youngswritting

Jenkins mengacak pinggang, mengacak rambutnya. Sedang diluar sana riuh antara suara piring, langkah kaki dan lain sebagainya. Geoffrey’s, hari ini membludak.

You guys sure don’t have any other friends?”

Mark ikut mengacak pinggang, berfikir. Apron berwarna coklat gelap itu cocok terikat di tubuhnya. Di sampingnya ada Vernon yang sibuk mengotak atik layar ponselnya, berusaha mencari nama yang bisa di hubungi untuk sekiranya mau ikut basah dalam agenda pertemanan ini.

“Jenkins! We need 3 plates of Caramel Dessert!” Teriak Nadit dari pintu dapur.

I said that Caramel Dessert was out, Nadit.” Nadit memutar matanya.

“Jenkins!” Kali ini Somi yang berteriak.

Why is it always Jenkins?” Kini Jenkins memijit pelipisnya.

“Okay, kita kerahkan semampunya aja, panggil Samantha buat ke dapur.”

“JENKINSS!”

WHAATT WHAATT WHAAATTTT?!!!” Nadit muncul kembali di ambang pintu.

I think we have another hand.”

Mata ke-empatnya di ikuti mata Jenkins membulat sempurna, ketika melihat Mingyu berdiri di depan pintu dapur.

Need hands?”

YESS BROTHER WE REALLY NEED YOUR HANDS!” Jenkins melempar satu apron dan cepat di tangkap oleh Mingyu.

“Kim? Are you fucking kidding me?“

Language, Vernon.”

No. I mean, kamu ngapain disini?”

He said that you are all need another hands?” Mingyu sibuk memasang apron nya. “So here I am.”

Rahang Somi dan Nadit tidak mampu tertutup. “I think he likes you, Nadit.” Bisik Somi.

No. He just.. Trying to help us.” Kini Nadit bergerak mengambil lembaran Menu di sampingnya, meninggalkan Somi dan teman-teman lainnya, juga Mingyu yang menatap punggung si gadis yang semakin jauh ke ujung sana.

“Samantha! Jenkins needs your help in the kitchen!” Samar dapat Mingyu dengar Nadit yang berteriak.

How about the waiting staff?

We already have one.” Dari kejauhan, dapat Mingyu lihat Nadit yang menunjuk ke arah dirinya.

Don’t screw up.” Mark menepuk bahu Mingyu, mengambil beberapa lembar Menu dan berlalu.

“Yep. Don’t screw it up, Kim.” Ulang Somi, dirinya memasukan satu permen karet ke dalam mulutnya.

Want some?” Dirinya menawari, namun dibalas gelengan dari Mingyu.

Good luck.” Kali ini Vernon yang berlalu, menggerakan tukainya dengan cepat ke seluruh penjuru restoran.

They are really think that i couldn’t do this simple things? Ah.. Dasar remaja.”

Simple, kata Mingyu berpuluh menit yang lalu, namun dirinya lupa, bahwa bekerja di restoran, 180 derajat berbeda dengan bekerja di kantornya.

“Kim!”

“Kim!”

“Kim! I need your help!”

“Kim!”

Berkali kali namanya diteriakan, dan dirinya sendiri, kewalahan.

“Mingyu?” Kali ini, panggilan berbeda menyambangi pendengarkannya, Nadit.

“Istirahat aja kalau capek.” Mingyu menggeleng.

You think that i can’t handle this?” Dirinya tertawa kecil, dengan nada sedikit menyombongkan diri. Nadit tertawa.

No.. maksudku, If, Mingyu. Kamu gak perlu nyusahin diri kamu kaya gini. Bayarannya juga gak seberapa.”

“Ini bukan soal bayaran, Nadit. this is about how you can count on your friends, look at them.” Mingyu menunjuk Vernon dengan dagunya, di ujung sana, dengan sigap ia mencatat pesanan.

Them..” Balas Mingyu lagi. Kini, mata Nadit panas melihat bagaimana dengan semangat teman-temannya membantu dirinya.

And me..” Mata Nadit beralih, pada sesosok laki-laki yang saat ini sedang memegang nampan berisi beberapa gelas jus. “You can count on me..”

I don’t really like this, Mingyu.” Mingyu mengerutkan alisnya, meletakkan nampannya sejenak.

Why?”

Nadit menggingit dalam bibir bawahnya, menatap bagaimana teman-temannya dengan semangat yang menggebu berjalan kesana dan kemari.

You all get tired because of this..” Kini Nadit menunduk.

Look at me,” Mingyu bersuara. “I’m stronger than you think.” Ia menyunggingkan senyum kecil, mengangkat kembali nampannya. “Need to go to work, you too.” Ia berlalu kemudian.

Nadit tersenyum menekuk bibir, memperbaiki poni nya yang menutup dahi, kemudian dengan semangat kembali berjalan menyusuri tiap sudut restoran, kembali bekerja.

-

Geoffrey’s mendadak sepi, ke-lima orang ini kemudian mengistirahatkan tubuhnya di satu meja bulat. Menyandarkan bahu ke kepala kursi dan menatap langit langit, sesekali membuang nafas.

That was..” Gumam Vernon. “..Amazing!”

That was, indeed.” Mark menyambung pernyataan Vernon, sedikit terbahak.

“Sumpah, tadi aku dapet orang yang kebanyakan nanyaaaaa melulu, ujung ujungnya cuma pesan Lobster tail.” Somi memutar bola matanya.

“Aku dapet anak kecil yang numpahin es krim coklat ke sepatuku.” Vernon mengangkat sepatunya yang berwarna Khaki, benar benar diselimuti warna coklat di beberapa bagiannya.

“Kalau aku tadi dapet cowo yang berjam jam cuma aku isi air putih doang gelasnya, terus dia pergi. Aneh..” Tawa kemudian pecah ketika Mark bersuara.

“Kayanya dia di putusin.”

“Atau perasaannya di tolak.”

“Jangan jangan, pacarnya kenapa-napa lagi mangkanya dia pergi?”

“Ih! Jangan gitu.” Kemudian tiba tiba jadi hening. Nadit hanya ikut tertawa mendengar cerita teman-temannya, pun Mingyu, yang hanya melipat tangannya di dada dan ikut terkekeh menatap pemandangan di hadapannya.

You guys are truly amazing..” Sahut Mingyu.

We are.” Somi kini melipat tangannya di depan dada, mengangkat alisnya sebelah.

You? Yea. Plus your annoying side. Truly amazing..” Mark menatap sinis perempuan yang duduknya di pisahkan oleh Vernon.

Please. Kita ini capek, jangan berantem terus. Memangnya kalian gak capek? udah capek malah berantem lagi?” Vernon memijit pelipisnya.

Guys..” Jenkins muncul dari belakang, membawa beberapa amplop. “Thank you.” Ia meletakannya di atas meja. “You guys are the bestest i’ve ever worked together with. Kapan kapan lagi ya.” Dirinya kemudian berlalu, meninggalkan kelimanya yang malah menatap amplop tadi.

“Ehem..” Deham Vernon. “You can take it, Nadit. Mine, Mark’s and Somi’s.” Mark tersenyum kecil di ikuti Somi.

You can take it.” Bisik Somi kecil.

“No.. Aku gak suka kalau kaya gini..” Balas Nadit mengerutkan alisnya, ada perasaan sedikit kesal di dalam hati nya.

Take it for your number 1 priority, Nadit. We truly meant it. Kecuali, your number 1 priority is this man,” Vernon menggerakan bola matanya ke arah Mingyu, dan mendapat tawa kecil dari yang dimaksud. “I’ll throw you to that fucking beach!”

Language, Vernon.” Mingyu, mengingatkan. Dirinya kemudian membenarkan posisi duduknya, menyodorkan amplop kertas coklat tadi ke arah Nadit. “You can take mine too.”

“Aku marah sama kalian kalau kaya gini.” Nadit menunduk, tidak mau menatap teman temannya, dan juga Mingyu.

It’s okay. Really.” Mark menepuk bahu Nadit.

Kini, kelima amplop ada di hadapan Nadit. Ada perasaan marah dan haru di dalam hatinya. Marah karna sejujurnya, dia tidak mau jadi hal yang membuat teman-temannya ikut terjun dalam hal semacam ini, ia bukan seseorang untuk di kasihani. Dan untuk perasaan haru, dirinya bingung, harus menemukan teman seperti mereka dimana lagi di sudut dunia ini. Maka, Nadit menangis.

I do really mad at you all.” Dirinya mengambil cepat amplop tadi dan membukanya. Mengambil beberapa lembar dan meletakkannya di hadapan masing-masing.

“100 Dollar, buat kerja keras kalian.” Nadit menyeka air di sudut matanya.

“OMG! I got my paid for the first time.” Vernon berseru.

Me too.” Mark tertawa.

We should have a dinner, okay.” Ketika Nadit akan bangkit untuk memanggil Jenkins, tangannya di tahan oleh Mingyu.

We will have a dinner, and all of you can keep that money. Aku yang bayar.” Mingyu kemudian menggeser 100 Dollar yang sempat di sodorkan oleh Nadit tadi. “You can keep it.”

“No. Kamu tetep harus di bayar mau seberapa ker—“

“Aku dibayar jutaan dollar, Nadit. Keep it.” Mingyu tertawa kecil dengan nada bercanda. Dirinya kemudian mendapat lemparan kertas permen karet.

“Dasar orang sombong.” Vernon tepat di depan nya sedang mengunyah.

“Kamu bayar makan sendiri.”

“BERCANDA!”

Pukul 3 sore, yang Mingyu dapati adalah 2 orang anak laki laki di depan pintu rumahnya.

“Vernon?”

“Hai.. Kim..” Cicitnya, dan satu temannya yang sempat ada saat tragedi gigitan anak anjing milik Mingyu berminggu-minggu yang lalu.

“Kenapa kalian disini?”

Tidak lama, dua orang perempuan muncul dengan menggenggam snack di tangannya. Nadit, dan seseorang yang dulu juga sempat duduk bersamanya dan Joshua di Geoffrey’s.

“Wow..” Mingyu mengerjapkan mata menatap pemandangan asing dihadapannya ini.

“Kim? Janji kita..” Sahut Vernon membuat Mingyu mengerutkan alisnya.

Janji? Janji apa? Memangnya Mingyu melewatkan sesuatu?

Kemudian Vernon membulatkan matanya dan mengerling. Membuat Mingyu mengeluarkan raut wajah seakan bertanya, “Apa?”

“Kim lupa mungkin, janji soal kita mau belajar di sini, Kim!” Vernon dengan antusias tersenyum dengan lebar.

“O-oh ya..? Oh.. Yup! Janji belajar disini ya, Vernon?”

“Iya! Jadi.. kami boleh masuk, gak?”

Mingyu menatap wajah Nadit yang kebingungan.

Of course, why not?” Dan memberikan jalan pada ke-empatnya untuk masuk ke dalam rumah.

Thank you, Kim.” Somi melambai ke depan wajah Mingyu ketika melaluinya masuk ke dalam.

Tepat ketika pintu tertutup, pandangan ke-empat anak ini mengawang ke seluruh sudut rumah, bahkan rahang mereka tidak mampu tertutup.

God.. Ini rumah apa hotel. Besar banget.” Mark menyahut.

“Kamu bisa liatin pantai terus ya Kim dari dalam sini..” Somi mendekat ke sekat kaca besar yang langsung mengarah ke arah pantai sana.

“I-iya.. gitu..” Mingyu mengusap tekuk, kemudian menarik tangan Vernon menjauh dari teman temannya. “You guys can take a sit everywhere.” Kata Mingyu sebelum menghilang dibalik pintu bersama dengan Vernon.

What. is. that. Vernon?” Mingyu menatapnya tajam sampai sampai membuat Vernon bergidik ngeri.

“O-oke.. First of all, sorry.” Vernon menjelaskan dengan gerak dan gerik dari tangannya.

“Aku janji ini gak gratis dan setelah misi ku selesai, kamu boleh minta apa aja dan bakal aku kabulin.”

Mingyu memasang tampang bingung seakan berkata, “Hah?” ketika mendengar penjelasan Vernon. Dirinya, sama sekali tidak bisa menemukan titik terang dari kejadian ini.

This is about.. Nadit.” Jelasnya.

“Hubungannya sama aku apa?”

She got 20 on her math exam.”

And then..?

“Aku bilang kalau in the next exam dia bakal dapat 100, dia boleh dapet nomor HP kamu dan..” Vernon menggantungkan kalimatnya, menggingit bibir bawah dan ragu ragu untuk bersuara.

“Dan? Dan apa, Vernon?”

“.. have a little date with you at the ice cream shop.”

Whaat?!”

“Yea. Sorry. It makes no sense. Tapi aku gak mau Nadit gak bisa ikut ujian lain gara gara nilainya dibawah 50 terus, Kim. Bisa bisa nilainya juga berpengaruh sama subject lain. And you have no Idea betapa senengnya dia pas aku bilang kalau dia bakal dapat reward itu.”

Mingyu menjambak rambutnya sendiri membelakangi Vernon, lalu mengacak pinggangnya.

“Som! Lihat kulkasnya gede banget!” Samar samar dapat Mingyu dengar suara mereka yang saling bersahut di luar sana.

“Oke.. berapa lama kalian bakal pake rumahku untuk belajar bareng?”

“hm..” Mata Vernon berputar ke atas, dirinya kemudian menekuk jarinya satu persatu, menghitung. “6-7 Minggu, tapi weekend aja selesai Nadit part time.”

Kini, rahang Mingyu yang terjatuh dan tidak mampu berkata-kata.

“Urusanku sama kamu soal suntik menyuntik aja belum selesai, Vernon. Kamu mau nambah urusan baru buat aku?”

“Maaf banget Kim, I swear to God I AM FUCKING SORRY!”

Language!”

Sorry. Sorry.” Vernon terdiam, menatap Mingyu yang mengacak rambutnya asal.

“Ada jaminan gak kalau Nadit bakal dapat nilai 100 in the next exam? Kalau ternyata effort kamu yang sampe segininya tetep bikin dia dapat nilai dibawah 50, gimana?”

Vernon secara mantap menguatkan rahangnya. “I promised you, she will not.”

“Oke, Vernon. You promised me ya. I’ll lend this house buat belajar kelompok kalian selama 6 sampai 7 minggu.” Jelas Mingyu. “Setelah itu, aku gak mau berurusan lagi soal apapun tentang kamu, teman-teman kamu, dan Nadit.”

“Dan Nadit?”

“Yup. Dan Nadit. After the rewards, we are over.

Mereka diam cukup lama saling tatap, Vernon mengernyitkan sedikit alisnya mendengar pernyataan Mingyu barusan.

“Kecuali urusan kamu di rumah sakit, itu perkara lain. Oke?” Sambung Mingyu, kini menawarkan jabatan tangan. “Deal?”

Vernon menarik nafasnya, membuangnya dengan penuh desperasi, menjabat tangan Mingyu. “Deal.”

“Oke. Now go to your friends dan belajar betul-betul ya, Vernon.”

Sebelum Mingyu menarik kenop pintu, Vernon menahannya. “Wait, give me your number first.”

“Loh, bukannya Ibu kamu punya nomor-ku?”

Vernon mengibaskan tangannya di depan wajah. “Dia itu selalu mikir aku anak kecil dan gak pantes berurusan sama orang dewasa. Aku udah pernah coba minta dia buat ngasih aku nomor kamu, tapi ya.. gak dikasih.”

Vernon menjelaskan sambil tertunduk memainkan ponselnya. “Cepetan.”

Mingyu membuang nafas serta bola matanya yang berputar, kemudian memberikan nomor ponselnya kepada Vernon. “Oke. Thank you. I promised i will not touch your stuff, Kim. Count on me.” Vernon hilang dibalik pintu, kini mulai bergabung bersama yang lain.

Mingyu pun ikut melangkah keluar dari ruang kerjanya, tempat dimana perbincangan tadi terjadi. Dan dari jauh, sudut matanya menangkap Nadit yang sedang memegang bingkai foto diujung sana.

“Nadit..” Panggilnya, membuat sang empunya nama menoleh.

“Oh.. Sorry.” Kini ia melepas bingkai tadi dan meletakkannya ke tempat semula.

It’s okay.” Mingyu menyunggingkan senyum kecil.

Is she.. your wife?” Cicit Nadit.

Mingyu mengangguk, masih dengan sunggingan kecil senyumnya, menatap wanita di dalam bingkai tersebut.

She is so pretty. The prettiest girl i’ve ever seen, Kim. Not gonna lie.” Kini pandangan Mingyu beralih pada gadis belasan tahun di samping kanannya yang tersenyum penuh ketulusan menatap wanita di dalam bingkai.

I wish that i can be pretty like her.” Mingyu mengernyitkan dahi, bingung atas pengakuan Nadit.

“Nadit, you are. You shouldn’t wish for anything more. You are enough.”

Ada gejolak kecil di jantung Nadit ketika kalimat itu meluncur dari mulut Mingyu, membuatnya menekuk senyum dan menyembunyikan wajahnya.

Matanya kemudian beralih ke satu bingkai berukuran sedang dengan seorang anak kecil disana. Memakai denim jaket dan alis yang sedikit mengkerut, ada tulisan di sudut gambarnya.

Mingyu, 1997.

“Mingyu?“ Nadit kini menoleh ke arah Mingyu.

“Itu waktu umurku 3 tahun.”

“Mingyu?” Nada suara Nadit berusaha memastikan, kalau memang ukiran nama yang tertulis disana benar nama orang ini.

People used to call me Mingyu.”

Then why you introduce yourself as . Kim?” Manik mata Mingyu tidak lepas dari gambar seorang anak kecil yang kini sudah menjelma menjadi orang dewasa dan umurnya hampir menyentuh kepala 3, dirinya sendiri.

“Banyak hal yang udah terjadi sama nama Mingyu, Nadit. I wanted to started all over again.. here. So, that’s why it’s Kim.”

Nadit mengangguk sebagai balasan, kemudian diam dan menimbang, soal sesuatu yang ingin ia sampaikan, sesuatu yang ingin dia lakukan dan sesuatu yang mungkin akan jadi berbeda dari yang lainnya.

“Kalau aku panggil kamu Mingyu, kamu keberatan gak?” Kini, sesuatu yang sudah sepenuhnya menjelma menjadi kalimat pertanyaan meluncur dari bibir Nadit.

Not at all, of course. Karna mau kaya gimana pun, Mingyu adalah bagian dari aku bahkan semenjak aku lahir.”

“Mingyu, then. Can I?”

Sure..” Dirinya tersenyum sedikit menekuk bibir. “Mingyu, then.”

Nadit bersenandung sepanjang perjalanan pulang dari sekolah, ketika sampai di depan rumahku, tiba tiba langkahnya terhenti.

“Kenapa?”

“Aku..” Sahutnya. “Aku jadi panas dingin begini.”

“Kamu kaya mau ketemu sama siapa aja deh, Nadit.” Kataku, kini menarik pergelangan tangannya sampai di depan pintu rumah.

Your mom will yelling after she sees my face.” Nadit memutar bola matanya.

She’ll never eat you is the most important thing.” Kini aku dan dirinya sudah sepenuhnya masuk ke dalam rumah.

MOM! I’M HOME!” Teriakku, tidak lama seorang wanita paruh baya turun dari lantai dua, menghampiriku dan juga Nadit, tentu saja.

My boy…and—“

Hi, Ma’am..”

“Nadit? Kamu enggak lagi anmesia kan?” Katanya, menepuk pipi Nadit ketika sudah benar benar berdiri di depan kami berdua.

“Kok anmesia?”

“Ini bukan rumah kamu..”

Mom..” Aku menghela nafas. “Dia mau nemenin aku buat jadwal suntik.” Telapak tangan Ibuku masih disana, di kedua pipi Nadit kemudian mengangguk pelan.

Okay..” Ibu kemudian beralih berjalan ke dapur. “Do both of you want some pancakes before heading to the hospital?”

You made some pancakes?” Tanyaku, menghampiri Ibu.

Yup. Half for us and half for Mr. Kim.”

What?” Aku mengernyitkan alis ketika melihat senyum rekah di wajah Ibu.

A present.” Katanya sedikit berbisik.

Mom, you are married. Don’t tease him.” Ibu memasukan beberapa potong Pancake kedalam kotak makan.

I am. Gak ada yang bilang kalau Ibu mau nikah lagi, Vernon. Ini cuma hadiah kecil aja.” Dirinya sibuk, mondar-mandir kesana kemari hanya untuk beberapa potong pancake yang akan ia berikan kepada Kim.

“Nadit, you wanna try it?” Nadit yang duduk di sofa ruang tamu (yang langsung menghadap ke dapur) berjalan mendekat, memasukan potongan Pancake di garpu yang sempat Ibuku potong tadi.

How does it taste?” Alis Ibu menungkik tajam, menunggu jawaban dari mulut Nadit.

“Wow..” Nadit mengerjapkan mata. “The bestest in town, i bet.” Sahutnya, kemudian tawa Ibu pecah.

“Mr. Kim will like it.”

“Mom..?” Aku membuang nafasku lagi lagi melihat tingkah Ibu dengan senyum rekah di wajahnya itu.

Beberapa menit ketika kami menikmati Pancake buatan Ibu, suara bell menggema di seluruh rumah, aku berspekulasi bahwa mungkin itu adalah Kim yang sudah datang menjemputku.

Nadit menoleh ke arah pintu.

Wanna open it?”

Me?”

“Yup. Ibu lagi sibuk nyuci piring, aku lagi sibuk makan. Kamu yang lagi gak ngapa ngapain.”

Bell lagi lagi berbunyi.

Can someone open that stupid door, please? I am busy!” Ibuku berteriak.

See? Open it!”

I think I can’t

Why?” Nadit mengangkat tangannya, jemarinya bergetar hebat.

I can’t.”

You can, Nadit. You just have to open that door and say hi. that’s all.”

No, Vernon.”

Lagi lagi bellnya berbunyi.

CAN BOTH OF YOU HELP ME OR I WILL THROW THIS PLATE TO YOUR FACE!” Suara piring mulai saling beradu disana.

HURRY UP!”

“OKAY! OKAY!” Nadit menarik nafasnya. “Open the door and say hi, that’s all, right?”

“Yup. Good luck.”

Kini Nadit berjalan menuju pintu, meninggalkanku yang masih asik memasukan potongan Pancake satu demi satu.

Sampai ketika Nadit berteriak, “VERNON! TUKANG POS!”

-

Aku duduk di kursi penumpang disebelah Kim, sedangkan Nadit duduk di belakang. Sunyi, tidak ada yang bersuara, dan ya, canggung.

Kim datang setelah tukang pos tadi, dan Ibu yang membuka pintu menyambut laki laki yang bahkan masih menggunakan kemeja rapi. Tidak lupa, Pancakes buatannya yang sudah ia siapkan dengan penuh suka cita.

“Kamu..” Aku memulai percakapan. “Baru pulang kerja ya?”

Kim tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan, terbahak kecil kemudian mengangguk. “Yup.”

“Oh..” Lagi lagi hening.

Aku kemudian menoleh ke kursi belakang, menatap Nadit yang memainkan jemarinya. Dirinya kemudian menatapku, seakan berkata, “What?” dan aku memberikan jawaban dengan menggeser kepalaku pelan ke arah Kim, seakan menjawab, “Ask him, Nadit.”

Dengan sebuah gestur telapak tangan yang menengadah, Nadit kini seakan akan membalas, “Ask him what?”

Dan untuk sebuah jawaban tanpa kata yang lagi lagi terjadi di antara kami, aku memutar kedua bola mataku malas, dan membuang nafasku, kali ini seakan bersuara, “Stupid.”

Kini aku memutar tubuh, benar benar lurus menatap jalanan, melipat tangan di depan dada dan mengingat perihal perkataan Nadit sebelum bertemu dengan Kim.

(“Aku harus tanya, apa dia beneran datangin aku ke Geoffrey’s dan rumahku, Vernon.”

Go ahead. You should.”

“Dan soal kenapa dia gak ngehubungin aku.”

“Oke. Lagi?”

“Toko Es Krim?”

Nice.”)

Nyatanya? Nol besar. Keberaniannya tidak sebesar mulutnya.

“Ehem..” Nadit mulai berdeham. Oke, bagus, pelan pelan Nadit, ayo tanyakan. “Kim?” Sambungnya.

Oke, permulaan yang bagus.

“Ya?” Mata Kim menatap Nadit lewat kaca spion tengah.

“Hm, I just wann—“

Ah! Ponsel Kim berdering.

“Sebentar ya.” Katanya, memasang Handsfree ke telinga kemudian mulai berbincang entah soal apa yang bahkan aku tidak bisa pahami.

I’ll be back as soon as possible.” Itu kalimat terakhir yang Kim sampaikan sampai telfonnya terputus.

Sorry, Nadit. What was again?”

Oke, Nadit. Kali ini, bilang apa yang mau kamu bilang dan tanya buat Kim.

“Hm..” Dirinya bergumam. “I just wanna tell you that..”

Yup, ayo.

“Ada coklat di kemeja kamu, Kim.”

APA??

“Oh..” Kim menunduk menatap kemejanya, perlahan-lahan dan secara bergantian sambil menatap jalanan. “God, kayanya ini kopi yang barusan aku minum.”

Kini aku kembali memutar tubuhku ke arah Nadit. Memberi isyarat seakan akan bersumpah serapah, “What the fuck was that, Nadit?”

Dirinya menggeleng, melempar pandangan yang seakan menjawab, “Forget about that, Vernon.”

I don’t know who’s the stupidest here. Aku yang menggunggu kalimat kalimatnya, atau dia yang menyia-nyiakan kesempatan. Yang terpenting, shame on you, Nadit. If I could, i will kick your dumb ass.

-

Nadit merealisasikan soal ajakan yang ingin ia tawarkan kepada Kim? Tidak. Sama sekali tidak.

Kini, mobil milik Kim berhenti tepat di depan halaman rumahnya.

Thank you, Kim. Maaf ya harus ngerepotin.”

“It’s okay, Nadit. Aku sama Vernon balik dulu ya.”

“Hati hati.” Mobil Kim kemudian meninggalkan halaman rumah Nadit.

Sepanjang agenda pada hari ini, Nadit seperti bukan Nadit yang aku kenal, banyak diamnya.

Bagaimana kabar hal-hal yang ingin dia tanyakan kepada Kim? Lagi-lagi Nol besar, sama sekali tidak ada pertanyaan yang keluar dari mulutnya.

“Vernon..” Kim bersuara.

“Ya?”

“Kayanya kamu harus ikut ke rumahku dulu sebentar. Soalnya aku ada meeting dan kebetulan rumahku searah sebelum lewat rumah kamu dan searah ke kantor. Gak papa?”

“Kamu mau ngapain memangnya?”

“Kemejaku kotor, harus di ganti. Gimana? Atau kamu mau aku anterin langsung pulang?”

“Gak papa, kamu kayanya buru-buru juga, daripada muter-muter. Aku nanti nunggu di mobil aja, ya?”

“Oke.”

Kemudian diam, entah aku yang tidak pandai menciptakan obrolan atau dia yang memang tidak memiliki hal basa basi untuk di tanyakan.

“Kalian masih SMA?” Dirinya mulai bersuara.

“Yup. Tahun depan kuliah.”

“Kamu mau kuliah ambil jurusan apa, Vernon?“ Pandangan Kim sama sekali tidak beralih dari jalanan.

“Aku? Aku mau ambil Bisnis.”

“Wow.. keren. what kind of bussiness you wanted to manage?”

“Hmm..” Sebenarnya, aku belum berfikir jauh kesana. “Belum tau, sekolah aja dulu. Urusan mau bangun bisnis apa belakangan.” Kataku.

“Kalau Nadit? Dia mau kuliah jurusan apa?” Aku yang tadi menoleh keluar jendela, kini menoleh kepada Kim.

Dirinya berdeham.

“Nadit?”

“Iya.”

“Dia gak mau kuliah.” Jawabku secara gamblang.

“Loh, kenapa?” Kini aku mengernyitkan alisku.

“Aku gak tau, kalau kamu mau tau, tanya aja langsung ke dia, punya nomornya kan?”

Kim terdiam, mungkin paham soal sarkas yang baru saja aku lemparkan.

“I-iya.” Hanya itu yang mampu ia balas, bahkan terpatah-patah.

Beberapa menit, kini mobil sampai di depan rumah Kim. Rahangku, bahkan tidak mampu tertutup ketika menatap bangunan rumahnya.

“Ini.. seriusan rumah kamu?” Kim melepaskan sabuk pengamannya.

“Iya.. Is anything wrong?”

“Kamu beli?”

“Ya iya? Emang kalau gak di beli gimana?” Ia tertawa kecil.

“Kamu kerja apa, Kim?” Kali ini ia terbahak sampai sampai membuang kepalanya kebelakang.

“Yang penting, bukan pekerjaan Ilegal, Vernon.” Dirinya menarik kenop pintu. “Sebentar ya.”

Dari dalam mobil, aku melihat dirinya yang berjalan menuju pintu depan, menekan angka di smartlock dan masuk, membuatku semakin yakin bahwa rumah besar dan mewah ini adalah memang rumahnya.

Dan fakta paling mengejutkan adalah, bahwa benar, Kim memang salah satu pemilik rumah di kawasan elit yang sempat aku, Mark dan Nadit spekulasikan saat awal awal menemani Nadit mencari sosok ini.

Dari sini pun, dapat aku dengar suara ombak yang menderu.

Vernon menemukan Nadit berdiri sendiri memijak pasir pantai, jemarinya mengapit satu batang nikotin.

You smoke, again.” Sapa Vernon, membuat Nadit terkesiap.

Ia tersenyum kecil, menepuk pelan jemarinya membuang abu rokok yang mulai penuh diujung. “Dizzy.”

Because of that man?”

“Lebih dan kurang, kurang dan lebih.”

Ombak pantai menderu, sesekali menyapu kaki telanjang mereka. Batang penuh bahan adiksi itu terus menerus di hisap oleh Nadit, tidak membiarkannya bersisa barang sedikit hingga bagian filternya, kemudian ia lemparkan jauh ke arah laut sana.

Nadit kembali merogoh kantong, mengeluarkan kotak rokok dan mengambil satu batang lagi. Nadit tau, pasti temannya yang satu itu akan mulai mengecapkan lidah kemudian mengambil batang rokoknya dan biasanya akan—

“Mau satu..”

..mematahkannya.

Kali ini, Nadit cukup terkejut.

Bukan, bukan karena ini pertama kalinya Vernon mengisap batang nikotin itu, tapi memang dirinya adalah yang paling jarang menyentuh benda penuh adiksi tersebut, dan jadi orang nomor satu yang akan terus menerus melarangnya.

Nadit masih terdiam, mengapit satu rokok yang belum dinyalakan di bibirnya, masih tidak percaya melihat Vernon merampas kotak tadi, mengapitnya dengan bibirnya kemudian mematikkan korek dan cahaya api itu mulai mengiluminasi wajah Vernon.

Lit it up.” Katanya, menyodorkan rokok milik diri sendiri yang sedang membara ujungnya. Nadit yang masih kebingungan hanya menurut dan menghidupkan benda adiksi tadi dengan ujung bara milik Vernon, kemudian menghisapnya dalam, menimbulkan asap yang mengepul.

“Kamu kenapa, Vernon? Tumben banget mau ngerokok?”

“Ngeliat kamu kusut aku ikutan kusut.” Katanya, mengundang tawa dari Nadit.

Bullshit.” Vernon menyunggingkan senyum kecil.

What’s so special about this man, Nadit? You have never took a cigarettes just for a stupid man.”

I have, Vernon. My Dad.” Vernon terkikik kecil.

He is the exception.”

Keduanya terdiam, Nadit sesekali bermain dengan pasir pantai yang baru saja di tampar oleh deburan ombak, membenamkan jemari kakinya, kemudian membiarkan air yang datang untuk menarik pasir yang menanam kakinya tadi. Tingkahnya membuat Vernon tertawa.

Are you 5 years old?”

I wish i am.”

Nadit menarik nafasnya dalam, kemudian membuangnya agak berat, lalu mengawang ke atas langit malam, menatap entah apa.

How’s my dad going up there ya, Vernon?”

Better than good.” Vernon mengangkat bahunya. Apalagi yang bisa dilakukan oleh orang yang tidak lagi panjang umurnya? Tidak ada jawaban yang bisa Vernon validasi, pun, orang lain, karena itu hanya rahasia Tuhan semata.

“Gimana bisa dia baik-baik aja disana, kalau dia gak punya orang buat di pukulin?”

Vernon terdiam, tidak mampu menimpal.

He was so fucking jerk, how can i miss him this bad.”

Tatap mata milik Vernon hanya mampu menatap air laut.

“Dia bahkan gak bilang maaf sama Ibu di detik detik terakhir dia pulang. Gak tau malu.”

“Nadit..”

But I miss him so fucking bad, Vernon.” Kini ada air mata yang memupuk di sudut mata Nadit. Dan si gadis, berusaha sekuat tenaga agar bulir bulir itu tidak jatuh di pipinya.

Nadit menarik nafas, lagi lagi batang nikotin itu sudah habis dihisapnya. Pun, milik Vernon, sudah berdetik yang lalu ia buang entah kemana.

You know what?” Nadit membuka suara. “I think i’ve seen this film before.”

What was that? Are you trying to singing or what?” Vernon mengerutkan alisnya sambil tertawa kecil, bingung apa yang sedang dilakukan sahabatnya.

No. Waktu itu, di jam segini..” Nadit mengangkat tangan kirinya, menatap angka di jam tangan yang melekat manis disana, hampir tengah malam. “Aku rindu Ayah, i took one cigarettes dan dari ujung sana..” Nadit menunjuk ke ujung agak jauh disebelah kirinya. “Ada yang datang..”

Tapi malam ini, bahkan ketika Nadit menurunkan tangannya, dari ujung sana, hanya ada kegelapan, sama sekali tidak ada sesosok orang pun yang melangkah mendekat.

And I didn’t like the ending.” Vernon melihat Nadit mengangkat bahunya, menunduk menatap kakinya dan menghirup udara dalam.

It feels like..” Ucap Nadit. “Right now, i need someone who will understand me, like the way he did just like that night.”

“Rasanya.. kaya aku sama Kim sama-sama paham satu sama lain. Anehnya, kita yang waktu itu masih sama-sama orang asing, ngerti keadaan dan posisi satu sama lain. And if i could, i wanted to meet him just like that night, that one night.” Kalimat Nadit berhenti, kini ia lagi lagi menoleh ke satu arah dimana ada orang yang ia harapkan kembali muncul, tempat dimana pertama kali di lihatnya sesosok laki-laki berjalan mendekat dari sana.

You’ll find a way, Nadit. You will.” Vernon membalas singkat dengan senyum kecil di kedua sudut bibirnya.

It is not easy as it seems, Vernon. You know, what Mark told me? He might be in relationship, so.. he didn’t text me..” Nadit mengangkat ponselnya, dan menemukan sama sekali tidak ada notifikasi disana.

“Hah.. Maybe you're right about the feeling i have,” Vernon menoleh, mengangkat alisnya dan siap mendengarkan kalimat lain yang akan muncul dari mulut Nadit. “Soal, aku baru ketemu dia dua kali, dan aku masih belum figure it out soal perasaan apa ini. Maybe.. I’ll let this feeling go. Mungkin ini juga pertanda dari semesta, kalau aku sama dia emang gak ada kesempatan, gak ada jalan.”

“Nadit—“ Sahutan Vernon terputus karena Nadit yang buru buru membuka ponselnya ketika ada notifikasi yang masuk.

Shit! Vernon!”

What?! Why?”

We need to go home.”

Is there any problem?”

I think Kim has visiting my house.”

She talks a lot.

Kata Nadit, teman perempuannya namanya Somi. Dan kataku, temanku ini namanya Joshua, sekalian aku perkenalkan kepada mereka.

Joshua sendiri adalah teman Minghao yang mengambil andil besar soal kepindahanku ke Malibu. Lahir di Los Angeles, menghabiskan hidupnya mengunjungi Malibu hanya dengan hitungan jam. He’s mixed and he talks Indonesia very well, like a native.

It’s kinda weird, sebenarnya, duduk bersama anak belasan tahun, padahal umurku dan Joshua hampir menginjak 30.

Almost.” Jelas Joshua, memberikan klarifikasi bahwa dirinya belum sepenuhnya berkepala 3.

And you?” Somi, menunjukku.

Almost.” Kataku, ikut kata Joshua dan mengangkat bahu. “How about both of you?” Aku balas bertanya.

Eighteen.” Nadit dan Somi secara serempak bersuara. Kemudian saling tatap dan saling ‘toss’ di udara. “uuuu, that was perfect.” Sahut mereka. aku terkekeh kecil.

“Kalian emang beneran kerja disini?”

“Aku aja, dia enggak.” Jawab Nadit.

“Tapi, memangnya udah legal?” Keduanya saling tatap.

“Hm.. ya.. boleh boleh aja gak sih?” Aku dan Joshua membuang nafas pelan, tidak ingin terlibat lebih jauh perihal urusan pekerjaan paruh waktu ini.

Tadi, ketika Nadit menyadari eksistensiku, secara gamblang ia malah menarik kursi ke sebelahku. “Can I?” Tanyanya, dan aku balas dengan anggukan.

“Ajak temen kamu juga, Nadit.” Ia diam sejenak, mengangkat alisnya. “*Is it okay * kalau kita.. gabung?” Ia menatapku dan Joshua secara bergantian. Dan dengan senyum lebar, Joshua yang mengangguk mantap.

Of course, why not?” Balas Joshua. Begitu kemudian tercipta banyak obrolan antara aku, Nadit, Somi dan Joshua.

Sepanjang perbincangan, rasanya aku bukan seperti berbincang dengan anak belasan tahun, rasanya lebih dari itu.

Aku ingat, malam hari ketika pertama kali aku bertemu sosok Nadit. Dengan tutur katanya, aku pikir dia lebih dewasa dari umurnya. Mengingat dirinya hampir mengakhiri hidupnya berminggu yang lalu di pinggir pantai.

Dengan itu pun, aku sedikit berspekulasi, bahwa mungkin, dirinya di dewasakan oleh keadaan yang entah apa itu. Aku juga suka cara ia masuk ke dalam obrolan, masuk kedalam suasana dan seakan akan dirinya dan Joshua sudah berteman lama.

“Kim?” Panggilnya.

“Ya?”

“Kok kamu bengong?” Aku kemudian membenarkan posisi dudukku.

The sunset..” Alibiku. “Quite pretty, right?” Namun ternyata, alibiku barusan mengalihkan pandangan ketiga orang ini, karna berpasang mata mereka, mulai beralih ke ufuk barat sana.

Matahari, mulai tenggelam.

Joshua tidak bohong soal ‘view’ di sini. Karna tepat di pupil mataku, matahari secara sempurna tenggelam diujung sana.

“Wow.” Gumamku. “So this is what you all see every single day?”

“Wait? Emang kamu gak pernah?”

Pertanyaan Somi barusan mengundang tawa dari Joshua. “He just moved, Somi.”

From?” Kali ini Nadit yang bertanya.

“Indonesia.”

“Bali?” Somi membulatkan matanya bertanya.

No, aku dari Indonesia tapi bukan dari Bali. Aku dari Jakarta.”

“Tapi pernah ke Bali?” Aku mengangguk menjawab pertanyaan Somi. “Sumpah Bali itu masuk ke list tempat yang pengen banget aku kunjungin.”

“Oh ya?” Aku lagi lagi membenarkan posisi dudukku, kali ini menopang dagu dan fokus kepada Somi.

“Iya, banyak orang yang bilang kalau liburan pokoknya harus ke Bali. Jadinya aku penasaran dan masukin Bali jadi tempat destinasi yang harus aku datangin.” Jelasnya bersemangat.

You should. Indeed.” Kataku.

“Kamu emang pindah ke Malibu kenapa, Kim?” Kali ini Nadit bersuara. Aku menyunggingkan senyum kecil, tidak perlu menjelaskan lebih.

You know the answer, anyway.” Aku yakin, dirinya masih ingat pembahasan berminggu yang lalu. Soal keadaanku yang sangat tidak memungkinkan untuk meneruskan hidup di tanah kelahiranku sana. Perihal pahit yang tidak mampu aku telan dan memilih lari meninggalkan segalanya.

Yes. I know, then.” Cicitnya pelan, kemudian tersenyum.

-

Malam hari, sebelum aku meninggalkan Geoffrey’s, Nadit di sana, ikut mengantarku ke parkiran.

“Kim?”

“Yup?”

Do you have..hmm” Ia menggantungkan kalimatnya, memijit jemari. “..some..time?”

Now?”

“Ada toko es krim dideket sini, I mean—“

“Aku harus anter temenku balik ke Los Angeles, Nadit.”

Wow, it quite far.” Ia mengusap tekuknya, tertawa canggung.

“1 jam, lebih dan kurang.”

“Yup. 1 jam, lebih dan kurang.” Ia mengulang kalimatku.

Sorry, Nadit.”

It’s okay, Kim.”

“Aku pergi dulu ya kalau gitu?” Ketika tubuhku hampir sepenuhnya berbalik, dirinya lagi lagi memanggil.

“Kim?”

“Ya?”

My number.” Ia selipkan robekan kertas kecil di jemari tanganku. “Text me if you have time, or if you’re not in a relationship.” Ia mengangkat bahunya.

“O-oke.” Kataku, menunduk menatap robekan kecil serta beberapa angka yang tertulis disana.

Safe drive, Kim. Semoga kita bisa ketemu lagi.” Aku tersenyum kecil.

Isn’t it weird for you, Nadit?”

Weird?” Alisnya sebelah menungkik tajam.

“Terakhir kali, kita mikir kalau kita gak bakal ketemu. Ternyata, ini kali ketiga kita ketemu lagi semenjak kejadian di pinggir pantai malam itu. Iyakan?” Ia mengangguk, memberi validasi.

“Aku harap, semesta gak banyak bercanda. Dan aku harap, semoga kita memang bisa ketemu lagi.” Jelas Nadit lagi.

Bye, Nadit. It was nice to talk with you, just like that night. Aku pergi dulu.”

Dirinya mengulum senyum. Aku melangkah menuju mobil kemudian, memutar kemudi dan melihat sosoknya hilang dari kaca spion.

“Padahal gue naik commuterline juga bisa, Gyu.” Joshua terbahak.

“Stop nguping omongan orang, Joshua. Gak sopan.” Candaku.

Dude, are you in love?” Aku menggeleng, memijit pelipis. “Oh, she is in love, with you.”

She’s eighteen, Josh. Shut up.”

-

Si Mingyu yang bodoh.

Disini aku lagi, didepan Geoffrey’s. Menimbang sesekali menatap kertas kecil di tangan kananku. Haruskah aku masuk untuk sekedar menemuinya?

Namun pada akhirnya, aku melangkah masuk. Mengedarkan pandangan kemana mana, berharap kalau dia memang masih ada disana.

Perkataan Joshua beberapa jam yang lalu mengawang dikepalaku. “Dude, are you in love?

No, she is eighteen.

Alasan aku ada disini, mungkin untuk menimbang ajakannya soal duduk di toko es krim.

Iya, tidak lebih dan tidak kurang.

Excuse me.” Aku panggil waiter yang sore tadi sempat melayaniku.

Yes? Can I help you?”

“Nadit, dia kerja disini, kan?”

“Iya, dia kerja disini, tapi udah ganti Shift, bahkan pas sore tadi.” Jelasnya.

Aku terpaku, kemudian mengangguk pelan. “Oke. Thank you.”

No problem, Sir.” Si Waiter kemudian berlalu dan sibuk mengembara ke seluruh restoran.

Benar, kalau dia belum ganti shift, tidak mungkin secara terang terangan sore tadi ia dengan santai duduk bersamaku.

Aku masuk ke mobil kemudian, memutar stir keluar dari pekarangan restoran. Sesekali, secara bergantian aku menatap kertas kecil berisi nomor ponsel Nadit, sesekali fokus ke jalanan.

Haruskah aku kerumahnya? Haruskah aku menelfonnya? Haruskah aku mengajaknya?

Tidak.

Jawabannya adalah tidak.

Kim Mingyu, kalau tidak mau terjatuh lebih dalam, maka berhenti adalah jawaban.

Nadit mengikat apron yang bertuliskan ‘Geoffrey’s’ di atas dadanya, di ikuti Somi yang juga dengan semangat mengikat tali apron di pinggangnya.

“Kamu serahin aja semua sama aku, you don’t have to worry, i’m an expert.” Somi mengerlingkan matanya, menggulung rambutnya kemudian dengan semangat membawa daftar menu dan keluar dari dapur, Nadit terkekeh geli.

Dirinya pun ikut bersemangat mengambil beberapa menu dan keluar dari dapur, memberikan setiap meja menu, kemudian dengan langkah cepat beralih ke meja lainnya dan mengeluarkan notes kecil yang ia simpan di kantong apronnya.

Ketika catatan menu sudah siap di lembar kertas, dengan cepat ia pergi ke dapur dan menggantungkan tiap menu, kemudian dengan bersemangat lagi membawa pesanan yang sudah siap disajikan.

Somi? jangan tanya, dia bahkan dua kali lebih bersemangat dari Nadit.

Dari pukul 10 pagi, sampai dimana jam menunjukan pukul 4 sore hari, disitu akhirnya kedua gadis itu berhenti.

Dengan kemeja putih dan rok pendek hitam, keduanya selesai dan melepas apronnya, mengambil tempat duduk paling pinggir di luar, supaya bisa melihat matahari tenggelam dengan sangat jelas. 1 jam lagi.

Somi dan Nadit melepas ikatan rambutnya, tepat diseberang Nadit, Somi mengeluarkan amplop putih hasil kerja kerasnya hari ini, menghitungnya dengan semangat.

“Oke..” Sahutnya. “Yours..” Kemudian menggeser berlembar uang tadi kehadapan Nadit.

What? No! Yours.”

No. No. Yours, Nadit.”

“Som, Yours!”

Yours!!”

YOURS!!” Keduanya terdiam, ketika berpasang mata menatap mereka.

“Nadit..”

“Som, rambut kamu jadi lepek. Jadi mending duitnya kamu pake buat beli shampoo di supermarket.”

What?!” Alis Somi berkerut. “Take this or you’ll never be my best of the best friend in the world. And you’ll never find someone just like me!” Somi menguatkan rahangnya.

No.” Kini tangan keduanya saling menimpa lembaran uang tersebut.

Hey! Kalau gak mau duitnya sini mending buat aku aja.”

Shut up, Jenkins!” Nadit mengeluarkan jari tengahnya kepada seorang lelaki di seberang sana, seorang koki yang Nadit kenal betul, sesekali ikut berkeliling jadi pelayan.

Take it.” Cicit Somi. “Anggap aja, hasil kerja keras kamu dua kali lipat hari ini, okay?”

“Som..”

Seriously. Take it, Nadit.” Mata Somi jatuh pada pupil Nadit.

Dirinya membuang nafas, kemudian mengalihkan pandangannya dari sosok sahabatnya itu. “You dumb fucking bitch, Som.”

I am.” Somi mengangkat bahunya.

Fuck you.” Tangan Nadit kemudian memasukan lembaran uang tadi kedalam kantong roknya.

I love you too.” Balas Somi memiringkan kepalanya dan tersenyum lebar.

“Aku laper banget, kita harus pesan makan.” Jelas Somi, mendongak kemudian mengangkat tangannya tinggi.

“Jenkins! Menu please.” Somi memetik jarinya ke udara, mengundang tawa dari Nadit dan wajah bingung Jenkins.

Jenkins diujung sana sekali lagi memastikan kalau memang dirinya dipanggil dengan cara menunjuk dirinya sendiri dan membuat gestur di bibir. “Me?”

Somi mengangguk. “Yes! Menu please.” Jenkins memutar bola matanya malas, tapi tetap mengambil lembar menu dan mengantarnya ke meja Somi dan Nadit.

Excuse me, can i get the list of the menu, please?” Ketika Jenkins sampai di meja, seorang lain ikut memanggil Jenkins.

Nadit menoleh kebelakang, ketika suaranya berasal dari punggungnya.

Matanya sedikit bergetar, terdiam cukup lama sampai akhirnya bersuara.

“Kim?” Sahutnya, membuat orang diujung sana mengernyitkan alisnya.

“Nadit?”

Keduanya membeku, bingung.

‘Shit. what the hell on earth is going on right now?’ Nadit, membatin.

Lagi-lagi Mark dan Vernon menatap dengan penuh desperasi kepada Nadit, sekali kali membuang nafas mereka pelan.

“She’s crazy. Indeed.”

“Well, setidaknya kalaupun emang gak ada jalan dia tetep nyari jalan.”

“Jalan buntu.” Vernon mengulum bibirnya. Mereka berdua duduk di atas pasir pantai, memeluk lutut dan secara bergantian menatap Nadit dan langit yang perlahan menjadi jingga di ujung sana. Matahari, sebentar lagi harus beristirahat bergantian dengan bulan.

“Ajakin pulang.” Ucap Mark menyikut lengan Vernon, Ia kemudian merogoh kantung jaketnya, mengambil ponsel dan mengetik beberapa pesan.

Yang diujung sana langsung melangkah balik mendekati keduanya dengan raut wajah kesedihan.

“Besok balik lagi kesini.”

“Besok weekend, aku kerja.”

“Udah dibilang keluar aja dari sana. Lagian Ibu kamu juga gatau kan kalau kamu kerja part-time?”

“Aku harus dapet jajan lebih, Vernon.”

“Sini biar aku aja yang jajanin.” Ucapan Mark membuat Nadit memutar bola matanya malas. Orang orang berduit, batinnya.

Nadit menoleh sebentar keujung sana, mengingat pada beberapa malam yang lalu, seseorang menunjuk ke arah sana dan bilang bahwa rumahnya, ada disekitar sini.

“NADITTT!!“ Nadit kalap ketika berbalik akibat namanya diteriaki, melihat tas ransel kuning yang dititipkannya pada Vernon dan Mark di bawa lari seekor anak anjing.

“LARII KEJARRR MARKK!!” Dua orang laki laki sudah duluan berlari didepannya, dan Nadit menyusul dibelakang.

“VERNON!” Dirinya meringis kesakitan dan terduduk diatas pasir pantai, ada darah yang menetes disana.

Fuckkk!!

Nadit beringsut mendekati Mark yang sudah lebih dulu terduduk disebelah Vernon yang terus berteriak kesakitan, anak anjing tadi, sempat menggigit tangannya ketika berusaha menarik tas kuning milik Nadit.

Orang-orang mulai ramai berkumpul.

Excuse me. Sebentar, sebentar.” Nadit mendongak, menyibak rambutnya ketika seseorang ikut duduk di samping Vernon.

Sorry, that puppy is mine, you okay?”

“Emang keliatannya okay?” Nada suara Vernon mendadak meninggi.

“Bisa berdiri gak? Kita ke rumah sakit ya?” Seseorang tadi, berusaha mengintip luka ditangan kiri Vernon, ikut meringis melihat lukanya.

“Kim, ya?”Ditengah riuh dan panik, Nadit bersuara, membuat seseorang tadi menoleh. Membulatkan matanya menatap Nadit.

Germany?” Kim, yang dipanggil oleh Nadit tadi menunjuknya.

“Na—“

“INI BISA DISELESAIN DULU GAK? SAKIT!”

Laki laki tadi merobek kaus hitam yang dipakainya sedikit, kemudian mengikat kencang ke tangan Vernon yang masih mengucurkan darah.

We are heading to the hospital.” Dirinya membopoh Vernon, diikuti oleh Mark dan Nadit yang menyusul dibelakang.

Mata Nadit, barang sedetikpun tidak beralih dari punggung lebar sosoknya. Ini, ini orang yang saban hari Nadit cari, pada akhirnya Nadit temukan eksistensinya.

-

“Setiap sebulan sekali harus ke rumah sakit ya, untuk suntik rabies.” Dokter menulis dan terus mencoret di atas kertas resep obat.

“Emang anjing yang gak rabies bisa bikin rabies ya, dok?” Vernon bersuara.

“Kita jaga jaga aja, karna kita gatau apa anjingnya emang punya gejala rabies atau tidak, walaupun si anjing udah di suntik rabies, ya? Untuk suntikannya gak ada efek samping di orang yang tidak terkena gejala, obat obatannya juga. Intinya, kita jaga jaga aja.” Jelas sang Dokter, Vernon, si laki laki yang disapa Kim tadi, Nadit dan Mark mengangguk.

“Ketentuannya memang 6 bulan ya, dok?” Kali ini sembari bertanya, Vernon menaikan alisnya.

“Sebenernya tergantung orangnya kembali. Sebelumnya saya udah tanya kalau kamu enggak pernah di gigit anjing sebelumnya kan? Berarti belum ada vaksin sebagai pencegahan awal.” Ketiga remaja mangut-mangut.

“Selama 3 bulan awal, saya berikan dosis vaksin Profilaksis Pasca Pajanan, karna kamu sendiri sudah terkena gigitan. Setelahnya, setelah ada jarak waktu yang cukup, kamu nanti disuntikan dosis vaksin Profilaksis Pra Pajanan yang sebenarnya berfungsi untuk andibodi dan pencegahan. Paham?” Ketiganya menggeleng. Sang Dokter hanya tertawa kecil.

“6 bulan ya, setiap 1 bulan datang ke rumah sakit buat suntikan.” Jelas Dokter kembali, masih sibuk mencoret. “Ini, penanggung jawabnya yang mana?”

“Saya.”

“Tanda tangan disini, untuk jadwal suntikannya nanti saya berikan. Diusahakan jangan lewat dari tanggal yang sudah di jadwalkan.” Kim, mengangguk, memberikan tanda tangannya diatas kertas kemudian menunggu di koridor rumah sakit untuk penerimaan obat.

“Kamu bakal bilang apa sama Ibu kamu, Vernon?” Mark menyikut tangan Vernon, sedikit berbisik.

“Ya bilang aja di gigit anjing.”

“Nanti Ibu kamu malah nuntut dia?” Mark menunjuk ke subjek pembicaraan.

“Tapi kan dia tanggung jawab?”

“Ya tetep aja..”

Di sisi lain, Nadit belum selesai dalam agendanya untuk menatap orang ini. Terus membatin, apakah sosok yang dicarinya yang sekarang ada di hadapannya, lupa akan kejadian tempo hari?

“Obatnya udah diterima, aku kerumah kamu dulu Vernon, biar aku ngomong sama orang tua kamu.” Vernon menyikut lengan Mark, membuktikan fakta bahwa tidak perlu ada yang dikhawatirkan karna orang ini memang bertanggung jawab.

“Boleh.”

“Kalau gitu, aku sama Nadit langsung pul—“

“Aku ikut!” Nadit bersuara, memotong omongan Mark. “Aku ikut ke rumah Vernon.”

“Ngapain? Nanti kamu pulangnya sama siapa?” Bisik Mark.

“Nadit?” Kini, seseorang yang di panggil Kim tadi menyebut namanya. Jangan tanya seberapa berdegupnya jantung Nadit di dalam sana ketika namanya meluncur dari mulut si lelaki.

“Iya, Nadit. Mingyu Kim, kan? Beberapa minggu yang lalu kita ketemu, di pinggir pantai hampir tengah malam.” Mingyu, dirinya mengangguk.

Nice to see you again, Nadit.” Ia tersenyum kecil.

“Si Duda?” Mark lagi lagi berbisik, membuat Nadit menyikut perutnya. “Aw! Sakit, Nadit!”

“Aku ikut ke rumah Vernon.”

“Ngapain? Ada juga nanti kalau pulang jauh, Nadit. Mending langsung aja biar sejalan sama Mark.”

“Gak papa, Commuterline jam terakhir ada di jam 9 kok, Vernon.” Nadit diam diam memijak kaki Vernon. “Aw aw, Nadit kaki ku!”

“Yaudah gak papa. Nanti dianterin kerumah juga gak papa.” Balas Mingyu.

“Yaudah kalau gitu aku duluan ya. Salam sama Ibu kamu Vernon, mungkin di gigit anjing lebih baik dari pada dikejar Ibu kamu 10 keliling di halaman belakang.” Mark berlalu melambai.

Can someone just shut his mouth?! Fuck you, Mark!”

-

“Tas.” Mingyu menyodorkan ransel kuning yang bagian sampingnya sudah agak koyak akibat gigitan anak anjing miliknya.

“Makasih.”

“Maaf ya, soal tas kamu. Mau aku ganti aja?”

“Enggak usah, gak papa. Aku masih punya banyak.” Nadit tertawa canggung, mengusap tekuknya.

“Ibu kamu? Didalam?” Nadit mengangguk. Jam sebetulnya belum menunjuk pada angka 9, namun, setelah Mingyu mengobrol dan bersumpah akan bertanggung jawab atas kejadian hari ini didepan orang tua Vernon, dirinya menawarkan diri untuk mengantar Nadit pulang.

Menolak? Mungkin Nadit akan mengutuk dirinya kalau kalau menolak ajakan tumpangan yang di tawarkan oleh Mingyu.

“Jangan keseringan merokok.” Nadit membulatkan mata, membuat Mingyu menunjuk tas ransel yang dipeluk Nadit dengan dagunya.

“Robek, rokok kamu tadi sempet jatuh.”

“Oh.. Iya..” Nadit mengusap tekuk dan menolak dengan keras menatap Mingyu.

I meant it, buat jangan keseringan. Kamu masih muda, masih sekolah malah.”

Beribu kali orang orang mengingatkan Nadit untuk berhenti menyentuh barang penuh nikotin itu. Biasanya, Nadit hanya memutar malas kedua bola matanya dan malah menghisap satu batang lagi. Tapi kali ini, ia menunduk dengan mencengkram kuat ranselnya, ada detak jantung yang tidak hampu ia kontrol di dalam sana.

Do you hear me, Nadit?”

“I-iya.. I’ll try. So, Thank you, Kim.”

No problem, aku balik dulu, ya?”

“Eh..” Sebelum Mingyu membuka pintu mobilnya, Nadit bersuara, “Gak mau mampir dulu?”

“Enggak usah, udah malam, aku juga masih ada kerjaan yang harus di beresin. Aku duluan ya?” Mingyu kini sudah sepenuhnya masuk kedalam mobil, membuka kacanya sampai habis kemudian menatap gadis yang masih memeluk tas ransel kuningnya.

“Selamat malam, Nadit.”

Bagitu mobil Mingyu hilang dihadapannya, Nadit terjatuh diatas rumput halaman rumah, berdiam diri, menatap kosong apa yang ada didepannya, kemudian..

Tersenyum kecil dan terbahak sampai sampai membuang kepalanya kebelakang.

“Cara kerja semesta atau apapun itu, intinya, i owe you, world!

Vernon dan Mark duduk dibawah stan es krim kecil di pinggir pantai, memicingkan mata akibat terik matahari untuk melihat satu sahabat perempuannya yang masih terus sibuk dari tadi menoleh ke kanan dan ke kiri. Sesekali, keduanya menjilat es krim dengan cone di tangan masing masing.

“Beneran duda?” Mark menyipitkan matanya, akibat pantulan cahaya matahari.

She said that the man’s wife died. Jadi, Duda, kan?”

She’s crazy.” Kedua manik mata Mark dan Vernon kembali terpaku pada satu perempuan yang sampai sekarang pun masih sibuk berdiri dan mencari diujung sana.

“Pantes.”

“Pantes apa?”

“Lagu nomor 1 di playlistnya ‘Daddy Issues’“ Mark memutar bola matanya malas mendengar pernyataan Vernon barusan.

“Dia gak sadar apa kalau dia masih nenteng tas ransel kaya gitu? Suka sama orang tua?”

Love is blind, dude.” Vernon mengibaskan tangannya didepan wajah.

Blind, it is. Tapi masa sama duda. Umur dia 18 tahun.”

You don’t know how old this man is, Mark. He could be 25? cuma beda..” Vernon menekuk satu persatu jarinya, menghitung. “Tujuh tahun, it’s not a big deal..

And what if, he is 30? She is stupid kalau gitu ceritanya.”

“Hmm..” Vernon lagi lagi menekuk jemarinya, lagi lagi menghitung “Dua belas..” Ia mengangguk, menatap teman perempuannya yang sampai sekarang pun belum putus asa, belum menyerah seakan-akan secercah cahaya akan muncul barang sedetik lagi.

“Gatau deh, terserah dia.” Dari ujung sana, gadis tadi mulai berjalan mendekat.

“Gimana? kelihatan batang hidungnya, gak?” Mark yang lebih dahulu membuka mulut.

Si gadis hanya membanting tubuhnya malas dan membuang nafas. “Nope.

You sure he lives here? in the edge of the beach?

I’m not sure, but that night he said that he lives around here.

“Kalau kamu masih tetep kekeuh, coba ketuk satu satu pintu rumah orang-orang kaya disana..” Mark menunjuk rumah mewah yang berjejer agak jauh dari posisi mereka.

“Bisa jadi. Lets go!

“Hah? Let’s go?

“Iya! Ayo! Kita bagi tiga, biar gak kesorean.”

“Nadit,” Mark menarik tangan si gadis yang dipanggil Nadit tadi. “There is a way..

That is a way, Mark, the only way. Emang cara apalagi yang bisa bikin aku ketemu sama dia?”

“Coba sini aku tanya, setelah kamu ketemu sama dia, terus apa?” Kali ini Nadit diam, mengkerutkan alisnya, berfikir. Iya, Nadit, kalau sudah ketemu, terus apa?

“Dia duda, Nadit.”

And what’s wrong with that? Excuse me?

“Kamu anak sekolah.”

“Terus?”

“Bukannya kamu mikir itu hal yang gak wajar?”

“Oke, fine. Sorry if i bothering both of you. We’ll going home.” Nadit bangkit berlalu, berjalan lebih dahulu meninggalkan dua teman laki-lakinya yang masih terduduk sambil menghabiskan suapan terakhir cone es krim mereka.

“Nadit! Luna gimana?”

“Ambil kerumah.” Keduanya ikut bangkit kemudian berlari menyusul dibelakang pundak sang gadis.


“Lihat bagaimana dirinya tidak terkukung dan tidak mampu terguncang oleh kenyataan negara dimana masa otoriter dan krisis mengelilingi tubuhnya. Lihat bagaimana ia yang berorasi, lihat bagaimana langkahnya berkontribusi, dan lihat bagaimana ia mulai berani menarik pena dan menulis larik baru dalam puisi hidupnya, ia melawan.”


Jakarta, 12 Desember 1996.

Hari ini Ibu masak kari kambing lagi, Kak. Aku sudah katakan kepada Ibu kalau aku bisa-bisa kena kolesterol kalau makan daging kambing sampai sesering itu. Tapi aku tidak bohong, kalau kari kambing yang di masak Ibu adalah memang yang terbaik. Aku yakin, kalau kamu disini, kamu pasti akan menyetujuinya. Juga jempolmu yang akan mengudara dan mendeklarasikan bahwa kari kambing Ibu adalah yang paling juara.

Minggu lalu, aku baru selesai ujian. Minggu-minggu yang berat sebenarnya. Kalau kamu disini, pasti akan kamu ajak aku berkeliling Ibukota. Kita akan makan Es Krim yang katanya adalah replika dari es krim yang paling terkenal di Surabaya, es krim Zangrandi. Aku sih, tidak tau rasa es krim Zangrandi itu gimana, soalnya janji kamu buat ajak aku ke Surabaya belum kamu penuhi.

Semoga setelah kamu balas surat ini, kamu langsung bangkit dan membawaku ke Surabaya ya, Rendra. Narendra Aditama. Supaya kamu bisa berhenti mnyombongkan kampung halamanmu itu tapi acap kali sibuk dan tidak pernah mau membawaku kesana.

-

Surabaya, 25 Desember 1996.

Adik cerewet!

Sudah aku baca surat-mu dan ini sedang aku tulis supaya bisa cepat-cepat aku kirimkan ke Ibukota sana. Hei! Hei! Kemana embel-embel Kakak atau Abang di tulisanmu itu, hm? Tidak sopan, tau! Aku ini kan 2 tahun lebih tua di atas kamu.

Besok, kalau aku kembali ke Jakarta, aku ajak kamu pulang supaya bertemu Ibu mertuamu. Hahaha.

Ujianmu hasilnya bagaimana? Nanti ketika membalas ini, kalau sudah keluar hasil ujianmu, fotokopikan, aku penasaran. Apa benar buku tebal dengan gambar anatomi tubuh itu kamu buka setiap malamnya? Ayolah, kamu bilang kamu mau jadi dokter yang keren ditahun baru milenial nanti, bukannya begitu?

Ibu dan Ayah bagaimana kabarnya? Pasti Ayah kesepian ya, karna tidak punya teman untuk berdiskusi perihal bagaimana perbedaan idealisme antara Seokarno dan Bung Hatta, kan? Aku janji, aku akan balik secepatnya ke Jakarta untuk mengunjungimu, Ayah dan Ibu.

Narendra Aditama.

-

Jakarta, 13 Januari 1997.

Kak Rendra!

Kenapa tahun baru tidak ke Jakarta? Menyebalkan. Kamu juga tidak membalas suratku pada akhir tahun lalu. Kamu baik-baik saja, kan?

Kakak, kabari aku kalau kamu kenapa-napa. Jangan bikin aku khawatir seperti ini, ya?

Ibu dan Ayah bagaimana kabarnya? Ajak mereka main ke Jakarta lagi, kak. Aku selalu merindukan bagaimana melihat punggung keduanya, juga punggung kedua orang tuaku duduk di kursi panjang taman rumah. Atau sesekali melihat mereka tertawa terbahak di ruang lepas sana.

Sebenarnya, kalau kamu menghabiskan waktu lagi untuk membaca buku idealisme negara sampai lupa membalas suratku, aku akan marah! Sudahlah, kak. Negara ini akan baik-baik saja kalau kamu tutup barang sebentar bukumu dan menulis untukku, ya?

Kak Rendra, aku mulai merindukanmu. Jangan lupa balas suratku.

-

Surabaya, 1 Februari 1997.

Adik, kamu apa kabar dan sedang apa?

Maaf ya, kegiatan organisasi di kampus belakangan lagi padat-padatnya. Suratmu sudah aku terima bulan yang lalu, tapi baru bisa aku balas sekarang karena padatnya jadwalku. Sekali lagi maafkan aku, ya? Aku janji, kalau nanti main kembali ke Jakarta, aku ajak kamu berkeliling dengan motor butut Pakde ku yang tidak sebagus mobil Ayahmu. Yang penting, tidak akan mogok di tengah jalan. Ya?

Kuliah kedokteranmu bagaimana? Kamu sudah hapal seluruh anatomi dan bahasa latinnya? Penyakit apa yang akhirnya bisa kamu temukan obat mujarabnya? Ceritakan, dik. Aku sudah mulai haus akan celotehanmu.

Dik, di Surabaya hari ini hujan. Mendung, dan sendu.

Yang aku bayangkan hanyalah bagaimana kalau kita beringsut bersama di dalam selimut tebal kemudian saling dekap. Memejamkan mata dan membiarkan hangatnya deru nafas membakar kita. Dan lagu dari piringan hitam yang kemudian akan memenuhi ruangan, menghantar kita kepada dunia mimpi sampai akhirnya terbangun untuk menyaksikan matahari ternyata sudah berdiri di pucuk kepala lagi.

Dik, aku rindu.

Narendra Aditama.

-

Jakarta, 26 Februari 1997.

Hari ini, giliran Jakarta yang di guyur hujan secara anarkis, Kak Rendra. Kalau kamu disini, kamu pasti akan terus-terusan terkejut dengan guntur yang terus-terusan menyahut tidak ada henti. Cahayanya dari luar jendela sana seperti blitz kamera yang menangkap gambar seperti seorang paparazzi.

Kamu tau tidak, Kak? Hari ini aku mencoba membaca buku Pak Pram. Iya, tenang saja, aku membacanya secara diam-diam. Supaya aku tidak dibuntuti intel seperti kelompokmu disana yang terlalu rajin membaca buku yang dianggap rezim-rezim itu buku komunis.

Kalau kamu tanya alasannya apa, aku mau jadi seperti kamu. Seorang aktivis yang akan selalu membela keadilan negara. Atau, supaya kita bisa bertukar pikiran perihal tulisan ini. Supaya aku bisa mendelisik dan lagi-lagi takjub perihal argumentasimu yang penuh sihir dan magis.

Kak Rendra, ayo ke Jakarta.

-

Surabaya, 11 Mei 1997.

Adik, kamu apa kabar? Sedang apa di Jakarta sana? Cuacanya hari ini cerah atau mendung?

Maafkan aku yang baru membalas suratmu, ya? 2 hari yang lalu aku baru selesai di introgasi para aparat akibat ketahuan membuka forum diskusi di satu kos temanku di sekitar Jalan Mulyosari Utara. Kalau aku ceritakan, kamu simpan sendiri saja dan jangan sampai ada yang menemukan secarik surat ini, ya?

Dik, aku percaya kamu.

Sore itu, tiba-tiba segerombol pria dengan tubuh besar mendobrak pintu kamar kos temanku, dan ternyata adalah aparat negara. Mereka berasumsi bahwa ketika itu, kami sedang berdiskusi perihal menjatuhkan presiden dan buku-buku soal idealisme. Memang benar adanya, namun karena kapasitas kos temanku cukup kecil dan saat itu anggota yang lain tidak ada disana, kami akhirnya membuat alasan bahwa ketika itu kami sedang berdiskusi perihal buku sastra Jepang karena beruntungnya, saat itu hanya ada aku dan 4 temanku yang sama-sama berada di bawah naungan sastra Jepang.

Mereka juga menemukan satu jurnal sastra Jepang di dalam tasku yang ketika itu beruntungnya tidak aku keluarkan dari sana.

Pipiku sempat di tampar, cukup kuat sampai membuat bibirku pecah dan meninggalkan luka disana. Tapi kamu tidak perlu khawatir, lukanya sudah kering.

Aku baca kemarin, katanya kamu mau mencoba membaca buku pak Pramoedya? Tidak usah. Kamu cukup baca buku anatomi tubuhmu itu yang tebalnya membuatku mengerutkan kening sampai tidak mau lurus. Kamu tidak perlu jadi aktivis yang berjuang membela keadilan. Kamu, cukup jadi perempuan dengan jas putih selembut sutra dan stetoskop di lehermu, ya? Kalau nanti aku, pacarmu ini terluka akibat tamparan lain di kemudian hari, aku mau kamu yang obati lukaku. Boleh?

Perihal tukar pikiran, ada banyak hal yang bisa kita tukar, dik. Mungkin soal bagaimana Ibumu bisa membuat Kari Kambing seenak itu dibanding Ibu-Ibu lain di Surabaya? Apa rahasianya? Atau, bagaimana soal tukar pikiran tentang alun-alun Yogyakarta yang suasananya berbeda dengan alun-alun di Surakarta.

Dik, secepatnya aku akan mengunjungimu ke Jakarta.

Narendra Aditama.

-

Surabaya, 15 Juni 1997.

Pagi itu, aku akhirnya memijakkan kaki di Surabaya setelah 9 jam perjalanan menggunakan bus antar kota. Menemui Kak Rendra.

Hari ini, dirinya genap berusia 22 tahun. Tepat hari ini.

Aku pergi ke Surabaya tanpa memberitau kabar apapun kepadanya. Perihal alamat rumah, dulu sewaktu pertama kali bertemu, kami bertukar alamat, untuk saling mengirimi surat yang akhirnya terus berlanjut sampai sekarang.

Aku sendiri tidak tau persis jalan menuju rumahnya, tentu saja, ini kali pertamanya aku ada di Surabaya. Aku tenteng tasku di bahu sebelah kanan, dan sekotak kue tart aku genggam di tangan kiriku. Selanjutnya, aku tunjukan alamat yang tertulis pada secarik kertas kepada tukang becak yang aku tumpangi. Ia mengangguk, mulai mengais sepedanya, sekaligus membawaku mengelilingi kota Surabaya, melewati patung buaya dan hiu yang ada di tengah kota.

Aku tidak sabar untuk mencicipi kue ini, juga es krim Zangrandi yang paling terkenal disini.

Pada sebuah simpangan, tukang becak yang mengais sepeda bilang kepadaku bahwa aku sudah ia antar masuk ke dalam perumahan, jadi ia bertanya, rumah mana tepatnya yang akan aku kunjungi.

Aku diam. Karna aku sama sekali tidak tau rumah Kak Rendra yang mana, warnanya apa, atau terletak di sudut mana.

“Enggak papa, Pak. Saya turun disini aja.”

Setelah membayar dan turun, aku menyusuri seluruh jalan perumahan. Berjalan kaki dibawah teriknya matahari kemudian menemukan satu wanita paruh baya sedang membersihkan halamannya.

“Permisi, Ibu..” Ia mendongak.

“Oiyo.. ono opo, cah ayu?” Aku terkikik kecil, sedikit paham.

“Rumah Mas Narendra disini, Bu?”

“Oh.. sing aktivis kui, yo? Kui lo, omah e, sing pager ireng.” Wanita paruh baya itu menunjuk lurus kebelakang punggungku.

Iya, itu pasti rumah kak Rendra, mobilnya masih sama seperti yang orang tuanya bawa dulu ketika ke Jakarta.

“Orang-orang tau ya, Bu, kalau Mas Rendra itu aktivis?”

“Yoiyo. Tapi meneng-o, mbak. Nek enek sing takon, opo meneh aparat. Wis, rasah dijawab. Soal e aku yakin, Mas Rendra iki mesti membela negara. Sedang berjuang.” Aku tersenyum lebar.

“Mba e sopo ne Mas Rendra?”

“Pacarnya, Bu. Dari Jakarta.”

“Woalah, tapi ngerti ya tadi saya bicara apa?”

Aku terkikik kecil. “Mengerti, Ibu.”

“Ayu tenan pacar e Mas Rendra. Kalau belum dengan Mas Rendra, saya jodohkan dengan anak bungsu saya.” Aku terbahak.

“Kalau gitu, saya duluan ya, Bu?”

“Iya-iya. Hati-hati, Mba.”

Aku melangkah menjauh. Meninggalkan wanita paruh baya tersebut dengan senyum rekah yang menghiasi wajah. Mas Rendra sedang membela negara. Kalimat itu tertancap sangat kencang dalam sanubariku, sampai-sampai ingin membuatku menangis tersedu.

Ketika sampai, tepat didepan daun pintu rumahnya yang tertutup rapat dan hening tanpa ada suara didalamnya, aku mengetuk.

Berkali-kali, namun tidak ada jawaban.

Apa sedang tidak ada orang di rumah?

Ada banyak rasa kecewa mengerubungi tubuhku, apa harus aku kunjungi kos temannya yang satu kali pernah ia katakan ada di Jalan Mulyosari Utara?

Tiba-tiba, decit pintu membuatku cepat menoleh, seseorang mengintip dibalik daun pintu.

Manik matanya yang tidak asing, Kak Rendra.

Ketika mengetahui eksistensiku, cepat ia tarik aku masuk ke dalam. Ia cengkram kuat bahuku, kemudian menjamahi setiap sudut wajahku, tubuhku dengan matanya.

“Kak?”

“Kamu gak-papa? Kamu kenapa ada di Surabaya?” Nafasnya tersenggal. Ia kemudian mengunci pintu dan mendudukkanku di sofa.

Kini matanya jadi teduh ketika melihatku, ia buang nafasnya pelan, kemudian menarikku kedalam dekap hangat tubuhnya. Kuat, kuat sekali.

“Selamat ulang tahun, Kak Rendra.” Setelah melepas peluk, aku serahkan kue tart yang aku bawa. Aku sudah tidak tau bentuknya seperti apa, mungkin sudah hancur dan tidak lagi berbentuk kue seperti yang aku beli.

“Kamu jauh-jauh dari Jakarta cuma buat ulang tahunku?” Aku mengangguk. Ia tersenyum. Cerah. Kemudian ia tarik kembali aku kedalam peluknya.

“Aku rindu kamu, Kak. Jarak waktu ketika pertama kali kita ketemu di Surakarta, kemudian ketika kamu akhirnya pertama kali main ke Jakarta dan sampai saat ini, lama sekali, Kak.”

“Aku tau, maafin aku.”

Setelahnya, dia potongkan satu kue tartnya (yang untungnya masih berbentuk bagus) untuk ia suap masuk ke dalam mulutku. Krimnya enak, enak sekali.

Kami habiskan waktu kami berdua di ruang keluarga dengan menyantap kue yang aku bawa.

“Yang lain kemana, kak?” Aku mendelisik, melihat kekanan dan kekiri. Berusaha mencari eksistensi orang tuanya, namun nihil.

Kak Rendra kemudian meletakkan sendoknya, membuang nafas kecil, kemudian menangkup wajahku dengan telapak tangannya.

“Dik, aku buron sudah 2 bulan ini. Itu mangkanya aku belum bisa mengirimimu surat.” Mataku membulat hebat.

“Jantungku hampir loncat ketika mendengar suara ketukan di pintu. Ayah dan Ibu aku asingkan sementara ke Semarang, di tempat eyang. Kos temanku yang sempat aku ceritakan sudah di grebek, begitu juga markas yang lain. Waktu kamu hari ini salah, Dik, untuk datang ke Surabaya dan menemuiku.”

Aku berkaca-kaca. Kemudian kembali terngiang perihal perkataan wanita paruh baya tadi. Mas Rendra sedang membela negara.

Menjadi aktivis seperti Kak Rendra di tahun penuh gejolak ini adalah memang berat. Namun aku yakin, tekatnya untuk membela masyarakat yang ditindas negara tidak akan luntur. Ia selalu menjunjung tinggi keadilan, bahkan sekecil coklat yang aku beri untuknya, ketika pertama kali sebuah insiden yang mengantar kami menuju hubungan lebih. Tahun 1995, di Surakarta.

Ketika itu, aku tidak segaja tersandung dan menumpahkan jajanan yang aku beli kepada pejalan kaki di alun-alun Selatan Surakarta. Kak Rendra.

Selain akhirnya menjadi tontonan pengunjung lain, aku harus menanggung malu lainnya.

“Maaf ya, Mas.” Kataku.

“Iya, Mba.” Dirinya membersihkan pakaiannya dengan tisu basah yang selalu aku bawa kemana-mana di dalam tasku. Di kursi Panjang, aku duduk menciptakan jarak di sebelahnya, sambil memegangi bungkus tisu basah agar supaya gampang ia ambil.

Aku tau dirinya kesal. Jadi pada akhirnya, sebuah coklat yang aku simpan di dalam tasku dengan agak berat hati aku sodorkan kepadanya.

Alisnya mengkerut tajam.

“Permintaan maaf saya, Mas. Maaf ya, Mas, sekali lagi.” Dirinya malah terkekeh.

Kak Rendra sewaktu itu mengambil coklat yang aku sodorkan, kemudian mematahkannya menjadi dua bagian, mengembalikan setengahnya kepadaku. “Buat Mba-nya.” Katanya.

“Gak usah, Mas. Buat Mas aja semua. Gak papa.” Ia menggeleng, malah menarik tanganku dengan tangannya, memaksaku menerima kembali barang yang telah aku beri.

“Biar adil.” Begitu katanya.

Malam itu, tahun 1995 di alun-alun Selatan Surakarta, obrolan kami malah menuju saling menukar informasi pribadi.

Soal, apa yang sedang aku dan dirinya lakukan di Surakarta sedangkan ia adalah orang Surabaya dan aku sendiri orang Jakarta. Katanya, ia mengunjungi eyangnya yang ada di Semarang, namun mampir sebentar ke Surakarta. Aku sendiri, memang sedang berlibur untuk merayakan libur panjangku sehabis tiga tahun masa putih abu-abu.

Atau lagi, perihal tukar pikiran berat soal pemberontakan Kwangju pada tahun 1980 di Korea Selatan yang saat itu tidak mampu melahirkan negara demokrasi sedangkan People's Power Manila mampu melengserkan Presiden Marcos dan membuat banyak negara cemburu dan iri, tidak terkecuali negara yang kami pijaki. Soal, bagaimana bisa kekuatan manusia mampu mengguncang negaranya serta melahirkan keadilan dan kemakmuran yang menentramkan.

Sebuah obrolan berat untuk dibicarakan padahal itu adalah kali pertama kami bertemu. Aku sendiri tidak menyangka, kalau ilmu sejarahku yang pas-pas-an ini ternyata bisa menyambung dengan ilmu bacaan yang Kak Rendra punya ketika itu.

“Saya.. boleh tau alamatnya, tidak? Manatau, kepingin mengirim surat.” Aku tersenyum hebat. Jantungku rasanya berdetak tidak karuan.

Saat itu, akhirnya kami bertukar alamat. Dan setahun setelahnya, kira-kira bulan Agustus 1996, dirinya mengunjungiku ke Jakarta. membawa keluarganya singgah menuju kediamanku. Dan hari itu, adalah kali pertama Kak Rendra mengatakan kalimat paling magis yang benar-benar menyihirku.

“Kita.. terlalu sering mengirim surat hanya untuk status yang kurang jelas.” Cicitnya. Angin sepoi-sepoi dibelakang rumahku kala itu menabrak surai kelamnya, berantakan dan bahkan menusuk matanya. “Kita.. pacaran saja, gimana?”

Aku tersenyum kecil. Belum menjawab.

“Aku gak bisa selalu janji bakal main ke Jakarta terus buat ngeliat kamu, tapi kamu bisa pegang percaya kamu untukku. Ya?”

“Iya.”

Aku ingat rasanya. Bagaimana ranum bibirnya mengecup cepat milikku. Ketika itu, seharusnya waktu berhenti berdetak barang sekejap.

Kini manusia penuh rasa cinta itu akhirnya kembali ada di depan mataku setelah perjalanan hubungan jarak jauh yang cukup lama. Aku merindukannya, sangat-sangat merindukannya. Kini jemarinya mengelus pipiku, pupilnya tenggelam didalam pupilku, serta senyum kecil di sudut bibirnya.

Narendra-ku.

“Aku.. boleh cium?” Aku terkikik kecil. Mengangguk.

Tidak lama, akhirnya mulutku tertutup, ditutup oleh miliknya. Leguhan nafasnya dapat aku dengar pelan, serta nafas hangat yang menampar pori wajahku. Ia disana, melumat dan bermain.

Senyum merekah di sudut bibirnya ketika ia tarik ciuman singkat tadi, kemudian berganti menuju sudut mataku, ia kecup.

Aku menelusuri seluruh sudut rumah Kak Rendra. Sederhana dan nyaman. Ketika memasuki kamarnya, aku temukan banyak buku disana. Satu nakas di sebelah kasurnya, dan pemutar piringan hitam. Aku terkagum.

“Ini.. bisa di putar?” Tanyaku. Menoleh padanya yang sibuk merapikan buku-bukunya yang berantakan tidak tersusun. Kak Rendra menoleh, menatap telunjukku yang menunjuk pemutar piringan hitam yang ada di atas nakasnya. Ia tersenyum.

“Bisa.. mau?”

“Mau.” Kataku.

Ia kemudian menarik satu laci nakasnya, mengeluarkan beberapa piringan hitam disana dan menyuruhku memilih. Ada Bob Tutupoly yang aku tidak terlalu paham lagu miliknya yang mana, ada lagi Benyamin Sueb, kemudian satu yang aku baca, milik Koes Plus.

“Mau denger yang mana?”

“Terserah kamu aja, Kak.”

“Lagu lagunya Koes Plus, tau gak?”

“Yang mana?”

“Andaikan Kau datang kembali?”

“TAU TAU!” Balasku teriak kegirangan.

“Stt..” Kak Rendra menempatkan telunjuknya didepan bibir. Aku langsung menekuk bibirku.

“Suaranya pelan aja, boleh, ya?” Aku mengangguk. Tidak lama, alunan melodi dari sana mulai memenuhi ruangan.

Aku kemudian bangkit, mendelisik pada rak buku dikamarnya. Banyak. Kemudian aku temukan satu majalah tahun 70-an, dan menemukan ada bagian yang terpotong.

“Kok.. bolong?”

“Oh.. itu puisinya WS. Rendra yang sewaktu dulu adanya cuma di majalah keluaran kaya gini. Jadinya aku potong dan aku tempel di buku jurnalku.”

“Kamu cari majalah keluaran tahun 70-an kaya gini dimana, Kak?”

“Toko barang bekas.” Ia tertawa kecil.

Aku kemudian duduk di pinggir tempat tidurnya, ia ikut duduk disana, menyusulku. Kepalaku masih mendongak, mengawangkan pikiran soal betapa penuh kejutan laki-laki disebelahku ini. Buku, musik, puisi dan sajak jadi bagian dari tumbuhnya.

Aku kemudian menoleh, mendapati ia yang sudah menatapku lebih dulu.

“Kakak.. kamu gak takut?” Cicitku pelan.

Ia menggeleng.

“Bahkan sampe kamu jadi buron gini, kak?”

Ia tersenyum kecil.

“Dik..” Serunya. “Tujuanku bukan yang aneh-aneh. Tujuanku adalah untuk kembali menegakkan keadilan di negara ini. Tujuanku adalah untuk membela yang tertindas. Diskusi dan bacaanku bukan tentang idealisme komunis seperti apa yang rezim rezim itu pikirkan, tidak, Dik. Aku tidak takut untuk negaraku, tidak.” Air mataku memupuk. Sekali lagi, perkataan wanita paruh baya tadi kembali terngiang, Mas Rendra, sedang membela negara.

Aku peluk tubuhnya. Pahlawan, mungkin bukan mereka yang memegang senjata ataulah bambu runcing. Kekasihku ini, yang hanya bermodalkan kemeja di tubuhnya, serta landasan sastra pada pemikirannya yang ia gunakan sebagai senjata, saat ini sedang berjuang.

Malam hari pukul 7, aku pamit.

Lama ia dekap tubuhku yang kecil ini. Lama ia simpan wajahnya di dalam ceruk leherku. Lama.

Awalnya aku menolak untuk diantar menuju Terminal Bus mengingat statusnya adalah buron. Ia berdalih bahwa ia bisa menggunakan jaket dan topi untuk menutup seluruh wajahnya.

“Enggak, Kak.”

“Aku antar!” Aku sedikit terkejut dengan nada suaranya. Ia yang memunggungiku kemudian berbalik pelan, menangkup pipiku kemudian menjelaskan. “Setelah ini, kalau aku belum membalas suratmu, tandanya aku masih dalam pantauan, ya? Kalau selama berbulan-bulan aku belum juga membalas surat kamu, aku mohon supaya kamu jangan datang ke Surabaya, situasi belum aman. Aku gak mau kamu kenapa-napa. Ya?” Aku mengangguk paham. Pada akhirnya, ia mengantarku sampai ke terminal bus.

Ia bisikkan dengan lembut kalimat : “Akan aku kirim kamu surat secepatnya, aku mencintaimu.” Kemudian menyuruhku naik. Aku bilang, ia boleh pulang setelah aku naik, tapi dirinya malah ngotot akan menungguiku sampai Busku meninggalkan terminal untuk kembali ke Jakarta.

Padahal, itu sangat berisiko.

Lambaian kecil aku terima ketika Bus akhirnya berjalan dan meninggalkan Surabaya. Entah kapan akan aku jumpai kembali sosoknya.

-

Jakarta, 1 Juli 1997

Kak Rendra! Bagaimana kabarmu hari ini? Aku harap kamu baik-baik saja, ya.

Tadi aku sempat ke toko buku, menemukan buku kumpulan penyair kesukaanmu, WS. Rendra. Aku baru saja menyadari bahwa ternyata nama kalian sama.

Sajak dan Puisinya bagus, Kak. Aku harap aku bisa menonton ia membaca syairnya langsung. Bagaimana kalau kita agendakan? Nanti, kalau semisal ada informasi perihal WS. Rendra, akan aku paksa kamu datang ke Jakarta.

Kak, kalau masih belum kamu kirimkan surat balasan, itu tandanya aku masih khawatir. Semoga kamu disana selalu baik, ya.

-

Jakarta, 25 September 1997.

Kak, masih belum aku terima surat darimu. Kamu baik-baik saja di Surabaya, kan? Aku harap rezim-rezim itu tidak berlaku keji sampai harus menangkapmu. Karena belakangan, beberapa aktivis di kampusku tiba-tiba saja hilang tanpa jejak, kak. Semakin hari, semakin banyak demonstrasi dan rusuh dimana-mana.

Kemarin, temanku bercerita kalau kakaknya yang salah satu aktivis mahasiswa hilang begitu saja, Kak. Tatap matanya selalu penuh harap. Menanti keajaiban akan kembalinya kakak sulungnya itu. Tapi kata Ayah, tidak ada yang perlu di harapkan. Mungkin, kakaknya hanya tinggal nama di tempat antah berantah.

Kak Rendra, aku masih menanti suratmu. Semoga Surabaya selalu tenang. Semoga, kamu selalu baik-baik saja.

-

Jakarta, 23 Desember 1997.

Kak Rendra, masih belum aku terima suratmu.

Kamu disana baik-baik aja, kan?

Kak, tolong.. tolong berikan sedikitnya kabar. Entah apapun itu.

Pikiranku mulai takut dan khawatir, kak.

-

Semarang, 13 Maret 1998.

Nak, ini Ibu. Ibu harap, surat ini sampai kepadamu dan alamatmu di Jakarta masih yang dulu.

Nak, Rendra sudah pulang.

Kita, coba ikhlas bersama, ya?

Bulan Agustus, ketika Ibu kembali dari Semarang, rumah yang di Surabaya sudah terbobol. Seluruh bagian rumah berantakan.

Narendra tertangkap.

Semenjak itu, Ibu sendiri tidak tau Rendra ada dimana. Ibu selalu berharap, kalau ia tiba-tiba muncul dari balik pintu, kemudian kami akan berpeluk bersama. Ibu berharap, Rendra pulang menuju rumah.

Tubuhnya kemudian ditemukan terdampar di pantai Glagah, Kulon Progo, Yogyakarta. Senja menuju malam.

Nak, Keikhlasan memang bukan suatu hal yang mudah untuk diterapkan. Ibu hancur, disini semua hancur. Dan ibu yakin, ketika kamu membaca surat ini, kamu sama hancurnya dengan kami.

Tapi, Nak. Narendra putra kesayangan Ibu itu, kini di rengkuh langit dalam keadaan sedang berjuang membela negaranya. Ia menang, kini ia sedang bersorak girang bersama teman seperjuangannya. Mungkin, ia belum sampai di titik pasti sebuah kemenangan. Tapi, Ibu selalu bangga.

Nak, Narendra selalu menyempatkan diri berkisah soalmu. Katanya, ia selalu tenggelam dalam gelap bola matamu. Katanya, rambutmu wangi, katanya lagi, pipimu yang sedikit gembul itu sehalus sutra. Ketika bercerita, ia seperti seseorang yang sedang mabuk dan lupa waktu. Kini, Ibu merasa kosong. Karna sudah tidak ada lagi celotehan Narendra perihal kamu.

Bumi Surabaya hari ini memeluk kekasihmu, Nak. Datanglah nanti, ketika keadaan sudah mulai membaik. Narendra pasti merindukanmu.

-

Surabaya, 30 Juni 1997.

Aku tidak tau, apakah kamu yang akhirnya membaca surat ini, atau orang rumah yang menemukannya lebih dulu dan akhirnya membacanya. Intinya, aku belum bisa mengirim surat ini menuju Jakarta. Kalaupun nanti sudah terkirim, aku tidak tau tanggal berapa akhirnya kamu menerimanya, tapi aku harap semoga ketika sampai ketanganmu, aku baik-baik saja dan keadaan juga mulai membaik.

Aku takut, Dik, jujur saja.

Teman-temanku mulai menghilang satu per-satu. Setiap malam, tidurku tidak pernah nyenyak, takut-takut kalau para rezim itu menemukanku disini, dirumahku sendiri. dimana harusnya ini jadi tempat pulang, tempat paling aman dari kejamnya dunia luar.

Setelah ini, mungkin aku harus pergi ke Yogyakarta, ada rencana yang sebelumnya telah kami susun di pantai Glagah di kabupaten Kulon Progo sana. Maaf, mungkin ketika aku pergi kesana nanti, kamu tidak tau kalau aku ada disana. Mungkin lagi, ketika rencana kami itu berhasil, sesaat aku pulang kembali ke Surabaya, telah aku terima bertumpuk surat dari Jakarta, darimu.

Aku mulai membayangkan, kalau nanti keadaan sudah membaik, akan aku ajak kamu main ke pantai Glagah. Kita duduk di bebatuannya, kemudian bernyanyi bersama. aku bukan yang mahir bermain gitar, tapi akan aku bawa untuk mengiringi suaramu nanti. Akan aku bawa juga puisiku, yang sudah aku tulis untukmu tapi belum berani aku syairkan.

Kemudian kita akan berlari, membiarkan bagaimana debur ombaknya membasahi baju kita. Kamu akan aku peluk, sekuat tenaga, kalau bisa sampai aku dan kamu jadi satu.

Sore hari, ketika matahari hampir tergelincir, kamu akan mencari sosokku. Membiarkan angin memeluk tubuhmu yang kecil itu. Ketika itu, aku akan muncul dari punggungmu, kamu menoleh dan menemukanku melambai dari bibir pantai sisi yang berlawanan darimu.

Tapi, kalau semisal rencana itu tidak berjalan dengan baik, dan ternyata aku tidak lagi mampu merengkuh tubuhmu. Percayalah, ketika angin memelukmu, itu adalah bentuk tidak nyata rinduku untukmu, itu aku. Itu Narendra Aditama yang jatuh dalam sumur tanpa ujung kasihmu, yang tersesat di bola matamu, yang mengalunkan puisi dan syair hanya kepadamu. Itu aku.

Aku yang merengkuhmu dalam sendu, itu aku yang pulang kepadamu.

Narendra Aditama.

-

Pantai Glagah, Kulon Progo, Yogyakarta. Juni 1998.

Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan. Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku. Aku merindukan wajahmu.

Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa. Kampus telah diserbu mobil berlapis baja. Kata-kata telah dilawan dengan senjata. Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini. Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat. Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan

Suatu malam aku mandi di lautan. Sepi menjadi kaca. Bunga-bunga yang ajaib bermekaran di langit. Aku inginkan kamu, tapi kamu tidak ada. Sepi menjadi kaca.

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan ? Udara penuh rasa curiga. Tegur sapa tanpa jaminan.

Air lautan berkilat-kilat. Suara lautan adalah suara kesepian. Dan lalu muncul wajahmu.

(WS. Rendra. Pejambon, Jakarta, 28 April 1978)

-

Narendra, 1998.

Aku terima suratmu dari Surabaya, Kak. Ketika aku terima, kita sudah berada di Bulan Juni tahun 1998, empat bulan setelah kematianmu. Tubuhmu di terjang ombak dan dipeluk pasirnya ketika itu kata Ibu.

Narendra, kamu menang.

Kini, kita sudah menyapa reformasi.

Harusnya kamu ada disini, meloncat dan berteriak girang karena akhirnya perjuanganmu tidak jadi sia-sia. Seharusnya kita beradu argumen soal idealisme baru tanpa harus bersembunyi dan memperbaiki markas. Seharusnya kamu ada disini, menyairkan sajak atau puisi.

Aku tidak bisa membayangkan apa yang telah kamu lalui. Tapi aku, ketika itu, selalu mengharapkan balasan suratmu. Hanya untuk menantikan bahwa kamu baik-baik saja. Namun ternyata, darahmu harus tumpah ketika membela negara ini.

Kemudian aku selalu merasa iri, ketika bumi dengan leluasa memeluk tubuhmu, sedang aku tidak lagi mampu. Yang dapat aku lakukan hanya menebar kelopak bunga, untuk memberikan wangi pada peluknya, pada kamu.

Narendra, angin pantai hari ini benar-benar mengingatkanku tentang bagaimana hangatnya deru nafasmu menyapu wajahku, tentang bagaimana kita kala itu, menghabiskan waktu, membunuh sendu. Aku mulai merindukanmu.

Tentang bayangan imajinasi soal, apakah ini kamu yang sedang pulang menujuku? Apakah ini kamu yang sedang merengkuhku didalam sendumu yang tidak lagi mampu mengapit jemariku? Apakah ini kamu, Narendra Aditama? Yang tidak lagi mampu mengukung rindu?

Narendra, terimakasih sudah ada. Terimakasih ketika itu kamu memijak di Surakarta. Aku terbangkan cinta dan kerinduanku pada langit sana. Semoga kamu selalu tau, bahwa aku selalu bersyukur, bertemu pejuang sepertimu, dicintai olehmu.

Kita perjuangankan lagi ya, perihal cinta kita di tempat dan waktu yang lain. Aku mencintaimu, Kak Rendra.

Yogyakarta, 1998.

-

Jakarta, 10 Mei 2000.

Kak Rendra, aku hari ini telah kembali dicintai.

Kisah kita, hari ini aku lepas, ya? Aku tutup. Aku mencintaimu, Kak. Akan aku ceritakan bagaiman akhirnya jas putih itu melekat di tubuhku, bagaimana akhirnya aku mampu untuk menyembuhkan setelah perjalanan pembelajaran yang panjang 4 tahunku, dan bagaimana akhirnya aku mampu untuk bangkit, mengikhlaskan. Nanti, ya, kak. Semuanya, nanti.

—fin.


Untuk Mahardika, semoga langkahmu selalu menuju pada cahaya.


Tahun 2013, adalah pertama kali aku bertemu dengan anak manusia dengan segala perangai yang selalu membawa menuju sebuah tenang, Mahardika Adyaksa.

Aku menghabiskan seluruh enam tahunku bersama dengan sosoknya di satu divisi perusahaan dimana kami menghabiskan pagi hingga malam hanya untuk mengais pundi demi pundi uang agar dapat bertahan hidup, dan Dika, mampu membuatku melewatinya tanpa sebuah beban di pundak.

Segala gelagatnya, tingkahnya pada siang hari ketika lapar melanda, ada pula laporannya setiap menginjakkan kaki di kantor pada pagi hari : “Aku mules, ee’ dulu ya sebentar.”

Ia adalah yang paling cerah, ia adalah yang paling sukar merasakan sebuah kesedihan. Atas dasar itu, ada pertanyaan yang selalu mengembara dalam kepalaku : “Dik, kamu kalau selalu jadi cahayanya orang-orang, yang jadi cahaya kamu waktu gelap, siapa?”

Sore itu, di depan jendela kaca di lantai 5 ruanganku dan Dika, ia tersenyum kecil, matanya menatap jauh ke langit yang lamat mulai berubah jadi gelap.

“Memangnya aku seterang itu?” Aku mengangguk kecil mendengar pertanyaannya. Lanyard miliknya masih menggantung disana, kemeja putih dengan lengan yang ia lipat seperempat bagian yang mampu memperlihatkan urat-urat tangannya ketika masuk ke dalam kantong celana.

“Kamu tau kan, setiap orang selalu ketawa bahagia kalau ngobrol sama kamu.”

“Kamu sendiri?”

“Aku?”

“Hmm. Bahagia gak kalau ngobrol sama aku?” Ketika pertanyaan itu terlontar dari mulutnya, aku kelu. Ia mengalihkan pandangnya dari langit menuju diriku, darahku serasa mendidih.

“Mungkin?” Dika terbahak.

“Kok malah mungkin?” Ia menarik nafasnya dalam-dalam, kembali membuang pandang jauh ke luar jendela. “Kita... kira-kira sampai kapan ya gini terus?”

Aku tiba-tiba mendadak paham perihal maksud Dika soal pertanyaannya. Soal sebuah jawaban yang di nantikan, soal sebuah akhir, soal kehidupan baru yang mungkin jauh lebih baik. “Kamu.. gak bahagia, ya, Dik?”

Ruangan yang sewaktu itu hanya diisi olehku dan dirinya mendadak jadi lebih hening. “Coba aku tanya, definisi bahagia menurut kamu, apa?”

Aku tarik nafasku pelan, mulai bersuara. “Relatif, Dika. Entah sewaktu kamu nolong orang yang dompetnya jatuh di jalan, atau bisa jajanin orang terdekat kamu pakai duit hasil jerih payah sendiri. Atau lagi, ada satu orang yang berhasil bikin kamu lupa perihal masalah hidup, dan bikin kamu ketawa atau senyum sepanjang hari. Itu, bahagia.”

Kini bergantian, aku memutar tubuhku, menatap lurus pada tubuhnya yang tegap. “Dik, kamu gak perlu mempertanyakan bahagia kamu ada dimana, bahagia kamu selalu ada, tinggal kamu sendiri yang harus bisa ngerasain. Ya?” Ia menoleh, tersenyum kecil.

“Kalau kamu tanya kita sampai kapan bakal gini terus, sampai cukup, Dika. Sampai ada waktu dimana akhirnya kita udah nemuin jalan yang lain dan mungkin bahagia lain dengan intensitas yang lebih dari ini. Sampai di detik itu, kamu cukup buat nikmati hidup yang gak selalu lurus ini. Nikmati sampai kamu muak dan akhirnya.. Pulang.”

“Liang?”

“Liang. Atau mungkin kalau kamu beruntung, ada yang nemenin bahagia kamu di samping kamu.” Kini giliran aku yang membuang pandang jauh ke depan sana, langit sudah gelap. Dari ekor mataku, dapat aku lihat tatap Dika yang terpaku menujuku, membuat jantungku di dalam sana tergoncang kesana kemari.

“Makasih.” Cicitnya.

Dika hampir berlalu meninggalkan tempat ia berpijak yang tadi tepat berada di sampingku. Ia terhenti ketika suaraku memanggil namanya. “Dika..”

“Hm?”

“Kalau kamu gak bisa nemuin terang di jalan kamu yang gelap..” Aku menelan ludah agak berat. “Aku bakal coba bantu kamu.”

Tanpa jawaban, dirinya tersenyum dan melangkah keluar. Hilang di balik pintu lift yang kemudian tertutup rapat.

-

Selalu, seperti biasa ditiap harinya Dika akan membuat orang-orang disekelilingnya terbahak hebat di tengah rumitnya permasalahan kantor serta dokumen-dokumen yang menumpukan diri seiring berjalannya waktu. Di tengah ia menatap layar komputernya, ia akan melempar lelucon yang membuat seluruh karyawan yang ada di ruangan sampai terpingkal-pingkal. Tidak terkecuali aku.

“Aelah ada-ada aja Lo, Dik.” Masih dengan sisa tawa, Mahesa yang merupakan orang asli Surabaya yang juga di tempatkan di divisi yang sama denganku terus menggelengkan kepalanya dengan tatap yang tidak terlepas dari layar komputer.

Dika kemudian menoleh kepada jam dinding, dan secara bergantian kepadaku. “Makan?” Katanya tanpa suara melainkan gestur seakan-akan ia memasukan makanan menggunakan sendok kedalam mulutnya.

“Boleh.” Balasku, pun tanpa suara.

“Dimana?” Masih setengah berbisik.

“Disebelah?” Dika mengacungkan jempolnya, tanda setuju.

Disebelah kantor ada satu warung nasi padang yang selalu jadi favorit. Terutama untuk aku dan Dika. Ada banyak obrolan tanpa ujung yang tak jarang tercipta, sering kali membuat kami lupa bahwa masih ada banyak pekerjaan yang menumpuk di atas meja, serta tidak lupa pula, ocehan bos yang memanaskan telinga.

Di satu sudut warung nasi padang di mana kami sedang duduk dengan panas yang mulai merambat keseluruh tubuh, Dika membenarkan posisi duduknya.

“Kamu, kalau punya kesempatan bisa ngerealisasiin mimpi yang bener-bener udah kamu dambain, kamu bakal apa?” Aku mulai menyendok makanan di dalam piring di hadapanku, tersenyum dan mulai berfikir.

“Apa ya..”

“Kamu bakal ninggalin semua ini, gak?” Fokusku yang semenjak tadi berada pada tumpukan nasi serta lauk pauk yang mengelilingi mendadak teralihkan kepada dirinya.

“Hmm..” Aku, masih belum siap dengan kalimat yang akan aku rangkai menjadi sebuah kalimat untuk jawaban.

“Memangnya, mimpi kamu apa?”

“Semenjak kuliah dulu, aku mau jadi designer.” Mata Dika membelalak hebat, kunyahannya mendadak jadi pelan.

“Oh ya? Aku baru tau soal itu.” Katanya. Aku tersenyum menekuk bibirku, mengangguk kecil. “Jadi, kalau ada kesempatan, mau diambil?” Tanyanya kemudian.

“Ya mau lah.. tapi..”

“Tapi?”

“Kalau.. kan kalau..” Aku angkat tinggi bahuku.

“Kamu lagi ngeraguin diri kamu sendiri?”

Aku membuang nafas, “Gak gitu, Dik. Tiba-tiba aku kepikiran soal ninggalin semuanya kalau semisal aku dikasih kesempatan buat mimpiku.” Selera makanku tiba-tiba menghilang.

“Loh memangnya kenapa? Kan itu mimpi kamu, iyakan?”

Kini aku sepenuhnya mendongak menatap kedua manik matanya. ‘Bagaimana mungkin, Mahardika, kalau kamu gak ada buat isi hari-hariku lagi?’

“Hei? Ditanyain kok malah bengong?” Aku terbahak kecil ketika pikiranku kembali. Entah untuk yang keberapa kali, aku angkat bahuku tinggi, kini tak lagi mampu menyuap nasi, hanya menjadikannya sebuah objek untuk aku aduk sana sini.

“Kalau kamu? Gimana, Dika?”

“Aku?” Matanya menari di langit-langit, berfikir. “Aku, gak bakal kemana-mana.” Begitu jawabnya.

“Kenapa?”

“Aku gak punya mimpi kaya kamu.” Jelasnya lagi, menunduk dalam. “Disini, sebenernya aku nemuin mimpiku. Kedengerannya gak masuk akal sih. Lembur, jadi bahan pokok amarahnya bos besar, kerjaan numpuk dan gaji yang segitu-segitu aja.” Ia membuang nafasnya dengan sebuah sunggingan senyum kecil di sudut bibirnya. “Tapi, kalau aku konsisten, aku juga bisa jadi bos besar, iya gak sih?” Ia terbahak kemudian.

“Setidaknya kamu tetep mau berjalan, Dik. Gak papa, aku bakal tetep dukung kamu.”

“Aku juga.”

Mungkin Dika tau perihal perasaanku. Mungkin, Dika tau soal gerak-gerikku. Mungkin, Dika selalu tau, tapi ia berlagak seakan tidak mau tau.

Satu sore, aku temukan ia dengan satu batang rokok yang dihisapnya. Sesekali ia tiup kepulan asap yang keluar dari mulutnya ke udara. Kala itu, di basement kantor ketika jam kerja sudah selesai dan aku berniat untuk pulang.

Aku tatap lamat punggungnya yang berdiri tegak membelakangiku sembari menunduk memainkan ponselnya. Sayup-sayup aku dengar alunan musik dari sana.

“Dik..” Ia terkesiap, buru-buru membuang puntung rokoknya.

“Belum pulang?”

Aku menggeleng. “Ini mau pulang.”

“Nunggu apalagi?”

“Gak nunggu apa-apa, tiba-tiba ngeliat kamu aja.” Dika diam, menunduk menatap sepatunya.

“Rokoknya kenapa di buang?” Ia mengusap tekuknya serta pandangan yang ia alihkan pada satu batang rokok yang ia lempar tadi, bahkan belum habis setengah.

“Ng.. gak papa.”

“Lagi mumet, ya?” Dika menoleh. “Gak papa, bakar aja satu lagi.”

Langit Jakarta mendadak jadi lebih indah. Sesekali aku mengibas asap rokok yang tiba tiba saja menghampiri diriku.

Aku dan Dika diam cukup lama, entah menunggu apa. Kira-kira, ada dua sampai tiga batang rokok yang habis di hisapnya.

“Mau aku anterin pulang?” Dika tiba-tiba bersuara.

Aku membisu.

Tentu, tentu saja jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin pulang diantarkan oleh dirinya. Memainkan satu musik kesukaanku ditengah ramainya jalanan ibukota serta lampu-lampu gedung yang menyala terang.

Tentu, aku mau meromantisasikan hal itu bersama Mahardika.

Namun aku menggeleng pelan.

“Aku bisa naik Transjakarta, Dik.”

Manik mata Dika menatap milikku lamat, dirinya pun ikut terdiam agak lama.

“Gak papa?”

Dengan mantap aku mengangguk meyakinkan dirinya. “Gak papa, Mahardika.”

Dika terkikik geli sambil tertunduk, kemudian mendongak kembali. “Hati-hati, ya?”

Aku melangkah meninggalkan dirinya. Berjalan menyusuri lapangan belakang kantor, trotoar jalanan sampai akhirnya menemukan Halte.

Disepanjang langkah, Dika bermain didalam pikiranku, berlarian seakan tidak menemukan lelah.

Tentang, bagaimana kalau perputaran dunia, berputarnya bukan seperti ini? Tentang, kalau saja waktu mau menunggu.

Ketika pertama kali bertemu dengannya, ia kaku. Mengajakku berbicara, ia kaku. Ia bingung tentang apa yang akan ia sampaikan, maka ujuk-ujuk terbahak dan mengusap tekuknya. Aku ingat.

Sekarang, ia adalah yang paling leluasa berbicara. Ia adalah yang paling leluasa mengecohiku, yang paling leluasa bercanda denganku dan yang paling leluasa terbuka denganku.

Enam tahun, bukan waktu yang sebentar soal menghabiskan waktu bersamanya. Dika, acap kali mengambil andil dalam perputaran hidupku.

Aku terduduk di bangku Halte, memainkan jemariku kemudian mulai menapak tilas tentang bagaimana sebuah pertikaian yang secara harfiah adalah sebuah masalah tanpa jalan keluar. Tentang aku, tenang Mahardika. Tentang kami yang tidak mampu bersama. Tentang tatap mata yang sarat makna.

Kita, terlalu lama menatap mata satu sama lain untuk akhirnya mengetahui sebuah fakta, bahwa ada yang lain yang telah bertahta.

Ada yang lain yang telah menggaris bagian teritorialnya dan menolak untuk siapapun mengambil alih.

“Lima tahun, Dik. Lima tahun bukan waktu yang sebentar.” Di rooftop kantor waktu itu, bahkan rasanya ingin aku buang tubuhku dan terbang di bawa angin malam.

“Kamu mau apa? Karna aku gak mau apa apa.”

Itu adalah satu kalimat paling pedih yang pernah aku terima dari mulutnya. Seakan akan segala apa yang telah ia perbuat, yang telah ia lakukan sampai-sampai aku memupuk rasa, adalah suatu yang tidak patut dipermasalahkan.

“Dika..”

“Gak bisa.” Cicitnya. “Aku gak punya alasan buat ninggalin dia. Aku sama dia selalu baik-baik aja, dan kamu.. kamu tau itu, kan?”

“Terus selama ini sikap kamu buat aku maksudnya apa, Dik? Tatapan mata kamu itu buat aku maknanya apa? Perhatian-perhatian kamu yang gak pernah aku liat sama temen-temen kamu yang lain, maksudnya apa, Dika?”

Dika kelu. Ia membisu. Tidak satupun kata yang mampu meluncur dari mulutnya.

“Dika.. selama ini.. kamu itu apa?”

Tanpa sadar, bulir air mata mulai menciptakan sungai di kedua pipiku.

Aku tau, semenjak pertama bertemu pun, sosok ini sudah melabuhkan hatinya pada satu wanita yang tidak pernah aku jumpai, bahkan aku menolak melihat bagaimana bentuk lekuk wajahnya.

Aku sewaktu dulu menolak dengan keras perihal perasaan serta gelagat seorang Mahardika untukku. Karna bagiku, apa-apa yang ia lakukan adalah sama besarnya dengan teman-temannya yang lain.

Agar supaya aku mampu menyelamatkan perasaanku sendiri.

Lambat laun, sikapnya mulai berlebihan.

Dan tanpa merasa berdosa, aku jatuh begitu dalam.

Ada rasa di dalam lubuk hatiku, bahwa aku ingin merangkul lengannya, bahwa aku ingin jemari kami saling bertaut, bahwa ada aku yang ingin memeluknya, dan aku yang sangat-sangat ingin bersaksi bahwa ia adalah milikku dan aku bisa mencium setiap bagian dari sudut wajahnya.

Pikiranku terkadang mulai menjadi liar. Aku bayangkan bagaimana jikalau aku berakhir menjadi miliknya dan kemudian membangun sebuah rumah tangga. Aku selalu yakin, kalau ia yang jadi setengah dari hidupku, maka bahagia selalu menyertaiku.

Namun malam itu, Mahardika hanyalah seorang manusia dengan beribu kesalahan dan kemauan yang terkadang menuju satu sifat yang paling kotor dari sudut jiwa manusia, sebuah keegoisan.

“Aku sayang kamu.” Dika, mampu mengatakan hal itu tanpa rasa bersalah sekalipun. Tanpa ada rasa dosa yang mengepul dari tatap matanya.

“Dik—“

“Kalau aja..” Ia berseru. “Kalau aja waktu mau nunggu barang sebentar, aku mau ketemu kamu duluan daripada dia. Aku mau kamu.”

Aku mau Dika.

Kala itu aku menangis hebat. Tersungkur di atas pijakanku sendiri, menutup wajahku dengan telapak tangan.

Berdetik kemudian, dapat aku rasakan bahuku yang digenggamnya kuat.

“Aku mau kamu..” Lirihnya, yang membuatku semakin menangis sejadi-jadinya.

Aku jatuh cinta, namun sayangnya, kepada satu orang yang telah menemukan rumahnya. Yang telah menemukan tempat untuk ia mengadu dan aku hanyalah sebagai pengganggu.

Pikiranku kembali menapak dimana aku terduduk sendiri di Halte. Menunggu Transjakarta yang sedari tadi belum muncul. Mataku menatap kosong, jauh melanglang buana kemana-mana.

Benar, kalau-kalau waktu masih mau menunggu, apa mungkin malam ini ada aku dan Dika yang meromantisasikan jalanan Ibukota dengan satu musik yang sedang jadi kesukaan banyak orang pada masa ini?

Entah.

Intinya, aku benci tatap mata penuh cinta yang ia hantarkan.

“Kunci rumah.” Aku sontak mendongak, menemukan Dika yang sedang menyodorkan satu kunci dengan sebuah gantungan. “Ketinggalan di atas meja kamu.” Sambungnya.

“Makasih, Dik.” Dirinya kemudian mengambil duduk menciptakan jarak, mengistirahatkan kepalanya.

“Untung aja belum pergi kamu.”

“Hm..”

“Lain kali jangan teledor.”

“Iya..”

Sunyi senyap lama tercipta, bahkan sejenak sama sekali tidak ada kendaraan yang lewat kala itu di jalanan Jakarta.

“Mau aku anter aja, gak?”

Kini aku menoleh, menghantarkan perasaan sedih lain lewat ekspresi wajahku dan Dika paham itu.

“Dika..”

“Maaf.”

Kembali senggang. Tiba-tiba Dika mulai menggumamkan sebuah lagu.

“Tetaplah menjadi bintang di langit.” Favoritnya.

Ketika aku menoleh, aku temukan ia yang masih mengistirahatkan kepalanya serta mata yang tertutup, dan senyum kecil yang mengembang. Suara teduh temaram miliknya, dengungan yang menggema ditelingaku tanpa ada satu suara mendistraksi, benar-benar indah. “Agar cinta kita akan abadi.”

Ulu hatiku, serasa di hujamkan sebuah benda tajam.

“Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini, agar menjadi saksi cinta kita..” Matanya terbuka, ia menoleh dan menemukan irisku. “Berdua..”

Mataku panas sejadi-jadinya.

Aku mau Dika. Dengan seluruh kekurangan yang aku punya sebagai seorang manusia, aku mau seorang Mahardika untuk jadi milikku.

Ketika perasaanku harus hancur dan runtuh atas sebuah realita tentang aku dan Mahardika yang tidak mampu bersama, ada satu realita lain yang membuatku semakin paham bahwa dunia adalah memang yang paling kejam.

Dika, mendapatkan surat mutasi yang mengharuskan dirinya pindah menuju anak perusahaan lain di kota Bandung.

“Dik..” Di jam makan siang, ketika semuanya sudah menahan lapar semenjak pagi, aku menemukan Dika di Rooftop kantor. Surainya di tiup kencang angin, serta asap satu batang barang penuh adiksi yang dihisapnya berlarian kemana-mana. Dika menoleh.

“Kenapa gak istirahat?”

“Dika..” Suaraku bergetar hebat. Dan ketika itu, adalah pada satu titik dimana aku tau, bahwa perasaanku tidak pernah berjalan sebelah tangan. Diujung sana, Dika berjalan pelan dan menarikku kedalam rengkuh peluk hangatnya. Seorang Mahardika, siang itu menangis menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku.

Harusnya kita bisa bersama.

“Dik..” Suaraku parau, sedang Dika hanya mampu menangis disana. Masih merengkuhku.

Berdetik selanjutnya, aku seakan-akan mampu melihat bagaimana kenangan yang telah terjadi di antara aku dan dirinya. Ketika manik mata kami yang mampu bertatap lama hanya untuk mengetahui bahwa tidak ada suatu hal istimewa yang mengikatku dan dirinya. Ketika ia yang tiba-tiba menarik jemariku mendekat hanya untuk bertemu satu jemarinya. Ketika ia yang rela berlari mengejarku menuju halte bus. Ia yang menjadi bagian besar dalam hari-hariku dan ia yang jadi pisau penuh darah yang terus-terusan menghujam tubuhku.

Kita yang tidak pernah ada ini, acap kali membuat aku lupa bahwa ternyata realita mengelilingi tubuh, namun sukar untuk kulihat dengan jelas, sukar untuk kuterima keberadaannya. Maka, aku berlagak seakan-akan aku hidup pada sebuah fantasi dunia dimana tidak ada satu bulir air mata yang akan jatuh menghujani pipiku.

Aku peluk kuat tubuh Dika. Tidak lama, dengan wajahnya yang basah, ia peluk kedua pipiku dengan telapak tangannya. Ia jamahi seluruh lekuk wajahku dengan pupilnya. “Di masa depan nanti..” Suaranya berat, “Kalau kamu balik mempertanyakan soal perasaanku ke kamu, kamu gak perlu ragu. Karna kita sama-sama berharap untuk berlabuh di rumah yang sama.”

Dan sebagai sebuah penutup atas temu yang tidak lagi mampu tercipta, Mahardika kecup ranum bibirku dengan cepat. Ketika itu, masih dapat aku rasakan bagaimana butir air mata yang jatuh dan mengenai pipiku. Ketika itu, sangat jelas aku rasakan hangatnya sapuan nafas yang menyapu kulitku.

Di cerita ini, aku bukanlah sebagai satu manusia dengan cerita paling miris dalam hidupnya. Aku, adalah yang paling keji sebagai seorang pemeran.

Aku pikir, ketika saat itu aku peluk tubuhnya, bibir yang saling bertaut, akan mampu membuatku berhenti karena sudah tidak ada lagi fantasi yang menghantui kepalaku. Namun pada faktanya, aku haus. Dan itu adalah satu keputusan paling salah yang pernah aku lakukan.

Hari ini, meja Dika sudah kosong melompong. Tidak ada lagi sosoknya yang tiba-tiba tanpa sebuah konteks mengajakku berbicara akan banyak hal atau candaannya yang selalu menghibur tidak hanya aku, tapi seluruh penduduk kantor.

Aku kosong.

-

one year after.

Mahardika, semenjak kamu pergi, langkahku sedikit jadi berat. Tidak ada senyum dan tingkah yang selalu jadi bagian dari hari-hariku. Pada intinya, ada kosong yang tidak mampu di tutup oleh apapun yang membuatku selalu mencari.

Hari ini, aku dengar kabar bahwa akhirnya kamu temukan lentera untuk berjalan di dalam gelapmu. Aku dengar, kamu akhirnya menyelipkan satu cincin di jari manis seorang wanita yang bahkan tidak mampu aku terka lekuk wajahnya.

Ada banyak pertanyaan yang selalu muncul di kepalaku semenjak hari itu, Dika. Perihal alasan dan latar belakang aku yang tidak mampu menautkan jemariku dengan milikmu. Perihal, aku yang tidak mampu menjadi lentera redup untuk kamu, untuk sekedar jadi pencahayaan ketika gelapmu.

Ada banyak cerita yang aku simpan, berharap seolah-olah aku akan kembali menumpahkannya kepadamu dan kita habiskan waktu bersama menatap matahari yang tergelincir untuk digantikan malam.

Namun kenyataannya, tidak ada kamu dan ceritaku masih tersimpan rapi.

Bumi Pasundan hari ini bagaimana kabarnya, Dika? Apakah secerah senyum milikmu yang kini tidak lagi ada?

Bagaimanapun kabarnya, aku harap kamu yang selalu baik-baik saja.

Setelah dua tahun yang kosong, aku memberanikan diri untuk mengejar mimpiku yang sudah lama aku tanam, Dik. Aku memberanikan diri untuk meninggalkan semuanya karna kamupun begitu.

Akhirnya di delapan tahun, aku mampu bernafas lebih leluasa.

Selamat, Dika. Selamat atas semua langkahmu. Selamat atas kamu dan titik-titik pusat hidupmu.

-

18 Februari 2022.

Riuh tepuk tangan menggema hebat ketika suamiku dan aku selesai meniup lilin di atas kue tingkat. Ia dengan cepat mengecup keningku kemudian menarik pinggangku agar lebih dekat dengan dirinya. Di satu hotel bintang lima di Ibukota.

“Jadi kapan balik ke New York?” Di tengah makan malam, seorang rekanku bertanya.

“Bulan depan.”

“Emang ada alasan khusus ya, mau ngerayain ulang tahun suamimu di Jakarta?”

Aku menggeleng, “Pengen aja, soalnya belum pernah.”

Ketika jam makan malam telah usai, dengan jemariku yang saling tertaut dengan suamiku, aku berjalan menuju kamar yang telah kami pesan satu hari sebelum acara ulang tahunnya.

Saat itu aku tersadar bahwa cincin hadiah ulang tahun yang melingkar di jari manisku lenyap. Di tengah malam, aku mendelisik kembali ke tempat dimana acara ulang tahun tadi diadakan. Meninggalkan suamiku yang tertidur pulas.

Langkahku terhenti di koridor hotel. Nafasku tersenggal dan jantungku rasanya hampir jatuh dari penopangnya. Satu tatap yang telah bertahun-tahun tidak pernah lagi aku temui. Satu tatap, yang dulu dengan hebat membuatku jatuh terus-menerus.

Mahardika.

“Dika?”

Dirinya, sama terkejutnya denganku. Namun cercah senyum itu, sedikitpun tidak menghilang dari kedua sudut bibirnya.

“Udah lama. Kamu.. Sehat?”

Matanya berkaca-kaca, akupun diatas pijakanku begitu.

Ada sebuah hasrat di dalam diriku bahwa aku ingin memeluk sosok ini. Bahwa kosong yang telah di tutupi sebenarnya tidak mampu tertutup sedemikian rupa, bahwa memang masih ada celah.

“Sehat, Dika. Kamu?”

“Selalu.”

Rasanya aku ingin menangis. Entah karena perasaan bahagia atau malah perasaan sedih. Intinya, ada sebuah gejolak di dalam diriku yang tidak mampu aku toleran.

Perbincangan kecil tercipta tanpa harap. Di balkon hotel di lantai yang sama di tempat aku memesan kamar.

Ada banyak cerita yang Dika sampaikan, perihal bagaimana hidupnya yang berjalan ternyata tidak seperti yang dia harapkan, tentang jatuh dan tumbuh, tentang hidup dan mati, tentang sakit dan sembuh. Malam, ketika itu jadi lebih panjang.

Aku kemudian pamit, menahan diri untuk tidak berlaku lebih dari ini. Menyimpan senyum dan bahkan melupakan cincinku yang sempat ingin aku cari.

Kemudian, terbesit satu pikiran, bahwa apakah semesta memang telah merencanakan hal ini? Bahwa memang, akan ada pertemuan lain di masa depan ini yang dulu pernah aku harapkan terjadi?

“Aku gak pernah mempertanyakan itu lagi, Dika. Soal perasaan kamu yang dulu.” Senyap mengembara. Angin malam kala itu menyapu surai kelam miliknya, serta pantulan cahaya di manik mata Dika, dirinya masih yang terindah.

“Karna kamu udah nemuin bahagianya kamu, kan?”

“Aku selalu bilang, kalau bahagia itu selalu ada, tinggal kitanya sendiri yang harus ngerasain entah seberapa kecil bentuknya.”

Mahardika mengulum senyum, menunduk menatap jemarinya. Ia kemudian menengadah ke arah gelapnya langit malam. Aku pikir, isi kepalanya penuh, hampir tumpah. “Iya, aku selalu inget soal itu.”

Aku menekuk senyum menunduk. Ternyata, pada sebuah garis pertanyaan perihal bagaimana dulu perasaanku pernah tercipta, Dika menjawab tanpa suara. Bahwa sebenarnya hidup selalu penuh dengan kesalahan yang memupuk, yang terkadang tiap insan sendiri tidak pernah mampu menemukan sebuah titik henti.

Kisahku yang rumit ini, yang penuh dengan rasa penghianatan, telah menjadi sebuah saksi bahwa apapun bentuk cinta, selalu meninggalkan darah atas nama perjuangan atau sebuah tusukan dalam. Kini, yang tertinggal adalah luka sebagai simbol pengingat bahwa hal keji semacam itu memang ada.

“Aku duluan, ya, Dik?” Dika menoleh, mengerjap beberapa kali.

“Kira-kira, kita bisa ketemu lagi?”

Aku mengangkat bahuku cepat, terdiam dan menerka. “Semoga.” Balasku cepat. Ketika langkahku hampir meninggalkan sosoknya, aku mendadak berhenti.

“Dika..” Panggilku lagi.

“Ya?”

Dulu, semenjak Dika pergi meninggalkan segalanya, aku selalu berharap bahwa dirinya menghilang untuk aku temukan. Bahwa kami memang saling dihilangkan untuk akhirnya kembali menautkan tangan.

Selama bertahun-tahun lamanya, setelah kulupa kenangan yang dulu ada, teringatku satu hari yang selalu menorehkan kembang senyum di kedua sudut bibirnya.

“Selamat ulang tahun.”

Ulang tahunnya.

Ia tersenyum kecil, manik matanya menatapku masih sama seperti dulu. “Kamu yang pertama, walaupun hari ini udah tanggal 19.” Cicitnya. “Makasih.”

Aku berlalu sepenuhnya, hilang di balik lorong hotel.

Lenteranya telah redup, hampir mati.

Temaram.

—fin.