan dan buku paketnya.
“Lo mau belajar?”
Setelah menurunkan tasnya kembali dan meletakkannya di kursi kosong sebelahnya, Wonwoo bersuara, “Latihan yang disuruh Bu Revin tadi tinggal satu nomor yang belum gue selesain, keburu bel istirahat kan tadi, terus di jadiin PR.”
Wonwoo bahkan tidak mendongak ketika pelayan mulai meletakan daftar menu di atas meja, hanya Mingyu yang sibuk menerima dan tersenyum sembari menggumamkan kata terimakasih.
“Yaudah kan judulnya Pekerjaan Rumah, bukan Pekerjaan Restoran.” Ucap Mingyu. Kalimatnya barusan otomatis mendistrak si lelaki dengan kacamata yang duduk di tulang hidungnya, ia diam cukup lama.
“Masuk akal.” Balas Wonwoo. “Tapi tanggung, satu lagi.”
Mingyu menyerah, ia hanya membuang nafasnya pelan sembari membuka menu dan mulai menulis pesanannya sendiri.
“Lo mau apa?”
“Samain aja.”
“Lah..”
“Iya, samain aja sama yang lo pesen.”
Lagi-lagi, helaan nafas menyambut pendengaran Wonwoo, Mingyu smenuruti keinginan satu orang di hadapannya yang bahkan sedari tadi hanya sibuk berkutat dengan buku dan angka disana, pelajaran Matematika.
“Pedes gak?” Dirinya melempar tanya, gelengan kemudian menjadi jawaban yang Mingyu terima.
“Ni serius ya sama, gue gak mau nerima koment—”
“Iya. Sama.”
Lenggang, Mingyu agak lama menatap Wonwoo yang sedikitpun sama sekali tidak berpaling dari bukunya, memanggil Waiter dan menyerahkan apa-apa yang jadi pesanan mereka.
“Lo seneng banget belajar?”
Wonwoo mengangkat tinggi bahunya, “Bukannya emang kewajiban? Bukan berdasarkan seneng atau enggak?”
“Ya iya sih, cuman masa di segala kondisi lo menghalalkan berbagai cara cuman buat nyelesain satu nomor doang?”
Akhirnya, Wonwoo menarik pena dari putihnya kertas dan menutup catatannya. Menyelipkan di dalam buku paket tebal kemudian menegak satu gelas air putih yang sudah semenjak tadi disuguhkan.
“Kalau dirumah, biasanya gue udah males dan ujung-ujungnya tidur.”
“Oh..” Mingyu mengangguk kecil. “By the way.. Makasih ya udah mau temenin gue.”
Wonwoo hampir menyemburkan air yang tertampung di dalam mulutnya, sedikit tersedak dan terbatuk.
“Gampang ya lo ngucapin makasih ternyata.”
“Emang tampang kaya gue salah ya kalau gampang ngucapin makasih?”
“Y-ya enggak, cuman.. Agak aneh aja.” Anak laki-laki dengan kacamata itu membuang pandangannya jauh keluar jendela, enggan menatap lawan bicaranya.
“Yugyeom sama temen-temen yang lain di drop out.” Pernyataan Mingyu sontak membuat Wonwoo membulatkan matanya serta mulut yang menganga tidak percaya.
“Sumpah lo?” Anggukan kecil di terima Wonwoo. “Terus gimana?”
“Ya terus gimana? Ya di keluarin.”
“Lagian sih. Biar apa coba pake acara tawuran-tawuran gitu? Dipikir keren? Enggak sama sekali.”
“Lo kan gak tau latar belakang permasalahannya, Won.”
“Ya emang setiap permasalahan harus diselesaikan dengan tawuran kaya gitu?”
“Ya terus? Harus pake apa? Lagian ya, yang selalu ngajakin ribut tuh anak sekolah yang sana. Anak-anak kita mah kalem.”
“Kalem tapi tetep aja di ladenin.”
Seribu Rasa, namanya. Sebuah restoran yang selalu jadi favorit Mingyu tidak hanya di akhir pekan. Untuk pertama kalinya, ada teman lain yang bersedia duduk dan jadi lawan bicara anak keras kepala dan berbagai perangai yang membangun dirinya.
Argumentasi, alis penuh kerut serta ekspresi dan raut wajah bingung. Setidaknya, semua hal yang tidak memiliki bumbu manis mampu menjadi larik awal sebuah benang panjang dengan banyak simpul serta kusut yang menjadi lampiran hidup keduanya.
Seribu Rasa, mungkin lagi Seribu makna, atau, Seribu cerita.
-
Itu adalah yang paling Wonwoo ingat. Bagaimana sosok ini yang sekarang sudah sepenuhnya duduk tepat di hadapannya dan saling melempar canda dengan teman lain.
Waktu, benar-benar yang paling egois. Tidak mau ditunggu dan akhirnya berlalu.
“Won..” Sapanya.
“Hai. Apa kabar?”
Ia mengangkat bahunya tinggi. “Never been better.”
“Good for you.”
“Eh woi. Foto dulu dong fotooo.” Soonyoung mengeluarkan ponselnya dari kantong. “Sol, Sol. Ambil dari sono.”
“Ah elu, nyusahin mulu dari jaman sekolah.”
“Yaelah, sekali-kali inimah kapan lagi coba tetep ngumpul walaupun udah bangkotan.” Hansol memutar malas bola matanya, tetap menerima ponsel yang Soonyoung sodorkan.
Hansol kemudian mengangkat tinggi layar ponsel, memantulkan figure orang-orang yang hampir bertahun tidak lagi bercengkrama. Yang tidak lagi saling melangkah di lapangan upacara dengan celana abu-abu, yang tidak lagi saling melempar jawaban ketika ujian dari sana ke sini, yang tidak lagi cabut saat jam pelajaran menuju kantin, dan yang tidak lagi berlarian di koridor sekolah menghindari satu guru BK karena alasan razia dadakan.
Waktu, memang benar-benar tidak mau ditunggu.
Wonwoo memajukan tubuhnya, merapat kepada teman-teman yang lain agar dirinya terpantul di dalam kamera. Namun, secara tidak sengaja, ia harus mengelus pelan kepalanya serta sebuah ringisan, akibat serudukan kepala orang lain di depannya yang tidak mau kalah untuk muncul di dalam kamera, Mingyu.
“Sorry, Won.”
-
“ANJING KIM MINGYU!” Soonyoung meringis memegangi bahunya, tidak terkecuali beberapa orang yang tertidur di lantai, lebih tepatnya akibat tertimpa tubuh besar seorang Mingyu.
“Lagian lo kenapa harus manjat kursi sih, pe’a.” Yang di salahkan mengelus dahinya, dirinya pun sedang meringis kesakitan.
“Gua gak keliatan, bangsat. Itu adalah satu-satunya cara supaya gue keliatan di foto.”
Tidak terkecuali Wonwoo, memegangi kepalanya. Ia yakin, kepala Mingyu membenturnya sebelum semua orang-orang ini tersungkur ke lantai dengan tubuh Mingyu yang bertahta di paling atas.
Pada hari ini, siswa dan siswi bersuka cita. Sekolah libur belajar, mereka hanya memainkan games dengan lawan antar kelas untuk merayakan hari ulang tahun sekolah.
Hari ini, sekolah lebih bebas dari biasanya.
Dan yang membuat acara ini lebih unik adalah, ulang tahunnya, bertepatan dengan hari valentine.
“Nyong..” Selepas kejadian tadi, Mingyu menepuk bahu Soonyoung yang berdiri di daun pintu kelas. “Jihoon tuh..” Dagu Mingyu menunjuk satu lelaki disana yang sedang bercengkrama sambil terbahak entah menceritakan apa dengan temannya yang lain.
“Tau gue Jihoon, terus apa?”
“Lo gak nyiapin apa-apa?”
“Nyiapin apa?”
“Ini 14 Februari, anjir.” Soonyoung mengerutkan alisnya.
“Tau gua, terus apa?” Mingyu memijit pelipisnya pelan.
“Kasih apa kek, coklat kek.”
Soonyoung yang tadi berdiri menyamping tidak mau menatap Mingyu kini akhirnya berhadapan. “Lo sendiri?”
Mingyu mendengus sambil tertawa kecil. “Gua mau ngegebet siapa pake acara beli coklat?”
“Auk deh siapa kali. Lo kan anaknya paling gak bisa di tebak.”
Di lain sisi, Wonwoo dengan satu novel di tangannya memperhatikan dua anak manusia yang sedang berbincang di muka pintu sana. Atau, beberapa temannya yang dengan suka cita menceritakan bagaimana sebuah kisah anak remaja yang mampu menggelitik perut.
Dan ia tidak peduli.
Berusaha tidak mau peduli.
Mungkin menyenangkan membayangkan bagaimana lucunya kalau ternyata diam-diam ada orang lain yang menyukainya. Tapi, Wonwoo sendiri paham bagaimana perangai yang tumbuh di dalam dirinya sendiri. Tidak ada yang mau dengan seseorang yang menghabiskan waktu berjam-jam menghitung dalam pelajaran matematika, atau seseorang yang menghabiskan waktu membaca novel remaja di sudut kelas.
Wonwoo terlalu cupu dan kisah kisah remaja penuh kupu-kupu itu tidak mungkin terjadi pada dirinya.
Maka, ia lanjutkan agenda agenda membosankannya dengan mengurangi harap.
Hidup manusia memang tidak henti-hentinya di penuhi dengan ragu, ke-tidak-mungkin-nan yang di elu agar harap tidak tumbuh dengan subur, serta acuh pada banyaknya tanda dunia.
Maka Wonwoo akhirnya terdiam, ketika menatap satu coklat di lokernya pada siang hari ketika jam sekolah sudah selesai. Mendelisik berusaha menemukan hadir entah siapapun, nihil.
Ragu, mungkin tidak selamanya menjadi hambat, sebuah mustahil pun tidak mungkin selamanya tidak terjadi, dan tanda dunia, selalu ada di tiap detik waktu melangkah.
Wonwoo meraihnya, dengan senyum kecil memasukannya ke dalam tas dan melangkah meninggalkan kelas, sembari menerka, siapa tokoh yang akan jadi pokok pikirannya selama satu minggu kedepan, atau mungkin, lebih.
Pada satu penghujung minggu, Wonwoo punya les tambahan. Langit sama sekali tidak berwarna dan hanya di dominasi oleh abu, mendung. Dirinya buru-buru berlari menuju halte bus terdekat tatkala rintik kecil hujan mulai jatuh, dan benar saja, ketika langkahnya terhenti di tempat tujuan, hujan turun dengan derasnya.
Ia mengangkat tangan kirinya dan menedelisik jam tangan yang melingkar disana, “Kira-kira bus terakhir datangnya lama gak ya?”
“WONWOO!!” Wonwoo sontak menoleh, mendapati sosok tinggi Mingyu yang sedang mengangkat ranselnya di atas kepala, agar terhalang dari hujan.
“Lo ngapain disini, Mingyu?” Mingyu memukul tasnya beberapa kali, membersihkan rintik hujan yang tadi memupuk disana.
“Gue?“ Sembari duduk dan melipat kaki, ia sadarkan pundaknya. “Abis main.”
“Dari pulang sekolah tadi?” Anggukan dari sosoknya jadi jawaban yang Wonwoo terima. “Lo main apaan dari siang sampe sore gini baru selesai?”
Mingyu mendengus dengan sunggingan tawa di bibirnya, menatap Wonwoo yang terus berdiri semenjak tadi ia sampai di halte. “Ya main, namanya juga main, ya kali main cuma lima menit.” Jawaban agak ketus dari Mingyu hanya menghadiahkan putaran bola mata malas dan tatap yang enggan berjumpa, Wonwoo lebih memilih menatap air yang jatuh dari langit sana.
“Lo betah banget berdiri, duduk.”
“Ya biasa aja nyuruh duduknya.”
“Nyuruh biasa aja tuh yang kaya gimana?”
“Ya menurutlo aja nyuruh yang biasa aja kaya gimana.” Kini, tangan Wonwoo menengadah, membiarkan rintik air dari atap memukul telapak tangannya. Senggang banyak tercipta, Mingyu hanya mampu menikmati punggung orang yang sedang asik dengan agenda kekanakannya sampai sampai mulutnya tertutup dengan rapat.
“Jadi lo.. enak ya, Won?” Begitu kalimat itu meluncur keluar, Wonwoo sontak membalikan badan. Ia sama sekali tidak bersuara, tidak menjawab apa yang baru saja jadi hal yang dirinya dengar, Ia hanya menatap sosok yang kini lamat menunduk memperhatikan sepatu hitam miliknya.
“Pinter, punya banyak temen dan kayanya gak punya beban sama sekali.” Wonwoo menaikan alisnya tinggi, terbahak kecil dan mengambil tempat di kursi disebelah Mingyu, menyisakan satu yang kosong agar tercipta jarak di antara mereka.
“Lo tau apa soal gue sih, Mingyu? Sampe seenaknya ngomong gitu?” Wonwoo memainkan jemarinya. “Bukannya enakan lo, ya? Kayanya urusan temen banyakan lo deh, terus lo juga gak perlu pusing-pusing buat mikirin masa depan? Maksud gue, kasarnya nih ya, orang tua lo pasti mampu buat biayain lo kuliah di kampus swasta kalau semisal udah gak ada jalan.”
“Gue? Kalau jadi gue enak, mungkin selama ini gue gak harus mati-matian belajar supaya bisa kuliah di kampus negeri dan cari beasiswa.” Sambung Wonwoo.
Wonwoo salah, begitu hati kecilnya bersuara. Ia salah harus menukar kisah hidupnya dengan orang asing di sebelahnya ini. Wonwoo salah, ia tidak seharusnya mempercayakan ceritanya kepada Mingyu.
“Sorry.” Wonwoo bangkit, membelakangi Mingyu dengan mengambil posisi seperti bermenit yang lalu. Ia genggam erat tas ranselnya, sambil memandangi hujan yang tidak kunjung reda. “Harusnya lo gak perlu dengar cerita gue.” Cicitnya.
“Gue suka ngeliat lo.”
Apa?
“Maksud gue.. lo punya positivity yang cara lo nyampeinnya itu beda dari yang lain, dan gue suka itu.”
Masih menoleh pada sosok yang saat ini menatap dalam pupilnya, Wonwoo tidak menujukan raut wajah apapun.
“Makasih, Wonwoo.”
Kini, alis Wonwoo perlahan mengkerut. “Lo aneh.”
“Kenapa aneh?”
“Ya aneh,” Wonwoo kembali pada agenda yang sama, enggan menatap Mingyu yang duduk di belakangnya dan lebih memilih menatap air yang terjun satu per satu. “Mungkin.. Aneh aja, sekarang udah jarang ngeliat lo masuk BK.”
Mingyu terbahak hebat.
“Ditambah ngomong ngelantur kaya tadi.”
“Gue gak ngelantur anjir, Won. Gue serius.” Tangan Wonwoo kembali menengadah, menyambut air yang turun dari atap, membiarkan alirannya membasahi telapak tangannya. Dan satu tangan lain yang tiba-tiba muncul disebelahnya.
Mingyu mendongak, menyaksikan bagaimana derasnya air yang turun dari atap halte dan yang dari langit sana. Jakunnya bergerak naik dan turun, serta cahaya matanya yang berbeda dari bermenit yang lalu.
“Rumah temen lo, disekitar sini?” Tidak menoleh ke arah Wonwoo, Mingyu mengangguk.
“Lo sendiri? Disini ngapain?”
“Les, tadi.”
Wonwoo mengangguk, ia tidak memalingkan wajah, masih sibuk menatap sosok yang lebih tinggi beberapa centi dari dirinya.
“Won..”
“Hm?”
“Lo.. Pernah pacaran, gak?”
Degup jantung Wonwoo mendadak tidak karuan, apalagi ketika Mingyu menoleh dengan raut wajah serius. Yang Wonwoo mampu lakukan hanya mengedipkan matanya beberapa kali, mencerna pertanyaan yang baru saja terlempar.
“Eng-engak. Belum pernah.” Jawabnya patah-patah.
“Kenapa?”
“Kenapa nanya ‘Kenapa?’ “
“Memangnya gue gak boleh nanya?”
Wonwoo diam.
“Ya gak papa sih, Won. Kalau lo emang gak mau jawab. Chill.” Mingyu terbahak. Kini bergantian, sosok Wonwoo yang menatap lekuk wajah lawan bicaranya dari sisi samping.
“Kalo lo tanya kenapa, gue secara personally bakal bilang kalau gue tuh anaknya se-membosankan itu. Lo liat aja, kerjaan gue belajar melulu, baca komik ataugak novel remaja. Hahaha.” Wonwoo kemudian menarik nafasnya pelan. “Lagian, gue tau kok kalo gue bukan tokoh utama di hidup gue, jadi penulis skenario cuman fokusin pemeran utamanya. Gue? yaudah, setidaknya ada di plot udah bikin gue seneng.”
“Kenapa lo mikir kalau lo bukan pemeran utamanya? Kan ini hidup lo? Ya pasti lo lah pemeran utamanya. Dan balik lagi sama kaya yang gue bilang. Lo punya positivity yang cara nyampeinnya tuh beda dari orang kebanyakan, so, menurut gue lo gak se-membosankan itu.”
“itu opini lo, Mingyu. Manabisa prespektiflo sama dengan orang lain?”
Mingyu diam sebentar dan mengangguk pelan. “Iyasih, masuk akal.”
“Lo sendiri? Punya pacar?”
Yang ditanya menggeleng dengan sudut bibir yang sedikit tertarik kebawah. “Buat sekarang gak ada sih.”
“Kenapa?”
“Soalnya gue ngerasa lagi having fun aja sama hidup, jadi gak butuh pacar.”
“Lo having fun ketika sama sekali gak ketauan merokok di kamar mandi dan gak jadi langganan BK?” Mingyu terbahak kencang sampai harus membuang kepalanya kebelakang.
“Lo bangga gak, ketika alasan gue having fun udah bukan lagi hal hal kaya gitu?”
Dengan sudut bibir yang terangkat, Wonwoo membalas. “Bangga, Mingyu. Karna akhirnya temen gue bangkit dan gak melulu nemuin kesenengan dari negativity.” Mingyu menyunggingkan senyum lebar, menatap dalam manik mata lawan bicaranya, sebentar saling tatap.
“Ini kemauan gue, lo gausah ge-er.” Wonwoo meringis sekaligus terkejut bukan main, ketika Mingyu secara terang-terangan mencubit hidungnya. Bahkan kacamatanya menjadi miring akibat guncangan kecil di wajahnya tadi.
“Siapa yang ge-er?!” Balas Wonwoo sedikit berteriak. “Jangan sentuh-sentuh muka gue!”
“Dih.. ngambek.”
“Mending lo pulang.”
“Gimana mau pulang? Hujan.”
Enam belas umur mereka. Masih belum punya waktu menerka apa yang ada ketika beranjak dewasa. Hujan, halte bus dan senyum rekah satu anak manusia dan gigi taringnya, sedang yang satunya masih menggerutu sebal.
Wonwoo kini sudah jarang mendengar sahutan di speaker yang biasa memanggil nama Mingyu, atau komplotannya yang lain. Setiap hari, biasanya Mingyu hanya akan bergelut argumentasi dengan guru yang mengajar mata pelajaran, dan berakhir berdiri di depan kelas.
Tidak jarang, dirinya mengambil tempat duduk di bangku kosong sebelah Wonwoo, sampai sampai membuat teman sebangku Wonwoo sendiri jadi kesal, maka, Mingyu akan mengeluarkan sebuah alasan “gue mau belajar sama Wonwoo, lo kan udah pinter. Duduk aja di sana.”
Namun, terkadang nalar dan akal pikiran manusia tidak berjalan sesempit itu.
“PDKT-an lo?” Mingyu mengerutkan alis mendengar pertanyaan Soonyoung untuknya.
“Sama siapa anjir?”
“Halah.” Soonyoung mengibaskan tangannya di depan wajah. “Lengket banget belakangan gue liat-liat.”
“Wonwoo?”
“Tuh, lo aja sadar sendiri.”
Mingyu tertawa kecil. “Enggak, gue gak lagi PDKT-an.”
“Terus itu apa namanya? Duduk berdua, kikik-kikikan, lo ajakin makan juga ke Seribu Rasa.”
“Ya emang hal-hal kaya gitu selalu berhubungan sama PDKT-an? Enggak, kan?”
“Lo yakin?”
Alis Mingyu berkerut. “Yakin apa?”
“Ya, yakin gak PDKT-in?” Mingyu yang duduk di bangkunya sendiri, perlahan menoleh jauh kebelakang sudut kelas. Menatap satu anak lelaki yang sedang membenarkan letak kacamatanya dan fokus pada buku di tangannya. Mingyu tidak yakin, entah itu buku cerita, atau buku dengan berpuluh-puluh angka yang menghiasi di dalamnya.
“Gue nyaman temenan sama dia, Nyong. Gue gak bisa mastiin kalau memang gue sama dia bisa lebih.”