Lagi-lagi Mark dan Vernon menatap dengan penuh desperasi kepada Nadit, sekali kali membuang nafas mereka pelan.

“She’s crazy. Indeed.”

“Well, setidaknya kalaupun emang gak ada jalan dia tetep nyari jalan.”

“Jalan buntu.” Vernon mengulum bibirnya. Mereka berdua duduk di atas pasir pantai, memeluk lutut dan secara bergantian menatap Nadit dan langit yang perlahan menjadi jingga di ujung sana. Matahari, sebentar lagi harus beristirahat bergantian dengan bulan.

“Ajakin pulang.” Ucap Mark menyikut lengan Vernon, Ia kemudian merogoh kantung jaketnya, mengambil ponsel dan mengetik beberapa pesan.

Yang diujung sana langsung melangkah balik mendekati keduanya dengan raut wajah kesedihan.

“Besok balik lagi kesini.”

“Besok weekend, aku kerja.”

“Udah dibilang keluar aja dari sana. Lagian Ibu kamu juga gatau kan kalau kamu kerja part-time?”

“Aku harus dapet jajan lebih, Vernon.”

“Sini biar aku aja yang jajanin.” Ucapan Mark membuat Nadit memutar bola matanya malas. Orang orang berduit, batinnya.

Nadit menoleh sebentar keujung sana, mengingat pada beberapa malam yang lalu, seseorang menunjuk ke arah sana dan bilang bahwa rumahnya, ada disekitar sini.

“NADITTT!!“ Nadit kalap ketika berbalik akibat namanya diteriaki, melihat tas ransel kuning yang dititipkannya pada Vernon dan Mark di bawa lari seekor anak anjing.

“LARII KEJARRR MARKK!!” Dua orang laki laki sudah duluan berlari didepannya, dan Nadit menyusul dibelakang.

“VERNON!” Dirinya meringis kesakitan dan terduduk diatas pasir pantai, ada darah yang menetes disana.

Fuckkk!!

Nadit beringsut mendekati Mark yang sudah lebih dulu terduduk disebelah Vernon yang terus berteriak kesakitan, anak anjing tadi, sempat menggigit tangannya ketika berusaha menarik tas kuning milik Nadit.

Orang-orang mulai ramai berkumpul.

Excuse me. Sebentar, sebentar.” Nadit mendongak, menyibak rambutnya ketika seseorang ikut duduk di samping Vernon.

Sorry, that puppy is mine, you okay?”

“Emang keliatannya okay?” Nada suara Vernon mendadak meninggi.

“Bisa berdiri gak? Kita ke rumah sakit ya?” Seseorang tadi, berusaha mengintip luka ditangan kiri Vernon, ikut meringis melihat lukanya.

“Kim, ya?”Ditengah riuh dan panik, Nadit bersuara, membuat seseorang tadi menoleh. Membulatkan matanya menatap Nadit.

Germany?” Kim, yang dipanggil oleh Nadit tadi menunjuknya.

“Na—“

“INI BISA DISELESAIN DULU GAK? SAKIT!”

Laki laki tadi merobek kaus hitam yang dipakainya sedikit, kemudian mengikat kencang ke tangan Vernon yang masih mengucurkan darah.

We are heading to the hospital.” Dirinya membopoh Vernon, diikuti oleh Mark dan Nadit yang menyusul dibelakang.

Mata Nadit, barang sedetikpun tidak beralih dari punggung lebar sosoknya. Ini, ini orang yang saban hari Nadit cari, pada akhirnya Nadit temukan eksistensinya.

-

“Setiap sebulan sekali harus ke rumah sakit ya, untuk suntik rabies.” Dokter menulis dan terus mencoret di atas kertas resep obat.

“Emang anjing yang gak rabies bisa bikin rabies ya, dok?” Vernon bersuara.

“Kita jaga jaga aja, karna kita gatau apa anjingnya emang punya gejala rabies atau tidak, walaupun si anjing udah di suntik rabies, ya? Untuk suntikannya gak ada efek samping di orang yang tidak terkena gejala, obat obatannya juga. Intinya, kita jaga jaga aja.” Jelas sang Dokter, Vernon, si laki laki yang disapa Kim tadi, Nadit dan Mark mengangguk.

“Ketentuannya memang 6 bulan ya, dok?” Kali ini sembari bertanya, Vernon menaikan alisnya.

“Sebenernya tergantung orangnya kembali. Sebelumnya saya udah tanya kalau kamu enggak pernah di gigit anjing sebelumnya kan? Berarti belum ada vaksin sebagai pencegahan awal.” Ketiga remaja mangut-mangut.

“Selama 3 bulan awal, saya berikan dosis vaksin Profilaksis Pasca Pajanan, karna kamu sendiri sudah terkena gigitan. Setelahnya, setelah ada jarak waktu yang cukup, kamu nanti disuntikan dosis vaksin Profilaksis Pra Pajanan yang sebenarnya berfungsi untuk andibodi dan pencegahan. Paham?” Ketiganya menggeleng. Sang Dokter hanya tertawa kecil.

“6 bulan ya, setiap 1 bulan datang ke rumah sakit buat suntikan.” Jelas Dokter kembali, masih sibuk mencoret. “Ini, penanggung jawabnya yang mana?”

“Saya.”

“Tanda tangan disini, untuk jadwal suntikannya nanti saya berikan. Diusahakan jangan lewat dari tanggal yang sudah di jadwalkan.” Kim, mengangguk, memberikan tanda tangannya diatas kertas kemudian menunggu di koridor rumah sakit untuk penerimaan obat.

“Kamu bakal bilang apa sama Ibu kamu, Vernon?” Mark menyikut tangan Vernon, sedikit berbisik.

“Ya bilang aja di gigit anjing.”

“Nanti Ibu kamu malah nuntut dia?” Mark menunjuk ke subjek pembicaraan.

“Tapi kan dia tanggung jawab?”

“Ya tetep aja..”

Di sisi lain, Nadit belum selesai dalam agendanya untuk menatap orang ini. Terus membatin, apakah sosok yang dicarinya yang sekarang ada di hadapannya, lupa akan kejadian tempo hari?

“Obatnya udah diterima, aku kerumah kamu dulu Vernon, biar aku ngomong sama orang tua kamu.” Vernon menyikut lengan Mark, membuktikan fakta bahwa tidak perlu ada yang dikhawatirkan karna orang ini memang bertanggung jawab.

“Boleh.”

“Kalau gitu, aku sama Nadit langsung pul—“

“Aku ikut!” Nadit bersuara, memotong omongan Mark. “Aku ikut ke rumah Vernon.”

“Ngapain? Nanti kamu pulangnya sama siapa?” Bisik Mark.

“Nadit?” Kini, seseorang yang di panggil Kim tadi menyebut namanya. Jangan tanya seberapa berdegupnya jantung Nadit di dalam sana ketika namanya meluncur dari mulut si lelaki.

“Iya, Nadit. Mingyu Kim, kan? Beberapa minggu yang lalu kita ketemu, di pinggir pantai hampir tengah malam.” Mingyu, dirinya mengangguk.

Nice to see you again, Nadit.” Ia tersenyum kecil.

“Si Duda?” Mark lagi lagi berbisik, membuat Nadit menyikut perutnya. “Aw! Sakit, Nadit!”

“Aku ikut ke rumah Vernon.”

“Ngapain? Ada juga nanti kalau pulang jauh, Nadit. Mending langsung aja biar sejalan sama Mark.”

“Gak papa, Commuterline jam terakhir ada di jam 9 kok, Vernon.” Nadit diam diam memijak kaki Vernon. “Aw aw, Nadit kaki ku!”

“Yaudah gak papa. Nanti dianterin kerumah juga gak papa.” Balas Mingyu.

“Yaudah kalau gitu aku duluan ya. Salam sama Ibu kamu Vernon, mungkin di gigit anjing lebih baik dari pada dikejar Ibu kamu 10 keliling di halaman belakang.” Mark berlalu melambai.

Can someone just shut his mouth?! Fuck you, Mark!”

-

“Tas.” Mingyu menyodorkan ransel kuning yang bagian sampingnya sudah agak koyak akibat gigitan anak anjing miliknya.

“Makasih.”

“Maaf ya, soal tas kamu. Mau aku ganti aja?”

“Enggak usah, gak papa. Aku masih punya banyak.” Nadit tertawa canggung, mengusap tekuknya.

“Ibu kamu? Didalam?” Nadit mengangguk. Jam sebetulnya belum menunjuk pada angka 9, namun, setelah Mingyu mengobrol dan bersumpah akan bertanggung jawab atas kejadian hari ini didepan orang tua Vernon, dirinya menawarkan diri untuk mengantar Nadit pulang.

Menolak? Mungkin Nadit akan mengutuk dirinya kalau kalau menolak ajakan tumpangan yang di tawarkan oleh Mingyu.

“Jangan keseringan merokok.” Nadit membulatkan mata, membuat Mingyu menunjuk tas ransel yang dipeluk Nadit dengan dagunya.

“Robek, rokok kamu tadi sempet jatuh.”

“Oh.. Iya..” Nadit mengusap tekuk dan menolak dengan keras menatap Mingyu.

I meant it, buat jangan keseringan. Kamu masih muda, masih sekolah malah.”

Beribu kali orang orang mengingatkan Nadit untuk berhenti menyentuh barang penuh nikotin itu. Biasanya, Nadit hanya memutar malas kedua bola matanya dan malah menghisap satu batang lagi. Tapi kali ini, ia menunduk dengan mencengkram kuat ranselnya, ada detak jantung yang tidak hampu ia kontrol di dalam sana.

Do you hear me, Nadit?”

“I-iya.. I’ll try. So, Thank you, Kim.”

No problem, aku balik dulu, ya?”

“Eh..” Sebelum Mingyu membuka pintu mobilnya, Nadit bersuara, “Gak mau mampir dulu?”

“Enggak usah, udah malam, aku juga masih ada kerjaan yang harus di beresin. Aku duluan ya?” Mingyu kini sudah sepenuhnya masuk kedalam mobil, membuka kacanya sampai habis kemudian menatap gadis yang masih memeluk tas ransel kuningnya.

“Selamat malam, Nadit.”

Bagitu mobil Mingyu hilang dihadapannya, Nadit terjatuh diatas rumput halaman rumah, berdiam diri, menatap kosong apa yang ada didepannya, kemudian..

Tersenyum kecil dan terbahak sampai sampai membuang kepalanya kebelakang.

“Cara kerja semesta atau apapun itu, intinya, i owe you, world!