Apa yang paling menawan dari Los Angeles di California? Distrik Hollywood yang jadi destinasi wajib? Atau landmarknya yang berada di Hollywood Hills? Sebuah tulisan besar yang jadi satu hal wajib untuk di pamerkan yang letaknya ada di atas bukit.

Atau, studio yang terletak di 100 Universal City Plaza, Universal City, Amerika? Universal Studio Hollywood? Yang menyediakan wahana mulai dari Jurassic Park the Ride bagi mereka si pecinta Dinosaurus atau Despicable Me bagi pecinta Minion dengan segala ke-imut-annya?

Atau lagi, Venice Beach Los Angeles dengan keindahan pantainya sampai-sampai penduduk disini memanggilnya Venice of America? Banyak. Ada banyak hal di Los Angeles yang bisa dijadikan tempat untuk diromantisasikan.

Dan untuk ‘atau’ yang kesekian kalinya, ada hal yang patut di romantisasikan dan bukan ketiga tempat terkenal itu yang selalu jadi pujaan turis. Getty Museum yang berlokasi di Brentwood, sebuah kota yang berada di Williamson, Tennessee, sisi barat dari Los Angeles, California.

Pagi itu, Mingyu temukan Seokmin yang terbangun dengan rambut menyeruak bak singa, ia bahkan belum mandi padahal jam Internshipnya akan mulai dalam beberapa jam lagi.

Dua piring waffle hangat Mingyu sajikan di atas meja makan.

“Telat bangun lo? Habis dari mana aja semalem kok telat balik? Gue liat celana lo basah total, dari mana memang?” Seokmin menganga disela kunyahannya ketika dicecar pertanyaan tanpa jeda dari mulut Mingyu.

“Apaan dah bang, nyawa gua belum kekumpul udah lo kasih pertanyaan kaya begitu.” Jelasnya sambil mengunyah. Kini ia berusaha menelan, “Satu-satu kali..” Sambungnya lagi.

“Yaudah, darimana?”

Sambil mengucek mata, Seokmin tersenyum kecil. “Ada..”

Mingyu sempat berhenti mengunyah ketika menatap ekspresi wajah Seokmin yang cerah dengan kotoran di sudut matanya yang masih duduk manis belum dicuci, ia menggelengkan kepalanya.

“Somi?” Mata Seokmin membelalak hebat serta batuk yang membuatnya menyemburkan makanan yang dikunyah tadi, beberapa berhamburan di atas meja. Buru-buru ia ambil tisu, membersihkan mulutnya serta meja, dan menegak air putihnya cepat dan terburu-buru.

“Jorok banget anjing!” Seru Mingyu mengangkat piringnya menjauh dari meja. “Lagian disebut Somi kenapa pake acara batuk segala sih?”

Sambil membersihkan bibir dengan tangan, Seokmin berseru, “Lagian, kenapa checkpoint gitu.”

Mingyu terbahak hebat.

Keduanya kemudian diam, menikmati makanan masing-masing di atas meja.

“Sebenernya, gua butuh nasi tau, Bang. Aneh banget ya, sarapan tiap hari kaya begini..”

“Ya lo bangun pagi lah mangkanya. Masak tuh sendiri apa yang lo mau buat sarapan. Nasi goreng kek, atau kalau mau bikin gulai buat lauk juga boleh.”

“Gila, hajatan kali gue sarapan sampe masak gulai..” Balas Seokmin.

“Yaa.. kali aja lo mau..”

Seokmin menggeleng hebat, menegak air lagi.

“Oiya bang..” Setelah makanannya tertelan dengan sempurna, ia lagi-lagi bersuara, “Sore ini after office, cek dan ricek laporan gua dong..”

Mingyu yang mengunyah mengibaskan tangannya di depan wajah. “Gak bisa.”

“Kenapa? Lembur lo? Tumben?”

“Enggak. Gue ada janji.”

Seokmin diam cukup lama, tidak berkedip dan menjamahi seluruh wajah Mingyu dengan matanya.

“Apa?” Mingyu bertanya ketika menyadari bahwa tatapan Seokmin penuh dengan tanya.

“Mau kemana lo?”

“Kepo banget anak kecil..”

“Dih? Umur gue udah kepala dua lo bilang kecil elah..” Kini Seokmin menyeringai, lekat menatap wajah Mingyu. “Gua tau..”

Dengan alis yang menungkik tajam, Mingyu membalas, “Apa?”

“Nadit, kan?”

Kali ini bergantian, di sela tegukan air yang sedang ia minum, Mingyu tersedak, bahkan sedikitnya menyemburkan air ke wajah Seokmin.

“Gua kaga usah mandi lagi kalau begini ceritanya, Bang.” Buru-buru Mingyu tarik beberapa lembar tisu dan membersihkan segalanya, tidak lupa wajah Seokmin.

Sorry..” Cicitnya.

Checkpoin?”

”Udah mending lo selesaiin sarapanlo sekarang juga. Telat datang ke kantor gua kasih nilai C.”

Seokmin terbahak. “Kepala Departemen kali yang kasih gue nilai.”

“Lo kira gue gak bisa ngasih lo nilai C?!”

“Hehe.. jan emosi gitu dong ayang. Mandi nih mandi..” Sambil mengangkat piringnya, Seokmin berlalu. Ia melangkah menuju kamar mandi untuk bebersih diri dan pergi bersama Mingyu untuk memulai hari.

-

“Somi sama sekali gak ikut Prom, tau, Gyu..” Sapaan baru milik Mingyu membuat ia tersenyum sembari menatap jalanan. Pukul 4 sore, setelah jam kerja, buru-buru ia pulang dan mandi, mengganti pakaian dan memusnahkan kemeja serta jas yang terus-terusan mengikatnya. Kini ia bermodalkan pakaian kasual serta coat panjang berwarna hitam yang ia bawa di kursi bagian belakang.

“Oh ya?” Masih fokus menatap jalanan, Mingyu bersuara membalas pernyataan Nadit dengan suara yang agak kesal.

“Iya. Dia sempet telfon terus cerita. Padahal dia tuh bisa aja jadi Prom Queen tapi kesempatan itu dia buang gitu aja.”

Satu jam perjalanan mereka dari Malibu menuju Los Angeles, obrolan kecil kerap tercipta. Tawa yang mengudara, nyanyian-nyanyian kecil yang mereka gumamkan, atau sentuhan-sentuhan tidak sengaja yang tercipta.

Mereka sampai di Getty Museum pada 30 menit sebelum di tutup. Nadit terburu-buru, sampai harus menarik pergelangan tangan Mingyu untuk berjalan cepat memasuki gedung.

Slow down, Na..”

“Kita bisa telat kalau gak cepet.”

“Emangnya kamu mau lihat apa? Kan sama kaya Frederick..” Masih dalam genggaman Nadit di pergelangan tangannya, tanpa Nadit menoleh kebelakang, Mingyu bersuara sambil terus mengikuti langkah kaki si gadis.

“Ada.. ada satu yang gak ada di Frederick.”

Mengacuhkan seluruh seni yang ada di dalam museum, Nadit akhirnya sampai pada satu lukisan yang ia elu-elukan.

Irises, karyanya Vincent van Gogh.” Kini Mingyu mendongak, lekat-lekat menatap pencampuran warna yang menyatu penuh simetri yang tidak biasa. Baginya, karya Gogh itu menenangkan hati. Namun, ketika ia menoleh, melihat ‘iris’ yang lain karya tangan Tuhan, jantungnya berdebar hebat.

Nadit Bahagia, hanya dengan menonton benda mati yang dipajang itu, dan Mingyu mampu menyadari serpih bahagia milik Nadit hanya dengan pantulan cahaya dalam bola matanya. Kedip matanya berirama, gerak bola matanya menjamahi seluruh simetri yang Gogh Lukis begitu menawan, sudut bibirnya terangkat hebat, cara ia menikmati karya, adalah indah.

“Kamu tau gak, Gyu..” Tanpa mengalihkan pandang, Nadit bersuara. “Lukisan ini tuh, satu dari sekian banyak lukisan yang dia lukis waktu dia ada di rumah sakit jiwa di Prancis tahun 1890. Gogh bilang, lukisan ini penangkal petir dari penyakitnya. Gogh ngerasa kalau dia bisa mengendalikan penyakitnya dengan terus-terusan ngelukis.” Masih belum juga Nadit pandang lawan bicaranya.

“Gogh sepanjang hidupnya selalu berusaha buat mastiin bahwa lukisannya enggak hanya menyampaikan apa yang dia lihat disekelilingnya, tapi, apa yang dia rasain disaat yang bersamaan, presepsinya tentang dunia yang dia gambar.”

Mingyu kini ikut fokus kepada lukisan yang dibingkai rapi tersebut.

“Kamu bisa rasain presepsi Gogh dari warnanya, bahkan aromanya..” Nadit menutup mata, menghirup dalam oksigen disekitarnya. Mingyu yang menoleh mulai membatin. ‘Secinta apa kamu sampai aromanya bisa kamu rasain, Na?’

“Van Gogh Cuma mau orang-orang ngeliat ‘Irises’ untuk ngeliat bahwa ini dilukis dari orang yang berfikiran sehat, orang yang dengan segenap jiwanya mau sembuh dan terus bekerja. Mau gimana pun, Van Gogh punya mimpi, dia mau membuktikan ke dunia bahwa lukisan dengan metode kerjanya memiliki sebuah hak untuk hidup.”

“Lukisannya cerah, Gyu, kamu bisa ngerasain perasaan positif waktu kamu ngeliat lukisannya.” Nadit masih belum mengambil fokus menuju Mingyu. “Karena sewaktu ngelukis, ada harapan di dalam diri Gogh supaya ngelukis bisa bantuin dia buat sembuh.”

Jeda cukup lama tercipta, kemudian ekspresi wajah Nadit berubah sendu, alisnya bahkan bergetar. “Tapi ternyata, itu belum bisa nyelamatin Van Gogh. Juli 1890, sewaktu umurnya 37 tahun, dia malah nembak dirinya sendiri di dada dan dua hari kemudian.. dia meninggal.” Lekuk senyum Nadit ikut menghilang. “Dia bilang sama saudaranya bahwa sepanjang hidupnya, dia berusaha untuk memiliki sesuatu yang mampu menghibur di dalam tiap seninya.. Dan ‘Irises’ ini, jadi impian Gogh yang akhirnya tercapai. Don’t you think so?”

Akhirnya, tatap Nadit beralih menuju lawan bicaranya.

Did you find peace in it, Gyu?” Mingyu mengangguk kecil.

‘I find peace in you.’ Suara hatinya menggema, bahkan membuatnya merinding.

“Satu lagi, kamu sadar gak sih kenapa dia kasih nama lukisan ini ‘Irises’?”

“Why?”

“Enggak tau ya, tapi menurutku mungkin dia mau, setiap orang yang melihat ‘iris’ nya, sadar bahwa ‘aku itu berpikiran sehat’ dan ‘Irises-ku, dilukis oleh orang yang berfikiran sehat’. Kamu paham gak? Satu kata yang sama dengan dua presepsi berbeda?”

Mingyu membelalakan matanya.

“Right?” Kata Nadit, ia kembali mengalihkan pandangnya kepada lukisan.

“You love this masterpiece so much, ya, Na?”

“Yes..” Tanpa ragu, Nadit jawab dengan lantang. “It is like.. my comfort zone. Apalagi dengan cerita di baliknya.” Jelasnya lagi. “You know, like Van Gogh said, kalau ‘Irises’ adalah penyelamatnya. Dia berusaha bangkit di masa-masa sulitnya. I don’t know, but it seems like, ‘Irises’ membangkitkan semangatku kalau aku lagi ada di posisi paling berat dalam hidup. The positive vibes he built inside of those color, makes me happy. Makes me wanna.. experience a new day.”

Mingyu tatap lekat lekuk wajah si gadis. ‘Irises’ bukan lagi jadi satu fokusnya. Ada yang lebih cerah, dan ada hal positif yang selalu Mingyu terima tanpa si penghantar sadar secara nyata.

‘Kalau ‘Irises’ adalah penyelamat bagi Van Gogh dalam menangkal penyakit, maka Nadit yang akhirnya menjadi penyelamat untukku dalam menjalani hari penuh dengan segala pertikaian yang ada di dalam kepala. Kalau Van Gogh ingin menyampaikan kepada dunia bahwa lukisan ini dilukis oleh orang yang berfikiran sehat, yang jiwanya ingin sembuh, maka bagiku, Nadit adalah penyampaian kepada dunia bahwa manusia sepertiku adalah seseorang yang masih mau bangkit dari pilu kehilangan yang merenggut bahagiaku. Bahwa, tidak hanya ‘Irises’ yang mampu melahirkan sebuah seni untuk menghibur yang berasal dari gerak tangan seorang pelukis, tapi tangan Tuhan, mampu menghadirkan satu anak manusia yang mampu menghibur senduku sama seperti kerlip harapan Van Gogh dalam karyanya.

Nadit, adalah ‘Iris’-ku.’

“Gyu.. habis ini kita ke Last Bookstore, yuk?”

- The Last Bookstore terletak di Spring Street, di tengah kota Los Angeles. Berbentuk labirin penuh dengan koleksi buku baru, bekas, bahkan rekaman. Gedung The Last Bookstore adalah bekas sebuah bank yang dulu dipenuhi oleh tumpukan uang, namun kini dipenuhi oleh tumpukan buku.

Buku-buku ditempatkan secara acak di seluruh ruangan. Beberapa buku bekas ditumpuk untuk menjadi interior. Mingyu, tidak henti-hentinya membulatkan bibir, takjub atas ide yang tersampaikan dalam membangun sebuah interior. Katanya, ‘Kaya di film Harry Potter, ada buku terbang..”

Nadit terbahak kencang, kemudian mulai menyusuri labirin penuh dengan buku untuk mencari satu dari sekian banyak yang unik. Mingyu melangkah seirama di belakangnya, ikut menarik satu per-satu buku dari susunan dan membaca ringkasan dibelakangnya.

Ketika mendapatkan buku baru yang mereka punya, mereka mulai melangkah menuju kasir, membayar kemudian pergi ke sudut literasi yang memang disedikan khusus. Setelahnya, mereka hanya tenggelam dalam visualisasi narasi dalam buku yang digenggam masing-masing.

“Na..”

“Hm?” Tanpa mengalihkan pandangnya dari halaman buku, Nadit menyahut.

“Kenapa namanya ‘The Last Bookstore?’ Ini toko buku terakhir yang ada di downtown, ya?”

“Oh..” Nadit membalik lembar bukunya. Matanya mulai bergerak dari awalan baris pertama menuju akhir, dapat Mingyu saksikan hal itu ketika manik matanya menangkap manik mata Nadit yang terus saja fokus tanpa terdistraksi, padahal ia bertanya. “Itu—”

Mingyu tarik buku dari hadapan wajah Nadit, meletakannya di atas meja pada sudut literasi, menangkup kedua pipinya, menarik tatapnya menuju tatap milik Mingyu. “Aku nanya, jadinya fokusnya ke aku..”

Nadit diam cukup lama, terkejut.

“Kamu posesif..” Cicit Nadit. Pada awalnya, ia berfikir bahwa Mingyu akan marah atau kesal ketika mendengar pengakuan Nadit barusan. Sebaliknya, Mingyu menutup hidungnya untuk menghindari suara berisik tawa yang mungkin saja menggelegar memenuhi ruangan.

“Kok malah ketawa?”

“Kok posesif sih, dimana-mana kalau mau ngobrol harus eye-contact, tau, Na..” Jelas Mingyu. “Boleh?”

“Boleh apanya?”

“Boleh gak, fokusnya ke aku kan soalnya aku lagi nanya?” Kali ini bergantian, Nadit terbahak kecil. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan kemudian menyenderkan tubuhnya pada kepada sofa empuk, mengawang pada langit-langit toko buku.

Kini Mingyu ikut melakukan yang sama, mengistirahatkan tubuh pada kepala sofa, namun mengawang pandang pada gadis disebelahnya.

“Toko buku ini tuh bukan yang terakhir ada, Gyu.” Sama seperti kejadian di Museum tadi, pandang Nadit tidak beralih dari benda atau hal yang sedang ia jelaskan. Seperti kali ini, bola matanya pergi ke kanan dan ke kiri, menjamahi seluruh yang ada dalam bangunan besar dan tampak tua namun tetap meyakinkan untuk dijadikan sebuah toko buku berbentuk labirin seluas itu. Dan pandang Mingyu, akan tetap terpaku pada Nadit, sama seperti saat di Museum tadi.

“Waktu Josh Spencer buka toko buku ini di tengah kota Los Angeles, dia mikir kalau toko buku ini bakalan gagal karna sampai 3 tahun, toko bukunya di tolak terus sama industri perbukuan. Jadi dia milih nama yang ironis, tapi kesannya berani. Kamu mikir gitu gak?” Kini pandang Nadit menoleh kepada Mingyu yang masih menikmatinya bercerita.

Mingyu menggeleng. “Yang aku pikirin cuma.. ini emang toko buku terakhir yang ada di tengah kota Los Angeles.”

“Sampe mikir gak, kalau nanti ada Apocalypse, toko buku ini tetep jadi yang terakhir?” Canda Nadit, Mingyu membelalak dan mengangkat kepalanya yang tadi beristirahat pada kepala sofa. “Never thought about that, tapi gara-gara kamu bilang gitu, mungkin aku bakalan mikir kaya gitu.”

Mereka terbahak kecil, kemudian kembali seperti posisi semula. Nadit yang mengawangkan pandang, mengembara menuju langit-langit dan ornamennya, sedangkan Mingyu, kepada Nadit.

“Spenser jadi lebih terbuka soal realita bahwa dia kecelakaan, dan harus jadi Paraplegia. Jadi orang yang lumpuh..” Nadit menggantungkan kalimatnya sebentar. “Aku sempet nyari penyebab Paraplegia itu apa, dan mostly ya gara-gara kecelakaan terus sum-sum tulang belakangnya cedera.” Sambungnya.

“Hebatnya lagi, dia sama sekali gak punya takut dan bilang kaya gini ‘I’ve lost things in my life much more traumatic than a business, if I can deal with that, I can certainly deal with a business failing.’

“Kok kamu hafal?”

“Aku tulis di post-notes, terus aku tempel di dinding. Kamu memangnya kemarin gak baca?” Mingyu menggeleng.

Spenser bilang lagi, kalau dia pengen toko buku-nya tuh autentik, dia pengen memberikan pengalaman yang keliatannya dingin, tapi tetep jadi sebuah bahan kalkulasi. Intinya, dia mau tokonya beda dari yang lain. And here you are, Gyu. Kita kaya di dunia lain, kan? Kaya bukan di Los Angeles.. Kaya kita ada di dunia sihir, Hogwarts!” Jelas Nadit dengan nada penekanan yang menyenangkan.

“Bahkan Spenser tuh pernah cerita di salah satu Blog yang aku baca, kalau sewaktu dia bongkar berpuluh-puluh kotak yang isinya buku hasil donasi, dia pernah ketemu 500 bucks di satu waktu, ketemu surat cinta aneh yang gak tau makna dan maksudnya apa, bahkan ketemu daun ganja di lembar buku ‘Song of Solomon’” Kini rahang Mingyu jatuh mendengar seluruh pernyataan Nadit. “Crazy, right?”

“500 bucks..” Mingyu mengerutkan alis, berfikir dan menghitung. “Wow..”

“Kenapa?”

“Kalau di jumlahin sama mata uang negaraku, bisa sampe 7 juta..”

“Itu banyak, gak?” Tanya Nadit.

“Ya banyak, Na. Kamu bisa beli kacamata Dior kalau punya duit segitu..”

“Cuma kacamata? Ya dikit dong kalau gitu..”Mereka tertawa kecil. Agendanya masih sama. Namun kali ini, Mingyu ikut mengawangkan tatapnya ke langit-langit toko buku. Benar, mereka seperti berada di sebuah dunia penuh dengan sihir dan penuh dengan ketenangan.

“Udah malem, kita mau kemana lagi habis ini?” Dari kepala yang masih ia istirahatkan ke kepada sofa, Mingyu menoleh. “Mau makan?”

“Boleh..” Nadit ikut memaku tatap kepada lawan bicaranya. “Habis itu kita langsung balik aja..”

“Bener? Gak mau main dimana-mana lagi?”

Bukannya menjawab, Nadit malah tersenyum. “Kita nanti berhenti di rumah kamu, ya. Habis itu duduk di belakang.”

“Ngapain?”

“Ada..”

-

Nadit mengangkat satu kursi di beranda bagian belakang rumah Mingyu menuju pinggir pantai, agak menjerumus menuju debur ombak, namun masih agak jauh.

Mingyu masih dengan beribu pertanyaannya di dalam kepala, ikut mengangkat satu kursi dan meletakkannya tepat disebelah Nadit.

“Mau ngapain, sih?”

“Buku kita tadi mana?”

“Di.. Dalam?”

“Ambil..” Alis Mingyu menungkik tajam. “Ambil, Gyu!”

Mingyu kemudian melangkah menjauh masuk kembali ke dalam rumahnya. Tidak berselang lama, ia kembali dengan dua buku di tangan dan duduk di bangku yang sudah ia angkat tadi, yang ia letakan tepat di sebelah Nadit.

Ia serahkan satu buku milik Nadit, mengambil posisi duduk dan meletakkan buku miliknya di atas paha.

“Then what?”

“Read..” Nadit membuka halaman yang ia tandai, mulai membaca baris demi baris.

Menyadari bahwa Mingyu masih penuh dengan pertanyaan di kepala, tidak lekas membuka bukunya, Nadit menoleh, “Baca buku kamu, Mingyu..”

Mingyu diam.

“Believe me, just read..” Dengan membuang nafas pelan, ia buka bukunya pelan. Ia baca kemudian baris demi baris, kemudian paragraph demi paragraf, lembar demi lembar.

Sapuan angin yang menyelimuti kulitnya, menghamburkan helai demi helai rambut, suara dembur ombak yang menyambangi pendengarannya, dan detak jantung yang rasanya mampu ia dengar ritmenya.

Deg. Deg. Deg.

Seirama, pada tempo yang sama. Pelan, dan menghanyutkan.

Mingyu tutup bukunya, ia menatap jauh menuju laut lepas, berdiri dan melangkah, membiarkan celananya basah diterpa air laut, matanya mulai panas.

Ketika tubuhnya berbalik, ia temukan tubuh Nadit yang ikut berdiri dibalik punggungnya.

‘What did you do to this broken soul, Na..’

“I… have never find peace like this..” Cicit Mingyu.

Nadit ikut melangkah, membasahi kakinya untuk bersejajar dengan kaki Mingyu yang sudah lebih dulu basah di hantam ombak yang datang dan pergi. Ia raih satu tangan milik si lelaki, kemudian ia gapai pundaknya yang lebar dan ia jatuhkan tubuhnya dalam peluk. Ia simpan wajahnya dalam tubuh hangat Mingyu dan bergumam,

“Whatever you are, Wherever you are.. You will always be fine.. I promised you, everything will be just fine, Gyu..”

Malam di Malibu, ketika itu bukan lagi sekedar waktu. Untuk kali pertama perihal memaknai sebuah kehilangan, ada yang sembuh dan penuh. Yang letih dan tertatih akhirnya bangkit dari perih. Sendu dan pilu kini perlahan tidak lagi memar lagi membiru. Mingyu tau saat itu, ketika sebuah hadiah peluk merengkuh tidak hanya tubuhnya, namun jiwanya sekaligus. Kepastian dunia belum sepenuhnya ia genggam, namun malam itu, jiwanya tenang. Seakan rumah dan pulang, hanya sekedar sebuah kata pemenuh frasa, karna maknanya, kini terlihat jelas dan dengan sepenuhnya, mampu ia rasa.