twenty-five


Enam belas, seragam putih abu-abu, dan kehidupan menyenangkan tanpa beban. Melangkahkan kaki masuk dari gerbang sekolah hanya memikirkan soal PR Matematika yang tidak kunjung menemukan rampung. Mungkin itu yang sedikitnya Wonwoo pikirkan ketika duduk di bangku SMA.

Tidak, Wonwoo selalu menyelesaikan PR Matematikanya. Kecuali, satu orang di ujung sana yang sedang grasak-grusuk dan bahkan saat ini menulis dengan cara berdiri dan menempelkan bukunya di dinding. Bahkan dasinya hanya dikalungkan tanpa diikat rapi.

Mingyu, namanya Kim Mingyu.

“Geser dikit anjing gua kaga keliatan ntu nomor 3.” Wonwoo sudah terlalu biasa menonton pertunjukan semacam ini di tiap pagi harinya.

Bagi Wonwoo, sulit mendeskripsikan teman sekelasnya yang satu itu. Atau mungkin, agar menjadi cakupan sempit dan tanpa perlu bertele-tele, Wonwoo akan sebut dia berandalan sekolah.

Jangan tanya sudah seberapa familiar Wonwoo dengan wajah kedua orang tua Mingyu. Terkadang setiap dua bulan sekali, seorang lelaki paruh baya dengan setelan rapi akan berjalan masuk ke pekarangan sekolah, dengan alis yang mengkerut dan wajah yang kusut. Semua tau, itu adalah Ayah Mingyu. Lain halnya dengan Ibunya, wanita itu tetap akan menebar senyum, entah apa maksud dan makna dibalik itu.

Maka kemudian yang akan Wonwoo dengar dari mulut ke mulut adalah, “Mingyu ketauan merokok.”, “Mingyu cabut lewat belakang sekolah.”, “Mingyu alpa.”, “Mingyu ikut tawuran, tau.”, “Mingyu udah dua minggu berturut-turut gak ngerjain tugas.”, “Mingyu mau di drop out.”

Namun nyatanya, spekulasi yang terakhir tidak valid. Buktinya, anak itu saat ini masih dengan fokus menulis PRnya di dinding sana.

Dibalik itu semua, dengan label Wonwoo yang adalah seorang anak teladan dan patuh di sekolah, itu sama sekali tidak menganggunya. Wonwoo tidak pernah berdecak sebal kalau Mingyu harus ribut di kelas ketika dirinya sedang belajar sebelum ulangan harian di jam pelajaran berikutnya, Wonwoo tetap santai ketika Mingyu tidak sengaja melempar gumpalan kertas dan mengenai wajahnya, segala kelakukan Mingyu, tidak pernah mengusik diri Wonwoo sendiri.

“Dasi lo, pake yang bener.” Mingyu menoleh, kemudian mengapit buku catatannya di ketiak dan mulai menggapai dasi yang tadi sempat hanya dikalungkannya.

“Gabisa gue, pakein.” Wonwoo menatap lama dasi berwarna abu-abu di hadapannya yang sedang disodorkan. Dengan cepat, dirinya meraih dan berdiri, memakaikan dasi untuk satu teman sekelasnya itu.

“Kalau gabisa, terus selama ini yang pakein siapa?” Mingyu sedikit menunduk, menatap temannya yang sibuk mengikat dasi di kerah baju putihnya dan perbedaan tinggi diantara mereka.

“Nyokap.” Wonwoo mendengus dengan sunggingan kecil di sudut bibirnya.

“Kenapa?” Tanya Mingyu.

“Gak papa. Ngeliat kelakukan lo di sekolah tau-tau di rumah dasi dipasangin sama nyokap, yaa semua orang juga bakal ketawa.”

“Yaelah, emang anak kaya gue gak boleh dasinya di pasangin sama nyokap?” Kini, ada dasi yang sudah terikat rapi.

“Baju lo, masukin ke dalam celana.”

Alis Mingyu mengkerut. “Lo OSIS, ya?”

Wonwoo yang tadi berdiri, kini duduk meraih pena dan mulai menarik buku paketnya. Ia menggeleng. “Bukan.”

“Ngapain ngatur gue kalau gitu?” Helaan nafas jadi jawaban untuk Mingyu. Kini yang menghela nafas mendongak, bertemu wajah teman satu kelasnya.

“Biar rapi, Mingyu.” Kini bergantian, ada Mingyu yang menarik nafasnya, agak sedikit malas. Dirinya kemudian berjalan memutar, duduk di sebelah bangku Wonwoo yang kosong. Ia yang duduk memiringkan tubuh kali ini sempurna menatap lekuk wajah milik Wonwoo.

“Lo kenapa ambisius banget?”

Tanpa mengalihkan pandangannya dari buku paket, Wonwoo bersuara, “Soal?”

“Jadi yang paling-paling.”

“Emang salah kalau gue jadi yang paling-paling?” Mingyu sebal, dengan intonasi suara Wonwoo. Wonwoo yang tidak berekspresi memiringkan sedikit kepalanya, membuat ia kini sepenuhnya menoleh bertemu manik mata milik Mingyu.

“Gausah ngajakin gue kalau gitu.”

“Gak ada yang ngajakin lo.”

“Lo ngatur.”

“Urusan kemeja masuk ke dalam celana lo bilang gue ngatur?”

“Ya iyalah.”

“Kalau gak mau di atur gausah sekolah. Hidup di hutan aja sana.” Mingyu diam, memijit pelipisnya, agak tidak percaya dengan kalimat Wonwoo barusan.

Tanpa menjawab, Mingyu kini berdiri. Memutar tubuh dan berjalan menjauh. Di tengah langkahnya, ia terhenti, memutar tubuh, bertemu dengan kedua manik mata Wonwoo. “Makasih, dasinya.”

-

“Males ah.” Wonwoo membenamkan wajahnya di balik bantal sofa, ia merebahkan diri menghadap langit langit rumah.

“Anjir kapan lagi? Sekelas datang loh, Won.” Soonyoung menarik bantal yang tadi sempat menutupi wajah sahabatnya. Menurut Wonwoo, Kunjungan Soonyoung ke rumahnya untuk memberikan kabar barusan bagikan petir di siang bolong.

“Gue gak datang.”

“Datang, lo harus datang.” Soonyoung bangkit, berlalu dan berniat melangkah menuju dapur, namun sejenak terhenti. “Anjir, Won? Jangan bilang?”

“Enggak.”

“Enggak apanya? Terus alesan lo gak mau dateng apaan?”

“Yaaaa..” Wonwoo menyilangkan tangannya di depan dada. “Gue mager aja. Lo bayangin, gue harus milih baju, nyari topik buat ngobrol, belum lagi kalo ditanyain soal ‘kapan’, jujur, gue males banget, Nyong.”

Soonyoung menggelengkan kepala. “Lo gausah mikir yang ampe kesana kali. Maksud gue, itu cuma spekulasi lo aja. Belum tentu apa yang lo pikirin barusan beneran kejadian. Enjoy aja kali, Won. Have fun.” Kali ini Soonyoung memutar malas kedua bola matanya dan melangkah pergi menuju dapur, membuka kulkas.

“Lagian ya, masa sih, setelah bertahun-tahun lamanya, lo gak mau ketemu dia?” Wonwoo menoleh melihat sobat karibnya itu meneguk satu jus kotak yang telah ia tuang di dalam gelas. “Apa gak kangen?”

Sialan.

Jangan tanya Wonwoo perihal itu, setiap detik hidupnya bahkan sampai saat ini pun, tidak bisa ia pungkiri bahwa masih ada perasaan merindu di lubuk hatinya terhadap satu orang spesial yang bahkan tanpa di sebutkan pun, semua orang tau siapa sosoknya.

“Yakin lo? Gak dateng?” Kini Soonyoung duduk bersebrangan dari posisi duduk Wonwoo. Melipat kaki dan memeluk bantal, serta satu alisnya yang menungkik tajam, berusaha mencari validasi dari rekannya, bahwa memang, ‘Mager’ hanya alibi semata untuk kabur dan bersembunyi.

“Besok?” Soonyoung mengangguk.

“Ikut?”

“Jemput gue.”

Atas permintaan Wonwoo, pada esok hari, mobil Soonyoung dengan rapi terparkir di halaman depan rumahnya. Dengan gaya kasual, Wonwoo langsung duduk di kursi penumpang, membiarkan temannya yang satu itu membawanya menuju lokasi reuni.

Di Jakarta Pusat, ada semacam Restoran dengan tema makanan khas nusantara, Seribu Rasa. Wonwoo duduk di sana dengan menunduk, memainkan jemarinya dan menolak bertemu tatap beberapa teman SMA yang bahkan sudah hadir disana.

Soonyoung tenggelam jauh dalam perbincangan. Tawa akibat menapak tilas bagaimana kejadian kejadian di masa lalu, serta banyaknya kenangan yang rasanya sayang kalau tidak di ungkit kejadiannya.

Wonwoo hanya menghadiahkan senyum tipis, tidak mampu tertawa dengan lepas, ia hanya mendengar, sesekali mengangguk bahkan enggan untuk ikut menimpali. Padahal, di ingatannya, ia ada disana, dibeberapa kenangan manis masa putih abu-abu, dan bagaimana masa-masa itu mampu membawa euforia yang menjadi sebab akibat akan debar jantungnya.

Satu teman Wonwoo menyahut, mengangkat tangannya ke udara, menyambut kedatangan seseorang. Kini Wonwoo pun ikut menoleh. Langkah kakinya serta eksistensi yang di tangkap manik mata Wonwoo, selalu sama, bahkan setelah beberapa tahun berlalu, sosok itu, seakan-akan masih sama seperti mereka di umur enam belas tahun.

-

“Mingyu!” Soonyoung berdiri cepat ketika mendapati eksistensi Mingyu yang melangkah memasuki kelas. Ia sibuk dengan dasinya.

“Apa lagi?”

“Yaelah, lu mah.”

Alis Mingyu mengkerut hebat. “Apaan si, Nyong? Mending lo daripada banyak bacot lo iketin nih dasi gue.”

Alis Soonyoung tidak kalah berkerutnya disana, menatap sang teman dari atas sampai bawah. “Lo.. gabisa ngiket dasi?”

“Gausah banyak tanya, iketin.”

Soonyoung memutar bola matanya malas. “Mending nih ye, lo perhatiin nih satu kelas..” Ia merangkul pundak Mingyu, menunjuk ke seluruh sudut kelas. “..Siapa yang dasinya paling rapi, coi?”

Pupil mata Mingyu menangkap milik Wonwoo.

“Yak betul. Sono, ama Wonwoo.” Ia menepuk bahu Mingyu berkali-kali, dan tanpa dosa berjalan meninggalkan dirinya keluar dari kelas dan berlalu entah kemana.

“Nyong! Woi!”

Mingyu berdeham, ketika sahutannya tidak mampu mendistrak satu temannya yang sudah berlarian entah kemana. Dengan santai, dirinya berjalan menuju bangkunya sendiri yang tepat membelakangi Wonwoo.

“Gak mau gue iketin nih jadinya dasi lo?” Bulu kuduk Mingyu berdiri, padahal ia yakin bahwa Wonwoo sama sekali tidak berbisik di telinganya.

Mingyu lantas memutar tubuh menatap Wonwoo di belakang, “Lo mau?”

“Ya kenapa enggak? Kemarin juga gue iketin.”

Dirinya berbalik sekejap, berbicara pada dirinya sendiri. Si bodoh Mingyu, bahkan urusan kecil semacam mengikat dasi harus jadi alasan di balik sebuah kalimat : ‘daripada gue di marahin, mending..’

Mingyu kembali memutar tubuh kebelakang. “Yaudah sini, iketin.”

Alis Wonwoo berkerut. “Yang butuh gue, apa lo?”

“Ah! Lo banyak pertimbangannya urusan dasi kaya gini.”

“Yaudah, terserah.”

Setelahnya Mingyu diam, menimbang banyak pilihan di kepalanya dengan kaki kanan yang terus menerus terhentak.

“Hansol! Pasangin dasi gue.” Seorang lelaki dengan wajah ke-bule-bule-an mengkerutkan wajah dengan bingung.

“Apaan sih lo, malu sama surat peringatan. Udah numpuk malah gabisa ngiket dasi.”

“Anjing lo sensi banget kenapa dah? Datang bulan?” Mingyu membuang kasar nafasnya.

“Chae, iketin dasi gue dongg~” Kali ini ia memanyunkan bibirnya, memohon pada satu gadis yang sedang asik membaca novel remaja di sudut kelas.

“Gue cewe anjir, gak pake dasi kaya lo.”

Kini Mingyu buntu. Banyak, ada banyak pilihan sekarang, hanya saja tidak ada harapan di tiap-tiap pilihannya.

Dengan memutar bola mata, helaan nafas pelan, ia bangkit dan berdiri di sebelah meja Wonwoo. Mengetuk dengan tangan yang mengepal dan membuat Wonwoo terkesiap, mendongak menemukan Mingyu yang berdiri dengan wajah memelas.

“Pasangin.”

“Tolong..”

“Ah elah, lu mah..” Entah untuk keberapa kalinya Mingyu membuang nafasnya terus-menerus, dan akhirnya bersuara, “Tolong pasangin dasi gue, Wonwoo.”

Tanpa satu ekspresi pun, Wonwoo berdiri, mulai mengikat dari sini ke sana. “Itu basic manner, Mingyu. Tolong, Maaf, Makasih.” Jelas Wonwoo pelan, kemudian diam dan fokus.

“Lagian lo kenapa sebelum sekolah gak minta tolong nyokap lo pasangin dasi, sih?” Sambung Wonwoo. Mingyu menolak menatap orang di hadapannya, memilih menatap lurus ke arah jendela kelas yang menjurus lurus menuju lapangan upacara sekolah.

“Nyokap gue udah berangkat kerja dari jam 6.”

“Di rumah lo emang gak ada pembantu?” Kali ini, dengan alis yang menungkik tajam, ia tatap sosok satu itu dengan terkejut, tidak percaya atas pertanyaannya barusan.

“Lo kira gue anak konglomerat?”

“Emang bukan?”

“Gila kali lo, Won. Kaga!”

“Oh, kirain.”

Wonwoo mundur berapa langkah, menatap hasil lipat melipat dasi yang kini sudah sepenuhnya terpasang dengan rapi di kerah baju Mingyu. Dirinya mengangguk pelan, mengamati hasil karyanya sendiri. Ya, setidaknya sebelum terlepas dan tidak lagi menjadi bentuk dasi pada umumnya ketika jam istirahat nanti.

“Udah nih?” Mingyu menunduk berusaha menemukan dasi di kerah bajunya yang sudah dipasang.

“Udah. Beres.” Wonwoo bersiap untuk duduk.

Dengan sedikit dehaman kecil, dan tangan kanan yang mulai masuk ke dalam kantong celana, serta elusan di tekuk, Mingyu bercicit, “Makasih..”

Tanpa menoleh barang sedikit pun, Wonwoo menggumamkan kata ‘sama-sama, Mingyu.’ bahkan agak sedikit sulit didengar oleh pendengaran Mingyu sendiri.

Tukainya kini bergerak ingin melangkah pergi, namun terhenti ketika satu suara meraup indra pendengarannya kembali.

“Mingyu..” Wonwoo, suara Wonwoo.

“Iya?”

Wonwoo diam cukup lama, menimbang haruskah ia bertanya perihal rasa penasaran di kepalanya.

“Gue denger dari Soonyoung, sore ini lo mau tawuran?”

Pertanyaannya akhirnya meluncur.

Bangsat, Soonyoung. Batin Mingyu.

“Hah? Mana ada.” Mingyu terkekeh, mengibaskan tangannya di depan wajah.

“Lo gak capek apa, Gyu, nyari-nyari masalah terus? Padahal masalah gak di cari juga dateng sendiri.”

“Gue gak mau tawuran. Apaan sih lo, Won. Ngaco.”

Di sana, dapat Mingyu lihat bagaimana frustasinya helaan nafas milik Wonwoo. “Gue bukan siapa-siapa sih emang, tapi gue temen lo. Gue gak mau lo harus nyakitin banyak perasaan, Mingyu. Terutama nyokap dan bokap lo yang udah capek ngeliat kelakuan lo.”

“Lagian biar apa sih tawuran? Lo mau mencari validasi kah dari orang-orang bahwa lo itu keren? Atau masalah yang gak kelar-kelar dari zaman kapan tau sama sekolah seberang? Yang bahkan gak masuk di akal sampe-sampe harus tawuran?”

Mingyu masih memberikan ruang untuk Wonwoo berbicara.

“Masih ada banyak waktu buat lo memperbaiki diri dan buang kebiasaan gak jelas lo kaya gitu. Gue gak berusaha ngatur hidup lo, disini gue cuman..” Wonwoo menggantungkan kalimatnya sejenak. “..gue cuman gak mau lo kenapa-napa.”

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa gak mau gue kenapa-napa?”

“Ya siapa yang rela ngeliat temennya kenapa-napa?”

Mingyu mengangkat cepat bahunya, “Hansol rela kok ngeliat gue kenapa-napa.”

“Sol!” Panggil Mingyu memanggil satu temannya yang saat ini sibuk dengan ponsel.

“Paan?”

“Gue kalo kenapa-napa pas tawuran lo rela gak?”

“Bukan urusan gua.”

Mendengar jawaban yang baru saja tercetus lewat mulut Hansol, Mingyu kembali mengalihkan pandangnya kepada Wonwoo dengan satu alis yang menungkik. “See? Hansol aja gak peduli.”

Kini Mingyu berjalan mendekat beberapa Langkah. “Lo harusnya kasih alasan yang jelas, Wonwoo. Soal kenapa lo yang gak rela temen lo yang satu ini kenapa- napa pas tawuran. Atau mungkin alasan jelas yang lain, kenapa gue gak harus nyerang sama temen-temen gue di saat lo cuma sekedar temen sekelas gue yang kerjaannya tiap hari mantengin buku paket gitu.”

Kali ini, giliran Wonwoo yang diam.

“Awas, nanti kacamata lo bisa-bisa makin tebel.”

Wonwoo diam bukan karena menimbang bahwa perkataan Mingyu sepenuhnya benar soal dirinya. Ia diam, karena ia tidak akan menemukan titik henti dalam berargumentasi dengan Mingyu yang keras kepala itu.

Acuh. Ia hanya menatap punggung Mingyu menghilang dari balik daun pintu, kemudian kembali bertumpu pada buku paket di hadapannya.

Sebagai teman, memangnya salah kalau Wonwoo sedikitnya khawatir terhadap perangai berandal seorang Mingyu? Sebagai teman, ia juga sedikitnya mengharapkan yang terbaik. Selalu. Entah itu Mingyu, maupun teman temannya yang lain yang mengambil andil dalam hari-harinya.

Di sore hari, dengan satu jajanan yang sedang dikunyah Wonwoo dan sebotol air mineral yang sama sekali belum terbuka segelnya, ia temukan Mingyu duduk di trotoar pinggir sekolah bersama Yugyeom, teman sepatarannya dari kelas sebelah. Mungkin sedang menunggu rombongannya yang lain.

Langkah Wonwoo mendekat, membuat Mingyu dan Yugyeom mendongak menatap Wonwoo yang berdiri tegak, masih mengunyah.

“Lo ngapain disini?” Mingyu terkejut, jujur saja.

Bukannya menjawab, dirinya kemudian menyodorkan sebotol air mineral tadi yang sama sekali belum ia buka segelnya, membuat Mingyu maupun Yugyeom menungkikan alis dengan tajam, kali ini bingung.

“Biar semangat tawurannya.” Keduanya yang masih duduk di trotoar otomatis menunjukan raut wajah aneh dan mempertanyakan apa yang Wonwoo maksud. “Nih, ambil.” Ulang Wonwoo lagi.

“Apaan sih lo?”

“Yaelah, dibilangin supaya tawurannya makin semangat. Ambil.” Air Mineral yang di sodorkannya tidak kunjung berpindah tangan, maka Wonwoo tinggalkan di atas jalanan beraspal, tepat di ujung sepatu hitam legam milik Mingyu, kemudian ia memutar tubuh berlalu.

“Won!” Acuh, si empunya nama terus melangkahkan kaki menjauh. Sampai ketika pendengarannya mendengar langkah lain yang mengikuti.

“Maksud lo apaan?” Kini, ada satu lelaki yang lebih tinggi dari Wonwoo yang berjalan bersampingan.

“Apaan?”

“Dih?”

“Gue dukung lo buat tawuran, salah lagi?” Wonwoo terpaksa harus menghentikan langkah kaki tatkala tubuh besar Mingyu berhenti tepat di hadapannya, menghadang.

“Tadi pagi gue ngelarang lo gak suka, ini gue dukung lo juga gak suka? Ekspresi muka lo sama aja dari yang tadi pagi sama sekarang.”

“Lo aneh, tau gak?”

“Enggak. Gak mau tau juga gue. Minggir.” Langkah yang di ambil Wonwoo dari samping kanan Mingyu, tetap di halangi, begitupun sebaliknya. “Kali ini apa lagi mau lo?”

“Lo tau gak, dengan sarkasme lo barusan, gue jadi gak punya semangat lagi buat nyerang sama temen yang lain.”

“Bagus dong kalau gitu.”

“Bagus?”

“Iya, bagus.”

“Lo ini kenapa sih, Won?”

“Gue kenapa? Emangnya ada yang salah?”

“Lo siapa, Wonwoo? Apa ranah lo sampe harus bertingkah kaya gini?”

“Loh? Ranah gue sebagai temen lo buat ngedukung segala passion yang lo bangun, salah? Passion lo kan tawuran.” Mingyu mengacak rambutnya kasar, menggigit bibir bawahnya. “Lo gak perlu nanya gue siapa, Mingyu. Lo gak perlu mempertanyakan ranah gue apa sampe harus ngelakuin ini. Karna kalau gak ada yang mulai buat nyadarin lo, lo bakalan tersesat dan gak nemuin jalan keluar sama sekali.” Sambung Wonwoo.

Kini, ada yang redam di sudut hati.

“Minggir, gue mau pulang. Lo lanjutin aja agenda lo, kasian ditungguin Yugyeom.”

Wonwoo mungkin benar, Mingyu adalah salah.

-

Pelajaran Kimia pada pagi hari yang tenang mendadak jadi sedikit ricuh akibat sahutan demi sahutan yang ditimbulkan oleh beberapa siswa dan siswi ketika mendapati eksistensi seorang Kim Mingyu yang duduk dengan tenang tanpa beban di bangku kelasnya. Tidak terkecuali, pak Bambang, seorang guru Konseling yang menatap Mingyu tidak percaya.

“Saya bermimpi, kah?” Sahut lelaki dengan tubuh gempal yang berumur kira kira 40 tahun keatas itu ketika melihat Mingyu.

“Kenapa, Pak?” Seseorang yang sedang jadi puncak perbincangan seluruh antero sekolah pun mendadak bingung.

Pak Bambang menepuk kedua pipi Mingyu pelan secara bergantian.

“Kamu.. Mingyu, toh?” Logat kental Jawa nya tidak hilang.

“Y-Ya iya, Pak. Saya Mingyu.”

“Loh..”

“Kenapa sih, Pak?”

“Kok kamu disini, toh? Ndak di kantor Polisi?”

“Lah? Ngapain saya di kantor polisi, Pak? Ditilang juga enggak.” Pak Bambang mengelus dagunya pelan, masih menatap Mingyu yang dirinya sendiri juga sedang kebingungan.

“Kamu kabur dari kantor polisi, ndak to?” Mata Mingyu membulat, tidak percaya atas pertanyaan yang baru saja di lemparkan oleh guru dihadapannya.

“Yah.. si bapak ngaco. Lagian saya ngapain pak di kantor Polisi? Kurang kerjaan aja saya pak.”

“Lhaa.. bukannya biasanya itu kerjaan kamu?”

“Apa pak?”

“Kamu tau ndak? Yugyeom dan geng-geng kamu itu di tangkap polisi kemarin sore gara-gara tawuran? Lha kamu ketua gengnya kok malah disini duduk enak.”

“Lho, kok malah saya ketua gengnya sih, Pak? Mana ada.”

Guru Kimia yang awalnya mengajar dan menulis di papan tulis, kini ikut terjun dengan permasalahan yang sedang terjadi.

“Lho.. bukan kamu toh, ketua gengnya?”

“Bukan, Pak.” Pak Bambang memanyunkan bibirnya sambil mengangguk, tidak membuang tatap pada satu siswa di hadapannya.

“Lha terus kamu disini ngapain?”

“Yaelah pak, Disekolah ngapain sih pak? Main kelereng?”

Bincang demi bincang yang sedang terjadi di depan sana, menghadirkan sedikit senyum di kedua sudut bibir Wonwoo.

Pada jam istirahat, ketika Wonwoo baru saja keluar dari bilik kamar mandi, ditemukannya kepulan asap yang berasal dari bilik lain. Membuatnya mendobrak pintu dan menemukan seorang Mingyu yang sebegitu paniknya sampai membuang puntung ke dalam toilet.

“Anjing!” Mingyu mengelus dada, menopang tubuh pada dinding. “Tai lo, kaget gue!”

“Lo gak ketangkep tawuran tapi malah ngelunjak ngerokok di kamar mandi.” Sosok tinggi itu keluar, sedikit menyenggol bahu Wonwoo dan mencuci tangannya di wastafel.

“Mumet gue.”

“Kenapa? Karena gak ikutan ketangkep?” Kini tubuh tingginya berbalik menatap Wonwoo.

“FYI aja nih ya, gue gak ikutan bukan karna apa yang lo bilang kemaren, tapi emang karna lagi males aja sama anak-anak. Jadi jangan berbangga hati.”

“Terserah.” Wonwoo mengangkat tinggi bahunya. “Yang penting, gue bangga sama lo. Apapun alasan dibalik ke-tidak-ikut-serta-an lo sama agenda kemarin.” Ia berbalik, hendak meninggalkan kamar mandi.

“Won..” Dan tubuhnya mendadak terhenti, berputar kembali, menemukan Mingyu. “Kantin, mau gak?”

“Ayo.” Wonwoo melangkah dan berlalu cepat, memimpin di depan di ikuti Mingyu yang ikut melangkah di belakang.

“Won..” Wonwoo lagi lagi berhenti secara mendadak dan memutar tubuhnya, sedang orang yang mengikuti dirinya hampir secara kencang menabrak.

“Apa lagi?”

“Hmm..” Mingyu mengelus tekuk. “Gue tuh.. Biasanya pulang sekolah makan nasi goreng kampung di Seribu Rasa..”

Alis Wonwoo mengkerut. “Terus? Hubungannya sama gue?”

“Sebenernya gak biasanya juga si, cuman kalau lagi kepengen gue pergi sama Yugyeom.”

“Poinnya?” Mingyu menunduk, enggan menatap lawan bicaranya.

“Gue paling anti nongkrong sendiri. Jadi.. ikut gue? Mau gak? Ntar pas pulang sekolah. Gue lagi pengen nasi goreng kampung-nya Seribu Rasa..”

Kedua alis Wonwoo terangkat, ia mengangguk pelan, kemudian menyahut. “Kalau dibayarin.” Langkahnya cepat meninggalkan Mingyu.

“Gampang! Ikut ya?”

Tidak menjawab, Wonwoo hanya mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi ke udara, tanda bahwa ia setuju.

-

Pada satu sudut restoran paling terkenal dengan menu khas Nusantara itu, dua orang mengambil tempat, dengan canggung berdiam diri.

Wonwoo kemudian meletakkan tas ranselnya ke atas meja, membuat orang di hadapannya memasang raut wajah bingung karena Wonwoo malah mengeluarkan beberapa buku catatan dan buku paketnya.

“Lo mau belajar?”

Setelah menurunkan tasnya kembali dan meletakkannya di kursi kosong sebelahnya, Wonwoo bersuara, “Latihan yang disuruh Bu Revin tadi tinggal satu nomor yang belum gue selesain, keburu bel istirahat kan tadi, terus di jadiin PR.”

Wonwoo bahkan tidak mendongak ketika pelayan mulai meletakan daftar menu di atas meja, hanya Mingyu yang sibuk menerima dan tersenyum sembari menggumamkan kata terimakasih.

“Yaudah kan judulnya Pekerjaan Rumah, bukan Pekerjaan Restoran.” Ucap Mingyu. Kalimatnya barusan otomatis mendistrak si lelaki dengan kacamata yang duduk di tulang hidungnya, ia diam cukup lama.

“Masuk akal.” Balas Wonwoo. “Tapi tanggung, satu lagi.”

Mingyu menyerah, ia hanya membuang nafasnya pelan sembari membuka menu dan mulai menulis pesanannya sendiri.

“Lo mau apa?”

“Samain aja.”

“Lah..”

“Iya, samain aja sama yang lo pesen.”

Lagi-lagi, helaan nafas menyambut pendengaran Wonwoo, Mingyu smenuruti keinginan satu orang di hadapannya yang bahkan sedari tadi hanya sibuk berkutat dengan buku dan angka disana, pelajaran Matematika.

“Pedes gak?” Dirinya melempar tanya, gelengan kemudian menjadi jawaban yang Mingyu terima.

“Ni serius ya sama, gue gak mau nerima koment—”

“Iya. Sama.”

Lenggang, Mingyu agak lama menatap Wonwoo yang sedikitpun sama sekali tidak berpaling dari bukunya, memanggil Waiter Staff dan menyerahkan apa-apa yang jadi pesanan mereka.

“Lo seneng banget belajar?”

Wonwoo mengangkat tinggi bahunya, “Bukannya emang kewajiban? Bukan berdasarkan seneng atau enggak?”

“Ya iya sih, cuman masa di segala kondisi lo menghalalkan berbagai cara cuman buat nyelesain satu nomor doang?”

Akhirnya, Wonwoo menarik pena dari putihnya kertas dan menutup catatannya. Menyelipkan di dalam buku paket tebal kemudian menegak satu gelas air putih yang sudah semenjak tadi disuguhkan.

“Kalau dirumah, biasanya gue udah males dan ujung-ujungnya tidur.”

“Oh..” Mingyu mengangguk kecil. “By the way.. Makasih ya udah mau temenin gue.”

Wonwoo hampir menyemburkan air yang tertampung di dalam mulutnya, sedikit tersedak dan terbatuk.

“Gampang ya lo ngucapin makasih ternyata.”

“Emang tampang kaya gue salah ya kalau gampang ngucapin makasih?”

“Y-ya enggak, cuman.. Agak aneh aja.” Anak laki-laki dengan kacamata itu membuang pandangannya jauh keluar jendela, enggan menatap lawan bicaranya.

“Kan basic manner? Maaf, Tolong, Makasih, iyakan?” Wonwoo tersenyum kecil sembari mengangguk. Benar, Basic Manner. Dan kalimat yang selalu Wonwoo suka, Manners maketh man.

Senggang mengudara cukup lama. Mingyu sibuk bersama ponselnya, dan Wonwoo yang sibuk mengamati interaksi orang-orang di luar jendela sana.

“Yugyeom sama temen-temen yang lain di drop out.” Pernyataan Mingyu sontak membuat Wonwoo membulatkan matanya serta mulut yang menganga tidak percaya.

“Sumpah lo?” Anggukan kecil di terima Wonwoo. “Terus gimana?”

“Ya terus gimana? Ya di keluarin.”

“Lagian sih. Biar apa coba pake acara tawuran-tawuran gitu? Dipikir keren? Enggak sama sekali.”

“Lo kan gak tau latar belakang permasalahannya, Won.”

“Ya emang setiap permasalahan harus diselesaikan dengan tawuran kaya gitu?”

“Ya terus? Harus pake apa? Lagian ya, yang selalu ngajakin ribut tuh anak sekolah yang sana. Anak-anak kita mah kalem.”

“Kalem tapi tetep aja di ladenin. Ckckck.”

Seribu Rasa, namanya. Sebuah restoran yang selalu jadi favorit Mingyu tidak hanya di akhir pekan. Untuk pertama kalinya, ada teman lain yang bersedia duduk dan jadi lawan bicara anak keras kepala dan berbagai perangai yang membangun dirinya.

Argumentasi, alis penuh kerut serta ekspresi dan raut wajah bingung. Setidaknya, semua hal yang tidak memiliki bumbu manis mampu menjadi larik awal sebuah benang panjang dengan banyak simpul serta kusut yang menjadi lampiran hidup keduanya.

Seribu Rasa, mungkin lagi Seribu makna, atau, Seribu cerita.

-

Itu adalah yang paling Wonwoo ingat. Bagaimana sosok ini yang sekarang sudah sepenuhnya duduk tepat di hadapannya dan saling melempar canda dengan temannya yang lain.

Waktu, benar-benar yang paling egois. Tidak mau ditunggu dan akhirnya berlalu.

“Won..” Sapanya.

“Hai. Apa kabar?”

Ia mengangkat bahunya tinggi. “Never been this good.”

Good for you.” Senyum yang tidak mampu tertanggal menghiasi wajah Wonwoo.

“Eh woi. Foto dulu dong fotooo.” Soonyoung mengeluarkan ponselnya dari kantong. “Sol, Sol. Ambil dari sono.”

“Ah elu, nyusahin mulu dari jaman sekolah.”

“Yaelah, sekali-kali inimah kapan lagi coba tetep ngumpul walaupun udah bangkotan.” Hansol memutar malas bola matanya, tetap menerima ponsel yang Soonyoung sodorkan.

Hansol kemudian mengangkat tinggi layar ponsel, memantulkan figure orang-orang yang hampir bertahun tidak lagi bercengkrama. Yang tidak lagi saling melangkah di lapangan upacara dengan celana abu-abu, yang tidak lagi saling melempar jawaban ketika ujian dari sana ke sini, yang tidak lagi cabut saat jam pelajaran menuju kantin, dan yang tidak lagi berlarian di koridor sekolah menghindari satu guru BK karena alasan razia dadakan.

Waktu, memang benar-benar tidak mau ditunggu.

Wonwoo memajukan tubuhnya, merapat kepada teman-teman yang lain agar dirinya terpantul di dalam kamera. Namun, secara tidak sengaja, ia harus mengelus pelan kepalanya serta sebuah ringisan, akibat serudukan kepala orang lain di depannya yang tidak mau kalah untuk muncul di dalam kamera, Mingyu.

Sorry, Won.”

-

“ANJING KIM MINGYU!” Soonyoung meringis memegangi bahunya, tidak terkecuali beberapa orang yang tertidur di lantai, lebih tepatnya akibat tertimpa tubuh besar seorang Mingyu.

“Lagian lo kenapa harus manjat kursi sih, pe’a.” Yang di salahkan mengelus dahinya, dirinya pun sedang meringis kesakitan.

“Gua gak keliatan, bangsat. Itu adalah satu-satunya cara supaya gue keliatan di foto.”

Tidak terkecuali Wonwoo, memegangi kepalanya. Ia yakin, kepala Mingyu membenturnya sebelum semua orang-orang ini tersungkur ke lantai dengan tubuh Mingyu yang bertahta di paling atas.

Pada hari ini, siswa dan siswi bersuka cita. Sekolah libur belajar, mereka hanya memainkan games dengan lawan antar kelas untuk merayakan hari ulang tahun sekolah.

Hari ini, sekolah lebih bebas dari biasanya.

Dan yang membuat acara ini lebih unik adalah, ulang tahunnya, bertepatan dengan hari valentine, 14 Februari.

“Nyong..” Selepas kejadian tadi, Mingyu menepuk bahu Soonyoung yang berdiri di daun pintu kelas. “Jihoon tuh..” Dagu Mingyu menunjuk satu lelaki disana yang sedang bercengkrama sambil terbahak entah menceritakan apa dengan temannya yang lain.

“Tau gue Jihoon, terus apa?”

“Lo gak nyiapin apa-apa?”

“Nyiapin apa?”

“Ini 14 Februari, anjir.” Soonyoung mengerutkan alisnya.

“Tau gua, terus apa?” Mingyu memijit pelipisnya pelan.

“Kasih apa kek, coklat kek.”

Soonyoung yang tadi berdiri menyamping tidak mau menatap Mingyu kini akhirnya berhadapan. “Lo sendiri?”

Mingyu mendengus sambil tertawa kecil. “Gua mau ngebet siapa pake acara beli coklat?”

“Auk deh siapa kali. Lo kan anaknya paling gak bisa di tebak.”

Di lain sisi, Wonwoo dengan satu novel di tangannya memperhatikan dua anak manusia yang sedang berbincang di muka pintu sana. Atau, beberapa temannya yang dengan suka cita menceritakan bagaimana sebuah kisah anak remaja yang mampu menggelitik perut.

Dan ia tidak peduli.

Berusaha tidak mau peduli.

Mungkin menyenangkan membayangkan bagaimana lucunya kalau ternyata diam-diam ada orang lain yang menyukainya. Tapi, Wonwoo sendiri paham bagaimana perangai yang tumbuh di dalam dirinya sendiri. Tidak ada yang mau dengan seseorang yang menghabiskan waktu berjam-jam menghitung dalam pelajaran matematika, atau seseorang yang menghabiskan waktu membaca novel remaja di sudut kelas.

Wonwoo terlalu cupu dan kisah kisah remaja penuh kupu-kupu itu tidak mungkin terjadi pada dirinya.

Maka, ia lanjutkan agenda agenda membosankannya dengan mengurangi harap.

Hidup manusia memang tidak henti-hentinya di penuhi dengan ragu, ke-tidak-mungkin-nan yang dielu agar harap tidak tumbuh dengan subur, serta acuh pada banyaknya tanda dunia.

Maka Wonwoo akhirnya terdiam, ketika menatap satu coklat di lokernya pada siang hari ketika jam sekolah sudah selesai. Mendelisik berusaha menemukan hadir entah siapapun, nihil.

Wonwoo meraihnya, dengan senyum kecil memasukannya ke dalam tas dan melangkah meninggalkan kelas, sembari menerka, siapa tokoh yang akan jadi pokok pikirannya selama satu minggu kedepan, atau mungkin, lebih.

-

Wonwoo punya les tambahan di penghujung minggu kala itu. Langit sama sekali tidak berwarna dan hanya di dominasi oleh abu, mendung. Dirinya buru-buru berlari menuju halte bus terdekat tatkala rintik kecil hujan mulai jatuh, dan benar saja, ketika langkahnya terhenti di tempat tujuan, hujan turun dengan derasnya.

Ia mengangkat tangan kirinya dan menedelisik jam tangan yang melingkar disana, “Kira-kira bus terakhir datangnya lama gak ya?”

“WONWOO!!” Wonwoo sontak menoleh, mendapati sosok tinggi Mingyu yang sedang mengangkat ranselnya di atas kepala, agar terhalang dari hujan.

“Lo ngapain disini, Mingyu?” Mingyu memukul tasnya beberapa kali, membersihkan rintik hujan yang tadi memupuk disana.

“Gue?“ Sembari duduk dan melipat kaki, ia sadarkan pundaknya. “Abis main.”

“Dari pulang sekolah tadi?” Anggukan dari sosoknya jadi jawaban yang Wonwoo terima. “Lo main apaan dari siang sampe sore gini baru selesai?”

Mingyu mendengus dengan sunggingan tawa di bibirnya, menatap Wonwoo yang terus berdiri semenjak tadi ia sampai di halte. “Ya main, namanya juga main, ya kali main cuma lima menit.” Jawaban agak ketus dari Mingyu hanya menghadiahkan putaran bola mata malas dan tatap yang enggan berjumpa, Wonwoo lebih memilih menatap air yang jatuh dari langit sana.

“Lo betah banget berdiri, duduk.”

“Ya biasa aja nyuruh duduknya.”

“Nyuruh biasa aja tuh yang kaya gimana?”

“Ya menurutlo aja nyuruh yang biasa aja kaya gimana.” Kini, tangan Wonwoo menengadah, membiarkan rintik air dari atap memukul telapak tangannya. Senggang banyak tercipta, Mingyu hanya mampu menikmati punggung orang yang sedang asik dengan agenda kekanakannya sampai sampai mulutnya tertutup dengan rapat.

“Jadi lo.. enak ya, Won?” Begitu kalimat itu meluncur keluar, Wonwoo sontak membalikan badan. Ia sama sekali tidak bersuara, tidak menjawab apa yang baru saja jadi hal yang dirinya dengar, Ia hanya menatap sosok yang kini lamat menunduk memperhatikan sepatu hitam miliknya.

“Pinter, punya banyak temen dan kayanya gak punya beban sama sekali.” Wonwoo menaikan alisnya tinggi, terbahak kecil dan mengambil tempat di kursi disebelah Mingyu, menyisakan satu yang kosong agar tercipta jarak di antara mereka.

“Lo tau apa soal gue sih, Mingyu? Sampe seenaknya ngomong gitu?” Wonwoo memainkan jemarinya. “Bukannya enakan lo, ya? Kayanya urusan temen banyakan lo deh, terus lo juga gak perlu pusing-pusing buat mikirin masa depan? Maksud gue, kasarnya nih ya, orang tua lo pasti mampu buat biayain lo kuliah di kampus swasta kalau semisal udah gak ada jalan.” Jelasnya, tertunduk.

“Gue? Kalau jadi gue enak, mungkin selama ini gue gak harus mati-matian belajar supaya bisa kuliah di kampus negeri dan cari beasiswa.” Sambung Wonwoo.

Wonwoo salah, begitu hati kecilnya bersuara. Ia salah harus menukar kisah hidupnya dengan orang asing di sebelahnya ini. Wonwoo salah, ia tidak seharusnya mempercayakan ceritanya kepada Mingyu.

Sorry.” Wonwoo bangkit, membelakangi Mingyu dengan mengambil posisi seperti bermenit yang lalu. Ia genggam erat tas ranselnya, sambil memandangi hujan yang tidak kunjung reda. “Harusnya lo gak perlu dengar cerita gue.” Cicitnya.

“Gue suka ngeliat lo.”

Apa?

“Maksud gue.. lo punya positivity yang cara lo nyampeinnya itu beda dari yang lain, dan gue suka itu.”

Masih menoleh pada sosok yang saat ini menatap dalam pupilnya, Wonwoo tidak menujukan raut wajah apapun.

“Makasih, Wonwoo.”

Kini, alis Wonwoo perlahan mengkerut. “Lo aneh.”

“Kenapa aneh?”

“Ya aneh,” Wonwoo kembali pada agenda yang sama, enggan menatap Mingyu yang duduk di belakangnya dan lebih memilih menatap air yang terjun satu per satu. “Mungkin.. Aneh aja, sekarang udah jarang ngeliat lo masuk BK.”

Mingyu terbahak hebat.

“Ditambah ngomong ngelantur kaya tadi.”

“Gue gak ngelantur anjir, Won. Gue serius.” Tangan Wonwoo kembali menengadah, menyambut air yang turun dari atap, membiarkan alirannya membasahi telapak tangannya. Dan satu tangan lain yang tiba-tiba muncul disebelahnya.

Mingyu mendongak, menyaksikan bagaimana derasnya air yang turun dari atap halte dan yang dari langit sana. Jakunnya bergerak naik dan turun, serta cahaya matanya yang berbeda dari bermenit yang lalu.

“Rumah temen lo, disekitar sini?” Tidak menoleh ke arah Wonwoo, Mingyu mengangguk.

“Lo sendiri? Disini ngapain?”

“Les, tadi.”

Wonwoo mengangguk, ia tidak memalingkan wajah, masih sibuk menatap sosok yang lebih tinggi beberapa centi dari dirinya.

“Won..”

“Hm?”

“Lo.. Pernah pacaran, gak?” Degup jantung Wonwoo mendadak tidak karuan, apalagi ketika Mingyu menoleh dengan raut wajah serius. Yang Wonwoo mampu lakukan hanya mengedipkan matanya beberapa kali, mencerna pertanyaan yang baru saja terlempar.

“Eng-engak. Belum pernah.” Jawabnya patah-patah.

“Kenapa?”

“Kenapa nanya ‘Kenapa?’ “

“Memangnya gue gak boleh nanya?”

Wonwoo diam.

“Ya gak papa sih, Won. Kalau lo emang gak mau jawab. Chill.” Mingyu terbahak.

“Kalo lo tanya kenapa, gue secara personally bakal bilang kalau gue tuh anaknya se-membosankan itu. Lo liat aja, kerjaan gue belajar melulu, baca komik atau engga novel remaja. Hahaha.” Wonwoo kemudian menarik nafasnya pelan. “Lagian, gue tau kok kalo gue bukan tokoh utama di hidup gue, jadi penulis skenario cuman fokusin pemeran utamanya. Gue? yaudah, setidaknya ada di plot udah bikin gue seneng.”

“Kenapa lo mikir kalau lo bukan pemeran utamanya? Kan ini hidup lo? Ya pasti lo lah pemeran utamanya. Dan balik lagi sama kaya yang gue bilang. Lo punya positivity yang cara nyampeinnya tuh beda dari orang kebanyakan. So, menurut gue lo gak semembosankan itu.”

“Itu opini lo, Mingyu. Manabisa prespektiflo sama dengan orang kebanyakan?”

Mingyu diam sebentar dan mengangguk pelan. “Iyasih, masuk akal.”

“Lo sendiri? Punya pacar?”

“Buat sekarang gak ada sih.”

“Kenapa?”

“Soalnya gue ngerasa lagi having fun aja sama hidup, jadi gak butuh pacar.”

“Lo having fun ketika sama sekali gak ketauan merokok di kamar mandi dan gak jadi langganan BK?” Keduanya terbahak.

“Lo bangga gak, ketika alasan gue having fun udah bukan lagi hal hal kaya gitu?” Tawa Wonwoo sedikit meredam. Ia tekuk senyumnya, masih menemukan tatap seorang Mingyu.

“Bangga, Mingyu. Karna akhirnya temen gue bangkit dan gak melulu nemuin kesenengan dari negativity.” Mingyu menyunggingkan senyum lebar, menatap dalam manik mata lawan bicaranya.

“Ini kemauan gue, lo gausah ge-er.” Wonwoo meringis sekaligus terkejut bukan main, ketika Mingyu secara terang-terangan mencubit hidungnya. Bahkan kacamatanya menjadi miring akibat guncangan kecil di wajahnya tadi.

“Siapa yang ge-er?!” Balas Wonwoo sedikit berteriak. “Jangan sentuh-sentuh muka gue!”

“Dih.. ngambek.”

“Mending lo pulang.”

“Gimana mau pulang? Hujan.”

Enam belas umur mereka. Masih belum punya waktu menerka apa yang ada ketika beranjak dewasa. Hujan, halte bus dan senyum rekah satu anak manusia dan gigi taringnya, sedang yang satunya masih menggerutu sebal.

Wonwoo kini sudah jarang mendengar sahutan di speaker yang biasa memanggil nama Mingyu, atau komplotannya yang lain. Setiap hari, biasanya Mingyu hanya akan bergelut argumentasi dengan guru yang mengajar mata pelajaran, dan berakhir berdiri di depan kelas.

Tidak jarang, dirinya mengambil tempat duduk di bangku kosong sebelah Wonwoo, sampai sampai membuat teman sebangku Wonwoo sendiri jadi kesal. Maka, Mingyu akan mengeluarkan sebuah alasan “Gue mau belajar sama Wonwoo, lo kan udah pinter. Duduk aja di sana.

Namun, terkadang nalar dan akal pikiran manusia tidak berjalan sesempit itu.

“PDKT-an lo?” Mingyu mengerutkan alis mendengar pertanyaan Soonyoung untuknya.

“Sama siapa anjir?”

“Halah.” Soonyoung mengibaskan tangannya di depan wajah. “Lengket banget belakangan gue liat-liat.”

“Wonwoo?”

“Tuh, lo aja sadar sendiri.”

Mingyu tertawa kecil. “Enggak, gue enggak lagi PDKT-an.”

“Terus itu apa namanya? Duduk berdua, kikik-kikikan, lo ajakin makan juga ke Seribu Rasa.”

“Ya emang hal-hal kaya gitu selalu berhubungan sama PDKT-an? Enggak, kan?”

“Lo yakin?” Alis Mingyu berkerut.

“Yakin apa?”

“Ya, yakin gak PDKT-in?” Mingyu yang duduk di bangkunya sendiri, perlahan menoleh jauh kebelakang sudut kelas. Menatap satu anak lelaki yang sedang membenarkan letak kacamatanya dan fokus pada buku di tangannya. Mingyu tidak yakin, entah itu buku cerita, atau buku dengan berpuluh-puluh angka yang menghiasi di dalamnya.

“Gue nyaman temenan sama dia, Nyong. Gue gak bisa mastiin kalau memang gue sama dia bisa lebih.”

-

Dan Soonyoung adalah yang selalu paling paham.

Seperti ketika manik matanya menatap dua orang yang duduk canggung saling hadap setelah lama tidak bertemu, Soonyoung paham segala gerak dan gerik yang tercipta.

Entah satu diantara kedua, atau memang keduanya, memupuk rindu.

Segala bentuk kenangan dan kejadian kejadian di masa SMA adalah yang paling sulit terlupa. Sebuah awal dan akhir dari bentuk masa remaja. Mereka-mereka adalah yang paling ceroboh dalam mengambil keputusan, namun jalan masih panjang, ada banyak keputusan serta kesempatan lain di depan sana. Maka, mereka bersorak atas masa-masa indah tanpa beban.

Mata Wonwoo mengembara, dirinya memang sudah lama dan enggan memijakkan kaki di restoran nusantara penuh rasa ini. Satu dari sekian banyaknya alasan, Mingyu menjadi yang paling dominan.

Kini tatapnya bertemu sosok Mingyu yang sibuk tertawa dan terkikik. Gigi taringnya serta coklat kulitnya yang semenjak sekolah dulu adalah yang Wonwoo kagumi. Ia hampir tidak percaya, mampu menyaksikan hal ini kembali setelah rentang waktu yang cukup lama.

Kenangannya mulai menapak tilas, pada masa masa dimana semuanya nampak baik-baik saja. Hari-harinya hanya di penuhi oleh Mingyu, Mingyu dan Mingyu. Tanpa ada sendu dan lara, dirinya adalah yang paling bahagia.

Entah itu soal duduk di Seribu Rasa ketika masih berumur 17 tahun, atau soal kenangan yang tidak akan pernah Wonwoo lupa. Ciuman pertamanya, di bawah tangga sekolah.

-

“Gue bosen nasi goreng kampung melulu.” Wonwoo secara sebal membolak-balikan menu di hadapannya, memilih dan membaca perihal menu apa lagi yang bisa ia pesan selain kesukaan Mingyu yang satu itu.

“Gaada yang nyuruh lo makan nasi goreng kampung terus juga ya, Wonwoo.” Mingyu mengistirahatkan kepalanya di atas meja. “Cepetan dong, gue laperrr.”

“Sabar.” Setelah beberapa menit sibuk urusan makan, kini keduanya mulai bertukar cerita. Soal kejadian-kejadian yang terjadi di kelas, lingkungan sekolahnya, atau cakupan obrolan yang kini tidak lagi seputar pelajaran, melainkan diri sendiri, atau keluarga.

“Ya kalau gue tau dari dulu lo butuh kasih sayang keluarga, gue gak mungkin koar-koar seakan gue ini anak paling teladan seantero sekolah dan merasa yang paling bener.” Mingyu terbahak, menutup mulutnya.

“Ya kan lo gak tau sih, Won. Santai aja mah kalau sama gua.”

“Tapi.. emang bokap sama nyokap lo sesibuk itu, kah?” Disela suapan, Mingyu mengangguk.

“Kadang kalau bokap gue dinas keluar kota atau keluar negeri, nyokap gue ngurus bisnisnya juga. Kalau yang di sekitar kota, kadang pulangnya malem. Kalau keluar kota, ya gue sendirian.”

“Bener-bener sendirian? Selama berhari-hari?”

“Iya. Jadi ya gitu, gue akhirnya kenal sama Yugyeom dan temen-temen dia yang lain. Gue gak pernah merasa sebahagia dan sebebas itu dulu, jadi suka gantian.”

“Gantian apa?”

“Gantian, gue yang main gak inget pulang.” Mingyu tertawa, kemudian menegak minumnya.

Well, at least sekarang lo udah lebih baik.” Wonwoo mengangkat tinggi bahunya.

Senyap tiba-tiba tercipta, sontak membuat Wonwoo mendongak menatap lawan bicaranya yang malah menatap dirinya lama.

“Apa?” Tanya Wonwoo, memegangi wajahnya sendiri. “Ada sesuatu ya di muka gue?”

Mingyu menggeleng.

Soonyoung benar dan Soonyoung adalah yang paling paham perihal gerak gerik dirinya. Di dalam sana, Mingyu bilang bahwa ada beberapa hal yang memang pantasnya duduk pada porsi secukupnya. Begitu ia menganggap Wonwoo secukupnya menjadi teman yang bisa ia andalkan dimanapun ia berada.

Namun, semakin kesini, ada rasa yang lamat ingin dituruti kemauannya.

Mingyu mau lebih, dan rasanya ia ingin berteriak agar didengarkan.

Lo kalo pacaran sama gue mau gak?”

Detik berikutnya, Wonwoo hampir menyemburkan seluruh makanan yang ada di dalam mulutnya. Buru-buru ia menegak minum.

“Ha?”

“Iya, mau gak pacaran sama gue?”

“Ngaco lo.” Mingyu terbahak, kemudian tawanya jadi reda. Ia pikir degup jantungnya mampu ia distrak dengan tertawa dan membuang canggung, namun, seluruh tubuhnya tidak bisa dibohongi.

“Lo..” Sendok dan garpu yang sejak tadi ia pegang, ia letakan dengan pelan. “Pernah kepikiran gak, kalau gue bisa aja suka sama lo?”

“Hah?”

“Karna gue selalu kepikiran.” Kini tatap keduanya jatuh secara bersamaan. Wonwoo, mendadak kelu. “Kepikiran kalau mungkin aja lo juga suka sama gue.”

1 menit, 2 menit, Wonwoo berusaha memahami makna perihal kalimat yang baru saja Mingyu lempar.

“Gue lebih ke yang selalu kepikiran lo, sih.” Sambung Mingyu lagi.

Wonwoo masih dalam kelu, berfikir, apa yang sedang Mingyu lakukan ini adalah bagian dari candaannya atau memang benar adanya.

“Gue serius.” Katanya lagi. “Pacaran sama gue, mau?”

Selera makan Wonwoo mendadak hilang, ia menunduk, banyak yang menghantui pikirannya. Wonwoo tidak akan mampu berbohong, kalau ditanya soal apa makna sesosok Mingyu di hari-harinya. Semuanya, akan selalu jadi lebih perihal Mingyu.

“Kalau memang lo serius..” Tunduknya kini berganti tatap. “Kasih gue waktu barang sebentar.”

Mingyu mengerti, berusaha untuk mengerti. “Okay, kapanpun. Take your time, Wonwoo.”

-

Pagi hari, tidak Wonwoo temukan manik mata Mingyu menatapnya. Batinnya mulai menerka, apa benar kalimat kemarin adalah suatu hal yang serius untuk dapat dimasukan ke hati? Padahal, ada banyak jawab yang telah ia siapkan.

Kini ia hanya mampu pasrah, kalau Mingyu masih mau mempertanyakan soal jawabannya, maka akan ia beri. Namun, kalau skenarionya berbalik arah, akan ia pendam sendiri.

“Woi, ada razia.” Hansol masuk dengan nafas yang tersenggal, membuat berpasang mata menatap dirinya di ambang pintu sana.

Jantung Wonwoo berdegup tidak karuan. Pasalnya, akibat hujan kemarin sore setelah pulang dari Seribu Rasa dengan Mingyu, sepatunya basah total. Hari ini, ia pakai satu sepatu dengan garis putih, dan itu menyalahi aturan sekolah.

“Dimana?” Sahut Wonwoo bertanya pada Hansol yang mulai berjalan memasuki kelas.

“Lagi di kelas ujung.” Balasnya. “Yang bajunya gak ada simbol OSIS disuruh buka terus di jemur di lapangan anjir, Hahahaha. Kocaaakkk.” Kekeh Hansol. Maka, setidaknya ada 4 kelas lagi yang akan di lewati pihak BK sebelum sampai di kelasnya.

Mampus. Begitu batin Wonwoo terus bersuara. Mungkin mereka para guru BK tidak akan menyadari kan soal sepatunya pagi ini? Atau kalaupun mereka sadar, Wonwoo tidak perlu di bawa ke ruang BK dan mendapat surat peringatan, kan? Wonwoo itu siswa teladan. Mungkin saja ia dapat keringanan karena baru sekali menyalahi aturan sekolah, bisa saja begitu, kan?

“Lah, Won? Kok sepatu lo ada putihnya?” Sial, ada yang sadar ternyata.

“Kemarin, kehujanan jadi sepatu gue basah.” Dan untuk pertama kali sejak hari ini, mata Mingyu jatuh pada Wonwoo dengan seribu kegelisahannya.

Wonwoo mulai menggigit ujung jemarinya, menggoyangkan kaki berkali-kali. Gelisah, takut.

Bermenit kemudian, pergelangan tangannya mendadak digenggam. Ketika ia mendongak, ia temukan Mingyu disana dan mulai menariknya keluar.

“MAU KEMANA?!” Teriak Wonwoo di sela langkah demi langkah yang berlari.

“Udah ikut aja.”

Ada satu gedung di belakang sekolah yang hanya di gunakan untuk ruang aula dan jarang di datangi oleh para siswa serta guru-guru. Di bangunan bertingkat tersebut, tepat di bawah tangganya, ada satu tempat yang bahkan Wonwoo sendiri tidak tau bahwa ruangan sempit itu ada.

“Sembunyi.” Cicit Mingyu.

“Gue baru tau ada tempat ini?” Pandangan Wonwoo mengembara, ada beberapa puntung rokok di lantainya.

“Tempat gue sama anak-anak biasanya cabut.” Mingyu duduk di atas meja yang memang sudah ada dan diletakkan disana. “Semenjak mereka di drop out mana pernah lagi gue main disini.”

“Tapi ini memang, gak bakal ada yang kepikiran kalau ada tempat kaya gini di bawah tangga. Mana gedungnya jarang di pake.”

“Itu dia.” Mingyu tersenyum kecil. “Udah, lo disini aja dulu sampai BK selesai ngadain razia.” Mingyu bangkit dari duduknya.

“Terus lo?”

“Ya gue balik.”

“Lo.. balik?” Dirinya mengangguk dengan mantap, meninggalkan Wonwoo kembali dengan berjuta kegelisahannya.

“Lo mau gue temenin?”

“Boleh?”

Mingyu terkekeh, kemudian kembali duduk di atas meja. “Kenapa enggak?”

Wonwoo kemudian menarik satu bangku dan duduk disana. Ia memainkan buku-buku jarinya, menerawang kesana kemari, takut-takut untuk menatap orang yang posisinya agak jauh disebelah kanan Wonwoo sendiri.

Canggung, senyap. Tidak ada yang mampu saling menukar kata.

“Ehm..” Mingyu berdeham, sontak membuat Wonwoo menoleh. “Udah?”

“Udah apanya? Razia-nya?” Wonwoo bangkit, mendelisik dari lubang pintu, berusaha untuk keluar.

“Bukan.. Wonwoo.”

“Terus?”

“Udah? Waktunya?”

Wonwoo kelu, tau arah dan maksud pembicaraan. Jantungnya di dalam sana terpompa lebih kencang, tubuhnya jadi panas dingin dan tangannya yang sedikit bergetar.

“Mumpung kita lagi berdua.” Sambung Mingyu.

Wonwoo tarik nafasnya pelan, ia buang. “Lo gak nemuin semacam hal yang membosankan dari diri gue?”

Alis Mingyu menyatu, menggeleng. “Kalau bosen gak mungkin gue temenan terus sama lo, kan?”

“I-iya sih, cuman—“

“Gue gak mempertanyakan soal kepribadian lo, Wonwoo. Yang gue pertanyakan soal perasaan lo sama gue. Karna disini, perasaan gue udah jelas.” Wonwoo bungkam.

“Lo bisa ambil waktu kapanpun lo mau, gak sekarang juga gak papa. Tapi gue maunya, kalaupun lo ambil waktu yang panjang, at least ada kejelasan buat gue.” Sambung Mingyu. Ia kini bangkit, melangkah pelan dan membuat Wonwoo mundur kebelakang.

Mingyu jatuhkan kedua telapak tangannya di atas bahu Wonwoo, “Okay?” Senyum kecilnya merekah. “Take your time.”

Mingyu beralih, kini memutar tubuh kembali duduk di atas meja yang ia duduki beberapa menit yang lalu. Namun Wonwoo, setia di atas kakinya sendiri.

“Mingyu..”

Si empunya nama mendongak, “hm?”

“Gue gak mau kasih lo waktu yang panjang, kalau lo tanya soal perasaan gue, sepenuhnya belum bisa gue bilang bahwa gue memang suka. Mostly, gue takut aja sih sebenernya, karna hal ini bukan suatu hal yang biasa gue rasain.” Sahutnya dengan nada suara sedikit bergetar.

“Tapi gue mau coba. Gue mau coba buat jatuh cinta, sama lo. Gue mau coba supaya lo gak perlu mempertanyakan perasaan gue lagi di kemudian hari, intinya, gue mau.”

“Gue mau menyambut hari dengan agenda-agenda yang bakal lo buat, Mingyu.” Mingyu tertawa kecil.

“Gue kaya ditantang.” Katanya.

“Well, lebih dan kurang, kurang dan lebih.”

Wonwoo pada detik itu memberanikan diri. Tetap pada pijakannya ketika langkah kaki Mingyu kembali mendekat. Jangan tanya perihal bagaimana pompa jantungnya. Rasanya, bongkahan daging itu ingin ia muntahkan detik itu juga.

Gue bakal bikin lo se-jatuh itu sama gue, Wonwoo.” Dan secepat kilat, ada yang jatuh di ranum tipis merah jambu bibir Wonwoo, membuatnya terkejut dengan sempurna.

Keduanya tidak bersuara, lebih memilih bercengkrama lewat tatap mata. Lama, sampai rasanya Wonwoo maupun Mingyu bisa-bisa meledak di tempat saat itu juga.

Dan begitu, bagaimana masa putih abu-abu mereka tidak hanya sekedar semu tanpa kejelasan. Mereka, berwarna. Yang paling terang, yang paling hebat teriakannya.

“Yuk, pacaran.” Mingyu meraih jemari Wonwoo di bawah sana.

“Ih!”

“Loh? Kenapa?”

“Gak mau, malu.”

“Kamu malu pacaran sama aku?” Wonwoo terdiam sambil berkedip beberapa kali.

“Ih, bahasa apa sih itu, Mingyu?” Mingyu menarik puncak hidung Wonwoo, membuat si empunya meringis kecil.

“Bahasa sayang.”

-

“Bahasa sayangnya orang kan beda-beda.” Mingyu menegak minum di hadapannya, sedang audiens yang lain secara fokus mendengarkan.

“Halah bacot lo, Gyu.” Soonyoung mengibaskan tangannya di depan wajah. “Bahasa sayang, bahasa sayang.. Preetttt.”

“Lo ngomong gitu karna gak punya satu bahasa sayang yang spesial, mangkanya di tinggal lo sama Jihoon.” Mendengar satu nama yang disinggung, sontak membuat Soonyoung melempar tisu yang sudah ia remas ke arah Mingyu.

“Gua udah lama putus, gausah di ungkit-ungkit.”

“Tapi bener tau apa kata Mingyu,” Eun Woo, satu teman sekelas mereka yang juga mereka kenal dengan baik. “Entah itu sekedar panggilan, atau kalimat yang emang bentuknya kaya bahasa, atau act of anything bikin hubungan jadi lebih worth buat di jalanin, iya gak sih? Istilahnya, cuma lo sama pasangan lo yang ngerti bahasa itu. Jadi ya, lo gak bakal bisa nemuin hal semacam itu dan bisa aja bikin lo jadi yang paling beda.”

Mingyu menepuk bahu Eun Woo beberapa kali, “Emang cuma lo yang paham gue.”

“Soalnya dulu gue sama mantan gue gitu, ada aja bahasa atau panggilan-panggilan yang cuma gue sama dia yang paham. Coii, jatohnya gue yang gagal move on.” Semua bersorak mengejek Eun Woo yang sedang memijit pelipisnya pelan.

“Udah 25 woi, udah tua bangka lo! Bukan anak remaja lagi pake acara gagal Move on!”

“Bacot lo, Nyong. Lo juga gagal move on!” Eun Woo memutar bola matanya malas. “Lo sendiri? ngerti bahasa sayang, emang bahasa sayang lo sendiri apa?” Sahut Eun Woo kembali menuju Mingyu.

Kemudian, yang Eun Woo terima adalah senggolan kecil di sikutnya.

Dan Wonwoo yang semenjak tadi diam, paham arah pokok pembicaraannya.

“Santai.” Balas Wonwoo. “Emang bahasa sayang lo apa, Mingyu?”

Dapat Wonwoo dengar dengan jelas, sahutan orang-orang yang terarah kepada Eun Woo, “Lo sih, ngerusak tongkrongan. Dibilang juga jangan diungkit.” Dirinya hanya dapat tersenyum kecil.

Wonwoo lupa, sudah berapa lama ia mampu menatap manik mata manusia di hadapannya ini dengan intensitas waktu yang cukup lama. Karna pada detik ini, Mingyu kelu. Pun, dengan Wonwoo. Suasana mendadak canggung, sunyi senyap mengudara, dan orang-orang lain hanya mampu terdiam tidak mampu mecairkan suasana.

“Udah, lupain aja soal bahasa sayang, yang penting—”

Cing.”

Lagi. Semua terdiam.

“Kalau nanya soal bahasa sayang. Dulu ada yang sering gue panggil, ‘Cing.’ Atau, ada lagi bahasa sayang gue dengan cara narik hidungnya terus-terusan.”

-

“Mirip kamu.” Alis Wonwoo berkerut menyatu.

“Enak aja. Masa aku di sama-samain sama kucing.” Wonwoo mendorong ponsel yang tadi sempat Mingyu tunjukan ke depan wajahnya, video seekor anak kucing.

“Ih, iya!” Kini Mingyu angkat ponselnya, ia letakan di sebelah wajah Wonwoo, kemudian secara bergantian menatap layar dan wajah Wonwoo bergantian. “Tuh-tuh, mirip.”

“Ih apasih. Enggak mirip dibilang.” Mingyu kemudian menarik hidung Wonwoo dan membuat kacamatanya menjadi miring. “Gemes banget.”

“Kan, Mingyu!” Sambil memegangi puncak hidungnya, Wonwoo meringis dengan sebal. Mingyu sendiri kini mengistirahatkan tubuhnya di atas meja sambil tertawa. Pada jam istirahat, ia memilih libur jajan di kantin, demi duduk di sebelah pujaan hatinya.

“Bercanda, Cing.”

“Kamu aku tonjok, ya?”

“Serem banget?!” Mingyu membulatkan matanya. “Tapi kamu emang beneran mirip kucing, gimana dong?”

“Tau deh, terserah.”

“Dih ngambek.” Mingyu jatuhkan telunjuknya di puncak hidung Wonwoo. “Jangan ngambek dong, sayangnya Igyu.”

“DEMI TUHAN TOLONG KALIAN JELASKAN INI APA?!” Kedua manik mata Mingyu maupun Wonwoo terpaku pada gerombolan teman sekelasnya yang terpatung di ambang pintu, dan Soonyoung yang berjalan mendekat. Bahkan, Hansol tidak mampu menutup mulutnya sendiri yang menganga lebar menyaksikan hal yang baru saja terjadi.

“Gue gak salah denger?” Ucap Soonyoung, semakin mendekat. “Say-sayang-sayangnya Igyu?” Sahutnya lagi.

“Huekkk.” Pandangan mereka beralih pada Hansol. “Pacaran mah pacaran. Sayangnya Igyu? ANJENG! Gue jijik dan berharap bisa puter waktu.”

“Iri banget lo, Sol. Sana cari pacar.”

Potongan roti mendarat di puncak kepala Mingyu. “Mending gue jomblo seumur hidup daripada harus menjalankan agenda pacaran kaya yang lo lakuin barusan. Sumpah, SAYANGNYA IGYU? DIH ANJING MENDING LO TAWURAN AJA SANA! Gaya doang yang sangar, Sayangnya Igyu? Ckckck.”

“Kalian.. beneran pacaran?” Eun Woo melangkah mendekat, dengan jari telunjuk yang menunjuk Mingyu serta Wonwoo bergantian.

Yang di tunjuk saling tatap, kemudian mengangguk pelan malu-malu.

“Udah berapa lama?”

“Hm.. baru seminggu.” Mendengar pernyataan Wonwoo, Soonyoung buru-buru melangkah cepat dan mengalungkan tangannya di leher Mingyu, menarik tubuhnya hingga tersungkur bersama di lantai.

“Seminggu anjing, Gyu. Gua kira udah 2 bulan lo berani nyeloteh ‘sayangnya Igyu’”

“Duh! Nyong gua kaga bisa napas!”

“Bodo amat! Mati aje lo.”

“Gua baru pacaran seminggu ANJENGGG!”

“BODO GUA MAH!”

Apa agenda pacaran yang biasa remaja SMA lakukan? Duduk di kantin berdua, pulang sekolah berdua, duduk di bangku yang sama berdua, pada kasus kalau keduanya ada di kelas yang sama. Kalau semisal berbeda, maka biasanya, akan ada orang yang menyisihkan jam istirahatnya hanya untuk mengobrol singkat mengejar waktu.

Setiap minggu dengan jerih payah menyisihkan uang jajan, ada yang duduk di bangku bioskop, menonton film komedi romantis keluaran terbaru.

Ada jemari yang saling bertaut, ada bahu yang selalu di rangkul, ada kejadian-kejadian kecil pembangun rindu, serta celotehan atau obrolan kecil di penghujung waktu. Maka biasanya, ada yang harus berpisah sambil menekuk senyum, “Sampai ketemu besok disekolah, Wonwoo.”

Dan Ketika matanya kembali terbuka setelah perjalanan mimpi yang panjang, yang pertama kali jadi alasan senyum adalah yang tercinta.

Menerka, hari ini, hal apa lagi yang akan di lalui bersama si-dia? Tentang-tentang apa lagi yang akan jadi pokok tukar pikiran? Sesederhana itu, namun mampu membuat keduanya mabuk, tenggelam.

Banyak afeksi yang tercurah, dan banyak rasa yang tumbuh.

Mingyu, tidak pernah menyesali keputusannya soal menjadikan Wonwoo yang lebih, bukan yang cukup.

Perjalanan waktu yang panjang, obrolan tidak berujung di sudut restoran Seribu Rasa dengan dua orang manusia bersama jutaan rasa yang tercipta. Kikikan tanpa henti, agenda belajar bersama, serta segala afeksi yang tumbuh tidak kenal ampun.

Wonwoo, jadi yang paling jatuh.

Saat ini, ketika manik matanya terpaku pada orang dengan surai kelam di hadapannya, yang ia mau hanya jebakan waktu. Perihal ia yang tidak mau jemari mereka harus berpisah di ujung hari demi menyambut hari lain, perihal bahasa sayang yang tidak terduga yang kerap kali Wonwoo terima, panggilan-panggilan aneh, lucu, manis dan segala bentuk cara-cara lain yang Mingyu lakukan, semuanya, adalah kesukaan Wonwoo.

Tujuh belas menjelang akhir, tahun terakhir masa putih abu-abu.

Wonwoo takut takut melihat layar ponselnya, semenjak pagi tadi, ia hanya menggigit ujung jemarinya. Dirinya menerka, soal pengumuman jalur masuk Universitas melalui penilaian rapor, pantaskah ia menerima tulisan ‘Selamat’ disana atas jurusan yang selalu menjadi impiannya, Desain Komunikasi Visual.

Dan satu orang di hadapannya.

“Tenang, Cing.” Katanya. “Apapun hasilnya, pasti yang terbaik, selalu ada jalan, Kan?”

Mungkin sedikitnya apa yang Mingyu katakan mampu membuatnya tenang. Tetapi, di kepalanya sudah tergambar apa-apa yang akan ia katakan kepada orang tuanya di rumah, atau, perguruan tinggi mana yang kemudian akan pantas menerimanya.

“Kita buka, ya?” Dengan lembut Mingyu berusaha mendelisik manik mata Wonwoo yang semenjak tadi tersembunyi.

“Takut.”

“Tarik nafas dulu, pelan-pelan.”

Jari mereka kemudian menggantung di atas layar. Dari manik mata Mingyu, dapat ia lihat betapa gemetarnya satu jemari dan jemari lain yang mengikuti. Ia bekap seluruh tangan Wonwoo dengan tangannya, membuat Wonwoo menatap Mingyu dengan raut kebingungan.

“Kalau kamu masih belum mau buka dan belum siap, gak papa. Nanti aja.” Dan Wonwoo, rasanya ingin menangis detik itu juga.

Banyak omongan yang sering Wonwoo tangkap, semisal soal, “Wonwoo itu kan pinter, juara terus, gak mungkin lah gak lulus SNMPTN.”

Tapi mereka sering lupa, kalau jalan rezeki tidak mengenal perihal yang pintar dan yang biasa saja.

“Ayo, Gyu.” Begitu cicitnya. Ia Tarik nafasnya Panjang, dan ia buang perlahan sambil memberikan sugesti terhadap dirinya sendiri, “Wonwoo, apapun hasilnya, diterima atau engga, pasti selalu ada jalan lain.”

Ketika halaman web milik Mingyu dan Wonwoo berputar menunggu halaman lain yang diharap, jantung Wonwoo jatuh ke dasar perut, dan bagaimana manik mata Mingyu menangkap pupil Wonwoo. Ada nafas lain yang berhembus dengan beribu makna dibaliknya.

-

Mingyu berhenti di beranda rumah Wonwoo sore hari setelah pulang sekolah. Jauh di ujung sana, langit berwarna jingga keemasan sedang bertahta. Mingyu jatuh cinta, entah kepada langit di ujung sana, atau orang di sampingnya. Dari sudut ekor matanya, tatap Wonwoo ke langit tidak sepenuhnya sedang menikmati.

“Aku bakal temenin kamu terus, Wonwoo.” Dengan senyum kecil yang masam serta manik mata yang bergetar, Wonwoo mengangguk kecil.

“Gyu..” Panggilnya.

“Hm?”

“Kayanya tadi aku belum kasih selamat ke kamu in a properly way.” Wonwoo menarik satu jemari Mingyu dan ia elus pelan. “Selamat.”

Harusnya Mingyu juga bahagia hari itu, perihal ia yang secara tidak di sangka-sangka lulus di salah satu Universitas negeri untuk jurusan Manajemen Bisnis yang sebenarnya bukan sesuatu yang di impi-impikannya sejak dulu.

“Cing..”

“Hm?”

“Makasih.”

“Sama-sama.” Mingyu istirahatkan kepalanya di Pundak Wonwoo. Masih sama-sama menonton bagaimana langit perlahan menjadi gelap.

“Aku bakal temenin kamu terus, kamu punya aku, jadi kamu gak perlu khawatir soal apa-apa yang ada di masa depan sana. Ada aku.”

Ada Mingyu.

Kali ini, hal yang jadi alasan dibalik tangis Wonwoo bukan lagi perihal halaman merah yang sempat ia saksikan di sekolah tadi. Namun, sesuatu yang ada di diri seorang Mingyu. Kali ini, Mingyu jadi alasan tangisnya. Mingyu dengan segala afeksi dan bahasa sayangnya, Mingyu dengan senyum kecil pereda laranya, dan Mingyu, tumpahan afeksi sederhananya. Mingyu yang ada di sisinya, dan rasa syukur Wonwoo atas itu semua.

Ada Mingyu.

-

“Tapi yang paling keren disini lo lah, Won.” Soonyoung menyenggol lengan Wonwoo dengan sikutnya, sembari menegak air mineral.

“Lah kok gue?” Wonwoo melempar tatap tidak biasa ke arah wajah Soonyoung.

“Yaiyalah, gak keterima SNMPTN, eh tau-tau keterima di sekolah desain digital di Singapura, beasiswa lagi. Gokil!” Seluruhnya tertawa. Wonwoo tersenyum kecil, menunduk memainkan jemarinya. Sekiranya, ia punya satu orang yang bisa dengan bangga atas pencapaiannya.

“Bagi tips and trick kali, Won.”

Kali ini Wonwoo tertawa agak kuat, namun malah Soonyoung yang menyahut, “Pinter dulu, Sol. Baru tips and trick.”

“Bacot lo!”

Wonwoo kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. “Kalau lo semua tanya tips and trick, gak ada.” Begitu jelas Wonwoo. “Kalau lo tanya pressure? Banyak.” Sambungnya lagi.

“Intinya, jangan pernah stuck di satu kondisi dimana tekanan batin lo lagi menjadi-jadi. Keluar, get some air. Having fun. Sendirian, atau sama seseorang.”

It works?” Kini, satu suara yang paling familiar di telinga Wonwoo akhirnya menderu.

Yang mampu Wonwoo lakukan hanya menarik sudut bibirnya sedikit. “It works, Mingyu. It was.”

“Wow, I guess that ‘someone’ was actually that powerful?”

Too powerful, till I was overwhelmed.” Senyap. Seakan semua tau, bahwa ini adalah waktu untuk mereka saling beradu. “I am.. Overwhelmed, Mingyu. And I am too tired.” Dari manik mereka yang saling bertemu, Wonwoo seakan-akan mampu melihat bagaimana cerita mereka dapat terulang kembali seperti putaran film di balik bola mata orang ini.

Benar, bagaimana Mingyu yang memiliki sebuah power sampai akhirnya mengantarkan Wonwoo pada mimpinya. Dan bagaimana Mingyu yang juga memiliki power sama besarnya, ketika harus menjatuhkan hati dimana penuh tulisan namanya disana, ke palung paling dalam jiwa Wonwoo sendiri, hancur dan lebur.

How’s her, Mingyu?”

-

How’s her, Mingyu?” Suara Wonwoo bahkan sudah tidak lagi mampu Mingyu dengar dibalik sambungan telfon. Ia tau, Wonwoo telah menangis sejadi-jadinya.

“Cing—”

How’s her? Aku tanya, dia gimana?”

“Wonwoo sayang..” Tangis Wonwoo kini tidak lagi bersuara. Hanya ada bulir air mata serta bibirnya yang terus bergetar. “Aku minta maaf.” Begitu kata Mingyu di ujung sana.

“Wonwoo.. Kita jauh. Aku pikir, the idea soal hubungan jarak jauh was fun to heard. Tapi maafin aku yang gak bisa kontrol perasaanku. Maafin aku yang gak bisa tepatin banyak janji tentang aku dan kamu. Maafin aku, disini aku jatuh cinta, Wonwoo.”

Di umur 19 tahun, dimana tidak pernah ada sedikitpun sebuah skenario di kepala Wonwoo bahwa hal ini akan terjadi. Yang Wonwoo tau semenjak dulu, hanyalah sebuah sihir dan afeksi yang Mingyu tuang, bahwa semua hal itu, memang pantas untuk di perjuangkan.

Namun, pada kemudian hari, inilah realita yang harus Wonwoo hadapi. Bahwa benar, perasaan tidak akan selamanya bertumpu pada dirinya sendiri.

“Wonwoo..” Panggil Mingyu sekali lagi. “Maafin aku, ya?”

Sambungan telfonnya kini sudah sepenuhnya terputus.

Dan itu, jadi sahutan nama terakhir yang keluar dari mulut Mingyu. Karena setelahnya, bertahun-tahun lamanya, Mingyu menghilang.

Mingyu-nya Wonwoo, kini tidak lagi ada.

Wonwoo, kini kosong.

Ada satu agenda yang selalu Wonwoo lakukan setiap kali pulang memijakkan ibukota, sebuah agenda yang penuh dengan ironi dan berujung sia-sia.

Mengharapkan kehadiran sosok Mingyu di sudut restoran Seribu Rasa.

Selalu. Sampai ketika ia kembali setelah pendidikan panjang yang dituntutnya, ketika satu perusahaan bersedia menerimanya, tidak pernah satu kali dalam satu minggu ia menghilang di sudut sana.

Disetiap minggunya, akan ada Wonwoo yang datang, membuang pandang menatap yang berlalu-lalang, dan berakhir meninggalkan tempat dengan kecewa yang terulang.

Ada Wonwoo, yang berharap seseorang disana sedikitnya mengingat atas hadirnya dulu di masa sekolah. Ada Wonwoo, yang berharap seseorang disana menyadari bahwa apa yang ia butuhkan hanya Wonwoo seorang. Ada Wonwoo, yang terus berharap, bahwa ia akan datang.

Namun, tidak pernah ada.

Kala itu, Junhui yang merupakan teman satu kantor Wonwoo, yang paham betul atas agenda tanpa kejelasan yang selalu ia lakukan ini, datang dan duduk disana bersamanya.

Awalnya, detak jantung Wonwoo membuncah, mengira bahwa orang yang ia harap pada akhirnya hadir di depan matanya. Namun, rekah senyum Wonwoo mendadak padam, ketika orang yang bukan ia harap malah mengambil tempat di depan sana.

“Mau sampe kapan, Won?”

“Gue kira siapa..” Begitu cicit Wonwoo, menunduk.

Junhui membuang nafasnya pelan, menatap dengan perasaan iba.

He won’t come, come on.” Tanpa berekspresi, yang mampu dilakukan Wonwoo hanya menatap. “Yang lo tungguin apa sih, Won?”

“Jun..” Wonwoo bersuara dengan menatap keluar jendela. “Terakhir kali, dia cuma bilang maaf.”

So what?”

Just.. maybe he—”

You gotta move on, Wonwoo.” Junhui mampu melihat bagaimana lelahnya manik mata seorang Wonwoo selama bertahun-tahun di tiap minggunya. Ambisinya, harapan tanpa kejelasan miliknya, kelelahan serta sebuah penantian. Bahkan Junhui bertanya-tanya soal kewarasan teman satunya itu.

What if..” Wonwoo menatap kosong dengan air mata yang perlahan memupuk. “Dia balik tapi gue gak ada disini?”

“Lo bener-bener mengharapkan dia buat balik?”

What if, Jun. What if.”

Begitu, sampai dua puluh tiga umur Wonwoo.

Sore itu hujan, namun sama sekali tidak menyurutkan niat Wonwoo untuk kembali hadir di sudut restoran, hanya untuk menerka dan kembali menanti. Perihal harapannya yang mungkin jadi kenyataan, perihal sosoknya yang kembali muncul tepat di depan matanya.

“Wonwoo..” Jantung Wonwoo di dalam sana berdetak tidak karuan. Matanya perih dengan tenggorokan yang tercekat hebat, ketika sebuah suara yang sangat ia kenal betul, setelah bertahun-tahun kembali memanggil namanya.

Mingyu, suara Mingyu.

“Mingyu..” Wonwoo tidak sedang bermimpi, Wonwoo tidak sedang berkhayal. Karena, ketika ia mengucek matanya, menghapus air matanya, Mingyu benar-benar ada disana. Mingyu benar-benar berdiri beberapa langkah dari mejanya, dan Mingyu mulai duduk di kursi kosong di hadapannya.

Dulu, di kamar mandi, di kamarnya sendiri, Wonwoo banyak berlatih. Soal cerita yang mungkin akan ia ceritakan kembali ketika akhirnya bertemu dengan MIngyu. Soal perasaannya, bagaimana ia melewati hari-harinya tanpa ada Mingyu di sampingnya, bagaimana ia di dewasakan oleh keadaan dan perasaan, bagaimana hal-hal yang mungkin akan membuat Mingyu membulatkan mata tidak percaya ketika mendengar ceritanya.

Namun, menatap manik coklat bola mata itu di hadapannya, membuat Wonwoo kelu. Ia hanya mampu terdiam tidak percaya, bahwa ada yang kembali.

Setelah banyak tahun yang terlewati, benar-benar ada yang kembali.

“Kamu.. apa kabar, Mingyu?”

Tanpa raut ekspresi, Mingyu diam tidak langsung menjawab pertanyaan yang Wonwoo lemparkan, memberi jeda. “Baik.” Balasnya.

Keduanya, diam seribu Bahasa.

“Wonwoo..”

“Hm?”

“Aku datang kesini, cuma mau bilang satu hal.” Tanpa menjawab, Wonwoo memberikan anggukan kecil. Matanya tidak lepas, tidak pernah lepas dari sosok di hadapannya.

“Kamu boleh pulang. Kamu gak perlu nungguin aku setiap minggu lagi. Maaf, Wonwoo, kita selesai. Kamu juga harus nyelesain agenda kamu. Sekali lagi, maaf aku gak bisa pulang—” Sesak, hanya itu yang mampu Wonwoo rasakan. “—ke kamu.”

Ada petir yang menyambar, di dalam diri Wonwoo.

I’ve already met someone.” Dan bulir air mata tidak lagi mampu Wonwoo tahan. “You should’ve find one, too.”

Mingyu bangkit, keluar dan hilang. Bahkan tanpa pamit.

Disudut sebuah restoran di pusat paling riuh ibu kota. Kata mereka, namanya Seribu Rasa. Dulu, ketika umur mereka masih menginjak angka tujuh belas, ada Mingyu dengan segala cerita soal bagaimana menggiurkannya Nasi Goreng Kampung disana. Ketika tawa jadi agenda harian serta lempar cerita yang jadi kewajiban di saban hari mereka menyambut mimpi. Ketika Wonwoo hanya satu-satunya yang Mingyu mau.

Kini Wonwoo menyambut sebuah awal dan akhir di satu tempat yang sama.

Wonwoo menunduk. Dunia rasanya mendadak hening. Bahkan, derai air matanya yang jatuh ke atas meja mampu ia dengar dengan jelas.

Kita selesai, kata Mingyu. Wonwoo harus selesai, kata Mingyu, lagi.

Angka 2 pada satuan tahun kembali berlalu. Wonwoo yakin, umur Mingyu sama memijak dengan dirinya, dua puluh lima. Dan untuk pertama kalinya semenjak hari itu, Wonwoo kembali melihat sosoknya.

Di sudut yang sama, di restoran yang sama. Jangan tanya, seberapa tersiksanya Wonwoo saat ini.

Wonwoo tidak pernah tau, apakah Mingyu kembali menapak tilas soal kebersamaan mereka dahulu. Tujuh belas, delapan belas, sembilan belas sampai di detik ini.

Wonwoo selalu mendeklarasikan bahwa dirinya sudah sembuh, pulih dan baik-baik saja atas nama seorang Mingyu. Namun hari ini, mungkin ia akan menyesali keputusannya untuk ikut hadir. Karena, kembali menatap lekuk wajah yang sama dan yang tidak pernah berubah itu, ternyata membuatnya tidak baik-baik saja.

Bagaimana hanya dengan menatap lekuk wajahnya, mampu membuat Wonwoo berjalan dan melangkah kembali ke masa lalu, seperti yang di lakukannya berjam-jam yang lalu.

Dan yang seribu kali membuatnya semakin pedih adalah, bagaimana tatap Mingyu yang tidak pernah berubah ketika menatapnya. Kemudian membuat Wonwoo berbicara kepada dirinya sendiri, “Mingyu, bukannya seharusnya masih ada kesempatan buat kita, ya? Atau, memang bener-bener gak ada?” Atau yang paling ironis yang membuat Wonwoo terlihat jadi yang paling bodoh, “Mingyu, kamu datang hari ini, kira- kira mau ngasih kesempatan lalu yang belum sempet kita ambil?”

Sesederhana sebuah harapan untuk memulai kembali.

“Jadi gimana, Gyu? Persiapan nikah lo?”

Deg.

Sebelum menjawab, Mingyu menatap Wonwoo sekejap, kemudian mengalihkan pandangannya pada yang bertanya. “U-udah 70 persen sih..” Cicitnya. Kali ini, menolak menatap Wonwoo. “Doain lancar ya.”

Kini, apa lagi yang mampu Wonwoo lakukan?

Menerima dengan lapang dada, kalau memang semuanya benar-benar usai. Bukan begitu?

Pukul 10 menjelang 11 pada malam hari, Wonwoo masih duduk di kursinya sedang semua orang telah menghilang entah kemana. Ber-jam yang lalu, Wonwoo menyuruh Soonyoung untuk kembali duluan. Beralasan bahwa ia ada janji dengan temannya yang lain, padahal hanya alibi belaka.

“Wonwoo..” Sahutan itu, seperti 2 tahun yang lalu. Dan ditemukannya Mingyu berdiri agak jauh, kemudian melangkah dan duduk di tempatnya tadi.

“Belum pulang?” Tanya Wonwoo, melipat kedua tangannya di depan dada. Mingyu menggeleng.

“Kamu..” Cicit Wonwoo. “Apa kabar sih, Gyu?”

“Tadi kamu udah nanya, Kan? Baik. Aku baik, Wonwoo.”

“Bukan. Maksudku, beneran yang.. ‘Apa kabar?’ gitu.” Mingyu diam, berusaha memproses sedikitnya apa yang Wonwoo maksud. “Apa kabar, karna akhirnya datang kesini lagi, duduk disini lagi.”

Kini, ada benang kusut yang terurai dengan sempurna. “Kamu baik-baik aja, ya? Pas balik ke tempat ini lagi?” Wonwoo kembali menimpali.

“Siapa bilang?” Dan untuk pertama kalinya, dapat Wonwoo saksikan mata Mingyu yang mulai berkaca=kaca. “Aku gak pernah baik-baik aja, soal kita.”

“Kamu mau nikah, jangan bikin aku balik ngarepin kamu setelah kamu ngomong kaya gitu, Gyu..”

“Wonwoo..”

“Ya?”

It was nice to had you.” Nafas Wonwoo mendadak sesak. “It was nice to fell hard into you. Kalau nanti aku punya kesempatan lain, entah apapun bentuk dan caranya, nama kamu bakalan jadi yang pertama aku tulis pakai tinta merah diantara tinta hitam.”

Wonwoo meraung dalam diam, mengepalkan tangannya.

“Kita.. selesai, ya, Wonwoo? Aku mau kita selalu baik-baik aja. Entah urusan perasaan atau yang lainnya yang mungkin selalu buat kamu bertanya-tanya.”

Benar, Wonwoo memang tidak pernah baik-baik saja perihal manusia satu ini.

“Aku pamit ya, Wonwoo. Soal cerita kita yang dulu, soal tempat ini, soal perasaan yang mungkin masih sama-sama ada—”

“Selesai, ya, Mingyu?”

“Selesai.”

Mingyu bangkit, keluar dari restoran dan menghilang, sama seperti dua tahun yang lalu.

Usai.

Mungkin di kemudian hari, Ketika Wonwoo sudah terlupa akan sosoknya dan kembali bertemu seperti pertama kali, yang pertama Wonwoo lakukan adalah memeluknya. Melunaskan sebuah hal yang tidak sempat atas rindu yang memupuk terlalu lama.

Mengenang harum tubuhnya seolah-olah kembali ke masa sekolah. Tawa hangat serta senandung kecil kisah asmara manis penuh bahagia. Seakan besok akan selalu ada kita, menari dibawah lampu jalanan sore menjelang malam dengan tas ransel yang kita lempar ke trotoar.

Kita, dan Seribu kisah lama yang menguap. Menari dalam ingat, lamat perlahan jadi pengingat. Sebuah aksara yang nihil terucap, akan kedua insan yang dalam diam masih meninggalkan harap.

help, i'm still at the restaurant, still sitting in the corner i haunt.

-

(“Gyu, nanti kalau punya rumah, aku mau kita punya halaman belakang yang luas. Rumahnya kecil juga gak papa, yang penting muat piano sama anak kucing. Terus ada pohon gede juga di halaman belakang sama beranda, supaya kalau sore kita bisa ngobrol sambil minum teh.”

“Boleh. Yang penting, kamu pulang dulu, ya?”)

. . .

—fin.