Aku mengkerutkan alis setelah membaca pesan terakhir Vernon, dirinya tidak membalas kemudian.
Kalau dirinya memang tau perihal agenda ini, his sense completely no joke at all.
Aku membongkar paperbag penuh berisi bahan mentah yang sempat di delisik oleh Vernon ketika kami tidak sengaja bertemu di Ralph Supermarket siang tadi.
Dan aku memutar bola mataku malas ketika mengetahui bahwa aku lupa membeli tepung adonan waffle instant yang biasa aku masak untuk sarapan.
Padahal sudah tertulis jelas di notes ponselku ketika aku cek kembali, clumsy Mingyu.
Jangan tanya soal masakan apa yang akan aku masak untuk agenda sederhana yang hanya bermodalkan impulsivitas untuk menarik hati seorang wanita. Itu terlalu gamblang, sejujurnya. Karena, aku sendiri bahkan tidak paham soal perasaanku kepada dirinya.
Spagetti, daging steak mentah, serta bumbu racikan instan yang aku beli. Menu-menu makan malam pada umumnya.
Setelah menghabiskan waktu untuk memasak, menyiapkan meja sebelum menghidangkan, aku buru-buru mandi dan segera bebersih diri. Memakai kemeja putih dan celana kain hitam. Lagi-lagi, setelan pada umumnya untuk sebuah agenda makan malam.
Tepat pukul 7, mobilku keluar dari garasi dan mulai menyusuri jalanan kota Malibu.
-
She is wearing a white dress when i pick her up.
Anne.
Dirinya langsung mengirimkan lokasi ketika aku tanyai perihal alamat rumahnya. Tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 7-10 menit sekaligus mengelilingi sibuknya kota kecil Malibu.
Aku mengulum senyum ketika dirinya masuk dan duduk di kursi penumpang. A little bit awkward. Bukan karena tidak terbiasa, tapi ini jadi lebih aneh karena statusnya sebagai sekretarisku di kantor. Dan malam ini, semua mendadak berubah menjadi seorang pria dan wanita, tanpa latar belakang yang harus dijunjung untuk dipastikan.
“Butuh sesuatu sebelum balik?” Make it clear, rumahku.
“Nope.”
Kemudian sunyi. Mungkin dirinya juga merasa canggung tanpa label ‘sir’ seperti yang biasa ia gunakan kalau berbicara denganku.
Anne sendiri adalah rekan kerja Jaehyun, salah satu teman baikku ketika aku menjalankan perusahaan Papa yang ada di Australia, keluarganya adalah kolega Papa. Dirinya mengambil bagian sekiranya 40% bagian saham perusahaan. Perusahaan ini sepenuhnya bukan milikku.
Kalau dirinya punya kunjungan bisnis ke Indonesia atau kembali lagi ke Australia, aku selalu menyempatkan waktu untuk menemuinya.
Perusahaan Papa yang di Australia sampai sekarang masih berjalan, di ambil alih oleh satu Pamanku sebagai direktur utamanya.
Setelah banyak pertimbangan, permodalan yang cukup dan modal nekat kalau bahasa orang Indonesia, aku dan Jaehyun memulai dengan tanggung jawab sebesar 60% di tanganku. Jadi, kalaupun ternyata tidak berjalan sesuai yang telah di rencanakan, pergantian rugi ada padaku di angka 60%, dan dirinya di 40%. Not a big deal back then, jiwa bangsa Indonesiaku mungkin ketika itu merekat kuat, ‘modal nekat’ like a said. Kemudian, apabila berjalan sesuai rencana, keuntungan untukku ada di angka 60% dan ia di 40%, begitu kesepakatan diantara kami berdua. And yes, here we are.
Perusahaan ini sudah dibangun lebih dulu sebelum aku pindah ke Malibu dan di jalankan oleh Jaehyun bersama Anne yang ketika itu adalah sekretarisnya. Sekretaris rangkap teman dekat tanpa sekat kalau kataku. Ketika aku pindah, Anne kemudian menjadi sekretarisku, karena kebanyakan jadwal dan urusan kantor selalu berada dibawah tanggung jawabku.
Anne aktif berbincang. Ia bilang, ia lahir di Irlandia, besar sampai umur 11 tahun memudian pindah ke Amerika Serikat sampai akhirnya bertemu Jaehyun, sekali-kali mengunjungi Australia dan akhirnya pindah ke Malibu, California, ketika Jaehyun meyakinkan dirinya untuk jadi kaya raya. Well, there she is.
“Aku selalu jadi bahan ejekan teman-teman sekolahku dulu.” Ia tertawa kecil sembari memotong daging di atas piringnya.
“Oh ya? Kenapa?”
“My accent. An Irish, you know?”
Aku tertawa. Memang, jujur saja pertama kali mendengarnya berbicara dengan accentnya, aku sulit mengerti.
“Yep, i couldn’t got it at the first moment too.”
“Were you?”
“Yes. Hard to understand.”
“Sorry about that.” Ia tersenyum malu, menunduk.
“Tapi kamu tinggal lama di Amerika, accentsnya gak bisa ngikut?” Tanyaku, menuangkan sedikit wine kedalam gelasnya.
“Bisa, tapi tetep aja. It’s your first language.”
“Right.” Aku mengangguk.
Kemudian senyap tercipta barang sebentar, sampai ketika ia kembali bersuara. “Kamu masak ini semua sendiri?”
“Iya.”
“No way..”
“Why? Gak enak ya?”
“No. It such a masterpiece.” Matanya membulat. “Kamu harus buka restoran selain bangun perusahaan.” Aku terkekeh, ia terlalu melebih-lebihkan.
Sebenarnya, percakapan yang terjadi hanya sebatas keingintahuan formal. Soal keluarga, childhood memories, pekerjaan, riwayat sekolah, tidak ada yang berusaha saling terbuka untuk memulai membicarakan perihal kehidupan pribadi.
Or am i the one who’s dumb? Apa harus aku yang memulai? But, i’m not sure she would do the same way, or would she?
“Is she your.. wife?” Lamunku buyar, ketika telunjuknya mengarah ke bingkai foto yang pernah Nadit delisik ketika pertama kali menyambangi rumah ini.
“Yes.” Dirinya mengangguk. Tidak menimpali apapun. Bahkan tidak mengatakan bahwa dirinya cantik seperti yang Nadit katakan tempo lalu.
“Pretty, isn’t she?” Aku menopang daguku dengan telapang tangan, menatap Anne dengan senyum kecil, melempar tanya.
“Y-yes, of course. She is pretty, Kim.” Anne menolak menatap mataku, ia memainkan makanan sisa diatas piringnya dengan garpu. Ia juga tidak bertanya perihal foto anak kecil yang berada tepat di samping bingkai istriku.
“Kamu gak penasaran sama foto yang disebelahnya?” Kali ini, sebuah tanya tanpa ekspresi wajah.
Anne menoleh, menatap satu bingkai foto yang aku maksud kemudian.
“Bukannya itu kamu?”
Aku tertawa kecil. “Kamu punya pendirian kuat ya buat yakin kalau itu aku.”
Anne ikut tertawa. “He looks like you, Kim. I’m sure it’s you.”
“Padahal bisa jadi itu anakku yang mukanya mirip kaya aku, kan?”
Anne diam.
But the things that made me feel ain’t sure about this, is, that she didn’t asking for things. Bahkan sesederhana siapa anak kecil di foto itu, atau mungkin kenapa yang tertulis adalah ‘Mingyu’ bukan Kim yang acap kali ia sapa.
Wait.
Am i just comparing Anne with.. Nadit?
“Just kidding, Anne.” Ia terbahak kemudian. “It is me.”
Jam di dinding menujukan pukul 10, aku bangkit untuk mengantarnya kembali pulang. Melihatnya yang sudah siap berdiri di dekat pintu, aku urungkan niatku untuk buang air ke kamar mandi.
Aku tidak ingin membuatnya menunggu terlalu lama dan menolak masuk ke kamar mandi untuk menghabiskan waktuku barang 3 menit untuk buang air kecil.
“Let’s go.” Aku tuntun ia menuju mobilku dan berlalu memijak aspal jalanan menuju kediamannya.
Aku mainkan kakiku diatas pedal sesekali, menahan.
“You okay, Kim?”
“Yup. Kenapa memangnya?”
“You move a lot.”
Tidak menjawab, aku usap tekukku pelan.
Mobilku terhenti di halaman rumahnya, setelah lambaian kecil tanpa ucapan selamat malam, dirinya langsung masuk dan menutup pintu.
“Huft..” Aku buang nafasku, ada sedikit perasaan lega. Oh, mungkin karena akhirnya aku sama sekali tidak mengacaukan agenda malam ini, kan?
Aku putar stirku, keluar dari halamannya dan menyusuri jalan raya untuk kembali menuju rumah.
Malibu, bahkan belum sepi.
Jauh sebelum tiba dirumahku, supermarket yang siang tadi sempat aku kunjungi masih terang benderang, belum tutup. Mungkin 24 jam.
Mengingat soal adonan waffleku yang terlupa, aku memutuskan untuk bersinggah. Aku jamahi setiap sudut rak-rak besar disana. Ketika aku dapati kotak dan gambar familiar di depannya, langsung aku ambil sebanyak dua buah dan buru-buru beralih ke kasir.
Tidak lagi tahan.
Seorang gadis mulai mengarahkan alat scan ke barcode yang ada di kotaknya. Menekan-nekan di atas keyboard dan harganya langsung muncul di layar komputer.
Setelah membayar, buru-buru aku masuk kembali ke dalam mobil, meletakkan kantung belanjaan (yang terpaksa harus aku beli lagi karena terlupa) di kursi penumpang.
Aku diam sejenak.
Berfikir.
Dari sini menuju rumah yang jaraknya kira kira 7 kilometer, aku membutuhkan waktu setidaknya 10-15 menit. Di jalanan kota tidak boleh berkendara lebih dari 90 km/jam, dan aku tidak akan sanggup untuk menahan ini.
“Shit.”
Aku kembali melangkah masuk, menanyakan toilet dan dengan ramah ia beri tau kalau aku hanya perlu lurus menuju satu pintu di belakang sana. Toiletnya ada di bagian kanan setelah masuk, sambungnya lagi.
Dengan berlari kecil, aku akhirnya sampai untuk menarik kenop pintu, sesaat ketika terbuka, aku temukan seorang gadis yang tersungkur di atas lantai, juga lelaki yang menarik dagunya.
What the hell is going on here?
Tubuhku mendekat, berteriak “JERK!”
Pada detik awal, sama sekali tidak aku sadari bahwa perempuan dengan bau alkohol yang menyeruak dan yang terduduk disana adalah Nadit, ia tertunduk.
Saat aku berusaha untuk memastikan bahwa dirinya baik-baik saja, baru aku sadari bahwa gadis ini adalah sosok yang familiar. Aku membelalak, mengetahui bahwa Nadit terduduk sempoyongan, serta vest yang ia gunakan, sama seperti kasir yang melayaniku di depan tadi.
“Nadit, you okay? Hey? Hey? Shit, are you drunk? Nadit? Can you hear me?” Aku tepuk pipinya berkali-kali. Matanya mengerjap, ia mabuk berat.
“Who the fuck are you??!” Lelaki yang berjongkok di depan Nadit bermenit yang lalu, yang sempat aku tendang tubuhnya, kini bangkit. “Cuih.” Ia meludah, ada cairan merah yang ikut tertangkap manik mataku.
Tubuh Nadit aku angkat, aku kalungkan lengannya di bahuku, berusaha menyelesaikan semua dan membawa gadis ini pulang.
“I said who the fuck are you?” Desisnya menahan tanganku, menarik kerah bajuku dengan ekspresi seolah akan menghabisiku di tempat.
Aku tatap lama bola matanya yang merah, tidak ada bedanya amarah yang ada disana dan disini. Lama aku diam, sampai akhirnya mulai bersuara.
“Her boyfriend. What do you want… Robin?” Balasku setelah mendelisik melihat nametag di dada kanan lelaki ini.
“Leave her, and i’ll make you safe. Aku bakal biarin wajah kamu dalam keadaan sama sampe kerumah. Leave her.. with me.” Ia tekankan kalimat terakhirnya.
“Or what?”
“Or I’ll punch you straight in your face, YOU STUPID FAKIE BOYFIE! I KNOW YOU’RE LYING!”
“Listen. Kamu tau perusahaan ekspor impor yang kerjasama sama supermarket ini soal barang produksi dari luar negeri?” Dirinya tertawa.
“What is this? Cerdas cermat? You think i’m stupid? You think i didn’t know anything about this fucking city?” Ia membuang-buang waktu, aku tau Nadit sedari tadi terus mual dengan suaranya yang mengawang.
“Yes, you know who’s the owner? Kamu tau sama siapa kamu berurusan tiap bulannya buat ngisi stock barang di rak-rak reyot di luar sana?”
“Mr..Kim?”
“Yes. I am. Dan kamu tau, soal kerjasama kamu dan this stupid owner of Ralph? Soal biaya cukai yang enggak terpenuhi dan permainan kalian soal seludupan stock barang lain? I know every fucking thing you did, Robin. You touch her, i’ll close this goddamn supermarket and ended your whole life carrer! Cuih!”
Ia diam.
Aku bopong Nadit keluar kemudian. Namun tubuhnya terlalu pendek untuk aku kalungkan di tekukku. Pada akhirnya, aku angkat tubuhnya dan aku genggam erat lengan serta lututnya. Bridal carry, if you ever curious.
Aku bawa gadis ini cepat menuju mobil dan aku dudukan di kursi penumpang, seatbelt, dan aku benarkan posisi kepalanya. Aku putar stir keluar dari pekarangan dan kembali menyusuri jalanan.
It will be a long night.
-
Aku letakan satu tanganku di persneling sedang satunya mengenggam stir, ketika itu dapat aku rasakan kulitku beradu.
“No home.”
Alisku berkerut, bergantian menatap ia yang sempoyongan dan jalanan.
“What?”
Tangannya masih disana, di atas tanganku yang aku jatuhkan di persneling.
“No home.”
Apa?
“Sleepover.”
Aku hentikan mobilku di pinggir jalan sebentar, lagi-lagi terus menepuk pipinya. What the hell is going on with you, Nadit. Ini baru dua minggu setelah kejadian di Geoffrey’s dan gadis ini sama sekali tidak ada kapoknya.
“Hey?” Aku tepuk pipinya pelan. “Are you with me?” Dengan mata sayunya yang aku temukan dengan mataku, ia memupuk sendu. Air matanya mulai jatuh.
Dengan lirih, ia mendesis “No..home.. Please.”
No Home? Terus apa? Harus aku bawa ia kemana?
“Sleepover.” Cicitnya lagi, masih menangis.
“Kamu gak mau pulang? Atau kamu ada janji sleepover?”
Ia diam. Tersenguk dan menunduk.
“Hey? Are you okay?”
Dan detik itu, ia muntahkan segala isi perutnya.
Yup, mengotori seluruh bajunya, dan mobilku.
Aku terkesiap, aku ambil kantung belanjaan tadi, dan aku biarkan Nadit menikmati agendanya. Sekali-kali, aku urut tekuknya.
Lalu apa? Haruskah aku juga ikut mengotori mobilku dengan buang air kecil di dalam sini?
-
Setelah banyak pemikiran dan pertimbangan, aku putuskan untuk membawanya pulang.. kerumahku.
No home, sleepover?
Aku bahkan tidak bisa menemukan ponselnya, entah sleepover apa yang ia maksud. Aku tidak mungkin membawa tubuh sempoyongan ini ke rumah Vernon, sahabatnya. Atau Mark dan Somi, I have no idea where they lived.
Aku selesaikan urusanku terlebih dahulu setelah menggendongnya masuk menuju kamar, bahkan belum sempat menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
Ketika aku kembali lagi, sudah ia tarik sendiri selimut untuk menutupi setengah bagian tubuhnya, dan telapak tangan yang ia timpa dengan pipinya diatas bantal.
“What is going on with you, Na.” Cicitku, menarik lagi selimut untuk menutupi seluruh tubuh gadis dengan tulang pipi yang merona disana.
Bajunya belum diganti semenjak ia yang muntah tadi, I can’t do it. Besok pagi, aku akan meminta tolong kepada ART yang biasa aku bayar untuk datang setiap minggu. Dan juga mengganti sprei, karna aku yakin noda nya sudah merambat kemana-mana.
Ketika aku berbalik, seguk tangis menyambangi pendengaranku kembali. Ia menangis.
“Hey?” Sesaat ia temukan manik mataku menatapnya, ia terkejut di detik pertama. “You already with me or..?”
“Sleepover.”
“..still. Yup.” Dia masih dibawah pengaruh minuman yang di teguknya.
Aku melangkah mulai menjauh.
“Kamar kamu hangat, ya, Mingyu.” Suara seraknya menyambangi rungu, ikut beradu dengan alunan deru pantai diluar sana
“Setiap orang kamarnya pasti hangat, Nadit.”
“Kamu tau gak..” Aku mengkerutkan alis, melangkah kembali mendekat. Berdiri diatas lututku dan memperhatikannya menelentangkan tubuh menatap langit-langit.
“I like your lips.”
What?
“Eh?”
“Bahkan dari pertama kita ketemu di pinggir pantai pas malam itu.” Ia memutar tubuh, lurus menatapku, membuatku dua kali terkejut ketika jemarinya mulai mencari keberadaan apa yang barusan ia nyatakan.
“I never have my first kiss.” Matanya sayu, suara seraknya dengan intensitas kecil itu memekakan. “Tapi kamu pasti udah berkali-kali.”
Well.. I am a married man once, so.. yes, a lot.
Aku beranikan diriku mengelus puncak kepalanya, sedang ia disana masih menyentuh ranum bibirku dengan jemarinya.
“Tidur..” Sahutku.
“Are you a superhero, Mingyu?” Aku tertawa kecil.
“I’m not wearing a capes.” Jawabku. “Aku pake kemeja.”
“Not every superhero wearing a capes, you know? You can be the one.. Without a capes.” Suaranya masih parau, membunuh sunyinya gelap malam. Sekali-kali, deru air dari pantai dapat aku dengar menemani sendu suara miliknya.
“Am I the one?”
“Yes.” Jemarinya masih disana, dan tanganku masih ada di puncak kepalanya.
“You okay?” Cicitku. Ia menggeleng, kemudian satu butir air jatuh dari ekor matanya. “Wanna share it with me?” Ia lagi-lagi menggeleng pelan.
“Iya, gak papa. Tidur, ya, Na?”
Kelu, matanya menatapku dalam.
Percakapan ringan antara aku dan Anne, tidak menimbulkan deru kencang dari dalam dadaku. Ketika mataku dan mata Anne bertemu, tidak ada perasaan takut.
Tapi, kenapa ini kemudian menggangguku?
Dadaku mendadak sesak, tubuhku bergetar hanya dengan manik mata yang bertemu.
“Can I get my first kiss?”
Jantungku rasanya meledak.
Aku sunggingkan senyum kecil, kini aku tarik jemarinya dari bibirku, aku simpan dibalik selimut.
“Have a good dream, Na.”
Setelah melangkah menjauh dan keluar dari pintu, menutupnya rapat, aku buang nafasku yang tertahan cukup hebat didalam sana. Damn, that girl is something.
Aku senderkan pundakku pada pintu yang telah tertutup rapat, pandanganku aku lempar jauh ke atap.
Kalaupun aku harus, momen pertama itu tidak akan aku lakukan ketika ia ada dibawah pengaruh. Kalaupun harus, I will make it count. I will make the first moment of her kiss, be the one she’ll never ever forget.