Untuk Mahardika, semoga langkahmu selalu menuju pada cahaya.
Tahun 2013, adalah pertama kali aku bertemu dengan anak manusia dengan segala perangai yang selalu membawa menuju sebuah tenang, Mahardika Adyaksa.
Aku menghabiskan seluruh enam tahunku bersama dengan sosoknya di satu divisi perusahaan dimana kami menghabiskan pagi hingga malam hanya untuk mengais pundi demi pundi uang agar dapat bertahan hidup, dan Dika, mampu membuatku melewatinya tanpa sebuah beban di pundak.
Segala gelagatnya, tingkahnya pada siang hari ketika lapar melanda, ada pula laporannya setiap menginjakkan kaki di kantor pada pagi hari : “Aku mules, ee’ dulu ya sebentar.”
Ia adalah yang paling cerah, ia adalah yang paling sukar merasakan sebuah kesedihan. Atas dasar itu, ada pertanyaan yang selalu mengembara dalam kepalaku : “Dik, kamu kalau selalu jadi cahayanya orang-orang, yang jadi cahaya kamu waktu gelap, siapa?”
Sore itu, di depan jendela kaca di lantai 5 ruanganku dan Dika, ia tersenyum kecil, matanya menatap jauh ke langit yang lamat mulai berubah jadi gelap.
“Memangnya aku seterang itu?” Aku mengangguk kecil mendengar pertanyaannya. Lanyard miliknya masih menggantung disana, kemeja putih dengan lengan yang ia lipat seperempat bagian yang mampu memperlihatkan urat-urat tangannya ketika masuk ke dalam kantong celana.
“Kamu tau kan, setiap orang selalu ketawa bahagia kalau ngobrol sama kamu.”
“Kamu sendiri?”
“Aku?”
“Hmm. Bahagia gak kalau ngobrol sama aku?” Ketika pertanyaan itu terlontar dari mulutnya, aku kelu. Ia mengalihkan pandangnya dari langit menuju diriku, darahku serasa mendidih.
“Mungkin?” Dika terbahak.
“Kok malah mungkin?” Ia menarik nafasnya dalam-dalam, kembali membuang pandang jauh ke luar jendela. “Kita... kira-kira sampai kapan ya gini terus?”
Aku tiba-tiba mendadak paham perihal maksud Dika soal pertanyaannya. Soal sebuah jawaban yang di nantikan, soal sebuah akhir, soal kehidupan baru yang mungkin jauh lebih baik. “Kamu.. gak bahagia, ya, Dik?”
Ruangan yang sewaktu itu hanya diisi olehku dan dirinya mendadak jadi lebih hening. “Coba aku tanya, definisi bahagia menurut kamu, apa?”
Aku tarik nafasku pelan, mulai bersuara. “Relatif, Dika. Entah sewaktu kamu nolong orang yang dompetnya jatuh di jalan, atau bisa jajanin orang terdekat kamu pakai duit hasil jerih payah sendiri. Atau lagi, ada satu orang yang berhasil bikin kamu lupa perihal masalah hidup, dan bikin kamu ketawa atau senyum sepanjang hari. Itu, bahagia.”
Kini bergantian, aku memutar tubuhku, menatap lurus pada tubuhnya yang tegap. “Dik, kamu gak perlu mempertanyakan bahagia kamu ada dimana, bahagia kamu selalu ada, tinggal kamu sendiri yang harus bisa ngerasain. Ya?” Ia menoleh, tersenyum kecil.
“Kalau kamu tanya kita sampai kapan bakal gini terus, sampai cukup, Dika. Sampai ada waktu dimana akhirnya kita udah nemuin jalan yang lain dan mungkin bahagia lain dengan intensitas yang lebih dari ini. Sampai di detik itu, kamu cukup buat nikmati hidup yang gak selalu lurus ini. Nikmati sampai kamu muak dan akhirnya.. Pulang.”
“Liang?”
“Liang. Atau mungkin kalau kamu beruntung, ada yang nemenin bahagia kamu di samping kamu.” Kini giliran aku yang membuang pandang jauh ke depan sana, langit sudah gelap. Dari ekor mataku, dapat aku lihat tatap Dika yang terpaku menujuku, membuat jantungku di dalam sana tergoncang kesana kemari.
“Makasih.” Cicitnya.
Dika hampir berlalu meninggalkan tempat ia berpijak yang tadi tepat berada di sampingku. Ia terhenti ketika suaraku memanggil namanya. “Dika..”
“Hm?”
“Kalau kamu gak bisa nemuin terang di jalan kamu yang gelap..” Aku menelan ludah agak berat. “Aku bakal coba bantu kamu.”
Tanpa jawaban, dirinya tersenyum dan melangkah keluar. Hilang di balik pintu lift yang kemudian tertutup rapat.
-
Selalu, seperti biasa ditiap harinya Dika akan membuat orang-orang disekelilingnya terbahak hebat di tengah rumitnya permasalahan kantor serta dokumen-dokumen yang menumpukan diri seiring berjalannya waktu. Di tengah ia menatap layar komputernya, ia akan melempar lelucon yang membuat seluruh karyawan yang ada di ruangan sampai terpingkal-pingkal. Tidak terkecuali aku.
“Aelah ada-ada aja Lo, Dik.” Masih dengan sisa tawa, Mahesa yang merupakan orang asli Surabaya yang juga di tempatkan di divisi yang sama denganku terus menggelengkan kepalanya dengan tatap yang tidak terlepas dari layar komputer.
Dika kemudian menoleh kepada jam dinding, dan secara bergantian kepadaku. “Makan?” Katanya tanpa suara melainkan gestur seakan-akan ia memasukan makanan menggunakan sendok kedalam mulutnya.
“Boleh.” Balasku, pun tanpa suara.
“Dimana?” Masih setengah berbisik.
“Disebelah?” Dika mengacungkan jempolnya, tanda setuju.
Disebelah kantor ada satu warung nasi padang yang selalu jadi favorit. Terutama untuk aku dan Dika. Ada banyak obrolan tanpa ujung yang tak jarang tercipta, sering kali membuat kami lupa bahwa masih ada banyak pekerjaan yang menumpuk di atas meja, serta tidak lupa pula, ocehan bos yang memanaskan telinga.
Di satu sudut warung nasi padang di mana kami sedang duduk dengan panas yang mulai merambat keseluruh tubuh, Dika membenarkan posisi duduknya.
“Kamu, kalau punya kesempatan bisa ngerealisasiin mimpi yang bener-bener udah kamu dambain, kamu bakal apa?” Aku mulai menyendok makanan di dalam piring di hadapanku, tersenyum dan mulai berfikir.
“Apa ya..”
“Kamu bakal ninggalin semua ini, gak?” Fokusku yang semenjak tadi berada pada tumpukan nasi serta lauk pauk yang mengelilingi mendadak teralihkan kepada dirinya.
“Hmm..” Aku, masih belum siap dengan kalimat yang akan aku rangkai menjadi sebuah kalimat untuk jawaban.
“Memangnya, mimpi kamu apa?”
“Semenjak kuliah dulu, aku mau jadi designer.” Mata Dika membelalak hebat, kunyahannya mendadak jadi pelan.
“Oh ya? Aku baru tau soal itu.” Katanya. Aku tersenyum menekuk bibirku, mengangguk kecil. “Jadi, kalau ada kesempatan, mau diambil?” Tanyanya kemudian.
“Ya mau lah.. tapi..”
“Tapi?”
“Kalau.. kan kalau..” Aku angkat tinggi bahuku.
“Kamu lagi ngeraguin diri kamu sendiri?”
Aku membuang nafas, “Gak gitu, Dik. Tiba-tiba aku kepikiran soal ninggalin semuanya kalau semisal aku dikasih kesempatan buat mimpiku.” Selera makanku tiba-tiba menghilang.
“Loh memangnya kenapa? Kan itu mimpi kamu, iyakan?”
Kini aku sepenuhnya mendongak menatap kedua manik matanya. ‘Bagaimana mungkin, Mahardika, kalau kamu gak ada buat isi hari-hariku lagi?’
“Hei? Ditanyain kok malah bengong?” Aku terbahak kecil ketika pikiranku kembali. Entah untuk yang keberapa kali, aku angkat bahuku tinggi, kini tak lagi mampu menyuap nasi, hanya menjadikannya sebuah objek untuk aku aduk sana sini.
“Kalau kamu? Gimana, Dika?”
“Aku?” Matanya menari di langit-langit, berfikir. “Aku, gak bakal kemana-mana.” Begitu jawabnya.
“Kenapa?”
“Aku gak punya mimpi kaya kamu.” Jelasnya lagi, menunduk dalam. “Disini, sebenernya aku nemuin mimpiku. Kedengerannya gak masuk akal sih. Lembur, jadi bahan pokok amarahnya bos besar, kerjaan numpuk dan gaji yang segitu-segitu aja.” Ia membuang nafasnya dengan sebuah sunggingan senyum kecil di sudut bibirnya. “Tapi, kalau aku konsisten, aku juga bisa jadi bos besar, iya gak sih?” Ia terbahak kemudian.
“Setidaknya kamu tetep mau berjalan, Dik. Gak papa, aku bakal tetep dukung kamu.”
“Aku juga.”
Mungkin Dika tau perihal perasaanku. Mungkin, Dika tau soal gerak-gerikku. Mungkin, Dika selalu tau, tapi ia berlagak seakan tidak mau tau.
Satu sore, aku temukan ia dengan satu batang rokok yang dihisapnya. Sesekali ia tiup kepulan asap yang keluar dari mulutnya ke udara. Kala itu, di basement kantor ketika jam kerja sudah selesai dan aku berniat untuk pulang.
Aku tatap lamat punggungnya yang berdiri tegak membelakangiku sembari menunduk memainkan ponselnya. Sayup-sayup aku dengar alunan musik dari sana.
“Dik..” Ia terkesiap, buru-buru membuang puntung rokoknya.
“Belum pulang?”
Aku menggeleng. “Ini mau pulang.”
“Nunggu apalagi?”
“Gak nunggu apa-apa, tiba-tiba ngeliat kamu aja.” Dika diam, menunduk menatap sepatunya.
“Rokoknya kenapa di buang?” Ia mengusap tekuknya serta pandangan yang ia alihkan pada satu batang rokok yang ia lempar tadi, bahkan belum habis setengah.
“Ng.. gak papa.”
“Lagi mumet, ya?” Dika menoleh. “Gak papa, bakar aja satu lagi.”
Langit Jakarta mendadak jadi lebih indah. Sesekali aku mengibas asap rokok yang tiba tiba saja menghampiri diriku.
Aku dan Dika diam cukup lama, entah menunggu apa. Kira-kira, ada dua sampai tiga batang rokok yang habis di hisapnya.
“Mau aku anterin pulang?” Dika tiba-tiba bersuara.
Aku membisu.
Tentu, tentu saja jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin pulang diantarkan oleh dirinya. Memainkan satu musik kesukaanku ditengah ramainya jalanan ibukota serta lampu-lampu gedung yang menyala terang.
Tentu, aku mau meromantisasikan hal itu bersama Mahardika.
Namun aku menggeleng pelan.
“Aku bisa naik Transjakarta, Dik.”
Manik mata Dika menatap milikku lamat, dirinya pun ikut terdiam agak lama.
“Gak papa?”
Dengan mantap aku mengangguk meyakinkan dirinya. “Gak papa, Mahardika.”
Dika terkikik geli sambil tertunduk, kemudian mendongak kembali. “Hati-hati, ya?”
Aku melangkah meninggalkan dirinya. Berjalan menyusuri lapangan belakang kantor, trotoar jalanan sampai akhirnya menemukan Halte.
Disepanjang langkah, Dika bermain didalam pikiranku, berlarian seakan tidak menemukan lelah.
Tentang, bagaimana kalau perputaran dunia, berputarnya bukan seperti ini? Tentang, kalau saja waktu mau menunggu.
Ketika pertama kali bertemu dengannya, ia kaku. Mengajakku berbicara, ia kaku. Ia bingung tentang apa yang akan ia sampaikan, maka ujuk-ujuk terbahak dan mengusap tekuknya. Aku ingat.
Sekarang, ia adalah yang paling leluasa berbicara. Ia adalah yang paling leluasa mengecohiku, yang paling leluasa bercanda denganku dan yang paling leluasa terbuka denganku.
Enam tahun, bukan waktu yang sebentar soal menghabiskan waktu bersamanya. Dika, acap kali mengambil andil dalam perputaran hidupku.
Aku terduduk di bangku Halte, memainkan jemariku kemudian mulai menapak tilas tentang bagaimana sebuah pertikaian yang secara harfiah adalah sebuah masalah tanpa jalan keluar. Tentang aku, tenang Mahardika. Tentang kami yang tidak mampu bersama. Tentang tatap mata yang sarat makna.
Kita, terlalu lama menatap mata satu sama lain untuk akhirnya mengetahui sebuah fakta, bahwa ada yang lain yang telah bertahta.
Ada yang lain yang telah menggaris bagian teritorialnya dan menolak untuk siapapun mengambil alih.
“Lima tahun, Dik. Lima tahun bukan waktu yang sebentar.” Di rooftop kantor waktu itu, bahkan rasanya ingin aku buang tubuhku dan terbang di bawa angin malam.
“Kamu mau apa? Karna aku gak mau apa apa.”
Itu adalah satu kalimat paling pedih yang pernah aku terima dari mulutnya. Seakan akan segala apa yang telah ia perbuat, yang telah ia lakukan sampai-sampai aku memupuk rasa, adalah suatu yang tidak patut dipermasalahkan.
“Dika..”
“Gak bisa.” Cicitnya. “Aku gak punya alasan buat ninggalin dia. Aku sama dia selalu baik-baik aja, dan kamu.. kamu tau itu, kan?”
“Terus selama ini sikap kamu buat aku maksudnya apa, Dik? Tatapan mata kamu itu buat aku maknanya apa? Perhatian-perhatian kamu yang gak pernah aku liat sama temen-temen kamu yang lain, maksudnya apa, Dika?”
Dika kelu. Ia membisu. Tidak satupun kata yang mampu meluncur dari mulutnya.
“Dika.. selama ini.. kamu itu apa?”
Tanpa sadar, bulir air mata mulai menciptakan sungai di kedua pipiku.
Aku tau, semenjak pertama bertemu pun, sosok ini sudah melabuhkan hatinya pada satu wanita yang tidak pernah aku jumpai, bahkan aku menolak melihat bagaimana bentuk lekuk wajahnya.
Aku sewaktu dulu menolak dengan keras perihal perasaan serta gelagat seorang Mahardika untukku. Karna bagiku, apa-apa yang ia lakukan adalah sama besarnya dengan teman-temannya yang lain.
Agar supaya aku mampu menyelamatkan perasaanku sendiri.
Lambat laun, sikapnya mulai berlebihan.
Dan tanpa merasa berdosa, aku jatuh begitu dalam.
Ada rasa di dalam lubuk hatiku, bahwa aku ingin merangkul lengannya, bahwa aku ingin jemari kami saling bertaut, bahwa ada aku yang ingin memeluknya, dan aku yang sangat-sangat ingin bersaksi bahwa ia adalah milikku dan aku bisa mencium setiap bagian dari sudut wajahnya.
Pikiranku terkadang mulai menjadi liar. Aku bayangkan bagaimana jikalau aku berakhir menjadi miliknya dan kemudian membangun sebuah rumah tangga. Aku selalu yakin, kalau ia yang jadi setengah dari hidupku, maka bahagia selalu menyertaiku.
Namun malam itu, Mahardika hanyalah seorang manusia dengan beribu kesalahan dan kemauan yang terkadang menuju satu sifat yang paling kotor dari sudut jiwa manusia, sebuah keegoisan.
“Aku sayang kamu.” Dika, mampu mengatakan hal itu tanpa rasa bersalah sekalipun. Tanpa ada rasa dosa yang mengepul dari tatap matanya.
“Dik—“
“Kalau aja..” Ia berseru. “Kalau aja waktu mau nunggu barang sebentar, aku mau ketemu kamu duluan daripada dia. Aku mau kamu.”
Aku mau Dika.
Kala itu aku menangis hebat. Tersungkur di atas pijakanku sendiri, menutup wajahku dengan telapak tangan.
Berdetik kemudian, dapat aku rasakan bahuku yang digenggamnya kuat.
“Aku mau kamu..” Lirihnya, yang membuatku semakin menangis sejadi-jadinya.
Aku jatuh cinta, namun sayangnya, kepada satu orang yang telah menemukan rumahnya. Yang telah menemukan tempat untuk ia mengadu dan aku hanyalah sebagai pengganggu.
Pikiranku kembali menapak dimana aku terduduk sendiri di Halte. Menunggu Transjakarta yang sedari tadi belum muncul. Mataku menatap kosong, jauh melanglang buana kemana-mana.
Benar, kalau-kalau waktu masih mau menunggu, apa mungkin malam ini ada aku dan Dika yang meromantisasikan jalanan Ibukota dengan satu musik yang sedang jadi kesukaan banyak orang pada masa ini?
Entah.
Intinya, aku benci tatap mata penuh cinta yang ia hantarkan.
“Kunci rumah.” Aku sontak mendongak, menemukan Dika yang sedang menyodorkan satu kunci dengan sebuah gantungan. “Ketinggalan di atas meja kamu.” Sambungnya.
“Makasih, Dik.” Dirinya kemudian mengambil duduk menciptakan jarak, mengistirahatkan kepalanya.
“Untung aja belum pergi kamu.”
“Hm..”
“Lain kali jangan teledor.”
“Iya..”
Sunyi senyap lama tercipta, bahkan sejenak sama sekali tidak ada kendaraan yang lewat kala itu di jalanan Jakarta.
“Mau aku anter aja, gak?”
Kini aku menoleh, menghantarkan perasaan sedih lain lewat ekspresi wajahku dan Dika paham itu.
“Dika..”
“Maaf.”
Kembali senggang. Tiba-tiba Dika mulai menggumamkan sebuah lagu.
“Tetaplah menjadi bintang di langit.” Favoritnya.
Ketika aku menoleh, aku temukan ia yang masih mengistirahatkan kepalanya serta mata yang tertutup, dan senyum kecil yang mengembang. Suara teduh temaram miliknya, dengungan yang menggema ditelingaku tanpa ada satu suara mendistraksi, benar-benar indah. “Agar cinta kita akan abadi.”
Ulu hatiku, serasa di hujamkan sebuah benda tajam.
“Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini, agar menjadi saksi cinta kita..” Matanya terbuka, ia menoleh dan menemukan irisku. “Berdua..”
Mataku panas sejadi-jadinya.
Aku mau Dika. Dengan seluruh kekurangan yang aku punya sebagai seorang manusia, aku mau seorang Mahardika untuk jadi milikku.
Ketika perasaanku harus hancur dan runtuh atas sebuah realita tentang aku dan Mahardika yang tidak mampu bersama, ada satu realita lain yang membuatku semakin paham bahwa dunia adalah memang yang paling kejam.
Dika, mendapatkan surat mutasi yang mengharuskan dirinya pindah menuju anak perusahaan lain di kota Bandung.
“Dik..” Di jam makan siang, ketika semuanya sudah menahan lapar semenjak pagi, aku menemukan Dika di Rooftop kantor. Surainya di tiup kencang angin, serta asap satu batang barang penuh adiksi yang dihisapnya berlarian kemana-mana. Dika menoleh.
“Kenapa gak istirahat?”
“Dika..” Suaraku bergetar hebat. Dan ketika itu, adalah pada satu titik dimana aku tau, bahwa perasaanku tidak pernah berjalan sebelah tangan. Diujung sana, Dika berjalan pelan dan menarikku kedalam rengkuh peluk hangatnya. Seorang Mahardika, siang itu menangis menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku.
Harusnya kita bisa bersama.
“Dik..” Suaraku parau, sedang Dika hanya mampu menangis disana. Masih merengkuhku.
Berdetik selanjutnya, aku seakan-akan mampu melihat bagaimana kenangan yang telah terjadi di antara aku dan dirinya. Ketika manik mata kami yang mampu bertatap lama hanya untuk mengetahui bahwa tidak ada suatu hal istimewa yang mengikatku dan dirinya. Ketika ia yang tiba-tiba menarik jemariku mendekat hanya untuk bertemu satu jemarinya. Ketika ia yang rela berlari mengejarku menuju halte bus. Ia yang menjadi bagian besar dalam hari-hariku dan ia yang jadi pisau penuh darah yang terus-terusan menghujam tubuhku.
Kita yang tidak pernah ada ini, acap kali membuat aku lupa bahwa ternyata realita mengelilingi tubuh, namun sukar untuk kulihat dengan jelas, sukar untuk kuterima keberadaannya. Maka, aku berlagak seakan-akan aku hidup pada sebuah fantasi dunia dimana tidak ada satu bulir air mata yang akan jatuh menghujani pipiku.
Aku peluk kuat tubuh Dika. Tidak lama, dengan wajahnya yang basah, ia peluk kedua pipiku dengan telapak tangannya. Ia jamahi seluruh lekuk wajahku dengan pupilnya. “Di masa depan nanti..” Suaranya berat, “Kalau kamu balik mempertanyakan soal perasaanku ke kamu, kamu gak perlu ragu. Karna kita sama-sama berharap untuk berlabuh di rumah yang sama.”
Dan sebagai sebuah penutup atas temu yang tidak lagi mampu tercipta, Mahardika kecup ranum bibirku dengan cepat. Ketika itu, masih dapat aku rasakan bagaimana butir air mata yang jatuh dan mengenai pipiku. Ketika itu, sangat jelas aku rasakan hangatnya sapuan nafas yang menyapu kulitku.
Di cerita ini, aku bukanlah sebagai satu manusia dengan cerita paling miris dalam hidupnya. Aku, adalah yang paling keji sebagai seorang pemeran.
Aku pikir, ketika saat itu aku peluk tubuhnya, bibir yang saling bertaut, akan mampu membuatku berhenti karena sudah tidak ada lagi fantasi yang menghantui kepalaku. Namun pada faktanya, aku haus. Dan itu adalah satu keputusan paling salah yang pernah aku lakukan.
Hari ini, meja Dika sudah kosong melompong. Tidak ada lagi sosoknya yang tiba-tiba tanpa sebuah konteks mengajakku berbicara akan banyak hal atau candaannya yang selalu menghibur tidak hanya aku, tapi seluruh penduduk kantor.
Aku kosong.
-
one year after.
Mahardika, semenjak kamu pergi, langkahku sedikit jadi berat. Tidak ada senyum dan tingkah yang selalu jadi bagian dari hari-hariku. Pada intinya, ada kosong yang tidak mampu di tutup oleh apapun yang membuatku selalu mencari.
Hari ini, aku dengar kabar bahwa akhirnya kamu temukan lentera untuk berjalan di dalam gelapmu. Aku dengar, kamu akhirnya menyelipkan satu cincin di jari manis seorang wanita yang bahkan tidak mampu aku terka lekuk wajahnya.
Ada banyak pertanyaan yang selalu muncul di kepalaku semenjak hari itu, Dika. Perihal alasan dan latar belakang aku yang tidak mampu menautkan jemariku dengan milikmu. Perihal, aku yang tidak mampu menjadi lentera redup untuk kamu, untuk sekedar jadi pencahayaan ketika gelapmu.
Ada banyak cerita yang aku simpan, berharap seolah-olah aku akan kembali menumpahkannya kepadamu dan kita habiskan waktu bersama menatap matahari yang tergelincir untuk digantikan malam.
Namun kenyataannya, tidak ada kamu dan ceritaku masih tersimpan rapi.
Bumi Pasundan hari ini bagaimana kabarnya, Dika? Apakah secerah senyum milikmu yang kini tidak lagi ada?
Bagaimanapun kabarnya, aku harap kamu yang selalu baik-baik saja.
Setelah dua tahun yang kosong, aku memberanikan diri untuk mengejar mimpiku yang sudah lama aku tanam, Dik. Aku memberanikan diri untuk meninggalkan semuanya karna kamupun begitu.
Akhirnya di delapan tahun, aku mampu bernafas lebih leluasa.
Selamat, Dika. Selamat atas semua langkahmu. Selamat atas kamu dan titik-titik pusat hidupmu.
-
18 Februari 2022.
Riuh tepuk tangan menggema hebat ketika suamiku dan aku selesai meniup lilin di atas kue tingkat. Ia dengan cepat mengecup keningku kemudian menarik pinggangku agar lebih dekat dengan dirinya. Di satu hotel bintang lima di Ibukota.
“Jadi kapan balik ke New York?” Di tengah makan malam, seorang rekanku bertanya.
“Bulan depan.”
“Emang ada alasan khusus ya, mau ngerayain ulang tahun suamimu di Jakarta?”
Aku menggeleng, “Pengen aja, soalnya belum pernah.”
Ketika jam makan malam telah usai, dengan jemariku yang saling tertaut dengan suamiku, aku berjalan menuju kamar yang telah kami pesan satu hari sebelum acara ulang tahunnya.
Saat itu aku tersadar bahwa cincin hadiah ulang tahun yang melingkar di jari manisku lenyap. Di tengah malam, aku mendelisik kembali ke tempat dimana acara ulang tahun tadi diadakan. Meninggalkan suamiku yang tertidur pulas.
Langkahku terhenti di koridor hotel. Nafasku tersenggal dan jantungku rasanya hampir jatuh dari penopangnya. Satu tatap yang telah bertahun-tahun tidak pernah lagi aku temui. Satu tatap, yang dulu dengan hebat membuatku jatuh terus-menerus.
Mahardika.
“Dika?”
Dirinya, sama terkejutnya denganku. Namun cercah senyum itu, sedikitpun tidak menghilang dari kedua sudut bibirnya.
“Udah lama. Kamu.. Sehat?”
Matanya berkaca-kaca, akupun diatas pijakanku begitu.
Ada sebuah hasrat di dalam diriku bahwa aku ingin memeluk sosok ini. Bahwa kosong yang telah di tutupi sebenarnya tidak mampu tertutup sedemikian rupa, bahwa memang masih ada celah.
“Sehat, Dika. Kamu?”
“Selalu.”
Rasanya aku ingin menangis. Entah karena perasaan bahagia atau malah perasaan sedih. Intinya, ada sebuah gejolak di dalam diriku yang tidak mampu aku toleran.
Perbincangan kecil tercipta tanpa harap. Di balkon hotel di lantai yang sama di tempat aku memesan kamar.
Ada banyak cerita yang Dika sampaikan, perihal bagaimana hidupnya yang berjalan ternyata tidak seperti yang dia harapkan, tentang jatuh dan tumbuh, tentang hidup dan mati, tentang sakit dan sembuh. Malam, ketika itu jadi lebih panjang.
Aku kemudian pamit, menahan diri untuk tidak berlaku lebih dari ini. Menyimpan senyum dan bahkan melupakan cincinku yang sempat ingin aku cari.
Kemudian, terbesit satu pikiran, bahwa apakah semesta memang telah merencanakan hal ini? Bahwa memang, akan ada pertemuan lain di masa depan ini yang dulu pernah aku harapkan terjadi?
“Aku gak pernah mempertanyakan itu lagi, Dika. Soal perasaan kamu yang dulu.” Senyap mengembara. Angin malam kala itu menyapu surai kelam miliknya, serta pantulan cahaya di manik mata Dika, dirinya masih yang terindah.
“Karna kamu udah nemuin bahagianya kamu, kan?”
“Aku selalu bilang, kalau bahagia itu selalu ada, tinggal kitanya sendiri yang harus ngerasain entah seberapa kecil bentuknya.”
Mahardika mengulum senyum, menunduk menatap jemarinya. Ia kemudian menengadah ke arah gelapnya langit malam. Aku pikir, isi kepalanya penuh, hampir tumpah. “Iya, aku selalu inget soal itu.”
Aku menekuk senyum menunduk. Ternyata, pada sebuah garis pertanyaan perihal bagaimana dulu perasaanku pernah tercipta, Dika menjawab tanpa suara. Bahwa sebenarnya hidup selalu penuh dengan kesalahan yang memupuk, yang terkadang tiap insan sendiri tidak pernah mampu menemukan sebuah titik henti.
Kisahku yang rumit ini, yang penuh dengan rasa penghianatan, telah menjadi sebuah saksi bahwa apapun bentuk cinta, selalu meninggalkan darah atas nama perjuangan atau sebuah tusukan dalam. Kini, yang tertinggal adalah luka sebagai simbol pengingat bahwa hal keji semacam itu memang ada.
“Aku duluan, ya, Dik?” Dika menoleh, mengerjap beberapa kali.
“Kira-kira, kita bisa ketemu lagi?”
Aku mengangkat bahuku cepat, terdiam dan menerka. “Semoga.” Balasku cepat. Ketika langkahku hampir meninggalkan sosoknya, aku mendadak berhenti.
“Dika..” Panggilku lagi.
“Ya?”
Dulu, semenjak Dika pergi meninggalkan segalanya, aku selalu berharap bahwa dirinya menghilang untuk aku temukan. Bahwa kami memang saling dihilangkan untuk akhirnya kembali menautkan tangan.
Selama bertahun-tahun lamanya, setelah kulupa kenangan yang dulu ada, teringatku satu hari yang selalu menorehkan kembang senyum di kedua sudut bibirnya.
“Selamat ulang tahun.”
Ulang tahunnya.
Ia tersenyum kecil, manik matanya menatapku masih sama seperti dulu. “Kamu yang pertama, walaupun hari ini udah tanggal 19.” Cicitnya. “Makasih.”
Aku berlalu sepenuhnya, hilang di balik lorong hotel.
Lenteranya telah redup, hampir mati.
Temaram.
—fin.