youngswritting

Slow down, man.” Vernon dengan menggebu-gebu masuk ke dalam rumah mewah seorang Mingyu beserta Somi dan Mark yang berjalan menyusul.

Damn.. Nadit..”

HEY! Language.”

Somi berlari, mulai merengkuh sahabatnya masuk kedalam peluknya. Ia menangis.

“Somsom, aku gak papa.”

I know, tapi tetep aja..” Vernon diam ditempatnya. Mark berjalan mendekat, menepuk bahu temannya satu itu.

Girl.. you better stay at home next time.”

Vernon masih diam.

“Vernon..” Lirih Nadit.

Can you please..” Vernon usap wajahnya, membuang nafas. “Stop? At least once, Liliana Drechsler?”

I’m so.. sorry.” Nadit menunduk. “So sorry, Vernon.”

“Okay..” Mingyu mengambil alih. “Udah sarapan?”

Mark dan Somi menggeleng. “You guys take a seat. Aku memang gak punya apa apa kalau di rumah, but i have an instant waffle. Vernon, take a seat.” Mingyu dorong pelan tubuh Vernon untuk duduk di meja makan besar miliknya, padahal ia hanya tinggal sendirian.

Sepanjang waktu, ke-empatnya diam. Tidak ada yang mampu melempar kata, kecuali suara berisik di dapur sana. Sekali-kali ada suara sendok yang jatuh ke atas lantai.

“Ibu nyariin aku gak?” Nadit mulai bersuara.

Yes. She is.” Jawab Somi. “She is worrying about you, Nadit.”

“Kalian udah bilang kalau aku disini?”

“Gimana kita mau bilang kamu ada di rumah laki-laki yang Ibu kamu aja gak kenal?” Balas Vernon. Di dapur, Mingyu juga dengar kalimat yang barusan Vernon sampaikan. Ia berdeham kecil, kemudian melanjutkan kesibukannya.

“Vernon..”

Man, chill. Kita kan kenal sama Kim.” Vernon tangkis tangan Mark yang berusaha menepuk bahunya.

Lagi-lagi mereka diam.

Mingyu kembali, membawa dua piring pertama dan meletakkan di meja, dan satu piring lainnya.

“..”

Ekor mata Mingyu menatap Vernon yang hanya mengaduk makanannya tanpa memasukan satu potong pun kedalam mulut. Serta wajah yang ia topang dengan tangannya.

“Kalian mau diem-dieman sampe kapan?” Seluruh pasang mata kini tertuju pada si pria yang umurnya 10 tahun lebih tua dibandingkan mereka semua. “or.. Nadit, why don’t you tell us what exactly happen?”

Us?” Alis Vernon berkerut. “You don’t know what was happen to her? Padahal dia kamu sembunyiin disini?”

Well, first of all, aku sama sekali gak sembunyiin dia. It was just.. an accident dan salah paham.”

Accident?”

“Vernon.. enough.” Nadit lepas nafasnya, menatap lurus menuju mata coklat terang indah milik Vernon. “First of all, Vernon. I am so sorry that i didn’t put you in the first place, okay?”

I am so sorry that i didn’t put all of you in the first place, including you, Mingyu.”

Mata Mingyu sedikit membulat.

“Aku berantem sama Ibu dan harus bikin aku ngeluarin kata kata gak pantes buat dia, internally, i feel bad. But at some point, i am so tired..

Let’s be clear, i am so so tired, ada di posisi dimana aku harus berjuang buat mimpiku yang gak masuk akal di kepala orang lain di tengah kondisiku yang kaya gini. Financial dan Ibuku yang sakit.”

Fashion designer is cool, right, Somsom?” Suara Nadit mulai bergetar.

“Bahkan sebenernya, bayaran yang aku kumpul juga belum tentu cukup sampai waktu pendaftaran nanti. Pas tau itu, i just.. i really wanted to kill myself.”

And then i started to watch how people lived. Mereka yang punya banyak uang, kenapa gak punya mimpi yang besar? Ujuk-ujuk, balik ke naungan orang tuanya sendiri. That is just.. sick? Dan aku mulai ngerasa kalau memang dunia gak adil.”

“Sehabis berantem hebat, aku pergi ke Ralphs. Robin is good, Vernon. I had told you about him, right? He was a good mates, sampai sekarang juga aku mikirnya gitu, tapi cara dia being ‘a good mates’ not matched with mine. He tried to help me, mungkin bantuin buat sekedar lupa perihal sakitnya Ibu, dan capeknya aku sewaktu kerja kemarin.”

“Dia bilang, maybe oneshot can make me feel better, but then i take another shots, sampe aku gak inget apa apa dan pas bangun aku udah pake kaos yang kebesaran ini.” Seluruh pasang mata menatap Mingyu, berspekulasi bahwa baju itu memang miliknya. Merasa dirinya jadi objek, ia hanya mengangkat bahunya cepat.

“Aku gak tau itu mimpi atau apa, but aku ngerasa kalau malam itu—“

No!” Mingyu tanpa sadar memukul meja makan, membuat keempat remaja tadi hampir terlompat. “M-my turn, Nadit. I mean, aku juga ada di tempat kejadian waktu itu, k-kan?”

Nadit mengkerutkan alisnya. “Harusnya sama aja?”

“Beda, dari kamu sama aku udah pasti beda. So.. pas itu aku kebelet pipis jadi aku mampir ke—“

“Kamu takut ya aku cerita yang bagian itu?”

What? Ya enggaklah?”

“Memangnya maksud aku bagian yang mana, Mingyu?”

Wait-wait..” Mark bangkit dari duduknya. “What both of you did last night?”

We didn’t do anything! Itu cuma mimpi kamu, Nadit.”

“Tapi kata kamu itu bukan mimpi.”

“Maksud aku soal aku yang berantem itu emang gak mimpi, yang aku nganterin kamu pulang juga gak mimpi, tapi—“

“Kim?”

“Vernon.. I swear to god, i put her in my room—“

“HAAAAHH?” Gasping. Somi menutup mulutnya dengan tangan. “Y-your room? Dirumah segede ini kamu put Nadit in your.. room?”

Yes? Karna kamar lain gak ada spreinya? Guys please, duduk dan dengerin dulu. It’s my turn, okay?”

“Jadi.. aku kebelet pipis dan singgah ke Ralphs—“

“Kamu kebelet pipis kenapa gak pipis dirumah aja? Kenapa harus di Ralphs?” Mark menaikan alisnya.

“Hm.. pas itu aku ada janji sama temenku, jadi karna aku kebelet—“

“Janji? Please, Kim. Jelasin dari awal supaya kita ngerti dan paham, itu kamu jelasin dari tengah, gimana mau masuk akal?”

Mingyu buang panjang nafasnya. “Okay..” Ia gigit bagian dalam bibirnya. “I had a dinner last night, here in my house..”

With who?”

“Emangnya penting sama siapa?” Somi angkat bahunya ketika Mingyu bertanya demikian. “Gak penting buat kalian tau siapa, and i took her home, and then—“

A woman, absolutely.”

Si pria berumur 10 tahun lebih tua dibanding anak anak remaja di depannya buru-buru menutup mulut. Checkmate, Mingyu keceplosan.

Vernon lipat kedua tangannya di depan dada. Menyadari Mingyu yang diam masih cukup lama, tidak bersuara, Vernon mendengus. “I am right. Checkmate, Kim.”

You had a dinner with a woman but you kissed me?

WHATTT? HE KISSED YOU???!

I TOLD YOU NADIT THAT WAS JUST YOUR DREAMM!!

that was a good dream.” Nadit membentangkan kedua tangannya. Rambut yang menyeruak dan wajah berminyak juga.. bau yang agak menyengat. Ada sensasi lengket di sudut-sudut bibirnya.

Tapi..

Shit! Shit! Shit!!!” Ia menunduk, melihat bagaimana baju yang ia kenakan adalah bukan baju terakhir yang ia pakai saat berada di Ralphs. Nadit peluk dirinya sendiri, “No fucking way.”

Ia buru-buru turun dari kasur, meraih kenop pintu dan menyadari bahwa tempat ini tidak terlalu asing.

Good mor—”

Shit! What did you do to me?!” Vas bunga yang berada di sisi kanannya dengan cepat ia genggam, hampir ia lempar kepada lawan bicaranya.

“Wow~ Tunggu.” Mingyu menengadahkan telapak tangannya di udara, berusaha melindungi diri. “Calm down.” Katanya lagi.

I didn’t do anything to you.. okay?”

“Terus bajuku mana? Kenapa aku disini? Harusnya aku sleepover di rumah Som—DAMN! SOMI?” Nadit memukul-mukul tubuhnya, matanya mengembara, mencari. “Handphone?” Ia malah melempar tanya kepada Mingyu.

I have no idea where you phone is..”

“Baterainya tinggal 2%, Mingyu..” Lirih Nadit sedikit.

“Aku gak tau..”

Tapi kemudian tetap Nadit angkat tinggi lagi vas bunga kaca yang ia genggam. “What did you do?” Sahutnya lagi.

“Aku gak ngapa-ngapain?” Seorang perempuan paruh baya kemudian keluar dari satu ruangan, baunya wangi, mungkin sehabis menyetrika baju. “It was her. Yang gantiin baju kamu.” Vas bunga yang diangkat ke udara tadi kini perlahan turun. Tidak lama, wanita tersebut pamit untuk pulang, karena seluruh pekerjaan rumah telah selesai ia kerjakan.

“Terus mana bajuku? Vestnya?”

“Vestnya aku buang, baju kamu baru dicuci.”

“Kenapa di buang?”

Mingyu melangkah mendekat. “You should tell me what exactly happen, Na. Gak ada kapoknya ya kamu?”

First of all, don’t call me, ‘Na.’ It sounds stupid.”

It sounds cute.” Mata Nadit membelalak hebat, ia angkat kembali vas bunga kaca yang masih terus ia genggam tadi ke udara. Mengancam akan menghancurkannya.

Go on. Aku masih punya banyak duit buat beli vas bunga yang kaya gitu.” Mingyu berlalu, membelakangi dirinya sembari sibuk di dapur sana entah melakukan apa.

What? Vernon benar, si Mingyu itu memang sombong. Batinnya.

“Bajuku.” Nadit menyerah. Ia turunkan tangannya.

“Kena muntah.”

“Hah? Muntah siapa?”

“Ya muntah kamu sendiri, masa muntah kucing?”

“Kenapa muntah?” Mingyu hela nafasnya, membalikkan tubuh menatap lurus ke arah Nadit yang seharusnya malu dengan keadaannya yang kacau. Kaos kebesaran, celana tidur panjang yang kedodoran dan rambutnya yang seperti singa.

“Harusnya aku yang tanya sama kamu, kenapa kamu bisa muntah? Kamu ngapain di Ralphs? Kok bisa sampe muntah?”

Nadit diam. Ia cium tubuhnya, baunya menyengat. Bukan bau keringat atau bau lainnya. Bau.. minuman keras yang tadi malam di tegaknya.

Wait..” Mulut Nadit menganga, matanya membulat. “Itu bukan mimpi?”

“Mimpi apa, Nadit? Yang mana yang kamu pikir mimpi?”

“Aku mimpi ada orang yang berantem buat.. I don’t know, maybe.. trying to saved me? Terus aku diantar pulang kerumah, terus..” Kalimat Nadit terputus. Ia tutup mulutnya dengan telapak tangan, mengingat kembali kejadian yang katanya adalah imaji di dalam tidurnya. Tukainya melangkah mundur perlahan.

“Terus apa?” Mingyu angkat tinggi alisnya, ia lipat kedua tangannya di depan dada. “Hm?”

“Itu.. Mimpi.. kan?”

Mingyu angkat bahunya cepat, memutar kembali tubuhnya dan sibuk di dapur. “Kalau kejadiannya sama persis kaya yang tadi malam, kamu pikir itu mimpi? I don’t think so, Nadit. And thank you, for making last night such a trouble, especially for me.”

Did..you..”

“Apalagi?”

“Mingyu.. Did you.. KISS ME?!

“WHAT??”

Nadit tutup mulutnya dengan tangan, matanya masih membelalak. Mingyu pun yang tadi asik dan masih sibuk di dapur sana memutar tubuhnya dan menatap si gadis tidak percaya.

I didn’t kiss you!”

“Tapi kamu bilang itu bukan mimpi!”

“Iya memang. But I didn’t kiss you! Itu gak sopan, biar kamu tau. Sekarang stop ngomongin hal nyeleneh, duduk disana, and *EAT. YOUR. BREAKFAST.” Mingyu tunjuk meja makan sebelum ia datang dengan dua piring waffle dan sebotol maple syrup yang ia bawa belakangan.

“Habis ini mandi, kamu bau.” Nadit putar bola matanya sembari memasukan potongan waffle ke dalam mulut.

Ponsel Mingyu kemudian berdering.

Vernon.

Damn.”

Language, Nadit.”

“Jangan angkat.” Tangan Mingyu menggantung di udara, alisnya mengkerut.

Why?”

Nadit tekuk bibirnya sendiri. “Bilang kalau aku gak ada disini atau jangan angkat.”

That’s it. Kamu cerita sama aku apa yang udah kamu lakuin sampe harus bohong kaya gini?”

I didn’t do anything, Mingyu.”

Did you remember that you were drunk?”

Well.. I took a shot, two shot actually, but..”

God..” Mingyu mengusap wajahnya. “I’ll pick it up.”

No.. Please.”

“Kalau aku gak angkat dia curiga dong kalau kamu memang disini.” Dering nada panggilan masuk di ponsel milik Mingyu masih terus mengudara di seluruh ruangan, ditengah argumentasi keduanya.

“Ya kamu tinggal bilang aja kalau kamu sibuk, Mingyu.”

I can. Tapi ini Minggu, Nadit. Gak ada orang sibuk di hari Minggu.”

“Kamu bisa bilang diri kamu sendiri sibuk di hari Minggu.”

What?

Panggilannya mati.

See? Vernon bakal curiga kalau aku memang ngumpetin kamu disini.” Mingyu lipat tangannya di depan dada.

“Kamu punya sirup caramel aja gak? Aku gak suka sirup maple.”

“Enakan sirup maple dibanding sirup caramel.”

Nadit diam.

“Kamu.. gak..ada..sirup..karamel..ya..Mingyu?” Cicitnya dengan nada suara yang terus mengecil.

Mingyu pijit pelipisnya, anak ini bahkan tidak peduli kalau dirinya hampir habis malam lalu.

“Terus apa? Kamu mau ngumpet disini sampe kapan?” Tanya Mingyu.

Ting!

Dering notifikasi pesan masuk.

Dari Vernon.

‘I know she is with you.’ ‘answer the phone now’

See?” Tunjuk Mingyu pada layar ponselnya.

“Oke, Fine! Suruh aja mereka kesini, habis itu aku certain semua.”

Good.” Mingyu mulai mengetik. “Sehabis ini kamu mandi, aku anter kamu pulang dan minta maaf sama Ibu kamu.”

“Tapi, Gyu..”

Tubuh Mingyu terhenti seketika.

“Maksudku.. Mingyu. Iya, itu.. aku gak mau pulang.”

Gyu sounds cute, tho.”

Aku mengkerutkan alis setelah membaca pesan terakhir Vernon, dirinya tidak membalas kemudian.

Kalau dirinya memang tau perihal agenda ini, his sense completely no joke at all.

Aku membongkar paperbag penuh berisi bahan mentah yang sempat di delisik oleh Vernon ketika kami tidak sengaja bertemu di Ralph Supermarket siang tadi.

Dan aku memutar bola mataku malas ketika mengetahui bahwa aku lupa membeli tepung adonan waffle instant yang biasa aku masak untuk sarapan.

Padahal sudah tertulis jelas di notes ponselku ketika aku cek kembali, clumsy Mingyu.

Jangan tanya soal masakan apa yang akan aku masak untuk agenda sederhana yang hanya bermodalkan impulsivitas untuk menarik hati seorang wanita. Itu terlalu gamblang, sejujurnya. Karena, aku sendiri bahkan tidak paham soal perasaanku kepada dirinya.

Spagetti, daging steak mentah, serta bumbu racikan instan yang aku beli. Menu-menu makan malam pada umumnya.

Setelah menghabiskan waktu untuk memasak, menyiapkan meja sebelum menghidangkan, aku buru-buru mandi dan segera bebersih diri. Memakai kemeja putih dan celana kain hitam. Lagi-lagi, setelan pada umumnya untuk sebuah agenda makan malam.

Tepat pukul 7, mobilku keluar dari garasi dan mulai menyusuri jalanan kota Malibu.

-

She is wearing a white dress when i pick her up.

Anne.

Dirinya langsung mengirimkan lokasi ketika aku tanyai perihal alamat rumahnya. Tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 7-10 menit sekaligus mengelilingi sibuknya kota kecil Malibu.

Aku mengulum senyum ketika dirinya masuk dan duduk di kursi penumpang. A little bit awkward. Bukan karena tidak terbiasa, tapi ini jadi lebih aneh karena statusnya sebagai sekretarisku di kantor. Dan malam ini, semua mendadak berubah menjadi seorang pria dan wanita, tanpa latar belakang yang harus dijunjung untuk dipastikan.

“Butuh sesuatu sebelum balik?” Make it clear, rumahku.

Nope.”

Kemudian sunyi. Mungkin dirinya juga merasa canggung tanpa label ‘sir’ seperti yang biasa ia gunakan kalau berbicara denganku.

Anne sendiri adalah rekan kerja Jaehyun, salah satu teman baikku ketika aku menjalankan perusahaan Papa yang ada di Australia, keluarganya adalah kolega Papa. Dirinya mengambil bagian sekiranya 40% bagian saham perusahaan. Perusahaan ini sepenuhnya bukan milikku.

Kalau dirinya punya kunjungan bisnis ke Indonesia atau kembali lagi ke Australia, aku selalu menyempatkan waktu untuk menemuinya.

Perusahaan Papa yang di Australia sampai sekarang masih berjalan, di ambil alih oleh satu Pamanku sebagai direktur utamanya.

Setelah banyak pertimbangan, permodalan yang cukup dan modal nekat kalau bahasa orang Indonesia, aku dan Jaehyun memulai dengan tanggung jawab sebesar 60% di tanganku. Jadi, kalaupun ternyata tidak berjalan sesuai yang telah di rencanakan, pergantian rugi ada padaku di angka 60%, dan dirinya di 40%. Not a big deal back then, jiwa bangsa Indonesiaku mungkin ketika itu merekat kuat, ‘modal nekat’ like a said. Kemudian, apabila berjalan sesuai rencana, keuntungan untukku ada di angka 60% dan ia di 40%, begitu kesepakatan diantara kami berdua. And yes, here we are.

Perusahaan ini sudah dibangun lebih dulu sebelum aku pindah ke Malibu dan di jalankan oleh Jaehyun bersama Anne yang ketika itu adalah sekretarisnya. Sekretaris rangkap teman dekat tanpa sekat kalau kataku. Ketika aku pindah, Anne kemudian menjadi sekretarisku, karena kebanyakan jadwal dan urusan kantor selalu berada dibawah tanggung jawabku.

Anne aktif berbincang. Ia bilang, ia lahir di Irlandia, besar sampai umur 11 tahun memudian pindah ke Amerika Serikat sampai akhirnya bertemu Jaehyun, sekali-kali mengunjungi Australia dan akhirnya pindah ke Malibu, California, ketika Jaehyun meyakinkan dirinya untuk jadi kaya raya. Well, there she is.

“Aku selalu jadi bahan ejekan teman-teman sekolahku dulu.” Ia tertawa kecil sembari memotong daging di atas piringnya.

“Oh ya? Kenapa?”

My accent. An Irish, you know?”

Aku tertawa. Memang, jujur saja pertama kali mendengarnya berbicara dengan accentnya, aku sulit mengerti.

“Yep, i couldn’t got it at the first moment too.”

Were you?”

Yes. Hard to understand.”

Sorry about that.” Ia tersenyum malu, menunduk.

“Tapi kamu tinggal lama di Amerika, accentsnya gak bisa ngikut?” Tanyaku, menuangkan sedikit wine kedalam gelasnya.

“Bisa, tapi tetep aja. It’s your first language.”

Right.” Aku mengangguk.

Kemudian senyap tercipta barang sebentar, sampai ketika ia kembali bersuara. “Kamu masak ini semua sendiri?”

“Iya.”

No way..”

Why? Gak enak ya?”

No. It such a masterpiece.” Matanya membulat. “Kamu harus buka restoran selain bangun perusahaan.” Aku terkekeh, ia terlalu melebih-lebihkan.

Sebenarnya, percakapan yang terjadi hanya sebatas keingintahuan formal. Soal keluarga, childhood memories, pekerjaan, riwayat sekolah, tidak ada yang berusaha saling terbuka untuk memulai membicarakan perihal kehidupan pribadi.

Or am i the one who’s dumb? Apa harus aku yang memulai? But, i’m not sure she would do the same way, or would she?

Is she your.. wife?” Lamunku buyar, ketika telunjuknya mengarah ke bingkai foto yang pernah Nadit delisik ketika pertama kali menyambangi rumah ini.

Yes.” Dirinya mengangguk. Tidak menimpali apapun. Bahkan tidak mengatakan bahwa dirinya cantik seperti yang Nadit katakan tempo lalu.

Pretty, isn’t she?” Aku menopang daguku dengan telapang tangan, menatap Anne dengan senyum kecil, melempar tanya.

Y-yes, of course. She is pretty, Kim.” Anne menolak menatap mataku, ia memainkan makanan sisa diatas piringnya dengan garpu. Ia juga tidak bertanya perihal foto anak kecil yang berada tepat di samping bingkai istriku.

“Kamu gak penasaran sama foto yang disebelahnya?” Kali ini, sebuah tanya tanpa ekspresi wajah.

Anne menoleh, menatap satu bingkai foto yang aku maksud kemudian.

“Bukannya itu kamu?”

Aku tertawa kecil. “Kamu punya pendirian kuat ya buat yakin kalau itu aku.”

Anne ikut tertawa. “He looks like you, Kim. I’m sure it’s you.”

“Padahal bisa jadi itu anakku yang mukanya mirip kaya aku, kan?”

Anne diam.

But the things that made me feel ain’t sure about this, is, that she didn’t asking for things. Bahkan sesederhana siapa anak kecil di foto itu, atau mungkin kenapa yang tertulis adalah ‘Mingyu’ bukan Kim yang acap kali ia sapa.

Wait.

Am i just comparing Anne with.. Nadit?

Just kidding, Anne.” Ia terbahak kemudian. “It is me.”

Jam di dinding menujukan pukul 10, aku bangkit untuk mengantarnya kembali pulang. Melihatnya yang sudah siap berdiri di dekat pintu, aku urungkan niatku untuk buang air ke kamar mandi.

Aku tidak ingin membuatnya menunggu terlalu lama dan menolak masuk ke kamar mandi untuk menghabiskan waktuku barang 3 menit untuk buang air kecil.

Let’s go.” Aku tuntun ia menuju mobilku dan berlalu memijak aspal jalanan menuju kediamannya.

Aku mainkan kakiku diatas pedal sesekali, menahan.

You okay, Kim?”

“Yup. Kenapa memangnya?”

You move a lot.”

Tidak menjawab, aku usap tekukku pelan.

Mobilku terhenti di halaman rumahnya, setelah lambaian kecil tanpa ucapan selamat malam, dirinya langsung masuk dan menutup pintu.

“Huft..” Aku buang nafasku, ada sedikit perasaan lega. Oh, mungkin karena akhirnya aku sama sekali tidak mengacaukan agenda malam ini, kan?

Aku putar stirku, keluar dari halamannya dan menyusuri jalan raya untuk kembali menuju rumah.

Malibu, bahkan belum sepi.

Jauh sebelum tiba dirumahku, supermarket yang siang tadi sempat aku kunjungi masih terang benderang, belum tutup. Mungkin 24 jam.

Mengingat soal adonan waffleku yang terlupa, aku memutuskan untuk bersinggah. Aku jamahi setiap sudut rak-rak besar disana. Ketika aku dapati kotak dan gambar familiar di depannya, langsung aku ambil sebanyak dua buah dan buru-buru beralih ke kasir.

Tidak lagi tahan.

Seorang gadis mulai mengarahkan alat scan ke barcode yang ada di kotaknya. Menekan-nekan di atas keyboard dan harganya langsung muncul di layar komputer.

Setelah membayar, buru-buru aku masuk kembali ke dalam mobil, meletakkan kantung belanjaan (yang terpaksa harus aku beli lagi karena terlupa) di kursi penumpang.

Aku diam sejenak.

Berfikir.

Dari sini menuju rumah yang jaraknya kira kira 7 kilometer, aku membutuhkan waktu setidaknya 10-15 menit. Di jalanan kota tidak boleh berkendara lebih dari 90 km/jam, dan aku tidak akan sanggup untuk menahan ini.

Shit.”

Aku kembali melangkah masuk, menanyakan toilet dan dengan ramah ia beri tau kalau aku hanya perlu lurus menuju satu pintu di belakang sana. Toiletnya ada di bagian kanan setelah masuk, sambungnya lagi.

Dengan berlari kecil, aku akhirnya sampai untuk menarik kenop pintu, sesaat ketika terbuka, aku temukan seorang gadis yang tersungkur di atas lantai, juga lelaki yang menarik dagunya.

What the hell is going on here?

Tubuhku mendekat, berteriak “JERK!”

Pada detik awal, sama sekali tidak aku sadari bahwa perempuan dengan bau alkohol yang menyeruak dan yang terduduk disana adalah Nadit, ia tertunduk.

Saat aku berusaha untuk memastikan bahwa dirinya baik-baik saja, baru aku sadari bahwa gadis ini adalah sosok yang familiar. Aku membelalak, mengetahui bahwa Nadit terduduk sempoyongan, serta vest yang ia gunakan, sama seperti kasir yang melayaniku di depan tadi.

“Nadit, you okay? Hey? Hey? Shit, are you drunk? Nadit? Can you hear me?” Aku tepuk pipinya berkali-kali. Matanya mengerjap, ia mabuk berat.

Who the fuck are you??!” Lelaki yang berjongkok di depan Nadit bermenit yang lalu, yang sempat aku tendang tubuhnya, kini bangkit. “Cuih.” Ia meludah, ada cairan merah yang ikut tertangkap manik mataku.

Tubuh Nadit aku angkat, aku kalungkan lengannya di bahuku, berusaha menyelesaikan semua dan membawa gadis ini pulang.

I said who the fuck are you?” Desisnya menahan tanganku, menarik kerah bajuku dengan ekspresi seolah akan menghabisiku di tempat.

Aku tatap lama bola matanya yang merah, tidak ada bedanya amarah yang ada disana dan disini. Lama aku diam, sampai akhirnya mulai bersuara.

Her boyfriend. What do you want… Robin?” Balasku setelah mendelisik melihat nametag di dada kanan lelaki ini.

Leave her, and i’ll make you safe. Aku bakal biarin wajah kamu dalam keadaan sama sampe kerumah. Leave her.. with me.” Ia tekankan kalimat terakhirnya.

Or what?”

Or I’ll punch you straight in your face, YOU STUPID FAKIE BOYFIE! I KNOW YOU’RE LYING!

Listen. Kamu tau perusahaan ekspor impor yang kerjasama sama supermarket ini soal barang produksi dari luar negeri?” Dirinya tertawa.

What is this? Cerdas cermat? You think i’m stupid? You think i didn’t know anything about this fucking city?” Ia membuang-buang waktu, aku tau Nadit sedari tadi terus mual dengan suaranya yang mengawang.

Yes, you know who’s the owner? Kamu tau sama siapa kamu berurusan tiap bulannya buat ngisi stock barang di rak-rak reyot di luar sana?”

“Mr..Kim?”

Yes. I am. Dan kamu tau, soal kerjasama kamu dan this stupid owner of Ralph? Soal biaya cukai yang enggak terpenuhi dan permainan kalian soal seludupan stock barang lain? I know every fucking thing you did, Robin. You touch her, i’ll close this goddamn supermarket and ended your whole life carrer! Cuih!”

Ia diam.

Aku bopong Nadit keluar kemudian. Namun tubuhnya terlalu pendek untuk aku kalungkan di tekukku. Pada akhirnya, aku angkat tubuhnya dan aku genggam erat lengan serta lututnya. Bridal carry, if you ever curious.

Aku bawa gadis ini cepat menuju mobil dan aku dudukan di kursi penumpang, seatbelt, dan aku benarkan posisi kepalanya. Aku putar stir keluar dari pekarangan dan kembali menyusuri jalanan.

It will be a long night.

-

Aku letakan satu tanganku di persneling sedang satunya mengenggam stir, ketika itu dapat aku rasakan kulitku beradu.

“No home.”

Alisku berkerut, bergantian menatap ia yang sempoyongan dan jalanan.

What?”

Tangannya masih disana, di atas tanganku yang aku jatuhkan di persneling.

No home.”

Apa?

Sleepover.”

Aku hentikan mobilku di pinggir jalan sebentar, lagi-lagi terus menepuk pipinya. What the hell is going on with you, Nadit. Ini baru dua minggu setelah kejadian di Geoffrey’s dan gadis ini sama sekali tidak ada kapoknya.

“Hey?” Aku tepuk pipinya pelan. “Are you with me?” Dengan mata sayunya yang aku temukan dengan mataku, ia memupuk sendu. Air matanya mulai jatuh.

Dengan lirih, ia mendesis “No..home.. Please.

No Home? Terus apa? Harus aku bawa ia kemana?

Sleepover.” Cicitnya lagi, masih menangis.

“Kamu gak mau pulang? Atau kamu ada janji sleepover?”

Ia diam. Tersenguk dan menunduk.

“Hey? Are you okay?”

Dan detik itu, ia muntahkan segala isi perutnya.

Yup, mengotori seluruh bajunya, dan mobilku.

Aku terkesiap, aku ambil kantung belanjaan tadi, dan aku biarkan Nadit menikmati agendanya. Sekali-kali, aku urut tekuknya.

Lalu apa? Haruskah aku juga ikut mengotori mobilku dengan buang air kecil di dalam sini?

-

Setelah banyak pemikiran dan pertimbangan, aku putuskan untuk membawanya pulang.. kerumahku.

No home, sleepover?

Aku bahkan tidak bisa menemukan ponselnya, entah sleepover apa yang ia maksud. Aku tidak mungkin membawa tubuh sempoyongan ini ke rumah Vernon, sahabatnya. Atau Mark dan Somi, I have no idea where they lived.

Aku selesaikan urusanku terlebih dahulu setelah menggendongnya masuk menuju kamar, bahkan belum sempat menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

Ketika aku kembali lagi, sudah ia tarik sendiri selimut untuk menutupi setengah bagian tubuhnya, dan telapak tangan yang ia timpa dengan pipinya diatas bantal.

What is going on with you, Na.” Cicitku, menarik lagi selimut untuk menutupi seluruh tubuh gadis dengan tulang pipi yang merona disana.

Bajunya belum diganti semenjak ia yang muntah tadi, I can’t do it. Besok pagi, aku akan meminta tolong kepada ART yang biasa aku bayar untuk datang setiap minggu. Dan juga mengganti sprei, karna aku yakin noda nya sudah merambat kemana-mana.

Ketika aku berbalik, seguk tangis menyambangi pendengaranku kembali. Ia menangis.

“Hey?” Sesaat ia temukan manik mataku menatapnya, ia terkejut di detik pertama. “You already with me or..?”

Sleepover.”

“..still. Yup.” Dia masih dibawah pengaruh minuman yang di teguknya.

Aku melangkah mulai menjauh.

“Kamar kamu hangat, ya, Mingyu.” Suara seraknya menyambangi rungu, ikut beradu dengan alunan deru pantai diluar sana

“Setiap orang kamarnya pasti hangat, Nadit.”

“Kamu tau gak..” Aku mengkerutkan alis, melangkah kembali mendekat. Berdiri diatas lututku dan memperhatikannya menelentangkan tubuh menatap langit-langit.

I like your lips.”

What?

“Eh?”

“Bahkan dari pertama kita ketemu di pinggir pantai pas malam itu.” Ia memutar tubuh, lurus menatapku, membuatku dua kali terkejut ketika jemarinya mulai mencari keberadaan apa yang barusan ia nyatakan.

I never have my first kiss.” Matanya sayu, suara seraknya dengan intensitas kecil itu memekakan. “Tapi kamu pasti udah berkali-kali.”

Well.. I am a married man once, so.. yes, a lot.

Aku beranikan diriku mengelus puncak kepalanya, sedang ia disana masih menyentuh ranum bibirku dengan jemarinya.

“Tidur..” Sahutku.

Are you a superhero, Mingyu?” Aku tertawa kecil.

I’m not wearing a capes.” Jawabku. “Aku pake kemeja.”

Not every superhero wearing a capes, you know? You can be the one.. Without a capes.” Suaranya masih parau, membunuh sunyinya gelap malam. Sekali-kali, deru air dari pantai dapat aku dengar menemani sendu suara miliknya.

Am I the one?”

“Yes.” Jemarinya masih disana, dan tanganku masih ada di puncak kepalanya.

You okay?” Cicitku. Ia menggeleng, kemudian satu butir air jatuh dari ekor matanya. “Wanna share it with me?” Ia lagi-lagi menggeleng pelan.

“Iya, gak papa. Tidur, ya, Na?”

Kelu, matanya menatapku dalam.

Percakapan ringan antara aku dan Anne, tidak menimbulkan deru kencang dari dalam dadaku. Ketika mataku dan mata Anne bertemu, tidak ada perasaan takut.

Tapi, kenapa ini kemudian menggangguku?

Dadaku mendadak sesak, tubuhku bergetar hanya dengan manik mata yang bertemu.

Can I get my first kiss?

Jantungku rasanya meledak.

Aku sunggingkan senyum kecil, kini aku tarik jemarinya dari bibirku, aku simpan dibalik selimut.

Have a good dream, Na.”

Setelah melangkah menjauh dan keluar dari pintu, menutupnya rapat, aku buang nafasku yang tertahan cukup hebat didalam sana. Damn, that girl is something.

Aku senderkan pundakku pada pintu yang telah tertutup rapat, pandanganku aku lempar jauh ke atap.

Kalaupun aku harus, momen pertama itu tidak akan aku lakukan ketika ia ada dibawah pengaruh. Kalaupun harus, I will make it count. I will make the first moment of her kiss, be the one she’ll never ever forget.

“Bu, aku pergi, ya?”

Ia diam. Ibuku diam dan sibuk dengan urusannya sendiri di dapur sana setelah kepulangan kami dari rumah sakit.

“Aku pergi.” Hampir ketika aku menutup pintu, suaranya memanggil namaku.

“Nadit.”

Yes?”

I hope this is your last.”

Alisku berkerut, tidak mengerti maksudnya. “Last of what?”

Your part-time.”

Aku menghela nafas yang cukup panjang. Ibu di ujung sana sibuk, bahkan tidak sedikitpun menoleh ke arahku. Aku benarkan letak ransel yang ada di bahu kanan.

“Kalau gitu, kasih aku alasan yang masuk akal supaya aku berhenti.” Ibu tiba-tiba menghentikan agendanya, kini berbalik dan berjalan mendekatiku menuju pintu.

“Kamu pikir kejadian di Geoffrey’s kurang masuk akal, hm?”

“Bu, Ibu gak bisa menyamaratakan seluruh tempat di Malibu itu sama cuma gara-gara kejadian di Geoffrey’s. They are a good person.”

“Nadit, I meant it. I can make all things work. You just need to sit down.”

“Setelah ayah meninggal? Ibu bisa jamin? I know how struggled you are bahkan untuk urusan tagihan listrik dan air, Bu. And you wanted to make my dream works? Are you kidding me? Bukannya buat ngasih jajan aku aja Ibu mikir dua kali?”

“Nadit..”

I’m too much. And I know it, I’m being rude. But I couldn’t hold it for any longer.

How dare you are.” Ibu menangis. And I feel like I am just a bad person ever exist. “Kamu pikir selama ini Ibu ngapain? I’m trying to make you happy, Nadit.”

Oh yes, you are. Tapi ibu selalu membatasi segala hal untuk kebahagiaanku. You said you trying to? Hm? Bahkan aku gak boleh jatuh cinta, kan? Gimana kalau ternyata bahagiaku datangnya dari jatuh cinta sederhana di masa SMA? Gimana kalau temen-temen kerja part-timeku yang jadi sumber bahagiaku? Gimana kalau aku ngabisin malam di pantai di tempat abu ayah di buang cuma satu-satunya cara aku bisa bahagia ngerasain eksistensi ayah walaupun sebenernya gak ada. And you, Mom! Ibu ngelarang aku untuk ngelakuin itu semua.”

“Ibu selalu telfonin aku dan marah kalau aku ke pantai barang sebentar. Are you sure you trying to make me happy?” Dadaku membuncah. Kini bulir air mata mulai ikut mengalir, sama seperti yang ada di pipi Ibuku.

Leave this home.” Cicitnya.

Yes, Mom. Thank you for all of your effort to make me happy, it useless. If dad was here—”

YOUR DAD WASN’T HERE!! Jadi berhenti manggil Ayah, ayah, ayah! Nadit.”

Why? Because you hate him so much? Because you were being abused by him? And you couldn’t find your happiness—”

Satu tamparan berhasil mendarat di pipiku.

Leave.”

Rahangku mengeras. Dengan cepat aku gapai kenop pintu dan keluar dari rumah. Aku seka kedua mataku ditengah jalan menuju Ralphs Supermarket, ranselku di bahu kanan aku genggam erat.

Aku selalu bertanya perihal kenapa ibu melarangku untuk jatuh cinta. Yup, sekedar jatuh cinta. Bahkan bukan sebuah hubungan. And she said, “You haven’t mature enough to know it yet.” Itu adalah hal yang selalu aku adukan kepada teman-temanku, bahwa menyebalkan ketika orang dewasa selalu menganggap anak belasan tahun tidak tau apa-apa dan belum waktunya.

Terutama, sangat menyebalkan ketika harus melempar cerita tentang masalah hidup kepada orang dewasa dan jawaban yang diterima adalah, “You still 18, my problem is more harder than you.”

Fuck.

But Mingyu didn’t answer it like that.

Well, tapi dia tetap aja nganggap aku anak kecil yang labil dengan perasaan yang aku punya buat dia. Dan itu menyebalkan, not gonna lie.

Setelah kejadian di Geoffrey’s waktu itu, malam hari ia sempat mengirimiku pesan dan bertanya soal keadaanku, which is, not completely good.

Aku memutuskan untuk membalas pesannya di pagi hari.

Sejujurnya, tidak ada perasaan yang sebegitu merambatnya lagi di dalam hatiku perihal dia. Perang argumentasi yang terjadi saat mobil Mark hampir di tahan pihak kepolisian kala itu sudah cukup menjawab semuanya. Bahwa ia tidak melakukan segala hal atas dasar perasaan yang sama seperti yang aku miliki untuk sosoknya.

Aku terlalu menomor-satu-kan sosok lelaki itu, padahal diriku hanya sebuah opsi semata. No. Ibaratnya, di lembar ujian, aku bahkan tidak masuk di tiap opsi jawabannya. Tidak di A, atau di E. Tidak ada, aku ini hanya sosok anak kecil yang ia temui tempo hari di pinggir pantai, and all of sudden, kita malah mengadu nasib soal perasaan kehilangan.

Seperti kata Taylor Swift, “Lay the table with the fancy shit, and watch you tolerate it.”

Sekarang aku menertawakan lariknya.

Aku ingat bagaimana pemilihnya aku ketika harus membeli sebuah baju atas fine dinning yang membuat dadaku membuncah tidak sabar menanti. Selesai bahkan 1 jam sebelum ia menjemput, menatap lama diriku di cermin hanya untuk mengulur waktu sakit hati. Lagi-lagi Taylor Swift benar perihal lagunya, “I know my love should be celebrated, but you tolerate it.”

Mingyu just tolerate it.

Mataku sudah sepenuhnya kering ketika aku sampai di Ralphs. Robin menyambutku, menepuk bahuku beberapa kali dan memberikan semangat untukku pada sore menjelang malam ketika itu.

Aku pergi ke ruang ganti, mengganti pakaianku yang aku letakkan di dalam loker serta vest dengan tulisan ‘Ralphs’ di bagian kanannya. Aku berlari kecil menuju kasir, antrian panjang.

You are too late, aku kewalahan.” Kata Robin, memijit pelipisnya. Robin sendiri adalah seorang supervisor, bukan ranahnya untuk mengambil alih kasir dan jujur saja aku merasa tidak enak. Berkali-kali aku katakan maaf kepadanya.

You said sorry again, you’ll be fired, Nadit.” Ia terbahak, akupun begitu.

Robin kemudian pergi, aku mengambil alih kasir dan mulai bekerja. Menghitung satu persatu barang belajaan bahkan hampir 2 jam lamanya.

Selama 2 jam, aku berdiri. Tidak menemukan celah untuk duduk barang sekejap. Ralph hari ini sedang tidak waras.

You okay, Nadit?” Este, gadis di seberangku bertanya sambil memberikan scan di tiap barcode barang belanjaan orang yang ada di depannya.

You should worrying yourself first, Este.” Kami terbahak.

Setelah 2 jam lebih, aku duduk bersama Este di bawah meja kasir dan sebotol minuman di tangan yang aku tegak dengan anarkis.

“Wow.. Woww.. Calm down, girl.”

“Ahhhh..” Suaraku setelah menegak hampir setengah isi botol minuman tadi, Este terbahak. Ia pun mulai menegak minumannya, namun lebih tenang dibanding diriku tadi.

Kami luruskan kaki, serta punggung yang bersandar pada dinding meja kasir yang terbuat dari triplek biasa. Sejujurnya, kapanpun bisa hancur seketika dengan kami yang bersandar.

“Pegel.” Sahut Este, memijit kakinya. “Awal bulan, weekend. They were crazy.”

Yes. They were.”

Setelah perbincangan singkat, aku mulai merapikan rak-rak. Barang-barang yang di letakan asal karna terlanjur memasukannya ke dalam cart namun tidak jadi membeli, barang yang posisinya tidak lagi beraturan, barang-barang baru yang mulai aku susun dari ruang penyimpanan menuju rak karna stocknya sudah habis atau menipis.

Sesekali mengepel lantai, tidak jarang aku temukan noda es krim disana.

Setelah itu, di waktu istirahat sembari menunggu waktu jam pulang, aku duduk di atas lantai, di satu lorong berisi makanan ringan, aku senderkan pundakku. Sebenarnya takut-takut, takut kalau rak-nya malah jatuh akibat dorongan dari pundakku karena bersender. Tapi aku pikir, ini cukup kuat.

Aku keluarkan ponselku, mengirim pesan kepada Somi dan meminta izin untuk menginap di rumahnya. Mungkin sampai aku berbaikan dengan Ibu.

Tidak lama, Robin menghampiriku, ikut duduk di sebelahku. Bahkan ikut menyenderkan pundaknya seperti yang sedang aku lakukan. Ia lipat kedua kakinya.

How’s your mom?” Sahutnya, menoleh pelan ke arahku.

“Well, masih belum ada kemajuan.”

“Aku boleh tau, Ibu kamu sakit apa?”

Aku hela nafasku pelan, menggigit dalam bibirku.

“Awalnya, Ibu di diagnosa dokter Pankreatitis atau radang pankreas. Dokter bilang penyebabnya bisa jadi karena virus, kelainan genetik atau mungkin efek samping obat-obatan, kita waktu itu kurang yakin penyebabnya apa.” Mataku kosong, memikirkan satu hal yang mengembara di kepala, hal yang membuatku yakin akan satu penyebabnya, namun aku simpan dalam-dalam.

“Dokter bilang lagi, Insulin biasanya diproduksi dan dilepas dari sel sel pankreas, jadi karena pankreas Ibu udah meradang, sel-selnya udah gak mampu menghasilkan insulin yang cukup buat buang glukosa dari darah supaya bisa ngontrol gula darah. Akhirnya, dokter harus mendiagnosa lagi kalau Ibu kena gula darah tinggi atau Hiperglikemia.”

Robin mengerjapkan matanya beberapa kali setelah aku selesai menjelaskan.

“Jadi.. Ibu biasanya harus check up buat meriksa gula darahnya.”

Damn, girl. You are.. tough.” Robin merangkul bahuku, menariknya kemudian menepuknya beberapa kali, memberikan semangat.

He is a nice one.

Kini Robin istirahatkan kepalanya, mendongak menatap langit-langit tinggi supermarket.

Life is sucks, right, Nadit?”

Aku tarik dalam nafasku, membuangnya. “Yup. It is.”

Ia kemudian mengangkat tangannya, menampilkan jam tangan yang melingkar disana.

Wanna drink?”

“Eh?”

C’mon, Nadit. I saw a cigarettes on your bag earlier, you suck it often? Have you drink an alcohol before?”

“Well, aku gak selalu ngerokok, sometimes. But, Alcohol..”

Come on, it’ll calm your mind, believe me.”

“Hmm.. Robin.. I don’t think—” Ia menarik cepat pergelangan tanganku, membuat tubuhku langsung bangkit dari duduk.

Wait!” Kami berhenti, saling tatap. Tanganku tadi sudah lebih dulu aku lepas dari genggamannya. “I am 18, Robin. I can’t.

“Tapi kamu ngerokok, what’s the difference?”

I know, but—”

You can take a oneshot, it’ll calm your head, Nadit. Aku tau kepala kamu berisik. I’m trying to help you.” Aku telan ludahku, berfikir lama. Robin menyentuh bahuku dengan alis matanya yang menungkik. Mungkin, satu gelas tidak akan membuatku lupa jalan menuju rumah Somi, kan?

Okay, I’ll take a shot. Oneshot.

Robin tertawa kecil. “Oneshot, twoshot, the stage is yours, Nadit.”

Kini kami melangkah bersama, dirangkulnya bahuku berjalan menuju halaman belakang Ralphs yang aku pun tidak tau ternyata ada. Kutemukan Henry, Ricko dan Phoebe. Rekan kerjaku.

You got a new mates, huh?” A blondie Henry.

Don’t be rude, she wants a oneshot to calm her head down.”

Sure, take a seat, queen.” Ginger head, Phoebe, mempersilahkanku duduk dengan cara yang sarkastik, menurutku.

Mereka tuangkan segelas dan disodorkan ke hadapanku.

Aku belum pernah menyentuh air keras semacam itu, I have no idea how it tastes. And yes, I never been drunk before. But maybe, if I get drunk, Robin will help me, right? He is the nicest mates I’ve ever met.

“Ayo, Nadit. Kamu nunggu apa?”

Oke. Oneshot.

Ketika air itu mulai menjamahi tenggorokanku, rasanya panas. Sesaat itu juga, dapat aku rasakan kepalaku yang mulai mengawang kecil.

Another shot?” Rockie, the brunette one.

No, Thanks. I promised Robin to only take oneshot.” Cicitku. Panas di tenggorkanku masih belum mereda.

“Ah, gak asik kalau kamu cuma minum sekali.” Ucap Rockie.

Sorry.”

“Take it.” Cicit Robin. “It’ll make you head more calm.” Kini ada gelas lain yang sudah terisi tersematkan di tanganku.

“Kalian selalu ngelakuin ini setiap hari?”

“Ck.” Phoebe yang duduk disebelahku berdecak. “Jangan banyak tanya kaya anak sekolah, take it or leave.”

“Phoebe, jangan galak sama tamu.” Robin membenarkan posisi duduknya, menjurus ke arahku. “Nadit, try it.”

Twoshot.

Threeshot.

Fourshot.

A Laugh.

A sad stories of mine.

Fiveshot.

I’m crying.

Another shot.

Another Laugh.

A shot.

A shot.

A Nauseous.

Guys, aku mau ke toilet dulu.”

Another Laugh.

Kepalaku pusing, berat, serta mataku yang mulai mengawang. Aku berjalan sembari menopang tubuhku kepada dinding, berusaha menggapai kamar mandi sebelum semua keluar dari perutku.

“Nadit, aku bantu.” I know, Robin will help me.

Dirinya menuntunku menuju toilet, membopohku dengan satu tangan meraih pinggangku, ia genggam kuat. Tapi, apa yang kurasa bukan sama sekali genggaman untuk membantu.

“Kamu ngapain?!” Aku tolak tubuhnya yang lebih besar dariku. Ia tersungkur.

I’m trying to help you, stupid whore!”

What?

Tubuhku oyong. Barusan dia bilang apa? Aku tidak mampu melihat dirinya dengan jelas. Ia dorong tubuhku sampai menabrak dinding.

Jatuh tersungkur, tubuhku tidak lagi kuat menahan semua, bahkan kakiku sendiri tidak mampu menopang badanku.

Robin berjongkok, wajahnya samar tertangkap iris mataku. Ia angkat daguku, kini lurus tatap mataku bertemu miliknya.

You just.. so pretty. Since day one I met you, I really wanted to taste you. Guess this is the time?”

Apa?

JERK!” Suara gaduh tiba-tiba terdengar nyaring. Aku tidak lagi mampu menahan dan tidak lagi mampu menyaksikan, aku hanya ingin mengeluarkan segala isi perutku dan pulang untuk tidur, kepalaku sakit, tenggorokanku semakin nyeri.

“Nadit, you okay? Hey? Hey? Shit, are you drunk? Nadit? Can you hear me?”

“Bu, aku pergi, ya?”

Ia diam. Ibuku diam dan sibuk dengan urusannya sendiri di dapur sana setelah kepulangan kami dari rumah sakit.

“Aku pergi.” Hampir ketika aku menutup pintu, suaranya memanggil namaku.

“Nadit.”

Yes?”

I hope this is your last.”

Alisku berkerut, tidak mengerti maksudnya. “Last of what?”

Your part-time.”

Aku menghela nafas yang cukup panjang. Ibu di ujung sana sibuk, bahkan tidak sedikitpun menoleh ke arahku. Aku benarkan letak ransel yang ada di bahu kanan.

“Kalau gitu, kasih aku alasan yang masuk akal supaya aku berhenti.” Ibu tiba-tiba menghentikan agendanya, kini berbalik dan berjalan mendekatiku menuju pintu.

“Kamu pikir kejadian di Geoffrey’s kurang masuk akal, hm?”

“Bu, Ibu gak bisa menyamaratakan seluruh tempat di Malibu itu sama cuma gara-gara kejadian di Geoffrey’s. They are a good person.”

“Nadit, I meant it. I can make all things work. You just need to sit down.”

“Setelah ayah meninggal? Ibu bisa jamin? I know how struggled you are bahkan untuk urusan tagihan listrik dan air, Bu. And you wanted to make my dream works? Are you kidding me? Bukannya buat ngasih jajan aku aja Ibu mikir dua kali?”

“Nadit..”

I’m too much. And I know it, I’m being rude. But I couldn’t hold it for any longer.

How dare you are.” Ibu menangis. And I feel like I am just a bad person ever exist. “Kamu pikir selama ini Ibu ngapain? I’m trying to make you happy, Nadit.”

Oh yes, you are. Tapi ibu selalu membatasi segala hal untuk kebahagiaanku. You said you trying to? Hm? Bahkan aku gak boleh jatuh cinta, kan? Gimana kalau ternyata bahagiaku datangnya dari jatuh cinta sederhana di masa SMA? Gimana kalau temen-temen kerja part-timeku yang jadi sumber bahagiaku? Gimana kalau aku ngabisin malam di pantai di tempat abu ayah di buang cuma satu-satunya cara aku bisa bahagia ngerasain eksistensi ayah walaupun sebenernya gak ada. And you, Mom! Ibu ngelarang aku untuk ngelakuin itu semua.”

“Ibu selalu telfonin aku dan marah kalau aku ke pantai barang sebentar. Are you sure you trying to make me happy?” Dadaku membuncah. Kini bulir air mata mulai ikut mengalir, sama seperti yang ada di pipi Ibuku.

Leave this home.” Cicitnya.

Yes, Mom. Thank you for all of your effort to make me happy, it useless. If dad was here—”

YOUR DAD WASN’T HERE!! Jadi berhenti manggil Ayah, ayah, ayah! Nadit.”

Why? Because you hate him so much? Because you were being abused by him? And you couldn’t find your happiness—”

Satu tamparan berhasil mendarat di pipiku.

Leave.”

Rahangku mengeras. Dengan cepat aku gapai kenop pintu dan keluar dari rumah. Aku seka kedua mataku ditengah jalan menuju Ralphs Supermarket, ranselku di bahu kanan aku genggam erat.

Aku selalu bertanya perihal kenapa ibu melarangku untuk jatuh cinta. Yup, sekedar jatuh cinta. Bahkan bukan sebuah hubungan. And she said, “You haven’t mature enough to know it yet.” Itu adalah hal yang selalu aku adukan kepada teman-temanku, bahwa menyebalkan ketika orang dewasa selalu menganggap anak belasan tahun tidak tau apa-apa dan belum waktunya.

Terutama, sangat menyebalkan ketika harus melempar cerita tentang masalah hidup kepada orang dewasa dan jawaban yang diterima adalah, “You still 18, my problem is more harder than you.”

Fuck.

But Mingyu didn’t answer it like that.

Well, tapi dia tetap aja nganggap aku anak kecil yang labil dengan perasaan yang aku punya buat dia. Dan itu menyebalkan, not gonna lie.

Setelah kejadian di Geoffrey’s waktu itu, malam hari ia sempat mengirimiku pesan dan bertanya soal keadaanku, which is, not completely good.

Aku memutuskan untuk membalas pesannya di pagi hari.

Sejujurnya, tidak ada perasaan yang sebegitu merambatnya lagi di dalam hatiku perihal dia. Perang argumentasi yang terjadi saat mobil Mark hampir di tahan pihak kepolisian kala itu sudah cukup menjawab semuanya. Bahwa ia tidak melakukan segala hal atas dasar perasaan yang sama seperti yang aku miliki untuk sosoknya.

Aku terlalu menomor-satu-kan sosok lelaki itu, padahal diriku hanya sebuah opsi semata. No. Ibaratnya, di lembar ujian, aku bahkan tidak masuk di tiap opsi jawabannya. Tidak di A, atau di E. Tidak ada, aku ini hanya sosok anak kecil yang ia temui tempo hari di pinggir pantai, and all of sudden, kita malah mengadu nasib soal perasaan kehilangan.

Seperti kata Taylor Swift, “Lay the table with the fancy shit, and watch you tolerate it.”

Sekarang aku menertawakan lariknya.

Aku ingat bagaimana pemilihnya aku ketika harus membeli sebuah baju atas fine dinning yang membuat dadaku membuncah tidak sabar menanti. Selesai bahkan 1 jam sebelum ia menjemput, menatap lama diriku di cermin hanya untuk mengulur waktu sakit hati. Lagi-lagi Taylor Swift benar perihal lagunya, “I know my love should be celebrated, but you tolerate it.”

Mingyu just tolerate it.

Mataku sudah sepenuhnya kering ketika aku sampai di Ralphs. Robin menyambutku, menepuk bahuku beberapa kali dan memberikan semangat untukku pada sore menjelang malam ketika itu.

Aku pergi ke ruang ganti, mengganti pakaianku yang aku letakkan di dalam loker serta vest dengan tulisan ‘Ralphs’ di bagian kanannya. Aku berlari kecil menuju kasir, antrian panjang.

You are too late, aku kewalahan.” Kata Robin, memijit pelipisnya. Robin sendiri adalah seorang supervisor, bukan ranahnya untuk mengambil alih kasir dan jujur saja aku merasa tidak enak. Berkali-kali aku katakan maaf kepadanya.

You said sorry again, you’ll be fired, Nadit.” Ia terbahak, akupun begitu.

Robin kemudian pergi, aku mengambil alih kasir dan mulai bekerja. Menghitung satu persatu barang belajaan bahkan hampir 2 jam lamanya.

Selama 2 jam, aku berdiri. Tidak menemukan celah untuk duduk barang sekejap. Ralph hari ini sedang tidak waras.

You okay, Nadit?” Este, gadis di seberangku bertanya sambil memberikan scan di tiap barcode barang belanjaan orang yang ada di depannya.

You should worrying yourself first, Este.” Kami terbahak.

Setelah 2 jam lebih, aku duduk bersama Este di bawah meja kasir dan sebotol minuman di tangan yang aku tegak dengan anarkis.

“Wow.. Woww.. Calm down, girl.”

“Ahhhh..” Suaraku setelah menegak hampir setengah isi botol minuman tadi, Este terbahak. Ia pun mulai menegak minumannya, namun lebih tenang dibanding diriku tadi.

Kami luruskan kaki, serta punggung yang bersandar pada dinding meja kasir yang terbuat dari triplek biasa. Sejujurnya, kapanpun bisa hancur seketika dengan kami yang bersandar.

“Pegel.” Sahut Este, memijit kakinya. “Awal bulan, weekend. They were crazy.”

Yes. They were.”

Setelah perbincangan singkat, aku mulai merapikan rak-rak. Barang-barang yang di letakan asal karna terlanjur memasukannya ke dalam cart namun tidak jadi membeli, barang yang posisinya tidak lagi beraturan, barang-barang baru yang mulai aku susun dari ruang penyimpanan menuju rak karna stocknya sudah habis atau menipis.

Sesekali mengepel lantai, tidak jarang aku temukan noda es krim disana.

Setelah itu, di waktu istirahat sembari menunggu waktu jam pulang, aku duduk di atas lantai, di satu lorong berisi makanan ringan, aku senderkan pundakku. Sebenarnya takut-takut, takut kalau rak-nya malah jatuh akibat dorongan dari pundakku karena bersender. Tapi aku pikir, ini cukup kuat.

Aku keluarkan ponselku, mengirim pesan kepada Somi dan meminta izin untuk menginap di rumahnya. Mungkin sampai aku berbaikan dengan Ibu.

Tidak lama, Robin menghampiriku, ikut duduk di sebelahku. Bahkan ikut menyenderkan pundaknya seperti yang sedang aku lakukan. Ia lipat kedua kakinya.

How’s your mom?” Sahutnya, menoleh pelan ke arahku.

“Well, masih belum ada kemajuan.”

“Aku boleh tau, Ibu kamu sakit apa?”

Aku hela nafasku pelan, menggigit dalam bibirku.

“Awalnya, Ibu di diagnosa dokter Pankreatitis atau radang pankreas. Dokter bilang penyebabnya bisa jadi karena virus, kelainan genetik atau mungkin efek samping obat-obatan, kita waktu itu kurang yakin penyebabnya apa.” Mataku kosong, memikirkan satu hal yang mengembara di kepala, hal yang membuatku yakin akan satu penyebabnya, namun aku simpan dalam-dalam.

“Dokter bilang lagi, Insulin biasanya diproduksi dan dilepas dari sel sel pankreas, jadi karena pankreas Ibu udah meradang, sel-selnya udah gak mampu menghasilkan insulin yang cukup buat buang glukosa dari darah supaya bisa ngontrol gula darah. Akhirnya, dokter harus mendiagnosa lagi kalau Ibu kena gula darah tinggi atau Hiperglikemia.”

Robin mengerjapkan matanya beberapa kali setelah aku selesai menjelaskan.

“Jadi.. Ibu biasanya harus check up buat meriksa gula darahnya.”

Damn, girl. You are.. tough.” Robin merangkul bahuku, menariknya kemudian menepuknya beberapa kali, memberikan semangat.

He is a nice one.

Kini Robin istirahatkan kepalanya, mendongak menatap langit-langit tinggi supermarket.

Life is sucks, right, Nadit?”

Aku tarik dalam nafasku, membuangnya. “Yup. It is.”

Ia kemudian mengangkat tangannya, menampilkan jam tangan yang melingkar disana.

Wanna drink?”

“Eh?”

C’mon, Nadit. I saw a cigarettes on your bag earlier, you suck it often? Have you drink an alcohol before?”

“Well, aku gak selalu ngerokok, sometimes. But, Alcohol..”

Come on, it’ll calm your mind, believe me.”

“Hmm.. Robin.. I don’t think—” Ia menarik cepat pergelangan tanganku, membuat tubuhku langsung bangkit dari duduk.

Wait!” Kami berhenti, saling tatap. Tanganku tadi sudah lebih dulu aku lepas dari genggamannya. “I am 18, Robin. I can’t.

“Tapi kamu ngerokok, what’s the difference?”

I know, but—”

You can take a oneshot, it’ll calm your head, Nadit. Aku tau kepala kamu berisik. I’m trying to help you.” Aku telan ludahku, berfikir lama. Robin menyentuh bahuku dengan alis matanya yang menungkik. Mungkin, satu gelas tidak akan membuatku lupa jalan menuju rumah Somi, kan?

Okay, I’ll take a shot. Oneshot.

Robin tertawa kecil. “Oneshot, twoshot, the stage is yours, Nadit.”

Kini kami melangkah bersama, dirangkulnya bahuku berjalan menuju halaman belakang Ralphs yang aku pun tidak tau ternyata ada. Kutemukan Henry, Ricko dan Phoebe. Rekan kerjaku.

You got a new mates, huh?” A blondie Henry.

Don’t be rude, she wants a oneshot to calm her head down.”

Sure, take a seat, queen.” Ginger head, Phoebe, mempersilahkanku duduk dengan cara yang sarkastik, menurutku.

Mereka tuangkan segelas dan disodorkan ke hadapanku.

Aku belum pernah menyentuh air keras semacam itu, I have no idea how it tastes. And yes, I never been drunk before. But maybe, if I get drunk, Robin will help me, right? He is the nicest mates I’ve ever met.

“Ayo, Nadit. Kamu nunggu apa?”

Oke. Oneshot.

Ketika air itu mulai menjamahi tenggorokanku, rasanya panas. Sesaat itu juga, dapat aku rasakan kepalaku yang mulai mengawang kecil.

Another shot?” Rockie, the brunette one.

No, Thanks. I promised Robin to only take oneshot.” Cicitku. Panas di tenggorkanku masih belum mereda.

“Ah, gak asik kalau kamu cuma minum sekali.” Ucap Rockie.

Sorry.”

“Take it.” Cicit Robin. “It’ll make you head more calm.” Kini ada gelas lain yang sudah terisi tersematkan di tanganku.

“Kalian selalu ngelakuin ini setiap hari?”

“Ck.” Phoebe yang duduk disebelahku berdecak. “Jangan banyak tanya kaya anak sekolah, take it or leave.”

“Phoebe, jangan galak sama tamu.” Robin membenarkan posisi duduknya, menjurus ke arahku. “Nadit, try it.”

Twoshot.

Threeshot.

Fourshot.

A Laugh.

A sad stories of mine.

Fiveshot.

I’m crying.

Another shot.

Another Laugh.

A shot.

A shot.

A Nauseous.

Guys, aku mau ke toilet dulu.”

Another Laugh.

Kepalaku pusing, berat, serta mataku yang mulai mengawang. Aku berjalan sembari menopang tubuhku kepada dinding, berusaha menggapai kamar mandi sebelum semua keluar dari perutku.

“Nadit, aku bantu.” I know, Robin will help me.

Dirinya menuntunku menuju toilet, membopohku dengan satu tangan meraih pinggangku, ia genggam kuat. Tapi, apa yang kurasa bukan sama sekali genggaman untuk membantu.

“Kamu ngapain?!” Aku tolak tubuhnya yang lebih besar dariku. Ia tersungkur.

I’m trying to help you, stupid whore!”

What?

Tubuhku oyong. Barusan dia bilang apa? Aku tidak mampu melihat dirinya dengan jelas. Ia dorong tubuhku sampai menabrak dinding.

Jatuh tersungkur, tubuhku tidak lagi kuat menahan semua, bahkan kakiku sendiri tidak mampu menopang badanku.

Robin berjongkok, wajahnya samar tertangkap iris mataku. Ia angkat daguku, kini lurus tatap mataku bertemu miliknya.

You just.. so pretty. Since day one I met you, I really wanted to taste you. Guess this is the time?”

Apa?

JERK!” Suara gaduh tiba-tiba terdengar nyaring. Aku tidak lagi mampu menahan dan tidak lagi mampu menyaksikan, aku hanya ingin mengeluarkan segala isi perutku dan pulang untuk tidur, kepalaku sakit, tenggorokanku semakin nyeri.

“Nadit, you okay? Hey? Hey? Shit, are you drunk? Nadit? Can you hear me?”


Enam belas, seragam putih abu-abu, dan kehidupan menyenangkan tanpa beban. Melangkahkan kaki masuk dari gerbang sekolah hanya memikirkan soal PR Matematika yang tidak kunjung menemukan rampung. Mungkin itu yang sedikitnya Wonwoo pikirkan ketika duduk di bangku SMA.

Tidak, Wonwoo selalu menyelesaikan PR Matematikanya. Kecuali, satu orang di ujung sana yang sedang grasak-grusuk dan bahkan saat ini menulis dengan cara berdiri dan menempelkan bukunya di dinding. Bahkan dasinya hanya dikalungkan tanpa diikat rapi.

Mingyu, namanya Kim Mingyu.

“Geser dikit anjing gua kaga keliatan ntu nomor 3.” Wonwoo sudah terlalu biasa menonton pertunjukan semacam ini di tiap pagi harinya.

Bagi Wonwoo, sulit mendeskripsikan teman sekelasnya yang satu itu. Atau mungkin, agar menjadi cakupan sempit dan tanpa perlu bertele-tele, Wonwoo akan sebut dia berandalan sekolah.

Jangan tanya sudah seberapa familiar Wonwoo dengan wajah kedua orang tua Mingyu. Terkadang setiap dua bulan sekali, seorang lelaki paruh baya dengan setelan rapi akan berjalan masuk ke pekarangan sekolah, dengan alis yang mengkerut dan wajah yang kusut. Semua tau, itu adalah Ayah Mingyu. Lain halnya dengan Ibunya, wanita itu tetap akan menebar senyum, entah apa maksud dan makna dibalik itu.

Maka kemudian yang akan Wonwoo dengar dari mulut ke mulut adalah, “Mingyu ketauan merokok.”, “Mingyu cabut lewat belakang sekolah.”, “Mingyu alpa.”, “Mingyu ikut tawuran, tau.”, “Mingyu udah dua minggu berturut-turut gak ngerjain tugas.”, “Mingyu mau di drop out.”

Namun nyatanya, spekulasi yang terakhir tidak valid. Buktinya, anak itu saat ini masih dengan fokus menulis PRnya di dinding sana.

Dibalik itu semua, dengan label Wonwoo yang adalah seorang anak teladan dan patuh di sekolah, itu sama sekali tidak menganggunya. Wonwoo tidak pernah berdecak sebal kalau Mingyu harus ribut di kelas ketika dirinya sedang belajar sebelum ulangan harian di jam pelajaran berikutnya, Wonwoo tetap santai ketika Mingyu tidak sengaja melempar gumpalan kertas dan mengenai wajahnya, segala kelakukan Mingyu, tidak pernah mengusik diri Wonwoo sendiri.

“Dasi lo, pake yang bener.” Mingyu menoleh, kemudian mengapit buku catatannya di ketiak dan mulai menggapai dasi yang tadi sempat hanya dikalungkannya.

“Gabisa gue, pakein.” Wonwoo menatap lama dasi berwarna abu-abu di hadapannya yang sedang disodorkan. Dengan cepat, dirinya meraih dan berdiri, memakaikan dasi untuk satu teman sekelasnya itu.

“Kalau gabisa, terus selama ini yang pakein siapa?” Mingyu sedikit menunduk, menatap temannya yang sibuk mengikat dasi di kerah baju putihnya dan perbedaan tinggi diantara mereka.

“Nyokap.” Wonwoo mendengus dengan sunggingan kecil di sudut bibirnya.

“Kenapa?” Tanya Mingyu.

“Gak papa. Ngeliat kelakukan lo di sekolah tau-tau di rumah dasi dipasangin sama nyokap, yaa semua orang juga bakal ketawa.”

“Yaelah, emang anak kaya gue gak boleh dasinya di pasangin sama nyokap?” Kini, ada dasi yang sudah terikat rapi.

“Baju lo, masukin ke dalam celana.”

Alis Mingyu mengkerut. “Lo OSIS, ya?”

Wonwoo yang tadi berdiri, kini duduk meraih pena dan mulai menarik buku paketnya. Ia menggeleng. “Bukan.”

“Ngapain ngatur gue kalau gitu?” Helaan nafas jadi jawaban untuk Mingyu. Kini yang menghela nafas mendongak, bertemu wajah teman satu kelasnya.

“Biar rapi, Mingyu.” Kini bergantian, ada Mingyu yang menarik nafasnya, agak sedikit malas. Dirinya kemudian berjalan memutar, duduk di sebelah bangku Wonwoo yang kosong. Ia yang duduk memiringkan tubuh kali ini sempurna menatap lekuk wajah milik Wonwoo.

“Lo kenapa ambisius banget?”

Tanpa mengalihkan pandangannya dari buku paket, Wonwoo bersuara, “Soal?”

“Jadi yang paling-paling.”

“Emang salah kalau gue jadi yang paling-paling?” Mingyu sebal, dengan intonasi suara Wonwoo. Wonwoo yang tidak berekspresi memiringkan sedikit kepalanya, membuat ia kini sepenuhnya menoleh bertemu manik mata milik Mingyu.

“Gausah ngajakin gue kalau gitu.”

“Gak ada yang ngajakin lo.”

“Lo ngatur.”

“Urusan kemeja masuk ke dalam celana lo bilang gue ngatur?”

“Ya iyalah.”

“Kalau gak mau di atur gausah sekolah. Hidup di hutan aja sana.” Mingyu diam, memijit pelipisnya, agak tidak percaya dengan kalimat Wonwoo barusan.

Tanpa menjawab, Mingyu kini berdiri. Memutar tubuh dan berjalan menjauh. Di tengah langkahnya, ia terhenti, memutar tubuh, bertemu dengan kedua manik mata Wonwoo. “Makasih, dasinya.”

-

“Males ah.” Wonwoo membenamkan wajahnya di balik bantal sofa, ia merebahkan diri menghadap langit langit rumah.

“Anjir kapan lagi? Sekelas datang loh, Won.” Soonyoung menarik bantal yang tadi sempat menutupi wajah sahabatnya. Menurut Wonwoo, Kunjungan Soonyoung ke rumahnya untuk memberikan kabar barusan bagikan petir di siang bolong.

“Gue gak datang.”

“Datang, lo harus datang.” Soonyoung bangkit, berlalu dan berniat melangkah menuju dapur, namun sejenak terhenti. “Anjir, Won? Jangan bilang?”

“Enggak.”

“Enggak apanya? Terus alesan lo gak mau dateng apaan?”

“Yaaaa..” Wonwoo menyilangkan tangannya di depan dada. “Gue mager aja. Lo bayangin, gue harus milih baju, nyari topik buat ngobrol, belum lagi kalo ditanyain soal ‘kapan’, jujur, gue males banget, Nyong.”

Soonyoung menggelengkan kepala. “Lo gausah mikir yang ampe kesana kali. Maksud gue, itu cuma spekulasi lo aja. Belum tentu apa yang lo pikirin barusan beneran kejadian. Enjoy aja kali, Won. Have fun.” Kali ini Soonyoung memutar malas kedua bola matanya dan melangkah pergi menuju dapur, membuka kulkas.

“Lagian ya, masa sih, setelah bertahun-tahun lamanya, lo gak mau ketemu dia?” Wonwoo menoleh melihat sobat karibnya itu meneguk satu jus kotak yang telah ia tuang di dalam gelas. “Apa gak kangen?”

Sialan.

Jangan tanya Wonwoo perihal itu, setiap detik hidupnya bahkan sampai saat ini pun, tidak bisa ia pungkiri bahwa masih ada perasaan merindu di lubuk hatinya terhadap satu orang spesial yang bahkan tanpa di sebutkan pun, semua orang tau siapa sosoknya.

“Yakin lo? Gak dateng?” Kini Soonyoung duduk bersebrangan dari posisi duduk Wonwoo. Melipat kaki dan memeluk bantal, serta satu alisnya yang menungkik tajam, berusaha mencari validasi dari rekannya, bahwa memang, ‘Mager’ hanya alibi semata untuk kabur dan bersembunyi.

“Besok?” Soonyoung mengangguk.

“Ikut?”

“Jemput gue.”

Atas permintaan Wonwoo, pada esok hari, mobil Soonyoung dengan rapi terparkir di halaman depan rumahnya. Dengan gaya kasual, Wonwoo langsung duduk di kursi penumpang, membiarkan temannya yang satu itu membawanya menuju lokasi reuni.

Di Jakarta Pusat, ada semacam Restoran dengan tema makanan khas nusantara, Seribu Rasa. Wonwoo duduk di sana dengan menunduk, memainkan jemarinya dan menolak bertemu tatap beberapa teman SMA yang bahkan sudah hadir disana.

Soonyoung tenggelam jauh dalam perbincangan. Tawa akibat menapak tilas bagaimana kejadian kejadian di masa lalu, serta banyaknya kenangan yang rasanya sayang kalau tidak di ungkit kejadiannya.

Wonwoo hanya menghadiahkan senyum tipis, tidak mampu tertawa dengan lepas, ia hanya mendengar, sesekali mengangguk bahkan enggan untuk ikut menimpali. Padahal, di ingatannya, ia ada disana, dibeberapa kenangan manis masa putih abu-abu, dan bagaimana masa-masa itu mampu membawa euforia yang menjadi sebab akibat akan debar jantungnya.

Satu teman Wonwoo menyahut, mengangkat tangannya ke udara, menyambut kedatangan seseorang. Kini Wonwoo pun ikut menoleh. Langkah kakinya serta eksistensi yang di tangkap manik mata Wonwoo, selalu sama, bahkan setelah beberapa tahun berlalu, sosok itu, seakan-akan masih sama seperti mereka di umur enam belas tahun.

-

“Mingyu!” Soonyoung berdiri cepat ketika mendapati eksistensi Mingyu yang melangkah memasuki kelas. Ia sibuk dengan dasinya.

“Apa lagi?”

“Yaelah, lu mah.”

Alis Mingyu mengkerut hebat. “Apaan si, Nyong? Mending lo daripada banyak bacot lo iketin nih dasi gue.”

Alis Soonyoung tidak kalah berkerutnya disana, menatap sang teman dari atas sampai bawah. “Lo.. gabisa ngiket dasi?”

“Gausah banyak tanya, iketin.”

Soonyoung memutar bola matanya malas. “Mending nih ye, lo perhatiin nih satu kelas..” Ia merangkul pundak Mingyu, menunjuk ke seluruh sudut kelas. “..Siapa yang dasinya paling rapi, coi?”

Pupil mata Mingyu menangkap milik Wonwoo.

“Yak betul. Sono, ama Wonwoo.” Ia menepuk bahu Mingyu berkali-kali, dan tanpa dosa berjalan meninggalkan dirinya keluar dari kelas dan berlalu entah kemana.

“Nyong! Woi!”

Mingyu berdeham, ketika sahutannya tidak mampu mendistrak satu temannya yang sudah berlarian entah kemana. Dengan santai, dirinya berjalan menuju bangkunya sendiri yang tepat membelakangi Wonwoo.

“Gak mau gue iketin nih jadinya dasi lo?” Bulu kuduk Mingyu berdiri, padahal ia yakin bahwa Wonwoo sama sekali tidak berbisik di telinganya.

Mingyu lantas memutar tubuh menatap Wonwoo di belakang, “Lo mau?”

“Ya kenapa enggak? Kemarin juga gue iketin.”

Dirinya berbalik sekejap, berbicara pada dirinya sendiri. Si bodoh Mingyu, bahkan urusan kecil semacam mengikat dasi harus jadi alasan di balik sebuah kalimat : ‘daripada gue di marahin, mending..’

Mingyu kembali memutar tubuh kebelakang. “Yaudah sini, iketin.”

Alis Wonwoo berkerut. “Yang butuh gue, apa lo?”

“Ah! Lo banyak pertimbangannya urusan dasi kaya gini.”

“Yaudah, terserah.”

Setelahnya Mingyu diam, menimbang banyak pilihan di kepalanya dengan kaki kanan yang terus menerus terhentak.

“Hansol! Pasangin dasi gue.” Seorang lelaki dengan wajah ke-bule-bule-an mengkerutkan wajah dengan bingung.

“Apaan sih lo, malu sama surat peringatan. Udah numpuk malah gabisa ngiket dasi.”

“Anjing lo sensi banget kenapa dah? Datang bulan?” Mingyu membuang kasar nafasnya.

“Chae, iketin dasi gue dongg~” Kali ini ia memanyunkan bibirnya, memohon pada satu gadis yang sedang asik membaca novel remaja di sudut kelas.

“Gue cewe anjir, gak pake dasi kaya lo.”

Kini Mingyu buntu. Banyak, ada banyak pilihan sekarang, hanya saja tidak ada harapan di tiap-tiap pilihannya.

Dengan memutar bola mata, helaan nafas pelan, ia bangkit dan berdiri di sebelah meja Wonwoo. Mengetuk dengan tangan yang mengepal dan membuat Wonwoo terkesiap, mendongak menemukan Mingyu yang berdiri dengan wajah memelas.

“Pasangin.”

“Tolong..”

“Ah elah, lu mah..” Entah untuk keberapa kalinya Mingyu membuang nafasnya terus-menerus, dan akhirnya bersuara, “Tolong pasangin dasi gue, Wonwoo.”

Tanpa satu ekspresi pun, Wonwoo berdiri, mulai mengikat dari sini ke sana. “Itu basic manner, Mingyu. Tolong, Maaf, Makasih.” Jelas Wonwoo pelan, kemudian diam dan fokus.

“Lagian lo kenapa sebelum sekolah gak minta tolong nyokap lo pasangin dasi, sih?” Sambung Wonwoo. Mingyu menolak menatap orang di hadapannya, memilih menatap lurus ke arah jendela kelas yang menjurus lurus menuju lapangan upacara sekolah.

“Nyokap gue udah berangkat kerja dari jam 6.”

“Di rumah lo emang gak ada pembantu?” Kali ini, dengan alis yang menungkik tajam, ia tatap sosok satu itu dengan terkejut, tidak percaya atas pertanyaannya barusan.

“Lo kira gue anak konglomerat?”

“Emang bukan?”

“Gila kali lo, Won. Kaga!”

“Oh, kirain.”

Wonwoo mundur berapa langkah, menatap hasil lipat melipat dasi yang kini sudah sepenuhnya terpasang dengan rapi di kerah baju Mingyu. Dirinya mengangguk pelan, mengamati hasil karyanya sendiri. Ya, setidaknya sebelum terlepas dan tidak lagi menjadi bentuk dasi pada umumnya ketika jam istirahat nanti.

“Udah nih?” Mingyu menunduk berusaha menemukan dasi di kerah bajunya yang sudah dipasang.

“Udah. Beres.” Wonwoo bersiap untuk duduk.

Dengan sedikit dehaman kecil, dan tangan kanan yang mulai masuk ke dalam kantong celana, serta elusan di tekuk, Mingyu bercicit, “Makasih..”

Tanpa menoleh barang sedikit pun, Wonwoo menggumamkan kata ‘sama-sama, Mingyu.’ bahkan agak sedikit sulit didengar oleh pendengaran Mingyu sendiri.

Tukainya kini bergerak ingin melangkah pergi, namun terhenti ketika satu suara meraup indra pendengarannya kembali.

“Mingyu..” Wonwoo, suara Wonwoo.

“Iya?”

Wonwoo diam cukup lama, menimbang haruskah ia bertanya perihal rasa penasaran di kepalanya.

“Gue denger dari Soonyoung, sore ini lo mau tawuran?”

Pertanyaannya akhirnya meluncur.

Bangsat, Soonyoung. Batin Mingyu.

“Hah? Mana ada.” Mingyu terkekeh, mengibaskan tangannya di depan wajah.

“Lo gak capek apa, Gyu, nyari-nyari masalah terus? Padahal masalah gak di cari juga dateng sendiri.”

“Gue gak mau tawuran. Apaan sih lo, Won. Ngaco.”

Di sana, dapat Mingyu lihat bagaimana frustasinya helaan nafas milik Wonwoo. “Gue bukan siapa-siapa sih emang, tapi gue temen lo. Gue gak mau lo harus nyakitin banyak perasaan, Mingyu. Terutama nyokap dan bokap lo yang udah capek ngeliat kelakuan lo.”

“Lagian biar apa sih tawuran? Lo mau mencari validasi kah dari orang-orang bahwa lo itu keren? Atau masalah yang gak kelar-kelar dari zaman kapan tau sama sekolah seberang? Yang bahkan gak masuk di akal sampe-sampe harus tawuran?”

Mingyu masih memberikan ruang untuk Wonwoo berbicara.

“Masih ada banyak waktu buat lo memperbaiki diri dan buang kebiasaan gak jelas lo kaya gitu. Gue gak berusaha ngatur hidup lo, disini gue cuman..” Wonwoo menggantungkan kalimatnya sejenak. “..gue cuman gak mau lo kenapa-napa.”

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa gak mau gue kenapa-napa?”

“Ya siapa yang rela ngeliat temennya kenapa-napa?”

Mingyu mengangkat cepat bahunya, “Hansol rela kok ngeliat gue kenapa-napa.”

“Sol!” Panggil Mingyu memanggil satu temannya yang saat ini sibuk dengan ponsel.

“Paan?”

“Gue kalo kenapa-napa pas tawuran lo rela gak?”

“Bukan urusan gua.”

Mendengar jawaban yang baru saja tercetus lewat mulut Hansol, Mingyu kembali mengalihkan pandangnya kepada Wonwoo dengan satu alis yang menungkik. “See? Hansol aja gak peduli.”

Kini Mingyu berjalan mendekat beberapa Langkah. “Lo harusnya kasih alasan yang jelas, Wonwoo. Soal kenapa lo yang gak rela temen lo yang satu ini kenapa- napa pas tawuran. Atau mungkin alasan jelas yang lain, kenapa gue gak harus nyerang sama temen-temen gue di saat lo cuma sekedar temen sekelas gue yang kerjaannya tiap hari mantengin buku paket gitu.”

Kali ini, giliran Wonwoo yang diam.

“Awas, nanti kacamata lo bisa-bisa makin tebel.”

Wonwoo diam bukan karena menimbang bahwa perkataan Mingyu sepenuhnya benar soal dirinya. Ia diam, karena ia tidak akan menemukan titik henti dalam berargumentasi dengan Mingyu yang keras kepala itu.

Acuh. Ia hanya menatap punggung Mingyu menghilang dari balik daun pintu, kemudian kembali bertumpu pada buku paket di hadapannya.

Sebagai teman, memangnya salah kalau Wonwoo sedikitnya khawatir terhadap perangai berandal seorang Mingyu? Sebagai teman, ia juga sedikitnya mengharapkan yang terbaik. Selalu. Entah itu Mingyu, maupun teman temannya yang lain yang mengambil andil dalam hari-harinya.

Di sore hari, dengan satu jajanan yang sedang dikunyah Wonwoo dan sebotol air mineral yang sama sekali belum terbuka segelnya, ia temukan Mingyu duduk di trotoar pinggir sekolah bersama Yugyeom, teman sepatarannya dari kelas sebelah. Mungkin sedang menunggu rombongannya yang lain.

Langkah Wonwoo mendekat, membuat Mingyu dan Yugyeom mendongak menatap Wonwoo yang berdiri tegak, masih mengunyah.

“Lo ngapain disini?” Mingyu terkejut, jujur saja.

Bukannya menjawab, dirinya kemudian menyodorkan sebotol air mineral tadi yang sama sekali belum ia buka segelnya, membuat Mingyu maupun Yugyeom menungkikan alis dengan tajam, kali ini bingung.

“Biar semangat tawurannya.” Keduanya yang masih duduk di trotoar otomatis menunjukan raut wajah aneh dan mempertanyakan apa yang Wonwoo maksud. “Nih, ambil.” Ulang Wonwoo lagi.

“Apaan sih lo?”

“Yaelah, dibilangin supaya tawurannya makin semangat. Ambil.” Air Mineral yang di sodorkannya tidak kunjung berpindah tangan, maka Wonwoo tinggalkan di atas jalanan beraspal, tepat di ujung sepatu hitam legam milik Mingyu, kemudian ia memutar tubuh berlalu.

“Won!” Acuh, si empunya nama terus melangkahkan kaki menjauh. Sampai ketika pendengarannya mendengar langkah lain yang mengikuti.

“Maksud lo apaan?” Kini, ada satu lelaki yang lebih tinggi dari Wonwoo yang berjalan bersampingan.

“Apaan?”

“Dih?”

“Gue dukung lo buat tawuran, salah lagi?” Wonwoo terpaksa harus menghentikan langkah kaki tatkala tubuh besar Mingyu berhenti tepat di hadapannya, menghadang.

“Tadi pagi gue ngelarang lo gak suka, ini gue dukung lo juga gak suka? Ekspresi muka lo sama aja dari yang tadi pagi sama sekarang.”

“Lo aneh, tau gak?”

“Enggak. Gak mau tau juga gue. Minggir.” Langkah yang di ambil Wonwoo dari samping kanan Mingyu, tetap di halangi, begitupun sebaliknya. “Kali ini apa lagi mau lo?”

“Lo tau gak, dengan sarkasme lo barusan, gue jadi gak punya semangat lagi buat nyerang sama temen yang lain.”

“Bagus dong kalau gitu.”

“Bagus?”

“Iya, bagus.”

“Lo ini kenapa sih, Won?”

“Gue kenapa? Emangnya ada yang salah?”

“Lo siapa, Wonwoo? Apa ranah lo sampe harus bertingkah kaya gini?”

“Loh? Ranah gue sebagai temen lo buat ngedukung segala passion yang lo bangun, salah? Passion lo kan tawuran.” Mingyu mengacak rambutnya kasar, menggigit bibir bawahnya. “Lo gak perlu nanya gue siapa, Mingyu. Lo gak perlu mempertanyakan ranah gue apa sampe harus ngelakuin ini. Karna kalau gak ada yang mulai buat nyadarin lo, lo bakalan tersesat dan gak nemuin jalan keluar sama sekali.” Sambung Wonwoo.

Kini, ada yang redam di sudut hati.

“Minggir, gue mau pulang. Lo lanjutin aja agenda lo, kasian ditungguin Yugyeom.”

Wonwoo mungkin benar, Mingyu adalah salah.

-

Pelajaran Kimia pada pagi hari yang tenang mendadak jadi sedikit ricuh akibat sahutan demi sahutan yang ditimbulkan oleh beberapa siswa dan siswi ketika mendapati eksistensi seorang Kim Mingyu yang duduk dengan tenang tanpa beban di bangku kelasnya. Tidak terkecuali, pak Bambang, seorang guru Konseling yang menatap Mingyu tidak percaya.

“Saya bermimpi, kah?” Sahut lelaki dengan tubuh gempal yang berumur kira kira 40 tahun keatas itu ketika melihat Mingyu.

“Kenapa, Pak?” Seseorang yang sedang jadi puncak perbincangan seluruh antero sekolah pun mendadak bingung.

Pak Bambang menepuk kedua pipi Mingyu pelan secara bergantian.

“Kamu.. Mingyu, toh?” Logat kental Jawa nya tidak hilang.

“Y-Ya iya, Pak. Saya Mingyu.”

“Loh..”

“Kenapa sih, Pak?”

“Kok kamu disini, toh? Ndak di kantor Polisi?”

“Lah? Ngapain saya di kantor polisi, Pak? Ditilang juga enggak.” Pak Bambang mengelus dagunya pelan, masih menatap Mingyu yang dirinya sendiri juga sedang kebingungan.

“Kamu kabur dari kantor polisi, ndak to?” Mata Mingyu membulat, tidak percaya atas pertanyaan yang baru saja di lemparkan oleh guru dihadapannya.

“Yah.. si bapak ngaco. Lagian saya ngapain pak di kantor Polisi? Kurang kerjaan aja saya pak.”

“Lhaa.. bukannya biasanya itu kerjaan kamu?”

“Apa pak?”

“Kamu tau ndak? Yugyeom dan geng-geng kamu itu di tangkap polisi kemarin sore gara-gara tawuran? Lha kamu ketua gengnya kok malah disini duduk enak.”

“Lho, kok malah saya ketua gengnya sih, Pak? Mana ada.”

Guru Kimia yang awalnya mengajar dan menulis di papan tulis, kini ikut terjun dengan permasalahan yang sedang terjadi.

“Lho.. bukan kamu toh, ketua gengnya?”

“Bukan, Pak.” Pak Bambang memanyunkan bibirnya sambil mengangguk, tidak membuang tatap pada satu siswa di hadapannya.

“Lha terus kamu disini ngapain?”

“Yaelah pak, Disekolah ngapain sih pak? Main kelereng?”

Bincang demi bincang yang sedang terjadi di depan sana, menghadirkan sedikit senyum di kedua sudut bibir Wonwoo.

Pada jam istirahat, ketika Wonwoo baru saja keluar dari bilik kamar mandi, ditemukannya kepulan asap yang berasal dari bilik lain. Membuatnya mendobrak pintu dan menemukan seorang Mingyu yang sebegitu paniknya sampai membuang puntung ke dalam toilet.

“Anjing!” Mingyu mengelus dada, menopang tubuh pada dinding. “Tai lo, kaget gue!”

“Lo gak ketangkep tawuran tapi malah ngelunjak ngerokok di kamar mandi.” Sosok tinggi itu keluar, sedikit menyenggol bahu Wonwoo dan mencuci tangannya di wastafel.

“Mumet gue.”

“Kenapa? Karena gak ikutan ketangkep?” Kini tubuh tingginya berbalik menatap Wonwoo.

“FYI aja nih ya, gue gak ikutan bukan karna apa yang lo bilang kemaren, tapi emang karna lagi males aja sama anak-anak. Jadi jangan berbangga hati.”

“Terserah.” Wonwoo mengangkat tinggi bahunya. “Yang penting, gue bangga sama lo. Apapun alasan dibalik ke-tidak-ikut-serta-an lo sama agenda kemarin.” Ia berbalik, hendak meninggalkan kamar mandi.

“Won..” Dan tubuhnya mendadak terhenti, berputar kembali, menemukan Mingyu. “Kantin, mau gak?”

“Ayo.” Wonwoo melangkah dan berlalu cepat, memimpin di depan di ikuti Mingyu yang ikut melangkah di belakang.

“Won..” Wonwoo lagi lagi berhenti secara mendadak dan memutar tubuhnya, sedang orang yang mengikuti dirinya hampir secara kencang menabrak.

“Apa lagi?”

“Hmm..” Mingyu mengelus tekuk. “Gue tuh.. Biasanya pulang sekolah makan nasi goreng kampung di Seribu Rasa..”

Alis Wonwoo mengkerut. “Terus? Hubungannya sama gue?”

“Sebenernya gak biasanya juga si, cuman kalau lagi kepengen gue pergi sama Yugyeom.”

“Poinnya?” Mingyu menunduk, enggan menatap lawan bicaranya.

“Gue paling anti nongkrong sendiri. Jadi.. ikut gue? Mau gak? Ntar pas pulang sekolah. Gue lagi pengen nasi goreng kampung-nya Seribu Rasa..”

Kedua alis Wonwoo terangkat, ia mengangguk pelan, kemudian menyahut. “Kalau dibayarin.” Langkahnya cepat meninggalkan Mingyu.

“Gampang! Ikut ya?”

Tidak menjawab, Wonwoo hanya mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi ke udara, tanda bahwa ia setuju.

-

Pada satu sudut restoran paling terkenal dengan menu khas Nusantara itu, dua orang mengambil tempat, dengan canggung berdiam diri.

Wonwoo kemudian meletakkan tas ranselnya ke atas meja, membuat orang di hadapannya memasang raut wajah bingung karena Wonwoo malah mengeluarkan beberapa buku catatan dan buku paketnya.

“Lo mau belajar?”

Setelah menurunkan tasnya kembali dan meletakkannya di kursi kosong sebelahnya, Wonwoo bersuara, “Latihan yang disuruh Bu Revin tadi tinggal satu nomor yang belum gue selesain, keburu bel istirahat kan tadi, terus di jadiin PR.”

Wonwoo bahkan tidak mendongak ketika pelayan mulai meletakan daftar menu di atas meja, hanya Mingyu yang sibuk menerima dan tersenyum sembari menggumamkan kata terimakasih.

“Yaudah kan judulnya Pekerjaan Rumah, bukan Pekerjaan Restoran.” Ucap Mingyu. Kalimatnya barusan otomatis mendistrak si lelaki dengan kacamata yang duduk di tulang hidungnya, ia diam cukup lama.

“Masuk akal.” Balas Wonwoo. “Tapi tanggung, satu lagi.”

Mingyu menyerah, ia hanya membuang nafasnya pelan sembari membuka menu dan mulai menulis pesanannya sendiri.

“Lo mau apa?”

“Samain aja.”

“Lah..”

“Iya, samain aja sama yang lo pesen.”

Lagi-lagi, helaan nafas menyambut pendengaran Wonwoo, Mingyu smenuruti keinginan satu orang di hadapannya yang bahkan sedari tadi hanya sibuk berkutat dengan buku dan angka disana, pelajaran Matematika.

“Pedes gak?” Dirinya melempar tanya, gelengan kemudian menjadi jawaban yang Mingyu terima.

“Ni serius ya sama, gue gak mau nerima koment—”

“Iya. Sama.”

Lenggang, Mingyu agak lama menatap Wonwoo yang sedikitpun sama sekali tidak berpaling dari bukunya, memanggil Waiter Staff dan menyerahkan apa-apa yang jadi pesanan mereka.

“Lo seneng banget belajar?”

Wonwoo mengangkat tinggi bahunya, “Bukannya emang kewajiban? Bukan berdasarkan seneng atau enggak?”

“Ya iya sih, cuman masa di segala kondisi lo menghalalkan berbagai cara cuman buat nyelesain satu nomor doang?”

Akhirnya, Wonwoo menarik pena dari putihnya kertas dan menutup catatannya. Menyelipkan di dalam buku paket tebal kemudian menegak satu gelas air putih yang sudah semenjak tadi disuguhkan.

“Kalau dirumah, biasanya gue udah males dan ujung-ujungnya tidur.”

“Oh..” Mingyu mengangguk kecil. “By the way.. Makasih ya udah mau temenin gue.”

Wonwoo hampir menyemburkan air yang tertampung di dalam mulutnya, sedikit tersedak dan terbatuk.

“Gampang ya lo ngucapin makasih ternyata.”

“Emang tampang kaya gue salah ya kalau gampang ngucapin makasih?”

“Y-ya enggak, cuman.. Agak aneh aja.” Anak laki-laki dengan kacamata itu membuang pandangannya jauh keluar jendela, enggan menatap lawan bicaranya.

“Kan basic manner? Maaf, Tolong, Makasih, iyakan?” Wonwoo tersenyum kecil sembari mengangguk. Benar, Basic Manner. Dan kalimat yang selalu Wonwoo suka, Manners maketh man.

Senggang mengudara cukup lama. Mingyu sibuk bersama ponselnya, dan Wonwoo yang sibuk mengamati interaksi orang-orang di luar jendela sana.

“Yugyeom sama temen-temen yang lain di drop out.” Pernyataan Mingyu sontak membuat Wonwoo membulatkan matanya serta mulut yang menganga tidak percaya.

“Sumpah lo?” Anggukan kecil di terima Wonwoo. “Terus gimana?”

“Ya terus gimana? Ya di keluarin.”

“Lagian sih. Biar apa coba pake acara tawuran-tawuran gitu? Dipikir keren? Enggak sama sekali.”

“Lo kan gak tau latar belakang permasalahannya, Won.”

“Ya emang setiap permasalahan harus diselesaikan dengan tawuran kaya gitu?”

“Ya terus? Harus pake apa? Lagian ya, yang selalu ngajakin ribut tuh anak sekolah yang sana. Anak-anak kita mah kalem.”

“Kalem tapi tetep aja di ladenin. Ckckck.”

Seribu Rasa, namanya. Sebuah restoran yang selalu jadi favorit Mingyu tidak hanya di akhir pekan. Untuk pertama kalinya, ada teman lain yang bersedia duduk dan jadi lawan bicara anak keras kepala dan berbagai perangai yang membangun dirinya.

Argumentasi, alis penuh kerut serta ekspresi dan raut wajah bingung. Setidaknya, semua hal yang tidak memiliki bumbu manis mampu menjadi larik awal sebuah benang panjang dengan banyak simpul serta kusut yang menjadi lampiran hidup keduanya.

Seribu Rasa, mungkin lagi Seribu makna, atau, Seribu cerita.

-

Itu adalah yang paling Wonwoo ingat. Bagaimana sosok ini yang sekarang sudah sepenuhnya duduk tepat di hadapannya dan saling melempar canda dengan temannya yang lain.

Waktu, benar-benar yang paling egois. Tidak mau ditunggu dan akhirnya berlalu.

“Won..” Sapanya.

“Hai. Apa kabar?”

Ia mengangkat bahunya tinggi. “Never been this good.”

Good for you.” Senyum yang tidak mampu tertanggal menghiasi wajah Wonwoo.

“Eh woi. Foto dulu dong fotooo.” Soonyoung mengeluarkan ponselnya dari kantong. “Sol, Sol. Ambil dari sono.”

“Ah elu, nyusahin mulu dari jaman sekolah.”

“Yaelah, sekali-kali inimah kapan lagi coba tetep ngumpul walaupun udah bangkotan.” Hansol memutar malas bola matanya, tetap menerima ponsel yang Soonyoung sodorkan.

Hansol kemudian mengangkat tinggi layar ponsel, memantulkan figure orang-orang yang hampir bertahun tidak lagi bercengkrama. Yang tidak lagi saling melangkah di lapangan upacara dengan celana abu-abu, yang tidak lagi saling melempar jawaban ketika ujian dari sana ke sini, yang tidak lagi cabut saat jam pelajaran menuju kantin, dan yang tidak lagi berlarian di koridor sekolah menghindari satu guru BK karena alasan razia dadakan.

Waktu, memang benar-benar tidak mau ditunggu.

Wonwoo memajukan tubuhnya, merapat kepada teman-teman yang lain agar dirinya terpantul di dalam kamera. Namun, secara tidak sengaja, ia harus mengelus pelan kepalanya serta sebuah ringisan, akibat serudukan kepala orang lain di depannya yang tidak mau kalah untuk muncul di dalam kamera, Mingyu.

Sorry, Won.”

-

“ANJING KIM MINGYU!” Soonyoung meringis memegangi bahunya, tidak terkecuali beberapa orang yang tertidur di lantai, lebih tepatnya akibat tertimpa tubuh besar seorang Mingyu.

“Lagian lo kenapa harus manjat kursi sih, pe’a.” Yang di salahkan mengelus dahinya, dirinya pun sedang meringis kesakitan.

“Gua gak keliatan, bangsat. Itu adalah satu-satunya cara supaya gue keliatan di foto.”

Tidak terkecuali Wonwoo, memegangi kepalanya. Ia yakin, kepala Mingyu membenturnya sebelum semua orang-orang ini tersungkur ke lantai dengan tubuh Mingyu yang bertahta di paling atas.

Pada hari ini, siswa dan siswi bersuka cita. Sekolah libur belajar, mereka hanya memainkan games dengan lawan antar kelas untuk merayakan hari ulang tahun sekolah.

Hari ini, sekolah lebih bebas dari biasanya.

Dan yang membuat acara ini lebih unik adalah, ulang tahunnya, bertepatan dengan hari valentine, 14 Februari.

“Nyong..” Selepas kejadian tadi, Mingyu menepuk bahu Soonyoung yang berdiri di daun pintu kelas. “Jihoon tuh..” Dagu Mingyu menunjuk satu lelaki disana yang sedang bercengkrama sambil terbahak entah menceritakan apa dengan temannya yang lain.

“Tau gue Jihoon, terus apa?”

“Lo gak nyiapin apa-apa?”

“Nyiapin apa?”

“Ini 14 Februari, anjir.” Soonyoung mengerutkan alisnya.

“Tau gua, terus apa?” Mingyu memijit pelipisnya pelan.

“Kasih apa kek, coklat kek.”

Soonyoung yang tadi berdiri menyamping tidak mau menatap Mingyu kini akhirnya berhadapan. “Lo sendiri?”

Mingyu mendengus sambil tertawa kecil. “Gua mau ngebet siapa pake acara beli coklat?”

“Auk deh siapa kali. Lo kan anaknya paling gak bisa di tebak.”

Di lain sisi, Wonwoo dengan satu novel di tangannya memperhatikan dua anak manusia yang sedang berbincang di muka pintu sana. Atau, beberapa temannya yang dengan suka cita menceritakan bagaimana sebuah kisah anak remaja yang mampu menggelitik perut.

Dan ia tidak peduli.

Berusaha tidak mau peduli.

Mungkin menyenangkan membayangkan bagaimana lucunya kalau ternyata diam-diam ada orang lain yang menyukainya. Tapi, Wonwoo sendiri paham bagaimana perangai yang tumbuh di dalam dirinya sendiri. Tidak ada yang mau dengan seseorang yang menghabiskan waktu berjam-jam menghitung dalam pelajaran matematika, atau seseorang yang menghabiskan waktu membaca novel remaja di sudut kelas.

Wonwoo terlalu cupu dan kisah kisah remaja penuh kupu-kupu itu tidak mungkin terjadi pada dirinya.

Maka, ia lanjutkan agenda agenda membosankannya dengan mengurangi harap.

Hidup manusia memang tidak henti-hentinya di penuhi dengan ragu, ke-tidak-mungkin-nan yang dielu agar harap tidak tumbuh dengan subur, serta acuh pada banyaknya tanda dunia.

Maka Wonwoo akhirnya terdiam, ketika menatap satu coklat di lokernya pada siang hari ketika jam sekolah sudah selesai. Mendelisik berusaha menemukan hadir entah siapapun, nihil.

Wonwoo meraihnya, dengan senyum kecil memasukannya ke dalam tas dan melangkah meninggalkan kelas, sembari menerka, siapa tokoh yang akan jadi pokok pikirannya selama satu minggu kedepan, atau mungkin, lebih.

-

Wonwoo punya les tambahan di penghujung minggu kala itu. Langit sama sekali tidak berwarna dan hanya di dominasi oleh abu, mendung. Dirinya buru-buru berlari menuju halte bus terdekat tatkala rintik kecil hujan mulai jatuh, dan benar saja, ketika langkahnya terhenti di tempat tujuan, hujan turun dengan derasnya.

Ia mengangkat tangan kirinya dan menedelisik jam tangan yang melingkar disana, “Kira-kira bus terakhir datangnya lama gak ya?”

“WONWOO!!” Wonwoo sontak menoleh, mendapati sosok tinggi Mingyu yang sedang mengangkat ranselnya di atas kepala, agar terhalang dari hujan.

“Lo ngapain disini, Mingyu?” Mingyu memukul tasnya beberapa kali, membersihkan rintik hujan yang tadi memupuk disana.

“Gue?“ Sembari duduk dan melipat kaki, ia sadarkan pundaknya. “Abis main.”

“Dari pulang sekolah tadi?” Anggukan dari sosoknya jadi jawaban yang Wonwoo terima. “Lo main apaan dari siang sampe sore gini baru selesai?”

Mingyu mendengus dengan sunggingan tawa di bibirnya, menatap Wonwoo yang terus berdiri semenjak tadi ia sampai di halte. “Ya main, namanya juga main, ya kali main cuma lima menit.” Jawaban agak ketus dari Mingyu hanya menghadiahkan putaran bola mata malas dan tatap yang enggan berjumpa, Wonwoo lebih memilih menatap air yang jatuh dari langit sana.

“Lo betah banget berdiri, duduk.”

“Ya biasa aja nyuruh duduknya.”

“Nyuruh biasa aja tuh yang kaya gimana?”

“Ya menurutlo aja nyuruh yang biasa aja kaya gimana.” Kini, tangan Wonwoo menengadah, membiarkan rintik air dari atap memukul telapak tangannya. Senggang banyak tercipta, Mingyu hanya mampu menikmati punggung orang yang sedang asik dengan agenda kekanakannya sampai sampai mulutnya tertutup dengan rapat.

“Jadi lo.. enak ya, Won?” Begitu kalimat itu meluncur keluar, Wonwoo sontak membalikan badan. Ia sama sekali tidak bersuara, tidak menjawab apa yang baru saja jadi hal yang dirinya dengar, Ia hanya menatap sosok yang kini lamat menunduk memperhatikan sepatu hitam miliknya.

“Pinter, punya banyak temen dan kayanya gak punya beban sama sekali.” Wonwoo menaikan alisnya tinggi, terbahak kecil dan mengambil tempat di kursi disebelah Mingyu, menyisakan satu yang kosong agar tercipta jarak di antara mereka.

“Lo tau apa soal gue sih, Mingyu? Sampe seenaknya ngomong gitu?” Wonwoo memainkan jemarinya. “Bukannya enakan lo, ya? Kayanya urusan temen banyakan lo deh, terus lo juga gak perlu pusing-pusing buat mikirin masa depan? Maksud gue, kasarnya nih ya, orang tua lo pasti mampu buat biayain lo kuliah di kampus swasta kalau semisal udah gak ada jalan.” Jelasnya, tertunduk.

“Gue? Kalau jadi gue enak, mungkin selama ini gue gak harus mati-matian belajar supaya bisa kuliah di kampus negeri dan cari beasiswa.” Sambung Wonwoo.

Wonwoo salah, begitu hati kecilnya bersuara. Ia salah harus menukar kisah hidupnya dengan orang asing di sebelahnya ini. Wonwoo salah, ia tidak seharusnya mempercayakan ceritanya kepada Mingyu.

Sorry.” Wonwoo bangkit, membelakangi Mingyu dengan mengambil posisi seperti bermenit yang lalu. Ia genggam erat tas ranselnya, sambil memandangi hujan yang tidak kunjung reda. “Harusnya lo gak perlu dengar cerita gue.” Cicitnya.

“Gue suka ngeliat lo.”

Apa?

“Maksud gue.. lo punya positivity yang cara lo nyampeinnya itu beda dari yang lain, dan gue suka itu.”

Masih menoleh pada sosok yang saat ini menatap dalam pupilnya, Wonwoo tidak menujukan raut wajah apapun.

“Makasih, Wonwoo.”

Kini, alis Wonwoo perlahan mengkerut. “Lo aneh.”

“Kenapa aneh?”

“Ya aneh,” Wonwoo kembali pada agenda yang sama, enggan menatap Mingyu yang duduk di belakangnya dan lebih memilih menatap air yang terjun satu per satu. “Mungkin.. Aneh aja, sekarang udah jarang ngeliat lo masuk BK.”

Mingyu terbahak hebat.

“Ditambah ngomong ngelantur kaya tadi.”

“Gue gak ngelantur anjir, Won. Gue serius.” Tangan Wonwoo kembali menengadah, menyambut air yang turun dari atap, membiarkan alirannya membasahi telapak tangannya. Dan satu tangan lain yang tiba-tiba muncul disebelahnya.

Mingyu mendongak, menyaksikan bagaimana derasnya air yang turun dari atap halte dan yang dari langit sana. Jakunnya bergerak naik dan turun, serta cahaya matanya yang berbeda dari bermenit yang lalu.

“Rumah temen lo, disekitar sini?” Tidak menoleh ke arah Wonwoo, Mingyu mengangguk.

“Lo sendiri? Disini ngapain?”

“Les, tadi.”

Wonwoo mengangguk, ia tidak memalingkan wajah, masih sibuk menatap sosok yang lebih tinggi beberapa centi dari dirinya.

“Won..”

“Hm?”

“Lo.. Pernah pacaran, gak?” Degup jantung Wonwoo mendadak tidak karuan, apalagi ketika Mingyu menoleh dengan raut wajah serius. Yang Wonwoo mampu lakukan hanya mengedipkan matanya beberapa kali, mencerna pertanyaan yang baru saja terlempar.

“Eng-engak. Belum pernah.” Jawabnya patah-patah.

“Kenapa?”

“Kenapa nanya ‘Kenapa?’ “

“Memangnya gue gak boleh nanya?”

Wonwoo diam.

“Ya gak papa sih, Won. Kalau lo emang gak mau jawab. Chill.” Mingyu terbahak.

“Kalo lo tanya kenapa, gue secara personally bakal bilang kalau gue tuh anaknya se-membosankan itu. Lo liat aja, kerjaan gue belajar melulu, baca komik atau engga novel remaja. Hahaha.” Wonwoo kemudian menarik nafasnya pelan. “Lagian, gue tau kok kalo gue bukan tokoh utama di hidup gue, jadi penulis skenario cuman fokusin pemeran utamanya. Gue? yaudah, setidaknya ada di plot udah bikin gue seneng.”

“Kenapa lo mikir kalau lo bukan pemeran utamanya? Kan ini hidup lo? Ya pasti lo lah pemeran utamanya. Dan balik lagi sama kaya yang gue bilang. Lo punya positivity yang cara nyampeinnya tuh beda dari orang kebanyakan. So, menurut gue lo gak semembosankan itu.”

“Itu opini lo, Mingyu. Manabisa prespektiflo sama dengan orang kebanyakan?”

Mingyu diam sebentar dan mengangguk pelan. “Iyasih, masuk akal.”

“Lo sendiri? Punya pacar?”

“Buat sekarang gak ada sih.”

“Kenapa?”

“Soalnya gue ngerasa lagi having fun aja sama hidup, jadi gak butuh pacar.”

“Lo having fun ketika sama sekali gak ketauan merokok di kamar mandi dan gak jadi langganan BK?” Keduanya terbahak.

“Lo bangga gak, ketika alasan gue having fun udah bukan lagi hal hal kaya gitu?” Tawa Wonwoo sedikit meredam. Ia tekuk senyumnya, masih menemukan tatap seorang Mingyu.

“Bangga, Mingyu. Karna akhirnya temen gue bangkit dan gak melulu nemuin kesenengan dari negativity.” Mingyu menyunggingkan senyum lebar, menatap dalam manik mata lawan bicaranya.

“Ini kemauan gue, lo gausah ge-er.” Wonwoo meringis sekaligus terkejut bukan main, ketika Mingyu secara terang-terangan mencubit hidungnya. Bahkan kacamatanya menjadi miring akibat guncangan kecil di wajahnya tadi.

“Siapa yang ge-er?!” Balas Wonwoo sedikit berteriak. “Jangan sentuh-sentuh muka gue!”

“Dih.. ngambek.”

“Mending lo pulang.”

“Gimana mau pulang? Hujan.”

Enam belas umur mereka. Masih belum punya waktu menerka apa yang ada ketika beranjak dewasa. Hujan, halte bus dan senyum rekah satu anak manusia dan gigi taringnya, sedang yang satunya masih menggerutu sebal.

Wonwoo kini sudah jarang mendengar sahutan di speaker yang biasa memanggil nama Mingyu, atau komplotannya yang lain. Setiap hari, biasanya Mingyu hanya akan bergelut argumentasi dengan guru yang mengajar mata pelajaran, dan berakhir berdiri di depan kelas.

Tidak jarang, dirinya mengambil tempat duduk di bangku kosong sebelah Wonwoo, sampai sampai membuat teman sebangku Wonwoo sendiri jadi kesal. Maka, Mingyu akan mengeluarkan sebuah alasan “Gue mau belajar sama Wonwoo, lo kan udah pinter. Duduk aja di sana.

Namun, terkadang nalar dan akal pikiran manusia tidak berjalan sesempit itu.

“PDKT-an lo?” Mingyu mengerutkan alis mendengar pertanyaan Soonyoung untuknya.

“Sama siapa anjir?”

“Halah.” Soonyoung mengibaskan tangannya di depan wajah. “Lengket banget belakangan gue liat-liat.”

“Wonwoo?”

“Tuh, lo aja sadar sendiri.”

Mingyu tertawa kecil. “Enggak, gue enggak lagi PDKT-an.”

“Terus itu apa namanya? Duduk berdua, kikik-kikikan, lo ajakin makan juga ke Seribu Rasa.”

“Ya emang hal-hal kaya gitu selalu berhubungan sama PDKT-an? Enggak, kan?”

“Lo yakin?” Alis Mingyu berkerut.

“Yakin apa?”

“Ya, yakin gak PDKT-in?” Mingyu yang duduk di bangkunya sendiri, perlahan menoleh jauh kebelakang sudut kelas. Menatap satu anak lelaki yang sedang membenarkan letak kacamatanya dan fokus pada buku di tangannya. Mingyu tidak yakin, entah itu buku cerita, atau buku dengan berpuluh-puluh angka yang menghiasi di dalamnya.

“Gue nyaman temenan sama dia, Nyong. Gue gak bisa mastiin kalau memang gue sama dia bisa lebih.”

-

Dan Soonyoung adalah yang selalu paling paham.

Seperti ketika manik matanya menatap dua orang yang duduk canggung saling hadap setelah lama tidak bertemu, Soonyoung paham segala gerak dan gerik yang tercipta.

Entah satu diantara kedua, atau memang keduanya, memupuk rindu.

Segala bentuk kenangan dan kejadian kejadian di masa SMA adalah yang paling sulit terlupa. Sebuah awal dan akhir dari bentuk masa remaja. Mereka-mereka adalah yang paling ceroboh dalam mengambil keputusan, namun jalan masih panjang, ada banyak keputusan serta kesempatan lain di depan sana. Maka, mereka bersorak atas masa-masa indah tanpa beban.

Mata Wonwoo mengembara, dirinya memang sudah lama dan enggan memijakkan kaki di restoran nusantara penuh rasa ini. Satu dari sekian banyaknya alasan, Mingyu menjadi yang paling dominan.

Kini tatapnya bertemu sosok Mingyu yang sibuk tertawa dan terkikik. Gigi taringnya serta coklat kulitnya yang semenjak sekolah dulu adalah yang Wonwoo kagumi. Ia hampir tidak percaya, mampu menyaksikan hal ini kembali setelah rentang waktu yang cukup lama.

Kenangannya mulai menapak tilas, pada masa masa dimana semuanya nampak baik-baik saja. Hari-harinya hanya di penuhi oleh Mingyu, Mingyu dan Mingyu. Tanpa ada sendu dan lara, dirinya adalah yang paling bahagia.

Entah itu soal duduk di Seribu Rasa ketika masih berumur 17 tahun, atau soal kenangan yang tidak akan pernah Wonwoo lupa. Ciuman pertamanya, di bawah tangga sekolah.

-

“Gue bosen nasi goreng kampung melulu.” Wonwoo secara sebal membolak-balikan menu di hadapannya, memilih dan membaca perihal menu apa lagi yang bisa ia pesan selain kesukaan Mingyu yang satu itu.

“Gaada yang nyuruh lo makan nasi goreng kampung terus juga ya, Wonwoo.” Mingyu mengistirahatkan kepalanya di atas meja. “Cepetan dong, gue laperrr.”

“Sabar.” Setelah beberapa menit sibuk urusan makan, kini keduanya mulai bertukar cerita. Soal kejadian-kejadian yang terjadi di kelas, lingkungan sekolahnya, atau cakupan obrolan yang kini tidak lagi seputar pelajaran, melainkan diri sendiri, atau keluarga.

“Ya kalau gue tau dari dulu lo butuh kasih sayang keluarga, gue gak mungkin koar-koar seakan gue ini anak paling teladan seantero sekolah dan merasa yang paling bener.” Mingyu terbahak, menutup mulutnya.

“Ya kan lo gak tau sih, Won. Santai aja mah kalau sama gua.”

“Tapi.. emang bokap sama nyokap lo sesibuk itu, kah?” Disela suapan, Mingyu mengangguk.

“Kadang kalau bokap gue dinas keluar kota atau keluar negeri, nyokap gue ngurus bisnisnya juga. Kalau yang di sekitar kota, kadang pulangnya malem. Kalau keluar kota, ya gue sendirian.”

“Bener-bener sendirian? Selama berhari-hari?”

“Iya. Jadi ya gitu, gue akhirnya kenal sama Yugyeom dan temen-temen dia yang lain. Gue gak pernah merasa sebahagia dan sebebas itu dulu, jadi suka gantian.”

“Gantian apa?”

“Gantian, gue yang main gak inget pulang.” Mingyu tertawa, kemudian menegak minumnya.

Well, at least sekarang lo udah lebih baik.” Wonwoo mengangkat tinggi bahunya.

Senyap tiba-tiba tercipta, sontak membuat Wonwoo mendongak menatap lawan bicaranya yang malah menatap dirinya lama.

“Apa?” Tanya Wonwoo, memegangi wajahnya sendiri. “Ada sesuatu ya di muka gue?”

Mingyu menggeleng.

Soonyoung benar dan Soonyoung adalah yang paling paham perihal gerak gerik dirinya. Di dalam sana, Mingyu bilang bahwa ada beberapa hal yang memang pantasnya duduk pada porsi secukupnya. Begitu ia menganggap Wonwoo secukupnya menjadi teman yang bisa ia andalkan dimanapun ia berada.

Namun, semakin kesini, ada rasa yang lamat ingin dituruti kemauannya.

Mingyu mau lebih, dan rasanya ia ingin berteriak agar didengarkan.

Lo kalo pacaran sama gue mau gak?”

Detik berikutnya, Wonwoo hampir menyemburkan seluruh makanan yang ada di dalam mulutnya. Buru-buru ia menegak minum.

“Ha?”

“Iya, mau gak pacaran sama gue?”

“Ngaco lo.” Mingyu terbahak, kemudian tawanya jadi reda. Ia pikir degup jantungnya mampu ia distrak dengan tertawa dan membuang canggung, namun, seluruh tubuhnya tidak bisa dibohongi.

“Lo..” Sendok dan garpu yang sejak tadi ia pegang, ia letakan dengan pelan. “Pernah kepikiran gak, kalau gue bisa aja suka sama lo?”

“Hah?”

“Karna gue selalu kepikiran.” Kini tatap keduanya jatuh secara bersamaan. Wonwoo, mendadak kelu. “Kepikiran kalau mungkin aja lo juga suka sama gue.”

1 menit, 2 menit, Wonwoo berusaha memahami makna perihal kalimat yang baru saja Mingyu lempar.

“Gue lebih ke yang selalu kepikiran lo, sih.” Sambung Mingyu lagi.

Wonwoo masih dalam kelu, berfikir, apa yang sedang Mingyu lakukan ini adalah bagian dari candaannya atau memang benar adanya.

“Gue serius.” Katanya lagi. “Pacaran sama gue, mau?”

Selera makan Wonwoo mendadak hilang, ia menunduk, banyak yang menghantui pikirannya. Wonwoo tidak akan mampu berbohong, kalau ditanya soal apa makna sesosok Mingyu di hari-harinya. Semuanya, akan selalu jadi lebih perihal Mingyu.

“Kalau memang lo serius..” Tunduknya kini berganti tatap. “Kasih gue waktu barang sebentar.”

Mingyu mengerti, berusaha untuk mengerti. “Okay, kapanpun. Take your time, Wonwoo.”

-

Pagi hari, tidak Wonwoo temukan manik mata Mingyu menatapnya. Batinnya mulai menerka, apa benar kalimat kemarin adalah suatu hal yang serius untuk dapat dimasukan ke hati? Padahal, ada banyak jawab yang telah ia siapkan.

Kini ia hanya mampu pasrah, kalau Mingyu masih mau mempertanyakan soal jawabannya, maka akan ia beri. Namun, kalau skenarionya berbalik arah, akan ia pendam sendiri.

“Woi, ada razia.” Hansol masuk dengan nafas yang tersenggal, membuat berpasang mata menatap dirinya di ambang pintu sana.

Jantung Wonwoo berdegup tidak karuan. Pasalnya, akibat hujan kemarin sore setelah pulang dari Seribu Rasa dengan Mingyu, sepatunya basah total. Hari ini, ia pakai satu sepatu dengan garis putih, dan itu menyalahi aturan sekolah.

“Dimana?” Sahut Wonwoo bertanya pada Hansol yang mulai berjalan memasuki kelas.

“Lagi di kelas ujung.” Balasnya. “Yang bajunya gak ada simbol OSIS disuruh buka terus di jemur di lapangan anjir, Hahahaha. Kocaaakkk.” Kekeh Hansol. Maka, setidaknya ada 4 kelas lagi yang akan di lewati pihak BK sebelum sampai di kelasnya.

Mampus. Begitu batin Wonwoo terus bersuara. Mungkin mereka para guru BK tidak akan menyadari kan soal sepatunya pagi ini? Atau kalaupun mereka sadar, Wonwoo tidak perlu di bawa ke ruang BK dan mendapat surat peringatan, kan? Wonwoo itu siswa teladan. Mungkin saja ia dapat keringanan karena baru sekali menyalahi aturan sekolah, bisa saja begitu, kan?

“Lah, Won? Kok sepatu lo ada putihnya?” Sial, ada yang sadar ternyata.

“Kemarin, kehujanan jadi sepatu gue basah.” Dan untuk pertama kali sejak hari ini, mata Mingyu jatuh pada Wonwoo dengan seribu kegelisahannya.

Wonwoo mulai menggigit ujung jemarinya, menggoyangkan kaki berkali-kali. Gelisah, takut.

Bermenit kemudian, pergelangan tangannya mendadak digenggam. Ketika ia mendongak, ia temukan Mingyu disana dan mulai menariknya keluar.

“MAU KEMANA?!” Teriak Wonwoo di sela langkah demi langkah yang berlari.

“Udah ikut aja.”

Ada satu gedung di belakang sekolah yang hanya di gunakan untuk ruang aula dan jarang di datangi oleh para siswa serta guru-guru. Di bangunan bertingkat tersebut, tepat di bawah tangganya, ada satu tempat yang bahkan Wonwoo sendiri tidak tau bahwa ruangan sempit itu ada.

“Sembunyi.” Cicit Mingyu.

“Gue baru tau ada tempat ini?” Pandangan Wonwoo mengembara, ada beberapa puntung rokok di lantainya.

“Tempat gue sama anak-anak biasanya cabut.” Mingyu duduk di atas meja yang memang sudah ada dan diletakkan disana. “Semenjak mereka di drop out mana pernah lagi gue main disini.”

“Tapi ini memang, gak bakal ada yang kepikiran kalau ada tempat kaya gini di bawah tangga. Mana gedungnya jarang di pake.”

“Itu dia.” Mingyu tersenyum kecil. “Udah, lo disini aja dulu sampai BK selesai ngadain razia.” Mingyu bangkit dari duduknya.

“Terus lo?”

“Ya gue balik.”

“Lo.. balik?” Dirinya mengangguk dengan mantap, meninggalkan Wonwoo kembali dengan berjuta kegelisahannya.

“Lo mau gue temenin?”

“Boleh?”

Mingyu terkekeh, kemudian kembali duduk di atas meja. “Kenapa enggak?”

Wonwoo kemudian menarik satu bangku dan duduk disana. Ia memainkan buku-buku jarinya, menerawang kesana kemari, takut-takut untuk menatap orang yang posisinya agak jauh disebelah kanan Wonwoo sendiri.

Canggung, senyap. Tidak ada yang mampu saling menukar kata.

“Ehm..” Mingyu berdeham, sontak membuat Wonwoo menoleh. “Udah?”

“Udah apanya? Razia-nya?” Wonwoo bangkit, mendelisik dari lubang pintu, berusaha untuk keluar.

“Bukan.. Wonwoo.”

“Terus?”

“Udah? Waktunya?”

Wonwoo kelu, tau arah dan maksud pembicaraan. Jantungnya di dalam sana terpompa lebih kencang, tubuhnya jadi panas dingin dan tangannya yang sedikit bergetar.

“Mumpung kita lagi berdua.” Sambung Mingyu.

Wonwoo tarik nafasnya pelan, ia buang. “Lo gak nemuin semacam hal yang membosankan dari diri gue?”

Alis Mingyu menyatu, menggeleng. “Kalau bosen gak mungkin gue temenan terus sama lo, kan?”

“I-iya sih, cuman—“

“Gue gak mempertanyakan soal kepribadian lo, Wonwoo. Yang gue pertanyakan soal perasaan lo sama gue. Karna disini, perasaan gue udah jelas.” Wonwoo bungkam.

“Lo bisa ambil waktu kapanpun lo mau, gak sekarang juga gak papa. Tapi gue maunya, kalaupun lo ambil waktu yang panjang, at least ada kejelasan buat gue.” Sambung Mingyu. Ia kini bangkit, melangkah pelan dan membuat Wonwoo mundur kebelakang.

Mingyu jatuhkan kedua telapak tangannya di atas bahu Wonwoo, “Okay?” Senyum kecilnya merekah. “Take your time.”

Mingyu beralih, kini memutar tubuh kembali duduk di atas meja yang ia duduki beberapa menit yang lalu. Namun Wonwoo, setia di atas kakinya sendiri.

“Mingyu..”

Si empunya nama mendongak, “hm?”

“Gue gak mau kasih lo waktu yang panjang, kalau lo tanya soal perasaan gue, sepenuhnya belum bisa gue bilang bahwa gue memang suka. Mostly, gue takut aja sih sebenernya, karna hal ini bukan suatu hal yang biasa gue rasain.” Sahutnya dengan nada suara sedikit bergetar.

“Tapi gue mau coba. Gue mau coba buat jatuh cinta, sama lo. Gue mau coba supaya lo gak perlu mempertanyakan perasaan gue lagi di kemudian hari, intinya, gue mau.”

“Gue mau menyambut hari dengan agenda-agenda yang bakal lo buat, Mingyu.” Mingyu tertawa kecil.

“Gue kaya ditantang.” Katanya.

“Well, lebih dan kurang, kurang dan lebih.”

Wonwoo pada detik itu memberanikan diri. Tetap pada pijakannya ketika langkah kaki Mingyu kembali mendekat. Jangan tanya perihal bagaimana pompa jantungnya. Rasanya, bongkahan daging itu ingin ia muntahkan detik itu juga.

Gue bakal bikin lo se-jatuh itu sama gue, Wonwoo.” Dan secepat kilat, ada yang jatuh di ranum tipis merah jambu bibir Wonwoo, membuatnya terkejut dengan sempurna.

Keduanya tidak bersuara, lebih memilih bercengkrama lewat tatap mata. Lama, sampai rasanya Wonwoo maupun Mingyu bisa-bisa meledak di tempat saat itu juga.

Dan begitu, bagaimana masa putih abu-abu mereka tidak hanya sekedar semu tanpa kejelasan. Mereka, berwarna. Yang paling terang, yang paling hebat teriakannya.

“Yuk, pacaran.” Mingyu meraih jemari Wonwoo di bawah sana.

“Ih!”

“Loh? Kenapa?”

“Gak mau, malu.”

“Kamu malu pacaran sama aku?” Wonwoo terdiam sambil berkedip beberapa kali.

“Ih, bahasa apa sih itu, Mingyu?” Mingyu menarik puncak hidung Wonwoo, membuat si empunya meringis kecil.

“Bahasa sayang.”

-

“Bahasa sayangnya orang kan beda-beda.” Mingyu menegak minum di hadapannya, sedang audiens yang lain secara fokus mendengarkan.

“Halah bacot lo, Gyu.” Soonyoung mengibaskan tangannya di depan wajah. “Bahasa sayang, bahasa sayang.. Preetttt.”

“Lo ngomong gitu karna gak punya satu bahasa sayang yang spesial, mangkanya di tinggal lo sama Jihoon.” Mendengar satu nama yang disinggung, sontak membuat Soonyoung melempar tisu yang sudah ia remas ke arah Mingyu.

“Gua udah lama putus, gausah di ungkit-ungkit.”

“Tapi bener tau apa kata Mingyu,” Eun Woo, satu teman sekelas mereka yang juga mereka kenal dengan baik. “Entah itu sekedar panggilan, atau kalimat yang emang bentuknya kaya bahasa, atau act of anything bikin hubungan jadi lebih worth buat di jalanin, iya gak sih? Istilahnya, cuma lo sama pasangan lo yang ngerti bahasa itu. Jadi ya, lo gak bakal bisa nemuin hal semacam itu dan bisa aja bikin lo jadi yang paling beda.”

Mingyu menepuk bahu Eun Woo beberapa kali, “Emang cuma lo yang paham gue.”

“Soalnya dulu gue sama mantan gue gitu, ada aja bahasa atau panggilan-panggilan yang cuma gue sama dia yang paham. Coii, jatohnya gue yang gagal move on.” Semua bersorak mengejek Eun Woo yang sedang memijit pelipisnya pelan.

“Udah 25 woi, udah tua bangka lo! Bukan anak remaja lagi pake acara gagal Move on!”

“Bacot lo, Nyong. Lo juga gagal move on!” Eun Woo memutar bola matanya malas. “Lo sendiri? ngerti bahasa sayang, emang bahasa sayang lo sendiri apa?” Sahut Eun Woo kembali menuju Mingyu.

Kemudian, yang Eun Woo terima adalah senggolan kecil di sikutnya.

Dan Wonwoo yang semenjak tadi diam, paham arah pokok pembicaraannya.

“Santai.” Balas Wonwoo. “Emang bahasa sayang lo apa, Mingyu?”

Dapat Wonwoo dengar dengan jelas, sahutan orang-orang yang terarah kepada Eun Woo, “Lo sih, ngerusak tongkrongan. Dibilang juga jangan diungkit.” Dirinya hanya dapat tersenyum kecil.

Wonwoo lupa, sudah berapa lama ia mampu menatap manik mata manusia di hadapannya ini dengan intensitas waktu yang cukup lama. Karna pada detik ini, Mingyu kelu. Pun, dengan Wonwoo. Suasana mendadak canggung, sunyi senyap mengudara, dan orang-orang lain hanya mampu terdiam tidak mampu mecairkan suasana.

“Udah, lupain aja soal bahasa sayang, yang penting—”

Cing.”

Lagi. Semua terdiam.

“Kalau nanya soal bahasa sayang. Dulu ada yang sering gue panggil, ‘Cing.’ Atau, ada lagi bahasa sayang gue dengan cara narik hidungnya terus-terusan.”

-

“Mirip kamu.” Alis Wonwoo berkerut menyatu.

“Enak aja. Masa aku di sama-samain sama kucing.” Wonwoo mendorong ponsel yang tadi sempat Mingyu tunjukan ke depan wajahnya, video seekor anak kucing.

“Ih, iya!” Kini Mingyu angkat ponselnya, ia letakan di sebelah wajah Wonwoo, kemudian secara bergantian menatap layar dan wajah Wonwoo bergantian. “Tuh-tuh, mirip.”

“Ih apasih. Enggak mirip dibilang.” Mingyu kemudian menarik hidung Wonwoo dan membuat kacamatanya menjadi miring. “Gemes banget.”

“Kan, Mingyu!” Sambil memegangi puncak hidungnya, Wonwoo meringis dengan sebal. Mingyu sendiri kini mengistirahatkan tubuhnya di atas meja sambil tertawa. Pada jam istirahat, ia memilih libur jajan di kantin, demi duduk di sebelah pujaan hatinya.

“Bercanda, Cing.”

“Kamu aku tonjok, ya?”

“Serem banget?!” Mingyu membulatkan matanya. “Tapi kamu emang beneran mirip kucing, gimana dong?”

“Tau deh, terserah.”

“Dih ngambek.” Mingyu jatuhkan telunjuknya di puncak hidung Wonwoo. “Jangan ngambek dong, sayangnya Igyu.”

“DEMI TUHAN TOLONG KALIAN JELASKAN INI APA?!” Kedua manik mata Mingyu maupun Wonwoo terpaku pada gerombolan teman sekelasnya yang terpatung di ambang pintu, dan Soonyoung yang berjalan mendekat. Bahkan, Hansol tidak mampu menutup mulutnya sendiri yang menganga lebar menyaksikan hal yang baru saja terjadi.

“Gue gak salah denger?” Ucap Soonyoung, semakin mendekat. “Say-sayang-sayangnya Igyu?” Sahutnya lagi.

“Huekkk.” Pandangan mereka beralih pada Hansol. “Pacaran mah pacaran. Sayangnya Igyu? ANJENG! Gue jijik dan berharap bisa puter waktu.”

“Iri banget lo, Sol. Sana cari pacar.”

Potongan roti mendarat di puncak kepala Mingyu. “Mending gue jomblo seumur hidup daripada harus menjalankan agenda pacaran kaya yang lo lakuin barusan. Sumpah, SAYANGNYA IGYU? DIH ANJING MENDING LO TAWURAN AJA SANA! Gaya doang yang sangar, Sayangnya Igyu? Ckckck.”

“Kalian.. beneran pacaran?” Eun Woo melangkah mendekat, dengan jari telunjuk yang menunjuk Mingyu serta Wonwoo bergantian.

Yang di tunjuk saling tatap, kemudian mengangguk pelan malu-malu.

“Udah berapa lama?”

“Hm.. baru seminggu.” Mendengar pernyataan Wonwoo, Soonyoung buru-buru melangkah cepat dan mengalungkan tangannya di leher Mingyu, menarik tubuhnya hingga tersungkur bersama di lantai.

“Seminggu anjing, Gyu. Gua kira udah 2 bulan lo berani nyeloteh ‘sayangnya Igyu’”

“Duh! Nyong gua kaga bisa napas!”

“Bodo amat! Mati aje lo.”

“Gua baru pacaran seminggu ANJENGGG!”

“BODO GUA MAH!”

Apa agenda pacaran yang biasa remaja SMA lakukan? Duduk di kantin berdua, pulang sekolah berdua, duduk di bangku yang sama berdua, pada kasus kalau keduanya ada di kelas yang sama. Kalau semisal berbeda, maka biasanya, akan ada orang yang menyisihkan jam istirahatnya hanya untuk mengobrol singkat mengejar waktu.

Setiap minggu dengan jerih payah menyisihkan uang jajan, ada yang duduk di bangku bioskop, menonton film komedi romantis keluaran terbaru.

Ada jemari yang saling bertaut, ada bahu yang selalu di rangkul, ada kejadian-kejadian kecil pembangun rindu, serta celotehan atau obrolan kecil di penghujung waktu. Maka biasanya, ada yang harus berpisah sambil menekuk senyum, “Sampai ketemu besok disekolah, Wonwoo.”

Dan Ketika matanya kembali terbuka setelah perjalanan mimpi yang panjang, yang pertama kali jadi alasan senyum adalah yang tercinta.

Menerka, hari ini, hal apa lagi yang akan di lalui bersama si-dia? Tentang-tentang apa lagi yang akan jadi pokok tukar pikiran? Sesederhana itu, namun mampu membuat keduanya mabuk, tenggelam.

Banyak afeksi yang tercurah, dan banyak rasa yang tumbuh.

Mingyu, tidak pernah menyesali keputusannya soal menjadikan Wonwoo yang lebih, bukan yang cukup.

Perjalanan waktu yang panjang, obrolan tidak berujung di sudut restoran Seribu Rasa dengan dua orang manusia bersama jutaan rasa yang tercipta. Kikikan tanpa henti, agenda belajar bersama, serta segala afeksi yang tumbuh tidak kenal ampun.

Wonwoo, jadi yang paling jatuh.

Saat ini, ketika manik matanya terpaku pada orang dengan surai kelam di hadapannya, yang ia mau hanya jebakan waktu. Perihal ia yang tidak mau jemari mereka harus berpisah di ujung hari demi menyambut hari lain, perihal bahasa sayang yang tidak terduga yang kerap kali Wonwoo terima, panggilan-panggilan aneh, lucu, manis dan segala bentuk cara-cara lain yang Mingyu lakukan, semuanya, adalah kesukaan Wonwoo.

Tujuh belas menjelang akhir, tahun terakhir masa putih abu-abu.

Wonwoo takut takut melihat layar ponselnya, semenjak pagi tadi, ia hanya menggigit ujung jemarinya. Dirinya menerka, soal pengumuman jalur masuk Universitas melalui penilaian rapor, pantaskah ia menerima tulisan ‘Selamat’ disana atas jurusan yang selalu menjadi impiannya, Desain Komunikasi Visual.

Dan satu orang di hadapannya.

“Tenang, Cing.” Katanya. “Apapun hasilnya, pasti yang terbaik, selalu ada jalan, Kan?”

Mungkin sedikitnya apa yang Mingyu katakan mampu membuatnya tenang. Tetapi, di kepalanya sudah tergambar apa-apa yang akan ia katakan kepada orang tuanya di rumah, atau, perguruan tinggi mana yang kemudian akan pantas menerimanya.

“Kita buka, ya?” Dengan lembut Mingyu berusaha mendelisik manik mata Wonwoo yang semenjak tadi tersembunyi.

“Takut.”

“Tarik nafas dulu, pelan-pelan.”

Jari mereka kemudian menggantung di atas layar. Dari manik mata Mingyu, dapat ia lihat betapa gemetarnya satu jemari dan jemari lain yang mengikuti. Ia bekap seluruh tangan Wonwoo dengan tangannya, membuat Wonwoo menatap Mingyu dengan raut kebingungan.

“Kalau kamu masih belum mau buka dan belum siap, gak papa. Nanti aja.” Dan Wonwoo, rasanya ingin menangis detik itu juga.

Banyak omongan yang sering Wonwoo tangkap, semisal soal, “Wonwoo itu kan pinter, juara terus, gak mungkin lah gak lulus SNMPTN.”

Tapi mereka sering lupa, kalau jalan rezeki tidak mengenal perihal yang pintar dan yang biasa saja.

“Ayo, Gyu.” Begitu cicitnya. Ia Tarik nafasnya Panjang, dan ia buang perlahan sambil memberikan sugesti terhadap dirinya sendiri, “Wonwoo, apapun hasilnya, diterima atau engga, pasti selalu ada jalan lain.”

Ketika halaman web milik Mingyu dan Wonwoo berputar menunggu halaman lain yang diharap, jantung Wonwoo jatuh ke dasar perut, dan bagaimana manik mata Mingyu menangkap pupil Wonwoo. Ada nafas lain yang berhembus dengan beribu makna dibaliknya.

-

Mingyu berhenti di beranda rumah Wonwoo sore hari setelah pulang sekolah. Jauh di ujung sana, langit berwarna jingga keemasan sedang bertahta. Mingyu jatuh cinta, entah kepada langit di ujung sana, atau orang di sampingnya. Dari sudut ekor matanya, tatap Wonwoo ke langit tidak sepenuhnya sedang menikmati.

“Aku bakal temenin kamu terus, Wonwoo.” Dengan senyum kecil yang masam serta manik mata yang bergetar, Wonwoo mengangguk kecil.

“Gyu..” Panggilnya.

“Hm?”

“Kayanya tadi aku belum kasih selamat ke kamu in a properly way.” Wonwoo menarik satu jemari Mingyu dan ia elus pelan. “Selamat.”

Harusnya Mingyu juga bahagia hari itu, perihal ia yang secara tidak di sangka-sangka lulus di salah satu Universitas negeri untuk jurusan Manajemen Bisnis yang sebenarnya bukan sesuatu yang di impi-impikannya sejak dulu.

“Cing..”

“Hm?”

“Makasih.”

“Sama-sama.” Mingyu istirahatkan kepalanya di Pundak Wonwoo. Masih sama-sama menonton bagaimana langit perlahan menjadi gelap.

“Aku bakal temenin kamu terus, kamu punya aku, jadi kamu gak perlu khawatir soal apa-apa yang ada di masa depan sana. Ada aku.”

Ada Mingyu.

Kali ini, hal yang jadi alasan dibalik tangis Wonwoo bukan lagi perihal halaman merah yang sempat ia saksikan di sekolah tadi. Namun, sesuatu yang ada di diri seorang Mingyu. Kali ini, Mingyu jadi alasan tangisnya. Mingyu dengan segala afeksi dan bahasa sayangnya, Mingyu dengan senyum kecil pereda laranya, dan Mingyu, tumpahan afeksi sederhananya. Mingyu yang ada di sisinya, dan rasa syukur Wonwoo atas itu semua.

Ada Mingyu.

-

“Tapi yang paling keren disini lo lah, Won.” Soonyoung menyenggol lengan Wonwoo dengan sikutnya, sembari menegak air mineral.

“Lah kok gue?” Wonwoo melempar tatap tidak biasa ke arah wajah Soonyoung.

“Yaiyalah, gak keterima SNMPTN, eh tau-tau keterima di sekolah desain digital di Singapura, beasiswa lagi. Gokil!” Seluruhnya tertawa. Wonwoo tersenyum kecil, menunduk memainkan jemarinya. Sekiranya, ia punya satu orang yang bisa dengan bangga atas pencapaiannya.

“Bagi tips and trick kali, Won.”

Kali ini Wonwoo tertawa agak kuat, namun malah Soonyoung yang menyahut, “Pinter dulu, Sol. Baru tips and trick.”

“Bacot lo!”

Wonwoo kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. “Kalau lo semua tanya tips and trick, gak ada.” Begitu jelas Wonwoo. “Kalau lo tanya pressure? Banyak.” Sambungnya lagi.

“Intinya, jangan pernah stuck di satu kondisi dimana tekanan batin lo lagi menjadi-jadi. Keluar, get some air. Having fun. Sendirian, atau sama seseorang.”

It works?” Kini, satu suara yang paling familiar di telinga Wonwoo akhirnya menderu.

Yang mampu Wonwoo lakukan hanya menarik sudut bibirnya sedikit. “It works, Mingyu. It was.”

“Wow, I guess that ‘someone’ was actually that powerful?”

Too powerful, till I was overwhelmed.” Senyap. Seakan semua tau, bahwa ini adalah waktu untuk mereka saling beradu. “I am.. Overwhelmed, Mingyu. And I am too tired.” Dari manik mereka yang saling bertemu, Wonwoo seakan-akan mampu melihat bagaimana cerita mereka dapat terulang kembali seperti putaran film di balik bola mata orang ini.

Benar, bagaimana Mingyu yang memiliki sebuah power sampai akhirnya mengantarkan Wonwoo pada mimpinya. Dan bagaimana Mingyu yang juga memiliki power sama besarnya, ketika harus menjatuhkan hati dimana penuh tulisan namanya disana, ke palung paling dalam jiwa Wonwoo sendiri, hancur dan lebur.

How’s her, Mingyu?”

-

How’s her, Mingyu?” Suara Wonwoo bahkan sudah tidak lagi mampu Mingyu dengar dibalik sambungan telfon. Ia tau, Wonwoo telah menangis sejadi-jadinya.

“Cing—”

How’s her? Aku tanya, dia gimana?”

“Wonwoo sayang..” Tangis Wonwoo kini tidak lagi bersuara. Hanya ada bulir air mata serta bibirnya yang terus bergetar. “Aku minta maaf.” Begitu kata Mingyu di ujung sana.

“Wonwoo.. Kita jauh. Aku pikir, the idea soal hubungan jarak jauh was fun to heard. Tapi maafin aku yang gak bisa kontrol perasaanku. Maafin aku yang gak bisa tepatin banyak janji tentang aku dan kamu. Maafin aku, disini aku jatuh cinta, Wonwoo.”

Di umur 19 tahun, dimana tidak pernah ada sedikitpun sebuah skenario di kepala Wonwoo bahwa hal ini akan terjadi. Yang Wonwoo tau semenjak dulu, hanyalah sebuah sihir dan afeksi yang Mingyu tuang, bahwa semua hal itu, memang pantas untuk di perjuangkan.

Namun, pada kemudian hari, inilah realita yang harus Wonwoo hadapi. Bahwa benar, perasaan tidak akan selamanya bertumpu pada dirinya sendiri.

“Wonwoo..” Panggil Mingyu sekali lagi. “Maafin aku, ya?”

Sambungan telfonnya kini sudah sepenuhnya terputus.

Dan itu, jadi sahutan nama terakhir yang keluar dari mulut Mingyu. Karena setelahnya, bertahun-tahun lamanya, Mingyu menghilang.

Mingyu-nya Wonwoo, kini tidak lagi ada.

Wonwoo, kini kosong.

Ada satu agenda yang selalu Wonwoo lakukan setiap kali pulang memijakkan ibukota, sebuah agenda yang penuh dengan ironi dan berujung sia-sia.

Mengharapkan kehadiran sosok Mingyu di sudut restoran Seribu Rasa.

Selalu. Sampai ketika ia kembali setelah pendidikan panjang yang dituntutnya, ketika satu perusahaan bersedia menerimanya, tidak pernah satu kali dalam satu minggu ia menghilang di sudut sana.

Disetiap minggunya, akan ada Wonwoo yang datang, membuang pandang menatap yang berlalu-lalang, dan berakhir meninggalkan tempat dengan kecewa yang terulang.

Ada Wonwoo, yang berharap seseorang disana sedikitnya mengingat atas hadirnya dulu di masa sekolah. Ada Wonwoo, yang berharap seseorang disana menyadari bahwa apa yang ia butuhkan hanya Wonwoo seorang. Ada Wonwoo, yang terus berharap, bahwa ia akan datang.

Namun, tidak pernah ada.

Kala itu, Junhui yang merupakan teman satu kantor Wonwoo, yang paham betul atas agenda tanpa kejelasan yang selalu ia lakukan ini, datang dan duduk disana bersamanya.

Awalnya, detak jantung Wonwoo membuncah, mengira bahwa orang yang ia harap pada akhirnya hadir di depan matanya. Namun, rekah senyum Wonwoo mendadak padam, ketika orang yang bukan ia harap malah mengambil tempat di depan sana.

“Mau sampe kapan, Won?”

“Gue kira siapa..” Begitu cicit Wonwoo, menunduk.

Junhui membuang nafasnya pelan, menatap dengan perasaan iba.

He won’t come, come on.” Tanpa berekspresi, yang mampu dilakukan Wonwoo hanya menatap. “Yang lo tungguin apa sih, Won?”

“Jun..” Wonwoo bersuara dengan menatap keluar jendela. “Terakhir kali, dia cuma bilang maaf.”

So what?”

Just.. maybe he—”

You gotta move on, Wonwoo.” Junhui mampu melihat bagaimana lelahnya manik mata seorang Wonwoo selama bertahun-tahun di tiap minggunya. Ambisinya, harapan tanpa kejelasan miliknya, kelelahan serta sebuah penantian. Bahkan Junhui bertanya-tanya soal kewarasan teman satunya itu.

What if..” Wonwoo menatap kosong dengan air mata yang perlahan memupuk. “Dia balik tapi gue gak ada disini?”

“Lo bener-bener mengharapkan dia buat balik?”

What if, Jun. What if.”

Begitu, sampai dua puluh tiga umur Wonwoo.

Sore itu hujan, namun sama sekali tidak menyurutkan niat Wonwoo untuk kembali hadir di sudut restoran, hanya untuk menerka dan kembali menanti. Perihal harapannya yang mungkin jadi kenyataan, perihal sosoknya yang kembali muncul tepat di depan matanya.

“Wonwoo..” Jantung Wonwoo di dalam sana berdetak tidak karuan. Matanya perih dengan tenggorokan yang tercekat hebat, ketika sebuah suara yang sangat ia kenal betul, setelah bertahun-tahun kembali memanggil namanya.

Mingyu, suara Mingyu.

“Mingyu..” Wonwoo tidak sedang bermimpi, Wonwoo tidak sedang berkhayal. Karena, ketika ia mengucek matanya, menghapus air matanya, Mingyu benar-benar ada disana. Mingyu benar-benar berdiri beberapa langkah dari mejanya, dan Mingyu mulai duduk di kursi kosong di hadapannya.

Dulu, di kamar mandi, di kamarnya sendiri, Wonwoo banyak berlatih. Soal cerita yang mungkin akan ia ceritakan kembali ketika akhirnya bertemu dengan MIngyu. Soal perasaannya, bagaimana ia melewati hari-harinya tanpa ada Mingyu di sampingnya, bagaimana ia di dewasakan oleh keadaan dan perasaan, bagaimana hal-hal yang mungkin akan membuat Mingyu membulatkan mata tidak percaya ketika mendengar ceritanya.

Namun, menatap manik coklat bola mata itu di hadapannya, membuat Wonwoo kelu. Ia hanya mampu terdiam tidak percaya, bahwa ada yang kembali.

Setelah banyak tahun yang terlewati, benar-benar ada yang kembali.

“Kamu.. apa kabar, Mingyu?”

Tanpa raut ekspresi, Mingyu diam tidak langsung menjawab pertanyaan yang Wonwoo lemparkan, memberi jeda. “Baik.” Balasnya.

Keduanya, diam seribu Bahasa.

“Wonwoo..”

“Hm?”

“Aku datang kesini, cuma mau bilang satu hal.” Tanpa menjawab, Wonwoo memberikan anggukan kecil. Matanya tidak lepas, tidak pernah lepas dari sosok di hadapannya.

“Kamu boleh pulang. Kamu gak perlu nungguin aku setiap minggu lagi. Maaf, Wonwoo, kita selesai. Kamu juga harus nyelesain agenda kamu. Sekali lagi, maaf aku gak bisa pulang—” Sesak, hanya itu yang mampu Wonwoo rasakan. “—ke kamu.”

Ada petir yang menyambar, di dalam diri Wonwoo.

I’ve already met someone.” Dan bulir air mata tidak lagi mampu Wonwoo tahan. “You should’ve find one, too.”

Mingyu bangkit, keluar dan hilang. Bahkan tanpa pamit.

Disudut sebuah restoran di pusat paling riuh ibu kota. Kata mereka, namanya Seribu Rasa. Dulu, ketika umur mereka masih menginjak angka tujuh belas, ada Mingyu dengan segala cerita soal bagaimana menggiurkannya Nasi Goreng Kampung disana. Ketika tawa jadi agenda harian serta lempar cerita yang jadi kewajiban di saban hari mereka menyambut mimpi. Ketika Wonwoo hanya satu-satunya yang Mingyu mau.

Kini Wonwoo menyambut sebuah awal dan akhir di satu tempat yang sama.

Wonwoo menunduk. Dunia rasanya mendadak hening. Bahkan, derai air matanya yang jatuh ke atas meja mampu ia dengar dengan jelas.

Kita selesai, kata Mingyu. Wonwoo harus selesai, kata Mingyu, lagi.

Angka 2 pada satuan tahun kembali berlalu. Wonwoo yakin, umur Mingyu sama memijak dengan dirinya, dua puluh lima. Dan untuk pertama kalinya semenjak hari itu, Wonwoo kembali melihat sosoknya.

Di sudut yang sama, di restoran yang sama. Jangan tanya, seberapa tersiksanya Wonwoo saat ini.

Wonwoo tidak pernah tau, apakah Mingyu kembali menapak tilas soal kebersamaan mereka dahulu. Tujuh belas, delapan belas, sembilan belas sampai di detik ini.

Wonwoo selalu mendeklarasikan bahwa dirinya sudah sembuh, pulih dan baik-baik saja atas nama seorang Mingyu. Namun hari ini, mungkin ia akan menyesali keputusannya untuk ikut hadir. Karena, kembali menatap lekuk wajah yang sama dan yang tidak pernah berubah itu, ternyata membuatnya tidak baik-baik saja.

Bagaimana hanya dengan menatap lekuk wajahnya, mampu membuat Wonwoo berjalan dan melangkah kembali ke masa lalu, seperti yang di lakukannya berjam-jam yang lalu.

Dan yang seribu kali membuatnya semakin pedih adalah, bagaimana tatap Mingyu yang tidak pernah berubah ketika menatapnya. Kemudian membuat Wonwoo berbicara kepada dirinya sendiri, “Mingyu, bukannya seharusnya masih ada kesempatan buat kita, ya? Atau, memang bener-bener gak ada?” Atau yang paling ironis yang membuat Wonwoo terlihat jadi yang paling bodoh, “Mingyu, kamu datang hari ini, kira- kira mau ngasih kesempatan lalu yang belum sempet kita ambil?”

Sesederhana sebuah harapan untuk memulai kembali.

“Jadi gimana, Gyu? Persiapan nikah lo?”

Deg.

Sebelum menjawab, Mingyu menatap Wonwoo sekejap, kemudian mengalihkan pandangannya pada yang bertanya. “U-udah 70 persen sih..” Cicitnya. Kali ini, menolak menatap Wonwoo. “Doain lancar ya.”

Kini, apa lagi yang mampu Wonwoo lakukan?

Menerima dengan lapang dada, kalau memang semuanya benar-benar usai. Bukan begitu?

Pukul 10 menjelang 11 pada malam hari, Wonwoo masih duduk di kursinya sedang semua orang telah menghilang entah kemana. Ber-jam yang lalu, Wonwoo menyuruh Soonyoung untuk kembali duluan. Beralasan bahwa ia ada janji dengan temannya yang lain, padahal hanya alibi belaka.

“Wonwoo..” Sahutan itu, seperti 2 tahun yang lalu. Dan ditemukannya Mingyu berdiri agak jauh, kemudian melangkah dan duduk di tempatnya tadi.

“Belum pulang?” Tanya Wonwoo, melipat kedua tangannya di depan dada. Mingyu menggeleng.

“Kamu..” Cicit Wonwoo. “Apa kabar sih, Gyu?”

“Tadi kamu udah nanya, Kan? Baik. Aku baik, Wonwoo.”

“Bukan. Maksudku, beneran yang.. ‘Apa kabar?’ gitu.” Mingyu diam, berusaha memproses sedikitnya apa yang Wonwoo maksud. “Apa kabar, karna akhirnya datang kesini lagi, duduk disini lagi.”

Kini, ada benang kusut yang terurai dengan sempurna. “Kamu baik-baik aja, ya? Pas balik ke tempat ini lagi?” Wonwoo kembali menimpali.

“Siapa bilang?” Dan untuk pertama kalinya, dapat Wonwoo saksikan mata Mingyu yang mulai berkaca=kaca. “Aku gak pernah baik-baik aja, soal kita.”

“Kamu mau nikah, jangan bikin aku balik ngarepin kamu setelah kamu ngomong kaya gitu, Gyu..”

“Wonwoo..”

“Ya?”

It was nice to had you.” Nafas Wonwoo mendadak sesak. “It was nice to fell hard into you. Kalau nanti aku punya kesempatan lain, entah apapun bentuk dan caranya, nama kamu bakalan jadi yang pertama aku tulis pakai tinta merah diantara tinta hitam.”

Wonwoo meraung dalam diam, mengepalkan tangannya.

“Kita.. selesai, ya, Wonwoo? Aku mau kita selalu baik-baik aja. Entah urusan perasaan atau yang lainnya yang mungkin selalu buat kamu bertanya-tanya.”

Benar, Wonwoo memang tidak pernah baik-baik saja perihal manusia satu ini.

“Aku pamit ya, Wonwoo. Soal cerita kita yang dulu, soal tempat ini, soal perasaan yang mungkin masih sama-sama ada—”

“Selesai, ya, Mingyu?”

“Selesai.”

Mingyu bangkit, keluar dari restoran dan menghilang, sama seperti dua tahun yang lalu.

Usai.

Mungkin di kemudian hari, Ketika Wonwoo sudah terlupa akan sosoknya dan kembali bertemu seperti pertama kali, yang pertama Wonwoo lakukan adalah memeluknya. Melunaskan sebuah hal yang tidak sempat atas rindu yang memupuk terlalu lama.

Mengenang harum tubuhnya seolah-olah kembali ke masa sekolah. Tawa hangat serta senandung kecil kisah asmara manis penuh bahagia. Seakan besok akan selalu ada kita, menari dibawah lampu jalanan sore menjelang malam dengan tas ransel yang kita lempar ke trotoar.

Kita, dan Seribu kisah lama yang menguap. Menari dalam ingat, lamat perlahan jadi pengingat. Sebuah aksara yang nihil terucap, akan kedua insan yang dalam diam masih meninggalkan harap.

help, i'm still at the restaurant, still sitting in the corner i haunt.

-

(“Gyu, nanti kalau punya rumah, aku mau kita punya halaman belakang yang luas. Rumahnya kecil juga gak papa, yang penting muat piano sama anak kucing. Terus ada pohon gede juga di halaman belakang sama beranda, supaya kalau sore kita bisa ngobrol sambil minum teh.”

“Boleh. Yang penting, kamu pulang dulu, ya?”)

. . .

—fin.

//tw

“Aku gak tau kalau antriannya bakal sepanjang itu.” Mingyu memutar stirnya keluar dari pekarangan rumah sakit.

“Kita yang emang udah telat banget datangnya.”

I’m very busy.. so sorry.”

Vernon acuh, jam tangan digital di pergelangan tangannya sudah menunjukan pukul 9 bahkan hampir menuju pukul 10.

“Kim..” Cicitnya.

“Hm?”

“Kamu laper gak sih?”

Well.. yea.. a little bit.”

“Ke Geoffrey’s aja mau gak? Kayanya Nadit masih disana soalnya dia lembur gantiin temennya. Kita suruh dia goreng kentang yang biasa ada di freezer aja. Gimana?” Mingyu terkekeh kecil.

“Kamu sering banget ya bantuin Nadit disana sampe sampe paham banget kalau di freezernya ada kentang goreng instant itu?”

Vernon mengusap tekuknya, tertawa kikuk. Ya, sebenarnya ada banyak tukar cerita yang terjadi antara dirinya, Nadit, Jenkins yang tukang emosian dan Samantha si lemah lembut.

“Nanti kamu turunin aku disana aja, aku balik bareng Nadit.”

“Hah?” Alis Mingyu mengkerut. “Yang ada kamu kalau pulang muter jauh, Vernon?”

“Enggak.” Anak remaja satu itu membenarkan posisi duduknya. “Aku mau nginap di rumah Nadit.”

Sleepover?”

“Hm..”

“Berdua?” Tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya, Mingyu melempar tanya.

“Kenapa memangnya?”

It’s just..”

“Apa?”

Well.. kalau di Indonesia itu tuh hal yang.. apa ya? Tabu? Maksudnya.. yaa culturenya kan beda sih memang.. mungkin aku cuma harus biasain diri buat culture yang ada disini.. right?”

It ain’t a culture.”

“Terus?”

Please. Aku tuh gak tidur berdua sama dia.” Vernon memutar bola matanya. “Well, sometimes we spent hours just for a hot chocolate dan series yang bikin kita begadang. Tapi aku bakalan tidur di sofa.”

“Sofa?”

“Iya.”

“Kamu pilih tidur di sofa cuma buat tidur di rumah Nadit padahal kamu punya kasur yang nyaman dirumah, Vernon?”

Vernon diam agak lama.

She..” Suaranya menggantung, meninggalkan senyap. “..it seems like she needs me.”

Sunyi mengembara.

Sejujurnya, hanya tatap Mingyu yang terpaku menuju jalan raya, pikirannya entah ada dimana. Berkali kali iya menelan ludahnya.

Is she?”

“Mungkin sepenuhnya bukan karena kamu. But, i know.. she is struggling a lot. Jadi anak remaja kaya dia pasti gak gampang. Tapi, satu dari banyak, itu kamu.”

Is it made me being a bad person? to you? i mean, i hurt your friend, right?”

“No, Kim. No.” Tatap Mingyu cepat beralih pada anak lelaki yang sedang tertunduk memainkan jemarinya. “Well, mungkin 50 persen.”

“Hm.. still a bad person.”

Kini Vernon istirahatkan kepalanya dengan kepalan tangan dan siku yang tertumpu pada pinggiran kaca.

“Kamu mengklaim diri kamu sendiri kalau kamu memang nyakitin dia?”

Helaan nafas jadi jawaban pertama yang Vernon terima.

“Vernon.. hurting her wasn’t my decision. Aku gak tau kalau dia bakal suka.. sama aku. So, well, ya mungkin i treated her too much, but.. i don’t know. I feel bad.. Honestly.. i feel bad.”

“Karna dia masih 18 tahun?”

“Umur cuma angka, Vernon.”

“Berarti gak ada alasan dong buat kamu juga gak balas perasaan dia?” Mingyu memijit pelipisnya.

Geoffrey’s?”

“Dang. Kamu jago ngalihin pembicaraan.”

I’ll tell you if you are mature enough.”

“Cih..” Kini Vernon melipat kedua tangannya di depan dada. “Selalu aja orang-orang mikir anak kecil itu gak paham apa apa. I know better than you.”

You are being sarcastic right now.”

I am.”

“Jangan bikin aku turunin kamu di pinggir jalan.”

“Aku lahir, besar di Malibu, Kim. I. know. every. fucking. street.”

Stop.” Mingyu memijak pedal remnya sehingga membuat keduanya tersungkur ke depan. “Kamu sekarang mau bikin bonding kita retak cuma karna kamu gak terima temen kamu di sakitin?” Suara Mingyu meninggi.

What?!

“Kamu mau bela Nadit, Vernon?” Kini, suara Mingyu kembali pada diafragma normal seperti sebelumnya. “Why does people made me feel so bad? Aku udah bilang, kalau bukan mauku nyakitin Nadit. Kamu tau kan, definisi gak semua harus sama-sama? bahkan mereka-mereka di luar sana yang punya perasaan sama aja belum tentu bisa sama, Vernon. Apalagi aku sama Nadit.”

“Kamu.. beneran gak ada perasaan apa apa sama Nadit, ya?”

“Semua sama. Kamu, Nadit, Somi, Mark. Kalian semua bisa jadi adik-adik buat aku, Vernon. Bisa jadi temenku. And for that, being friends with you all, is a pleasure to me.”

Sorry.. for.. being.. sarcastic.” Vernon bergumam kecil, bahkan Mingyu tidak mampu mendengar dengan jelas. Tapi ia tau, bahwa ada perasaan bersalah di dalam diri anak remaja di sampingnya ini.

Geoffrey’s?”

Sure.”

-

Mobil milik Mingyu kemudian terparkir di atas bebatuan halaman restoran yang jadi destinasi mereka.

Hampir pukul 10.

Lampu dapur dari depan pintu masih menyala, tandanya Nadit masih disana.

Langkah Vernon dan Mingyu terhenti seketika sesaat mereka mendengarkan suara nyaring teriakan dari dalam dapur sana.

Sontak, ketika suara yang tidak lagi asing itu tertangkap indra pendengaran mereka, keduanya berlari.

Dan menemukan bagaimana Nadit yang terkunci didalam tubuh gempal seorang lelaki yang bahkan sudah melepaskan tali pinggangnya.

Shit!”

Sebuah wajan berukuran sedang Vernon lempar tepat mengenai kepala si pria, membuatnya tersungkur serta darah yang mulai mengalir mewarnai kepalanya yang bahkan tidak lagi ditumbuhi rambut dengan warna pada umumnya.

Dengan rok span yang sudah robek bahkan menampakan celana pendek dalaman yang dikenakan Nadit, rambut yang menyeruak kesana dan kesini, serta kemejanya yang tidak lagi terkancing bagian atasnya, ia berlari mendekati Kim.

Vernon, dengan mata yang mengembara penuh api, mengambil satu pisau dapur dan di genggamnya erat.

Who the hell are you?” Si pria dengan tubuh gempal tadi meringis dan sedikit terbelalak melihat tangannya yang dipenuhi cairan merah.

What are you doing?” Langkah mengintimidasi serta pisau di genggamannya membuat si pria ikut melangkah mundur.

Can we.. talk with peace?”

No.” Vernon semakin melangkah membuat si Pria tersudutkan dan menghantam dinding di belakangnya. “What the fuck did you do to her?”

“I-I-“

What the fuck DID YOU DO TO HER?!” Kini suara Vernon berubah jadi erangan.

“Vernon, you better to put down your knife first.” Cicit Mingyu, masih menjadi tameng untuk Nadit bersembunyi. Dapat Mingyu rasakan bagaimana hebatnya tubuh gadis itu bergetar.

“Ye-yea. Denger k-kan, apa k-kata temanmu. Put.. y-your.. k-knife.. down.”

He was tried to raped her, Kim. Are you joking? This stupid owner of Geoffrey’s was tried to raped her.” Tanpa memutar tubuhnya sendiri, langkah Vernon dan pisau tajam tadi hampir mengarah menuju si pria.

Then what? You wanna kill him? And make you being a prisoner? You. Just. A. Student. Vernon. Put.. your.. knife.. down.” Intonasi suara Mingyu rendah. Mencoba menenangkan bagaimana amarah sedang membakar diri Vernon. Dirinya masih labil, ada banyak hal yang mungkin tidak akan di pikirnya dua kali.

Semakin dekat, mata yang semakin menggelap, deru nafas yang membucah, bahkan dadanya terus naik dan turun.

Ketika itu, sebuah mangkok kaca mendarat di kepala Vernon. Ia tersungkur, pisaunya berlalu entah kemana dan si pria kemudian berlari keluar setelah tanpa dosa melakukan hal-hal yang tidak pantas tadi serta melempar Vernon dengan piringan kaca.

Namun, kepolisian telah sampai duluan di lokasi sebelum si Pria kabur. Menahan serta memborgol kedua tangannya dan dimasukan cepat kedalam mobil polisi.

Vernon tergeletak, kepalanya mulai mengucurkan darah. Secepat kilat, Mingyu bopong si remaja lelaki keluar menuju mobilnya.

Sir, we’ve called the ambulance, maybe around 5 minutes.”

Mingyu menoleh menatap Vernon yang meringis, mendongak sedikit untuk melihat lukanya. “Can you hold it?”

Yes..”

5 menit, bahkan kurang dari 5 menit, mobil ambulance telah sampai dan mulai memberikan pertolongan pertama untuk Vernon.

Mereka bilang, luka di kepala Vernon adalah luka kecil. Memang merobek sedikit kulitnya, namun tidak membutuhkan jahitan yang dalam.

Tapi ia tetap dapat 2 jahitan kecil.

You good?” Seorang perawat wanita berkulit gelap tersenyum bertanya kepada Vernon.

Well yea.. just.. a little bit dizzy.”

Kini di pinggir pintu Ambulance yang terbuka, Vernon duduk menatap Nadit dengan jas yang melingkar di pinggangnya menutupi rok yang sobek tadi. Vernon yakin itu milik Mingyu.

Si Gadis berjalan mendekat, di susul oleh Mingyu di belakangnya yang tiba-tiba muncul.

Feel better?” Nadit ikut duduk.

“Nyeri.. pusing..” Vernon terkikik kecil.

Mingyu berdiri di hadapannya, melipat kedua tangannya di depan dada.

“Kamu memang pahlawan kesiangan. But, still, Pahlawan.” Vernon lagi-lagi terkikik sembari menunduk.

“Pak, bapak yang tadi telfon 911?” Mingyu memutar tubuhnya ketika opsir polisi perempuan mendelisik dari punggungnya.

I did.” Balas Mingyu.

“Kami butuh sedikit keterangan.”

Sure.” Mingyu kemudian berlalu beriringan menuju mobil polisi yang masih terparkir dengan si Pria gempal penyebab kekacauan yang duduk diam di dalamnya.

Sekitar 5 sampai 10 menit, setelah Mingyu ceritakan segala kronologi, dirinya kembali menyambangi dua anak remaja yang masih terduduk bersama di pinggir pintu Ambulance yang masih terbuka.

Dari manik matanya, ia lihat bagaimana Nadit menyerahkan segelas air mineral di ikuti Vernon yang menegak satu obat. Mungkin pereda rasa nyeri.

Dari visualisasinya, dapat ia lihat bagaimana tatap Vernon yang terpaku kepada si gadis. Mingyu lihat Nadit tertunduk, sekali-kali menyeka matanya.

Umur Mingyu bukan lagi berpijak pada angka belasan. Ia sudah mengalami banyak hal perihal jatuh cinta. Melihat bagaimana Vernon menjadi gelap mata, melihat bagaimana sisi lain dari sosoknya muncul dengan amarah yang merebak, Mingyu tau, Nadit bukan hanya sekedar gadis pengisi hari-harinya untuk menghabiskan waktu. Nadit, mungkin adalah yang lebih.

Vernon mendongak ketika menemukan Mingyu yang sudah kembali dari sesi introgasi singkat sebagai saksi mata di mobil polisi yang jaraknya tidak begitu jauh, masih di pekarangan Geoffrey’s yang Vernon yakini akan tutup total dalam beberapa hari kedepan.

“Udah mendingan?” Sapa Mingyu kemudian.

“Yup. Better than before.” Vernon tersenyum merekah padahal obat yang di konsumsinya tadi masih belum menunjukan efek meredakan rasa nyeri di kepalanya. “Kok polisi langsung datang tadi?”

I called 911 right away.”

But.. you didn’t talk? How could they knew the location?”

“Malibu just a city, Vernon. Kamu sempet bilang Geoffrey’s, kamu sempet bilang soal raped, dan aku ngomong soal pisau kamu, i think the police will understood it in the exactly moment. Mereka butuh apalagi? siapa coba yang gak tau Geoffrey’s, iyakan?”

Alis Vernon berkerut hebat dengan senyum yang merekah. Ekspresinya seakan-kan bersuara : “Wow.. Kim. Marveulous.”

You did a good job, thank you.”

“You too, Vernon.” Suara halus Nadit kemudian ikut menyambangi pendengaran. Vernon menoleh. “Thank you so much.”

Tapi Vernon tau, gadis ini melalui sesuatu yang bukan satu hal kecil. Ia ketakutan, masih ketakutan. Ia tersenyum mengatakan kata terimakasih, namun jiwanya masih bergetar dengan perasaan menjijikan yang mungkin sedang menggerogoti dirinya sendiri.

You okay, Nadit?” Bahkan ketika tangan Vernon berusaha menggapai tangan Nadit, ia sontak menariknya dengan cepat.

Sorry..” Cicitnya, lagi-lagi menyeka mata.

Vernon tau, Vernon paham dan Vernon merasa menjadi seorang teman yang sama sekali tidak mampu membantu temannya sendiri. Vernon, menjadi merasa bersalah.

“Harusnya dari awal kamu bilang keluar, aku harusnya keluar dari sana.” Nadit, kini sepenuhnya terseguk dan menangis.

“Harusnya kalau aku dengerin kamu, ini gak bakal kejadian.”

“Nadit..”

“Maafin aku, Vernon.”

“Nadit.. i’m so sorry, but.. can you please look at me for a while? Hm?”

Dengan mata yang dipenuhi air, Nadit mendongak, menemukan iris mata Vernon yang berwarna coklat terang.

I won’t ever hurt you, Nadit. Ever. So please, please believe in me. Apapun bentuknya, aku gak akan nyakitin kamu. Okay?” Sekali lagi, dengan berani, Vernon gapai lengan Nadit. Si empunya kali ini tidak lagi menariknya. Ia biarkan bagaimana jempol Vernon mengelus pelan kulitnya.

Lagi-lagi ia menangis. Kali ini, menjatuhkan dahinya di bahu Vernon.

You have me. I won’t hurt you, Nadit. I’m so sorry i came up late.”

Mingyu tatap keduanya. Entah apa yang harus Mingyu namakan kedua anak manusia ini. Lebih dari teman, namun bukan seseorang yang terjalin dalam hubungan. Tapi ini, terlalu lebih untuk sekedar Mingyu namakan pertemanan.

Entahlah, biar keduanya yang menentukan.

Jantung Mingyu di sana berdetak tidak karuan saat menemukan cahaya lampu mobil polisi serta empat anak remaja yang sedang mengistirahatkan pundaknya pada mobil.

Ia buru-buru berlari mendekat.

Mata Nadit sempat membulat sempurna, kemudian membuang wajah menolak menemukan tatap.

“Ada yang luka?” Mark menatap aneh orang di hadapannya ini.

“Kamu bilang apa sama dia, Vernon?”

“Permisi, Pak.” Mingyu mendongak. Satu polisi tadi kemudian menatapnya dari atas sampai bawah. “So.. i don’t know which one is your child but—“

“Saya! Saya pak. Ini ayah saya.” Vernon menarik satu lengan Mingyu, membuatnya mengernyitkan alis.

What?” Bisiknya.

Please help me, Kim.”

“O-oh. Yes. Saya.. A-ayahnya.”

You sure?” Mingyu terbahak keras.

I’m sure. Kenapa harus gak yakin? Kan anak saya.” Kini Mingyu melingkarkan tangannya di bahu Vernon. Ia remas kuat sampai-sampai Vernon harus menahan nyerinya.

Opsir polisi tadi melihat keduanya secara bergantian. “But you.. are.. Asian?” Mingyu tertawa kikuk kemudian, di ikuti Vernon di sebelahnya.

Well ya, i married a foreigner!”

“Yup! My Mom is a foreigner! Right, dad?” Dengan kedua manusia yang masih asik dalam agenda manipulatifnya, ketiga yang lain hanya mengernyitkan alis di atas pijakan sendiri. Bingung harus bereaksi seperti apa atas kejadian yang sedang mereka tonton didepan mata mereka.

Okay. So.. they are driving without a driver license.” Mingyu membulatkan matanya kemudian mengangguk menatap Vernon.

“Oh.. Without driver license ya, Vernon.” Ulang Mingyu, Vernon bergidik ngeri ketika mendengar nada suara yang keluar dari mulut Mingyu serta tatapan itu.

“Yes, Jadi, karna mereka masih di bawah umur, harusnya mobilnya saya bawa ke kantor. Tapi karna bapak udah datang, jadi saya cukup amankan disini dan..” Opsir polisi tadi menulis, “Surat peringatan.” Ia merobek satu kertas kemudian memberikannya ke tangan Mingyu.

Thank you,sir. Don’t let your child driving without driver license. Good night.” Sosok polisi tadi dengan mobilnya serta lampu sirine yang merekah kemudian hilang ditelan gelapnya malam.

Lengan Mingyu yang tadi sempat melingkar di bahu Vernon, kini jatuh.

Dari manik mata Vernon, dapat ia lihat lelaki ini yang mulai berkacak pinggang serta mengacak rambutnya frustasi.

Make a line. All of you.” Tunjuk Mingyu, dan buru-buru ke-empatnya saling berdiri bersebelahan membuat garis.

Are four of you out of a mind?” Diam. Sunyi dan senyap. Tidak ada yang berani menjawab.

“Jawab. Vernon?”

Sorry, Kim.” Mingyu masih menatap ke-empatnya.

“Who’s idea it is?”

Me.” Tanpa ragu, Vernon bersuara. “Aku cuma mau ngajak Nadit main. Soalnya, dari kemarin mukanya murung terus. Aku gak tau kalau bakal jadi kaya gini. Sorry.”

Kini tatap Mingyu berpindah pada sosok Nadit yang terkejut atas jawaban temannya sendiri.

So.. you blame me, Vernon?”

No. Gak gitu—“

“Kenapa kamu bawa namaku?”

“Niatku baik, Nadit. I just want you to—“

Then, don’t. Aku gak butuh apapun, siapapun buat sekedar menghibur. *I told you, Vernon. Aku gak kenapa-napa.”

Kini, di atas pijakannya, Mingyu sedikitnya paham.

Guys—“

And you, Somi. Kamu temenku apa bukan sih? Harusnya kamu yang paling ngerti aku. Segala apa yang kejadian sama aku tuh selalu aku certain ke kamu, iyakan? Kamu tuh cuma mikirin diri sendiri tau gak?”

What, Nadit?”

“Nadit—“

“Aku gak ada urusan sama kamu, Mingyu.” Bola mata Nadit bergetar. “Kita gak ada urusan apapun sama dia, kecuali kamu.” Telunjuk Nadit berhenti di depan wajah Vernon.

“Lain kali, don’t call him. Don’t ask for his help. Don’t.” Langkah kaki Nadit kini pergi menjauh, meninggalkan teman-temannya yang lain.

“Nadit!” Mingyu berlari kecil, memanggil sosoknya.

“Nadit! Sebentar! Can’t you stop?” Acuh.

“Nadit! Kamu marah karna aku gak bisa balas perasaan kamu?!“

“TERUS KENAPA KAMU BIKIN AKU BERHARAP?!”

Di pinggir trotoar, agak jauh dari tiga teman Nadit yang lain, keduanya berhenti saling hadap.

“Kenapa kamu waktu itu dateng cuma buat bantuin aku sama temen-temen yang lain buat part-time, Mingyu? Kenapa kamu mau di panggil Mingyu dan kenapa kamu bilang aku cukup tanpa harus jadi cantik kaya istri kamu? Kenapa kamu kasih aku nomor telfon kamu dan ajak aku fine dinning padahal aku gak dapat nilai 100 di ujian Matematika, Mingyu? Kenapa?”

Kini air mata yang sudah lama memupuk jatuh menciptakan sungai kecil di kedua pipi Nadit. Semenjak malam di toko es krim itu, Nadit mati rasa. Ia tidak bereaksi apa-apa, namun jauh didalam ulu hatinya ada perih dan ia ingin sekali menangis dan meraung untuk mengatakan pada dunia, ada sakit yang ia bendung. Hari ini, semua tumpah. Berserakan dan hancur.

“Kalau gitu.. Kamu salah, Nadit.” Mata Mingyu dapat melihat dengan jelas bagaimana air mata itu terus menuruni kedua pipinya. “Aku gak pernah punya niat buat mainin perasaan kamu.” Kini bergantian Mingyu yang bersuara.

“Aku datang ke Geoffrey’s waktu itu cuma buat pergi nyari makan siang dan turns out mereka butuh bantuan. Kalian butuh bantuan. Apa ada alasan lain buat aku nolak bantuin kalian padahal di satu sisi kalian temenku?”

“Nama Mingyu udah jadi bagian dari aku dan aku gak punya alasan larang siapapun buat manggil aku kaya gitu. Kalau temen-temen kamu mau, they can call me Mingyu. Dan aku selalu percaya bahwa porsi cantik tiap orang adalah cukup, Nadit. Istriku cukup dan kamu cukup.”

“Nomor telfon dan Fine Dinning adalah bentuk apresiasi. Sebelumnya udah sempet aku bilang, Kan? Bahwa gak ada yang perlu kamu bangun atas sebuah nama harapan untuk sekedar hal sederhana kaya gitu.”

“Itu kenapa aku gak bisa balas perasaan kamu. Kamu masih terlalu labil dan belum bisa memaknai banyak hal lebih dari satu kata dewasa. Kamu belum bisa bangun batas atas diri kamu untuk hal-hal kecil yang selalu aku lakuin atas dasar sesama manusia.”

“Terus segala jalan cerita yang di tulis dunia, kamu tetep denial?” Si gadis terseguk dengan suara paraunya.

“Cara semesta mempertemukan manusia dengan manusia yang lainnya gak semata-mata untuk merayakan perasaan, ada banyak hal yang bisa kamu delisik dari itu semua. Pertemuan kita pertama kali di pinggir pantai mungkin jadi alasan kenapa kamu masih ada disini dan gak tenggelamin diri kamu ke tengah laut.”

Pipi Nadit belum kunjung kering oleh air mata.

See? Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari jalan pertemuan dunia. Kamu, cuma butuh ruang untuk melihat.”

Fine, Mingyu. it was nice to know you.” Mingyu dapat dengar dengan jelas bagaimana suara Nadit yang parau. Kini, sosoknya berjalan menjauh.

Tukai kaki Mingyu sangat ingin berlari mengejar sosoknya. Menarik pergelangan tangannya untuk lebih baik di antar pulang di tengah jam malam seperti ini. Namun, kembali lagi.

Nadit adalah seorang gadis 18 tahun yang masih hidup di dalam fantasi yang ia bangun sendiri. Masih belum mampu memaknai batas yang satu dengan yang lain.

Kalau Nadit belum mampu melakukan itu semua, maka Mingyu yang harus jatuh dan turun tangan membangun batas atas dirinya sendiri.

“Udah pernah makan disini sebelumnya?” Aku tertawa mengernyitkan alis, tentu saja, belum.

“Belum.”

Hari ini, Mingyu terlihat berbeda dari biasanya. Bukan Mingyu dengan kaos dan celana training yang bisa di kenakannya di setiap akhir pekan kalau aku dan yang lain sedang belajar kelompok di rumahnya.

Turtleneck hitam serta celana hitam dan di tutup dengan luaran coat berwarna khaki.

Sedang aku disini, memakai dress terusan yang secara lega akan aku katakan sama, sama-sama berwarna hitam dengan belahan agak tinggi sampai hampir ke pahaku, dan heels.

Kalau di tanya, segala-galanya soal agenda ini adalah yang pertama buatku. Memakai heels? juga yang pertama. Maksudku, aku sering memakai sepatu heels milik Somi kalau bermain ke rumahnya, tapi memakainya untuk acara seperti ini, adalah yang pertama kali untukku.

“Well, then it’ll be our first.”

“Yup. our first.”

Setelah memesan menu, aku dan Mingyu banyak terdiam, canggung. Padahal, kalau di pikir-pikir, awal pertemuanku dan dirinya, kita membahas banyak, sampai lupa bahwa itu adalah kali pertamanya kita berdua bertemu.

Sepanjang menunggu, kami hanya saling melempar percakapan ringan, tertawa kecil kemudian kembali diam dan suasana jadi sunyi senyap, yang terdengar hanya suara piring dan sendok yang saling beradu.

Tidak ada obrolan perihal nilai ujianku, perihal Vernon dan ide tidak masuk akalnya, perihal maksud makan malam atas dasar apresiasi ini, tidak ada.

Pun, sepanjang menikmati makan malam, obrolan kami hanya ujuk ujuk soal bagaimana aku menjalani hari, atau suasana saat aku bekerja di akhir pekan.

Ada banyak rasa penasaran di dalam diriku, perihal sosoknya, cerita di balik masa-masa kelamnya di tinggal orang-orang yang ia sayang, perihal alasan ia memilih Malibu sebagai tempatnya memulai segalanya kembali, perihal penyebab istrinya menghembuskan nafas terakhir, dan perihal-perihal lainnya. Atau mungkin, alasan singkat selain hadiah apresiasi atas agenda malam ini.

Kalau dipikir, masih ada sekat tebal dan tinggi yang membatasiku dengan Mingyu. Dan aku, rasanya ingin cepat cepat menghancurkannya.

Mungkin Somi tidak sepenuhnya benar dengan argumentasi yang di katakannya tempo hari, dengan sekat tebal tak kasat mata ini, aku pikir Mingyu bukan yang paling mudah akan mengacak-acak hatiku. Bukan.

Setelah selesai, kami meninggalkan restoran hampir pukul setengah 9 malam, agenda fine dining yang di janjikan dan selalu membuat hatiku berdebar tiap malamnya hanya dipenuhi tawa canggung, sunyi senyap yang tidak jarang mengembara di antara sosokku dan sosoknya.

Bahkan ketika keluar menuju parkiran, aku berjalan di belakang menatap punggungnya. Ini, bukan seperti agenda romantisasi yang harap-harap mungkin terjadi. Mungkin Tiba-tiba dirinya yang membuka lengan agar aku rangkul atau mungkin ia yang membenarkan helai rambutku dan menyelipkannya di belakang telinga. Tapi ini, jauh dari sebuah angan klise semacam itu. Kalau begini, mending aku dan dia makan di Geoffrey’s saja.

“Nadit?” Suaranya membuyarkan lamunanku. Kutemukan dirinya sudah berdiri di samping pintu dan hampir membukanya, sedang aku berjalan lambat dengan pikiran yang melanglang buana.

Aku terkesiap, berjalan cepat menuju sosoknya. Sesekali terseok akibat heels 7 senti yang aku kenakan.

“You okay?” Aku mengangguk. Dan ya, membuka pintu mobil sendiri dan duduk dengan nyaman seperti awal tadi.

Suasana di dalam mobil juga tidak ada bedanya, membuatku sedikit bersedih bahwa ternyata aku dan dia memang masih berada di dua wilayah yang berbeda dengan batas yang aku tidak tau setinggi dan setebal apa, tapi aku dan Mingyu, adalah jauh.

“Mau langsung pulang?” Ia sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan.

“Hm.. terserah kamu, Mingyu. Kalau mau kemana mana lagi juga boleh.”

“Kemana ya, aku juga gak tau mau kemana lagi..”

Ajak aku kemana kek, ini masih jam 9 Mingyu, it is okay kalau aku di ajak main sampai tengah malem.

“Soal ajakan kamu, masih berlaku gak?” Kini ia menoleh, secara bergantian antara aku dan jalanan sana.

“Yang mana?” Tanyaku.

“Ice cream?” Aku tertawa, hampir terbahak. Kemudian mengangguk dan menatap dimensi wajahnya.

“Of course. Mau? Kali ini biar aku yang traktir, Mingyu.” Kini bergantian, ia yang terbahak di sana.

“Sure. I’d love to.”

“Tapi kita kerumah kamu dulu.” Kataku, membuatnya mengernyitkan alis.

“Kenapa?”

“Antar mobil kamu.” Aku menepuk dashboard beberapa kali dengan pelan.

“Terus kita kesana naik apa?”

“Walk down the entire streets.” Kini aku tersenyum menatap lurus ke jalanan dan dapat aku lihat sekelebat dirinya yang menoleh ke arahku.

“Terus pulangnya?”

“Kita jalan lagi pulang ke rumah kamu, and then kamu anter aku lagi ke rumahku, naik mobil.” Tawa menghiasi wajahnya, ia mengistirahakan kepalanya di kepala kursi.

“Kamu memang suka nyusahin, ya?”

“I am.” Lagi-lagi gelak tawa tercipta.

-

Aku meringis ketika turun dari mobil yang sudah sepenuhnya terparkir di halaman rumah Mingyu, menoleh ke tulang di atas tumit kakiku dan menemukan bahwa ada lecet disana.

Ah.. harusnya aku dengar apa kata Vernon buat ambil sepatu yang ukurannya 1 kali lebih besar dari ini.

“Nadit? You okay?” Aku memicingkan mata dan mengangkat alisku, menatap sosok Mingyu di seberang mobil sana.

“Hmmm.. i don’t think so..” Kalau begini ceritanya mending tadi gausah sok akal-akalan mau count on the momment dengan alibi mau jalan kaki ke toko es krim.

Stupid Nadit.

“Kakiku lecet.” Mingyu berjalan menuju tempatku berdiri, kemudian mendelisik ke arah kakiku.

“Kalau kamu tetep pake itu, yang ada nanti jadi luka.” Ia berjalan menjauh dari tempatku berdiri dan menuju ke bagasi mobil, mengeluarkan sepasang sepatu sneakers berwarna putih.

“Pake ini aja. Acara formal kita udah selesai.” Aku tersenyum kecil menatapnya menyodorkan sepatu tadi ke arahku, serta kalimatnya barusan. “Mau dipakein?”

Aku diam sejenak, lagi-lagi ada senyum yang tidak bisa aku tahan. Pipiku rasanya jadi panas dan goncangan di dalam dadaku tidak bisa di sembunyikan.

“Nadit? Mau di pakein gak?” Dapat aku lihat dengan jelas alisnya yang menungkik, menunggu jawaban dariku.

Aku yakin, seluruh perempuan itu tidak suka di tanya untuk sebuah hal hal spontanitas, tapi karna perkenalanku dan Mingyu masih terbilang singkat, mungkin dia juga sedang bersikap sopan.

“Boleh..”

Kini, dirinya berjongkok. Menarik sepatu heels tadi dan menggantinya dengan sepatu sneakers miliknya.

“Nadit..”

“Ya?”

“Kebesaran.”

Aku menunduk, menatap sepatu tadi yang tidak sepenuhnya memeluk kakiku, ada lubang kira-kira sebesar 1-1,5 senti yang menganga dari tumit kakiku.

“Oh iya ya?”

“Ukuran kakiku kayanya gak cocok sama kaki kamu.”

Yaudahlah Mingyu, mending kita pulang aja.

“Aku sumpel aja ya?” Aku membulatkan mataku agak terkejut atas idenya, kemudian mengangguk.

Ia merogoh kantong celananya, mengeluarkan satu sapu tangan, melipatnya dan menyodorkannya ke ujung sepatu, kemudian memasukan kakiku kembali dan mengikat talinya.

“Gimana?”

“Pas.” Kataku, tersenyum menatap kakiku yang kini sudah sempurna ada di dalam sepatu milik Mingyu.

“Yang satu lagi pake tissue aja gak papa, ya?”

“Iya, gak papa, Mingyu.” Dirinya membuka mobilnya lagi kemudian, mengambil helai tissue agak banyak kemudian melipatnya dan melakukan hal yang sama seperti yang tadi.

“Perfect.” Ia kemudian berdiri, mengacak puncak kepalaku dan tersenyum. “Heels kamu tinggalin disini aja dulu.”

“Iya, Mingyu. Thank you.”

No problem.”

-

Le Cafe de La Plage Malibu, toko es krim yang jadi destinasi favoritku kalau pergi dengan Vernon maupun Somi. Kalau Mark, aku belum pernah pergi berdua dengannya. Intinya, ini adalah toko es krim favoritku.

Bell pintu berbunyi ketika aku menolak pintunya untuk masuk, menoleh ke arah Mingyu di belakangku.

“Udah pernah kesini?” Ia menggeleng.

Menu favoritku adalah Salted Caramel dengan taburan kacang almond di atasnya, Vernon selalu tau kalau itu jadi prioritas nomor 1 ku kalau duduk disini.

“Sama kaya kamu aja.” Kata Mingyu.

You sure? Gak mau coba rasa lain?” Ia menggeleng.

Okay, then.”

Aku dan dirinya mengambil tempat duduk diluar, jalanan belum kunjung sunyi, masih di penuhi oleh motor dan mobil yang terus berlalu lalang.

Is this the best in town?” Mingyu menyendok es krimnya. Aku mengangguk.

“Kalau di ujung sana, Joules and Watts Coffee,” Tunjukku lurus ke arah Barat. “Disana juga ada Es Krim Caramel, tapi gak seenak yang disini. Kamu kalau mau ngopi disana juga bisa, mereka jual kopi juga.”

Mingyu mengangguk, menoleh ke arah tunjukku tadi.

Rambut yang sedari tadi aku gerai, kini mulai aku angkat ke atas, menggigit karet tipis yang bertengger manis di pergelangan tangan kananku kemudian melilitnya di rambut.

Sampai ketika mataku menemukan mata Mingyu.

“What?”

Dirinya menyunggingkan senyum kecil. “Nothing.”

Lagi-lagi kami hanya sibuk terus terusan menyendok es krim, mengacuhkan satu sama lain sampai cup berukuran sedang itu kosong melompong tidak bersisa apapun.

“Kata Vernon kamu gak mau kuliah?”

Deg.

Apa? Vernon bilang begitu? Kepada Mingyu?

“Did he?”

“Why, Nadit?”

Aku membuang nafas.

“Ekonomi?” Aku tersenyum getir, pernyataan yang Mingyu lempar barusan seakan-akan membuatku jadi orang paling miskin di dunia.

“Aku bisa cari beasiswa kalau aku mau, Mingyu. Itu bukan alasan untuk enggak menuntut ilmu.”

“Then what?” Aku tatap dalam manik matanya dan dirinya yang masih menunggu alasan alasan yang keluar dari mulutku.

Mingyu memang orang asing, tapi ada hasrat di dalam sana yang merasa yakin bahwa apapun yang aku katakan pada sosoknya, semuanya akan baik-baik saja. Sama seperti kali pertama aku dan ia yang saling bertukar cerita.

“I have another dream of the dream, Mingyu.”

“You do?” Aku mengangguk kecil. Kini senyum tergores dari bibirnya.

Ia menoleh ke arah jam tangan, kemudian bergantian ke arahku.

“Mind to tell me your dream of the dream while we are walk down the streets?”

“Sure, why not?” Aku dan dirinya berdiri, meninggalkan meja-kursi serta dua cup kosong dengan bercak sisa es krim yang kami nikmati tadi. Jalanan sepi, hanya suara tapak kakiku dan miliknya yang berselaras menyuarakan langkah.

-

“Wow, that is big.” Mingyu mengangguk, kedua tangannya masuk ke dalam kantong celana.

“Do you think i can reach it?” Ia berhenti kemudian, membuatku spontan ikut berhenti.

First of all, yakin sama diri kamu.”

“Aku selalu yakin, tapi kadang apa yang jadi mimpi-mimpi tinggi belum tentu terealisasi, Mingyu.” Aku kini melipat tanganku di depan dada, mengelus lenganku sendiri, mengawang pada jalanan di hadapanku. “Gak semua mimpi di restui semesta, kan?” Kini aku mulai melangkah, di ikuti oleh sosoknya.

“Itu juga jadi alasan kamu kerja part-time?” Aku tersenyum kecil menoleh ke arah sosoknya, mengangguk.

“Setengahnya aku tabung, setengahnya lagi buat aku jajan.”

“Ibu kamu? Bilang apa?”

“Dia gak pernah setuju soal kerja part-timeku, dia cuma nyuruh aku sekolah aja.” Langkahku dan langkahnya sama, beriringan dalam ritme yang pelan.

“Aku setuju sih sama Ibu kamu.” Mingyu menyisir rambutnya dengan jemari. “Maksudnya, ngeliat kamu dan nilai kamu sebelum kita sama sama ada disini, wajar Ibu kamu khawatir. Karna impactnya bukan cuma konsentrasi kamu yang terganggu, takutnya, keseluruhannya jadi berporos negatif.” Ia membuang nafas.

“Aku bukan mau nakut-nakutin kamu, Nadit. It’s actually better for you to focus on your school. Dan lagi, kamu juga berdiri di dua pilihan yang sama sama jadi prioritas, and there’s nothing you can do, except walk on it together. Iya kan?”

“Kalau kamu punya dua prioritas, kamu harus sama sama seimbang. Fokus kamu juga harus terbelah dua, dan waktu cuma jadi mitos buat kamu. I don’t know what exactly you do right now with me walking down the street dengan fokus kamu yang terbagi-bagi. Are you sure, you get enough sleep? You sure you are feeling alright?”

Aku menyunggingkan senyum kecil. Lebih dan kurang, kurang dan lebih.

That’s why, Mingyu. Karna waktu cuma mitos buatku, jadi i wanted to spend it at least for a while, with you?”

Mingyu tertawa kecil, menunduk. “We have to go home, okay? Get enough sleep and..”

And?” Sosoknya berhenti. Membuatku kebingungan di atas pijakanku sendiri.

Go chase your dream, Nadit. Without me, okay? I am so sorry.. I can’t.”

Somi benar, harusnya aku mempersiapkan dinding tebal. Harusnya aku tidak jatuh dalam setiap gerak-geriknya, harusnya aku tau, sekat itu, tidak mampu untuk aku hancurkan dan melangkahkan kaki masuk ke wilayah teritorialnya.

I’ll take you home.”

Selama ini, rasa yang aku pupuk tidak mendapatkan sebuah balasan setimpal. Bahkan untuk sekedar senyum penuh rasa dari bibirku kepadanya.

Hari ini harusnya aku bersuka cita, karena untuk pertama kalinya, nilai ujianku melewati angka 50. Harusnya.

Namun, aku malah belok ke pinggir pantai, menyendiri dan bersedih.

Aku tidak bisa bohong, soal ‘rewards’ yang sebelumnya di janjikan oleh Vernon, aku belajar mati-matian hanya untuk dapat duduk berdua dengan orang ini di toko es krim seberang pantai atau dimanapun toko es krim yang ada di kota ini. Namun, di titik ini, aku harus menelan kecewa.

Lagi lagi agendaku ada di pinggir pantai, aku duduk di atas pasirnya, meletakkan tas ranselku di sebelah kanan, dan memeluk lutut. Hampir sore, langit juga sudah mulai oranye walaupun belum sepenuhnya.

Di pandangan kanan maupun kiriku, masih ada banyak orang yang menghabiskan waktunya hanya untuk membiarkan kakinya di terjang deburan ombak. Menyenangkan, batinku. Walaupun agenda semacam itu hampir setiap hari aku lakukan. Namun melihat mereka memenuhi agenda kecil dengan seseorang di sampingnya, membuatku sedikit banyak merasa sangat iri.

“Kenapa nontonin hal kaya itu bikin aku seneng dan kesal di waktu yang bersamaan, ya?” Cicitku, tidak mengalihkan pandangan dari sana.

“Nadit..” Aku terkesiap, kepalaku sedikit mendongak, menemukan Mingyu berjalan mendekat.

“H-hai?” Sapaku, canggung. Kalau dia tanya soal nilaiku, aku harus jawab apa?

Dirinya kemudian duduk, agak jauh dan menciptakan jarak, ikut memeluk lututnya.

“Kamu.. memang sengaja berhenti disini?” Tanyanya.

“Maksudnya?”

“Ini tempat pertama kita ketemu, Nadit.” Aku mengkerutkan alis, bingung atas pernyataannya.

“Itu..” Tunjuknya pada satu stan ice cream yang sudah tutup di belakangku. “Kita berdiri lurus dari stan itu..”

“Oh ya?” Aku menaikan alis. “Aku gak tau, yang aku tau di situ aku buang abu ayahku.” Kini aku menunjuk lurus pada satu bongkahan batu yang hampir menjorok ke tengah pantai.

Well at least we remember that night.”

“Yup.” Aku menekuk bibir, mengangguk beberapa kali.

“Vernon bilang kamu dapat nilai 85 buat ujian matematika?” Aku membuang nafas, Ah.. Dasar Vernon.

Good job, Nadit. You did great.” Pujinya, I did, Mingyu. But the rewards, aku harus melambaikan tangan tinggi-tinggi.

Thank you.” Aku tersenyum kecil menatapnya, kini membuang pandanganku ke arah pantai, menikmati air ombak yang datang dan pergi kembali.

Kemudian, dari sudut mataku dapat aku lihat dirinya yang sibuk merogoh kantong, dan gemerisik dari geriknya.

Dirinya diam mengotak-atik ponsel.

Aku harus apa ya supaya bisa punya nomor kontaknya? Aku membatin, masih menatap dirinya yang sibuk memainkan ponsel.

Tidak lama nada dering ponselku berbunyi.

Ah, mengganggu agendaku saja. Pasti kalau bukan Ibu, yaa Vernon yang selalu mencariku disetiap detik waktu berjalan.

Tapi yang aku dapati di layarnya adalah nomor tidak dikenal.

Congrats on your 85, Nadit. You did a great job, i meant it.”

“Hah?”

“Itu nomorku, bukan hadiah dari Vernon, tapi hadiah apresiasi dari aku. Besok, kalau bisa belajarnya bukan karna reward ya?” Dia mengacak rambutku, kemudian bangkit.

Aku? Rahangku masih terjatuh, belum mampu tertutup, masih berusaha memproses kejadian yang sedang terjadi ini.

“Namanya disimpan yang bagus, Kim atau Mingyu.”

“O-okay..” Tentu, pipiku panas dan aku yakin, ada semburat merah yang sama sekali tidak lagi mampu aku tutupi dan mungkin Mingyu ikut menyaksikannya.

Aku.. punya nomornya Mingyu..? Ini, nyata? Bukan mimpi, kan?

“Nadit?”

“Y-ya?”

Weekend ini, let’s have a fine dining..” Dirinya yang sudah berdiri, kini menunduk menatap ke arahku.

Fine dining?”

Fine dining? Mingyu barusan bilang Fine dining?

“Masih hadiah apresiasi dari aku. Would you?”

OF COURSE!

Aku berdeham sedikit, “S-sure..”

I’ll pick you up at 7 ya. Wear a nice dress..” Dirinya kemudian berjalan berlalu meninggalkanku. Aku buru buru bangkit, membersihkan celanaku dari pasir pantai.

“Mingyu!” Panggilku membuat dirinya menoleh. “Do you prefer wedges or heels?” Ia terkikik kecil menunduk, kemudian tersenyum sempurna dari kejauhan menatapku.

Heels might be fit on you, Nadit. I prefer heels.”

Senyumku tidak jauh dari kata merekah sempurna, menatap dirinya dari kejauhan, membuat detak jantungku tidak lagi dalam ritme yang sama ketika aku bernafas seperti biasanya. Hari ini, ia lebih bersemangat dalam memompa darah, sampai-sampai rasanya kepalaku ingin meledak.

Heels, then.” Ia berlalu, punggungnya kemudian berjalan menjauhi diriku, menghilang seperti matahari yang mulai tenggelam di barat sana.