“Slow down, man.” Vernon dengan menggebu-gebu masuk ke dalam rumah mewah seorang Mingyu beserta Somi dan Mark yang berjalan menyusul.
“Damn.. Nadit..”
“HEY! Language.”
Somi berlari, mulai merengkuh sahabatnya masuk kedalam peluknya. Ia menangis.
“Somsom, aku gak papa.”
“I know, tapi tetep aja..” Vernon diam ditempatnya. Mark berjalan mendekat, menepuk bahu temannya satu itu.
“Girl.. you better stay at home next time.”
Vernon masih diam.
“Vernon..” Lirih Nadit.
“Can you please..” Vernon usap wajahnya, membuang nafas. “Stop? At least once, Liliana Drechsler?”
“I’m so.. sorry.” Nadit menunduk. “So sorry, Vernon.”
“Okay..” Mingyu mengambil alih. “Udah sarapan?”
Mark dan Somi menggeleng. “You guys take a seat. Aku memang gak punya apa apa kalau di rumah, but i have an instant waffle. Vernon, take a seat.” Mingyu dorong pelan tubuh Vernon untuk duduk di meja makan besar miliknya, padahal ia hanya tinggal sendirian.
Sepanjang waktu, ke-empatnya diam. Tidak ada yang mampu melempar kata, kecuali suara berisik di dapur sana. Sekali-kali ada suara sendok yang jatuh ke atas lantai.
“Ibu nyariin aku gak?” Nadit mulai bersuara.
“Yes. She is.” Jawab Somi. “She is worrying about you, Nadit.”
“Kalian udah bilang kalau aku disini?”
“Gimana kita mau bilang kamu ada di rumah laki-laki yang Ibu kamu aja gak kenal?” Balas Vernon. Di dapur, Mingyu juga dengar kalimat yang barusan Vernon sampaikan. Ia berdeham kecil, kemudian melanjutkan kesibukannya.
“Vernon..”
“Man, chill. Kita kan kenal sama Kim.” Vernon tangkis tangan Mark yang berusaha menepuk bahunya.
Lagi-lagi mereka diam.
Mingyu kembali, membawa dua piring pertama dan meletakkan di meja, dan satu piring lainnya.
“..”
Ekor mata Mingyu menatap Vernon yang hanya mengaduk makanannya tanpa memasukan satu potong pun kedalam mulut. Serta wajah yang ia topang dengan tangannya.
“Kalian mau diem-dieman sampe kapan?” Seluruh pasang mata kini tertuju pada si pria yang umurnya 10 tahun lebih tua dibandingkan mereka semua. “or.. Nadit, why don’t you tell us what exactly happen?”
“Us?” Alis Vernon berkerut. “You don’t know what was happen to her? Padahal dia kamu sembunyiin disini?”
“Well, first of all, aku sama sekali gak sembunyiin dia. It was just.. an accident dan salah paham.”
“Accident?”
“Vernon.. enough.” Nadit lepas nafasnya, menatap lurus menuju mata coklat terang indah milik Vernon. “First of all, Vernon. I am so sorry that i didn’t put you in the first place, okay?”
“I am so sorry that i didn’t put all of you in the first place, including you, Mingyu.”
Mata Mingyu sedikit membulat.
“Aku berantem sama Ibu dan harus bikin aku ngeluarin kata kata gak pantes buat dia, internally, i feel bad. But at some point, i am so tired..“
“Let’s be clear, i am so so tired, ada di posisi dimana aku harus berjuang buat mimpiku yang gak masuk akal di kepala orang lain di tengah kondisiku yang kaya gini. Financial dan Ibuku yang sakit.”
“Fashion designer is cool, right, Somsom?” Suara Nadit mulai bergetar.
“Bahkan sebenernya, bayaran yang aku kumpul juga belum tentu cukup sampai waktu pendaftaran nanti. Pas tau itu, i just.. i really wanted to kill myself.”
“And then i started to watch how people lived. Mereka yang punya banyak uang, kenapa gak punya mimpi yang besar? Ujuk-ujuk, balik ke naungan orang tuanya sendiri. That is just.. sick? Dan aku mulai ngerasa kalau memang dunia gak adil.”
“Sehabis berantem hebat, aku pergi ke Ralphs. Robin is good, Vernon. I had told you about him, right? He was a good mates, sampai sekarang juga aku mikirnya gitu, tapi cara dia being ‘a good mates’ not matched with mine. He tried to help me, mungkin bantuin buat sekedar lupa perihal sakitnya Ibu, dan capeknya aku sewaktu kerja kemarin.”
“Dia bilang, maybe oneshot can make me feel better, but then i take another shots, sampe aku gak inget apa apa dan pas bangun aku udah pake kaos yang kebesaran ini.” Seluruh pasang mata menatap Mingyu, berspekulasi bahwa baju itu memang miliknya. Merasa dirinya jadi objek, ia hanya mengangkat bahunya cepat.
“Aku gak tau itu mimpi atau apa, but aku ngerasa kalau malam itu—“
“No!” Mingyu tanpa sadar memukul meja makan, membuat keempat remaja tadi hampir terlompat. “M-my turn, Nadit. I mean, aku juga ada di tempat kejadian waktu itu, k-kan?”
Nadit mengkerutkan alisnya. “Harusnya sama aja?”
“Beda, dari kamu sama aku udah pasti beda. So.. pas itu aku kebelet pipis jadi aku mampir ke—“
“Kamu takut ya aku cerita yang bagian itu?”
“What? Ya enggaklah?”
“Memangnya maksud aku bagian yang mana, Mingyu?”
“Wait-wait..” Mark bangkit dari duduknya. “What both of you did last night?”
“We didn’t do anything! Itu cuma mimpi kamu, Nadit.”
“Tapi kata kamu itu bukan mimpi.”
“Maksud aku soal aku yang berantem itu emang gak mimpi, yang aku nganterin kamu pulang juga gak mimpi, tapi—“
“Kim?”
“Vernon.. I swear to god, i put her in my room—“
“HAAAAHH?” Gasping. Somi menutup mulutnya dengan tangan. “Y-your room? Dirumah segede ini kamu put Nadit in your.. room?”
“Yes? Karna kamar lain gak ada spreinya? Guys please, duduk dan dengerin dulu. It’s my turn, okay?”
“Jadi.. aku kebelet pipis dan singgah ke Ralphs—“
“Kamu kebelet pipis kenapa gak pipis dirumah aja? Kenapa harus di Ralphs?” Mark menaikan alisnya.
“Hm.. pas itu aku ada janji sama temenku, jadi karna aku kebelet—“
“Janji? Please, Kim. Jelasin dari awal supaya kita ngerti dan paham, itu kamu jelasin dari tengah, gimana mau masuk akal?”
Mingyu buang panjang nafasnya. “Okay..” Ia gigit bagian dalam bibirnya. “I had a dinner last night, here in my house..”
“With who?”
“Emangnya penting sama siapa?” Somi angkat bahunya ketika Mingyu bertanya demikian. “Gak penting buat kalian tau siapa, and i took her home, and then—“
“A woman, absolutely.”
Si pria berumur 10 tahun lebih tua dibanding anak anak remaja di depannya buru-buru menutup mulut. Checkmate, Mingyu keceplosan.
Vernon lipat kedua tangannya di depan dada. Menyadari Mingyu yang diam masih cukup lama, tidak bersuara, Vernon mendengus. “I am right. Checkmate, Kim.”
“You had a dinner with a woman but you kissed me?”
“WHATTT? HE KISSED YOU???!”
“I TOLD YOU NADIT THAT WAS JUST YOUR DREAMM!!”