Kami terbahak kencang.
“Dia ngiranya kita pacaran?” Aku mengangguk masih dengan tawa yang belum kunjung mereda.
“Kamu..” Kalimat yang Vernon gantungkan kemudian membuat tawaku perlahan berhenti. “Beneran banyak yang suka, ya?”
Alisku menungkik tajam, mataku membulat sempurna. “Apaan sih?”
Vernon disana terkikik geli. “Kamu pikir Seokmin terus-terusan ngirim kamu pesan alasannya apa? ya udah pasti suka lah.”
“But i don’t like him.”
“Nobody said you have to.”
Aku dan Vernon duduk berdua di atas pasir pantai dengan dua cone es krim di tangan masing-masing.
“Kamu ngapain tadi duduk berdua sama temennya Mingyu?” Sambil menggigit es krimnya, Vernon mengangguk. “Kok bisa barengan?” Tanyaku lagi.
“Tadi pulang sekolah aku lewat Marmalade, terus ketemu dia. Berhubung aku agak haus, aku datangin aja.” Ia terkikik. “Terus kan habis itu kamu mau ajak aku kesini, jadinya aku suruh tunggu di depan Marmalade.”
“Dibayarin minum?” Untuk kesekian kalinya aku melempar tanya. Ia mengerlingkan satu mata dan alhasil aku tolak bahunya hingga kami berdua terbahak hebat.
Vernon sudah balik lebih dahulu pulang ke rumah setelah jam sekolah selesai, dengan beanie favoritnya yang selalu saja ia gunakan dan akhirnya menjadi ciri khasnya. Aku sendiri, tas ransel itu masih setia di punggungku, sama sekali belum memijak rumah.
“Kamu ngapain ngajakin aku kesini? Pake bayarin es krim lagi?”
Aku tersenyum kecil, menoleh ke arahnya.
“You know what.. i think Somi has a crush on Seokmin.” Mata Vernon membelalak.
“No way..”
“We almost had a fight.”
“Berantem kenapa?”
“You know, Vernon. Perasaan anak remaja, anak sekolah. Cuma gara-gara dia liat notifikasi Seokmin, dia mulai berasumsi yang enggak-enggak.” Jelasku, menjilat benda dingin di tanganku.
“Kamu kan anak remaja juga.”
“Iya. Sama kaya apa yang dibilang Mingyu. Kita cuma anak labil..” Cicitku, menunduk. Mengingat-ingat bagaimana kalimatnya sewaktu itu membuat perasaanku kacau.
“You still like him?” Pertanyaan Vernon itu kemudian membuatku menoleh ke arahnya, sedikit mendongak karena saat duduk pun, tubuhnya lebih tinggi dibandingkan aku.
Tapi aku diam.
“Yes or No, Nadit..”
Dan masih diam.
“Did you forget? Kita yang mati-matian nyariin Kim waktu itu disini? And you want to keep a secret from me right now?”
Aku terbahak kecil.
“Yes..” Jawabku kemudian sebagai validasi. Vernon mengangguk, meneluk lututnya setelah satu cone es krim habis disantapnya.
“Tapi..” Aku lempar pandangku jauh kedepan sana. Namun dari ekor mata, dapat terlihat wajahnya yang menoleh ke arahku, menanti kalimat lain yang aku gantungkan. “Kali ini aku gak mau maksa.” Aku menarik nafas dan mulai menyambung kalimat lain. “Ingat kan, yang katanya dia had a dinner? Di rumahnya sama perempuan? I think.. perasaanku ini biarin jadi urusanku aja. Either it’ll be eased by time.. atau kalau semisal gak bakal kehapus, let me keep it by myself.” Aku menekuk senyum. Sudah terlalu banyak sugesti diatas kalimat 'it's okay and it'll be okay.'
Iya, dunia tidak selamanya memberikan apa-apa saja yang aku mau. Termasuk perasaan laki-laki yang umurnya sudah matang disana. Statusnya, umurnya, yang mungkin jadi penghalang bagi pemikiran beberapa orang, yang mungkin sebagian berasumsi bahwa aku ini sudah gila.
Untuk kali ini, seperti apa yang pernah Somi sampaikan, ada dinding tebal dan tinggi yang memang harus aku bangun, untuk memproteksi perasaanku sendiri, rumahku sendiri.
“I think it’s not true..” Aku mengkerutkan alisku tajam ketika kalimat itu keluar dari mulut Vernon.
“Apanya?”
“Tadi Minghao nanya, dia ngira kalau kamu pacarku. And i said no, i said you like Kim—“
“HEY!” Aku tepuk bahunya. “Kok kamu bilang kalau aku suka sama Mingyu?!”
“Because.. he already knew it before i told him?”
“Hah?”
“I don’t know? Mungkin dia emang temen deketnya Kim? Soo.. the point is, Minghao bilang kalau Kim gak ngelanjutin hubungannya sama yang dia ajakin makan malam waktu itu..” Jelas Vernon. “Dan Minghao juga berasumsi.. kalau Kim itu emang sukanya sama kamu, Nadit..” Sambungnya lagi.
Jantungku rasanya tergoncang, terombang-ambing, terpukul kekanan dan kekiri, rasanya ia jatuh dan kini berpindah ke lambung. Tidak masuk akal.
“Kamu jangan bikin aku berharap lagi sama dia.” Rasanya es krim ku ini ingin aku lempar ke tengah laut sana.
“Iya, jangan. Anggap aja asumsi Minghao soal itu salah.”
“Right..” Cicitku.
“Right? You have to saved your feeling first, Nadit.”
“Yup..” Aku tarik nafasku dalam, kemudian aku buang agak kasar.
Sunyi sempat lama tercipta, tatapku lamat terpaku di pasir-pasir pantai. “Tapi Vernon..”
“Ya?”
“Kalau ternyata.. Mingyu itu tersesat di dalam perasaannya sendiri.. how?”
“Maksud kamu?”
“Nevermind..” Aku terbahak, karena seperti lontaran argumenku tadi kurang masuk akal. “Intermezzo.” Alibiku.
“Mungkin.” Tawaku mendadak lenyap.
“Apa yang mungkin?”
“Perasaan kamu jelas, clearly. Tapi bisa jadi Kim emang tersesat. I mean, dia udah lama gak pernah ngerasain yang namanya cinta-cintaan semenjak istrinya meninggal. Lagian, he must be trying to find for a real one. Jadi kalau mungkin kita asumsiin dia tersesat, bisa aja. Dia masih gak bisa mendeklarasikan perasaannya dengan jelas. Entah itu ke kamu, atau perempuan yang dia ajak makan malam itu.” Aku mengangguk. Ada benarnya. “Atau mungkin, dia juga takut.” Sambung Vernon.
“Kenapa takut?”
“Like i said, Nadit.. He is trying to find for a real one. Kalaupun.. kalau.. dia memang suka sama kamu. Dia takut.”
Aku diam sejenak, memproses dan memproses. “Dia takut karna.. maybe i am not a real one he is tryna to find for.. right?”
“Yes. Lebih dan kurang, kurang dan lebih.” Aku membuang nafasku.
“Keep it yourself now, Nadit. Jangan bergerak sampai dia yang mulai bergerak, okay? Keep your value.”
“He doesn’t like me, apa yang mau bergerak?”
“Itu dia. Keep it your value. Kalau dia gak bergerak, kamu jangan bergerak.”
Aku menekuk senyum. “Yup, keep my value.”
“Mungkin sehabis ini kita gak perlu berurusan lagi sama dia. Jadwal suntikku udah tinggal satu kali lagi.” Senyum cerah mengembang di wajah Vernon.
“Oh ya? Congrats! Untung aja kamu gak rabies.” Kami terbahak.
“Orang kaya dia gak mungkin sih piara anjing rabies.” Lagi-lagi senyap mengembara. Langit sudah sore, perlahan jadi gelap.
“Ibu minggu depan ulang tahun, Vernon.”
“Oh ya?” Aku mengangguk.
“Aku mau bikin acara kecil-kecilan aja dirumah. Ngajak temen-temen.”
“Kim?”
Aku menoleh pelan. “Yup. He’s one of our friends now, don’t you think so?”
“It’s okay. He had been through something we never imagined before. He might need friends.. yang lebih gaul dan gak ketinggalan jaman kaya temen-temennya.” Entah untuk yang keberapa kalinya kami tertawa kencang, memenuhi udara lepas di pinggir pantai.