Beberapa orang tumbuh dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang tumbuh dengan bertumpuk kasih sayang, yang satunya tumbuh dengan tumpukan uang. Ada yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar matematika sedang satu lainnya belajar seni. Ada yang hobi mendengarkan musik setiap hari, ada yang rela menyisihkan waktu untuk membaca novel kesukaannya. Pada intinya, kehidupan selalu beriring dengan perbedaan.
Tidak terkecuali, satu yang berdoa dengan menengadahkan tangan kepada langit, sedang satunya mengatupkan kedua tangan.
Selama mengenal Mingyu, terutama agenda belajar mingguan dirumahnya sewaktu dulu, Nadit sering diam-diam menemukan Mingyu menghilang dan saat kembali, rambutnya basah seperti habis mandi. Kemudian saat ditanya, Mingyu akan tersenyum lebar dan Nadit bersumpah, ketika itu senyumnya terlihat teduh. Caranya duduk sambil bermain ponsel kemudian sesekali menyisir rambut basahnya itu dengan jemari, sekoyong-koyong membuat jantung gadis itu berdetaknya tidak karuan.
Lambat laun, Nadit akhirnya paham bahwa agenda yang sedang dilakukan oleh lelaki itu adalah beribadah. Ia sendiri tidak pernah tau bagaimana pria itu biasanya melakukan ibadahnya. Sesekali ia temukan lelaki itu berdiri sambil melipat tangannya didepan dada, atau duduk dengan cara duduk yang asing kemudian gerakan itu terus menerus diulang sampai beberapa kali.
Nadit sendiri mengakui kalau ia rajin pergi ke Gereja setiap minggunya. Terlebih ketika Ayahnya meninggal. Tidak pernah absen wajahnya dari sususan bangku panjang di dalam gedung penuh dengan ornamen indah dan tidak jarang cahaya suci dari luar yang ikut masuk menyirami rambutnya. Ia selalu mengatupkan tangan, menutup matanya dan berdoa kepada Tuhan.
Malam itu, tahun ketiga pertemuannya dengan Mingyu, ditengah malam ia temukan laki-laki itu membentangkan kemejanya diatas lantai, kemudian beribadah. Sebelum itu katanya, “Kamu tidur, udah malem..”
“Kamu juga tidur, Mingyu..”
“Aku tidur sehabis ini kalau urusanku udah selesai..” Nadit mengerutkan alisnya bingung. Urusan apalagi yang akan dilakukan laki-laki ini di dini hari?
“Urusan apa?” Dan senyum penuh teduh itu lagi-lagi hadir diwajahnya. “Ibadah ya?” Nadit hanya menebak. Melihat mata Mingyu yang mendadak membulat sempurna akibat terkejut, Nadit sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya barusan, bahkan tanpa ucapan lisan dari bibir Mingyu.
Mingyu tepuk pelan puncak kepala gadis itu, menekuk senyum dan lagi-lagi menyuruhnya untuk kembali ke kamar dan tidur. Ia yakinkan Nadit kalau ia akan baik-baik saja tidur di sofa.
“Kamu keberatan kalau aku lihat kamu lagi Ibadah?”
Dengan bahu yang terangkat cepat, Mingyu melempar jawab, “Not at all.” Balasnya. “Tapi buat apa?”
“Buat apa apanya?”
“Buat apa, Nadit?”
Diam sejenak mengembara. Yang dapat mereka dengar malam itu adalah suara percikan bara api dari perapian. Walaupun apinya sudah tidak lagi mengepul.
“Hm?” Sadar kalau pertanyaannya digantung tanpa jawab, Mingyu lagi-lagi menarik tanya. Nadit masih diam, menerka dan bertanya pada dirinya sendiri waktu itu. Memang, buat apa?
“You better off to sleep, Na..” Nadit mengangguk kemudian. Melangkahkan kaki pergi menuju kamarnya di lantai atas. Meninggalkan laki-laki itu yang mengalunkan tangan di udara dengan gestur bibir ‘good night’ dari sana.
5 menit kemudian, Nadit mengendap-endap turun dan menemukan laki-laki itu yang sedang beribadah. Dirinya sedang menengadahkan tangan. Dengan air yang mengucur dari rambutnya yang basah.
Malam itu, hatinya berdegup tidak karuan. Ia bersumpah atas nama Tuhan, malam itu rasanya ia ingin menangis darah. Entah apa maknanya, tapi ketenangan tiba-tiba merambat memakan jiwanya hanya dengan menatap lelaki itu yang sedang berdoa. Apalagi ketika lirih suaranya menutup titah-titah rahasia miliknya, “Amin..”
Dan malam itu ditutup dengan kehangatan yang tiba-tiba memeluk jiwa dan raganya.
-
Nadit pulang.
Itu adalah sebuah fakta yang benar-benar tidak ia sangka-sangka karena pada akhirnya, pagi harinya kembali di sambut oleh deburan ombak yang menggelitik telinga. Nadit di Malibu.
Ia sempat tinggal di salah satu rumah sewa yang tidak jauh dari perusahaan tempat ia bekerja. Gaji yang ia dapat secukup-cukupnya untuk membayar sewa dan untuk bertahan hidup. Sampai ketika ia menerima kwitansi bahwa rumah sewa itu telah dibayarkan selama 1 tahun penuh.
Siapa lagi kalau bukan..
“I’ll pay to you every month..” Nadit berdecak sambil susah payah menelan kentang McD yang berjam lalu mereka beli.
“For what?” Mingyu tidak peduli. Ia asik memutar stirnya dan membawa Nadit entah kemana.
“Yakan yang tinggal dirumah itu aku. Yang bertanggung jawab sama masa sewanya juga aku. Kamu pikir aku miskin banget sampe gabisa bayar sewa?” Tidak. Mingyu tidak akan ikut tersulut. Ia malah mencuri satu kentang goreng yang daritadi bertengger manis di tangan Nadit.
“Hadiah..” Balas Mingyu.
“Hadiah apaan?” Kini Nadit memutar tubuhnya. Menatap si laki-laki yang menolak menatapnya. “Siapa kamu berani-beraninya ngasih hadiah kaya gitu? I need a consent, Mingyu..”
“Where on earth you need a consent for a present, darling?” Kerlingan mata itu membuat Nadit melempar satu kentang gorengnya kepada si oknum. “Aduh..”
“I’ll pay to you every month..” Cicit Nadit lagi.
Mingyu parkirkan mobilnya di pinggir trotoar. Kini lebih leluasa mengobrol, lebih leluasa menatap gadisnya.
“C’mon. don’t make me feel bad..”
“You make me feel bad.” Mingyu mengulum bibirnya. Merasakan tensi yang sedang tidak baik-baik saja terpancar dari wajah Nadit. Tidak ingin membuat suasana semakin keruh, ia diam sebentar. Ia biarkan Nadit mengunyah kentang gorengnya sampai habis tidak bersisa.
“Mau jajan kentang goreng lagi?” Gelengan ia dapat. Ketika itu Mingyu sadar, kalau Nadit sedang dalam mode perang.
“Okay.. first of all, I’m so sorry because I didn’t ask for your consent. Second, itu tuh memang bener hadiah. Aku tau strugglenya kamu yang bilang gak mau dibantuin buat dapet kerja setelah lulus 5 bulan yang lalu. Aku tau gimana stressnya kamu, nangisnya kamu setiap malem ngadu sama aku dan rasanya aku mau nekat terbang aja ke Jerman..” Typical orang-tua.
“Dan sekarang waktu kamu dapet kerjaan yang sama sekali engga ada campur tangan apapun, ya aku kasih hadiah..”
“Dari sekian banyak hal yang ada di dunia ini, Gyu.. kenapa sewa rumah?”
“Oh.. kamu mau yang lain lagi—”
“—bukan gitu.” Nadit benarkan posisinya, memijit tulang hidung. “Aku berterimakasih soal sewa rumah. But, it seems like.. it is not my place for accepting..
“Simpelnya, Na, you can have fun with your money without being concerned with the rent. Understand?” Kini Mingyu putarkan kembali stir mobil, melaju dari tempat ia memberhentikan mobilnya barusan.
“Tapi.. kita memangnya ada apa sampe kamu harus bayar sewa rumahku?”
“Kamu pacarku, aku pacar kamu. Terus apa?”
“It does make sense if I was your wife..”
“I’ll make it, tho.”
Harusnya Nadit bersukacita dan melompat di dalam sana mendengar kalimat itu meluncur dari mulut Mingyu. Tapi ia diam cukup lama. Sangat lama sampai-sampai Mingyu harus mengecek apakah memang ada orang yang duduk di kursi penumpangnya.
“You okay?”
“But how?”
“How.. what?” Setelah pelan-pelan benang kusut dikepala Mingyu terurai. Ia malah ikut bungkam. Pertanyaan sulit. Sangat sulit. Entah seberapa tebal dinding yang membatasi keduanya.
Tapi Nadit tidak pernah bohong atas rasa penasarannya. Setiap minggu kalau ia punya waktu luang, ia akan pergi ke perpustakaan kota. Mencari buku berbau agama dari semua agama kemudian duduk dan membaca. Sesekali membuka platform online dan lagi-lagi menilik. Hal yang terkadang terbesit didalam dirinya adalah ‘apa yang sebenarnya sedang ia lakukan?’
Lambat laun, seiring berjalannya waktu dan hubungan yang bertahan tanpa kejelasan serta agenda rahasia yang selalu Nadit tunaikan, mungkin alasannya adalah satu : ia sedang berusaha mencari kebenaran.
Sebelum menutup hari dengan pergi menuju alam mimpi, lewat telfon malam itu, Nadit tanyakan pertanyaan krusial yang sekoyong-koyongnya membuat Mingyu bingung bukan kepalang.
“What kind of sins you have and you think that is bad from the bad?”
Orang di ujung sana diam. Bukannya menjawab ia malah kembali melempar tanya. “You okay?”
“Yes. Just.. tryin’ to.. solve my research.”
“Of what?”
“Jawab dulu..” Hembusan nafas terdengar.
“Bad from the bad?” Ulang Mingyu lagi. “Kissing you?”
“WHAT?!” Mendengar hal itu rasanya ia ingin melempar ponselnya kesudut kamar.
“Chill, Na..”
“So you regret it?”
“No..”
“And then?” Kikikan kecil kemudian jadi jawab yang Nadit terima. Dadanya naik dan turun, sudah mempersiapkan amunisi untuk menyatakan mode perang, lagi dan lagi.
“I don’t regret it. But I want to fixed it.” Suara yang mendadak jadi berat akibat kantuk disana kemudian jadi penenang yang mengetuk gendang rungu. Nadit diam cukup lama, sangat lama sampai perlahan tenggorokannya mulai menjadi perih.
“Setiap orang punya dosa, terkadang menganggap dosa mereka haram untuk diampuni. Tapi Tuhan maha penyayang, Nadit. God will never abandoned you. If we come, he’ll open his hands widely. Kissing you was my sin, but it doesn’t mean that I don’t have any other of sins. Apapun yang sedang berusaha untuk diperbaiki, pasti diampuni.” Jelas Mingyu. Ia tidak tau apakah argumen yang bersifat krusial ini akan diterima oleh lawan bicaranya disana. Mingyu tau, percakapan ini akan selalu penuh dengan konsep hati-hati. Ia tidak mau melukai dirinya sendiri, ia tidak mau melukai orang lain.
“Mingyu, if I choose your belief, will your God open his hands widely for me? Walaupun aku diselimuti dosa?”
Deg. Tubuh Mingyu diujung sana mendadak melemas. Ia tarik nafasnya, ia putar kepalanya berusaha menerka perihal benang-benang kusut yang lambat terurai. Namun, sekarang segalanya jadi masuk akal.
“Anyone, Nadit. Of course He will. And you'll be born again.” Cicit Mingyu dengan ketenangan.
“Then take me.”
Pada waktu yang Nadit sisihkan untuk menemukan jalan keluar, satu yang terus berputar di dalam kepala ketika banyaknya kalimat penuh kemuliaan itu ia baca dengan indra penglihatannya. Bahwasannya, semua agama adalah benar dan nyata adanya. Kini, tinggalah manusia itu sendiri yang mencari kebenaran didalamnya, dan memilih.
Dan Nadit memilih.