Benarkan apa yang aku bilang soal, “She’ll wear a dress with a cigarettes in her hand.”

Nadit dengan gaun Vintage berwarna putih, dan sebatang barang penuh adiksi yang dari tadi ia hisap tanpa rasa bersalah.

“Aku gak percaya Somi beneran gak datang ke Prom.. i mean.. INI PROM LOH?” Satu hisapan.

Hisapan lain aku balas.

Yup, satu batang di tanganku.

Kini jasku tidak lagi rapi, bahkan kemejanya sudah keluar tidak lagi tersematkan dibalik celana. Vest yang masih setia disana, lengan kemeja yang aku lipat seperempat bagian dan jas yang aku gantungkan di bahu, seperti seorang aktor di poster film ternama tahun 80 menuju 90-an.

Aku hembuskan asap dari mulutku.

She’s crazy..”

“Dia bahkan gak balas imessku, Vernon.” Kini Nadit membuang asal puntung rokoknya.

“Dia gak ngasih tau kamu kemana?“ Nadit menggeleng.

I told you.. aku kaya gak percaya aja. Modelan kaya dia bener-bener gak datang ke Prom? Sedangkan yang kaya aku aja datang?”

“Emangnya yang kaya kamu itu gimana?” Kini giliranku yang membuang puntung rokoknya asal entah kemana.

Kami bersembunyi dibalik gedung sekolah dimana acara Prom Night di adakan. Kami senderkan pundak kami pada dinding, mengawang pada langit yang malam ini sama sekali tidak ada bintang. Dan tidak ada manusia berisik, karena mereka semua sedang asik berpesta didalam sana.

“Yang kaya aku, Vernon. Look at me?”

Aku tertawa menggeleng pelan. “Cantik?”

“Bukan itu!” Ia kibaskan tangannya didepan wajahku, menampar angin.

Kami kemudian terbahak.

“Terus.. kok bisa Stevany sama Roger jadi King and Queen Prom??” Nadit menggelengkan kepala tidak percaya.

RIGHT? ME TOO! Kaya.. they are.. apa ya, semacam biang keladinya sekolah.. but, jadi King and Queen Prom?” Balasku. Karena jujur saja, setelah mendengarkan pengumuman itu, aku mendadak turun dari tribun dan berlalu keluar dari sana. (Dengan mengajak Nadit, tentu saja.)

Well, it seems that i haven’t told you about Nadit in a properly way? kan?

She’s one year older than me.

Kemarin, aku baru menginjak umur 18 sedangkan tahun ini ia menginjak umur 19. Sebenarnya sebelum bulan Juli nanti, kami masih sama sama anak remaja yang sebaya.

Awal pertemuanku dengan Nadit adalah sewaktu kecil dulu, kami sempat bertetanggaan sewaktu SD, kemudian aku pindah dipertengahan SMP. Kata Ibu, ada rumah dengan harga yang lumayan murah untuk di tempati jauh dari berisiknya kota.

Semenjak pindah, aku dan Nadit masih sering keepin' touch. Entah aku yang sekedar main ke rumahnya untuk menemui kucingnya, atau dia yang main kerumahku hanya untuk menghabiskan waktu menonton kartun serial favoritnya, Spongebob Squarepants, atau terkadang, Thomas n Friends. Dia memang aneh.

Padahal aku, sama sekali tidak menemukan hal yang menarik dari kartun kesukaannya itu.

Beranjak menuju SMA, jauh di tengah kota, aku dan Nadit sempat di pengaruhi untuk mencoba hal hal ber-adiksi.

Awal mula itu terjadi adalah bukan atas dasar mau sendiri. Matthew, anak kaya raya yang jadi teman SMP-ku dan Nadit, menyodorkan masing-masing dari kami sebatang ketika itu.

“Ayolah! Kalian bisa jadi keren kalau punya ini di kantong atau di dalam tas!” Ujarnya. Aku dan Nadit saling tatap agak lama, mengerutkan alis seakan bersuara “How?”

Ya? Bagaimana bisa hal-hal semacam ini membuat kita keren di mata orang?

Matthew kemudian mengeluarkan korek, melemparnya dan spontan aku tangkap. “Trust me, you won’t believe how amazing it is.”

Stupid us, waktu itu.

Karena rasa penasaran atas apa yang Matthew bilang, kami berdua bakar masing-masing batang yang kami genggam.

You ready?” Nadit mengangguk.

And that was when it started.

Kami terbatuk hebat, rasa nikotin yang terkandung di dalam sana kemudian menyelimuti seluruh mulutku. Pahit, namun membuatku ingin menghisap barang itu lagi dan lagi.

Well.. not bad?” Kata Nadit. Aku membelalak ketika ada hisapan lain yang ia lakukan.

Dan sampai detik ini, tidak pernah absen barang semacam itu. Entah di dalam laci nakas di kamarku, atau di selipan rak buku di rumah Nadit.

And it’s extremely peaceful, not gonna lie. Apalagi disaaat seperti ini, it feels like you are floating in the air. Menyatu dengan udara.

“Pulang?” Tanyaku. Nadit menoleh pelan.

“Ayo..”

Begitu kemudian kami berjalan menyusuri trotoar, mobil yang berlalu lalang terus berjalan tanpa henti. Mungkin didalam sana mereka menerka, kalau kami ini sedang dalam misi melarikan diri dalam acara pernikahan yang di paksa.

Satu mobil kemudian lewat, membuat Nadit menorehkan kepalanya hampir 360 derajat seperti kepala burung hantu.

Why?”

“Kaya mobilnya Mingyu..” Cicitnya.

Oh.. ya.. soal itu. Dan soal agenda-ku untuk menyampaikan sesuatu. Tiba-tiba saja jantungku didalam sana bergetar, membuat nafasku tersenggal.

“Gak mungkin punya Kim, kalau dia lihat kita jalan kaya gini pasti dia bakal berhenti dong, iyakan?” Balasku.

“Iya juga sih..”

Sunyi senyap mengudara. Entah kenapa mulutku mendadak kelu. Padahal apapun perihal Nadit, tidak akan mampu menutup mulutku.

“Kamu mobil dia aja sampe inget, ya?” Nadit terkekeh kecil. “You like him a lot ya, Nadit?”

Ia mengerutkan alisnya.

Why?” Tanyaku. Ketika menemukan ekspresi tidak biasa keluar dari wajahnya.

It doesn’t seem like you at all tau, Vernon..” Aku hanya tersenyum kecil.

“Kan aku nanya, you like him a lot ya? Walaupun dia kaya gitu?”

“Kaya gitu gimana?”

“Gak ngeliat kamu barang sedikit? Or maybe he looks at you. But.. it looks like he doesn’t care.. iya gak?”

Kini, sambil melipat tangannya di depan dada, ia menatap heels putih yang ia kenakan. Ada senyum kecil yang berhasil aku delisik.

“Sebenernya.. have crush on him tuh bikin aku belajar banyak tau, Vernon..”

“Kok gitu?”

“Soal.. gak selamanya perasaan tiap tiap orang bakalan selalu sama. Soal.. atas batas yang memang harus di hargai. Soal.. status yang mungkin cukup tanpa harus lebih. Soal.. perasaan yang gak harus dan gak melulu soal timbal balik. Being friends with him menurutku udah cukup. I mean, at least walaupun punya perasaan sama dia tanpa bisa dia balas, aku masih bisa ngeliat dia. Ngeliat dia berbaur sama kita, ngeliat ketawanya dia, ngeliat idea-idea yang biasa dia tumpahin, ngeliat dia.”

Wow.. Batinku.

Ada nyeri di ulu hatiku ketika aku menyadari bahwa, apa yang Nadit katakan untuk manusia bernama Mingyu Kim itu, sama kepadaku. Seakan-akan, Nadit menyuarakan apa yang harus aku lakukan di antara aku dan ia.

Soal, batas yang harus di hargai. Soal, status yang mungkin akan selalu cukup tanpa harus meminta lebih.

Lain lagi, ketika ia mengawangkan pandang ke atas langit ketika menceritakan perasaannya. Mungkin ia membayangkan bintang-bintang di sana sebagai lelaki yang terus-terusan menghantui pikirannya, Kim.

Dan itu, adalah manik mata paling indah yang pernah aku tangkap dengan manik mataku sendiri. Lebih indah dibandingkan ketika ia harus menceritakan bagaimana persahabatan Spongebob dan Patrick, lebih indah ketika ia tertawa menatap Thomas n Friends ketika dulu. Lebih indah, dibandingkan ketika ia menceritakan rangkuman buku favorit yang baru selesai ia baca.

Pada akhirnya, aku urungkan niatku.

Mungkin aku tidak tau, bisa jadi manik matanya adalah yang paling indah di mata orang lain ketika menceritakan sosokku, mungkin. Tapi melihat bagaimana bahagianya ia ketika menceritakan Kim, padahal lelaki disana belum mampu memberikan validasi atas perasaannya sendiri, membuatku menyadari sesuatu, bahwa bahagia Nadit, adalah bukan aku.

Bahwa perasaan yang aku punya untuknya, mungkin bukan sebagai penyelamat perasaan yang hanya di tepuk sebelah tangan oleh orang disana.

Mungkin lagi, Nadit dan aku memang cukup untuk menjadi teman.

“Nadit..” Cicitku.

“Hm?”

You know i won’t hurt you, right? Apapun bentuknya.”

I know it damn well, Vernon.”

Mungkin, ini adalah cara lain. Untuk selalu melindungi Nadit dari bentuk sakit yang bisa saja terjadi diantara aku dan ia. Mungkin, ini memang cara semesta merealisasikan janjiku yang kemudian melebur jadi sisa sisa rasa yang perlahan, memang harus aku kubur dalam-dalam.

-

Kim memutar stirnya keluar dari pekarangan rumah sakit, ia masih menggunakan kemeja rapi.

“Kamu balik ke kantor lagi?“ Tanyaku.

“Yup. Tapi aku harus temenin kamu makan malam dulu. Soal janji yang bersepeda kemarin.” Aku mengangguk.

“Oh.. Kalau gak, nanti dari resto aku naik bis kota aja, Kim. Kamu bisa langsung ke kantor lagi..”

Tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan, ia diam, mungkin berfikir.

“You sure?” Aku putar malas kedua bola mataku.

Harus berapa kali sih aku bilang kalau aku ini lahir dan besar di Malibu? Seluruh jalanan menuju rumah aku tu selalu tau.

I was born here—“

Yes i know it. You sure?” Tanyanya lagi. Menekankan kalimat terakhir.

I. Am. Sure.”

“Okay.” Katanya. “Nanti kalau udah sampe di rumah kabarin aku.”

Aku mengekspresikan pandangan geli menujunya, sampai-sampai Kim harus secara bergantian menatapku dan jalanan.

“Kamu masih dibawah tanggung jawabku loh, Vernon?” Katanya. Aku buang nafasku.

“Okay. Sehabis makan, aku pulang sendiri terus kabarin kamu sampe rumah.”

And—“

Ada lagi?!

“Bilang sama Ibu kamu kalau aku gak bisa pamit.”

“Pamit?”

“Yes. Pamit. Dan bilang makasih.”

“Kamu gak kemana mana, Kim. Ngapain pamit?”

“Ya kan—“

No. There’s no ‘pamit-pamit.’ i’ll tell my mom that you send her a regards“

“O-okay..”

Setelah sampai di tempat tujuan, mataku berbinar. Perutku mulai meraung, mulai membayangkan bagaimana rasanya daging wagyu besar ini masuk kedalam perutku, meleleh di lidahku.

Di sana, hanya ada bincang singkat antara aku dan Kim. Soal Prom dan Nadit, tidak luput dari pertanyaannya, namun aku memilih diam dan mengalihkan pembicaraan.

Jarak rumahku dari restoran sebenarnya memang agak jauh, kalaupun harus menggunakan bis kota, jalan menuju halte memang benar-benar menghabiskan energi.

Tapi itu lebih baik daripada harus merepotkan Kim. Belakangan, katanya, pekerjaannya menumpuk hebat.

“Kim.” Sebelum melangkah lebih jauh, aku kembali menoleh menatap dirinya yang masih menungguku. Mungkin setidaknya hilang dari pandangannya.

“Hm?”

You know what. The way you said kalau Nadit cuma remaja yang labil dengan perasaan yang dia punya buat kamu? Menurutku..Itu cuma.. ketakutan kamu.” Kim mengerutkan alisnya. “Maksudku, kamu takut perasaan kamu buat Nadit gak bisa dibalas sama dia di kemudian hari, karna both of you are not ready yet because your age gap. But you do love her, stop pretending you are not.” Aku atur nafasku sebaik mungkin. Aneh sekali, ada perih yang menjalar dari tenggorokanku kemudian menuju seluruh tubuhku.

“Jadi kamu milih buat mikirin skenario terburuk dan cuma itu skenario yang bisa kamu pikir, bahwa dengan umur Nadit yang masih belasan, bisa jadi perasaan dia cuman kind of temporary feeling. Padahal, you’ll never know how long a person can hold a feeling, Kim. Bahkan bisa bertahan 5 tahun dari sekarang, or might be more than that.”

So.. i beg you. Buat jangan nganggap remeh perasaan Nadit buat kamu. Remember what One Direction say in the so-called Story of my life? Give her hope, spend her love until she’s broke inside.” Aku lebih seperti menyatakan sebuah kalimat dibandingkan menggumamkan sebuah potongan lirik lagu. Datar. “Don’t break her, Kim. Let her break her ownself by loving you. So maybe she can find a way.” Aku aku angkat bahuku. Kali ini pandangku melanglang buana entah kemana, menolak menatap mata laki-laki yang berdiri agak jauh didepanku.

To forget me?” Cicitnya. Namun masih mampu aku dengar dengan jarak tersebut.

See? you are afraid to be forgotten by Nadit. She won’t, believe me she won’t, so stop saying that she has a temporary feeling for you just because she just a teenager.”

What should i do, then, Vernon? Ini lebih complicated dari yang kamu pikir.”

Give her your love, in a proper way as an ‘almost thirty’ grown up man to an eighteen years old girl. Don’t pretend, you such a jerk if you do that. Aku tau kamu lebih pintar dari aku yang masih anak anak ini, i know you can understand it clearly.”Aku hanya mampu tersenyum menekuk bibir, menggenggam dan mengeratkan ranselku.

See you later, Kim. Need to go home early or my mom will kill me.” Aku terkekeh kecil.

“Vernon?” Belum sempat melangkah lebih jauh, aku kembali memutar tubuh, berhadapan dengan Kim.

“Kamu ngelepasin dia gitu aja?” Aku menyunggingkan senyum kecil di satu sudut bibirku.

I can’t compete, Kim. Most especially with you. what do i have? Perusahaan? Nope. And to be honest, you are more handsome than me. The coolest person i’ve ever met.” Kim tertawa melempar kepalanya kebelakang, pun aku yang malah ikut terbahak. “Yang bisa aku kasih ke dia cuma makanan Luna kalau kalau habis. More than that, i can’t. Love? Ugh, gak akan pernah cukup.”

“Tapi apa kamu gak mikir kalau bisa aja ada kesempatan buat kamu sama dia, kalau kamu gak ngelepasin dia gitu aja? I mean, it might be worthy, kan?”

That’s the point. I let her go karna aku nunggu sebuah kesempatan didepan sana, apapun bentuknya. Aku bersyukur kalau orangnya Nadit, tapi aku akan lebih bersyukur kalau ternyata orangnya bukan Nadit.”

Why? Harusnya kamu lebih bersyukur dong kalau orangnya Nadit?”

Friends to a lovers just kinda hard, Kim. With all those memories? Mungkin i want her more than a friend, tapi apa itu bakal ngerubah keadaan? Maksudku..” Aku mengawang ke langit malam. Sial! Bahkan tidak ada bintang yang bisa aku pandang. “Setelah aku dapet dia dengan status lebih, terus apa? Setelah aku dapat kepuasan itu untuk memiliki dia, terus apa? Tujuanku buat bareng sama dia cuma atas dasar perasaan kosong yang pengen di penuhi, lebihnya dan tujuan kedepannya aku masih gak tau.”

“Tapi kalau aku memulai dengan orang yang baru, we start it from the first line, bener bener dari awal. So.. maybe it’ll be more worthy. Mungkin.. kita jadi punya waktu buat mengenal lebih dan jadinya worth the wait juga. Kalau sama Nadit, aku udah kenal duluan, kalaupun kita memulai, kita harus ngapain disana?” Sambung Vernon.

“Kamu bisa bikin plan buat punya hubungan serius dan nikah, Vernon. Kan kalian kenalnya juga udah lama.”

“Gak ada jaminan, Kim, dijalan menuju jenjang pernikahan itu kita gak ada problem. In case ditengah jalan we ended everything, jatohnya from friends to lovers to strangers? Lebih worst kan kalau sama Nadit? And that is also a form of hurt. I said that i won’t hurt her.”

“Lagian, buat aku, nikah perkara yang rumit. Untuk mikirinnya aja aku belum siap. Gak kaya kamu. Kalaupun memang Nadit buat aku, biar aja semesta yang bikin garis takdirnya. Sekarang, yang aku mau cuma aku bakal ngelepas Nadit. Apapun pilihannya, kemanapun dia mau berlabuh.”

You such a gentleman, not gonna lie.” Aku terbahak hebat mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulutnya.

I’ll take that as a compliment.”

“Hati hati di jalan, Vernon. It’s nice to have a little convo with you. you can count on me whenever you want.”

Even asking for a money?” Candaku dengan nada sedikit meledek.

Even asking for a money.”

“*Then lend me some. Aku harus naik taksi buat ke halte daripada jalan kaki, udah malam banget.” Kim terbahak, merogoh kantong celananya dan mengeluarkan dompet.

“Naik taksi aja. Text me kalau kamu udah sampe di rumah.”

Will do. Thank you. I promise i will return it as soon as possible, Kim!!” Aku kembali berteriak kecil sambil berlari menjauh.

You don’t have to worry. Aku masih punya banyak dimana mana!”

“DASAR ORANG SOMBONG!” Aku kini sudah berjalan agak jauh, membuatku harus berteriak agar mampu di dengar oleh Kim diujung sana.

Langit malam ini gelap, namun manik mataku tidak lepas dari satu bintang yang dengan berani bercahaya tanpa rekan.

Indah. Ditemani bulan yang berbentuk sabit. Mereka adalah yang paling indah.