!!//tw:abbusive;rape//!!
Malam hari, sebelum aku bergegas menuju tidur, suara dentuman seperti seseorang yang terjatuh menyambangi pendengaranku.
Tidak sempat aku balas pesan Mingyu, buru-buru aku turun dan menemukan Ibu jatuh di dapur.
Tergeletak tidak berdaya.
Aku panik. Tanganku bergetar hebat dan segera aku ambil telfon rumah untuk menelfon 911 agar dikirimkan ambulance.
Malam itu, aku tidur di rumah sakit. Pada sofa, sambil menatap bagaimana Ibuku terbaring lemah di atas ranjangnya.
Pagi hari kemudian, dokter memanggilku menuju ruangan.
Aku duduk, menggosok tanganku, memainkan jemarinya, sesekali menggigit kuku. Gelisah. Dihadapanku, seorang dokter yang mungkin berumur 50 tahun ke atas membolak-balikan kertas yang ada di hadapannya.
Tidak lama, ia membuang nafas, menatap mataku lekat dan bersuara.
“Ibu.. sering di ajak check up?” Tanyanya. Aku mengangguk.
“Saya punya kabar baik dan kabar buruk. Saya ngomong soal kabar baiknya dulu, ya?” Jantungku berderu kencang seakan berteriak, meneriakan ketakutanku perihal apa yang mungkin akan diberitahukan oleh dokter.
“Kabar baiknya, untung malam itu kamu cepet nelfon ambulance dan akhirnya Ibu kamu bisa cepet dibawa ke rumah sakit. Beruntungnya lagi, Ibu kamu bisa kita beri penanganan utama sewaktu sampai..” Jelasnya, mengukir senyum disana tapi tidak denganku disini, karna ada kabar buruk yang akan aku terima selepas ini. “Kita tunggu Ibu kamu sadar..” Sambungnya lagi.
“Untuk kabar buruknya..” Ia membuang nafas. Kini aku merasakan bahwa jantungku sudah jatuh dan tidak lagi mampu berdetak, rasanya aku ingin menutup telingaku rapat-rapat.
“Awalnya sebelum di diagnosa Hiperglikemia, Ibu kamu di diagnosa Pankreatitis?” Aku mengangguk.
“Penyebab Pankreatitis sendiri bisa jadi karna keturunan, atau..” Ia menggantungkan kalimatnya sebentar. “Konsumsi alkohol berlebih dan.. efek samping obat-obatan.”
Aku menunduk kali ini, tidak mau menatap manik mata lawan bicaraku. “We found out, kalau Ibu kamu mengonsumsi Carbimazole. Kamu tau Ibu kamu mengonsumsi obat-obat-an semacam itu?”
Aku tutup mataku. Ia masing menggantungkan tanya. Aku belum mampu menjawab.
“Aku..” Kini suaraku mulai mengudara. “Aku sering liat Ibu minum obat dulu, tapi aku gak tau obat apa yang dia minum. Kalau ditanya, dia selalu bilang itu cuma obat pereda nyeri karna kepalanya pusing.”
Manik mataku mulai bertemu sang dokter. Irisnya bergetar, ia lagi-lagi membuang nafasnya kemudian menyandarkan tubuhnya pada kepala kursi. Aku kembali menunduk.
“Carbimazole biasanya di konsumsi oleh mereka penderita gejala hipertiroidisme. Kondisi dimana kadar hormon tiroid terlalu tinggi didalam tubuh. Memang, Carbimazole membuat pengonsumsi merasa jadi lebih baik. Misal, akibat hipertiroidisme tadi, jantung yang berdebar kencang, tangan yang bergetar hebat, dan suasana hati yang buruk jauh jadi lebih baik dan menenangkan..” Jelasnya lagi. “Ibu kamu.. dulu memang ada gejala hipertiroidisme? Atau.. Apa Ibu kamu tau kalau Carbimazole harus di konsumsi dengan resep dokter? Atau memang sudah di resepkan?”
Aku kelu. Diam seribu bahasa tidak mampu menjawab.
Karna aku tau, semenjak masuk SMA dulu, aku tau itu bukan sekedar obat pereda nyeri sakit kepala seperti Paracetamol yang kerap kali jadi alibinya. Obat yang Ibu konsumsi dan yang entah darimana Ibu dapat itu, adalah obat yang memang menenangkan dirinya.
Terutama dari bagaimana abusive-nya Ayahku terhadap sosoknya.
Acap kali aku mendengar teriakan yang memekakkan dan memuakkan di rumah. Itu sebabnya, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Vernon. Melakukan entah apa, yang penting tidak perlu aku dengar teriakan menyedihkan yang menggelegar di seluruh rumah.
Ketika aku pulang, ketika aku temukan rumah dalam keadaan tenang, biasanya Ayah akan menonton TV dengan satu piring cookies yang ia letakan di pinggir sofa.
“Nak..” Sapanya. Senyumnya kerap kali membuatku lupa bahwa ia adalah laki-laki paling berengsek yang pernah ada di muka bumi.
Dan biasanya tanpa sadar, aku tersihir. Akan aku jatuhkan tubuhku dalam peluk Ayah. Ia kemudian akan mengalungkan tangannya menuju bahuku, menyuapkan satu cookies kedalam mulutku. Selalu seperti itu, bahkan kalau siang hari aku berkelahi bersama Ayah untuk membela Ibu, malam hari aku akan menemukan momen lain seperti ini.
Tapi bukan berarti aku adalah yang paling mencintainya dan mendeklarasikan bahwa ia adalah Ayah terbaik di dunia.
Walaupun tidak pernah sekalipun ia menunjukan tindakan abusive-nya kepadaku ketika kami beradu mulut. Semuanya, akan berimbas kepada Ibu.
“Bu.. Pisah aja, bisa gak?” Malam itu, cukup larut ketika aku temukan Ibu di dapur baru saja menegak obat yang masih saja ia bilang pereda nyeri sakit kepala, tangannya bergetar hebat.
Tidak lupa, memar diseluruh wajahnya. Matanya bengkak, bahkan bibirnya yang pecah masih mampu memberikan aku senyum penuh kehangatan.
“Tidur, Nadit..” Ia mengelus puncak kepalaku, kemudian berlalu. Masuk menuju kamarnya untuk kembali tidur seranjang dengan lelaki yang bahkan pernah.. memperkosanya. Di depan mataku, ketika umurku masih 14 tahun.
Aku cukup belia untuk menyaksikan hal keji semacam itu.
Mereka berdua tau kalau setiap pulang sekolah aku akan pergi dan mengunjungi rumah Vernon, tidak peduli kalau badai topan sedang melanda Malibu. Tapi siang itu setelah pulang sekolah, aku memilih menyelesaikan pekerjaan rumah di rumah tanpa membawanya ke rumah Vernon. Alasan lainnya adalah karena aku baru saja di belikan meja belajar baru yang sudah aku elu-elukan sejak lama. Sayang saja, kalau tidak langsung dipergunakan.
Baru sebentar aku mencoret di atas buku, aku dengar dentuman keras dari pintu, dan suara teriakan Ibu. Bersahutan dengan suara tinggi amarah Ayah.
Aku keluar dan berusaha turun menuju anak tangga, sampai ketika teriakan Ayah membuatku mengurungkan niat dan memilih mengintip dari lantai atas.
Kali ini aku tidak tau permasalahan apalagi yang terjadi. Namun dari pendengaranku, Ayah berasumsi bahwa Ibu berselingkuh dengan mantan pacarnya sewaktu sekolah dulu.
Dengan pukulan yang terus ia terima, ia berkali-kali bilang bahwa itu hanya pertemuan tidak sengaja ketika berbelanja.
Dari sudut mataku, dapat aku lihat bagaimana Ayah yang mulai menarik tubuh Ibu naik menuju sofa, mulai melucuti pakaiannya sedangkan Ibu bersikeras menolak dan berteriak.
Tubuhku bergetar, apa yang bisa aku lakukan sewaktu dulu? Tidak ada, selain diam dan menangis menyadari sebuah realita bahwa Ibuku diperkosa oleh suaminya sendiri.
Di sudut kamarku, aku menutup telinga sambil menangis. Samar dapat aku dengar teriakan-teriakan yang tidak nyaman di telingaku, suara pukulan-pukulan yang menampar kulit.
Semakin aku tumbuh, aku mulai sadar bahwa Ibu tidak bisa sendiri. Saat itu aku mulai melawan dan melindungi Ibu tiap kali Ayah mulai menunjukan tindakan kasarnya.
Namun, sekalipun tidak pernah Ayah melampiskan amarahnya dengan bertindak yang sama seperti kepada Ibuku. Malam hari, kadang ia masuk ke kamarku, mencium keningku dan mengucapkan selamat malam.
Kini aku menangis, kembali mengingat-ingat bagaimana memori pahit itu menyelimuti hidupku. Kini Ayah tidak lagi disini, dan hari-hariku selalu penuh dengan kerinduan. Tapi, kalau semisal Ayah tidak jatuh di kamar mandi kala itu, mungkin Ibu masih terus disiksa oleh tindakannya.
Ayah pergi tanpa aba-aba, tidak meninggalkan pesan penuh cinta atau ciuman kasih sayang, setidaknya untukku, putri semata wayangnya, putri satu-satunya miliknya.
Kini Ibu di ambang kematian. Tindakan Ayahku kemudian berimbas pada mental dan kepada tubuhnya sendiri.
“Ms. Nadit?” Lamunku buyar, buru-buru aku mendongak dan mengusap air mataku pelan.
“I know it is hard for you..” Jelas dokter. “We’ll do our best..”
Aku menekuk senyum, mengangguk kecil.
“Saya masih boleh lanjutkan?”
“Iya..” Balasku, masih menyapu pipiku yang penuh aliran air mata.
“Tadi malam, sewaktu di periksa, kadar gula Ibu kamu ada di 150mg/dL, cukup tinggi dan bisa aja menyebabkan stroke kalau semisal ada di titik tinggi lagi..”
“Normalnya biasanya berapa, dok?”
“70 mg/dL, itu kalau sebelum mengonsumsi gula. Biasanya kalau memang gula darahnya normal, sehabis mengonsumi gula pun, kadar gula darahnya ada dibawah 140mg/dL.”
Kini ia mendekatkan tubuh dan mengistirahatkan tangannya yang tertaut di atas meja, menimpa kertas hasil diagnosa Ibu, namanya tertera disana.
“Ini.. mulai mengindikasi menuju komplikasi..” Cicitnya. “Ketoasidosis Diabetik..”
Aku hanya mampu terdiam, membuang nafasku. “Dalam penanganannya, risiko yang terjadi bisa aja pembengkakan otak karena penurunan gula darah yang terlalu drastis..”
Kini, aku menangis dalam diam.
“We’ll do our best, Ms.” Itu kalimat terakhir yang ia sampaikan. Tidak ada lagi kata yang mampu keluar dari mulutku.
Aku berjalan dengan lesu kembali menuju ruang inap Ibu, menemukan ia tergolek dan bahkan belum sadar semenjak malam tadi.
Aku berharap, setidaknya kalaupun Ibu memang harus pergi, ada pesan selamat tinggal yang ia sampaikan.
Bukan yang pergi tanpa aba-aba, bukan yang pergi tanpa meninggalkan pesan cinta.
-
Aku terbangun dari tidur singkatku ketika aku temukan Ibu sepenuhnya sadar. Dari sofa, aku menghambur menuju Ibu, menarik pelan tangannya dan Ia tersenyum.
“Hey..” Cicitnya dengan lemah.
“Hey.. Mom..” Mataku mendadak panas, tenggorokanku tercekat. Suara denting dari Elektrokardiogram memenuhi ruangan.
Ibu tersenyum.
“Have you eat your food?” Aku membuang nafas kemudian tersenyum kecil ketika pertanyaan itu terlontar dari mulut Ibu. Seharusnya ia memikirkan dirinya sendiri terlebih dahulu.
Mungkin, memang begitu perangai sosok Ibu. Menomor-satu-kan buah hatinya, tidak peduli apa yang sedang di laluinya, apa yang sedang terjadi pada dirinya.
“Feel better?” Tanyaku. Ia mengangguk kecil. Ada selang oksigen di lubang hidungnya.
Aku mendelisik menatap jauh keluar jendela, langit mendadak sudah berubah menjadi oranye, menunjukan bahwa sebentar lagi malam datang.
“Nadit..”
“Yes?” Pandangku bertemu kembali kepada Ibu.
“Lay next to me..” Katanya. Menepuk bagian kosong di sisi kanan. “Like we used to..”
Pada saat-saat tertentu setiap malam, aku selalu tidur berdua dengan Ibu. Menceritakan hal-hal aneh yang kami lalui, atau hal-hal menarik yang akhirnya membangun argumentasi penuh canda dan tawa untuk membunuh sunyinya malam.
Apalagi semenjak kejadian di Ralphs dan aku memutuskan untuk berhenti bekerja Part-time. Waktuku jadi lebih banyak bersama Ibu.
Aku dapat sedikit bagian di kasur kecil yang pas-pas-an milik rumah sakit. Memiringkan tubuh menatap Ibu yang menatap langit-langit dingin.
Kami terdiam cukup lama. Sampai ketika Ibu menoleh barang sedikit, menemukan manik mataku.
“If in any cases..” Lirihnya. “I die—“
“Mom..”
“No. Listen to me first, Nadit. If in any cases.. I die, kamu bisa pakai warisan Ayah dan Ibu buat sekolah fashion yang kamu mau..”
Aku menggeleng. “Aku bakalan pergi kuliah.. Buat Ibu.”
Kini tangannya yang ringkih menemukan pipiku. “You can be anything, Nadit. Anything you want. And it doesn’t matter for me. I am so sorry i have realised it too late.”
Aku tertawa kecil. “Like PapaDrac said to his tiny little girl Mavis?”
Ibu tertawa. “Human, monster, unicorn. As long as you are happy.”
Aku ingat, ketika aku dan Ibu mengagendakan jalan-jalan kecil dan malah berakhir menonton bioskop. Menonton Hotel Translylvania 2 yang saat itu sedang heboh di mana-mana.
Kami lagi-lagi tertawa. “I meant it, Nadit. Just.. be anything you want, okay?”
Aku mengangguk. Kini ikut menggapai pipi Ibu dan mengelusnya lembut.
“You almost 19..” Cicitnya lagi. “Ibu gak pernah bayangin kalau kamu bakal tumbuh dan jadi perempuan cantik kaya gini..”
“Buuu..” Aku merengek.
“Yang Ibu pikir, kamu bakalan selama-lamanya jadi Nadit umur 3 tahun. Belajar naik sepeda dengan kaki kecilnya, atau merengek minta Ibu atau Ayah belikan Es Krim..”
Aku tertawa kecil entah untuk yang keberapa kalinya. “I’m proud of you, Nadit.. And I truly am glad, that you are mine, that you are a part of me, that you are my daughter..”
Mataku basah. “I truly am.. glad.. that i am a part of you. I love you, Mom..”
Dengan susah payah, Ibu bergerak mendekat untuk mencium keningku dan beralih menuju puncak hidungku.
Ia tatap lekat manik mataku dan tersenyum penuh sendu. “I always like an ocean eyes, tapi sewaktu itu, Ibu malah jatuh cinta sama green eyes.”
“Dad?”
“Bola mata kamu mirip sama Ayah.. For a sec i thought you were him.”
“Aku anaknya.. Bu..” Kataku, Ibu tertawa kecil kemudian.
“Nadit..”
“Ya?”
“Have you ever.. been in love?”
Aku diam. Menggigit dalam bibirku dan menimbang, haruskah aku ceritakan kepada Ibu perihal Mingyu? Terutama tentang jarak umur dan statusnya?
Tiba-tiba aku teringat soal ponselku yang tertinggal dirumah. Entah sudah berapa banyak pesan yang mungkin masuk, atau mungkin tidak ada sama sekali? Entahlah.
“Hey?” Lamunku buyar seketika ketika Ibu bersuara. “Ada, ya?”
Aku hanya tersenyum menekuk bibir. Sampai akhirnya Ibu mulai kembali bersuara.
“Rasanya salah ya, Ibu mempertahankan Ayah?” Kini Ibu mengawang menuju langit-langit kamar rumah sakit. Dari sudut matanya, ada air mata yang mulai mengucur pelan.
“Setiap hari setelah Ayah mukulin Ibu, Ibu merasa yakin kalau suatu hari Ayah bakalan berubah. Setiap tidur, setiap ngeliatin Ayah tidur, Ibu balik keinget masa-masa awal ketemu Ayah. Sewaktu dia ngajak Ibu keliling Jerman, ketemu keluarganya dan akhirnya memutuskan buat nikah..”
“Tabiat Ayah kamu keliatan pelan-pelan sewaktu kamu lahir. Kalau kamu tanya Ibu kaget apa engga, luar biasa..”
“Kalau kamu nanya lagi apa Ibu mau pergi ninggalin Ayah? Iya. Selalu. Tapi Ibu ingat lagi, kalau Ayah jadi kaya gitu gak terlepas dari trauma yang dia punya.. Setiap hari, Ibu selalu yakin kalau Ayah bakalan berubah..”
“Semenjak itu, Ibu selalu mendistrak diri dengan membaca buku perihal perempuan. Dan Ibu nemuin satu kalimat yang bilang, ‘Kalau perempuan akan bertemu dengan dirinya sendiri dari umur 18 tahun sampai 23’ Dia akan belajar banyak tentang hidup terutama cinta. Maka setelah umur 23, dia akan menghargai banyak hal, bergerak pelan dan berhati-hati dalam menemukan hati, karna dia sudah bertemu dengan dirinya sendiri..”
Kini pandang Ibu kembali menemukan manik mataku yang telah basah.
“Ibu gak bilang kalau sewaktu itu umur Ibu salah disaat ketemu Ayah dan gak jatuh cinta di umur 23. Tapi buat kamu, Nadit.. Ibu gak nuntut banyak. Temukan sebanyak-banyak-nya hati, tapi tetap harus berhati-hati, ya? Sekarang, kamu gak perlu berumur 23 tahun buat jatuh cinta. Kalau di umur kamu yang masih 19 tahun ini kamu udah nemuin diri kamu, kamu udah mengerti perihal memaknai jatuh cinta itu sendiri, go ahead. Find it, fall, and fall..”
“Ibu cuma mau.. apa yang kamu temuin, apa yang kamu cari, memang bukan sesuatu yang salah.. Bukan menomor-satu-kan perasaan di atas segalanya, *but yourself first..”
Lekat senyum Ibu ketika itu bukan yang biasa ia tunjukan padaku. Senyumnya tenang, senyumnya bahagia, senyumnya di saat yang bersamaan sendu, sedih, hancur. Namun manik matanya, manik mata berwarna biru itu membuatku tenggelam dalam-dalam. Cintanya untukku, kasih sayangnya serta perihal memaknai diri sendiri sebagai yang nomor satu, terhantarkan begitu hangat.
Detik itu, aku peluk Ibu, walaupun bukan pelukan yang sempurna. Walaupu tubuhku tidak sepenuhnya terengkuh, namun hangatnya menggerogoti tubuhku.
Jiwaku tidak butuh apapun, aku hanya butuh Ibu.
-
“Miss..”
“Y-yes?”
“We did our best, sorry..”
-
Tadi malam aku bermimpi, tangan Ayah dan Ibu bertaut dengan kedua tanganku. Kami bertiga terus bergandengan di jalan setapak, tertawa terbahak seakan akan kebahagiaan memang diciptakaan untuk selamanya.
Ayah mengelus puncak kepalaku, Ibu menggesekan ujung hidungnya dengan hidungku.
Belum pernah aku rasakan hangatnya bahagia seperti ini. Tapi malam itu, mimpiku rasanya adalah yang paling nyata sampai-sampai aku menolak untuk bangun.
Kemudian kami bertiga sampai di ujung terowongan besar, Ayah dan Ibu menghentikan langkahku.
Ketika itu, Ayah menarikku dalam pelukannya, ia berbisik, “Nadit, you are the best girl i ever have. Thank you for taking care of your mom, of the love of my life.. We need to go..”
Aku tidak mampu membalas, rasanya ketika itu mulutku terkunci rapat.
Bergantian, kini Ibu menarikku, ia berbisik, “Nadeeta, jalan yang panjang, jalan. Ibu selalu ada buat kamu dan kamu gak perlu meragukan itu. Again, i am glad you are mine, always. I love you.”
Mereka kemudian saling menautkan jemari, melangkah seirama sampai akhirnya tiba di mulut terowongan. Dari jauh, aku lihat tatap dan tawa Ibu ketika menatap Ayah, penuh cinta, penuh bahagia. Tidak seperti ketika ia menjalani hari-harinya di dunia.
Keduanya sempat berbalik sebelum melangkah lebih jauh, melambaikan tangannya di udara, melambaikan tangannya kepadaku.
Ibu pergi.
Untuk hari ini, besok.. dan selamanya.