Pukul 8 menuju 9, seperti biasa suara langkah kakiku memenuhi koridor kantor. Langsung saja aku masuk ke dalam lift menuju lantai dimana ruanganku terletak, membuka pintu kemudian lekas mengambil duduk.

Sudah ada satu gelas kopi hitam yang disiapkan di atas mejaku.

Satu kalender duduk aku ambil, aku coret kemudian tanggal hari ini menggunakan tinta merah. Hari ini Jumat 11 Maret. Besok, 12 Maret, ulang tahun Ibu Nadit.

Minggu yang lalu, dengan Minghao aku mengelilingi kota Malibu untuk membelikan hadiah sederhana yang niatnya akan aku berikan di hari sabtu besok. Dari aku, Minghao, Joshua dan Seokmin. (Yang ternyata tidak sengaja bertemu dengan Vernon, Mark, Nadit dan Somi yang juga sedang mendelisik kota untuk berbelanja).

Minghao sudah kembali ke Australia untuk kembali mengisi hari-harinya dengan pekerjaan yang biasanya akan jadi agenda harian untuk berita pokok yang akan aku dengar.

Pukul 11 siang, fokusku ter-distrak ketika aku dapati Anne mengetuk pintu ruanganku dan mendelisik masuk.

“Pak..” Sapanya. Aku tersenyum mengangguk dan mempersilahkan dirinya duduk. Ada satu amplop coklat yang ia genggam.

Is something wrong, Anne?” Aku menungkikkan alisku, ia tertunduk, menekuk senyum kemudian menggeleng kecil.

Just..” Ia tarik dalam nafasnya, ia buang dengan berat. Anne kemudian menegakkan tubuhnya, akhirnya menyodorkan amplop yang sedari tadi ia genggam. “Surat resign, Pak.”

Terkejut? Bukan kepalang. Rahangku jatuh. Berkali-kali aku tatap amplop coklat itu bergantian dengan wajahnya.

It was nice to worked with you, sir.” Cicitnya, suaranya bergetar.

Let’s make it clearly first ya, Anne. Kamu resign karna apa yang udah terjadi sama kita?” Ia menggeleng. “Don’t lie.”

I am mature enough, sir. Gak mungkin alasan sepele kaya gitu bikin saya akhirnya resign. Bahkan setelah kejadian itu, saya tetap nyaman, pak, kerja di kantor.”

Then what?”

Ia tekuk bibirnya. “I think.. it’s enough.”

“Kenapa?”

Ia diam cukup lama sebelum akhirnya menjawab. “Sewaktu saya kecil dulu, saya punya banyak mimpi. Being a rich woman, reaching a value for myself, buy a big house with the chimney inside, a car with sunroof, and..” Ia gantungkan kalimatnya. Ada setitik pantulan akibat sendu di kedua bola mata Anne ketika menatapku yang menanti kalimat lain yang akan ia lanjutkan. “..being a CEO.” Ditengah suaranya yang tercekat, ia malah tertawa.

“Saya punya mimpi buat jadi CEO, pak. Punya pengalaman kerja disini, is such a wonderful things to experienced. Now the time is mine.” Aku tersenyum kecil, Anne mengusap pipinya yang telah di banjiri titik air mata.

“Anne..”

Yes?”

“Kamu tau kan, kalau manusia adalah mahluk nomor satu yang paling mahir dalam membuat kesalahan? Untuk itu, selama bekerja sama dengan kamu, saya minta maaf. Entah itu untuk urusan kantor maupun pribadi. You are such an amazing person, an amazing woman, and an amazing co-worker. Atas dasar itu itu semua, I know you can reach your dream. Saya gak bisa memaksa, jalan hidup kamu, punya kamu. Saya, cuma bisa mendukung.” Lagi-lagi ia usap pipinya.

Is it approved, sir?”

What can I say?”

Anne kemudian bangkit dari duduknya, begitu juga denganku. “Thank you for everything, Sir.” Aku mengangguk.

“Anne..” Sosoknya yang hampir berlalu menuju pintu sontak berbalik, lagi-lagi menghapus air matanya. “Kalau memang apa yang terjadi di antara kita juga jadi satu alasan kamu akhirnya resign, I’m so sorry. It’s not what I mean.”

It’s okay, Kim. Setiap perasaan bukannya harus di balas sama rata. Being in love with you, left a beautiful wound, mark, and scars I always asked for more. It always nice to know you. Walaupun cuma sebentar.”

I’m sorry. I’ve been realized lately, kalau aku bukan cuma jadi jerk buat kamu, tapi beberapa orang lain yang sebelumnya juga mengambil andil perasaan yang mereka punya buat aku. It’s just.. don’t feel right. But truly, it is not what I mean.”

“Kim..” Dirinya kembali mengambil langkah, mendekat.

Yes?”

Can I hug you? For the last time?” Aku diam cukup lama menatap ia dengan sendu yang tak kunjung hilang menghiasi seluruh lekuk wajahnya. Ia menanti, menunggu.

I’m so sorry.” Balasku, melangkahkan kaki mundur menjauhi dirinya barang selangkah. “Apapun ikatan kita setelah surat resign kamu, bukan boss atau sekretaris, aku gak mau bangun ekspetasi kamu lagi setinggi langit. Aku gak bisa ngasih kamu sebuah afeksi yang cuma kamu sendiri yang berspekulasi, sedangkan aku disini ngasih sesuatu yang enggak jelas yang bahkan aku sendiri gak bisa mendefinisikan itu sebagai afeksi.” Kataku.

“Aku tau, Anne. Ada banyak landasan rasa perihal peluk, gak hanya soal perasaan menggebu-gebu yang selalu bikin kita gelisah menerka-nerka, klise-nya, cinta. Tapi kamu, menanam itu dan aku gak bisa bantuin kamu buat numbuhin. Jadi, maaf. Like I said, aku yang gak bisa bantuin kamu numbuhin ini, gak mungkin bantu menebar bibit lain dengan membuat kamu berharap. I truly am sorry for this.”

Satu senyum seringai menghiasi sudut bibir Anne.

That’s it, Kim.” Katanya. “It’s better late than never.” Alisku berkerut hebat, berusaha mencerna apa yang baru saja Anne lontarkan.

“Kim..” Cicitnya lagi. “It’s better late you realized that you are a jerk, dari pada enggak sama sekali. You hurt me, indeed. By not approving my last request, padahal cuma peluk. Tapi, it will hurt me more, if in case you hug me, dan menyediakan wadah untuk aku genggam tubuh kamu kuat, dan menyediakan wadah lain untuk aku mengharapkan peluk yang lain. For that, I truly am, so grateful. Thank you.”

Tangan Anne menengadah, menawarkan jabat tangan. “I think it’s better than a hug?” Ia angkat bahunya cepat.

Dengan tekuk senyum, aku balas jabatan tangannya yang mengudara. “It was nice to have you as my secretary, not gonna lie.”

It was nice to have you as my boss, Kim.”

I wish you a successful life

You too. Once again, thank you.”

-

Sabtu pukul 3 sore, mobil Joshua berhenti di depan halaman rumah Nadit. Samar-samar dapat aku dengar suara tawa dan teriakan dari dalam, it’s them.

Didepan pintu rumahnya, aku tekan tombol bel sekiranya 3 kali, sampai menemukan sesosok gadis dengan topi kerucut ulang tahun dan beberapa lembar kartu UNO di tangannya.

“Hai! Masuk.” Setelah melangkah di ikuti Seokmin dan Joshua, aku temukan 3 orang lainnya duduk melingkar di depan perapian disamping meja dengan kue bertingkat diatasnya.

“Hai, Kim!” Sapa Vernon, dengan topi kerucut, dan kartu UNO nya, ada 2 kartu 4+ ditangannya ketika aku delisik, he’ll gonna beat them up.

Mom..!” Nadit berjalan masuk menyusuri rumahnya dan masuk ke satu pintu yang aku asumsikan adalah kamar Ibunya. “Temenku yang lain dateng.”

“Gede juga bang rumahnya.” Seokmin berbisik.

Behave yourself ya, Seokmin.” Seokmin manatapku bingung.

“Emang gue mau ngapain dah dirumah orang?”

Tidak lama, sosok wanita paruh baya itu keluar dari balik pintu yang bermenit lalu Nadit masuki. Ms. Drechsler.

Matanya sayu, tubuhnya agak kurus namun cerah senyum di bibirnya tidak luput. “Ini Kim, Seokmin, Joshua.” Nadit menunjuk kami satu per-satu, memperkenalkan.

These handsome grown men is your friends?” Masih dengan senyum disana, beliau bertanya.

Yes? Why?”

Impossible.” Kami terkikik. Kemudian, tanpa sadar aku malah menengadahkan tangan, Ms. Drechsler menggapai tanganku, dan spontan aku tarik menuju keningku.

Salim.

“Lo ngapain, bang?” Bisik Seokmin. “Bukan di Indonesia anjir?”

Kebiasaan.

“Eh?” Sontak, Ibu Nadit mengkerutkan alisnya bingung.

Sorry, Ma’am. Di Indonesia biasanya kita gitu kalau sama yang lebih tua.”

Dapat aku dengar suara tawa kecil Nadit dan Seokmin yang berselaras.

That was polite..Kim, ya?”

Yes. It actually my last name.”

“Oh..” Ibu Nadit mengangguk.

I call him Mingyu.” Ini Nadit, menyambung obrolanku dengan Ibunya.

“Muka kamu tapi gak asing, ya? Kayanya saya pernah lihat.” Aku mengkerutkan alis sedikit bingung mendengar sebuah asumsi yang dilontarkan beliau. Memangnya, aku dan Ibu Nadit pernah bertemu sebelumnya?

“Oh!” Ms. Drechsler menepuk tangannya di udara. “Kamu yang waktu itu malam-malam datang kesini nyari Nadit, kan?”

Dang. Checkmate. Aku juga baru ingat.

Sunyi. Pupil mataku dan milik Nadit bertemu.

“Bu, mending kita mulai acaranya sekarang aja, yuk?”

“Mau mulai acara apa? Tinggal potong kue terus kita makan, kan?”

“Yah.. masa kita gak nyanyi? Nyanyi dong. Udah, ayo!” Ia sematkan jemarinya di jemari Ibunya, menariknya menuju ruang keluarga dimana meja di samping perapian tadi telah disiapkan. Sontak, 3 teman Nadit yang lain langsung berdiri ketika menemukan bahwa ada yang akan di mulai.

“Ayo nyanyi.”

“Nadit, Ibu udah tua, ngapain pake acara nyanyi?”

“Ya harus nyanyi dong, Bu. Masa gak nyanyi.” Vernon memanggil Ibu Nadit dengan sebutan ‘Bu.’ Terbukti, pertemanan dua anak manusia ini sudah bukan dalam kurun waktu singkat.

Then we sing a birthday song. Clap our hands in the air in a slow tempo, dan kemudian bertepuk tangan meriah ketika lagunya menemukan titik akhir.

Mom, make a wish dulu sebelum tiup lilin.” Dapat aku lihat lilin dengan angka 40 berdiri tegak dan hampir meleleh.

Ms. Drechsler tidak langsung membuat doa. Ia menatap lama anak gadisnya kemudian tersenyum. Merapihkan rambutnya dengan kepala yang masih dihiasi topi kerucut. Ia tangkup kedua pipinya kemudian ia cium satu persatu bagian yang menghiasi wajahnya. Kedua pipi, dahi, kedua bola mata, hidung, dagu kemudian jatuh pada bibir. Mata Nadit mulai berkaca-kaca.

Kemudian yang keluar dari bibirnya adalah, “I am grateful you are mine, Nadit. I am so sorry I couldn’t being a good mom 'till this day. I love you.”

Tubuh Nadit kemudian di rengkuh Ibunya. Suasana mendadak jadi melankolis padahal harusnya tepuk tangan meriah menghiasi ruangan hangat ini. Aku menekuk senyum, menatap perempuan itu menyembunyikan wajahnya dalam peluk wanita kesayangannya.

Setelahnya, Ms. Drechsler meniupkan lilin yang sudah menyelimuti kue hampir setengah bagian. Yang membuat aku terkejut kemudian adalah, Ms. Drechsler menghadiahkan kami satu persatu ciuman di kedua pipi, tidak terkecuali aku, Seokmin dan Joshua yang bahkan baru kali pertama bertemu sosoknya.

Tiba-tiba aku teringat Mama yang belum aku kunjungi setelah menetap di Malibu. Bahkan, jarang menghadiahkan panggilan telfon hanya untuk menanyakan bagaimana kabarnya disana. Selama disini, ada banyak permasalahan yang berkecamuk jadi satu sampai-sampai menyentuh ponsel saja aku tidak sempat.

Tidak terkecuali 4 orang dihadapanku ini, yang paling rajin membuat onar dan malah melibatkan aku dalam agenda-agenda tidak masuk akalnya. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, that was quite fun.

Kami semua kemudian duduk di sofa ruang keluarga, hampir penuh. Nadit lalu meletakan piring kecil berisi potongan kue, tidak lupa hadiah yang akhirnya kami serahkan kepada Ibunya.

“Kalian kalau mau keliling rumah, boleh.” Nadit melempar tubuhnya ke atas sofa, disebelah Vernon yang bahkan tidak peduli dan hanya memprioritaskan potongan kuenya.

“Udah aku bilang Nadit, kalau kue di toko itu emang beneran enak.” Suapan lain mendarat masuk ke dalam mulut Vernon.

“Kalau mau makan, langsung ambil aja ya itu.” Dagu Nadit menunjuk ke arah meja lain didekat dapur. Makanan lokal di atas piring yang telah di tutupi plastic wrap. Juga beberapa buah sebagai pencuci mulut.

Setelah obrolan dengan tawa menggelegar yang memenuhi rumah, seperti apa yang Nadit bilang, aku berkeliling rumahnya yang memang cukup besar. **Well, tidak sebesar rumahku tapi masih bisa dibilang besar untuk keadaan ekonomi menengah menuju atas.

Dari awal pintu masuk, aku temukan ruang tamu yang dindingnya di isi beberapa lukisan serta rak yang di isi beberapa bingkai foto. Ada sedikit dinding lebih yang kosong dan hanya ada saklar disana. Kemudian aku temukan tangga menuju lantai atas. Disebelahnya, ada ruang keluarga dengan perapian tadi yang langsung terhubung dengan dapur. Kalau aku berdiri dari ruang tamu, dapur yang menyambung ruang keluarganya sama sekali tidak terlihat, hanya perapian yang mampu terlihat dari sini akibat partisi yang menutup seluruh ruangan kecuali satu pembuka berukuran 3 meter.

Disamping tangga tadi yang bersebelahan dengan partisi menuju dapur, koridor yang mungkin lebarnya hanya 1,5 meter. Di samping kiri kemudian ada dua pintu yang salah satunya aku asumsikan tadi adalah kamar milik Ms. Drechsler, sedangkan satunya, I have no idea. Mungkin kamarnya Nadit.

Disebelah kanan, ada lagi kapasitas kosong yang diisi dengan satu sofa panjang menghadap ke televisi, dan meja yang berserakan dengan buku. Tepat di belakang sofanya, agak jauh, ada pintu lain.

Pandangku lurus kedepan, menemukan jendela dan pemandangan di luarnya. Ada halaman belakang dan pagar kayu kecil untuk membatasi antara halaman rumah Nadit dan tetangganya.

Aku melangkah keluar sana. Diluar, dibawah jendelanya, ada dua sepeda. Satu berwarna biru dan satunya berwarna pink. Aku tersenyum, lucu, batinku.

You like it?” Aku membalikan tubuh, menemukan Nadit yang berjalan mendekat.

“Apanya?”

My backyard.”

There’s nothing here, Nadit. Cuma rumput?”

“Kalau sepedaku?” Ia tunjuk sepedanya yang sempat aku temukan tadi.

“Kok warnanya bisa gitu?” Aku tertawa.

“Aku yang warnain. Yang warna biru punya Ayah, yang pink punyaku.” Aku mengangguk, masih tersenyum tanpa mengalihkan pandang dari sepedanya.

“Ada-ada aja.”

Kemudian aku melangkah memijakkan kakiku di atas rumput, angin sepoi kemudian menghantam wajahku. Quite pretty here, and.. peace. Aku tatap pagar kecil kayu pembatas halaman rumah Nadit yang bisa saja aku lompati.

“Ini kuat?” Tanyaku menoleh kepada dirinya yang mengistirahatkan tubuh pada kusen pintu, dengan tangan yang ia lipat di depan dada.

“Coba aja, kalau rubuh berarti gak kuat.”

Tapi tetap aku duduki.

Dan ternyata kuat.

Aku mengawang, menatap langit yang hari ini warnanya cerah. Beberapa burung terbang melewati serta deru angin yang membuat daun dari pohon bergesekan tidak henti-hentinya menyapa pendengaran.

“Pasti enak duduk disini ya, Na?”

Dirinya tersenyum. “Read a book, smoke.” Ia acungkan jempolnya di udara, mendeklarasikan sebuah validasi atas pertanyaanku barusan.

You still smoking?” Kini aku bangkit mendekati dirinya. “Kamu tau itu gak bagus buat kesehatan kamu. Terus kamu tuh masih SMA.”

Ia sama sekali tidak menjawab, mengangkat bahunya. Kemudian pergi meninggalkanku.

“Mingyu, kamu harus ketemu Luna..”

“Luna?” Ia mengangguk mantap, menarik pergelangan tanganku kemudian melangkah menaiki tangga menuju lantai atas.

Di lantai atas kapasitasnya cenderung sempit, ada balkon yang menghadap ke jalanan kota dan ruang lepas yang sama sekali tidak berisikan apa-apa. Tapi ada satu pintu yang kemudian Nadit buka dan aku merasa bahwa aku telah berkelana menuju bertahun kebelakang. Vintage.

Pada awalnya, aku berfikir kalau Luna itu adalah adiknya, atau mungkin kakaknya. Maksudku, tidak terpikirkan bahwa Luna adalah kucing gembul dengan bulu lebat yang sekarang ada di gendongan Nadit.

Luu, meet my new fwends. It’s Mingyu. Mingyu, it’s Luna.” Nadit menggerakan lengan si gembung Luna seakan-akan menawarkan jabatan tangan. Aku tertawa, kemudian menjabat tangan kecil Luna dan mengelus telapak tangannya. It is her paw.

“Hi, Luna..” Aku membungkuk, agar wajahku bersejajar dengan wajah Luna yang nyaman di gendong oleh Nadit. Aku naik turunkan tanganku yang masih menjabat tangan kucing itu, “It is nice to meet you..”

It’s nice to meet you too, Mingyu..” Nadit mengubah tone suaranya, seakan-akan Luna yang menjawab. “Yeaayyy, we got a new friends.”

Nadit kemudian duduk di pinggir kasurnya yang membelakangi jendela dengan gorden transparan yang mampu membuat cahaya matahari dari luar sana menjilat kedalam ruangan. Ada beberapa buku yang ia tumpuk di pinggirnya. Ia lalu menepuk sisi kosong kasurnya, menyuruhku untuk ikut duduk.

Ruangan ini sesak, sebetulnya. Sempit dengan barang yang penuh. Ada nakas, lemari pakaian, ada lagi rak buku, meja belajar dan kursi. Di beberapa bagian dindingnya ia tempel beberapa gambar. Mulai dari cover album penyanyi-penyanyi terkenal seperti Taylor Swift, Harry Styles, Ariana Grande, Lana Del Rey dan beberapa yang bahkan wajahnya asing dimataku.

Ada lagi rak yang menempel di satu bagian dinding dan sebuah nakas dibawahnya, beberapa piringan hitam yang ia pajang dan pemutarnya tepat di bawah. Taylor Swift, Cigarettes After Sex, The Beatles, Gun and Roses, Oasis, Artic Monkeys, Radiohead.. aku ternganga, anak ini penuh dengan kejutan.

Selagi aku mendelisik menelusuri setiap sudut kamarnya, ia sibuk bercengkrama bersama Luna, sampai ketika aku mendapati satu buku yang menganggur terletak di atas meja belajar.

You read this?” Aku bangkit, melangkah mengambil buku yang tergeletak tersebut kemudian membolak-balikannya.

Yes.” A Little Life milik Hanya Yanagihara.

“Tapi kamu tau kan buku ini agak—”

Gay?”

I can’t say that.. mungkin menjurus?” Aku buka beberapa lembarnya. Ada yang ia tempeli dengan sticky notes point, ada lagi yang di dalam halamannya ia tuliskan dalam sticky notes berbentuk lembaran, disana ia tulis opininya, membalas argumen yang di tulis Hanya dan ada beberapa lagi ia coret menggunakan pulpen dan yang ia stabilo.

“Kamu baca itu juga?” Ia masih menggendong Luna. Aku mengangguk. Kemudian ia buang nafasnya, tanpa menatapku (melainkan terus menatap kucingnya) ia bilang, “Buat aku, secara personal, awalnya bukan soal apa yang terjadi antara Jude dan Willem—”

“Wait.. tapi kan cerita disini menggaris-bawahi soal ‘why wasn’t a friendship as good as a relationship’ kan?”

“Iya. Tapi karna awalnya aku mikir it’s all about Jude dan segala apa yang dia simpan, apa yang dia lalui dan gimana dia ngatasin itu semua.. I thought It would be the headline.. turns out..” Kini akhirnya ia menoleh pandang menujuku yang sedikit duduk mengistirahatkan diri di meja belajarnya, menatap lurus ke arahnya dan sesekali menepuk-nepuk buku yang ada ditanganku.

“Tapi Hanya jawab kan, and it’s kinda bit.. yep, bikin aku setuju.” Sambung Nadit, matanya menatap kosong lantai kamar. “Kalau kamu punya hubungan, kamu jadi punya kuasa penuh dan bahkan bisa ngatur apa aja sama pasangan kamu. Aku gak tau harus bilang itu a pleasure atau sad reality, karna kadang, kuasa penuh yang harusnya bikin keduanya nyaman dan aman, malah jadi satu hal yang bikin kita terikat dan gak bisa kemana-mana.”

I agree..” Cicitku. Tangannya mengelus ‘paw’ milik Luna, sedang matanya entah terpaku lama pada apa, yang jelas tatapnya masih kosong menuju satu titik lantai kamarnya.

“Tapi.. kalau dipikir-pikir.. sebenarnya ego dan perasaan sayang itu bajunya sama yang bikin kita sulit buat ngebedain, iya gak sih, Mingyu?”

And yes, again, I am totally agree with that.

Lama aku tatap sosok gadis yang masih sibuk dengan peliharaannya disana. Konteks ini, tidak akan pergi jauh dari apa yang telah terjadi diantara aku dan sosoknya. Perihal hubungan yang tidak mampu lebih atas dasar suatu hal yang sebenarnya bukan permasalahan besar. Namun kembali kepada argumen Hanya soal ‘why wasn’t a friendship as good as a relationship’ dengan balasan opini lain kalau ego dan perasaan sayang adalah dua hal yang tidak mampu dibedakan kulitnya.

Ada argumen lain yang kemudian muncul dalam benakku yang tumpang tindih dengan landasan rasa yang mungkin ada. ‘kalau, hubunganku dengan ia ternyata lebih baik daripada pertemanan, maka dengan kuasa penuh yang tidak mampu membedakan antara ego dan perasaan sayang, bagaimana kalau anak dengan beribu mimpinya ini terjebak dalam sebuah tali ikatan yang bahkan aku sendiri dibutakan oleh tipuan tak kasat mata yang akhirnya hanya mengantarnya menuju gelap?’

Aku buka beberapa lembar yang telah Nadit tandai dengan sticky notes point, dan juga ia garis bawahi menggunakan pena berwarna biru, disana tertulis, ‘the only trick of friendship, I think, is to find people who are better than you are—not smarter, not cooler, but kinder, and more generous and more forgiving—and then to appreciate them for what they can teach you, and to try to listen to them when they tell you something about yourself, no matter how bad—or good—it might be, and to trust them, which is the hardest thing of all. But the best, as well.”

Ada lagi di lembar lain, “And so I try to be kind to everything I see, and everything I see, I see him.”

Ada pertinggal satu sticky notes lembar dengan tulisan tangan Nadit disana, ia menulis :

I try to be kind to everything I see, I see pain in the edge of the beach, I see a blood stream down because of a dog’s bite and a yellow bag, I see that we were caught by the police without driver license, I see that we were fight, I see the disgusting in me, twice, Geoffrey’s and Ralphs, I see the dream when our lips touched, and everything I see, I see him. He is kind, and everything I see should be as kind as him.

Di lembar lain, kali ini ia coret dengan stabilo berwarna kuning, ‘things get broken, and sometimes they get repaired, and in most cases, you realized that no matter what gets damaged, life rearranges itself to compensate for your loss, sometimes wonderfully.’

Ada tulisan balasan yang lagi-lagi ia tempel dalam sticky notes lembaran:

I broke my feelings, just for him, and it does rearranges to a better situation. And I rebel, Hanya, this friendship, is better than anything at all. It all get repaired.

She doesn’t blame me. She blames herself for the feeling she can’t control.

“Nadit?”

Ia mendongak, sedari tadi yang fokusnya hanya Luna kini menenggelamkan tatap dalam iris mataku.

Yes?”

Are you.. for real?”