I won’t, Mom..”

Why?” Nadit tutup bukunya. Mengerang sebal karena Ibunya terus-terusan menyuruhnya pergi pada agenda akhir tahun sekolah itu.

That is just.. not my things.”

Nadit ambil bukunya kembali, diujung kasur sana, Ibunya asik mengelus kakinya, sesekali memijitnya.

“Nadit..”

“Yes?” Untuk kesekian kali, buku yang Nadit baca ia tutup dan kali ini ia asingkan agak jauh dari gapaiannya.

Are you really.. have no crush to.. somebody?”

Alis Nadit berkerut hebat, bingung atas pertanyaan Ibunya.

Semenjak awal masuk SMA, setiap punya waktu berdua seperti ini, Nadit selalu dicecar oleh pernyataan Ibunya tentang : ‘don’t falling in love too fast.” Pertama kali mendengar itu, tentu saja Nadit butuh alasan yang masuk akal perihal : “Kenapa, Bu?”

Tapi, setiap kali di tanyai, acap kali Ibunya menjawab : “Nanti, kalau umur kamu udah cukup, kamu bakal paham.”

Nadit sendiri selalu merasa sudah cukup umur. Angka 18 harusnya sudah cukup untuk mengetahui semuanya. Apa yang Nadit tidak tau di umur itu? Rokok? Sudah ia sentuh bahkan sebelum menginjak umur legal, minum? Hubungan Sex? Sudah Nadit pelajari di sekolah, tentu saja. Ciuman pertama? Oh, belum.. sejauh ini, hanya sebuah fantasi yang membelikat pemikirannya soal itu. (Dan tukar pengalaman teman-temannya yang sudah lebih dulu merasakan itu yang akhirnya menjadi pendukung fantasi di kepalanya.) Sejujurnya, pergaulan sudah mengantarkan Nadit pada hal yang lebih eksplisit dibandingkan ‘jangan jatuh cinta dulu, Nadit.’

Nadit tau semua dan ia sudah cukup. Namun, sampai detik ini, definisi ‘cukup’ bagi Ibunya, belum Nadit temukan ada dimana.

“Kenapa? Ibu bilang jangan jatuh cinta dulu. Kok ini malah nanyain gebetan?” Ibunya malah tertawa. Mata wanita paruh baya itu mengawang, mendelisik tiap-tiap sudut kamar Nadit.

“Aku belum cukup umur, ya?” Ibunya menghentikan agenda delisiknya, menoleh kemudian pada anak semata wayangnya itu.

Gun N Roses, the Beatles.. piringan Ayah, ya?”

“Ibu.. jangan mengalihkan pembicaraan gitu..” Ibunya lagi-lagi tertawa, mengelus kaki putrinya.

“Memangnya.. gak ada apa yang ngajakin kamu pergi Prom?”

Nadit menggigit bibir bawahnya. “Tuh kan.. ada..”

“Tapi, Bu.. kaya yang aku bilang.. it’s just not my things.. kaya.. Dancing? Aku bahkan gak bisa nari?”

You read all of these books, tapi gak mau pergi Prom? Bohong..”

Nadit terkekeh kecil. “It’s not the same.. Mom.”

“I have something for you..” Ibunya tiba-tiba bangkit, menghilang dari balik pintu. Dapat Nadit dengar suara langkahnya yang menuruni tangga, decitan pintu yang berarti menunjukan bahwa Ibunya masuk ke kamarnya. Suara decitan pintu lain dan suara Langkah lain menuju anak tangga.

Kini tubuh Ibunya dapat Nadit tangkap dalam visual, berjalan kembali menuju kamarnya dan kotak berwarna hijau Sage dan pita yang menghias tutupnya.

Ketika Ibunya mengangkat tutupnya, Nadit temukan sesuatu dress putih dengan kain tile yang memenuhi kotaknya dan beberapa renda yang menghias disana.

What.. is.. this?” Alis Nadit menungkik tajam.

A dress.. come on.. try it. Ini punya Ibu waktu Prom dulu.. Come onnnnn..” Nadit bangkit dengan malas. Akibat paksaan Ibunya, akhirnya malam itu ia tatap pantulan dirinya diselimuti gaun putih selutut yang ditutupi kain tile dan beberapa renda di bagian dada dan pinggul pada bajunya. Vintage.

“Ibu pakai ini waktu Prom. You have no idea how my night was before the Prom started in the next tomorrow night. Sepanjang malam, Ibu deg-deg-an ngeliatin bajunya yang di pajang di sudut kamar. The excitement, bahkan masih bisa Ibu rasain sampe sekarang.” Dibelakang tubuh Nadit yang lebih tinggi dari Ibunya, ia elus lengan gadisnya. Dapat Nadit rasakan dengan jelas akibat dressnya yang tidak menutupi lengan sampai ke sekitar dadanya. Bahkan dari pantulan cermin, dapat ia lihat ekspresi wajah Ibunya itu.

Nadit tersenyum, sudah lama tidak ia lihat ekspresi itu. Apalagi mengingat bagaimana agenda bulak-balik rumah sakit yang membuat ekspresi itu hilang dan susah terdeteksi eksistensinya.

And also.. that was the night when I met your Dad.. jadi sebetulnya, Dress ini punya sejarah.” Kali ini Nadit tertawa kecil. Kini Nadit tidak lagi berdiri menatap pantulan dirinya didepan kaca yang ia letak di sudut kamarnya, melainkan memutar tubuh berhadapan dengan Ibunya.

Kedua pipinya di elus lembut, seluruh sudut wajah Nadit di jelajahi pupil mata yang berwarna Ocean Blue itu.

“Go.. Nadit. Mungkin itu bisa jadi cara kamu menemukan takdir, just like me..”

Kini, Nadit yang mengangkat kedua tangannya dan mulai mengelus pipi Ibunya yang tidak lagi memiliki kulit yang kencang. Ada beberapa bercak luka disana.

But what if.. takdirku bukan mereka yang salah satunya ada di acara Prom, Bu?”

You have a crush on someone? Not your classmate? Or what?

It’s complicated, sebenarnya.. Haha..” Tawa Nadit terdengar canggung. “But.. we have nothing. Kita.. cuma temen aja.”

Yes. That is good. Don’t—”

“—Falling in love too fast. Yes, I get it.”

Senyum kembali mengembang di sudut bibir Ibu Nadit.

So.. you’ll go?”

Diam. Nadit menimbang. Apalagi ajakan Vernon tadi yang sempat sudah ia ketik namun belum ia kirimkan.

Okay.. I’ll go.”