youngswritting

Tepat setelah telfon yang aku terima dari Vernon, aku menghambur dan meninggalkan pekerjaanku. Kabar itu, bagai sebuah petir di siang hari.

Pesanku masih belum di balas orang diseberang sana.

Sepanjang perjalanan, pikiranku mengembara entah kemana-mana. Beberapa kali lupa menginjak rem dan hampir menabrak mobil di depanku, atau stir yang kurang aku tarik ketika belokan menyebabkan aku hampir saja menyerobot pengendara lain.

Sampai di depan halaman rumah Nadit, tanpa mengetuk pintu aku langsung masuk dan menemukan Somi, Mark di ruang tamu.

“Dia diatas, bareng Vernon..” Cicit Somi lirih.

Dengan anggukan kecil, aku melangkah pelan menaiki anak tangga, lalu melihat pintu kamarnya yang terbuka kecil. Ketika aku dorong dan suara decitannya mengejutkan Vernon, ia bangkit dari duduknya di pinggir kasur Nadit. Sedangkan si gadis, hanya menatap jauh keluar jendelanya, bahkan tidak terdistrak dengan suara decit pintu tadi.

Vernon bangkit, menepuk pundakku kemudian pergi.

Aku duduk di lantai, menyenderkan punggung pada nakas dan menatap dirinya yang sama sekali tidak menatapku.

Tatapnya kosong.

“Na..” Panggilku.

She is gone..” Suaranya serak, dari samping pun dapat aku lihat matanya yang bengkak.

I know, I'm sorry..”

Kemudian sunyi senyap mengembara.

Suara detak jam wecker di atas nakasnya yang hanya mampu memenuhi ruangan.

I dreamed about her the night before she left..” Lirihnya lagi. Kini dengan air mata yang mengucur, ia menoleh perlahan menemukan mataku.

“oh ya?”

It was three of us, Gyu. It felt so real..” Aku menunduk sambil memeluk lututku, tidak mampu menatap wajahnya.

You still have me, Nadit. You still have Vernon, Somi and Mark.. And Luna..” Dapat aku lihat sedikit sunggingan hadir di sudut bibirnya.

“Iya.. tapi rasanya.. kosong. Rasanya.. kaya kamu mati rasa dan ngebatin, ‘ini aku di dunia lagi ngapain, ya?’

Aku ingat, berbulan-bulan yang lalu ketika kali pertama aku menemukan dirinya di pinggir pantai dengan keadaan setengah kuyup akibat berdiri jauh hampir ke tengah pantai.

Saat itu kami berdua melempar sendu pada malam, menerka-nerka perihal apalagi hal-hal yang akan disuguhi dunia untuk mengiringi langkah tiap manusia.

Dan memaknai kehilangan.

Perihal mati rasa, perihal kosong di dada yang tidak pernah mampu di tutup oleh apapun. Sampai-sampai kemudian bertanya, “Di dunia ini, aku sedang apa?”

Nadit kehilangan kedua orang tuanya. Pertanyaan itu jauh dua kali lebih relevan untuknya kali ini. Menjamahi dunia kini tak lagi mampu di tatap kedua mata Ayah dan Ibunya, tidak ada lagi dukungan semangat serta senyum sambutan ketika pulang kerumah setelah panjangnya hari yang dijalani penuh dengan peluh dan pelik.

Nadit kehilangan arah dan tidak lagi punya rumah.

“Nadit..” Kini aku beringsut mendekat dan mengistirahatkan daguku di atas lututnya. “Aku tau ini berat buat kamu. Tapi aku harap, kamu gak sedih terus.. You can go to graduate and make a new memories, right? I know your mom will be proud of you..” Aku sibak sedikit rambutnya yang menghalangi wajah. “Okay?”

Ia menggeleng. Satu butir air mata jatuh tepat mengenai jeans yang ia pakai. “I won’t come..” Lirihnya, menatapku yang masih mengistirahatkan dagu diatas lututnya.

I won’t come.. Harusnya graduasiku buat Ibu.. Only her, now i have no reason at all to come..”

Ia mulai terseguk. “Then..” Cicitku. “Kalau buat aku? Will you come?”

Ia diam cukup lama. Matanya menatap lurus dan tenggelam dalam mataku. Berat ia tutup matanya kemudian lagi-lagi menggeleng. “I won’t..”

Kini aku bangkit, ikut duduk di pinggir kasurnya kemudian menariknya tenggelam dalam pelukku. Ia terseguk, bahunya bergetar hebat.

Rasanya, ada sakit yang kembali terulang.

Dulu, aku jatuhkan kepalaku kepada Minghao, hanya untuk menerima kenyataan bahwa aku sendirian. Hari ini, aku tidak pernah menyangka bahwa bahuku akan berguna, untuk seseorang yang letih, yang rapuh karna rumahnya tidak lagi disini.

-

Kata Nadit, keluarga Ayahnya yang ada di Jerman dan Keluarga Ibunya yang ada di Boston akan hadir untuk prosesi kremasi. Malam hari, semuanya hadir merengkuh tubuhnya. Kini ia tidak lagi menangis seperti siang tadi. Mungkin, mati rasa bukan lagi sekedar perumpamaan, mungkin, tubuhnya memang sudah terlanjur kebas.

“Bang..” Seokmin juga hadir, berdiri disebelahku yang jauh dari ruang keluarga. Hanya mampu mendelisik kecil untuk melihat apa yang terjadi disana.

“Hm?”

“Lo.. udah semangatin Nadit?” Aku menoleh menatap Seokmin. “Lo liat.. kaya mayat hidup.”

“Menurutlo.. kalau pun gue semangatin, dia bakalan semangat?”

“Yaiyalah, secara lo kan pacarnya..” Mataku membulat.

“Sembarangan.. Belom.”

“Yaudah anggap aja begitu, udah pacaran. Semangatin, Bang. Dia udah gak punya siapa-siapa lagi, kan?”

Kini aku menatapnya lurus, ia kini dikelilingi keluarga besarnya. Ia tidak mampu tersenyum lama, terkadang matanya mengembara entah kemana.

“Kalaupun dia semangat, Seok, paling luarnya doang. Dalemnya.. you have no idea how broken it is..”

“Iya gue tau, gak ada yang namanya baik-baik aja apalagi kehilangan orang-tua, orang yang di sayang..” Jelas Seokmin. “Paling tidak, Bang.. dikit aja bikin dia senyum. Dari tadi gue perhatiin dia..”

“Kenapa?”

“Sedih aja gue, ikutan sedih..”

Aku buang nafasku, menyenderkan bahu pada dinding dan melipat kedua tanganku di depan dada. “Seok.. lo gak bisa maksa orang buat sekedar senyum barang sedikit. Kalo lo bilang gue harus melakukan sesuatu, gue mau narik dia masuk balik ke kamarnya, gue biarin dia sendiri.. that’s all. Hal yang paling gak gampang dari kehilangan ya itu.. ketemu orang banyak terus pada bilang ‘sabar yaa sabar..’ apa coba yang harus di-sabar-in dari kehilangan, Seok? Gue yakin dia gak butuh sabar, dia butuh waktu. Waktu yang gak akan pernah cukup buat sekedar sembuh..”

Sorry, Bang..”

“Lah kok malah minta maaf lo?”

“Gue lupa.. kalo lo pernah ada di posisi itu..”

Bahu Seokmin aku tarik mendekat ke tubuhku. Menepuknya pelan berkali-kali, “Aelah, Seok.. udah berapa lama coba itu..”

“Lo..” Aku menoleh ketika Seokmin menggantungkan kalimatnya cukup lama. “..masih sering kepikiran mendiang gak, Bang?”

“Bokap?”

Seokmin menggeleng. “Kalau lo gak mau jawab gak papa sih, Bang..”

“Oh..” Kataku. Aku menggaruk pelipisku yang sebenarnya tidak gatal, menepuk-nepuk tekukku kemudian lagi-lagi membuang nafas. “Jangan tanya, Seok. Lo pernah gak nonton film yang paling lo suka, terus pas filmnya habis, lo merasa kosong banget? Nah gitu rasanya gue. Tapi kalo diumpamain sama film, lo masih bisa ngerasain euforia-nya kalau semisal nonton lagi, tapi gue.. entah euforia mana yang mau gue cari. Kosong.. Kosong banget lah, Seok, pokoknya..”

“Niat gue datang ke Malibu emang buat lari. Kaya.. Indonesia sama Australia tu penuh banget sama dia, rasanya kaya ada dimana-mana. Jadi sebelum gue hampir gila, gue memutuskan buat pergi.”

Dari berapa meter jauhnya, mataku menemukan iris hijau-keabuan milik Nadit yang duduk jauh di sudut ruang keluarga sana. Ia tersenyum kecil dengan bibirnya yang pucat dan mata yang sembab.

“Sampe gue ketemu dia..” Dari ekor mataku, dapat aku lihat pandangan Seokmin yang mulai tertuju pada si subjek pembicaraan.

“Untuk pertama kali dalam hidup gue, gue uring-uringan parah. Gue yakin, gue gak yakin. Gue udah yakin pake acara ngajak dia makan malam, tapi besoknya gue ngerasa gak yakin. Gue yakin karna dia yakin, tapi gue tiba-tiba hilang di ketakutan gue sendiri. Gue berusaha mencoba memulai, tapi the idea of ‘what if’ yang konotasinya selalu negatif keliling terus di kepala gue.”

“Sekarang perputarannya udah beda. ‘What if’ yang ada di kepala gue cuman, ‘Kalau aja, gue sama Nadit langsung memulai semuanya tanpa ada keraguan di diri gue waktu itu. Mungkin..”

“Mungkin?”

“Mungkin ada banyak hal lain yang bisa gue temuin di dalam dirinya yang membuat gue bangkit dan gak terus-terusan tersesat di kepala gue sendiri..”

“Untuk pertama kalinya gue jatuh cinta tanpa membandingkan. Bukan berarti gue gak cinta sama mendiang istri gue, gue cinta. Kalau gak cinta gak mungkin gue sampe kabur jauh ampe ke sini..” Jelasku. Masih belum terdistrak dari sosok disana. “Tapi.. Apa yang ada di diri dia.. gue jatuh cinta sama apa yang ada di diri dia. Bukan jatuh cinta buat menggantikan mendiang istri gue. Waktu gue sadar soal itu, that is just.. i don’t know what to say..”

Seokmin mengangguk kecil. “Kadang lagi.. sebenernya gue khawatir dengan jarak umur antara gue sama dia—“

“Yaelah, Bang.. kan lo gak mau nikahin dia detik ini juga, kan? Lagian dia juga udah tamat SMA, gak bakal keliatan..” Ucapnya malah memotong kalimatku cepat.

“I-iyasih.. biar dia kejar mimpinya dulu. Gue.. bakal selalu dukung dia kemanapun dia melangkah..”

-

Abu Ibu Nadit yang telah dikremasi di buang di titik yang sama dengan Ayahnya di pinggir pantai.

Di titik yang sama ketika pertama kali aku dan ia bertemu.

“Langitnya malam ini cantik..” Lirih Nadit dengan suara seraknya.

Keluarganya sudah pulang lebih dahulu setelah proses pembuangan abu. Kemudian aku katakan, kalau memang masih mau berdiam diri, akan aku antarkan dirinya pulang.

“Itu Ibu..” Ia menoleh kemudian tersenyum.

Nadit mengelus lengannya, menunduk menatap kaki telanjangnya yang di sapu ombak.

“Aku bakal pergi kuliah.. Gyu..” Cicitnya kemudian, namun menolak menatap wajahku.

“Oh ya? That is a good news!”

Yes.. It is. And..” Ia gantungkan kalimatnya cukup lama.

“And?”

“Aku bakal pindah ke Jerman..”

Kini aku yang tidak mampu berkata-kata. Kelu. Tidak mampu membalas dan memilih menatap wajahnya yang masih dan masih saja menolak membalas tatap wajahku.

“Keluarga Ayah sama Ibu tadi setuju kalau aku bakalan ngikut paman besok siang berangkat balik ke Jerman, Mingyu..”

Mataku membelalak hebat, kini perlahan mulai berkaca-kaca ketika bertemu matanya yang lagi-lagi di banjiri air mata.

“B-besok?” Ia mengangguk.

“Adik kandung Ayah yang perempuan yang tanggung jawab soal pengangkutan barang dan sewa rumah. Aku cuma tinggal packing barangku dan langsung terbang..”

Jantungku di dalam sana rasanya seperti jatuh, terombang-ambing dan mencuat keluar. Ritmenya tidak lagi sama. Kini beralih menuju tenggorokanku yang mulai panas dan pedih.

“Na..”

“I know..” Ia mengusap air matanya. “We haven’t start anything and—“

We can start it now..” Kini aku tarik bahunya agar ia menatapku.

No..”

Aku terkesiap. Bahuku jatuh.

Ia tarik lenganku yang tadi sempat bertengger di bahunya, kemudian ia genggam dengan tangannya yang dingin di sapu angin malam.

“Mingyu.. ada satu hal yang mungkin gak bisa masuk akal di kepala kamu. But.. we can start it when i am 23..”

Alisku mengkerur hebat, pupil mataku mengikuti gerak pupil mata berwarna hijau-keabuan di hadapanku ini.

“Nadit..?”

I know it sounds crazy, right? but.. loved by you in the same place as i did to you.. is such an amazing things, Gyu.”

Can i know the reason why it should be 23?”

It is.. for my mom..”

Aku hanya mampu membuang nafas kembali. Menunduk menatap bagaimana tangannya yang menangkup tanganku dibawah sana.

Can i borrow your phone?” Alisku menungkik tajam, namun tetap aku keluarkan benda pipih itu dan aku sodorkan pada sosoknya.

Ia mulai melakukan entah apa, kemudian ia kembalikan ke tanganku.

“Ngapain?”

I blocked you.”

What?”

“Listen..” Ia tarik kembali tanganku untuk berada dalam rengkuh tangannya. Ia paksa aku menatap wajahnya, padahal tenggorokanku sudah tidak mampu lagi menahan.

In the next April 6th..” Jelasnya pelan. “I’ll be back to Malibu, and I’ll meet you at the Ice cream shop where we first visited to, okay? 10 AM. Kita bakalan habisin waktu selama 24 jam penuh di 6 April, Mingyu..”

No text, no call, no direct message or anything.” Sambungnya lagi.

But..” Aku yang menunduk tadi buru-buru mengangkat kepala untuk kembali menemukan manik matanya. “If in any cases, you are already find someone else, you don’t have to come. And if you can’t find me at that time too, i already find someone else in the same way. Itu.. itu titik dimana kita harus berhenti..”

Ada bulir air yang kemudian jatuh dari pelupuk mataku.

“..berhenti untuk saling berharap, berhenti untuk saling mengisi kekosongan, berhenti untuk saling jadi yang paling paham dan berhenti.. untuk satu sama lain.”

“Setiap tahun di tanggal 6 April sampai umurku 23 tahun. We’ll do this.. We will see.. if you and i, are truly meant for each other. Because.. I believe in myself and i believe in you..” Sambung Nadit kembali.

Kini wajahnya dipenuhi senyum rekah. Tangannya kemudian menangkup kedua pipiku. “But more than that, Mingyu.. Happiest Birthday.”

Satu hal yang kemudian membuat bagaimana rasa penyesalan itu datang dan menggerogoti jiwaku sampai habis, ketika waktuku untuk dihabiskan bersamanya berhenti disini.

Setelahnya, aku hanya mampu menerka tentang kemungkinan kemungkinan lain yang mungkin saja mengantarku pada titik henti, atau malah menyuruhku kembali berjalan lagi.

Disini, di titik dimana kali pertama aku dan Nadit bertemu. Dan disini pula, kali terakhir aku dan dirinya menghentikan sebuah titik pada beribu-ribu temu. Bahwa setelah ini, tidak ada aku dan Nadit lagi, di Malibu.

!!//tw:abbusive;rape//!!

Malam hari, sebelum aku bergegas menuju tidur, suara dentuman seperti seseorang yang terjatuh menyambangi pendengaranku.

Tidak sempat aku balas pesan Mingyu, buru-buru aku turun dan menemukan Ibu jatuh di dapur.

Tergeletak tidak berdaya.

Aku panik. Tanganku bergetar hebat dan segera aku ambil telfon rumah untuk menelfon 911 agar dikirimkan ambulance.

Malam itu, aku tidur di rumah sakit. Pada sofa, sambil menatap bagaimana Ibuku terbaring lemah di atas ranjangnya.

Pagi hari kemudian, dokter memanggilku menuju ruangan.

Aku duduk, menggosok tanganku, memainkan jemarinya, sesekali menggigit kuku. Gelisah. Dihadapanku, seorang dokter yang mungkin berumur 50 tahun ke atas membolak-balikan kertas yang ada di hadapannya.

Tidak lama, ia membuang nafas, menatap mataku lekat dan bersuara.

“Ibu.. sering di ajak check up?” Tanyanya. Aku mengangguk.

“Saya punya kabar baik dan kabar buruk. Saya ngomong soal kabar baiknya dulu, ya?” Jantungku berderu kencang seakan berteriak, meneriakan ketakutanku perihal apa yang mungkin akan diberitahukan oleh dokter.

“Kabar baiknya, untung malam itu kamu cepet nelfon ambulance dan akhirnya Ibu kamu bisa cepet dibawa ke rumah sakit. Beruntungnya lagi, Ibu kamu bisa kita beri penanganan utama sewaktu sampai..” Jelasnya, mengukir senyum disana tapi tidak denganku disini, karna ada kabar buruk yang akan aku terima selepas ini. “Kita tunggu Ibu kamu sadar..” Sambungnya lagi.

“Untuk kabar buruknya..” Ia membuang nafas. Kini aku merasakan bahwa jantungku sudah jatuh dan tidak lagi mampu berdetak, rasanya aku ingin menutup telingaku rapat-rapat.

“Awalnya sebelum di diagnosa Hiperglikemia, Ibu kamu di diagnosa Pankreatitis?” Aku mengangguk.

“Penyebab Pankreatitis sendiri bisa jadi karna keturunan, atau..” Ia menggantungkan kalimatnya sebentar. “Konsumsi alkohol berlebih dan.. efek samping obat-obatan.”

Aku menunduk kali ini, tidak mau menatap manik mata lawan bicaraku. “We found out, kalau Ibu kamu mengonsumsi Carbimazole. Kamu tau Ibu kamu mengonsumsi obat-obat-an semacam itu?”

Aku tutup mataku. Ia masing menggantungkan tanya. Aku belum mampu menjawab.

“Aku..” Kini suaraku mulai mengudara. “Aku sering liat Ibu minum obat dulu, tapi aku gak tau obat apa yang dia minum. Kalau ditanya, dia selalu bilang itu cuma obat pereda nyeri karna kepalanya pusing.”

Manik mataku mulai bertemu sang dokter. Irisnya bergetar, ia lagi-lagi membuang nafasnya kemudian menyandarkan tubuhnya pada kepala kursi. Aku kembali menunduk.

“Carbimazole biasanya di konsumsi oleh mereka penderita gejala hipertiroidisme. Kondisi dimana kadar hormon tiroid terlalu tinggi didalam tubuh. Memang, Carbimazole membuat pengonsumsi merasa jadi lebih baik. Misal, akibat hipertiroidisme tadi, jantung yang berdebar kencang, tangan yang bergetar hebat, dan suasana hati yang buruk jauh jadi lebih baik dan menenangkan..” Jelasnya lagi. “Ibu kamu.. dulu memang ada gejala hipertiroidisme? Atau.. Apa Ibu kamu tau kalau Carbimazole harus di konsumsi dengan resep dokter? Atau memang sudah di resepkan?”

Aku kelu. Diam seribu bahasa tidak mampu menjawab.

Karna aku tau, semenjak masuk SMA dulu, aku tau itu bukan sekedar obat pereda nyeri sakit kepala seperti Paracetamol yang kerap kali jadi alibinya. Obat yang Ibu konsumsi dan yang entah darimana Ibu dapat itu, adalah obat yang memang menenangkan dirinya.

Terutama dari bagaimana abusive-nya Ayahku terhadap sosoknya.

Acap kali aku mendengar teriakan yang memekakkan dan memuakkan di rumah. Itu sebabnya, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Vernon. Melakukan entah apa, yang penting tidak perlu aku dengar teriakan menyedihkan yang menggelegar di seluruh rumah.

Ketika aku pulang, ketika aku temukan rumah dalam keadaan tenang, biasanya Ayah akan menonton TV dengan satu piring cookies yang ia letakan di pinggir sofa.

“Nak..” Sapanya. Senyumnya kerap kali membuatku lupa bahwa ia adalah laki-laki paling berengsek yang pernah ada di muka bumi.

Dan biasanya tanpa sadar, aku tersihir. Akan aku jatuhkan tubuhku dalam peluk Ayah. Ia kemudian akan mengalungkan tangannya menuju bahuku, menyuapkan satu cookies kedalam mulutku. Selalu seperti itu, bahkan kalau siang hari aku berkelahi bersama Ayah untuk membela Ibu, malam hari aku akan menemukan momen lain seperti ini.

Tapi bukan berarti aku adalah yang paling mencintainya dan mendeklarasikan bahwa ia adalah Ayah terbaik di dunia.

Walaupun tidak pernah sekalipun ia menunjukan tindakan abusive-nya kepadaku ketika kami beradu mulut. Semuanya, akan berimbas kepada Ibu.

“Bu.. Pisah aja, bisa gak?” Malam itu, cukup larut ketika aku temukan Ibu di dapur baru saja menegak obat yang masih saja ia bilang pereda nyeri sakit kepala, tangannya bergetar hebat.

Tidak lupa, memar diseluruh wajahnya. Matanya bengkak, bahkan bibirnya yang pecah masih mampu memberikan aku senyum penuh kehangatan.

“Tidur, Nadit..” Ia mengelus puncak kepalaku, kemudian berlalu. Masuk menuju kamarnya untuk kembali tidur seranjang dengan lelaki yang bahkan pernah.. memperkosanya. Di depan mataku, ketika umurku masih 14 tahun.

Aku cukup belia untuk menyaksikan hal keji semacam itu.

Mereka berdua tau kalau setiap pulang sekolah aku akan pergi dan mengunjungi rumah Vernon, tidak peduli kalau badai topan sedang melanda Malibu. Tapi siang itu setelah pulang sekolah, aku memilih menyelesaikan pekerjaan rumah di rumah tanpa membawanya ke rumah Vernon. Alasan lainnya adalah karena aku baru saja di belikan meja belajar baru yang sudah aku elu-elukan sejak lama. Sayang saja, kalau tidak langsung dipergunakan.

Baru sebentar aku mencoret di atas buku, aku dengar dentuman keras dari pintu, dan suara teriakan Ibu. Bersahutan dengan suara tinggi amarah Ayah.

Aku keluar dan berusaha turun menuju anak tangga, sampai ketika teriakan Ayah membuatku mengurungkan niat dan memilih mengintip dari lantai atas.

Kali ini aku tidak tau permasalahan apalagi yang terjadi. Namun dari pendengaranku, Ayah berasumsi bahwa Ibu berselingkuh dengan mantan pacarnya sewaktu sekolah dulu.

Dengan pukulan yang terus ia terima, ia berkali-kali bilang bahwa itu hanya pertemuan tidak sengaja ketika berbelanja.

Dari sudut mataku, dapat aku lihat bagaimana Ayah yang mulai menarik tubuh Ibu naik menuju sofa, mulai melucuti pakaiannya sedangkan Ibu bersikeras menolak dan berteriak.

Tubuhku bergetar, apa yang bisa aku lakukan sewaktu dulu? Tidak ada, selain diam dan menangis menyadari sebuah realita bahwa Ibuku diperkosa oleh suaminya sendiri.

Di sudut kamarku, aku menutup telinga sambil menangis. Samar dapat aku dengar teriakan-teriakan yang tidak nyaman di telingaku, suara pukulan-pukulan yang menampar kulit.

Semakin aku tumbuh, aku mulai sadar bahwa Ibu tidak bisa sendiri. Saat itu aku mulai melawan dan melindungi Ibu tiap kali Ayah mulai menunjukan tindakan kasarnya.

Namun, sekalipun tidak pernah Ayah melampiskan amarahnya dengan bertindak yang sama seperti kepada Ibuku. Malam hari, kadang ia masuk ke kamarku, mencium keningku dan mengucapkan selamat malam.

Kini aku menangis, kembali mengingat-ingat bagaimana memori pahit itu menyelimuti hidupku. Kini Ayah tidak lagi disini, dan hari-hariku selalu penuh dengan kerinduan. Tapi, kalau semisal Ayah tidak jatuh di kamar mandi kala itu, mungkin Ibu masih terus disiksa oleh tindakannya.

Ayah pergi tanpa aba-aba, tidak meninggalkan pesan penuh cinta atau ciuman kasih sayang, setidaknya untukku, putri semata wayangnya, putri satu-satunya miliknya.

Kini Ibu di ambang kematian. Tindakan Ayahku kemudian berimbas pada mental dan kepada tubuhnya sendiri.

“Ms. Nadit?” Lamunku buyar, buru-buru aku mendongak dan mengusap air mataku pelan.

I know it is hard for you..” Jelas dokter. “We’ll do our best..”

Aku menekuk senyum, mengangguk kecil.

“Saya masih boleh lanjutkan?”

“Iya..” Balasku, masih menyapu pipiku yang penuh aliran air mata.

“Tadi malam, sewaktu di periksa, kadar gula Ibu kamu ada di 150mg/dL, cukup tinggi dan bisa aja menyebabkan stroke kalau semisal ada di titik tinggi lagi..”

“Normalnya biasanya berapa, dok?”

“70 mg/dL, itu kalau sebelum mengonsumsi gula. Biasanya kalau memang gula darahnya normal, sehabis mengonsumi gula pun, kadar gula darahnya ada dibawah 140mg/dL.”

Kini ia mendekatkan tubuh dan mengistirahatkan tangannya yang tertaut di atas meja, menimpa kertas hasil diagnosa Ibu, namanya tertera disana.

“Ini.. mulai mengindikasi menuju komplikasi..” Cicitnya. “Ketoasidosis Diabetik..”

Aku hanya mampu terdiam, membuang nafasku. “Dalam penanganannya, risiko yang terjadi bisa aja pembengkakan otak karena penurunan gula darah yang terlalu drastis..”

Kini, aku menangis dalam diam.

We’ll do our best, Ms.” Itu kalimat terakhir yang ia sampaikan. Tidak ada lagi kata yang mampu keluar dari mulutku.

Aku berjalan dengan lesu kembali menuju ruang inap Ibu, menemukan ia tergolek dan bahkan belum sadar semenjak malam tadi.

Aku berharap, setidaknya kalaupun Ibu memang harus pergi, ada pesan selamat tinggal yang ia sampaikan.

Bukan yang pergi tanpa aba-aba, bukan yang pergi tanpa meninggalkan pesan cinta.

-

Aku terbangun dari tidur singkatku ketika aku temukan Ibu sepenuhnya sadar. Dari sofa, aku menghambur menuju Ibu, menarik pelan tangannya dan Ia tersenyum.

“Hey..” Cicitnya dengan lemah.

“Hey.. Mom..” Mataku mendadak panas, tenggorokanku tercekat. Suara denting dari Elektrokardiogram memenuhi ruangan.

Ibu tersenyum.

Have you eat your food?” Aku membuang nafas kemudian tersenyum kecil ketika pertanyaan itu terlontar dari mulut Ibu. Seharusnya ia memikirkan dirinya sendiri terlebih dahulu.

Mungkin, memang begitu perangai sosok Ibu. Menomor-satu-kan buah hatinya, tidak peduli apa yang sedang di laluinya, apa yang sedang terjadi pada dirinya.

Feel better?” Tanyaku. Ia mengangguk kecil. Ada selang oksigen di lubang hidungnya.

Aku mendelisik menatap jauh keluar jendela, langit mendadak sudah berubah menjadi oranye, menunjukan bahwa sebentar lagi malam datang.

“Nadit..”

“Yes?” Pandangku bertemu kembali kepada Ibu.

Lay next to me..” Katanya. Menepuk bagian kosong di sisi kanan. “Like we used to..”

Pada saat-saat tertentu setiap malam, aku selalu tidur berdua dengan Ibu. Menceritakan hal-hal aneh yang kami lalui, atau hal-hal menarik yang akhirnya membangun argumentasi penuh canda dan tawa untuk membunuh sunyinya malam.

Apalagi semenjak kejadian di Ralphs dan aku memutuskan untuk berhenti bekerja Part-time. Waktuku jadi lebih banyak bersama Ibu.

Aku dapat sedikit bagian di kasur kecil yang pas-pas-an milik rumah sakit. Memiringkan tubuh menatap Ibu yang menatap langit-langit dingin.

Kami terdiam cukup lama. Sampai ketika Ibu menoleh barang sedikit, menemukan manik mataku.

If in any cases..” Lirihnya. “I die—“

Mom..”

No. Listen to me first, Nadit. If in any cases.. I die, kamu bisa pakai warisan Ayah dan Ibu buat sekolah fashion yang kamu mau..”

Aku menggeleng. “Aku bakalan pergi kuliah.. Buat Ibu.”

Kini tangannya yang ringkih menemukan pipiku. “You can be anything, Nadit. Anything you want. And it doesn’t matter for me. I am so sorry i have realised it too late.”

Aku tertawa kecil. “Like PapaDrac said to his tiny little girl Mavis?”

Ibu tertawa. “Human, monster, unicorn. As long as you are happy.”

Aku ingat, ketika aku dan Ibu mengagendakan jalan-jalan kecil dan malah berakhir menonton bioskop. Menonton Hotel Translylvania 2 yang saat itu sedang heboh di mana-mana.

Kami lagi-lagi tertawa. “I meant it, Nadit. Just.. be anything you want, okay?”

Aku mengangguk. Kini ikut menggapai pipi Ibu dan mengelusnya lembut.

You almost 19..” Cicitnya lagi. “Ibu gak pernah bayangin kalau kamu bakal tumbuh dan jadi perempuan cantik kaya gini..”

“Buuu..” Aku merengek.

“Yang Ibu pikir, kamu bakalan selama-lamanya jadi Nadit umur 3 tahun. Belajar naik sepeda dengan kaki kecilnya, atau merengek minta Ibu atau Ayah belikan Es Krim..”

Aku tertawa kecil entah untuk yang keberapa kalinya. “I’m proud of you, Nadit.. And I truly am glad, that you are mine, that you are a part of me, that you are my daughter..”

Mataku basah. “I truly am.. glad.. that i am a part of you. I love you, Mom..”

Dengan susah payah, Ibu bergerak mendekat untuk mencium keningku dan beralih menuju puncak hidungku.

Ia tatap lekat manik mataku dan tersenyum penuh sendu. “I always like an ocean eyes, tapi sewaktu itu, Ibu malah jatuh cinta sama green eyes.”

Dad?”

“Bola mata kamu mirip sama Ayah.. For a sec i thought you were him.”

“Aku anaknya.. Bu..” Kataku, Ibu tertawa kecil kemudian.

“Nadit..”

“Ya?”

Have you ever.. been in love?”

Aku diam. Menggigit dalam bibirku dan menimbang, haruskah aku ceritakan kepada Ibu perihal Mingyu? Terutama tentang jarak umur dan statusnya?

Tiba-tiba aku teringat soal ponselku yang tertinggal dirumah. Entah sudah berapa banyak pesan yang mungkin masuk, atau mungkin tidak ada sama sekali? Entahlah.

“Hey?” Lamunku buyar seketika ketika Ibu bersuara. “Ada, ya?”

Aku hanya tersenyum menekuk bibir. Sampai akhirnya Ibu mulai kembali bersuara.

“Rasanya salah ya, Ibu mempertahankan Ayah?” Kini Ibu mengawang menuju langit-langit kamar rumah sakit. Dari sudut matanya, ada air mata yang mulai mengucur pelan.

“Setiap hari setelah Ayah mukulin Ibu, Ibu merasa yakin kalau suatu hari Ayah bakalan berubah. Setiap tidur, setiap ngeliatin Ayah tidur, Ibu balik keinget masa-masa awal ketemu Ayah. Sewaktu dia ngajak Ibu keliling Jerman, ketemu keluarganya dan akhirnya memutuskan buat nikah..”

“Tabiat Ayah kamu keliatan pelan-pelan sewaktu kamu lahir. Kalau kamu tanya Ibu kaget apa engga, luar biasa..”

“Kalau kamu nanya lagi apa Ibu mau pergi ninggalin Ayah? Iya. Selalu. Tapi Ibu ingat lagi, kalau Ayah jadi kaya gitu gak terlepas dari trauma yang dia punya.. Setiap hari, Ibu selalu yakin kalau Ayah bakalan berubah..”

“Semenjak itu, Ibu selalu mendistrak diri dengan membaca buku perihal perempuan. Dan Ibu nemuin satu kalimat yang bilang, ‘Kalau perempuan akan bertemu dengan dirinya sendiri dari umur 18 tahun sampai 23’ Dia akan belajar banyak tentang hidup terutama cinta. Maka setelah umur 23, dia akan menghargai banyak hal, bergerak pelan dan berhati-hati dalam menemukan hati, karna dia sudah bertemu dengan dirinya sendiri..”

Kini pandang Ibu kembali menemukan manik mataku yang telah basah.

“Ibu gak bilang kalau sewaktu itu umur Ibu salah disaat ketemu Ayah dan gak jatuh cinta di umur 23. Tapi buat kamu, Nadit.. Ibu gak nuntut banyak. Temukan sebanyak-banyak-nya hati, tapi tetap harus berhati-hati, ya? Sekarang, kamu gak perlu berumur 23 tahun buat jatuh cinta. Kalau di umur kamu yang masih 19 tahun ini kamu udah nemuin diri kamu, kamu udah mengerti perihal memaknai jatuh cinta itu sendiri, go ahead. Find it, fall, and fall..”

“Ibu cuma mau.. apa yang kamu temuin, apa yang kamu cari, memang bukan sesuatu yang salah.. Bukan menomor-satu-kan perasaan di atas segalanya, *but yourself first..”

Lekat senyum Ibu ketika itu bukan yang biasa ia tunjukan padaku. Senyumnya tenang, senyumnya bahagia, senyumnya di saat yang bersamaan sendu, sedih, hancur. Namun manik matanya, manik mata berwarna biru itu membuatku tenggelam dalam-dalam. Cintanya untukku, kasih sayangnya serta perihal memaknai diri sendiri sebagai yang nomor satu, terhantarkan begitu hangat.

Detik itu, aku peluk Ibu, walaupun bukan pelukan yang sempurna. Walaupu tubuhku tidak sepenuhnya terengkuh, namun hangatnya menggerogoti tubuhku.

Jiwaku tidak butuh apapun, aku hanya butuh Ibu.

-

“Miss..”

“Y-yes?”

“We did our best, sorry..”

-

Tadi malam aku bermimpi, tangan Ayah dan Ibu bertaut dengan kedua tanganku. Kami bertiga terus bergandengan di jalan setapak, tertawa terbahak seakan akan kebahagiaan memang diciptakaan untuk selamanya.

Ayah mengelus puncak kepalaku, Ibu menggesekan ujung hidungnya dengan hidungku.

Belum pernah aku rasakan hangatnya bahagia seperti ini. Tapi malam itu, mimpiku rasanya adalah yang paling nyata sampai-sampai aku menolak untuk bangun.

Kemudian kami bertiga sampai di ujung terowongan besar, Ayah dan Ibu menghentikan langkahku.

Ketika itu, Ayah menarikku dalam pelukannya, ia berbisik, “Nadit, you are the best girl i ever have. Thank you for taking care of your mom, of the love of my life.. We need to go..”

Aku tidak mampu membalas, rasanya ketika itu mulutku terkunci rapat.

Bergantian, kini Ibu menarikku, ia berbisik, “Nadeeta, jalan yang panjang, jalan. Ibu selalu ada buat kamu dan kamu gak perlu meragukan itu. Again, i am glad you are mine, always. I love you.”

Mereka kemudian saling menautkan jemari, melangkah seirama sampai akhirnya tiba di mulut terowongan. Dari jauh, aku lihat tatap dan tawa Ibu ketika menatap Ayah, penuh cinta, penuh bahagia. Tidak seperti ketika ia menjalani hari-harinya di dunia.

Keduanya sempat berbalik sebelum melangkah lebih jauh, melambaikan tangannya di udara, melambaikan tangannya kepadaku.

Ibu pergi.

Untuk hari ini, besok.. dan selamanya.

I won’t, Mom..”

Why?” Nadit tutup bukunya. Mengerang sebal karena Ibunya terus-terusan menyuruhnya pergi pada agenda akhir tahun sekolah itu.

That is just.. not my things.”

Nadit ambil bukunya kembali, diujung kasur sana, Ibunya asik mengelus kakinya, sesekali memijitnya.

“Nadit..”

“Yes?” Untuk kesekian kali, buku yang Nadit baca ia tutup dan kali ini ia asingkan agak jauh dari gapaiannya.

Are you really.. have no crush to.. somebody?”

Alis Nadit berkerut hebat, bingung atas pertanyaan Ibunya.

Semenjak awal masuk SMA, setiap punya waktu berdua seperti ini, Nadit selalu dicecar oleh pernyataan Ibunya tentang : ‘don’t falling in love too fast.” Pertama kali mendengar itu, tentu saja Nadit butuh alasan yang masuk akal perihal : “Kenapa, Bu?”

Tapi, setiap kali di tanyai, acap kali Ibunya menjawab : “Nanti, kalau umur kamu udah cukup, kamu bakal paham.”

Nadit sendiri selalu merasa sudah cukup umur. Angka 18 harusnya sudah cukup untuk mengetahui semuanya. Apa yang Nadit tidak tau di umur itu? Rokok? Sudah ia sentuh bahkan sebelum menginjak umur legal, minum? Hubungan Sex? Sudah Nadit pelajari di sekolah, tentu saja. Ciuman pertama? Oh, belum.. sejauh ini, hanya sebuah fantasi yang membelikat pemikirannya soal itu. (Dan tukar pengalaman teman-temannya yang sudah lebih dulu merasakan itu yang akhirnya menjadi pendukung fantasi di kepalanya.) Sejujurnya, pergaulan sudah mengantarkan Nadit pada hal yang lebih eksplisit dibandingkan ‘jangan jatuh cinta dulu, Nadit.’

Nadit tau semua dan ia sudah cukup. Namun, sampai detik ini, definisi ‘cukup’ bagi Ibunya, belum Nadit temukan ada dimana.

“Kenapa? Ibu bilang jangan jatuh cinta dulu. Kok ini malah nanyain gebetan?” Ibunya malah tertawa. Mata wanita paruh baya itu mengawang, mendelisik tiap-tiap sudut kamar Nadit.

“Aku belum cukup umur, ya?” Ibunya menghentikan agenda delisiknya, menoleh kemudian pada anak semata wayangnya itu.

Gun N Roses, the Beatles.. piringan Ayah, ya?”

“Ibu.. jangan mengalihkan pembicaraan gitu..” Ibunya lagi-lagi tertawa, mengelus kaki putrinya.

“Memangnya.. gak ada apa yang ngajakin kamu pergi Prom?”

Nadit menggigit bibir bawahnya. “Tuh kan.. ada..”

“Tapi, Bu.. kaya yang aku bilang.. it’s just not my things.. kaya.. Dancing? Aku bahkan gak bisa nari?”

You read all of these books, tapi gak mau pergi Prom? Bohong..”

Nadit terkekeh kecil. “It’s not the same.. Mom.”

“I have something for you..” Ibunya tiba-tiba bangkit, menghilang dari balik pintu. Dapat Nadit dengar suara langkahnya yang menuruni tangga, decitan pintu yang berarti menunjukan bahwa Ibunya masuk ke kamarnya. Suara decitan pintu lain dan suara Langkah lain menuju anak tangga.

Kini tubuh Ibunya dapat Nadit tangkap dalam visual, berjalan kembali menuju kamarnya dan kotak berwarna hijau Sage dan pita yang menghias tutupnya.

Ketika Ibunya mengangkat tutupnya, Nadit temukan sesuatu dress putih dengan kain tile yang memenuhi kotaknya dan beberapa renda yang menghias disana.

What.. is.. this?” Alis Nadit menungkik tajam.

A dress.. come on.. try it. Ini punya Ibu waktu Prom dulu.. Come onnnnn..” Nadit bangkit dengan malas. Akibat paksaan Ibunya, akhirnya malam itu ia tatap pantulan dirinya diselimuti gaun putih selutut yang ditutupi kain tile dan beberapa renda di bagian dada dan pinggul pada bajunya. Vintage.

“Ibu pakai ini waktu Prom. You have no idea how my night was before the Prom started in the next tomorrow night. Sepanjang malam, Ibu deg-deg-an ngeliatin bajunya yang di pajang di sudut kamar. The excitement, bahkan masih bisa Ibu rasain sampe sekarang.” Dibelakang tubuh Nadit yang lebih tinggi dari Ibunya, ia elus lengan gadisnya. Dapat Nadit rasakan dengan jelas akibat dressnya yang tidak menutupi lengan sampai ke sekitar dadanya. Bahkan dari pantulan cermin, dapat ia lihat ekspresi wajah Ibunya itu.

Nadit tersenyum, sudah lama tidak ia lihat ekspresi itu. Apalagi mengingat bagaimana agenda bulak-balik rumah sakit yang membuat ekspresi itu hilang dan susah terdeteksi eksistensinya.

And also.. that was the night when I met your Dad.. jadi sebetulnya, Dress ini punya sejarah.” Kali ini Nadit tertawa kecil. Kini Nadit tidak lagi berdiri menatap pantulan dirinya didepan kaca yang ia letak di sudut kamarnya, melainkan memutar tubuh berhadapan dengan Ibunya.

Kedua pipinya di elus lembut, seluruh sudut wajah Nadit di jelajahi pupil mata yang berwarna Ocean Blue itu.

“Go.. Nadit. Mungkin itu bisa jadi cara kamu menemukan takdir, just like me..”

Kini, Nadit yang mengangkat kedua tangannya dan mulai mengelus pipi Ibunya yang tidak lagi memiliki kulit yang kencang. Ada beberapa bercak luka disana.

But what if.. takdirku bukan mereka yang salah satunya ada di acara Prom, Bu?”

You have a crush on someone? Not your classmate? Or what?

It’s complicated, sebenarnya.. Haha..” Tawa Nadit terdengar canggung. “But.. we have nothing. Kita.. cuma temen aja.”

Yes. That is good. Don’t—”

“—Falling in love too fast. Yes, I get it.”

Senyum kembali mengembang di sudut bibir Ibu Nadit.

So.. you’ll go?”

Diam. Nadit menimbang. Apalagi ajakan Vernon tadi yang sempat sudah ia ketik namun belum ia kirimkan.

Okay.. I’ll go.”

Apa yang paling menawan dari Los Angeles di California? Distrik Hollywood yang jadi destinasi wajib? Atau landmarknya yang berada di Hollywood Hills? Sebuah tulisan besar yang jadi satu hal wajib untuk di pamerkan yang letaknya ada di atas bukit.

Atau, studio yang terletak di 100 Universal City Plaza, Universal City, Amerika? Universal Studio Hollywood? Yang menyediakan wahana mulai dari Jurassic Park the Ride bagi mereka si pecinta Dinosaurus atau Despicable Me bagi pecinta Minion dengan segala ke-imut-annya?

Atau lagi, Venice Beach Los Angeles dengan keindahan pantainya sampai-sampai penduduk disini memanggilnya Venice of America? Banyak. Ada banyak hal di Los Angeles yang bisa dijadikan tempat untuk diromantisasikan.

Dan untuk ‘atau’ yang kesekian kalinya, ada hal yang patut di romantisasikan dan bukan ketiga tempat terkenal itu yang selalu jadi pujaan turis. Getty Museum yang berlokasi di Brentwood, sebuah kota yang berada di Williamson, Tennessee, sisi barat dari Los Angeles, California.

Pagi itu, Mingyu temukan Seokmin yang terbangun dengan rambut menyeruak bak singa, ia bahkan belum mandi padahal jam Internshipnya akan mulai dalam beberapa jam lagi.

Dua piring waffle hangat Mingyu sajikan di atas meja makan.

“Telat bangun lo? Habis dari mana aja semalem kok telat balik? Gue liat celana lo basah total, dari mana memang?” Seokmin menganga disela kunyahannya ketika dicecar pertanyaan tanpa jeda dari mulut Mingyu.

“Apaan dah bang, nyawa gua belum kekumpul udah lo kasih pertanyaan kaya begitu.” Jelasnya sambil mengunyah. Kini ia berusaha menelan, “Satu-satu kali..” Sambungnya lagi.

“Yaudah, darimana?”

Sambil mengucek mata, Seokmin tersenyum kecil. “Ada..”

Mingyu sempat berhenti mengunyah ketika menatap ekspresi wajah Seokmin yang cerah dengan kotoran di sudut matanya yang masih duduk manis belum dicuci, ia menggelengkan kepalanya.

“Somi?” Mata Seokmin membelalak hebat serta batuk yang membuatnya menyemburkan makanan yang dikunyah tadi, beberapa berhamburan di atas meja. Buru-buru ia ambil tisu, membersihkan mulutnya serta meja, dan menegak air putihnya cepat dan terburu-buru.

“Jorok banget anjing!” Seru Mingyu mengangkat piringnya menjauh dari meja. “Lagian disebut Somi kenapa pake acara batuk segala sih?”

Sambil membersihkan bibir dengan tangan, Seokmin berseru, “Lagian, kenapa checkpoint gitu.”

Mingyu terbahak hebat.

Keduanya kemudian diam, menikmati makanan masing-masing di atas meja.

“Sebenernya, gua butuh nasi tau, Bang. Aneh banget ya, sarapan tiap hari kaya begini..”

“Ya lo bangun pagi lah mangkanya. Masak tuh sendiri apa yang lo mau buat sarapan. Nasi goreng kek, atau kalau mau bikin gulai buat lauk juga boleh.”

“Gila, hajatan kali gue sarapan sampe masak gulai..” Balas Seokmin.

“Yaa.. kali aja lo mau..”

Seokmin menggeleng hebat, menegak air lagi.

“Oiya bang..” Setelah makanannya tertelan dengan sempurna, ia lagi-lagi bersuara, “Sore ini after office, cek dan ricek laporan gua dong..”

Mingyu yang mengunyah mengibaskan tangannya di depan wajah. “Gak bisa.”

“Kenapa? Lembur lo? Tumben?”

“Enggak. Gue ada janji.”

Seokmin diam cukup lama, tidak berkedip dan menjamahi seluruh wajah Mingyu dengan matanya.

“Apa?” Mingyu bertanya ketika menyadari bahwa tatapan Seokmin penuh dengan tanya.

“Mau kemana lo?”

“Kepo banget anak kecil..”

“Dih? Umur gue udah kepala dua lo bilang kecil elah..” Kini Seokmin menyeringai, lekat menatap wajah Mingyu. “Gua tau..”

Dengan alis yang menungkik tajam, Mingyu membalas, “Apa?”

“Nadit, kan?”

Kali ini bergantian, di sela tegukan air yang sedang ia minum, Mingyu tersedak, bahkan sedikitnya menyemburkan air ke wajah Seokmin.

“Gua kaga usah mandi lagi kalau begini ceritanya, Bang.” Buru-buru Mingyu tarik beberapa lembar tisu dan membersihkan segalanya, tidak lupa wajah Seokmin.

Sorry..” Cicitnya.

Checkpoin?”

”Udah mending lo selesaiin sarapanlo sekarang juga. Telat datang ke kantor gua kasih nilai C.”

Seokmin terbahak. “Kepala Departemen kali yang kasih gue nilai.”

“Lo kira gue gak bisa ngasih lo nilai C?!”

“Hehe.. jan emosi gitu dong ayang. Mandi nih mandi..” Sambil mengangkat piringnya, Seokmin berlalu. Ia melangkah menuju kamar mandi untuk bebersih diri dan pergi bersama Mingyu untuk memulai hari.

-

“Somi sama sekali gak ikut Prom, tau, Gyu..” Sapaan baru milik Mingyu membuat ia tersenyum sembari menatap jalanan. Pukul 4 sore, setelah jam kerja, buru-buru ia pulang dan mandi, mengganti pakaian dan memusnahkan kemeja serta jas yang terus-terusan mengikatnya. Kini ia bermodalkan pakaian kasual serta coat panjang berwarna hitam yang ia bawa di kursi bagian belakang.

“Oh ya?” Masih fokus menatap jalanan, Mingyu bersuara membalas pernyataan Nadit dengan suara yang agak kesal.

“Iya. Dia sempet telfon terus cerita. Padahal dia tuh bisa aja jadi Prom Queen tapi kesempatan itu dia buang gitu aja.”

Satu jam perjalanan mereka dari Malibu menuju Los Angeles, obrolan kecil kerap tercipta. Tawa yang mengudara, nyanyian-nyanyian kecil yang mereka gumamkan, atau sentuhan-sentuhan tidak sengaja yang tercipta.

Mereka sampai di Getty Museum pada 30 menit sebelum di tutup. Nadit terburu-buru, sampai harus menarik pergelangan tangan Mingyu untuk berjalan cepat memasuki gedung.

Slow down, Na..”

“Kita bisa telat kalau gak cepet.”

“Emangnya kamu mau lihat apa? Kan sama kaya Frederick..” Masih dalam genggaman Nadit di pergelangan tangannya, tanpa Nadit menoleh kebelakang, Mingyu bersuara sambil terus mengikuti langkah kaki si gadis.

“Ada.. ada satu yang gak ada di Frederick.”

Mengacuhkan seluruh seni yang ada di dalam museum, Nadit akhirnya sampai pada satu lukisan yang ia elu-elukan.

Irises, karyanya Vincent van Gogh.” Kini Mingyu mendongak, lekat-lekat menatap pencampuran warna yang menyatu penuh simetri yang tidak biasa. Baginya, karya Gogh itu menenangkan hati. Namun, ketika ia menoleh, melihat ‘iris’ yang lain karya tangan Tuhan, jantungnya berdebar hebat.

Nadit Bahagia, hanya dengan menonton benda mati yang dipajang itu, dan Mingyu mampu menyadari serpih bahagia milik Nadit hanya dengan pantulan cahaya dalam bola matanya. Kedip matanya berirama, gerak bola matanya menjamahi seluruh simetri yang Gogh Lukis begitu menawan, sudut bibirnya terangkat hebat, cara ia menikmati karya, adalah indah.

“Kamu tau gak, Gyu..” Tanpa mengalihkan pandang, Nadit bersuara. “Lukisan ini tuh, satu dari sekian banyak lukisan yang dia lukis waktu dia ada di rumah sakit jiwa di Prancis tahun 1890. Gogh bilang, lukisan ini penangkal petir dari penyakitnya. Gogh ngerasa kalau dia bisa mengendalikan penyakitnya dengan terus-terusan ngelukis.” Masih belum juga Nadit pandang lawan bicaranya.

“Gogh sepanjang hidupnya selalu berusaha buat mastiin bahwa lukisannya enggak hanya menyampaikan apa yang dia lihat disekelilingnya, tapi, apa yang dia rasain disaat yang bersamaan, presepsinya tentang dunia yang dia gambar.”

Mingyu kini ikut fokus kepada lukisan yang dibingkai rapi tersebut.

“Kamu bisa rasain presepsi Gogh dari warnanya, bahkan aromanya..” Nadit menutup mata, menghirup dalam oksigen disekitarnya. Mingyu yang menoleh mulai membatin. ‘Secinta apa kamu sampai aromanya bisa kamu rasain, Na?’

“Van Gogh Cuma mau orang-orang ngeliat ‘Irises’ untuk ngeliat bahwa ini dilukis dari orang yang berfikiran sehat, orang yang dengan segenap jiwanya mau sembuh dan terus bekerja. Mau gimana pun, Van Gogh punya mimpi, dia mau membuktikan ke dunia bahwa lukisan dengan metode kerjanya memiliki sebuah hak untuk hidup.”

“Lukisannya cerah, Gyu, kamu bisa ngerasain perasaan positif waktu kamu ngeliat lukisannya.” Nadit masih belum mengambil fokus menuju Mingyu. “Karena sewaktu ngelukis, ada harapan di dalam diri Gogh supaya ngelukis bisa bantuin dia buat sembuh.”

Jeda cukup lama tercipta, kemudian ekspresi wajah Nadit berubah sendu, alisnya bahkan bergetar. “Tapi ternyata, itu belum bisa nyelamatin Van Gogh. Juli 1890, sewaktu umurnya 37 tahun, dia malah nembak dirinya sendiri di dada dan dua hari kemudian.. dia meninggal.” Lekuk senyum Nadit ikut menghilang. “Dia bilang sama saudaranya bahwa sepanjang hidupnya, dia berusaha untuk memiliki sesuatu yang mampu menghibur di dalam tiap seninya.. Dan ‘Irises’ ini, jadi impian Gogh yang akhirnya tercapai. Don’t you think so?”

Akhirnya, tatap Nadit beralih menuju lawan bicaranya.

Did you find peace in it, Gyu?” Mingyu mengangguk kecil.

‘I find peace in you.’ Suara hatinya menggema, bahkan membuatnya merinding.

“Satu lagi, kamu sadar gak sih kenapa dia kasih nama lukisan ini ‘Irises’?”

“Why?”

“Enggak tau ya, tapi menurutku mungkin dia mau, setiap orang yang melihat ‘iris’ nya, sadar bahwa ‘aku itu berpikiran sehat’ dan ‘Irises-ku, dilukis oleh orang yang berfikiran sehat’. Kamu paham gak? Satu kata yang sama dengan dua presepsi berbeda?”

Mingyu membelalakan matanya.

“Right?” Kata Nadit, ia kembali mengalihkan pandangnya kepada lukisan.

“You love this masterpiece so much, ya, Na?”

“Yes..” Tanpa ragu, Nadit jawab dengan lantang. “It is like.. my comfort zone. Apalagi dengan cerita di baliknya.” Jelasnya lagi. “You know, like Van Gogh said, kalau ‘Irises’ adalah penyelamatnya. Dia berusaha bangkit di masa-masa sulitnya. I don’t know, but it seems like, ‘Irises’ membangkitkan semangatku kalau aku lagi ada di posisi paling berat dalam hidup. The positive vibes he built inside of those color, makes me happy. Makes me wanna.. experience a new day.”

Mingyu tatap lekat lekuk wajah si gadis. ‘Irises’ bukan lagi jadi satu fokusnya. Ada yang lebih cerah, dan ada hal positif yang selalu Mingyu terima tanpa si penghantar sadar secara nyata.

‘Kalau ‘Irises’ adalah penyelamat bagi Van Gogh dalam menangkal penyakit, maka Nadit yang akhirnya menjadi penyelamat untukku dalam menjalani hari penuh dengan segala pertikaian yang ada di dalam kepala. Kalau Van Gogh ingin menyampaikan kepada dunia bahwa lukisan ini dilukis oleh orang yang berfikiran sehat, yang jiwanya ingin sembuh, maka bagiku, Nadit adalah penyampaian kepada dunia bahwa manusia sepertiku adalah seseorang yang masih mau bangkit dari pilu kehilangan yang merenggut bahagiaku. Bahwa, tidak hanya ‘Irises’ yang mampu melahirkan sebuah seni untuk menghibur yang berasal dari gerak tangan seorang pelukis, tapi tangan Tuhan, mampu menghadirkan satu anak manusia yang mampu menghibur senduku sama seperti kerlip harapan Van Gogh dalam karyanya.

Nadit, adalah ‘Iris’-ku.’

“Gyu.. habis ini kita ke Last Bookstore, yuk?”

- The Last Bookstore terletak di Spring Street, di tengah kota Los Angeles. Berbentuk labirin penuh dengan koleksi buku baru, bekas, bahkan rekaman. Gedung The Last Bookstore adalah bekas sebuah bank yang dulu dipenuhi oleh tumpukan uang, namun kini dipenuhi oleh tumpukan buku.

Buku-buku ditempatkan secara acak di seluruh ruangan. Beberapa buku bekas ditumpuk untuk menjadi interior. Mingyu, tidak henti-hentinya membulatkan bibir, takjub atas ide yang tersampaikan dalam membangun sebuah interior. Katanya, ‘Kaya di film Harry Potter, ada buku terbang..”

Nadit terbahak kencang, kemudian mulai menyusuri labirin penuh dengan buku untuk mencari satu dari sekian banyak yang unik. Mingyu melangkah seirama di belakangnya, ikut menarik satu per-satu buku dari susunan dan membaca ringkasan dibelakangnya.

Ketika mendapatkan buku baru yang mereka punya, mereka mulai melangkah menuju kasir, membayar kemudian pergi ke sudut literasi yang memang disedikan khusus. Setelahnya, mereka hanya tenggelam dalam visualisasi narasi dalam buku yang digenggam masing-masing.

“Na..”

“Hm?” Tanpa mengalihkan pandangnya dari halaman buku, Nadit menyahut.

“Kenapa namanya ‘The Last Bookstore?’ Ini toko buku terakhir yang ada di downtown, ya?”

“Oh..” Nadit membalik lembar bukunya. Matanya mulai bergerak dari awalan baris pertama menuju akhir, dapat Mingyu saksikan hal itu ketika manik matanya menangkap manik mata Nadit yang terus saja fokus tanpa terdistraksi, padahal ia bertanya. “Itu—”

Mingyu tarik buku dari hadapan wajah Nadit, meletakannya di atas meja pada sudut literasi, menangkup kedua pipinya, menarik tatapnya menuju tatap milik Mingyu. “Aku nanya, jadinya fokusnya ke aku..”

Nadit diam cukup lama, terkejut.

“Kamu posesif..” Cicit Nadit. Pada awalnya, ia berfikir bahwa Mingyu akan marah atau kesal ketika mendengar pengakuan Nadit barusan. Sebaliknya, Mingyu menutup hidungnya untuk menghindari suara berisik tawa yang mungkin saja menggelegar memenuhi ruangan.

“Kok malah ketawa?”

“Kok posesif sih, dimana-mana kalau mau ngobrol harus eye-contact, tau, Na..” Jelas Mingyu. “Boleh?”

“Boleh apanya?”

“Boleh gak, fokusnya ke aku kan soalnya aku lagi nanya?” Kali ini bergantian, Nadit terbahak kecil. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan kemudian menyenderkan tubuhnya pada kepada sofa empuk, mengawang pada langit-langit toko buku.

Kini Mingyu ikut melakukan yang sama, mengistirahatkan tubuh pada kepala sofa, namun mengawang pandang pada gadis disebelahnya.

“Toko buku ini tuh bukan yang terakhir ada, Gyu.” Sama seperti kejadian di Museum tadi, pandang Nadit tidak beralih dari benda atau hal yang sedang ia jelaskan. Seperti kali ini, bola matanya pergi ke kanan dan ke kiri, menjamahi seluruh yang ada dalam bangunan besar dan tampak tua namun tetap meyakinkan untuk dijadikan sebuah toko buku berbentuk labirin seluas itu. Dan pandang Mingyu, akan tetap terpaku pada Nadit, sama seperti saat di Museum tadi.

“Waktu Josh Spencer buka toko buku ini di tengah kota Los Angeles, dia mikir kalau toko buku ini bakalan gagal karna sampai 3 tahun, toko bukunya di tolak terus sama industri perbukuan. Jadi dia milih nama yang ironis, tapi kesannya berani. Kamu mikir gitu gak?” Kini pandang Nadit menoleh kepada Mingyu yang masih menikmatinya bercerita.

Mingyu menggeleng. “Yang aku pikirin cuma.. ini emang toko buku terakhir yang ada di tengah kota Los Angeles.”

“Sampe mikir gak, kalau nanti ada Apocalypse, toko buku ini tetep jadi yang terakhir?” Canda Nadit, Mingyu membelalak dan mengangkat kepalanya yang tadi beristirahat pada kepala sofa. “Never thought about that, tapi gara-gara kamu bilang gitu, mungkin aku bakalan mikir kaya gitu.”

Mereka terbahak kecil, kemudian kembali seperti posisi semula. Nadit yang mengawangkan pandang, mengembara menuju langit-langit dan ornamennya, sedangkan Mingyu, kepada Nadit.

“Spenser jadi lebih terbuka soal realita bahwa dia kecelakaan, dan harus jadi Paraplegia. Jadi orang yang lumpuh..” Nadit menggantungkan kalimatnya sebentar. “Aku sempet nyari penyebab Paraplegia itu apa, dan mostly ya gara-gara kecelakaan terus sum-sum tulang belakangnya cedera.” Sambungnya.

“Hebatnya lagi, dia sama sekali gak punya takut dan bilang kaya gini ‘I’ve lost things in my life much more traumatic than a business, if I can deal with that, I can certainly deal with a business failing.’

“Kok kamu hafal?”

“Aku tulis di post-notes, terus aku tempel di dinding. Kamu memangnya kemarin gak baca?” Mingyu menggeleng.

Spenser bilang lagi, kalau dia pengen toko buku-nya tuh autentik, dia pengen memberikan pengalaman yang keliatannya dingin, tapi tetep jadi sebuah bahan kalkulasi. Intinya, dia mau tokonya beda dari yang lain. And here you are, Gyu. Kita kaya di dunia lain, kan? Kaya bukan di Los Angeles.. Kaya kita ada di dunia sihir, Hogwarts!” Jelas Nadit dengan nada penekanan yang menyenangkan.

“Bahkan Spenser tuh pernah cerita di salah satu Blog yang aku baca, kalau sewaktu dia bongkar berpuluh-puluh kotak yang isinya buku hasil donasi, dia pernah ketemu 500 bucks di satu waktu, ketemu surat cinta aneh yang gak tau makna dan maksudnya apa, bahkan ketemu daun ganja di lembar buku ‘Song of Solomon’” Kini rahang Mingyu jatuh mendengar seluruh pernyataan Nadit. “Crazy, right?”

“500 bucks..” Mingyu mengerutkan alis, berfikir dan menghitung. “Wow..”

“Kenapa?”

“Kalau di jumlahin sama mata uang negaraku, bisa sampe 7 juta..”

“Itu banyak, gak?” Tanya Nadit.

“Ya banyak, Na. Kamu bisa beli kacamata Dior kalau punya duit segitu..”

“Cuma kacamata? Ya dikit dong kalau gitu..”Mereka tertawa kecil. Agendanya masih sama. Namun kali ini, Mingyu ikut mengawangkan tatapnya ke langit-langit toko buku. Benar, mereka seperti berada di sebuah dunia penuh dengan sihir dan penuh dengan ketenangan.

“Udah malem, kita mau kemana lagi habis ini?” Dari kepala yang masih ia istirahatkan ke kepada sofa, Mingyu menoleh. “Mau makan?”

“Boleh..” Nadit ikut memaku tatap kepada lawan bicaranya. “Habis itu kita langsung balik aja..”

“Bener? Gak mau main dimana-mana lagi?”

Bukannya menjawab, Nadit malah tersenyum. “Kita nanti berhenti di rumah kamu, ya. Habis itu duduk di belakang.”

“Ngapain?”

“Ada..”

-

Nadit mengangkat satu kursi di beranda bagian belakang rumah Mingyu menuju pinggir pantai, agak menjerumus menuju debur ombak, namun masih agak jauh.

Mingyu masih dengan beribu pertanyaannya di dalam kepala, ikut mengangkat satu kursi dan meletakkannya tepat disebelah Nadit.

“Mau ngapain, sih?”

“Buku kita tadi mana?”

“Di.. Dalam?”

“Ambil..” Alis Mingyu menungkik tajam. “Ambil, Gyu!”

Mingyu kemudian melangkah menjauh masuk kembali ke dalam rumahnya. Tidak berselang lama, ia kembali dengan dua buku di tangan dan duduk di bangku yang sudah ia angkat tadi, yang ia letakan tepat di sebelah Nadit.

Ia serahkan satu buku milik Nadit, mengambil posisi duduk dan meletakkan buku miliknya di atas paha.

“Then what?”

“Read..” Nadit membuka halaman yang ia tandai, mulai membaca baris demi baris.

Menyadari bahwa Mingyu masih penuh dengan pertanyaan di kepala, tidak lekas membuka bukunya, Nadit menoleh, “Baca buku kamu, Mingyu..”

Mingyu diam.

“Believe me, just read..” Dengan membuang nafas pelan, ia buka bukunya pelan. Ia baca kemudian baris demi baris, kemudian paragraph demi paragraf, lembar demi lembar.

Sapuan angin yang menyelimuti kulitnya, menghamburkan helai demi helai rambut, suara dembur ombak yang menyambangi pendengarannya, dan detak jantung yang rasanya mampu ia dengar ritmenya.

Deg. Deg. Deg.

Seirama, pada tempo yang sama. Pelan, dan menghanyutkan.

Mingyu tutup bukunya, ia menatap jauh menuju laut lepas, berdiri dan melangkah, membiarkan celananya basah diterpa air laut, matanya mulai panas.

Ketika tubuhnya berbalik, ia temukan tubuh Nadit yang ikut berdiri dibalik punggungnya.

‘What did you do to this broken soul, Na..’

“I… have never find peace like this..” Cicit Mingyu.

Nadit ikut melangkah, membasahi kakinya untuk bersejajar dengan kaki Mingyu yang sudah lebih dulu basah di hantam ombak yang datang dan pergi. Ia raih satu tangan milik si lelaki, kemudian ia gapai pundaknya yang lebar dan ia jatuhkan tubuhnya dalam peluk. Ia simpan wajahnya dalam tubuh hangat Mingyu dan bergumam,

“Whatever you are, Wherever you are.. You will always be fine.. I promised you, everything will be just fine, Gyu..”

Malam di Malibu, ketika itu bukan lagi sekedar waktu. Untuk kali pertama perihal memaknai sebuah kehilangan, ada yang sembuh dan penuh. Yang letih dan tertatih akhirnya bangkit dari perih. Sendu dan pilu kini perlahan tidak lagi memar lagi membiru. Mingyu tau saat itu, ketika sebuah hadiah peluk merengkuh tidak hanya tubuhnya, namun jiwanya sekaligus. Kepastian dunia belum sepenuhnya ia genggam, namun malam itu, jiwanya tenang. Seakan rumah dan pulang, hanya sekedar sebuah kata pemenuh frasa, karna maknanya, kini terlihat jelas dan dengan sepenuhnya, mampu ia rasa.

“Mau rasa apa?” Nadit mendongak, menatap daftar menu dan mengetuk-ngetuk dagunya berkali-kali, berfikir. Kemudian Mingyu mendekatkan bibirnya menuju telinga si gadis, “Cepetan.. orang-orang ngantri..” Bisiknya.

“Yaudah deh, Salted Caramel aja.”

Mingyu diam menatap Nadit lama. “Apa?”

“Kita berdiri hampir 5 menit disini tapi tetep pilihan kamu Salted Caramel?”

“Katanya suruh cepet?”

“Okay okay.” Mingyu merogoh kantongnya kemudian mengambil pesanan. “I’ll take one Salted Caramel and one for Strawberry.”

Setelah membayar dan mendapatkan dua cone es krim yang kemudian diserahkan kepada Nadit si empunya rasa, mereka berjalan pelan menyusuri jalanan pinggir kota.

You took strawberry?” Mingyu menoleh menatap si gadis. Sambil menyentuh benda dingin itu dengan lidahnya, ia mengangguk.

“Why?”

“Gak papa sih. Nanya aja. Too girly.”

Mingyu malah terbahak. “Kamu terlalu mengotak-kotak-an sesuatu, Nadit.”

“Yayayaya, Mr. Superior Thinking.”

Sejenak sunyi mengembara, keduanya sibuk dengan agenda masing-masing, menjilati makanan dingin yang mereka genggam.

“Kaya.. deja vu.” Gumam Nadit kemudian terkikik.

“Tapi kan waktu itu kita makan es krimnya duduk?”

“Hm..” Nadit menyipitkan mata sambil menoleh pada lelaki tinggi disamping tubuhnya. “Pretty close sih sebenernya. Haha.”

“Nadit..”

“Hm?” Masih fokus pada langkah, ia sama sekali tidak menjawab dengan menatap wajah yang memanggil namanya.

You know about Vernon, right?” Nadit sontak berhenti, ia tatap lamat wajah Mingyu.

Nadit diam, berusaha memilah. Karna sejujurnya, ada banyak yang dia tau soal Vernon.

Don’t you think that he.. likes you?”

Oh.

Nadit menekuk senyumnya, menunduk kemudian kembali berjalan beriringan dengan Mingyu yang berusaha menyelaraskan langkah kakinya.

Complicated ya..”

“No.. aku cuma nanya kamu tau soal itu?”

Yes?”

And then?”

Kali ini Nadit menatap sepatunya. Melangkah pelan menyusuri trotoar kota. Ia biarkan angin menabrak helai rambut yang ia kucir kuda dan bahkan sudah melorot kucirannya. Ia bingung harus menjawab apa.

“Kayanya.. kalau mikir friends to lovers tuh romantis ya? menurut kamu gitu gak?”

Yes?

You know what, Mingyu.. being friends with Vernon is truly amazing. you have no idea soal apa aja yang rela dia lakuin buat aku.tapi aku selalu takut, kalau aku gak bisa bedain ego dan sayang kalau semisal hubunganku sama dia lebih. I am so afraid that i’ll hurt him, and i am so afraid that he will hurt me.”

“Banyak hal yang sebenernya gak harus lebih. cukup. Yaa kaya hubungan aku sama Vernon. cukup sampai di teman aja.” Sambung Nadit lagi.

Entah untuk yang keberapa kali diam terus mengudara, keduanya sibuk membekap suara. “Aku jahat, ya?”

Mingyu tersontak. “Hah? Enggak sih enggak. Maksudku.. ya itukan hak kamu karna kamu yang punya perasaan. Tapi.. masa iya selama temenan sama dia kamu gak punya rasa?”

“Mingyu..”

“Hm?”

“Kamu gak tau seberapa kerasnya aku buat nahan diri.”

Mingyu membisu, mulutnya tertutup rapat. Bahkan es krim di tangannya tidak lagi mampu masuk barang sesuap.

Nadit hanya menyunggingkan senyum kecil, kemudian menarik pergelangan tangan Mingyu untuk kembali berjalan bersejajar dengan dirinya.

“Udah ayo cepetan jalannya..”

Then how about me?” Pertanyaan impulsif yang keluar dari mulut Mingyu menghadiahkan ekspresi tanya di wajah Nadit serta langkahnya yang mendadak terhenti.

“Kamu kenapa?”

Aren’t you afraid, kalau semisal you’ll hurt me and i’ll hurt you?”

“Yaa takut.. cuma.. you and Vernon are different. Jadi, gejolak perasaannya juga pasti beda. I mean, kamu sama aku kan belum jelas, kalaupun di tengah jalan you hurt me and i hurt you, at least status kamu gak kaya Vernon..”

So.. in theoritical, statusnya Vernon ada di atas aku?”

God, Mingyu. Vernon udah bareng sama aku dari kecil banget. Please don’t comparing yourself with him, lah.”

“Vernon atau aku?” Seringai kecil muncul di sudut bibir Mingyu. ‘he looks up grinning like a devil’

“Stop atau aku lempar es krim ini ke muka kamu?”

“Hahahah, bercanda.” Nadit terpaku membatu. Setelah apa yang barusan Mingyu lakukan, mencolek hidungnya. Kemudian ia berlalu, tidak menyadari bahwa Nadit masih disana, masih diatas pijakannya.

“Cepetan jalan atau kamu aku tinggal ya, Nadit.”

Langkahnya kemudian kembali seperti semula dan dengan cepat berlari mencoba berselaras.

Agenda keduanya pada malam hari bukan sesuatu yang istimewa sampai-sampai mengasosiasikan setiap titik menjadi hal yang patut dikenangkan.

Sampai tengah malam, yang mereka lakukan hanya main ke Arcade, duduk singgah untuk makan dessert cake, kembali menyurusi jalanan kota, atau memijak di pasir pantai hanya untuk mencoret-coret pasir yang baru saja di siram debur ombak.

Tapi Nadit memang harus mengakui bahwa malamnya kala itu, memanglah patut dikenangkan.

Baju mereka setengah basah, ditengah tawa yang masih tersisa, Mingyu ajak Nadit untuk kembali ke mobil. Waktunya pulang dan beristirahat.

Namun sejujurnya di hati Nadit yang paling dalam, ia menolak. Ia tidak mau terlalu cepat pulang padahal malam masih terlalu panjang. Dilain sisi, ia tidak mungkin membiarkan Ibunya khawatir karna telat pulang ke rumah.

You have fun today?”

Mingyu sedikit membersihkan celananya sebelum kembali masuk ke dalam mobil.

Yes, of course.”

Mingyu diseberang sana, melipat tangannya di atas kap mobil dan mengistirahatkan dagunya.

Time to go home..” Cicitnya kecil.

Nadit menyunggingkan senyum kecil, kemudian mengangguk.

“Jangan sedih gitu, kita bisa ambil rute paling jauh sebelum sampe kerumah kamu. Mau?”

Jangan tanyakan seberapa membuncahnya perasaan Nadit didalam sana. Ia tidak berkata, tertawa kecil kemudian mengangguk mantap.

Mingyu benar-benar membawa Nadit melewati rute yang menjauhi jalan menuju rumahnya. Kini mobil milik Mingyu itu melaju kencang di jalanan sepi dan pantai di sebelah kanannya.

Sepi.

Dingin.

Berangin.

Ada alunan lagu yang mengalir memenuhi suasana dari stereo mobil Mingyu.

Beberapa lagunya tidak Nadit kenal. Entah karena sudah ketinggalan zaman atau memang Nadit yang kurang update perihal lagu-lagu itu. Beberapa lagi, Mingyu bilang lagu Indonesia, yang sepenuhnya kurang bisa Nadit pahami bahasanya.

“Kamu kalau mau putar lagu lain, boleh..” Tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan, Mingyu bersuara.

“Bener?”

“Iya, hidupin aja bluetooth-nya..”

“Asikk”

Setelah koneksi mulai tersambung, Nadit menekan satu lagu dan ia mulai mengalun disana.

Robbers milik the 1975.

“Kamu tau gak, aku bikin playlist di Spotify aku buat night driving kaya gini, padahal biasanya aku dengerin gak lagi night driving.”

“Oh ya?” Mingyu perlahan-lahan secara bergantian menatap jalanan dan Nadit yang kini mulai menurunkan seluruh kaca jendela dan membiarkan angin menyapu jemari lentiknya.

“Iya. Aku beneran gak nyangka kalau playlistnya bakal aku play di tengah jalanan sepi kaya gini dan lagi driving.”

Rambutnya berantakan tertiup angin.

“emang biasanya di play pas lagi ngapain?”

“hmmm..” Si gadis berusaha mengingat. “Mandi? Baca buku? Ngerjain tugas? Mandi.”

“Kamu udah sebutin mandi.”

“Soalnya mostly pas mandi sih.”

Si lelaki terbahak.

Mingyu sendiri, melihat bagaimana Nadit sangat menikmati agenda ini, menghadirkan banyak kecamuk di dalam dirinya. Sesekali ia membuang nafas, sesekali ia melirik, sesekali jantungnya tiba-tiba berdetak hampir keluar dari rusuknya. Anehnya lagi, ia berkeringat, ia gugup.

Setelahnya kemudian, lagu milik The Chainsmoker ft. Coldplay : Something Just Like This.

Mendengarkan liriknya, tiba-tiba Mingyu teringat kejadian saat ia menjemput Nadit dari Ralphs. “Not every superhero wearing a capes, you know? You can be the one.. Without a capes.”

“Nadit..”

“Yes?”

Sunggingan senyum hadir dari bibir Mingyu.

“Wanna do something fun?”

Sunroof dari mobil milik lelaki itu kini terbuka lebar. Rambut keduanya semakin berantakan diterpa angin yang mulai memenuhi mobil.

“You sure?” Ucap Nadit sedikit berteriak.

“Try it.”

Dengan susah payah, Nadit berusaha berdiri. Mengambil langkah pasti dan akhirnya perlahan mengeluarkan kepalanya.

Pedal gas dibawah sana agak di tekan Mingyu sehingga spedometer kecepatannya kini hampir menyentuh angka 100.

“WOOOOOOO~~~” Dari dalam, dapat Mingyu dengar suara teriakan si gadis yang mengudara hilang dibawa angin.

“FUN ISN’T?” Mingyu berteriak.

“SOOOOOO DAMN FUNNNNN!!!” Kini Mingyu terbahak mendengar jawaban Nadit yang suaranya terbawa angin.

“DEAR WORLD!!!” Nadit berteriak. “I FUCKING LOVE MY LIFEEEEEEEEEE!!! WOOOHOOOOOO~~~”

Jalanan di pinggir tebing, debur ombak dan suara semu angin malam serta alunan lagu di dalam sana yang berbaur menjadi satu. Nadit, couldn’t ask for more.

Tapi mungkin, the world will give her more.

Ia kini sudah sepenuhnya duduk rapi kembali di kursi penumpang. Senyumnya belum hilang, euforianya masih mengudara disana.

Kini, mobil Mingyu memasuki jalanan kota, meninggalkan jalanan tebing dan pantai. Kali ini, hanya ada jalanan sepi dan beberapa cahaya remang toko 24 jam disana.

“Nadit..”

“Yes?”

Pada puncak musik milih The Chainsmoker dan Coldplay yang masih mengalun itu, Mingyu memberanikan diri.

“Your first kiss.. Can I take it?”

Mingyu sudah bilang, kalaupun harus, ia tidak akan melakukannya ketika Nadit ada dibawah pengaruh. Kalaupun harus, he’ll make it worthy.

“Yes.”

Pada kecepatan 60 km/jam yang perlahan menurun, di tengah jalan raya yang bahkan tidak ada kendaraan lain, pada alunan musik yang kini mencapai puncak, Mingyu tidak tinggalkan setirnya. Tangan kanannya kini meraih wajah sang gadis, ia tarik pelan mendekati wajahnya dan kini mereka saling menutup mulut.

Membiarkan bagaimana tempo pelan itu saling mengirimkan rasa yang membuncah, yang agaknya menggebu-gebu dan panas. Lumatan demi lumatan, lidah yang bermain pelan kemudian terlepas tanpa peringatan.

Kalau saja Mingyu tidak sedang mengendarai, mungkin tidak akan ia sudahi.

Kini kedua tangan Mingyu kembali pada setir, namun tatapnya tidak beralih. Pedal gasnya tidak ia pijak dalam, tidak ingin cepat-cepat sampai tujuan.

“How does.. it feels?” Tatap Mingyu terpaku pada jalan. Melemparkan tanya dengan hati-hati. Senyumnya masih disana, kali ini malu menatap lawan bicaranya.

“Kaya..” Mingyu menunggu, menunggu jawaban yang di gantungkan Nadit. “..ada kembang api di perutku.”

Mereka terbahak.

That’s all?”

“Pahit..” Mingyu menoleh, ekspresinya terkejut hebat.

“Oh.. soal itu.. i took one cigarettes before i left..” Ia usap tekuknya.

And.. Strawberry..” Oh ya, dan es krim itu.

“Jadi.. Strawberries and Cigarettes nih judulnya?” Sunggingan senyum di bibir lembab yang baru saja menempel di bibir Nadit kini jadi apa yang ia lihat. Nadit tersenyum lebar, sesekali terkikik kecil.

Atau menekuk senyumnya.

“Should we play it?”

Mingyu angkat bahunya cepat. “Why not?”

Headlights, on me/Racing to 60, I've been a fool/But strawberries and cigarettes always taste like you

Mungkin kalau saja agenda harian Nadit adalah menulis dan melaporkan kejadian di tiap harinya pada sebuah buku tidak berguna, maka hari ini, pada satu lembar yang menjadi simpulan atas apa apa kejadian yang telah ia lalui hari ini, akan berbunyi :

*“Dear Diary..

I got my first kiss, finally.”*

Benarkan apa yang aku bilang soal, “She’ll wear a dress with a cigarettes in her hand.”

Nadit dengan gaun Vintage berwarna putih, dan sebatang barang penuh adiksi yang dari tadi ia hisap tanpa rasa bersalah.

“Aku gak percaya Somi beneran gak datang ke Prom.. i mean.. INI PROM LOH?” Satu hisapan.

Hisapan lain aku balas.

Yup, satu batang di tanganku.

Kini jasku tidak lagi rapi, bahkan kemejanya sudah keluar tidak lagi tersematkan dibalik celana. Vest yang masih setia disana, lengan kemeja yang aku lipat seperempat bagian dan jas yang aku gantungkan di bahu, seperti seorang aktor di poster film ternama tahun 80 menuju 90-an.

Aku hembuskan asap dari mulutku.

She’s crazy..”

“Dia bahkan gak balas imessku, Vernon.” Kini Nadit membuang asal puntung rokoknya.

“Dia gak ngasih tau kamu kemana?“ Nadit menggeleng.

I told you.. aku kaya gak percaya aja. Modelan kaya dia bener-bener gak datang ke Prom? Sedangkan yang kaya aku aja datang?”

“Emangnya yang kaya kamu itu gimana?” Kini giliranku yang membuang puntung rokoknya asal entah kemana.

Kami bersembunyi dibalik gedung sekolah dimana acara Prom Night di adakan. Kami senderkan pundak kami pada dinding, mengawang pada langit yang malam ini sama sekali tidak ada bintang. Dan tidak ada manusia berisik, karena mereka semua sedang asik berpesta didalam sana.

“Yang kaya aku, Vernon. Look at me?”

Aku tertawa menggeleng pelan. “Cantik?”

“Bukan itu!” Ia kibaskan tangannya didepan wajahku, menampar angin.

Kami kemudian terbahak.

“Terus.. kok bisa Stevany sama Roger jadi King and Queen Prom??” Nadit menggelengkan kepala tidak percaya.

RIGHT? ME TOO! Kaya.. they are.. apa ya, semacam biang keladinya sekolah.. but, jadi King and Queen Prom?” Balasku. Karena jujur saja, setelah mendengarkan pengumuman itu, aku mendadak turun dari tribun dan berlalu keluar dari sana. (Dengan mengajak Nadit, tentu saja.)

Well, it seems that i haven’t told you about Nadit in a properly way? kan?

She’s one year older than me.

Kemarin, aku baru menginjak umur 18 sedangkan tahun ini ia menginjak umur 19. Sebenarnya sebelum bulan Juli nanti, kami masih sama sama anak remaja yang sebaya.

Awal pertemuanku dengan Nadit adalah sewaktu kecil dulu, kami sempat bertetanggaan sewaktu SD, kemudian aku pindah dipertengahan SMP. Kata Ibu, ada rumah dengan harga yang lumayan murah untuk di tempati jauh dari berisiknya kota.

Semenjak pindah, aku dan Nadit masih sering keepin' touch. Entah aku yang sekedar main ke rumahnya untuk menemui kucingnya, atau dia yang main kerumahku hanya untuk menghabiskan waktu menonton kartun serial favoritnya, Spongebob Squarepants, atau terkadang, Thomas n Friends. Dia memang aneh.

Padahal aku, sama sekali tidak menemukan hal yang menarik dari kartun kesukaannya itu.

Beranjak menuju SMA, jauh di tengah kota, aku dan Nadit sempat di pengaruhi untuk mencoba hal hal ber-adiksi.

Awal mula itu terjadi adalah bukan atas dasar mau sendiri. Matthew, anak kaya raya yang jadi teman SMP-ku dan Nadit, menyodorkan masing-masing dari kami sebatang ketika itu.

“Ayolah! Kalian bisa jadi keren kalau punya ini di kantong atau di dalam tas!” Ujarnya. Aku dan Nadit saling tatap agak lama, mengerutkan alis seakan bersuara “How?”

Ya? Bagaimana bisa hal-hal semacam ini membuat kita keren di mata orang?

Matthew kemudian mengeluarkan korek, melemparnya dan spontan aku tangkap. “Trust me, you won’t believe how amazing it is.”

Stupid us, waktu itu.

Karena rasa penasaran atas apa yang Matthew bilang, kami berdua bakar masing-masing batang yang kami genggam.

You ready?” Nadit mengangguk.

And that was when it started.

Kami terbatuk hebat, rasa nikotin yang terkandung di dalam sana kemudian menyelimuti seluruh mulutku. Pahit, namun membuatku ingin menghisap barang itu lagi dan lagi.

Well.. not bad?” Kata Nadit. Aku membelalak ketika ada hisapan lain yang ia lakukan.

Dan sampai detik ini, tidak pernah absen barang semacam itu. Entah di dalam laci nakas di kamarku, atau di selipan rak buku di rumah Nadit.

And it’s extremely peaceful, not gonna lie. Apalagi disaaat seperti ini, it feels like you are floating in the air. Menyatu dengan udara.

“Pulang?” Tanyaku. Nadit menoleh pelan.

“Ayo..”

Begitu kemudian kami berjalan menyusuri trotoar, mobil yang berlalu lalang terus berjalan tanpa henti. Mungkin didalam sana mereka menerka, kalau kami ini sedang dalam misi melarikan diri dalam acara pernikahan yang di paksa.

Satu mobil kemudian lewat, membuat Nadit menorehkan kepalanya hampir 360 derajat seperti kepala burung hantu.

Why?”

“Kaya mobilnya Mingyu..” Cicitnya.

Oh.. ya.. soal itu. Dan soal agenda-ku untuk menyampaikan sesuatu. Tiba-tiba saja jantungku didalam sana bergetar, membuat nafasku tersenggal.

“Gak mungkin punya Kim, kalau dia lihat kita jalan kaya gini pasti dia bakal berhenti dong, iyakan?” Balasku.

“Iya juga sih..”

Sunyi senyap mengudara. Entah kenapa mulutku mendadak kelu. Padahal apapun perihal Nadit, tidak akan mampu menutup mulutku.

“Kamu mobil dia aja sampe inget, ya?” Nadit terkekeh kecil. “You like him a lot ya, Nadit?”

Ia mengerutkan alisnya.

Why?” Tanyaku. Ketika menemukan ekspresi tidak biasa keluar dari wajahnya.

It doesn’t seem like you at all tau, Vernon..” Aku hanya tersenyum kecil.

“Kan aku nanya, you like him a lot ya? Walaupun dia kaya gitu?”

“Kaya gitu gimana?”

“Gak ngeliat kamu barang sedikit? Or maybe he looks at you. But.. it looks like he doesn’t care.. iya gak?”

Kini, sambil melipat tangannya di depan dada, ia menatap heels putih yang ia kenakan. Ada senyum kecil yang berhasil aku delisik.

“Sebenernya.. have crush on him tuh bikin aku belajar banyak tau, Vernon..”

“Kok gitu?”

“Soal.. gak selamanya perasaan tiap tiap orang bakalan selalu sama. Soal.. atas batas yang memang harus di hargai. Soal.. status yang mungkin cukup tanpa harus lebih. Soal.. perasaan yang gak harus dan gak melulu soal timbal balik. Being friends with him menurutku udah cukup. I mean, at least walaupun punya perasaan sama dia tanpa bisa dia balas, aku masih bisa ngeliat dia. Ngeliat dia berbaur sama kita, ngeliat ketawanya dia, ngeliat idea-idea yang biasa dia tumpahin, ngeliat dia.”

Wow.. Batinku.

Ada nyeri di ulu hatiku ketika aku menyadari bahwa, apa yang Nadit katakan untuk manusia bernama Mingyu Kim itu, sama kepadaku. Seakan-akan, Nadit menyuarakan apa yang harus aku lakukan di antara aku dan ia.

Soal, batas yang harus di hargai. Soal, status yang mungkin akan selalu cukup tanpa harus meminta lebih.

Lain lagi, ketika ia mengawangkan pandang ke atas langit ketika menceritakan perasaannya. Mungkin ia membayangkan bintang-bintang di sana sebagai lelaki yang terus-terusan menghantui pikirannya, Kim.

Dan itu, adalah manik mata paling indah yang pernah aku tangkap dengan manik mataku sendiri. Lebih indah dibandingkan ketika ia harus menceritakan bagaimana persahabatan Spongebob dan Patrick, lebih indah ketika ia tertawa menatap Thomas n Friends ketika dulu. Lebih indah, dibandingkan ketika ia menceritakan rangkuman buku favorit yang baru selesai ia baca.

Pada akhirnya, aku urungkan niatku.

Mungkin aku tidak tau, bisa jadi manik matanya adalah yang paling indah di mata orang lain ketika menceritakan sosokku, mungkin. Tapi melihat bagaimana bahagianya ia ketika menceritakan Kim, padahal lelaki disana belum mampu memberikan validasi atas perasaannya sendiri, membuatku menyadari sesuatu, bahwa bahagia Nadit, adalah bukan aku.

Bahwa perasaan yang aku punya untuknya, mungkin bukan sebagai penyelamat perasaan yang hanya di tepuk sebelah tangan oleh orang disana.

Mungkin lagi, Nadit dan aku memang cukup untuk menjadi teman.

“Nadit..” Cicitku.

“Hm?”

You know i won’t hurt you, right? Apapun bentuknya.”

I know it damn well, Vernon.”

Mungkin, ini adalah cara lain. Untuk selalu melindungi Nadit dari bentuk sakit yang bisa saja terjadi diantara aku dan ia. Mungkin, ini memang cara semesta merealisasikan janjiku yang kemudian melebur jadi sisa sisa rasa yang perlahan, memang harus aku kubur dalam-dalam.

-

Kim memutar stirnya keluar dari pekarangan rumah sakit, ia masih menggunakan kemeja rapi.

“Kamu balik ke kantor lagi?“ Tanyaku.

“Yup. Tapi aku harus temenin kamu makan malam dulu. Soal janji yang bersepeda kemarin.” Aku mengangguk.

“Oh.. Kalau gak, nanti dari resto aku naik bis kota aja, Kim. Kamu bisa langsung ke kantor lagi..”

Tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan, ia diam, mungkin berfikir.

“You sure?” Aku putar malas kedua bola mataku.

Harus berapa kali sih aku bilang kalau aku ini lahir dan besar di Malibu? Seluruh jalanan menuju rumah aku tu selalu tau.

I was born here—“

Yes i know it. You sure?” Tanyanya lagi. Menekankan kalimat terakhir.

I. Am. Sure.”

“Okay.” Katanya. “Nanti kalau udah sampe di rumah kabarin aku.”

Aku mengekspresikan pandangan geli menujunya, sampai-sampai Kim harus secara bergantian menatapku dan jalanan.

“Kamu masih dibawah tanggung jawabku loh, Vernon?” Katanya. Aku buang nafasku.

“Okay. Sehabis makan, aku pulang sendiri terus kabarin kamu sampe rumah.”

And—“

Ada lagi?!

“Bilang sama Ibu kamu kalau aku gak bisa pamit.”

“Pamit?”

“Yes. Pamit. Dan bilang makasih.”

“Kamu gak kemana mana, Kim. Ngapain pamit?”

“Ya kan—“

No. There’s no ‘pamit-pamit.’ i’ll tell my mom that you send her a regards“

“O-okay..”

Setelah sampai di tempat tujuan, mataku berbinar. Perutku mulai meraung, mulai membayangkan bagaimana rasanya daging wagyu besar ini masuk kedalam perutku, meleleh di lidahku.

Di sana, hanya ada bincang singkat antara aku dan Kim. Soal Prom dan Nadit, tidak luput dari pertanyaannya, namun aku memilih diam dan mengalihkan pembicaraan.

Jarak rumahku dari restoran sebenarnya memang agak jauh, kalaupun harus menggunakan bis kota, jalan menuju halte memang benar-benar menghabiskan energi.

Tapi itu lebih baik daripada harus merepotkan Kim. Belakangan, katanya, pekerjaannya menumpuk hebat.

“Kim.” Sebelum melangkah lebih jauh, aku kembali menoleh menatap dirinya yang masih menungguku. Mungkin setidaknya hilang dari pandangannya.

“Hm?”

You know what. The way you said kalau Nadit cuma remaja yang labil dengan perasaan yang dia punya buat kamu? Menurutku..Itu cuma.. ketakutan kamu.” Kim mengerutkan alisnya. “Maksudku, kamu takut perasaan kamu buat Nadit gak bisa dibalas sama dia di kemudian hari, karna both of you are not ready yet because your age gap. But you do love her, stop pretending you are not.” Aku atur nafasku sebaik mungkin. Aneh sekali, ada perih yang menjalar dari tenggorokanku kemudian menuju seluruh tubuhku.

“Jadi kamu milih buat mikirin skenario terburuk dan cuma itu skenario yang bisa kamu pikir, bahwa dengan umur Nadit yang masih belasan, bisa jadi perasaan dia cuman kind of temporary feeling. Padahal, you’ll never know how long a person can hold a feeling, Kim. Bahkan bisa bertahan 5 tahun dari sekarang, or might be more than that.”

So.. i beg you. Buat jangan nganggap remeh perasaan Nadit buat kamu. Remember what One Direction say in the so-called Story of my life? Give her hope, spend her love until she’s broke inside.” Aku lebih seperti menyatakan sebuah kalimat dibandingkan menggumamkan sebuah potongan lirik lagu. Datar. “Don’t break her, Kim. Let her break her ownself by loving you. So maybe she can find a way.” Aku aku angkat bahuku. Kali ini pandangku melanglang buana entah kemana, menolak menatap mata laki-laki yang berdiri agak jauh didepanku.

To forget me?” Cicitnya. Namun masih mampu aku dengar dengan jarak tersebut.

See? you are afraid to be forgotten by Nadit. She won’t, believe me she won’t, so stop saying that she has a temporary feeling for you just because she just a teenager.”

What should i do, then, Vernon? Ini lebih complicated dari yang kamu pikir.”

Give her your love, in a proper way as an ‘almost thirty’ grown up man to an eighteen years old girl. Don’t pretend, you such a jerk if you do that. Aku tau kamu lebih pintar dari aku yang masih anak anak ini, i know you can understand it clearly.”Aku hanya mampu tersenyum menekuk bibir, menggenggam dan mengeratkan ranselku.

See you later, Kim. Need to go home early or my mom will kill me.” Aku terkekeh kecil.

“Vernon?” Belum sempat melangkah lebih jauh, aku kembali memutar tubuh, berhadapan dengan Kim.

“Kamu ngelepasin dia gitu aja?” Aku menyunggingkan senyum kecil di satu sudut bibirku.

I can’t compete, Kim. Most especially with you. what do i have? Perusahaan? Nope. And to be honest, you are more handsome than me. The coolest person i’ve ever met.” Kim tertawa melempar kepalanya kebelakang, pun aku yang malah ikut terbahak. “Yang bisa aku kasih ke dia cuma makanan Luna kalau kalau habis. More than that, i can’t. Love? Ugh, gak akan pernah cukup.”

“Tapi apa kamu gak mikir kalau bisa aja ada kesempatan buat kamu sama dia, kalau kamu gak ngelepasin dia gitu aja? I mean, it might be worthy, kan?”

That’s the point. I let her go karna aku nunggu sebuah kesempatan didepan sana, apapun bentuknya. Aku bersyukur kalau orangnya Nadit, tapi aku akan lebih bersyukur kalau ternyata orangnya bukan Nadit.”

Why? Harusnya kamu lebih bersyukur dong kalau orangnya Nadit?”

Friends to a lovers just kinda hard, Kim. With all those memories? Mungkin i want her more than a friend, tapi apa itu bakal ngerubah keadaan? Maksudku..” Aku mengawang ke langit malam. Sial! Bahkan tidak ada bintang yang bisa aku pandang. “Setelah aku dapet dia dengan status lebih, terus apa? Setelah aku dapat kepuasan itu untuk memiliki dia, terus apa? Tujuanku buat bareng sama dia cuma atas dasar perasaan kosong yang pengen di penuhi, lebihnya dan tujuan kedepannya aku masih gak tau.”

“Tapi kalau aku memulai dengan orang yang baru, we start it from the first line, bener bener dari awal. So.. maybe it’ll be more worthy. Mungkin.. kita jadi punya waktu buat mengenal lebih dan jadinya worth the wait juga. Kalau sama Nadit, aku udah kenal duluan, kalaupun kita memulai, kita harus ngapain disana?” Sambung Vernon.

“Kamu bisa bikin plan buat punya hubungan serius dan nikah, Vernon. Kan kalian kenalnya juga udah lama.”

“Gak ada jaminan, Kim, dijalan menuju jenjang pernikahan itu kita gak ada problem. In case ditengah jalan we ended everything, jatohnya from friends to lovers to strangers? Lebih worst kan kalau sama Nadit? And that is also a form of hurt. I said that i won’t hurt her.”

“Lagian, buat aku, nikah perkara yang rumit. Untuk mikirinnya aja aku belum siap. Gak kaya kamu. Kalaupun memang Nadit buat aku, biar aja semesta yang bikin garis takdirnya. Sekarang, yang aku mau cuma aku bakal ngelepas Nadit. Apapun pilihannya, kemanapun dia mau berlabuh.”

You such a gentleman, not gonna lie.” Aku terbahak hebat mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulutnya.

I’ll take that as a compliment.”

“Hati hati di jalan, Vernon. It’s nice to have a little convo with you. you can count on me whenever you want.”

Even asking for a money?” Candaku dengan nada sedikit meledek.

Even asking for a money.”

“*Then lend me some. Aku harus naik taksi buat ke halte daripada jalan kaki, udah malam banget.” Kim terbahak, merogoh kantong celananya dan mengeluarkan dompet.

“Naik taksi aja. Text me kalau kamu udah sampe di rumah.”

Will do. Thank you. I promise i will return it as soon as possible, Kim!!” Aku kembali berteriak kecil sambil berlari menjauh.

You don’t have to worry. Aku masih punya banyak dimana mana!”

“DASAR ORANG SOMBONG!” Aku kini sudah berjalan agak jauh, membuatku harus berteriak agar mampu di dengar oleh Kim diujung sana.

Langit malam ini gelap, namun manik mataku tidak lepas dari satu bintang yang dengan berani bercahaya tanpa rekan.

Indah. Ditemani bulan yang berbentuk sabit. Mereka adalah yang paling indah.

Jangan tanya seberapa kesalnya Vernon dengan agenda hari ini. Bersepeda, pada pukul 8 malam hari dimana harusnya ia tergolek santai didepan TV-nya dengan semangkok popcorn caramel instant yang akan di peluknya sampai ke sisa-sisa akhir.

Vernon terengah, dengan keringat yang mengucur dari dahinya, ia mendongak menatap satu laki-laki yang sudah berada pada ujung jalan yang agak menungkik, Vernon sudah menyumpahinya sejak detik pertama ia mengeluarkan sepeda.

Sebenarnya, kalau bukan karna sebuah embel-embel “Kamu habis itu aku traktir apa aja yang kamu mau”, Vernon lebih memilih tidur dirumah. Tapi, makanan di Moonshadow benar-benar membuatnya penasaran bukan kepalang. Konon, harga makanannya mampu membuat kantong pelajar sepertinya berteriak. Apalagi soal Wagyu yang sering Mark bilang. Apapun itu perihal makanan, akan selalu Vernon perjuangkan.

“Cepetan, Vernon. Keburu tengah malam.” Dengan berat ia dayungkan pedal sepedanya (dengan sumpah serapah lain di dalam hatinya) menghapiri Mingyu yang seakan-akan tidak merasakan beban berat bersepeda.

“Aku..hh..tunggu..Kim..sebentar.”

Vernon biarkan tubuhnya jatuh diatas jalan dan juga sepedanya yang kemudian ikut jatuh tertidur. Ia bentangkan tangannya, melepas topinya dan menarik nafas perlahan-lahan. Tapi, Vernon sedikitnya bersyukur karna lelaki satu itu lebih memilih mengajaknya ke Malibu Bluffs Park untuk bersepeda. Kalau saja, kalau, dirinya mengajak Vernon ke Zuma Canyon Trailhead, sudah Vernon buang sepedanya lebih dulu ke pinggiran tebing.

Dapat Vernon dengar kikikan Mingyu.

Mingyu kemudian duduk di sampingnya yang masih menarik nafas dengan menggebu-gebu, seakan-akan oksigen sebentar lagi akan hilang dari bumi. Ia melepas helm sepedanya, kemudian ikut duduk memeluk lutut. Berbeda dengan Vernon, Mingyu mengambil nafasnya dengan lebih teratur.

“Kamu harus sering-sering sepedaan, Vernon. It seems like you always spend your time in the house.”

How could this bastard knows, batinnya.

“Yaa..Ya.. Terserah.” Kini Vernon bangkit. Duduk dan mengambil minumnya, menegak dengan anarkis.

Malibu Bluffs Park mostly form as a park, ada di Pasific Coast Hwy St. dan jaraknya cukup dekat dengan pantai. Bahkan dari posisi mereka, samar masih terdengar suara debur air laut. Seharusnya, mereka sudah tutup pukul 5 sore tadi, namun walking track yang mereka gunakan untuk mengayuh sepeda tidak perlu akses karena memang dibiarkan untuk umum.

“Soo.. kamu udah siap buat jadi anak kuliah?”

Vernon tidak langsung menjawab, ia membersihkan bibirnya dari sisa-sisa air sehabis menegak minum, menutup botolnya, kemudian meletaknya kembali pada tempat semula.

I don’t know.” Vernon mengangkat bahunya. “Kaya.. bingung aja..”

“Kenapa bingung?”

“Bingung mau kuliah apa, bingung mau kuliah dimana, bingung kalau harus pindah dari rumah, bingung, bingung dan bingung.”

“Pilih apa yang kamu mau, Vernon.”

Vernon mengangguk. “But, what if.. yang aku mau, gak mau aku?”

Diam sejenak tercipta.

Isn’t sad, Kim? Kalau aku harus menjalani kuliah yang aku gak mau? Cuma karena yang aku mau gak mau aku? Kaya.. itu tuh selalu aja tau menghantui kepalaku. What if, what if, what if.”

Face it first, Vernon.” Tanpa menoleh, Mingyu malah menengadah ke langit sana. “Itu kan cuma pemikiran kamu aja. Your ‘what if’. Coba aja kamu pikir, “What if, kalau ternyata itu cuma ketakutanku aja?” Pasti itu bakal bikin pemikiran kamu berputar jadi sesuatu yang lebih baik.”

Spread positivity, Vernon. To your own self. Then, let the positivity built you. And I’m sure, what you’ll find in the near future, you’ll face it with the positivity itself. Sounds good, right?” Kini Mingyu mengalihkan pandang kepada si anak remaja.

“Yah, sounds good. But not as good as the idea that will always haunt you with no control.”

“Heeyyy!” Mingyu kini merangkul bahu Vernon. “Chill, man. Yang penting sekarang tuh, kamu bikin plan dalam skala sempit dulu. Sehabis ini mau kuliah apa dan dimana. Udah, sisanya urusan nanti. Karna your what ifs, gak akan selalu ngasih jawaban pasti.”

You right.” Vernon mengangguk, tersenyum kecil. kemudian keduanya terbahak kecil dan saling menepuk bahu.

“Jadi, kapan ujian akhir sekolah kamu?”

Well, sebenernya kita gak ada ujian. Cuma sekedar mengajukan permohonan dari sekolah untuk ke universitas lewat jalur-jalur khusus.”

“Wow.. enak dong? Terus kenapa kamu harus takut?”

“Yaa.. kan kaya yang aku bilang? Sesuatu yang aku mau, belum tentu mau aku. Do you.. exactly understand what I mean, dude?”

Mingyu tertawa dengan anggukannya. “Paham.”

“Terus.. selesai sekolah, kapan?”

“Dua minggu lagi, sehabis itu kita ada Prom.”

“Woowwww~” Vernon benci itu. Ia berekspresi terlalu berlebihan. Lihat, lihat wajahnya. Bahkan ia menepuk bahu Vernon agak kuat.

Damn, man. That was hurt..”

“Hahahah.. Sorry.” Kini tawa Mingyu mereda. “I just.. tiba-tiba keinget masa SMA..”

Your prom?”

No, we don’t have that one.. well, beberapa sekolah ada, tapi sekolahku sewaktu itu gak ada. Tapi, percaya sama aku, it will be that fun! Kamu harus ikut!”

Vernon menggigit dalam bibirnya, menunduk entah memainkan apa dengan jemarinya disana. “I don’t think that I will come..”

Why?”

Vernon angkat bahunya, “You know, Kim.. Prom will always full of romantic thingy, dancing and.. and anything that related to it. And you will never go to the prom without..”

Without what..?” Mingyu menunggu jawaban lain yang Vernon gantungkan.

Dance partner..”

Mingyu terbahak membuang kepalanya kebelakang, memukul pahanya sendiri.

“Kamu ketawa? Did you.. seriously?”

Setelah menyelesaikan agendanya akibat perut yang kram, Mingyu akhirnya membuka mulut. “Just.. ask her..”

Ask who?”

Nadit of course..”

“Kim.. I bet for a million dollar, kalau dia gak bakal datang kesana..”

“Kenapa?”

Why? You want to see a girl with a dress and a cigarettes in her hand? I mean.. And those romantic thingy.. Duh. Not her style.

Well.. dia pake dress waktu aku ajak fine dinning? And she’s fine. And also, that was a romantic thingy..”

“Kamu sadar kalau itu romantic thingy.. tapi tetep ngajak dia.”

Mingyu buang nafasnya. “Okay. Aku salah waktu itu memang, sorry..”

“Tapi, Kim.. konteks kamu sama aku tuh beda. She likes you, jadi romantic thingy dan dress bukan jadi suatu permasalahan besar, selagi itu kamu. But, who am I?

Wait, tapi Prom bukan sesuatu yang.. kamu tau kan maksudku. Kaya.. kamu gak perlu punya perasaan sama orang yang ngajakin kamu prom, iya gak?

Well.. nevermind.. I won’t come.”

Lagi-lagi senyap mengudara tinggi. Suara debur ombak terus menyambangi. Ada seringai tipis dari sudut bibir Mingyu. “Just.. ask her, Vernon..”

Vernon menoleh, menatap seringai kecil yang masih ada disana. “You know.. kamu gak bakal bisa dapet jawaban pasti kalau kamu sendiri aja udah mendeklarasikan bahwa dia memang gak mau, itu.. cuma asumsi.”

“Jadiin ini kesempatan..” Sambung Mingyu, menghadirkan sejuta ekspresi bingung di wajah Vernon.

“Kesempatan?”

“Iya. You know she likes me. You know I can’t accept her feeling. Jadiin kesempatan buat kamu, kalau kamu memang suka—”

Wow wow wowww.. I didn’t say that I like her?”

“Vernon..” Mingyu tepuk bahunya. “I wasn’t born last night.”

“Jadi.. Take the chance and go..” Vernon tatap lekuk wajah lelaki itu dalam-dalam. “I repeat, take the chance.. and go.”

Pukul 8 menuju 9, seperti biasa suara langkah kakiku memenuhi koridor kantor. Langsung saja aku masuk ke dalam lift menuju lantai dimana ruanganku terletak, membuka pintu kemudian lekas mengambil duduk.

Sudah ada satu gelas kopi hitam yang disiapkan di atas mejaku.

Satu kalender duduk aku ambil, aku coret kemudian tanggal hari ini menggunakan tinta merah. Hari ini Jumat 11 Maret. Besok, 12 Maret, ulang tahun Ibu Nadit.

Minggu yang lalu, dengan Minghao aku mengelilingi kota Malibu untuk membelikan hadiah sederhana yang niatnya akan aku berikan di hari sabtu besok. Dari aku, Minghao, Joshua dan Seokmin. (Yang ternyata tidak sengaja bertemu dengan Vernon, Mark, Nadit dan Somi yang juga sedang mendelisik kota untuk berbelanja).

Minghao sudah kembali ke Australia untuk kembali mengisi hari-harinya dengan pekerjaan yang biasanya akan jadi agenda harian untuk berita pokok yang akan aku dengar.

Pukul 11 siang, fokusku ter-distrak ketika aku dapati Anne mengetuk pintu ruanganku dan mendelisik masuk.

“Pak..” Sapanya. Aku tersenyum mengangguk dan mempersilahkan dirinya duduk. Ada satu amplop coklat yang ia genggam.

Is something wrong, Anne?” Aku menungkikkan alisku, ia tertunduk, menekuk senyum kemudian menggeleng kecil.

Just..” Ia tarik dalam nafasnya, ia buang dengan berat. Anne kemudian menegakkan tubuhnya, akhirnya menyodorkan amplop yang sedari tadi ia genggam. “Surat resign, Pak.”

Terkejut? Bukan kepalang. Rahangku jatuh. Berkali-kali aku tatap amplop coklat itu bergantian dengan wajahnya.

It was nice to worked with you, sir.” Cicitnya, suaranya bergetar.

Let’s make it clearly first ya, Anne. Kamu resign karna apa yang udah terjadi sama kita?” Ia menggeleng. “Don’t lie.”

I am mature enough, sir. Gak mungkin alasan sepele kaya gitu bikin saya akhirnya resign. Bahkan setelah kejadian itu, saya tetap nyaman, pak, kerja di kantor.”

Then what?”

Ia tekuk bibirnya. “I think.. it’s enough.”

“Kenapa?”

Ia diam cukup lama sebelum akhirnya menjawab. “Sewaktu saya kecil dulu, saya punya banyak mimpi. Being a rich woman, reaching a value for myself, buy a big house with the chimney inside, a car with sunroof, and..” Ia gantungkan kalimatnya. Ada setitik pantulan akibat sendu di kedua bola mata Anne ketika menatapku yang menanti kalimat lain yang akan ia lanjutkan. “..being a CEO.” Ditengah suaranya yang tercekat, ia malah tertawa.

“Saya punya mimpi buat jadi CEO, pak. Punya pengalaman kerja disini, is such a wonderful things to experienced. Now the time is mine.” Aku tersenyum kecil, Anne mengusap pipinya yang telah di banjiri titik air mata.

“Anne..”

Yes?”

“Kamu tau kan, kalau manusia adalah mahluk nomor satu yang paling mahir dalam membuat kesalahan? Untuk itu, selama bekerja sama dengan kamu, saya minta maaf. Entah itu untuk urusan kantor maupun pribadi. You are such an amazing person, an amazing woman, and an amazing co-worker. Atas dasar itu itu semua, I know you can reach your dream. Saya gak bisa memaksa, jalan hidup kamu, punya kamu. Saya, cuma bisa mendukung.” Lagi-lagi ia usap pipinya.

Is it approved, sir?”

What can I say?”

Anne kemudian bangkit dari duduknya, begitu juga denganku. “Thank you for everything, Sir.” Aku mengangguk.

“Anne..” Sosoknya yang hampir berlalu menuju pintu sontak berbalik, lagi-lagi menghapus air matanya. “Kalau memang apa yang terjadi di antara kita juga jadi satu alasan kamu akhirnya resign, I’m so sorry. It’s not what I mean.”

It’s okay, Kim. Setiap perasaan bukannya harus di balas sama rata. Being in love with you, left a beautiful wound, mark, and scars I always asked for more. It always nice to know you. Walaupun cuma sebentar.”

I’m sorry. I’ve been realized lately, kalau aku bukan cuma jadi jerk buat kamu, tapi beberapa orang lain yang sebelumnya juga mengambil andil perasaan yang mereka punya buat aku. It’s just.. don’t feel right. But truly, it is not what I mean.”

“Kim..” Dirinya kembali mengambil langkah, mendekat.

Yes?”

Can I hug you? For the last time?” Aku diam cukup lama menatap ia dengan sendu yang tak kunjung hilang menghiasi seluruh lekuk wajahnya. Ia menanti, menunggu.

I’m so sorry.” Balasku, melangkahkan kaki mundur menjauhi dirinya barang selangkah. “Apapun ikatan kita setelah surat resign kamu, bukan boss atau sekretaris, aku gak mau bangun ekspetasi kamu lagi setinggi langit. Aku gak bisa ngasih kamu sebuah afeksi yang cuma kamu sendiri yang berspekulasi, sedangkan aku disini ngasih sesuatu yang enggak jelas yang bahkan aku sendiri gak bisa mendefinisikan itu sebagai afeksi.” Kataku.

“Aku tau, Anne. Ada banyak landasan rasa perihal peluk, gak hanya soal perasaan menggebu-gebu yang selalu bikin kita gelisah menerka-nerka, klise-nya, cinta. Tapi kamu, menanam itu dan aku gak bisa bantuin kamu buat numbuhin. Jadi, maaf. Like I said, aku yang gak bisa bantuin kamu numbuhin ini, gak mungkin bantu menebar bibit lain dengan membuat kamu berharap. I truly am sorry for this.”

Satu senyum seringai menghiasi sudut bibir Anne.

That’s it, Kim.” Katanya. “It’s better late than never.” Alisku berkerut hebat, berusaha mencerna apa yang baru saja Anne lontarkan.

“Kim..” Cicitnya lagi. “It’s better late you realized that you are a jerk, dari pada enggak sama sekali. You hurt me, indeed. By not approving my last request, padahal cuma peluk. Tapi, it will hurt me more, if in case you hug me, dan menyediakan wadah untuk aku genggam tubuh kamu kuat, dan menyediakan wadah lain untuk aku mengharapkan peluk yang lain. For that, I truly am, so grateful. Thank you.”

Tangan Anne menengadah, menawarkan jabat tangan. “I think it’s better than a hug?” Ia angkat bahunya cepat.

Dengan tekuk senyum, aku balas jabatan tangannya yang mengudara. “It was nice to have you as my secretary, not gonna lie.”

It was nice to have you as my boss, Kim.”

I wish you a successful life

You too. Once again, thank you.”

-

Sabtu pukul 3 sore, mobil Joshua berhenti di depan halaman rumah Nadit. Samar-samar dapat aku dengar suara tawa dan teriakan dari dalam, it’s them.

Didepan pintu rumahnya, aku tekan tombol bel sekiranya 3 kali, sampai menemukan sesosok gadis dengan topi kerucut ulang tahun dan beberapa lembar kartu UNO di tangannya.

“Hai! Masuk.” Setelah melangkah di ikuti Seokmin dan Joshua, aku temukan 3 orang lainnya duduk melingkar di depan perapian disamping meja dengan kue bertingkat diatasnya.

“Hai, Kim!” Sapa Vernon, dengan topi kerucut, dan kartu UNO nya, ada 2 kartu 4+ ditangannya ketika aku delisik, he’ll gonna beat them up.

Mom..!” Nadit berjalan masuk menyusuri rumahnya dan masuk ke satu pintu yang aku asumsikan adalah kamar Ibunya. “Temenku yang lain dateng.”

“Gede juga bang rumahnya.” Seokmin berbisik.

Behave yourself ya, Seokmin.” Seokmin manatapku bingung.

“Emang gue mau ngapain dah dirumah orang?”

Tidak lama, sosok wanita paruh baya itu keluar dari balik pintu yang bermenit lalu Nadit masuki. Ms. Drechsler.

Matanya sayu, tubuhnya agak kurus namun cerah senyum di bibirnya tidak luput. “Ini Kim, Seokmin, Joshua.” Nadit menunjuk kami satu per-satu, memperkenalkan.

These handsome grown men is your friends?” Masih dengan senyum disana, beliau bertanya.

Yes? Why?”

Impossible.” Kami terkikik. Kemudian, tanpa sadar aku malah menengadahkan tangan, Ms. Drechsler menggapai tanganku, dan spontan aku tarik menuju keningku.

Salim.

“Lo ngapain, bang?” Bisik Seokmin. “Bukan di Indonesia anjir?”

Kebiasaan.

“Eh?” Sontak, Ibu Nadit mengkerutkan alisnya bingung.

Sorry, Ma’am. Di Indonesia biasanya kita gitu kalau sama yang lebih tua.”

Dapat aku dengar suara tawa kecil Nadit dan Seokmin yang berselaras.

That was polite..Kim, ya?”

Yes. It actually my last name.”

“Oh..” Ibu Nadit mengangguk.

I call him Mingyu.” Ini Nadit, menyambung obrolanku dengan Ibunya.

“Muka kamu tapi gak asing, ya? Kayanya saya pernah lihat.” Aku mengkerutkan alis sedikit bingung mendengar sebuah asumsi yang dilontarkan beliau. Memangnya, aku dan Ibu Nadit pernah bertemu sebelumnya?

“Oh!” Ms. Drechsler menepuk tangannya di udara. “Kamu yang waktu itu malam-malam datang kesini nyari Nadit, kan?”

Dang. Checkmate. Aku juga baru ingat.

Sunyi. Pupil mataku dan milik Nadit bertemu.

“Bu, mending kita mulai acaranya sekarang aja, yuk?”

“Mau mulai acara apa? Tinggal potong kue terus kita makan, kan?”

“Yah.. masa kita gak nyanyi? Nyanyi dong. Udah, ayo!” Ia sematkan jemarinya di jemari Ibunya, menariknya menuju ruang keluarga dimana meja di samping perapian tadi telah disiapkan. Sontak, 3 teman Nadit yang lain langsung berdiri ketika menemukan bahwa ada yang akan di mulai.

“Ayo nyanyi.”

“Nadit, Ibu udah tua, ngapain pake acara nyanyi?”

“Ya harus nyanyi dong, Bu. Masa gak nyanyi.” Vernon memanggil Ibu Nadit dengan sebutan ‘Bu.’ Terbukti, pertemanan dua anak manusia ini sudah bukan dalam kurun waktu singkat.

Then we sing a birthday song. Clap our hands in the air in a slow tempo, dan kemudian bertepuk tangan meriah ketika lagunya menemukan titik akhir.

Mom, make a wish dulu sebelum tiup lilin.” Dapat aku lihat lilin dengan angka 40 berdiri tegak dan hampir meleleh.

Ms. Drechsler tidak langsung membuat doa. Ia menatap lama anak gadisnya kemudian tersenyum. Merapihkan rambutnya dengan kepala yang masih dihiasi topi kerucut. Ia tangkup kedua pipinya kemudian ia cium satu persatu bagian yang menghiasi wajahnya. Kedua pipi, dahi, kedua bola mata, hidung, dagu kemudian jatuh pada bibir. Mata Nadit mulai berkaca-kaca.

Kemudian yang keluar dari bibirnya adalah, “I am grateful you are mine, Nadit. I am so sorry I couldn’t being a good mom 'till this day. I love you.”

Tubuh Nadit kemudian di rengkuh Ibunya. Suasana mendadak jadi melankolis padahal harusnya tepuk tangan meriah menghiasi ruangan hangat ini. Aku menekuk senyum, menatap perempuan itu menyembunyikan wajahnya dalam peluk wanita kesayangannya.

Setelahnya, Ms. Drechsler meniupkan lilin yang sudah menyelimuti kue hampir setengah bagian. Yang membuat aku terkejut kemudian adalah, Ms. Drechsler menghadiahkan kami satu persatu ciuman di kedua pipi, tidak terkecuali aku, Seokmin dan Joshua yang bahkan baru kali pertama bertemu sosoknya.

Tiba-tiba aku teringat Mama yang belum aku kunjungi setelah menetap di Malibu. Bahkan, jarang menghadiahkan panggilan telfon hanya untuk menanyakan bagaimana kabarnya disana. Selama disini, ada banyak permasalahan yang berkecamuk jadi satu sampai-sampai menyentuh ponsel saja aku tidak sempat.

Tidak terkecuali 4 orang dihadapanku ini, yang paling rajin membuat onar dan malah melibatkan aku dalam agenda-agenda tidak masuk akalnya. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, that was quite fun.

Kami semua kemudian duduk di sofa ruang keluarga, hampir penuh. Nadit lalu meletakan piring kecil berisi potongan kue, tidak lupa hadiah yang akhirnya kami serahkan kepada Ibunya.

“Kalian kalau mau keliling rumah, boleh.” Nadit melempar tubuhnya ke atas sofa, disebelah Vernon yang bahkan tidak peduli dan hanya memprioritaskan potongan kuenya.

“Udah aku bilang Nadit, kalau kue di toko itu emang beneran enak.” Suapan lain mendarat masuk ke dalam mulut Vernon.

“Kalau mau makan, langsung ambil aja ya itu.” Dagu Nadit menunjuk ke arah meja lain didekat dapur. Makanan lokal di atas piring yang telah di tutupi plastic wrap. Juga beberapa buah sebagai pencuci mulut.

Setelah obrolan dengan tawa menggelegar yang memenuhi rumah, seperti apa yang Nadit bilang, aku berkeliling rumahnya yang memang cukup besar. **Well, tidak sebesar rumahku tapi masih bisa dibilang besar untuk keadaan ekonomi menengah menuju atas.

Dari awal pintu masuk, aku temukan ruang tamu yang dindingnya di isi beberapa lukisan serta rak yang di isi beberapa bingkai foto. Ada sedikit dinding lebih yang kosong dan hanya ada saklar disana. Kemudian aku temukan tangga menuju lantai atas. Disebelahnya, ada ruang keluarga dengan perapian tadi yang langsung terhubung dengan dapur. Kalau aku berdiri dari ruang tamu, dapur yang menyambung ruang keluarganya sama sekali tidak terlihat, hanya perapian yang mampu terlihat dari sini akibat partisi yang menutup seluruh ruangan kecuali satu pembuka berukuran 3 meter.

Disamping tangga tadi yang bersebelahan dengan partisi menuju dapur, koridor yang mungkin lebarnya hanya 1,5 meter. Di samping kiri kemudian ada dua pintu yang salah satunya aku asumsikan tadi adalah kamar milik Ms. Drechsler, sedangkan satunya, I have no idea. Mungkin kamarnya Nadit.

Disebelah kanan, ada lagi kapasitas kosong yang diisi dengan satu sofa panjang menghadap ke televisi, dan meja yang berserakan dengan buku. Tepat di belakang sofanya, agak jauh, ada pintu lain.

Pandangku lurus kedepan, menemukan jendela dan pemandangan di luarnya. Ada halaman belakang dan pagar kayu kecil untuk membatasi antara halaman rumah Nadit dan tetangganya.

Aku melangkah keluar sana. Diluar, dibawah jendelanya, ada dua sepeda. Satu berwarna biru dan satunya berwarna pink. Aku tersenyum, lucu, batinku.

You like it?” Aku membalikan tubuh, menemukan Nadit yang berjalan mendekat.

“Apanya?”

My backyard.”

There’s nothing here, Nadit. Cuma rumput?”

“Kalau sepedaku?” Ia tunjuk sepedanya yang sempat aku temukan tadi.

“Kok warnanya bisa gitu?” Aku tertawa.

“Aku yang warnain. Yang warna biru punya Ayah, yang pink punyaku.” Aku mengangguk, masih tersenyum tanpa mengalihkan pandang dari sepedanya.

“Ada-ada aja.”

Kemudian aku melangkah memijakkan kakiku di atas rumput, angin sepoi kemudian menghantam wajahku. Quite pretty here, and.. peace. Aku tatap pagar kecil kayu pembatas halaman rumah Nadit yang bisa saja aku lompati.

“Ini kuat?” Tanyaku menoleh kepada dirinya yang mengistirahatkan tubuh pada kusen pintu, dengan tangan yang ia lipat di depan dada.

“Coba aja, kalau rubuh berarti gak kuat.”

Tapi tetap aku duduki.

Dan ternyata kuat.

Aku mengawang, menatap langit yang hari ini warnanya cerah. Beberapa burung terbang melewati serta deru angin yang membuat daun dari pohon bergesekan tidak henti-hentinya menyapa pendengaran.

“Pasti enak duduk disini ya, Na?”

Dirinya tersenyum. “Read a book, smoke.” Ia acungkan jempolnya di udara, mendeklarasikan sebuah validasi atas pertanyaanku barusan.

You still smoking?” Kini aku bangkit mendekati dirinya. “Kamu tau itu gak bagus buat kesehatan kamu. Terus kamu tuh masih SMA.”

Ia sama sekali tidak menjawab, mengangkat bahunya. Kemudian pergi meninggalkanku.

“Mingyu, kamu harus ketemu Luna..”

“Luna?” Ia mengangguk mantap, menarik pergelangan tanganku kemudian melangkah menaiki tangga menuju lantai atas.

Di lantai atas kapasitasnya cenderung sempit, ada balkon yang menghadap ke jalanan kota dan ruang lepas yang sama sekali tidak berisikan apa-apa. Tapi ada satu pintu yang kemudian Nadit buka dan aku merasa bahwa aku telah berkelana menuju bertahun kebelakang. Vintage.

Pada awalnya, aku berfikir kalau Luna itu adalah adiknya, atau mungkin kakaknya. Maksudku, tidak terpikirkan bahwa Luna adalah kucing gembul dengan bulu lebat yang sekarang ada di gendongan Nadit.

Luu, meet my new fwends. It’s Mingyu. Mingyu, it’s Luna.” Nadit menggerakan lengan si gembung Luna seakan-akan menawarkan jabatan tangan. Aku tertawa, kemudian menjabat tangan kecil Luna dan mengelus telapak tangannya. It is her paw.

“Hi, Luna..” Aku membungkuk, agar wajahku bersejajar dengan wajah Luna yang nyaman di gendong oleh Nadit. Aku naik turunkan tanganku yang masih menjabat tangan kucing itu, “It is nice to meet you..”

It’s nice to meet you too, Mingyu..” Nadit mengubah tone suaranya, seakan-akan Luna yang menjawab. “Yeaayyy, we got a new friends.”

Nadit kemudian duduk di pinggir kasurnya yang membelakangi jendela dengan gorden transparan yang mampu membuat cahaya matahari dari luar sana menjilat kedalam ruangan. Ada beberapa buku yang ia tumpuk di pinggirnya. Ia lalu menepuk sisi kosong kasurnya, menyuruhku untuk ikut duduk.

Ruangan ini sesak, sebetulnya. Sempit dengan barang yang penuh. Ada nakas, lemari pakaian, ada lagi rak buku, meja belajar dan kursi. Di beberapa bagian dindingnya ia tempel beberapa gambar. Mulai dari cover album penyanyi-penyanyi terkenal seperti Taylor Swift, Harry Styles, Ariana Grande, Lana Del Rey dan beberapa yang bahkan wajahnya asing dimataku.

Ada lagi rak yang menempel di satu bagian dinding dan sebuah nakas dibawahnya, beberapa piringan hitam yang ia pajang dan pemutarnya tepat di bawah. Taylor Swift, Cigarettes After Sex, The Beatles, Gun and Roses, Oasis, Artic Monkeys, Radiohead.. aku ternganga, anak ini penuh dengan kejutan.

Selagi aku mendelisik menelusuri setiap sudut kamarnya, ia sibuk bercengkrama bersama Luna, sampai ketika aku mendapati satu buku yang menganggur terletak di atas meja belajar.

You read this?” Aku bangkit, melangkah mengambil buku yang tergeletak tersebut kemudian membolak-balikannya.

Yes.” A Little Life milik Hanya Yanagihara.

“Tapi kamu tau kan buku ini agak—”

Gay?”

I can’t say that.. mungkin menjurus?” Aku buka beberapa lembarnya. Ada yang ia tempeli dengan sticky notes point, ada lagi yang di dalam halamannya ia tuliskan dalam sticky notes berbentuk lembaran, disana ia tulis opininya, membalas argumen yang di tulis Hanya dan ada beberapa lagi ia coret menggunakan pulpen dan yang ia stabilo.

“Kamu baca itu juga?” Ia masih menggendong Luna. Aku mengangguk. Kemudian ia buang nafasnya, tanpa menatapku (melainkan terus menatap kucingnya) ia bilang, “Buat aku, secara personal, awalnya bukan soal apa yang terjadi antara Jude dan Willem—”

“Wait.. tapi kan cerita disini menggaris-bawahi soal ‘why wasn’t a friendship as good as a relationship’ kan?”

“Iya. Tapi karna awalnya aku mikir it’s all about Jude dan segala apa yang dia simpan, apa yang dia lalui dan gimana dia ngatasin itu semua.. I thought It would be the headline.. turns out..” Kini akhirnya ia menoleh pandang menujuku yang sedikit duduk mengistirahatkan diri di meja belajarnya, menatap lurus ke arahnya dan sesekali menepuk-nepuk buku yang ada ditanganku.

“Tapi Hanya jawab kan, and it’s kinda bit.. yep, bikin aku setuju.” Sambung Nadit, matanya menatap kosong lantai kamar. “Kalau kamu punya hubungan, kamu jadi punya kuasa penuh dan bahkan bisa ngatur apa aja sama pasangan kamu. Aku gak tau harus bilang itu a pleasure atau sad reality, karna kadang, kuasa penuh yang harusnya bikin keduanya nyaman dan aman, malah jadi satu hal yang bikin kita terikat dan gak bisa kemana-mana.”

I agree..” Cicitku. Tangannya mengelus ‘paw’ milik Luna, sedang matanya entah terpaku lama pada apa, yang jelas tatapnya masih kosong menuju satu titik lantai kamarnya.

“Tapi.. kalau dipikir-pikir.. sebenarnya ego dan perasaan sayang itu bajunya sama yang bikin kita sulit buat ngebedain, iya gak sih, Mingyu?”

And yes, again, I am totally agree with that.

Lama aku tatap sosok gadis yang masih sibuk dengan peliharaannya disana. Konteks ini, tidak akan pergi jauh dari apa yang telah terjadi diantara aku dan sosoknya. Perihal hubungan yang tidak mampu lebih atas dasar suatu hal yang sebenarnya bukan permasalahan besar. Namun kembali kepada argumen Hanya soal ‘why wasn’t a friendship as good as a relationship’ dengan balasan opini lain kalau ego dan perasaan sayang adalah dua hal yang tidak mampu dibedakan kulitnya.

Ada argumen lain yang kemudian muncul dalam benakku yang tumpang tindih dengan landasan rasa yang mungkin ada. ‘kalau, hubunganku dengan ia ternyata lebih baik daripada pertemanan, maka dengan kuasa penuh yang tidak mampu membedakan antara ego dan perasaan sayang, bagaimana kalau anak dengan beribu mimpinya ini terjebak dalam sebuah tali ikatan yang bahkan aku sendiri dibutakan oleh tipuan tak kasat mata yang akhirnya hanya mengantarnya menuju gelap?’

Aku buka beberapa lembar yang telah Nadit tandai dengan sticky notes point, dan juga ia garis bawahi menggunakan pena berwarna biru, disana tertulis, ‘the only trick of friendship, I think, is to find people who are better than you are—not smarter, not cooler, but kinder, and more generous and more forgiving—and then to appreciate them for what they can teach you, and to try to listen to them when they tell you something about yourself, no matter how bad—or good—it might be, and to trust them, which is the hardest thing of all. But the best, as well.”

Ada lagi di lembar lain, “And so I try to be kind to everything I see, and everything I see, I see him.”

Ada pertinggal satu sticky notes lembar dengan tulisan tangan Nadit disana, ia menulis :

I try to be kind to everything I see, I see pain in the edge of the beach, I see a blood stream down because of a dog’s bite and a yellow bag, I see that we were caught by the police without driver license, I see that we were fight, I see the disgusting in me, twice, Geoffrey’s and Ralphs, I see the dream when our lips touched, and everything I see, I see him. He is kind, and everything I see should be as kind as him.

Di lembar lain, kali ini ia coret dengan stabilo berwarna kuning, ‘things get broken, and sometimes they get repaired, and in most cases, you realized that no matter what gets damaged, life rearranges itself to compensate for your loss, sometimes wonderfully.’

Ada tulisan balasan yang lagi-lagi ia tempel dalam sticky notes lembaran:

I broke my feelings, just for him, and it does rearranges to a better situation. And I rebel, Hanya, this friendship, is better than anything at all. It all get repaired.

She doesn’t blame me. She blames herself for the feeling she can’t control.

“Nadit?”

Ia mendongak, sedari tadi yang fokusnya hanya Luna kini menenggelamkan tatap dalam iris mataku.

Yes?”

Are you.. for real?”

Kami terbahak kencang.

“Dia ngiranya kita pacaran?” Aku mengangguk masih dengan tawa yang belum kunjung mereda.

“Kamu..” Kalimat yang Vernon gantungkan kemudian membuat tawaku perlahan berhenti. “Beneran banyak yang suka, ya?”

Alisku menungkik tajam, mataku membulat sempurna. “Apaan sih?”

Vernon disana terkikik geli. “Kamu pikir Seokmin terus-terusan ngirim kamu pesan alasannya apa? ya udah pasti suka lah.”

But i don’t like him.”

Nobody said you have to.”

Aku dan Vernon duduk berdua di atas pasir pantai dengan dua cone es krim di tangan masing-masing.

“Kamu ngapain tadi duduk berdua sama temennya Mingyu?” Sambil menggigit es krimnya, Vernon mengangguk. “Kok bisa barengan?” Tanyaku lagi.

“Tadi pulang sekolah aku lewat Marmalade, terus ketemu dia. Berhubung aku agak haus, aku datangin aja.” Ia terkikik. “Terus kan habis itu kamu mau ajak aku kesini, jadinya aku suruh tunggu di depan Marmalade.”

“Dibayarin minum?” Untuk kesekian kalinya aku melempar tanya. Ia mengerlingkan satu mata dan alhasil aku tolak bahunya hingga kami berdua terbahak hebat.

Vernon sudah balik lebih dahulu pulang ke rumah setelah jam sekolah selesai, dengan beanie favoritnya yang selalu saja ia gunakan dan akhirnya menjadi ciri khasnya. Aku sendiri, tas ransel itu masih setia di punggungku, sama sekali belum memijak rumah.

“Kamu ngapain ngajakin aku kesini? Pake bayarin es krim lagi?”

Aku tersenyum kecil, menoleh ke arahnya.

You know what.. i think Somi has a crush on Seokmin.” Mata Vernon membelalak.

No way..”

We almost had a fight.”

“Berantem kenapa?”

You know, Vernon. Perasaan anak remaja, anak sekolah. Cuma gara-gara dia liat notifikasi Seokmin, dia mulai berasumsi yang enggak-enggak.” Jelasku, menjilat benda dingin di tanganku.

“Kamu kan anak remaja juga.”

“Iya. Sama kaya apa yang dibilang Mingyu. Kita cuma anak labil..” Cicitku, menunduk. Mengingat-ingat bagaimana kalimatnya sewaktu itu membuat perasaanku kacau.

You still like him?” Pertanyaan Vernon itu kemudian membuatku menoleh ke arahnya, sedikit mendongak karena saat duduk pun, tubuhnya lebih tinggi dibandingkan aku.

Tapi aku diam.

Yes or No, Nadit..”

Dan masih diam.

Did you forget? Kita yang mati-matian nyariin Kim waktu itu disini? And you want to keep a secret from me right now?”

Aku terbahak kecil.

Yes..” Jawabku kemudian sebagai validasi. Vernon mengangguk, meneluk lututnya setelah satu cone es krim habis disantapnya.

“Tapi..” Aku lempar pandangku jauh kedepan sana. Namun dari ekor mata, dapat terlihat wajahnya yang menoleh ke arahku, menanti kalimat lain yang aku gantungkan. “Kali ini aku gak mau maksa.” Aku menarik nafas dan mulai menyambung kalimat lain. “Ingat kan, yang katanya dia had a dinner? Di rumahnya sama perempuan? I think.. perasaanku ini biarin jadi urusanku aja. Either it’ll be eased by time.. atau kalau semisal gak bakal kehapus, let me keep it by myself.” Aku menekuk senyum. Sudah terlalu banyak sugesti diatas kalimat 'it's okay and it'll be okay.'

Iya, dunia tidak selamanya memberikan apa-apa saja yang aku mau. Termasuk perasaan laki-laki yang umurnya sudah matang disana. Statusnya, umurnya, yang mungkin jadi penghalang bagi pemikiran beberapa orang, yang mungkin sebagian berasumsi bahwa aku ini sudah gila.

Untuk kali ini, seperti apa yang pernah Somi sampaikan, ada dinding tebal dan tinggi yang memang harus aku bangun, untuk memproteksi perasaanku sendiri, rumahku sendiri.

I think it’s not true..” Aku mengkerutkan alisku tajam ketika kalimat itu keluar dari mulut Vernon.

“Apanya?”

“Tadi Minghao nanya, dia ngira kalau kamu pacarku. And i said no, i said you like Kim—“

HEY!” Aku tepuk bahunya. “Kok kamu bilang kalau aku suka sama Mingyu?!”

Because.. he already knew it before i told him?”

“Hah?”

I don’t know? Mungkin dia emang temen deketnya Kim? Soo.. the point is, Minghao bilang kalau Kim gak ngelanjutin hubungannya sama yang dia ajakin makan malam waktu itu..” Jelas Vernon. “Dan Minghao juga berasumsi.. kalau Kim itu emang sukanya sama kamu, Nadit..” Sambungnya lagi.

Jantungku rasanya tergoncang, terombang-ambing, terpukul kekanan dan kekiri, rasanya ia jatuh dan kini berpindah ke lambung. Tidak masuk akal.

“Kamu jangan bikin aku berharap lagi sama dia.” Rasanya es krim ku ini ingin aku lempar ke tengah laut sana.

“Iya, jangan. Anggap aja asumsi Minghao soal itu salah.”

Right..” Cicitku.

Right? You have to saved your feeling first, Nadit.”

“Yup..” Aku tarik nafasku dalam, kemudian aku buang agak kasar.

Sunyi sempat lama tercipta, tatapku lamat terpaku di pasir-pasir pantai. “Tapi Vernon..”

“Ya?”

“Kalau ternyata.. Mingyu itu tersesat di dalam perasaannya sendiri.. how?”

“Maksud kamu?”

“Nevermind..” Aku terbahak, karena seperti lontaran argumenku tadi kurang masuk akal. “Intermezzo.” Alibiku.

“Mungkin.” Tawaku mendadak lenyap.

“Apa yang mungkin?”

“Perasaan kamu jelas, clearly. Tapi bisa jadi Kim emang tersesat. I mean, dia udah lama gak pernah ngerasain yang namanya cinta-cintaan semenjak istrinya meninggal. Lagian, he must be trying to find for a real one. Jadi kalau mungkin kita asumsiin dia tersesat, bisa aja. Dia masih gak bisa mendeklarasikan perasaannya dengan jelas. Entah itu ke kamu, atau perempuan yang dia ajak makan malam itu.” Aku mengangguk. Ada benarnya. “Atau mungkin, dia juga takut.” Sambung Vernon.

“Kenapa takut?”

Like i said, Nadit.. He is trying to find for a real one. Kalaupun.. kalau.. dia memang suka sama kamu. Dia takut.”

Aku diam sejenak, memproses dan memproses. “Dia takut karna.. maybe i am not a real one he is tryna to find for.. right?”

Yes. Lebih dan kurang, kurang dan lebih.” Aku membuang nafasku.

Keep it yourself now, Nadit. Jangan bergerak sampai dia yang mulai bergerak, okay? Keep your value.”

He doesn’t like me, apa yang mau bergerak?”

“Itu dia. Keep it your value. Kalau dia gak bergerak, kamu jangan bergerak.”

Aku menekuk senyum. “Yup, keep my value.”

“Mungkin sehabis ini kita gak perlu berurusan lagi sama dia. Jadwal suntikku udah tinggal satu kali lagi.” Senyum cerah mengembang di wajah Vernon.

“Oh ya? Congrats! Untung aja kamu gak rabies.” Kami terbahak.

“Orang kaya dia gak mungkin sih piara anjing rabies.” Lagi-lagi senyap mengembara. Langit sudah sore, perlahan jadi gelap.

“Ibu minggu depan ulang tahun, Vernon.”

“Oh ya?” Aku mengangguk.

“Aku mau bikin acara kecil-kecilan aja dirumah. Ngajak temen-temen.”

“Kim?”

Aku menoleh pelan. “Yup. He’s one of our friends now, don’t you think so?”

It’s okay. He had been through something we never imagined before. He might need friends.. yang lebih gaul dan gak ketinggalan jaman kaya temen-temennya.” Entah untuk yang keberapa kalinya kami tertawa kencang, memenuhi udara lepas di pinggir pantai.

Sejujurnya gue gak terlalu kenal sama temen abang sepupu gue ini, mereka bilang namanya Mingyu.

Mereka bilang lagi, his life is completely rollercoaster..

..to the hell.

Dari cerita singkat yang gue denger, status dia adalah duda, dan istrinya meninggal gara-gara penyakit Sironis hati.

Dulu gue sempet nongkrong bareng dia pas gue masih SMA dan dia sama bang Hao lagi kuliah. Mereka berdua temenan dari jaman SMA, bang Hao ngelanjutin kuliah di Australia dan bang Mingyu gue denger tetep kuliah di Indonesia.

Ada lagi yang gue denger sewaktu dia lagi ngejalanin masa pacaran paling luar biasa indah dihidupnya, tapi dia malah milih selingkuh dan nikahin selingkuhannya. Yup, yang meninggal gara-gara penyakit Sirosis Hati yang baru aja gue mentioned.

Belum lagi cerita dia yang harus ngerelain mantan yang di selingkuhin sama dia buat nikah sama yang lain. Tapi ya menurut gue, mau gak mau tetep harus diterima, karna salah bang Mingyu sendiri kan yang selingkuhin dia?

Oke, stop buat bang Mingyu.

Gue udah dua hari di Los Angeles, kita nginap di rumah temennya bang Hao yang gue gak tau kok bisa kenal, katanya namanya Joshua.

Keluarganya baik banget sama kita, udah kaya keluarga sendiri.

Bang Hao bilang, dia memutuskan buat have a short getaway di sini cuma 10 hari aja. Kemudian dia pulang dan gue tinggal buat ngelanjutin Internship gue.

Gak lama nginap dan jalan jalan di Los Angeles, malemmya sehabis makan kita gerak ke Malibu, yang berada di bagian barat Los Angeles, jarak tempuhnya kira-kira sampe satu jam lebih.

“Habede.” Bang Hao tiba tiba nepuk pundak gue, gue ketawa.

“Tau aja lo, bang?”

“Story nyokap lo.”

“Dih? follow-follow-an?”

“Yaaa emang kenapa?” Kita terbahak.

Gue ini keadaannya kaya anak kecil yang dibawa jalan sama bapak-bapak. Soalnya gue duduk ditengah sendirian, terus bang Hao sama bang Josh ngobrolin kerjaan entah apa yang gue gak paham sama sekali.

Jam 10 malam, agak lewat, kita sampe di rumah bang Mingyu.

Kita terus-terusan mencet bell dan nelfon ponselnya, tapi gak ada jawaban.

Sampe ketika bang Hao kesabarannya udah habis, dia neken tombol bel dengan anarkis.

Gak lama, ada yang muncul. Cowo, pake topi kerucut ulang tahun.

Who..?” Alis bang Joshua berkerut.

Oh.. Kim’s Friends. Hai! I’m Mark.” Tiba-tiba kedengeran suara ketawa ngakak dari dalam yang rame banget.

“Kim.. ada?” Tanya bang Hao.

Orang yang memperkenalkan diri sebagai Mark tadi langsung masuk lagi dan gak lama orang yang di cari-cari muncul.

Dengan topi kerucut ulang tahun, juga.

“Kok gak bilang udah sampe?”

“HAPE LO TUH MANGKANYA DI KANTONGIN!” Bang Mingyu malah ketawa renyah, habis itu dia peluk bang Hao lama banget udah kaya gak pernah ketemu bertahun tahun.

Kayanya sih gitu ya.

Terus ke bang Joshua, tapi itu cuma sebentar. Dan ke gue. “HOI! Seokmin!” Katanya.

Gue cuma nyengir dan balas pelukan dia.

“Lo ngapain dah pake topi-topian gini segala? gabung sekte apaan lo?”

“Anjirlah masuk dulu, tapi ini lagi rame.”

Yak, pas gue masuk.. berantakan.

Ada kue yang udah kepotong setengah bagian, confetti diseluruh lantai, ada beberapa potong waffle di meja makan, dan satu bagian dinding kosong di rumah bang Mingyu yang di tempelin pake hiasan hiasan. Ada tulisannya, ‘Happiest Birthday our 911, Vernon.

Vernon.

Guys! Meet my friend from Indonesia.”

Ada empat pasang mata yang langsung memaku tatap kepada kami semua, termasuk si Mark tadi. Mereka yang sedang sibuk memainkan kartu UNO, berdiri dan mulai menyalami dan merangkul satu per satu dari kami.

Tidak lupa, topi kerucut ulang tahun di kepala mereka masing masing.

Di barisan akhir, ada satu mata yang menancap di mata gue. Dia punya poni yang nutupin dahinya, warna rambutnya coklat, dan bola matanya hijau ke abu-abuan. Dia jabat tangan gue dan bergumam, “Nadit.”

Nadit, batin gue lagi.

“Dia ulang tahun juga hari ini.” Bang Hao tiba-tiba bersuara. Gue mengusap tekuk malu-malu.

Man! You must be joking?” Namanya Vernon, membulatkan mata, menutup mulutnya dengan tangan dan berjalan mendekat dan dia rangkul pundak gue.

Well, yes it is.” And then, kita foto berdua. Ada nama gue yang di tulis dibawah nama Vernon pake spidol.

Kita bener-bener kaya lagi ngerayain acara ulang tahun yang heboh banget, padahal yang datang juga gak sampe 10 orang. Tapi overall, seru banget menurut gue.

Bang Hao, bang Mingyu, bang Josh, duduk di ruang tamu, ngobrolin entah apa lagi-lagi gue gak tau.

Sedangkan gue, sama anak-anak yang lain, ada di bagian belakang rumah bang Mingyu, yang menjurus ke arah pantai.

Mereka lagi main Voli, kecuali gue.

“Ayo main!” Teriak Somi. Gadis berambut pirang yang gayanya nyentrik banget.

“Iya, ayo! Seokmin!” Ini si Nadit tadi, dia ketawa dari jauh sana. Gue menggeleng, baru selesai makan, takut muntah. Alasan klasik sebenernya, karna gue gak bisa main voli.

I’m okay!” Balas gue.

Gak lama, Nadit ikut duduk di tangga kecil dimana gue duduk. Tangga yang ngehubungin beranda belakang rumah bang Mingyu sama pasir pantai.

“Kenapa gak main?” Tanyanya.

“Baru selesai makan.”

“Ohhh.” Dia kemudian masukin tangannya ke kedua kantung jaket zipper yang dia pake. “Bahasa kalian lucu kalau di denger.” Sahut Nadit lagi, kali ini sambil ketawa.

“Oh ya?”

“Iya. Biasanya aku selalu denger Mingyu ngomong pakai bahasa inggris, tadi denger dia ngomong pake bahasa Indonesia, kedengerannya lucu.”

Gue ketawa. Entah kenapa ujung-ujung tangan gue mendadak dingin dan gue merasa canggung.

Jujur aja gue adalah orang yang paling gampang soal masuk ke dalam obrolan, tapi entah kenapa, tiba-tiba gue mendadak kelu pas ketemu dia. Apalagi kalau dia ngomong ngeliat mata gue.

Anjir ni apaan dah?

“Kalian.. kok bisa kenal Mingyu?” Nadit menekuk senyum.

That was a long story.” Balasnya. “Kalau diceritain, kayanya kita gak bakal selesai sampai matahari naik.”

Gue cuma mengangguk.

“Anggap aja, kita temennya Mingyu, tapi umurnya masih 18 tahun.” Kita ketawa kecil kemudian.

Ketika gue memutar tubuh, dari sekat kaca besar, masih bisa gue liat abang-abang gue itu ngakak dan cekikikan entah ngomongin apa.

“Kamu.. ke Malibu mau jenguk Mingyu?”

“No. Internship.” Kata gue. “Di kantor Mingyu.”

Dia membulatkan matanya, terkejut, kemudian menggumamkan kalimat : “Oh.. wow. Cool.”

“Apanya yang keren?” Gue mengkerutkan alis.

“Keren, dong? Kamu dari Australia ke Malibu cuma buat Internship?” Gue udah ceritain sebelumnya sama dia dan temen-temennya yang lain, soal kampus gue, soal gue yang asli orang Indonesia, dan soal gimana gue dan bang Hao bisa sodaraan.

Nadit merogoh kantongnya kemudian, mengeluarkan kotak yang sangat familiar di mata gue. Yup, sontak membuat gue terkaget-kaget.

You smoke?” Dia nawarin satu batang nikotin itu ke depan muka gue. Awalnya gue diem dulu agak lama. Bergantian nontonin rokok, terus ke matanya.

Bagi gue yang menjalankan masa sekolah di Indonesia, ya ini bukan sesuatu yang tabu. Dulu temen-temen gue juga banyak yang ngerokok di kamar mandi sekolah, tidak tekecuali gue, satu dari sekian banyak komplotan.

Cuma gue agak kaget aja, belum pernah ngeliat cewe yang blak-blakan nawarin rokok di depan mata gue.

“Enggak, ya?” Tanyanya lagi. Kali ini, secepat kilat gue ambil satu batang yang di tawarin dia tadi.

Tiba-tiba gue malah memvisualisasikan dirinya dengan genre lagu Artic Monkeys di mix and match dengan genre lagu Cigarettes After Sex, soalnya pas pertama kali ngeliat dia, she is kinda soft girl with those green to grey eyes color, apalagi dengan poni nya itu, kaya cewe-cewe korea. Tiba-tiba, ngeliat dia nawarin rokok kaya gini, kuping gue serasa berdengung, kaya pas lagi dengerin lagu Artic Monkeys, keras.

Dia kasih gue pematik api lebih dulu, jadi giliran pertama gue ngebakar satu batangnya, setelahnya kepulan asap langsung keluar dari mulut gue. Mata gue masih nontonin anak anak SMA yang asik aja terus mukul bola voli dari tadi, ditambah kikikan yang bener-bener membunuh sunyi malam.

Selanjutnya Nadit. Ngeliat cara dia bakar rokok, gue berasumsi kalau ini bukan pertama kalinya dia ngisap barang semacam itu. She is like.. a professional one.

Gak lama, bang Mingyu keluar sama abang-abang yang lain. Disitu bang Mingyu narik rokok yang di apit Nadit tadi, di patahin gitu aja.

What’s wrong with you?“ Nada suaranya kesal.

Gue? ya lanjut aja. Bang Hao juga tau kalau gue kerjaannya sebat kalau udah duduk sama dia.

“Rokok gak bagus buat kesehatan, Nadit.” Gue ketawa dikit, soalnya dia yang ngomong, dia juga ngerokok. Gimana sih bang Mingyu. “Kamu masih sekolah.”

Dari sudut mata gue, bisa gue liat Nadit memutar bola matanya.

Bang Mingyu turun dari tangga, nyamperin anak-anak lain yang masih tetep main voli, dan Nadit ikut dibelakangnya. Ngomel, mungkin masih gak terima soal batang rokoknya tadi.

Bang Mingyu ngeliat si Nadit ngomel malah cengar-cengir, ketawa sana sini.

Tiba-tiba, bang Hao duduk disamping gue, nepuk bahu.

He’s madly in love, don’t you think so?”

Gue mengkerutkan alis, mengalihkan pandangan gue yang sebelumnya ngeliat bang Hao, pindah ke bang Mingyu.

With Nadit?”

Bang Hao ngangkat bahunya.

I don’t know.”

“Kalaupun iya, Nadit masih 18 tahun, bang.”

So what?”

Gue angkat alis gue tinggi-tinggi, natap muka bang Hao yang kemudian terkekeh kecil. “So what, Seok? Kalau mereka sama sama gak terikat dengan orang lain, gak ada yang salah sama umur, cuma angka, kan? Yang salah, kalau salah satu diantara mereka atau mereka berdua punya hubungan lain terus berani-beraninya jatuh cinta.”

They are in love?”

I don’t know which one fall first. It’s either Mingyu or Nadit. Or maybe.. both of them at the same time.. or maybe.. it’s alrealy none of them, perasaannya udah gak ketemu relevansi. Or the worst thing.. they just being played by their own feeling.. complicated, Seok.”

“Asumsi lo banyak banget, bang.”

“Lo liat aja, 3 bulan lo kedepan gimana pas ngeliat mereka.”