Hari ini harusnya aku bersuka cita, karena untuk pertama kalinya, nilai ujianku melewati angka 50. Harusnya.

Namun, aku malah belok ke pinggir pantai, menyendiri dan bersedih.

Aku tidak bisa bohong, soal ‘rewards’ yang sebelumnya di janjikan oleh Vernon, aku belajar mati-matian hanya untuk dapat duduk berdua dengan orang ini di toko es krim seberang pantai atau dimanapun toko es krim yang ada di kota ini. Namun, di titik ini, aku harus menelan kecewa.

Lagi lagi agendaku ada di pinggir pantai, aku duduk di atas pasirnya, meletakkan tas ranselku di sebelah kanan, dan memeluk lutut. Hampir sore, langit juga sudah mulai oranye walaupun belum sepenuhnya.

Di pandangan kanan maupun kiriku, masih ada banyak orang yang menghabiskan waktunya hanya untuk membiarkan kakinya di terjang deburan ombak. Menyenangkan, batinku. Walaupun agenda semacam itu hampir setiap hari aku lakukan. Namun melihat mereka memenuhi agenda kecil dengan seseorang di sampingnya, membuatku sedikit banyak merasa sangat iri.

“Kenapa nontonin hal kaya itu bikin aku seneng dan kesal di waktu yang bersamaan, ya?” Cicitku, tidak mengalihkan pandangan dari sana.

“Nadit..” Aku terkesiap, kepalaku sedikit mendongak, menemukan Mingyu berjalan mendekat.

“H-hai?” Sapaku, canggung. Kalau dia tanya soal nilaiku, aku harus jawab apa?

Dirinya kemudian duduk, agak jauh dan menciptakan jarak, ikut memeluk lututnya.

“Kamu.. memang sengaja berhenti disini?” Tanyanya.

“Maksudnya?”

“Ini tempat pertama kita ketemu, Nadit.” Aku mengkerutkan alis, bingung atas pernyataannya.

“Itu..” Tunjuknya pada satu stan ice cream yang sudah tutup di belakangku. “Kita berdiri lurus dari stan itu..”

“Oh ya?” Aku menaikan alis. “Aku gak tau, yang aku tau di situ aku buang abu ayahku.” Kini aku menunjuk lurus pada satu bongkahan batu yang hampir menjorok ke tengah pantai.

Well at least we remember that night.”

“Yup.” Aku menekuk bibir, mengangguk beberapa kali.

“Vernon bilang kamu dapat nilai 85 buat ujian matematika?” Aku membuang nafas, Ah.. Dasar Vernon.

Good job, Nadit. You did great.” Pujinya, I did, Mingyu. But the rewards, aku harus melambaikan tangan tinggi-tinggi.

Thank you.” Aku tersenyum kecil menatapnya, kini membuang pandanganku ke arah pantai, menikmati air ombak yang datang dan pergi kembali.

Kemudian, dari sudut mataku dapat aku lihat dirinya yang sibuk merogoh kantong, dan gemerisik dari geriknya.

Dirinya diam mengotak-atik ponsel.

Aku harus apa ya supaya bisa punya nomor kontaknya? Aku membatin, masih menatap dirinya yang sibuk memainkan ponsel.

Tidak lama nada dering ponselku berbunyi.

Ah, mengganggu agendaku saja. Pasti kalau bukan Ibu, yaa Vernon yang selalu mencariku disetiap detik waktu berjalan.

Tapi yang aku dapati di layarnya adalah nomor tidak dikenal.

Congrats on your 85, Nadit. You did a great job, i meant it.”

“Hah?”

“Itu nomorku, bukan hadiah dari Vernon, tapi hadiah apresiasi dari aku. Besok, kalau bisa belajarnya bukan karna reward ya?” Dia mengacak rambutku, kemudian bangkit.

Aku? Rahangku masih terjatuh, belum mampu tertutup, masih berusaha memproses kejadian yang sedang terjadi ini.

“Namanya disimpan yang bagus, Kim atau Mingyu.”

“O-okay..” Tentu, pipiku panas dan aku yakin, ada semburat merah yang sama sekali tidak lagi mampu aku tutupi dan mungkin Mingyu ikut menyaksikannya.

Aku.. punya nomornya Mingyu..? Ini, nyata? Bukan mimpi, kan?

“Nadit?”

“Y-ya?”

Weekend ini, let’s have a fine dining..” Dirinya yang sudah berdiri, kini menunduk menatap ke arahku.

Fine dining?”

Fine dining? Mingyu barusan bilang Fine dining?

“Masih hadiah apresiasi dari aku. Would you?”

OF COURSE!

Aku berdeham sedikit, “S-sure..”

I’ll pick you up at 7 ya. Wear a nice dress..” Dirinya kemudian berjalan berlalu meninggalkanku. Aku buru buru bangkit, membersihkan celanaku dari pasir pantai.

“Mingyu!” Panggilku membuat dirinya menoleh. “Do you prefer wedges or heels?” Ia terkikik kecil menunduk, kemudian tersenyum sempurna dari kejauhan menatapku.

Heels might be fit on you, Nadit. I prefer heels.”

Senyumku tidak jauh dari kata merekah sempurna, menatap dirinya dari kejauhan, membuat detak jantungku tidak lagi dalam ritme yang sama ketika aku bernafas seperti biasanya. Hari ini, ia lebih bersemangat dalam memompa darah, sampai-sampai rasanya kepalaku ingin meledak.

Heels, then.” Ia berlalu, punggungnya kemudian berjalan menjauhi diriku, menghilang seperti matahari yang mulai tenggelam di barat sana.