youngswritting

Beberapa orang tumbuh dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang tumbuh dengan bertumpuk kasih sayang, yang satunya tumbuh dengan tumpukan uang. Ada yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar matematika sedang satu lainnya belajar seni. Ada yang hobi mendengarkan musik setiap hari, ada yang rela menyisihkan waktu untuk membaca novel kesukaannya. Pada intinya, kehidupan selalu beriring dengan perbedaan.

Tidak terkecuali, satu yang berdoa dengan menengadahkan tangan kepada langit, sedang satunya mengatupkan kedua tangan.

Selama mengenal Mingyu, terutama agenda belajar mingguan dirumahnya sewaktu dulu, Nadit sering diam-diam menemukan Mingyu menghilang dan saat kembali, rambutnya basah seperti habis mandi. Kemudian saat ditanya, Mingyu akan tersenyum lebar dan Nadit bersumpah, ketika itu senyumnya terlihat teduh. Caranya duduk sambil bermain ponsel kemudian sesekali menyisir rambut basahnya itu dengan jemari, sekoyong-koyong membuat jantung gadis itu berdetaknya tidak karuan.

Lambat laun, Nadit akhirnya paham bahwa agenda yang sedang dilakukan oleh lelaki itu adalah beribadah. Ia sendiri tidak pernah tau bagaimana pria itu biasanya melakukan ibadahnya. Sesekali ia temukan lelaki itu berdiri sambil melipat tangannya didepan dada, atau duduk dengan cara duduk yang asing kemudian gerakan itu terus menerus diulang sampai beberapa kali.

Nadit sendiri mengakui kalau ia rajin pergi ke Gereja setiap minggunya. Terlebih ketika Ayahnya meninggal. Tidak pernah absen wajahnya dari sususan bangku panjang di dalam gedung penuh dengan ornamen indah dan tidak jarang cahaya suci dari luar yang ikut masuk menyirami rambutnya. Ia selalu mengatupkan tangan, menutup matanya dan berdoa kepada Tuhan.

Malam itu, tahun ketiga pertemuannya dengan Mingyu, ditengah malam ia temukan laki-laki itu membentangkan kemejanya diatas lantai, kemudian beribadah. Sebelum itu katanya, “Kamu tidur, udah malem..”

“Kamu juga tidur, Mingyu..”

“Aku tidur sehabis ini kalau urusanku udah selesai..” Nadit mengerutkan alisnya bingung. Urusan apalagi yang akan dilakukan laki-laki ini di dini hari?

“Urusan apa?” Dan senyum penuh teduh itu lagi-lagi hadir diwajahnya. “Ibadah ya?” Nadit hanya menebak. Melihat mata Mingyu yang mendadak membulat sempurna akibat terkejut, Nadit sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya barusan, bahkan tanpa ucapan lisan dari bibir Mingyu.

Mingyu tepuk pelan puncak kepala gadis itu, menekuk senyum dan lagi-lagi menyuruhnya untuk kembali ke kamar dan tidur. Ia yakinkan Nadit kalau ia akan baik-baik saja tidur di sofa.

“Kamu keberatan kalau aku lihat kamu lagi Ibadah?”

Dengan bahu yang terangkat cepat, Mingyu melempar jawab, “Not at all.” Balasnya. “Tapi buat apa?”

“Buat apa apanya?”

“Buat apa, Nadit?”

Diam sejenak mengembara. Yang dapat mereka dengar malam itu adalah suara percikan bara api dari perapian. Walaupun apinya sudah tidak lagi mengepul.

“Hm?” Sadar kalau pertanyaannya digantung tanpa jawab, Mingyu lagi-lagi menarik tanya. Nadit masih diam, menerka dan bertanya pada dirinya sendiri waktu itu. Memang, buat apa?

You better off to sleep, Na..” Nadit mengangguk kemudian. Melangkahkan kaki pergi menuju kamarnya di lantai atas. Meninggalkan laki-laki itu yang mengalunkan tangan di udara dengan gestur bibir ‘good night’ dari sana.

5 menit kemudian, Nadit mengendap-endap turun dan menemukan laki-laki itu yang sedang beribadah. Dirinya sedang menengadahkan tangan. Dengan air yang mengucur dari rambutnya yang basah.

Malam itu, hatinya berdegup tidak karuan. Ia bersumpah atas nama Tuhan, malam itu rasanya ia ingin menangis darah. Entah apa maknanya, tapi ketenangan tiba-tiba merambat memakan jiwanya hanya dengan menatap lelaki itu yang sedang berdoa. Apalagi ketika lirih suaranya menutup titah-titah rahasia miliknya, “Amin..”

Dan malam itu ditutup dengan kehangatan yang tiba-tiba memeluk jiwa dan raganya.

-

Nadit pulang.

Itu adalah sebuah fakta yang benar-benar tidak ia sangka-sangka karena pada akhirnya, pagi harinya kembali di sambut oleh deburan ombak yang menggelitik telinga. Nadit di Malibu.

Ia sempat tinggal di salah satu rumah sewa yang tidak jauh dari perusahaan tempat ia bekerja. Gaji yang ia dapat secukup-cukupnya untuk membayar sewa dan untuk bertahan hidup. Sampai ketika ia menerima kwitansi bahwa rumah sewa itu telah dibayarkan selama 1 tahun penuh.

Siapa lagi kalau bukan..

I’ll pay to you every month..” Nadit berdecak sambil susah payah menelan kentang McD yang berjam lalu mereka beli.

For what?” Mingyu tidak peduli. Ia asik memutar stirnya dan membawa Nadit entah kemana.

“Yakan yang tinggal dirumah itu aku. Yang bertanggung jawab sama masa sewanya juga aku. Kamu pikir aku miskin banget sampe gabisa bayar sewa?” Tidak. Mingyu tidak akan ikut tersulut. Ia malah mencuri satu kentang goreng yang daritadi bertengger manis di tangan Nadit.

“Hadiah..” Balas Mingyu.

“Hadiah apaan?” Kini Nadit memutar tubuhnya. Menatap si laki-laki yang menolak menatapnya. “Siapa kamu berani-beraninya ngasih hadiah kaya gitu? I need a consent, Mingyu..”

Where on earth you need a consent for a present, darling?” Kerlingan mata itu membuat Nadit melempar satu kentang gorengnya kepada si oknum. “Aduh..”

I’ll pay to you every month..” Cicit Nadit lagi.

Mingyu parkirkan mobilnya di pinggir trotoar. Kini lebih leluasa mengobrol, lebih leluasa menatap gadisnya.

C’mon. don’t make me feel bad..”

You make me feel bad.” Mingyu mengulum bibirnya. Merasakan tensi yang sedang tidak baik-baik saja terpancar dari wajah Nadit. Tidak ingin membuat suasana semakin keruh, ia diam sebentar. Ia biarkan Nadit mengunyah kentang gorengnya sampai habis tidak bersisa.

“Mau jajan kentang goreng lagi?” Gelengan ia dapat. Ketika itu Mingyu sadar, kalau Nadit sedang dalam mode perang.

Okay.. first of all, I’m so sorry because I didn’t ask for your consent. Second, itu tuh memang bener hadiah. Aku tau strugglenya kamu yang bilang gak mau dibantuin buat dapet kerja setelah lulus 5 bulan yang lalu. Aku tau gimana stressnya kamu, nangisnya kamu setiap malem ngadu sama aku dan rasanya aku mau nekat terbang aja ke Jerman..” Typical orang-tua.

“Dan sekarang waktu kamu dapet kerjaan yang sama sekali engga ada campur tangan apapun, ya aku kasih hadiah..”

“Dari sekian banyak hal yang ada di dunia ini, Gyu.. kenapa sewa rumah?”

“Oh.. kamu mau yang lain lagi—”

“—bukan gitu.” Nadit benarkan posisinya, memijit tulang hidung. “Aku berterimakasih soal sewa rumah. But, it seems like.. it is not my place for accepting..

“Simpelnya, Na, you can have fun with your money without being concerned with the rent. Understand?” Kini Mingyu putarkan kembali stir mobil, melaju dari tempat ia memberhentikan mobilnya barusan.

“Tapi.. kita memangnya ada apa sampe kamu harus bayar sewa rumahku?”

“Kamu pacarku, aku pacar kamu. Terus apa?”

It does make sense if I was your wife..”

I’ll make it, tho.”

Harusnya Nadit bersukacita dan melompat di dalam sana mendengar kalimat itu meluncur dari mulut Mingyu. Tapi ia diam cukup lama. Sangat lama sampai-sampai Mingyu harus mengecek apakah memang ada orang yang duduk di kursi penumpangnya.

You okay?”

But how?”

How.. what?” Setelah pelan-pelan benang kusut dikepala Mingyu terurai. Ia malah ikut bungkam. Pertanyaan sulit. Sangat sulit. Entah seberapa tebal dinding yang membatasi keduanya.

Tapi Nadit tidak pernah bohong atas rasa penasarannya. Setiap minggu kalau ia punya waktu luang, ia akan pergi ke perpustakaan kota. Mencari buku berbau agama dari semua agama kemudian duduk dan membaca. Sesekali membuka platform online dan lagi-lagi menilik. Hal yang terkadang terbesit didalam dirinya adalah ‘apa yang sebenarnya sedang ia lakukan?’

Lambat laun, seiring berjalannya waktu dan hubungan yang bertahan tanpa kejelasan serta agenda rahasia yang selalu Nadit tunaikan, mungkin alasannya adalah satu : ia sedang berusaha mencari kebenaran.

Sebelum menutup hari dengan pergi menuju alam mimpi, lewat telfon malam itu, Nadit tanyakan pertanyaan krusial yang sekoyong-koyongnya membuat Mingyu bingung bukan kepalang.

What kind of sins you have and you think that is bad from the bad?”

Orang di ujung sana diam. Bukannya menjawab ia malah kembali melempar tanya. “You okay?”

Yes. Just.. tryin’ to.. solve my research.”

Of what?”

“Jawab dulu..” Hembusan nafas terdengar.

Bad from the bad?” Ulang Mingyu lagi. “Kissing you?”

“WHAT?!” Mendengar hal itu rasanya ia ingin melempar ponselnya kesudut kamar.

Chill, Na..”

So you regret it?”

No..”

And then?” Kikikan kecil kemudian jadi jawab yang Nadit terima. Dadanya naik dan turun, sudah mempersiapkan amunisi untuk menyatakan mode perang, lagi dan lagi.

I don’t regret it. But I want to fixed it.” Suara yang mendadak jadi berat akibat kantuk disana kemudian jadi penenang yang mengetuk gendang rungu. Nadit diam cukup lama, sangat lama sampai perlahan tenggorokannya mulai menjadi perih.

“Setiap orang punya dosa, terkadang menganggap dosa mereka haram untuk diampuni. Tapi Tuhan maha penyayang, Nadit. God will never abandoned you. If we come, he’ll open his hands widely. Kissing you was my sin, but it doesn’t mean that I don’t have any other of sins. Apapun yang sedang berusaha untuk diperbaiki, pasti diampuni.” Jelas Mingyu. Ia tidak tau apakah argumen yang bersifat krusial ini akan diterima oleh lawan bicaranya disana. Mingyu tau, percakapan ini akan selalu penuh dengan konsep hati-hati. Ia tidak mau melukai dirinya sendiri, ia tidak mau melukai orang lain.

“Mingyu, if I choose your belief, will your God open his hands widely for me? Walaupun aku diselimuti dosa?”

Deg. Tubuh Mingyu diujung sana mendadak melemas. Ia tarik nafasnya, ia putar kepalanya berusaha menerka perihal benang-benang kusut yang lambat terurai. Namun, sekarang segalanya jadi masuk akal.

Anyone, Nadit. Of course He will. And you'll be born again.” Cicit Mingyu dengan ketenangan.

Then take me.”

Pada waktu yang Nadit sisihkan untuk menemukan jalan keluar, satu yang terus berputar di dalam kepala ketika banyaknya kalimat penuh kemuliaan itu ia baca dengan indra penglihatannya. Bahwasannya, semua agama adalah benar dan nyata adanya. Kini, tinggalah manusia itu sendiri yang mencari kebenaran didalamnya, dan memilih.

Dan Nadit memilih.

-

Sejak umur entah berapa tahun, Albert sudah menjadi teman baikku. Sampai ketika akhirnya aku dan orang tuaku memutuskan untuk pindah ke Malibu.

Setiap aku pulang ke Jerman, ia berusaha menyempatkan diri untuk mampir, which is very kind of him. Tidak jarang ia membawakan bingkisan untuk Ibu, kaset musik untuk ayah dan buku untukku. Bagiku, ia malah jadi yang paling tau.

Aku tidak akan pernah lupa pertama kali ia katakan bahwa ia menyukai warna rambutku, warna mataku dan bibirku yang agak sedikit tebal yang kerap kali membuatku insecure. Setidaknya ketika itu aku tau bahwa ada yang menyukai bibirku.

Ketika Ayah dan Ibu tidak lagi ada dan aku memutuskan untuk pindah ke Jerman, Albert selalu menyisihkan waktu ditengah sibuknya kuliah untuk mengunjungiku. Entah kenapa, ia selalu mempunyai topik yang nyambung bersama paman, bersama bibi. Setiap natal dan tahun baru, ia membawakan kado untukku, paman dan bibi dan tidak terkecuali Seungkwan, yang notabene-nya adalah stranger, terutama bagi Albert.

Hal itu sangat-sangat membuatku sedikitnya terenyuh. Mengingat ketika itu adalah pertama kali aku merasakan bahagianya hari natal dibandingkan yang telah lampau. Tidak pernah sehangat itu. Ia membawa kue jahe yang katanya ia buat sendiri khusus untukku keluargaku. Ia bawa bermacam-macam alat mewarnai dan kami habiskan malam natal didepan perapian menyembuhkan luka masa kecil. Terkhusus aku yang tidak pernah melalui masa-masa indah semacam itu sewaktu kecil dulu.

Melihatnya merawat Luna dengan baik, padahal ia alergi bulu kucing. Jadi setelah itu, biasanya akan ada aku yang memberikan ia sebuah obat berdasarkan saran dari calon dokter muda, Seungkwan. Aku temani ia meneguk tabletnya, ditemani dengan suara bindengnya akibat flu yang dipicu oleh hewan peliharaanku yang satu itu.

“Aku udah bilang, Luna will be okay. Tanpa kamu coba bantu buat ngasuh dia juga she’ll be okay..” Kataku malam itu, duduk bersebrangan dengan sosoknya di meja makan.

She is so cute, I can’t handle myself not to—”

Don’t try to hard, Albert..” Ia bergeming. Setelah mengerti maksud perkataanku barusan, ia mengangguk kecil.

“Coba sekali aja, gak mau?”

You are kind, Alb.” Cicitku pelan. “Banyak orang diluar sana yang mau disayang sama kamu.”

“Kamu enggak mau?” Intonasi suaranya membuatku menyunggingkan senyum kecil kemudian terkikik. Aku membuang nafas, membawa gelas yang bermenit yang lalu diteguk oleh Albert menuju tempat cucian piring.

I’m serious. Sekali aja? Hm?” Masih berdiri dipinggir tempat cuci piring, aku putar tubuhku sampai akhirnya manik mataku bertemu miliknya. “Dari kecil, my gaze has belonged to you, Nadit. Sampai sekarang pun sama sekali enggak berubah. I mean, why don’t you give me a chance?”

A chance of what?”

Loving you..”

“Selama ini kamu juga udah ada di fase itu kan, Albert?”

No.. I mean—” Albert kini ikut berdiri, membuang nafasnya pelan namun masih jelas dapat aku dengar. “I want us to be more..”

“Kalau udah lebih, terus apa?”

“Terus..” Albert menggantungkan kalimatnya cukup lama, berfikir cukup keras. Ia mengusap tekuk lehernya beberapa kali dan menolak menemui mataku.

“Terus?”

“Kalau udah lebih, I can love you easily. Maksudku, I can hold your hands? You can lean to both of my shoulder if you want to? I can protect you in all cost—”

Like what? How you protect me in all cost?”

Albert lagi-lagi terdiam. Selagi ia berusaha mencari kalimat lain sebagai pelengkap argumentasinya. Kepalaku berputar hebat, pergi dari tempat aku berpijak. Di Malibu, protect in all cost, orang itu, dan sudah entah berapa kali. And he didn’t asked for more.

“Albert..” Kataku kembali. “I don’t want to be protected, okay? Kalau kamu meminta yang lebih cuma untuk supaya aku bisa lean on disaat aku butuh, atau kamu yang kepengen pegang tanganku in any of condition, I’m not sure that’s.. a form of love. Because if you love me wholeheartedly, Albert, You’ll have no reason at all, you just want to spend your day all along with me without being considerate about holding hands, or lean on or protect me. I think, you are all wrong..

Don’t push yourself to hard, okay?” Aku tatap matanya agak lama, raut wajahnya yang berubah dan berbagai macam emosi bercampur disana. “It almost midnight, Alb. You can go home.”

-

“Nadit!” Suara Seungkwan menggema secara tiba-tiba di kamarku. Aku yang sibuk berkaca buru-buru menoleh dan mengusap dadaku agak pelan. Sedikit tekejut.

Hell!” Balasku.

“Cepetan ayo! Udah jam berapa ini?!” Aku mendongak menatap jam dinding yang berdenting di dinding kamarku. Memang sudah mepet.

Alright, wait for a second!”

“Aduh! C’mon, Nadit. We truly have no time!”

“Iya-iya! Cerewet!” Seungkwan menarik pergelangan tanganku, menuruni tangga kemudian keluar dari rumah dan buru-buru masuk kedalam mobil. Bibi Tiana dan paman sudah menunggu lebih dulu.

What took you so long, Nadit?” Gerutu paman ketika aku dan Seungkwan sudah sepenuhnya masuk kedalam mobil.

“Hehe, Sorry.”

Sepanjang perjalanan, dapat aku lihat mata paman yang menatapku dari spion tengah. Entah apa maknanya, tapi matanya sedikit berkaca-kaca. Di sebelah kananku, ada Seungkwan yang terus-terusan tersenyum menekuk bibirnya. Sesekali merapikan rambutku, atau bajuku yang agaknya compang. Suasana di dalam mobil agak sunyi, bahkan radio lokal tidak seasik biasanya.

Jantungku berdetak tidak karuan. Berkali-kali aku menarik nafas dalam kemudian aku buang pelan. Mataku panas dan tenggorokanku rasanya tercekat. Aku tidak boleh menangis walaupun aku ingin. Tidak. Tidak sekarang.

-

“Nadeeta!” Aku menoleh ketika salah satu temanku, Jessica, meneriakkan namaku. Aku sesekali mengerjap, cahaya matahari pagi menuju siang ini cukup terik, namun tidak sepenuhnya menganggu.

“Hey? Jessica? You come?”

Of course I should come? Are you kidding me?” Kami terbahak cukup kencang. Ia rapikan sedikit rambutku, menatapku dari atas sampai bawah dengan tatapannya yang teduh. Senyumnya itu malah membuatku ingin menangis.

You look pretty.” Katanya. “Your parents must be proud of you..” Aku menekuk senyum, menarik Jessica kedalam pelukku. Aku peluk ia lama, aku tepuk pelan bahunya dan ia lakukan hal yang sama.

Thank you for being there for me, ya? Cepetan nyusul..” Ucapku dan dibalas pukulan ringan seraya pelukan yang melonggar. Kami lagi-lagi terbahak.

“Nadit!” Dan yang kali ini, suara paling familiar yang menyambangi pendengaranku.

Ini dia. Kalau aku harus menangis. Mungkin ini waktunya.

“Vernon!” Aku melambai, di ikuti Vernon yang juga melambai di ujung sana. Langkahnya mendekat dan terus mendekat.

Dan satu orang yang berjalan selaras dengan Vernon. Tubuh tingginya serta jas yang ikut memeluknya. Rambutnya tidak acak-acakan seperti yang biasa aku lihat ketika bertahun belakangan datang menyambangi Malibu. Rambutnya ia tata dengan rapi. Namun sayang, dasinya disana agak miring.

Dengan gagah ia melangkah, menemukan manik mataku dan rasa-rasanya kakiku melemah.

Detik selanjutnya, aku tersentak karena Vernon memelukku dengan kekuatan yang membuatku agak sesak.

“Hey? You look prettier when i see you closer!” Aku masih terbatuk akibat pelukan Vernon barusan.

“Aku selalu cantik. Shut up!” Balasku. Vernon kemudian mengacak puncak kepalaku dan tersenyum dengan lebarnya.

Indeed..” Suara berat itu kemudian muncul. Dengan memberanikan diri, aku mendongak. Berusaha sekuat tenaga menemui manik matanya. Tarikan nafas pertama, dan aku buang perlahan.

Itu, iris mata bronze seperti warna teh manis hangat yang kerap kali mengisi malam-malamku. Mingyu.

Happy Graduation, Na.” Se-bouquet bunga matahari ia serahkan, kini pelukanku hampir penuh.

Thank you, Gyu. Thank you for crossed the ocean just to see me with this..” Aku menunduk menatap baju toga ku yang agaknya kebesaran.

You look pretty. And I’m proud of you..”

Senyum kami mengembang. Ini memang adalah saat yang tepat untuk menangisi kebahagiaan. Aku lemparkan semua bouquet bunga yang terus-terusan aku peluk semenjak keluar dari gedung utama kampus. Aku berlari dan jatuh dalam peluknya. Topi togaku yang ikut terlempar dan aku yang diputar di udara.

You did it and I’m proud of you, Na..” Cicitnya. Dan aku menangis membekap suara. Secara terus menerus batinku berteriak, “We did it, Gyu. And I’m proud of you too..”

4 tahun. Dan kini perlahan luka darah pengorbanan mulai mengering. Hari ini tahun ke empat ulang tahunnya, kini aku dan ia berhenti pada penyiksaan yang setiap hari memohon meminta ampun. Setelah ini, atas nama perayaan menyambut harapan dan angka yang bertambah pada jalan hidup, aku berjanji akan aku hargai setengah mati.

“.. Happy Birthday, Mingyu. Happiest Birthday. Bahagia menyertaimu.”

-

Di wilayah Sellin terdapat sebuah restoran yang sangat terkenal yaitu Restaurant Seebrücke di kepulauan Rügen. Jarak tempuh dari Berlin menuju pulau itu adalah sekitar 2 jam menggunakan mobil, dan yang benar saja, aku berakhir sedang mengunyah makan siangku bersamaan dengan aku yang tiba-tiba terdistrak akibat usapan jemari disudut bibirku.

“Belepotan..” Katanya, ditutup dengan senyum dan ia yang akhirnya fokus pada piring dihadapannya.

“Itu Vernon gak papa ditinggalin di rumah?” Aku terbahak. Sialnya aku juga ikut tersedak sampai harus buru-buru menegak air mineral.

He is okay. Dia pasti seneng ketemu temen kaya Seungkwan..” Jelasku.

“Jadi itu Seungkwan?”

“Hm..” Ucapku mengangguk. Kembali mengangkat sendok dan garpu.

“Kenapa undangan wisuda kamu dikasih ke aku? Padahal bibi Tiana kan bisa masuk?” Oh, soal itu.

Aku lagi-lagi tersenyum. Rasanya tulang pipiku sudah mati rasa mengingat entah sudah berapa kali aku harus memasang senyum hari ini.. “She said.. dia gak mau masuk. Awalnya dia suruh Seungkwan aja yang masuk, atau semisal Vernon kalau dia ada kesempatan terbang ke Jerman. Tapi tiba-tiba aku kepikiran kamu..”

“Alasan bibi kamu gak mau masuk, apa?”

She is a crybaby, Gyu.”

“Hah?”

No, seriously. Ngeliat Seungkwan dapet nilai sempurna A, dia nangis. God, I remember that day. Dia tuh terlalu sensitif. I bet she doesn’t want to cry in front of people. Walaupun in the end dia tetep nangis pas ngeliat aku keluar dari gedung utama tadi pagi..” Aku terkekeh kecil. mengingat Bibi Tiana yang tiba-tiba menangis histeris ketika menemukanku keluar dari gedung utama kampus. Ia memelukku erat, sangat erat dan terus mengelus pipiku. Secara halus ia terus menggumamkan kalimat ‘I’m so proud of you and I bet my brother too..”

Sehabis berkumpul di halaman kampus, aku memutuskan untuk kembali kerumah. Bersama dengan Mingyu dan juga Vernon. Tepat setelah kami sampai, paman lemparkan kunci mobil kepada Mingyu dan mengerlingkan satu matanya. Entah apa yang terjadi di antara mereka selama menyaksikan aku menerima ijazah pagi tadi didalam gedung utama kampus, rasa-rasanya mereka sudah seperti menjalin hubungan pertemanan bertahun-tahun lamanya.

Dan begitu atas impulsivitas, aku dan Mingyu berakhir disini. Jauh dari Berlin dan memandang air laut yang terus menerus datang dan pergi.

Thank you..” Ucapnya, membuatku mengerutkan alis kebingungan.

For what?”

“Kasih aku undangan? Aku ngeliat kamu dari atas nerima ijazah and..” Mingyu membuang nafasnya.

And?”

“aku udah berapa kali bilang I’m proud of you sih?” Dirinya kemudian terbahak.

Only god knows.” Balasku ikut berselaras dengan tawanya.

“Nadit..” Ketika panggilan itu meluncur dari mulutnya, aku bergidik ngeri. Di ikuti tatapan tajam matanya yang tenggelam dalam tatapku. Ia berdeham sedikit, mengangkat tangannya ke atas meja dan jatuh diatas tanganku.

“Are we done yet?”

Mendengar pertanyaan itu, rasanya beban besar selama 4 tahun yang lalu perlahan mulai terangkat. Aku letakan tanganku yang satu lagi diatas tangannya. “We are.”

Ada seribu rasa terimakasih yang ingin aku sampaikan, entah lewat lisan ataupun tulisan, itu urusan nanti. Mendengar bagaimana ia yang mengatakan kata ‘kita’ dibanding menyudutkanku, membuatku menyadari bahwa memang sampai sejauh ini pun, aku tidak pernah sendiri.

“Kalau gitu, kita pulang?”

“Kita pulang.”

-

Bagiku, perasaan akan selalu jadi misteri paling aneh. Satu detik pertama perasaanmu akan terus membuncah sampai-sampai rasanya ingin muntah. Detik selanjutnya, yang kamu rasakan adalah perasaan benci.

Aku tidak bohong perihal pertama kali Anindita memijakkan kaki di Malibu. Aku tidak bohong perihal senyumku yang menyambutnya di bandara. Itu bukan senyum formalitas, bukan senyum sekedar menyambut, namun tersisip senyum lain yang sarat makna.

Intinya, ada Anindita di Malibu sempat menutup satu kekosongan yang sudah bertahun-tahun menyelimutiku.

Sejak pertama kali bertukar pesan, aku menganggapnya sebagai teman baik. Ia sering bertukar pengalaman bagaimana ia menghabiskan waktu mengais pundi-pundi rupiah. Tidak jarang, apa yang dilakukan oleh Anindita, aku lakukan juga.

Aku bercerita bagaimana hecticnya sewaktu sekretarisku harus resign dan semua manajemen agaknya kacau-balau. Aku harus menghabiskan waktu lebih banyak di kantor dibandingkan biasanya. Aku akan pulang larut malam kemudian mandi dan terjun menuju dunia mimpi. Setidaknya, aku tidak akan memiliki waktu senggang hanya untuk memicu perasaan rindu akan orang yang aku tidak tau sedang apa disana.

Tapi tetap saja, berisiknya deru air yang terus datang dan pergi kerap kali mengundangnya hadir.

Setelah membawanya ke Malibu dari bandara Los Angeles, meletakkan barang bawaannya di hotel yang sudah ia reservasi melalui online, aku ajak ia mengelilingi kota surga di dunia ini. Dari satu tempat menuju tempat lainnya.

Namun sayang, seluruh kota Malibu adalah Nadit.

Dan aku berada pada posisi paling salah karena harus kembali menapak tilas bahkan kepada tempat yang hanya aku lewati sekilas.

Es krim Salted Caramel kesukaannya, A Little Life karya Hanya Yanagihara, atau The Night We Met yang secara tidak sengaja terputar di radio lokal. Setelahnya, kepalaku akan dibanjiri oleh presensinya. Irises milik Van Gogh, The Last Bookstore, kikikannya yang menggelikan atau teriakannya kepada sahabat lelakinya. Ia yang tidak setuju soal maple syrup lebih baik untuk pancake, dan gambaran ia yang tenggelam di kaosku. Oh—jangan lupa rambutnya yang menyeruak bak singa itu.

“Mingyu?”

“Eh? I-iya?”

Anindita yang duduk di kursi penumpang mendadak membuyarkan lamunku.

“Kamu mikirin apa? Kenapa senyum-senyum gitu?” Aku berdeham. Mengelus tekuk dan menepuk setir mobilku beberapa kali.

“Eng-engga. Tadi barusan aku lihat ada anak perempuan kecil yang disuapin es sama ayahnya.” Alih-alih mengacuhkan alibiku barusan, dirinya malah mencecarku dengan pertanyaan.

“Kamu lebih suka punya anak perempuan apa laki-laki?” Aku menaikkan alisku agak terkejut. Diam sebentar berusaha mencerna pertanyaan barusan. Seharusnya ini bukan pertanyaan sensitif, mengingat aku yang sudah pernah menikah dan menyadari bahwa Anin adalah teman baik rasanya tidak begitu menyinggung.

Tapi aku tersinggung.

“Itu cuma pertanyaan brainstorming aja, Mingyu..” Tetap saja.

Aku menghela nafas, agak berat. Perihal keturunan, punya anak perempuan atau lelaki sudah dari jauh-jauh hari aku mimpikan. Benar, manusia tugasnya hanya berencana, sisanya akan ada maha kuasa yang mengeksekusi semuanya. Tidak terkecuali kehilangan yang merenggut bahagiaku, bahkan sekoyong-koyongnya tujuan hidupku.

Aku angkat cepat bahuku. “Anything. Aku gak masalah harus perempuan atau laki-laki.” Sadar akan intonasi suaraku, Anin kemudian diam. Ia diam cukup lama sampai aku dan ia tiba di hotel tempat ia menginap.

“Mingyu..” Cicitnya sebelum turun.

“Iya?”

“Kalau aku udah boleh gerak, boleh kasih sign, gak?” Aku menekuk bibirku. Perempuan ini punya pendirian yang teguh. Sangat teguh dan berani.

Aku menggeleng pelan. “Jangan gerak..”

“Gak bisa, ya?”

Selepas pertanyaan Anin meluncur, kenangan dikepalaku mulai berputar seperti reel film. Nadit, Nadit dan Nadit. Aku tidak bohong kalau melihat Anin senyumku akan mengembang dengan sempurna dan bukan berlandaskan formalitas semata. Membalas pesannya kadang mengundang perasaan aneh seperti aku masih remaja dulu.

Bersama Anin mungkin adalah pasti, tapi bukan berarti Nadit bukan yang pasti.

“Anin, my heart has belong to her since I barely remember. It is with her wherever she goes and I can’t controlled it anymore cause she’s owned it already. She can do whatever she wants while I can’t.” Kecewa tergambar jelas dalam cahaya matanya, tapi aku berani bersaksi, senyum yang aku hadiahkan kepada Nadit adalah bukan senyum penuh rasa yang aku berikan kepada Anin. Lebih dari itu.

And being endearingly owned by Nadit, walaupun belum secara resmi, is beautiful. She has a heart that loves without asking for anything, but to be okay. Dan aku tidak akan pernah rela menukarkan hati itu kepada apapun, siapapun.

“Lucky her..”

“No, Lucky me..”

-

“Jasku kebesaran gak sih?” Vernon terus menggerutu, padahal matahari sudah hampir berada di puncak.

“Kan aku udah bilang kemarin, pilih yang pas di badan kamu, Vernon.”

“Kamu gak tau aja aku di New York stress banget supaya bisa dapet gelar. Kayanya gara-gara itu mangkanya berat badanku turun..” Gerutunya lagi sambil membenarkan dasi.

Really?” Aku menungkikkan satu alisku menatap ia yang tidak kunjung selesai mempersiapkan diri. Aku hampir terlambat.

I look bad..”

No, you look cool. C’mon.”

“Bisa pakai kemeja biasa aja gak? It’s too formal..” Kali ini ia merengek. Seperti anak kecil yang malas dipakaikan baju oleh orang tuanya.

C’mon, Vernon. We have no time.” Buru-buru aku bergegas keluar, mencari kunci kamar, mengambil jasku.

Undangan udah belum?” Aku menjentikkan jari. Yup, untung saja.

Aku tidak mungkin meninggalkan undangannya.

Glad you remember, Vernon. Now I got it.” Aku mengerlingkan mataku dan membuatnya bergidik geli. “Ayo cepetan! Tunggu apa lagi..” Ia mulai melangkah meninggalkan kamar hotel dimana aku dan ia menginap.

“Kim..” Belum sempat aku kunci pintunya, sapaan itu membuatku merinding.

“What?” Dengan senyum lebar yang menghiasi kedua sudut bibirnya, ia menepuk pundakku. “Apa, Vernon?” Kataku lagi.

Nothing, I just..”

You just what?”

I truly am proud of you..” Aku terbahak membuang kepalaku kebelakang. Pintu yang telah terkunci rapat dan senyum serta mataku yang mendadak panas.

I’m proud of myself too. I am.”

-

Rasanya jantungku jatuh sudah sampai ke perut.

Namun yang aku temukan adalah Mama yang sedang tertawa dengan Ayah. Di ranjang rumah sakit.

Mata Mama membelalak hebat, menatap putranya didepan pintu dengan peluh yang bercucuran. Aku membuang nafas, terduduk diatas lututku di pinggir kasur dan menggenggam tangan Mama.

“Mah..” Lirihku.

“Kenapa kamu bisa disini?” Kini aku mendongak, menatap wajah Ayah.

“Kemarin saya telfon dengan Mingyu.” Beliau mulai menjelaskan. “Dia tanya kabar kamu soalnya kalau ditelfon gak pernah di angkat..” Sambung Ayah.

“Ayah keceplosan, bilang kalau di rumah sakit lagi jaga Mamah..” Ini aku yang mulai menyambung. Ayah kemudian mengusap tekuknya. Mama tersenyum kemudian mengelus kepalaku dengan tangannya yang agak lemah.

“Nak.. Mamah cuma tipes. Kecapean kemarin nyiapin pengajian dirumah untuk Papa..” Selang infus itu melekat diatas tangan Mama. “Padahal siang ini Mama sudah bisa pulang, loh..”

“Kan saya kemarin sudah bilang, pesan Cathering saja..” Ayah menyambung.

“Sudah.. Mama gak papa, Nak. Ini kamu terbang dari Malibu?” Kini aku berdiri, duduk disamping kasur Mama.

“Iya.. karna waktu Ayah keceplosan pikiranku udah terlanjur kalut, udah gak bisa mikir apa-apa, Mah..” Mama tertawa hebat. Tangannya mengelus pelan lenganku.

“Yasudah.. siang ini Mamah kan sudah bisa pulang. Kan cuma dirawat 1 malam aja..” Aku mengurut pelan tangan Mama yang lain yang tidak terbalut selang infus, mengangguk dan tersenyum. “Nanti sampai rumah langsung istirahat aja ya. Nanti Mama telfon Anin—”

“—Mah.” Aku membuang nafasku.

“Oh iya, nak..” Mama mengusap puncak kepalaku. Tau kalau anaknya ini sudah tidak lagi sesederhana bertukar pesan pada si empunya nama yang disebut tadi. “Kamu bukannya harusnya ke Jerman?”

Sebelum menjawab, aku perbaiki selimut Mama, agar lebih rapi menutup tubuhnya. “Habis nganter Mama pulang, Mingyu lanjut ke Bandara, ya?”

“Loh, langsung balik? Istirahat dulu lah Nak, barang 1 malam..” Aku menekuk bibir, menggeleng.

“Mingyu ada janji..”

Seolah mengerti dan paham, mata Mama memancarkan sebuah bahasa yang sukar aku elaborasi. Penuh cinta, bercampur ironi. Tangannya menarik tanganku, supaya aku mendekat. Kemudian, ia cium kedua pipiku. “Selamat ulang tahun anak Mama.. Bahagia menyertaimu.”

-

Penerbanganku menuju jerman harus di delay karena cuaca diluar sana yang cukup berawan. Aku mulai gelisah, terus menyesuaikan perbedaan waktu di Jakarta dan di Jerman. Kakiku tidak henti-hentinya mengetuk lantai, sesekali bangkit dan mondar-mandir seperti orang linglung yang kehilangan arah.

3 jam, pesawatku di delay 3 jam. Padahal aku sudah memilih penerbangan paling cepat dan menyesuaikan waktu.

Penerbangan berjam-jam ini tidak mampu membuatku sekedar menutup mata. Daya baterai ponsel yang sudah habis tidak bersisa membuatku tidak henti-hentinya menatap jam tangan. Tidak ada yang bisa aku hubungi sejak kemarin. Lupa membawa powerbank, bahkan lupa membawa charger ponsel. Clumsy Mingyu has against the world. Damn.

Aku mulai pasrah dan mengacak rambutku asal.

Aku yakin, Nadit sudah tidak lagi ada disana dan berfikir bahwa akhirnya aku telah selesai berharap.

Setelah penerbangan yang panjang, dengan tas ransel yang aku gendong sambil berlari kecil menyusuri bandara, aku menghentikan taksi dan langsung menyuruhnya pergi menuju Brandenburg Gate. Mata sang sopir mengerjap, tidak percaya bahwa tujuanku bukannya menuju hotel atau penginapan, tapi menuju satu objek wisata, di jam 10 menuju 11 malam.

Aku masih punya kurang lebih 1 sampai 2 jam lagi untuk menghabiskan hari bersama Nadit. Entah apa yang harus dilakukan di tengah malam untuk menghabiskan hari ini. Intinya, aku hanya mau bertemu dengannya. Menatap matanya, memeluknya. Memberikan presensiku didepan matanya, bahwa tahun kesekian ini, aku masih ada.

Ketika sampai, seperti dugaan, semua kosong.

Gelap, sunyi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia. Aku kemudian melangkah menyusuri seluruh sudut, walaupun tidak akan mungkin ada perempuan yang rela terduduk menunggu sampai tengah malam seperti ini.

Lalu, harus kemana aku cari dirinya diseluruh sudut kota Berlin ini?

Kalau bentuk cinta adalah tidak masuk akal, maka aku akan mencintai dengan cara yang paling tidak masuk akal.

Maka setidak-masuk-akal-nya hidupku, aku pergi ke Internet Telecafe Spätkauf, semacam warnet 24 jam yang berada di Oppelner Street nomor 9 ditengah kota Berlin.

Aku cari nama Nadit di kolom pencarian internet. Barangkali, data mahasiswi berserta alamatnya mampu diakses. Tapi lagi-lagi seperti dugaanku, itu tidak mungkin. Alhasil, nihil.

Setelah itu, aku temukan halaman facebook miliknya. disana tertulis tempat tanggal lahir serta alamatnya di Berlin. Checkpoint. Aku memetik jari. Buru- buru aku berlari menuju jalan raya dan lagi-lagi memanggil taksi. Menunjukan alamatnya dan dengan cepat meninggalkan Internet Telecafe Spätkauf.

Aku harap, kali ini semua berjalan lancar.

Di satu rumah dengan cahaya remang, aku berdiri di ambang pintunya. Berbagai skenario sudah aku bayangkan di kepalaku. Benarkah ini rumah Nadit? Kalau iya, apa yang akan aku katakan pada seseorang yang membukanya? Kalau itu Nadit, mungkin aku akan langsung menghambur untuk memeluknya. Tapi, halaman facebook itu sudah terlalu lama untuk membuktikan apakah Nadit memang benar tinggal disini.

Dengan tangan yang sedikit bergetar, aku tekan tombol bell disamping pintu. Pukul 11 malam, siapapun pemilik rumah ini, pasti akan takut mengetahui ada orang asing berdiri di ambang pintu rumahnya. Aku tekan sekali lagi. Dari luar, dapat aku dengar dengan jelas alunan nyaring suara bell yang mengudara di dalam sana.

Tidak ada jawaban. Sekali lagi aku tekan.

Tidak lama, seorang perempuan keluar dengan takut-takut, membuka pintunya sedikit. Hanya menampakan sebelah matanya. Dan jelas, itu bukan Nadit.

I’m so sorry.. but, is Nadeeta Dreschler lived here?” Alisnya berkerut dan dapat aku tangkap pemandangan itu dengan jelas. “I’m not a bad person, I am.. looking for someone.. hmm.. saya enggak tau alamatnya dimana, tapi di halaman facebooknya yang lama, alamatnya ada disini.”

Who is that?” Suara laki-laki kemudian bergema dari dalam, membuat perempuan tadi menoleh.

I don’t know. A stranger, looking for someone..” Aku terkejut bukan kepalang ketika pintu yang akhirnya terbuka lebar menampakan laki-laki kekar dan botak, serta beberapa tattoo yang menghiasi tubuhnya.

What is your problem, man?”

Dengan menelan ludah dan berdeham kecil, aku bersuara. “I am looking for.. Nadeeta Dreschler.” Ia serta merta mengerutkan alisnya.

Who?”

“N-nadeeta Dreschler..?”

Alisnya mengkerut. “I don’t know who’s a person you’re looking for but..” Ia berbalik badan, meninggalkan perempuan tadi yang hanya terdiam di daun pintu kemudian balik dengan secarik surat bukti penjualan rumah yang terlihat sudah lusuh. “..hm.. Mr. Ehrlich Dreschler sold this house to me..”

“A-ah..” Aku mengangguk. Sekarang benar-benar merasa buntu. “Do you have any clue where Mr. Dreschler’s relatives lived.. maybe?”

I know his younger sister, you should go five block from here, but I exactly have no idea their house’s number..”

Selamat, Kim Mingyu.

Okay. Thank you so much and I am so sorry if I bothering you in this time. Have a good night..” Begitu kemudian aku melangkah menjauh dan pergi. 5 blok, aku harus cari taksi lagi.

Ketika sampai, rasanya aku ingin bertekuk lutut dan menyerah. Ada berapa banyak rumah di blok ini dan tidak mungkin aku harus mengetuknya satu per-satu. But, well, in the end, aku mulai mengetuk.

Waktu di jam tanganku sudah tidak lagi berada di tanggal enam bulan April ini. Tidak masalah kalaupun ketika melihatnya aku harus kembali berpisah. Intinya, aku hanya ingin dia tau bahwa, it is still her. Masih Nadit setelah 3 tahun ini berlalu dengan hebat.

30 menit kemudian atas agenda ketuk mengetuk pintu, seseorang wanita tua keluar sambil mengucek matanya.

“Sorry—”

“Are you a homeless?”

What?

“N-no.. i-I’m—”

“You can stay.. if you want..” Aku tertawa kecil mendengar tawarannya. “No.. Ma'am, I’m looking for someone. Do you know where Nadit Dreschler lived?” Ia terdiam sejenak, menatapku dari atas sampai bawah, kemudian tertawa. Ditengah rasa kantuk yang terpancar dari wajahnya, ia malah terkikik.

“Oh.. Nadit..” Awan gemuruh di atas kepalaku mendadak hilang dan digantikan dengan matahari ketika kalimat itu meluncur keluar dari mulutnya. “Kamu.. Mingyu? Bukan?”

Sorry? Ini.. aku salah dengar?

“Y-yes...?”

She was always talked about you..” Masih dengan tawa renyah, ia angkat tanganku yang sedikit dingin ujung jemarinya. Ia genggam, ia hangatkan. “She was right, you have a big hands..” Aku.. masih bingung. Benang-benang kusut di kepalaku tidak kunjung terurai.

“Biasanya, setiap mengantar makanan yang dimasak Tiana, dia selalu tinggal sebentar buat certain soal laki-laki yang namanya Mingyu. Katanya, Mingyu tinggal di Malibu.” Kini kedua tanganku sudah sempurna ia genggam. “Nadit bilang, yang bisa mengerti itu cuma saya. Karena dulu saya juga jatuh cinta sama orang yang 12 tahun lebih tua daripada saya..” Ia tertawa. Ada senyum kecil yang mendadak mengembang di bibirku.

He passed away, 3 years ago. And everytime Nadit talked about you, it feels like my husband was near. It always reminded me of him.. You.. reminded me of him..” Kini tangannya menepuk bahuku. Ada mata yang berkaca-kaca menatap manik mataku.

You flew away from Malibu to Berlin just for her? She is the luckiest.” Aku hanya mampu menunduk menyembunyikan senyum. “Number 15.. meet her, Mingyu. Actually, if you asking for Nadit, people will never ever know. Orang-orang kenalnya Mr. Walden, pamannya Nadit.” Setelah mendapatkan jawaban dari beliau, ketenangan merambat memenuhi diriku.

Can I.. hug you?” Aku menawarkan diri. Dengan tawa yang ringkih, wanita tua ia mengembangkan tangannya dan mengalungkannya di leherku. Aku harus menekukkan kaki, supaya mampu berselaras didalam peluknya.

What a good man..” Ia berbisik sambil menepuk punggungku.

Your husband must be proud of you..” Kataku lagi, sosoknya kembali tertawa. Kemudian aku pamit. Meninggalkan ia yang menungguku hilang dari visualisasinya. Setelah itu aku berlari, berusaha menemukan rumah nomor 15, rumah Mr. Walden.

Ketika aku berhenti tepat di depan satu rumah dengan angka 15, rasanya aku ingin menangis. Ini, ketika aku mencintai dengan cara yang tidak masuk akal, maka ketidak-masuk-akalan tersebut jadi bentuk paling memuaskan.

Aku melangkah pelan, mulai menekan bell.

Satu kali, tidak ada jawaban.

Dua kali, masih tidak ada.

Tiga kali, tetap belum ada.

Empat kali, Seorang perempuan muncul di ambang pintu.

“Ms. Walden?” Cicitku.

Yes.. and you?”

“*Is.. *Nadit here?” Alisnya berkerut. Mungkin sedang berusaha mencerna pertanyaanku. Berusaha menarik simpul diatas helai benang yang berserakan.

“Nadit?” Tanyanya, berusaha memastikan. Aku mengangguk. “Mingyu?” Ms. Walden menaikan satu alisnya.

“Yes.. Mingyu.” Sudut bibir Ms. Walden mengembang, menyambut hadirku dan aku tiba-tiba rasanya ingin menangis. Ia kemudian hilang sejenak dari ambang pintu, dan kembali membawa yang aku tunggu.

Dan begitu, pada akhirnya aku temukan tubuhnya. Raut wajah itu, cahaya mata itu. larian kecilnya berakhir pada rengkuh milikku. 365 hari lainnya, tubuh yang sama menyambutku.

Ia menangis.

Aku menangis,

I thought—”

I’ll come.. I’ll come, Nadit. I’ll always come for you.”

-

Pagi dini hari, suara derap langkah menyambangi pendengaranku ketika aku duduk di sofa keluarga Mr. Walden. Memberikan distrak dan buru-buru aku menoleh menemukan senyum teduh itu. Nadit menekuk senyumnya, aku tepuk beberapa kali bagian kosong sofa disebelahku, menyuruhnya untuk duduk.

“Tunggu sebentar..” Ia malah melangkah menuju dapur, membuka kulkas dan entah sedang mencari apa.

Tidak lama, ia muncul dengan satu piring bertumpuk donat dan lilin kecil diatasnya. Cahaya api yang mengiluminasi tidak mampu menyembunyikan rekah senyum dan kurva kecil di bibirnya. Sesekali deretan gigi putihnya ikut muncul.

Happy Birthday to you..” Bisiknya lirih sambil bernyanyi. Nadit melangkah mendekat sampai akhirnya duduk. Sampai tumpukan donat dan lilin itu berada didepan wajahku. Aku tiup pelan lilinnya ketika gadis ini selesai menggumamkan lagu. Asapnya mulai mengepul dari sumbu, meninggalkan bau lilin yang menyengat.

“Ini udah tanggal 7, Nadit..” Cicitku pelan.

So what? Ada kok orang yang ngerayain ulang tahun temennya setelah 1 bulan?” Ia terkikik kecil. “Lagian, baru lewat 2 jam yang lalu.” Aku dan dirinya mendongak menatap jam yang terus berdenting di dinding sana. Pukul 2 dini hari.

“Selamat ulang tahun, Mingyu..” Senyumnya kembali mengembang. “Aku udah nyiapin kue sebenernya siang tadi.. but I thought—”

Puncak kepalanya aku elus pelan. Dalam tenggelam di manik mata kehijauannya. Inikah seorang gadis yang aku temui di pinggir pantai malam itu 3 tahun yang lalu? Pernahkah terbesit di diriku bahwa pada jarak 3 tahun belakangan ini, tetap ada aku dan ia yang berusaha terus bersinggung?

“Tahun ini, umur kamu berapa?” Aku istirahatkan tubuhku pada kepala sofa, menoleh menatap lekuk wajahnya.

“Dua puluh dua..” Jawabnya pelan. “It almost over, Mingyu..” Kali ini ia berbisik, membuat bulu kudukku bergidik. “And I learn a lot..” Sambungnya kembali. Kali ini, sambil mengistirahatkan kepalanya pada kepala sofa.

Did you?”

“Hm..”

“Na..”

“Iya?”

“Besok aku harus balik..” Jelasku, membuat ia tertawa kecil sembali menyembunyikan wajah.

I know..”

“..dan ternyata aku gabisa pegang janjiku untuk habisin waktu 24 jam penuh kemarin sama kamu.”

“Mamah kamu gak kenapa-napa, kan?” Dengan tekuk senyum, aku mengangguk. Sempat aku jelaskan singkat alasan kenapa aku tidak sampai tepat waktu serta perjalanan panjang yang berlika-liku. “Kalau gitu, sehabis baterai hp kamu udah terisi, kirim salamku buat Mamah, ya?”

Will do..” Balasku. “Nadit..”

“Hm?”

Since I can’t spend my time with you, tadi aku ketemu orang di rumah nomer 9..” Jelasku. Belum selesai kalimatku tersusun dengan rapi, Nadit tertawa.

“Oh..” Katanya. “How do you think about her?”

Kind.. the kindest person I’ve ever met..” Ucapku kembali membayangkan bagaimana wanita paruh baya tadi terus mengelus tanganku yang kedinginan.

Is she?”

“Hm.. mind to tell me more about what kind of convo you have with her? Karena kayanya seru.”

“Kamu memangnya gak capek, Mingyu? Besok kamu juga harus kejar penerbangan?” Aku menggeleng pelan.

This is how I’ll spend my time with you. Aku bisa tidur dipesawat nanti..”

“O-okay..” Nadit membetulkan posisinya. Kami saling hadap di sofa ruang keluarga Mr. Walden. Dengan perapian dibawah televisi yang kayunya sudah terlanjur menjadi arang. Sebelum bibir Nadit mulai bergerak bercerita, aku lagi-lagi pelan bersuara.

“Na.. tahun depan, aku jemput kamu pulang, ya?” Tatap yang memaku, jantung yang berpacu. “Aku mau kamu pulang..”

-

“Tinggal jawab aja kan?”

Hujan diluar sana semakin deras ditengah malam yang lambat laun semakin larut. Orang yang dicecar pertanyaan barusan hanya mampu terdiam tidak berkutik. Jemarinya saling bertaut, sikunya bertumpu pada lutut.

“Wonwoo.. mending kita bahas pakai kepala dingin dulu..”

“Emangnya daritadi aku ada marah sama kamu? it’s just a question, loh?” Lagi lagi membisu. “Kamu tinggal jawab..”

“Kan aku udah jawab? No, I don’t love her anymore.”

Then, how about, did you ever have someone kiss you in the crowded room? Hm?”

-

Mingyu ingat.

Bohong kalau dia bilang malam itu ia ada dibawah pengaruh minuman alkohol. Ia ingat musik apa saja yang memenuhi apartemen Seungcheol malam itu. ia ingat minuman apa saja yang ia teguk malam itu dan ia ingat, bagaimana ia mengutuk dirinya sendiri dan terus menggerutu menyumpahi si pemilik acara pesta pora yang sedang merayakan ulang tahunnya.

Mingyu berdiri, mendekati Seungcheol yang sibuk bercengkrama bersama teman-temannya disudut apart-nya.

“Anjing lo!” Begitu sumpah serapah itu mendarat ketika Mingyu jatuhkan tubuhnya disamping Seungcheol.

“Apa?”

“Lo bilang gak bakal ngundang Ivy, terus itu apa?” Mingyu tutup kalimatnya dengan decakan sebal serta jemari yang terus menerus memijit tulang hidungnya yang tinggi.

Seungcheol terbahak hebat. Masih mampu Mingyu dengar dengan jelas ditengah musik yang mengadu di pendengarannya.

“Mangkanya, move on dulu, baru pacaran lagi.” Seungcheol kalungkan tangannya melingkari leher Mingyu. Sesekali ia angkat gelasnya menyapa teman-temannya yang lain.

“Gue udah moved on..” Jelas Mingyu dengan penekanan yang yakin.

Then it shouldn’t be a big big problem to you, right?” Mingyu benci itu. Mingyu benci alis yang menungkik tajam menghiasi wajah temannya yang satu itu. Tatapan penuh diskriminasi, tatapan yang mampu mengambil alih dunia karena sebuah aura dominan yang penuh disana. “Iya gak? I think Wonwoo is much more lah than her. Gak ada apa-apanya Ivy dibandingkan Wonwoo..”

It’s not about comparison, bro. Gue juga tau dari kapan tau kalau Wonwoo is much more than her. Tapi gue gak nyaman aja harus ada di satu ruangan yang sama lagi sama dia..”

“Kenapa? Lo takut tiba-tiba kenangan lo bareng Ivy muter lagi terus keinginan lo buat bareng sama dia bikin lo gak tahan terus—”

Man, you better stop.” Mingyu lepaskan paksa tangan Seungcheol yang bermenit lagu melingkar di lehernya.

“Gue gak ngundang dia.” Jelas Seungcheol. Kali ini meneguk habis minuman yang berada di cup plastic berwarna merah dan mulai mengambil jajanan ringan yang tergeletak tidak tersentuh diatas meja. Dengan alis yang mengkerut hebat, Mingyu alihkan pandangannya kepada Seungcheol. Digerogoti rasa bingung.

“Terus?”

Seungcheol dekatnya bibirnya menuju telinga Mingyu. “Lo tau kan, kalau Ivy has an affair with Joshua? While Ivy is Iren bestest friend ever?”

“Gua gak ngerti maksud lo..” Alis itu semakin mengkerut dan raut wajah Mingyu mampu menjelaskan bahwa ia bingung. Sangat bingung.

“Yang berarti, Ivy gak bisa ngapa-ngapain karena most of the time, Iren selalu bareng sama Ivy. Iren gak bakal mungkin datang kemari karena dia mantan gue dan gue gak ngelarang siapapun buat datang di pesta gue malam ini.” Jelas Seungcheol. Bersamaan dengan manik mata keduanya yang berfokus pada lelaki bernama Joshua disana.

“Gue sama Joshua akan selalu fine-fine aja to know that we, once, have the same girl we were dated. I mean, laki-laki biasa aja kalau soal begituan. Cewe ini yang akan selalu banyak drama—”

“—Wait.” Potong Mingyu dengan cepat. “Lo tau kalau Joshua selingkuh?”

“Hmm..”

“Dan lo diem aja?”

“Lo mau ngarepin apa? Iya gue tau. Tapi bukan ranah gue untuk membongkar itu semua. I mean, sepandai-pandainya tupai melompat pasti bakal jatoh. Gua gak mau terlibat dalam urusan itu dan biarin aja mereka tau dengan cara mereka masing-masing..”

Mingyu diam cukup lama. “Lo bangsat juga gua liat-liat..”

I’ll take that as a compliment, ya Gyu..” Seungcheol terbahak. “Jadi, gue bilang sama Joshua kalau I’ll have a small party at my apart and like I said, gue gak ngelarang siapapun yang gue undang untuk membawa siapapun. Now, Ivy is your problem, not mine..”

“Anjing memang bakalan selalu anjing..”

Semakin larut, musik yang memenuhi apartemen Seungcheol juga semakin tinggi intensitas suaranya. Mingyu sendiri, menghabiskan beberapa gelas minuman dalam cup plastic berwarna merah itu tanpa melakukan apapun.

Tapi ia tidak bohong, kalau manik mata perempuan yang dulu ia cintai itu sering bertemu miliknya. itu sebabnya ia memilih duduk sendiri, mengambil tempat yang jauh dari kerumunan orang yang terus menggoyangkan tubuhnya mengikuti alunan musik. Padahal, sebelum berangkat dari rumahnya, sudah ia bayangkan bagaimana ia akan menguasai malam di pesta itu dan berencana memabukkan dirinya sendiri mengingat tanggung jawab pekerjaannya belakangan ini sedang dalam tahap gila-gilaan.

Mingyu harus memutuskan hubungannya dengan Ivy ketika ia tau perempuan itu malah menjalin hubungan yang lain dengan seorang pria yang sudah beristri. itu juga jadi alasan mengapa Mingyu tidak terlalu terkejut mendengar bahwa lagi-lagi perempuan itu kembali menjadi simpanan. Kali ini, rekan kerjanya yang berbeda divisi, Joshua. Dan parahnya lagi, mengkhianati sahabatnya sendiri.

Tapi mungkin, masa-masa terpuruknya jadi sirna ketika ia menemukan Wonwoo yang sewaktu itu jadi penanggung jawab kerja sama atas perusahaan tempat ia bekerja dan perusahaan Wonwoo sendiri. Melihat bagaimana etos kerja yang dimiliki Wonwoo, pantas saja reputasinya harum diseluruh divisinya maupun seluruh divisi di perusahaan Mingyu.

Seungcheol terbahak hebat kala itu ketika mengetahui bagaimana Wonwoo menerima pengakuan cintanya. Seungcheol bilang : “Wonwoo yang apes dapet lo..”

Tapi melihat bagaimana cara Wonwoo mencintai, menghargai segala keburukan yang membangun Mingyu, membuatnya menyadari bahwa selepas sakit yang harus ia lalui, ada kebahagiaan yang menyambutnya dikemudian hari.

Lamunan barusan mendadak sirna ketika yang Mingyu dengar adalah suara pecahan barang pecah belah serta suara kulit yang beradu kulit yang mendadak membuat ruangan sunyi seketika.

“Lo memang laki-laki bangsat, Jo.” Itu yang sedikitnya Mingyu dengar ketika ia mulai berjalan mendekat. “Dan lo!” Iren. Tiba-tiba ada Iren disana dan tangannya yang mengudara hendak menghadiahkan sebuah tamparan pada sosok perempuan familiar itu.

“Ren..”

Mingyu mungkin salah menjadikan dirinya sendiri seorang pahlawan kesiangan. Maksudnya, untuk apa? Untuk apa ia tahan tangan Iren yang hampir mendarat di pipi yang dulu rajin ia hujani kecupan kecil. Ivy bukan lagi masalahnya. Kalaupun tamparan itu mendarat, yasudah. Bukannya harusnya begitu? Maka Mingyu landaskan aksi heroiknya barusan sebagai rasa kemanusiaan. Entah kemanusiaan semacam apa.

Joshua dan Iren hilang di balik pintu, meninggalkan Ivy yang menangis entah karena apa. Padahal, dirinya yang sekarang sedang mengambil peran antagonis.

Dari situ kemudian semua dimulai. Hasrat ingin menghadiahkan bahu untuk direngkuh seperti dulu. Hasrat untuk melupakan yang disana, yang sedang terduduk mengemban percaya. Bahwa yang sedang berpesta pora meramaikan malam, mampu kembali dengan tangan bersih tanpa noda.

Mingyu salah. Ia belum selesai.

-

Then, how about, did you ever have someone kiss you in the crowded room? Hm?”

“Wonwoo..” Dan Wonwoo benci itu. ia benci laki-laki dihadapannya ini terus memanggil namanya tanpa rasa berdosa. Ia lupa, ia telah menjadi seorang party popper dengan menghadiahi ciuman di bibir perempuan itu. ia lupa, ia antarkan si gadis pulang. Ia lupa, ia hampir kehilangan kendali dan meminta lebih.

“I can’t genuinely heard it, Won. They almost having sex at Seungcheol’s Apartment. And talks about something like.. balikan? Aku cuma denger Mingyu yang bilang soal kenapa Ivy selalu mengharapkan laki-laki yang selalu nyembunyiin dia. Padahal Mingyu bisa kasih lebih. I’m so sorry but I’m not really sure about their convo but the Instagram Story was true. The way they kissed each other..”

Kalimat yang Wonwoo dengar dari salah satu temannya yang jadi saksi mata di tempat kejadian perkara terus berputar. Apalagi ketika banyak DM yang masuk ke Instagramnya dan mulai mencecarnya dengan pertanyaan : “Udah putus lo? Kok si Mingyu ciuman sama cewe lain? Mantannya bukan sih itu?” atau “Wonwoo? Are this even real? Mingyu and Ivy?”

Ketika itu Wonwoo sedang asik menyelesaikan pekerjaan kantornya sembari mendengarkan satu album penuh milik The 1975, Being Funny in a Foreign Language yang baru saja diliris. Seketika itu, jantungnya jatuh dan perlahan sakit itu merambat menggerogoti seluruh tubuhnya.

“I saw it. The way they were clapping because you kissed her.” Suara Wonwoo mendadak parau. “What did you do?” Mingyu kissed her more. “You kissed her more..”

Wonwoo tidak bisa mengharapkan penjelasan apa-apa dari laki-laki yang terus tertunduk dihadapannya. Wonwoo yakin tidak ada alasan yang akan ia jelaskan karena semuanya masuk akal bahwa apa yang ia lakukan memang benar adanya.

“I was drunk—”

“YOU. DROVE. A. CAR. Mingyu. Dia sampe dirumah dengan aman and so did you. You were drunk you said?!”

Checkmate.

“You still love her, do you?” Mingyu menghela nafas, bersamaan mulutnya yang berdecak dan posisinya yang kini berubah. “You wish you’d put up more of a fight, you wish you could still touch her.” Kini Mingyu mengacak rambutnya frustasi. Ia bangkit. Melangkah dan meninggalkan jarak barang satu senti didepan wajah Wonwoo. Cahaya matanya sarat makna. Wonwoo tidak mampu mengartikannya apa. Marah, sedih, kecewa. Serta alisnya yang ikut jatuh.

“I do love you and I can’t deny, Wonwoo. But having her as my past..” Mingyu tarik nafasnya pelan. “Gak bisa bikin aku nutup mata soal segalanya yang udah aku laluin sama dia—“

“—am I a joke to you, Mingyu?”

“Who said you are a joke to me?”

“YOU KISSED HER!”

“AND I CAN KISS YOU RIGHT AWAY!”

“SINTING!”

Bantingan pintu yang mampu menggetarkan seluruh kamar Mingyu kala itu membuatnya tersadar, bahwa ia belum sepenuhnya selesai dengan masa lalunya. Bahwa ia tidak seharusnya memulai dan kini membawanya menuju pada kehancuran. Mingyu kehilangan masa lalu bersamaan dengan masa depannya.

Mingyu brengsek. Dan ia dalam keadaan sepenuhnya sadar setuju akan hal itu.

-

(“How about, started it all over again?”

“No.”

“We kissed, Ivy.”

“So what, Gyu? I can kiss a stranger right now and didn't change a thing. Aku bisa cium selingkuhanku beratus-ratus kali tanpa perasaan. What did you expect?”

“You played well.”

“No. You played well, Mingyu. Poor Wonwoo.“)

It's just a question.

Pagi di enam April, Seungkwan membantuku mencuci piring kotor setelah sarapan dan obrolan ringan yang kami cipta. Sembari membasuh piring, ia bercerita banyak. Terutama soal ia yang selalu tidak punya waktu, bahkan libur semester tidak mengizinkan dirinya memijak tanah kelahirannya.

Selama 3 tahun belakangan, ia selalu menyisihkan waktu yang ia punya untuk bersinggah. Untuk sekedar menghabiskan kue yang bibi Tiana buat, serta aduan-aduan kecil yang ia lontarkan. Seungkwan sudah seperti keluargaku disini. Bahkan kami punya foto keluarga yang di tempel di dinding sewaktu perayaan natal.

Bibi Tiana sendiri sedari dulu ingin punya seorang anak laki-laki, atau perempuan. Namun, semesta berkehendak lain. Penyakit yang dideritanya mengharuskan ia untuk mengangkat rahimnya. Untuk itu, ia adalah yang paling membuka tangan paling lebar untuk menerimaku ketika aku kehilangan Ibu.

Masih di depan bak cucian piring, kekehan kami mengudara memenuhi dapur. Sendok yang tidak sengaja jatuh ke lantai pun jadi alasan tawa kami yang terus menerus terbahak.

Seungkwan kemudian berdeham kecil, mulai berbicara. “Hari ini kamu jadi mau nemuin cowo yang dari Malibu itu, kan?”

Tanpa sadar, tanpa melihat Seungkwan, senyum mengembang di wajahku. Hari ini, hari ulang tahunnya.

“Iya..” Cicitku. Seungkwan kemudian mengangguk.

“Satu tahun ini, you think he is still into you?” Aku membuang nafas kemudian. Membuang pandang pada dinding kosong dihadapanku.

I don’t know. Ini juga lagi mau di cari tau..” Aku mengeringkan piring terakhir dan langsung meletakannya di rak. Seungkwan ikut mengeringkan tangannya yang basah, kemudian mengistirahatkan tubuhnya dengan bersender kecil membelakangi bak cuci piring.

“Kalau..” Ucapnya tertunduk. “..ternyata hari ini dia gak datang, what will you do next?” Posisiku kemudian sama seperti Seungkwan, membelakangi bak cuci piring dan menatap meja makan yang sudah lebih dulu kami bersihkan.

I don’t know. Maybe it’ll hurt me like hell.” Balasku. “Terakhir ketemu, dia kenalin aku sama temennya. Perempuan, dari Indonesia.” Kenanganku kembali berputar menuju satu tahun yang lalu. Momen yang paling diluar skenario yang aku gambarkan.

Mungkin ketika aku menunggunya di toko es krim dan berspekulasi bahwa dia tidak datang adalah lebih baik, dibandingkan ia yang mengajakku menemui perempuan lain yang ternyata sedang berada dibawah tanggung jawabnya.

Mingyu bilang, ia terjaga semalaman. Aku bilang kemudian didalam hatiku, bahwa ia berusaha memastikan perempuan itu baik-baik saja sepanjang malam. Dirinya kelelahan dan akhirnya tidur di sofa ruangan rumah sakit. Terbangun di sore hari dan mengelilingi seluruh kota hanya untuk menemukanku.

Seharusnya fakta itu membuatku lebih tenang, karena ia berusaha mencari keberadaanku. Meyakini bahwa aku kembali menghirup udara Malibu, hanya untuk janji-janji semu dan prinsip tidak masuk akal yang aku buat sendiri. menyakiti diriku sendiri, tanpa terkecuali, Mingyu. Tapi, ketika menemukan seorang wanita tergeletak di ranjang rumah sakit, menemukan Mingyu yang rela berkendara dari Malibu menuju Los Angeles hanya untuk menjemput orang tua perempuan itu, membuatku merasakan ribuan hujaman di ulu hatiku. Seiring waktu, aku terlalu mahir menyembunyikan pilu.

Aku tersenyum, mengangguk meng-iya-kan. He had no idea, seberapa kalut aku kala itu. Bisa saja, ia jatuh cinta pada detik pertama, kedua, ketiga, keempat, seterusnya.

Setiap orang selalu bertanya, tidak terkecuali Seungkwan. Mengapa prinsip ini aku pegang teguh bahkan sampai 3 tahun lamanya. Padahal, bisa saja aku membuka block-nya, mulai mengirim pesan kepadanya dan berkata, ‘Mingyu, mungkin aku egois sampai-sampai bikin aku dan kamu menderita. I think it’s enough. Maybe the idea of long distance relationship is fun.’

No.

I need to find myself first. I need to define what it calls love.

Bagiku, menyebrangi lautan untuk menemukan dirinya, adalah bagian dari ‘what it calls love.’ Menunggu dengan sabar di toko es krim untuk presensinya, merasakan detak jantung yang tidak karuan, memeluknya lama untuk melunaskan rindu-rindu yang sudah segunung intensitasinya, menyusuri kota bersama kehadirannya.

Tanpa prinsip yang aku bangun, mungkin aku lupa kalimat ‘menghargai’ itu ada.

Waktu, rasa, peluk, hadir, dan kesempatan.

Ketika jiwa kita merasakan kehilangan, maka perasaan untuk ingin menghargai akan muncul secara brutal. Kemudian akan keluar kalimat semacam ini, ‘dilain waktu, ketika kesempatan lain mengizinkan kami kembali bertemu, maka akan aku peluk dia 1 jam lebih lama dibandingkan yang lalu. Akan aku ciptakan obrolan penuh makna untuk membunuh waktu, mungkin dikesempatan lain, perihal jam kuliahku yang tidak karuan, atau penelitianku yang sempat ditolak mentah-mentah oleh dosenku. Atau, bagaimana ketika itu aku menceritakan rinduku dan apa yang aku lakukan supaya mengingat suaramu.’

Kalau prinsip ini tidak ada, mungkin ketika berjumpa, yang akan aku lakukan hanya sekedar menghadiahkan peluk sebagai simbol formalitas. Karena rindu yang dipupuk, sudah lebih dulu dilunaskan sebelum bertemu, mungkin lewat pesan yang ditukar, mungkin lagi lewat panggilan-panggilan di malam hari.

Dan aku, penuh belajar menghargai.

Like i said, Nadit, I support you. I bet he’ll come..” Seungkwan menepuk bahuku.

How can you being this confident.” Aku terbahak. “Aku aja gak percaya diri..”

“Kenapa gitu?” Nafas kecilku terhela ketika pertanyaan itu meluncur bebas dari mulut Seungkwan. “People falling in love in the unexpected way, Kwan. Gak ada jaminan juga kalau dia enggak jatuh cinta sama perempuan itu..”

Come on!” Dirinya kemudian berpindah posisi berdiri dihadapanku. “Percaya sama aku. 2 tahun yang lalu itu bukan waktu yang sebentar. But both of you did it, masa iya satu tahun yang ini gak bisa..”

Aku menyunggingkan senyum. “Kwan.. ini bukan soal waktu, tapi soal rasa..”

-

Brandenburg Gate. Pukul 11 pagi aku sudah siap berada disana. Tanganku dingin, badanku panas. Pipiku rasanya letih karena terus-terusan tersenyum memikirkan apa yang harus aku lakukan ketika bertemu dengannya. Mungkin berlari dan memeluknya, seperti adegan romantis film layar lebar yang didramatisir kemudian ia akan memutar tubuhnya ketika aku sudah sampai di peluknya.

Ugh.. tapi disini dipenuhi orang-orang. Aku tidak mau jadi bahan tontonan.

Aku mengambil duduk di kursi yang sudah disediakan. Menoleh kekanan dan kekiri. Memperhatikan satu wajah dengan wajah lain. Ingatanku cukup baik, apalagi mengingat wajah orang yang aku suka, walaupun tidak jarang sering terlupa soal pelajaran mata kuliah.

2 jam berlalu, tidak ada tanda-tanda dirinya yang aku tangkap dengan manik mataku. Membuatku risau. Sesekali pemikiranku menjadi sebab akibat perih yang tiba-tiba menusuk di ulu hatiku. Namun aku buang jauh-jauh pemikiran itu.

2 jam lainnya. Sudah mulai sore. Gelisah menyelimuti seluruh tubuhku.

Mungkin, aku bisa menunggu lebih lama dibandingkan tahun yang lalu. Karena kenyataannya Mingyu tetap mencariku walaupun terlambat.

2 jam lain. Sudah sepi. Menyisakan aku sendiri terduduk murung diatas kursi panjang ini.

2 jam lain.

Benar, ini memang bukan soal waktu, tapi soal rasa.

Ketika melangkah meninggalkan Brandenburg Gate, aku menangis. Hatiku terus bergumam, “Siapapun itu, aku harap Mingyu bahagia.”

She’s not there. Not in every corner of the ice cream shop.

Nafasku masih terengah. Dengan sisa nafas yang ada, aku mendekati meja kasir dan bertanya. Menjelaskan ciri-cirinya secara spesifik dan akhirnya mendapatkan gelengan.

Atau mungkin, kali ini Nadit tidak datang sama sekali? Tidak memijak disini, tidak memijak di Malibu?

Aku keluar dari toko es krim, menoleh ke kanan dan ke kiri. Barangkali, ada sedikit cercah sosoknya yang ditangkap manik mataku. Aku memicingkan mata, menatap satu per-satu orang yang terus berlalu lalang dibawah sinar matahari yang tidak lagi terik.

Atau mungkin Nadit memang datang, dan aku terlambat?

Kalau begitu, kemana presensinya?

Aku merogoh kantong jaketku yang zippernya tidak dikancing. Buru-buru aku otak-atik benda pipih itu. Namun, terhenti tepat ketika aku membuka halaman obrolan dengan nama kontak Nadit disana. I shouldn’t called her. Or maybe I can’t call her.

Aku berlari kecil kemudian, masih terus memicingkan mata menatap satu per-satu orang-orang yang sibuk dengan agendanya masing-masing. Nafasku terus terpacu, belum sempat mengambil duduk untuk sekedar menarik nafas. Tidak. Kalau Nadit memang memijak di Malibu, maka aku masih punya kesempatan. Aku masih punya waktu.

Seluruh tempat yang pernah aku kunjungi bersama dirinya aku pijaki. Bahkan ke rumah lamanya yang kini sudah ditempati oleh keluarga dengan 3 orang anak. Baru saja aku ketahui ketika aku mengetuk pintu dan bertanya apakah ada seorang gadis yang datang dengan menjelaskan kembali ciri-cirinya.

Gelengan kembali aku terima.

Geoffrey’s, yang kini sudah tidak lagi berdiri dengan nama yang sama, namun tetap menjadi restoran. Dengan keringat yang mulai mengucur, nafas yang terus berhembus, lagi-lagi aku bertanya dan terus saja mendapatkan gelengan.

Helaan nafas berat terakhir serta bulir-bulir keringat dipelipisku. Mungkin, Nadit memang tidak memijakkan kaki di Malibu.

Karena terburu-buru, aku meninggalkan mobil dan memilih berlari menyusuri jalanan kota. Padahal jarak dari satu tempat ke tempat lainnya lumayan menguras tenaga.

Kini, tidak lagi aku buang energiku. Tanganku masuk kedalam kantong jaket yang zippernya aku kancing setengah bagian. Langkahku pelan menyusuri trotoar menuju rumah. Mungkin setelahnya, ada agenda lain yang harus aku selesaikan.

Aku terhenti di satu titik dimana pemandangan pantai menjadi distraksi. Pandanganku mengawang, terus menerus menatap datang dan perginya air. Sesekali ikut tersenyum melihat anak kecil yang bermain bersama anjing peliharaannya, teringat Mickey yang kini sudah tidak lagi ada dirumah. (that was a long story). Atau lagi es krim yang mulai meleleh ditangan seorang anak kecil perempuan.

Atau lagi punggung yang familiar.

Langkahku sedikit berlari mendekati. “Nadit?”

Tepukan pundak membuat dirinya menoleh. Namun seribu sayang, aku harus kembali mengemban kecewa. “Sorry. I thought you were..” Aku berdeham. “..my lover.”

It’s okay.” Ia tersenyum lebar.

Kini langkah kakiku memijak di pasir pantai, menunduk dengan kecewa yang terus memupuk dan terus membuang nafas berat. Sampai ketika suara kikikan yang sangat aku kenal mengetuk gendang rungu.

Aku mendongak, mencari asal sumber suara. Sampai ketika aku temukan seorang gadis yang sibuk menyipratkan air kepada temannya.

Vernon.

Damn! Vernon!” Suara itu. Intonasi suara kesal yang sangat familiar.

Langkahku mendekat, dan Vernon yang pertama kali menyadari presensiku. Sedangkan Nadit, berdiri membelakangi, lurus menghadap Vernon.

“Kim?” Sapanya yang terkejut dan mendadak berhenti melanjutkan agenda menyenangkan itu bersama Nadit. Dan ia, si gadis yang aku cari presensinya sekoyong-koyongnya membelalak, terkejut bukan main. Dapat aku lihat dengan jelas matanya yang bergetar, alisnya berkerut dan jatuh. Ia kemudian berlari kencang dan menabrak tubuhku. Lengannya ia kalungkan di leherku dan ia.. menangis.

I thought..” Isaknya. “I thought.. it was over..” Mendengar suaranya yang terisak dan dibekap peluk, pilu tiba-tiba menggerogoti seluruh tubuhku. Apalagi kalau harus mengingat satu tahun belakang. Pemikiran yang penuh asumsi mencekam, malam yang panjang menerka, serta rindu yang tidak kenal ampun terus-terusan menyesakkan dada.

How can I, Na?” Aku istirahatkan pipiku di puncak kepalanya. Mengelus punggungnya, sesekali memberikan tepuk. Agar si dia menemukan tenang.

Tahun kedua, aku temukan ia kembali memijak di pasir pantai di kota ini.

Hey..” Vernon menekuk senyum, mendekat.

“Vernon..” Ucapku. Setelah melepas peluk Nadit, aku gapai tangannya, memberikan jabat seperti teman lama yang sudah tidak berjumpa sekian periode, kemudian memberikan peluk lain. “I miss you, man..” Kataku. Dirinya malah terkikik geli.

Me too..”

“Kalian kenapa disini?” Tanyaku. Masih membersihkan sisa air mata dipelupuk matanya, Nadit pelan bersuara.

I had waited for you since morning..” Lirihnya. Dan ini sudah sore menjelang malam.

And she called me.” Sambung Vernon. Lalu semua terlihat jelas.

Aku kemudian tersadar, karena sejujurnya, aku belum tertidur sepanjang malam dan malah ketiduran pagi harinya. Membuatku terlupa kalau hari ini, akan ada yang datang dan mungkin melepas rindu yang telah dipupuk terlalu lama. Bahwa hari ini, akan ada Nadit.

I’m so sorry..” Ucapku. Nadit kemudian menggeleng, mendekatkan diri menujuku.

It’s okay. You're already 31, so your memory's capacity might be—

Hey?!” Aku mencela kalimat Vernon. Yang benar saja! Bisa-bisanya dia membawa-bawa umur dalam obrolan ini. Nadit terbahak di ikuti Vernon yang kemudian menepuk bahuku.

“Kamu darimana? Kenapa mau ketemu Nadit dandanannya kaya gini?” Aku menunduk. Menatap jeansku serta kaos oblong yang bahkan ada bercak noda saus mustard disana. Serta jacket zipper hitam yang jadi luaran. Memang, cukup memprihatinkan.

Kemudian aku ragu-ragu. Aku tatap dalam manik mata hijau keabuan milik gadis ini yang aku rindu. Ada perasaan senang karena ternyata pada satuan tahun yang lain, masih ada aku dan ia yang saling berharap. Namun, di lain sisi hatiku, aku menyimpan beribu-ribu kali rasa bersalah.

“Na..” Gumamku.

Yes?”

“Aku ajak ketemu temenku, mau?”

Dan mungkin, ini adalah keputusan yang paling aku sesali.

-

Di ruang dingin rumah sakit, Anindita tergolek lemas akibat seafood yang sempat ia makan malam kemarin sebelum aku antarkan kembali ke hotelnya. Dokter bilang, oyster mentah yang sempat di makannya mengandung bakteri yang akhirnya membuatnya berakhir di rumah sakit.

Tahun ini, aku rayakan ulang tahunku bersama Nadit di dinginnya sudut rumah sakit. Yang akhirnya aku tau, bahwa ini hanya akan berakhir menyakiti. Aku tidak mungkin meninggalkan Anin sendirian sedangkan ia sedang sakit, dan aku tidak mungkin meninggalkan Nadit yang sudah terbang jauh dari Jerman hanya untuk menemuiku.

“Mingyu..” Anin meletakkan buku bacaannya ketika menemukanku, Nadit serta Vernon yang muncul di ambang pintu. Aku menolak keras menatap wajah Nadit. Aku membuang nafas dan memasang senyum lebar. Melangkah mendekat dan bersuara.

“Nadit, meet my friend, Anin..” Ketika tatapku menemukan tatapnya, Nadit bingung. Dapat aku lihat dengan jelas dari raut wajahnya. Berdetik yang lain, ia tersenyum lebar. Melangkah mendekati sosok Anin dan menawarkan jabat tangan.

Nice to meet you, Anin.. Nadit.” Katanya. Dengan tangan yang dibalut selang infus, senyum yang bergetar, Anin menjabat tangannya. Selanjutnya Vernon, yang melakukan hal sama seperti apa yang Nadit lakukan bermenit yang lalu.

Kemudian kami duduk dalam diam di sofa ruangan. Aku tau, ini bukan apa yang Nadit harapkan.

“Jadi..” Suaranya memenuhi ruangan. “Kamu telat tadi karena jagain Anin ya, Gyu?” Kemudian aku mengangguk pelan takut-takut, tidak mampu mengeluarkan satu dua patah kata pada awalnya.

Sorry..” Cicitku kecil. Nadit malah terbahak.

No apologized necessary.” Ia mengibaskan tangannya di depan wajah. Menganggap itu bukan hal yang patut dipermasalahkan. Tapi aku tau, Nadit mengharapkan banyak hal lebih hari ini.

“Mingyu..” Aku menoleh, ketika suara Anin menyambangi pendengarankan. Tidak terkecuali Nadit dan Vernon. “Ayah sama Ibu.. udah di Bandara..”

Tidak ada hati orang tua yang tenang setelah mengetahui anaknya tumbang di negeri orang. Begitu kemudian orang tua Anin terbang dari Indonesia untuk menemui putrinya. Pandangku kemudian beralih kepada dua orang dihadapanku. Mereka menerka, karena berdetik yang lalu, mereka tidaklah paham bahasa yang dilontarkan Anin.

“Orang tua Anin baru nyampe di Bandara, tapi di LA. Aku..” Aku menggantungkan kalimatku agak lama. “..boleh jemput dulu?”

Sure..” Dengan senyum sumringah palsu di bibir Nadit, ia mengangguk. “Aku sama Vernon biar stay disini buat jagain Anin..”

Aku ingin marah. Aku ingin marah kepada diriku sendiri menatap bola mata yang berkaca-kaca disana.

“Mingyu.. Ayah sama Ibu bisa naik taksi aja. Kamu—”

I’ll comeback ya, Na.”

Berat mengalihkan pandang, pada akhirnya aku melangkah meninggalkan ruangan dengan pedih yang tidak kalah sakit. Namun, tidak ada yang meminta untuk berada di posisi ini. Tidak aku, tidak Anin, tidak juga Nadit. Ini, jelas permainan dunia yang selalu tidak kenal ampun mengerjaiku.

-

Pukul 10 malam. Setelah meninggalkan Anin dengan orang tuanya. Aku ajak Nadit pergi untuk menghabiskan sisa 24 jam terakhir di hari ini. Nadit banyak diamnya. Di malam hari dimana yang tersisa hanya sepi, aku hanya mampu membawanya ke pinggir pantai di sore hari kami bertemu tadi.

Ia membiarkan kakinya dipukul air laut. Sesekali menenggelamkan jemari kakinya didalam pasir. Rambutnya yang tidak lagi berponi acap kali menutup seluruh wajahnya akibat sapuan angin, membuatnya terus menerus menyematkan rambut dibelakang telinganya.

Tiba-tiba kenangan itu berjalan seperti gulungan film di dalam mataku. Serta Lord Huron, The Night We Met.

She is kind, Gyu.. And.. pretty..” Gumamnya. Memecah senyap yang tadi sempat tercipta. “Aku sempet ngobrol banyak tadi sama dia dan dia juga cerita gimana bisa kenal sama kamu..”

“Kamu juga cerita gimana kamu bisa kenal sama aku?” Aku tersenyum. Mungkin, asumsi yang aku utarakan sore tadi tidaklah benar adanya. Tapi, dirinya malah menggeleng, membuat senyumku serta merta hilang. “Why?”

“Aku..” Menolak menatapku, ia memilih menatap jauh ke laut lepas sana. “..aku banyak jeleknya sewaktu kenal sama kamu.” Sontak, pernyataan itu membuatku mengerutkan alis.

“Maksud kamu apa?”

“Anin ketemu kamu dalam keadaan stabil, bukan lagi mau bunuh diri. Anin perempuan ber-value sedangkan aku ya.. yaa gini, Gyu. Aku punya kebiasaan jelek, merokok and.. look at my eyes. Aku sekarang punya mata panda..” Jelasnya. “Tapi.. Anin.. She is clean. Dia juga udah ada di posisi cukup untuk mempertanggung-jawabkan dirinya sendiri. dia punya karir dan..” Suaranya mendadak padam. “..dan.. dia punya Ayah sama Ibu.”

Nafasku aku tarik dalam dan aku buang pelan. “Na..” Lirihku.

“Kamu suka dia gak?” Ketika dirinya mendongak menemukan mataku, dapat aku lihat pantulan diriku serta getaran mata yang tidak bisa berbohong. Ia menahan tangis.

“Hey?” Aku tarik lagi ia supaya lebih dekat.

“Umur kita jauh, Mingyu. Tapi kalau sama dia—”

“—Dia bukan kamu..” Nadit bungkam. “Kalau memang kamu banyak kurangnya, terus kenapa? When you have flaws, Nadit. It doesn’t mean that you aren’t good. Setiap orang gak ada yang sempurna.” Ucapku. Kini, membersihkan sisa air mata di kedua pipinya. “The imperfect in you, changed my whole life. Changed the way I see things and changed the way I define some sadness that swallowed my soul. Remember, Irises karyanya Van Gogh? You are Irises to me, Na. Kamu yang jaga aku untuk gak menjadi gila ditengah kehilangan yang selalu tumpang tindih dikepalaku. It is you, bukan buruk jelek yang membangun kamu. It is you. And I’m glad it is you and because it is you.”

Ia terseguk, menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku. Aku merasa bersalah. Lagi dan lagi. Harusnya aku dan ia merayakan 24 jam hari ini dengan suka kita, bukan berakhir menghabiskan air mata.

And I love her so much. So much it hurts. It feels like I want to hold her tight and I want her to being a part of me, so I don’t have to dealing with the distance that almost kill me.

“Selamat ulang tahun, Mingyu. I do love you.” And I feel relieved. We still here, gathering the pieces of feeling we hold. “Masih ada dua tahun lagi, kita bisa gak, ya?” Lirihnya, melepas peluk dan mengundang tatap.

“Kita udah disini. Jalan kita udah setengah. Jadi harus bisa.” Aku pinggirkan helai rambut yang menutupi wajahnya. “We do believe at each other, kan?”

We do..” Aku sunggingkan senyum dan dalam tenggelam menatap manik matanya.

“Di jerman, tempat favorit kamu apa?” Pertanyaan yang aku sampaikan membuatnya berfikir sejenak. Tidak, agak lama.

Brandenburg Gate?”

Next April, I’ll meet you at Brandenburg Gate, ya? I’ll see you there. And we’ll spend our 24 hours. Just you and me, Nadit. Okay?”

Okay..”

Okay. Perhaps 'okay' will be our 'always'

Rasanya aku seperti baru keluar dari penjara setelah bertahun lamanya. Nafasku berseru bebas dan aku merindukan hangatnya sinar matahari ini. Suasana ini dan berisiknya pantai serta kikikan anak kecil yang sedang bermain voli.

Matahari tepat dipuncak kepalaku, dan aku terduduk di depan stan eskrim dipinggir pantai. Kini sudah tidak lagi menjual es krim tetapi menjadi tempat sewa ban renang untuk para pengunjung. Namun batu sebagai penanda pertama kali aku bertemu dengan sosok anak manusia itu masih ada disana. Masih berdiri kokoh meski selalu dihantam air pantai.

Aku tidak menyangka bahwa pada akhirnya, aku kembali memijak disini.

Dari pantai, aku kemudian melangkah di trotoar jalan. Menikmati bagaimana kota yang jadi tempat aku tumbuh ini berubah dibeberapa sudut. Jalanan yang semakin ramai dan beberapa pohon penghias trotoar jalan yang sudah tidak lagi disana.

Entah ada berapa banyak kenangan yang sudah tercipta di kota ini.

Sebelum ketempat tujuan, aku mengunjungi orang tua Vernon. Mereka sehat. Namun keluh mereka selalu bertitik pada rumah yang katanya terlalu kosong, Vernon jauh. Aku mengerti, bagaimana dulu aku ketika harus meninggalkan kota dan sahabatku yang satu itu membuatku paham betapa kosongnya masa-masa itu.

Setelah pamit, aku akhirnya memijak di toko es krim itu. Le Cafe de La Plage Malibu. Suara bell yang menggema ketika aku mendorong pintu, sekat kaca yang mampu membuatku terpaku menatap lama dan memilih es krim apa yang harus aku jadikan pilihan pada hari itu, atau hari-hari yang lalu ketika bermain bersama teman-temanku. Harum masa lalu ini, membuatku ingin meringkuk dan menangis.

Di trotoar sudah tidak ada lagi bangku yang dulu sempat aku duduki bersama sosoknya, pada akhirnya aku memilih tempat didalam, di pinggir dan sudut, dimana masih mampu aku tatap para pejalan kaki, kendaraan yang lewat serta toko-toko lain dari sini.

Dengan satu cup es krim Strawberry, takut takut aku sendok dan aku kunyah. Tanganku dingin dan bergetar hebat. Pukul 10 menuju 11 siang, aku menunggu.

Setiap suara bell memecah konsentrasi dan memenuhi ruangan, jantungku berdetak tidak lagi karuan. Kemudian ketika aku temukan itu bukan sosoknya, aku menekuk bibir dan hanya mampu tertunduk kecewa.

Masihkah aku?

Bell yang lain.

Bukan dia.

Bell lain mengerang.

Lagi-lagi bukan dirinya.

Aku membuang nafas, kali ini berpasrah. Sudah hampir satu jam aku menunggu namun batang hidung itu belum aku jumpai. Ketika aku mulai berberes, memasukan beberapa hal kedalam sling bagku, aku tersentak.

“Na..”

Air mataku mendadak memupuk ketika mendongak. Menemukan tatap yang sudah hilang beratus-ratus hari lamanya.

Can I hug you?” Lirihnya. Belum ada jawaban dari aku, berdetik kemudian rengkuhnya menemukan tubuhku.

-

Aku punya 24 jam, sebelum terbang kembali ke Jerman. Maka aku dan Mingyu putuskan untuk melakukan apa saja. Mingyu bilang, ia bahkan ambil cuti satu hari dari kantornya, membuatku terbahak tidak percaya.

Di trotoar jalanan, dibawah bayang dedaunan, ia tarik jemariku untuk bertemu miliknya. aku tertawa kecil, kemudian mengembang senyum sampai tulang pipiku letih.

“Jadi..” Ia mulai bersuara, sembari mengayunkan tangan kami perlahan. “.. kita harus ngapain hari ini?”

“Hm..” Aku menaikan alisku sebelah, memutar bola mata dan berfikir. “Hanging out in your house, how?”

Mingyu mengkerutkan alisnya. “Jauh-jauh dari Jerman cuma mau main dirumahku?”

“Ya memangnya kenapa?”

“Yakin? Emangnya kamu balik ke Malibu lagi kapan?”

Next April..” Cicitku. Mingyu kemudian menghentikan langkahnya, membuatku ikut terhenti karna tanganku yang masih dalam genggamannya.

“Memangnya.. kalau aku aja yang samperin kamu ke Jerman, gak boleh? Gak harus April. Gimana kalau Juli ini?” Aku tertawa. Kemudian menarik pelan tanganku supaya ia ikut tertarik dan melangkah pelan.

Next April, aku ke Malibu lagi..” Jelasku. Ia menekuk bibirnya.

Next April memangnya ada urusan apa lagi?”

“Hm..” Aku kembali mengawang ke langit di sela langkahku yang berselaras dengan langkahnya. “Ketemu kamu..”

“Kalau gitu mending aku yang ke Jerman..”

“Yaudah kapan-kapan..”

“Juli ini..”

No-no.. April..”

“Hih..” Aku tertawa hebat sampai membuang kepalaku kebelakang melihat ekspresi di wajahnya.

Sesampainya di rumah Mingyu, aku temukan satu botol sirup caramel di dapurnya, serta berkotak-kotak tepung waffle instant yang sampai sekarang masih jadi makanan setianya.

“Kok ada sirup caramel?” Aku angkat ke udara botol tadi membuat Mingyu menoleh dari ruang keluarga bersekat kaca yang selalu jadi spot favoritnya.

“Oh.. itu..” Ia tersenyum. “Jaga-jaga kalau kamu tiba-tiba main ke rumah..”

Aku yakin, semburat merah itu muncul bak api yang sedang melahap rumah kayu. Aku letakan sirup caramel tadi pada tempatnya dan beralih pada foto polaroid yang ia tempel di kulkasnya.

“Masih ada..” Kataku lagi. Menunjuk foto kami sewaktu merayakan ulang tahun Vernon disini. Mingyu kemudian melangkah menuju dapur, penasaran soal apa yang jadi subjek pembicaraanku.

“Ya masih..” Jelasnya. Ia menggulung lengan bajunya seperempat bagian, kemudian mencuci tangannya di sink cucian piring.

“Mau ngapain?”

“Masak..” Ia mengerlingkan satu matanya kemudian mulai membuka kulkas, membuatku melangkah agak menjauh. “Kamu mau makan apa?”

“Apa aja..” Jelasku. Meninggalkan dirinya yang sibuk berkutat dengan bahan makanan di kulkas serta gemerisik plastic yang memenuhi gendang rungu. Aku duduk di sofa dengan sekat kaca yang memperlihatkan air pantai yang terus menerus datang dan pergi.

“Kamu belum pernah makan masakanku, ya?”

“Belum..” Balasku. “Kan kamu dinnernya sama temen kantor yang kamu certain waktu itu..” Kemudian suara gemerisik tadi tiba-tiba hilang. Dari dapur, dapat aku lihat ia yang menatapku mematung.

“Itu udah satu tahun yang lalu tapi tetep bisa kamu ungkit.” Aku tertawa.

“Soalnya itu yang langsung popping di kepalaku.”

Beribu-ribu bincang tertukar, beribu-ribu tawa memenuhi seluruh penjuru rumah. Suara sendok yang beradu dengan piring, gelas yang sempat tumpah membuat genangan air di lantai. Agenda ini jadi lebih seru dibandingkan harus menghabiskannya di pusat kota sana.

Siang menjelma menjadi sore, menampakan semburat jingga-oranye di langit sana. Perlahan, matahari mulai bersembunyi dan tenggelam di ufuk barat. Menyisakan dinginnya air laut lepas serta deburan ombak yang tidak pernah terhenti gempurannya.

Malam semakin larut, aku harus mengejar penerbangan besok pagi dari LA ke Jerman. Rasanya, aku mau habiskan waktu lebih banyak disini. Di pinggir pantai, aku istirahatkan kepalaku di pundaknya. Mengulang adegan yang sama seperti satu tahun yang sudah lewat.

Aku tidak mau pulang, itu yang terus berkali-kali aku gumamkan di dalam hati. Aku mau disini. Aku mau Mingyu.

Kulitnya yang hangat terus mengelus kulitku. Semuanya mendadak jadi tenang, aman, dan tentram.

“Kita.. boleh mulai sekarang aja gak, Na?” Janjiku berhenti di umur 23 tahun. Satu tahun telah terlewati dan masih ada 3 tahun lainnya untuk aku hadapi. Bukannya perkara gampang. Tanpa komunikasi, tanpa panggilan-panggilan malam pengisi hari.

Beberapa orang yang sudah terikat dan menghabiskan waktu dengan bertukar kabar saja masih bisa bertemu titik kandas. Apalagi aku yang tidak terikat apapun, tanpa komunikasi apapun. Hanya mengandalkan jalan mainnya takdir.

Aku tidak bohong. Ketika pernyataan itu terlontak dari mulut Mingyu, jantungku rasanya diremas tanpa ampun. Ada nyeri yang menusuk dan akhirnya air mataku memupuk.

Aku mau. Tapi, itu sama saja mengingkari janjiku untuk Ibu. Walaupun bukan jadi satu paksaan.

Aku istirahatkan daguku di bahunya, menatap lekuk wajahnya sampai ketika tatap kami bertemu. “Hari ini aku belum bilang selamat ulang tahun in a properly way, yes?”

Mingyu malah tertawa kecil membuang pandangnya dariku dan beralih pada jemari kami yang masih bertaut. “Is it important right now?”

Of course..” Aku perbaiki posisiku, bersiap mengeluarkan amunisi kata untuk dia dan hari lahirnya. Namun, air wajahnya berubah tidak bersemangat.

I don’t want it to be me, Na. aku gak mau ini jadi soal aku. Semuanya. Aku juga mau, pergi ke Jerman di hari ulang tahun kamu..”

Aku tekuk bibirku, aku genggam lebih kuat lagi jemari-jemarinya. “Aku gak bawa hadiah yang mungkin pricey kaya apa yang dulu sempet kamu hadiahin buat aku, Mingyu. But..” I give him a kiss. Di satu pipinya. “Happiest Birthday, aku mau kamu selalu ngerasain segala bentuk bahagia, Mingyu..” Cicitku, bersamaan dengan deru ombak yang terus datang dan pergi memenuhi kalimatku.

Telapak tangannya kemudian berpindah dan memenuhi hampir seluruh pipiku. Senyumnya lembut. Berdetik setelahnya ada bibir yang beradu dengan bibirku.

Ciuman hangat yang singkat ditengah dinginnya angin laut lepas.

“Kita boleh mulai sekarang?” Aku tersenyum kecil. pertanyaan yang sama ia cetuskan kembali. Aku pindahkan tangannya dari pipiku. Kali ini, menyembunyikan wajah dan menolak menatap irisnya. Aku menggeleng kecil.

“23 tahun, Mingyu..”

Ia diam. Kini giliran Mingyu yang menolak menatapku. “Sorry.. for being selfish..”

No..” Aku angkat dagunya. “Harusnya aku yang minta maaf..” Ia rengkuh aku kemudian. Hangat nafasnya mampu aku rasakan di ceruk leherku. I miss him to death. So damn much it hurts.

Perlahan aku mulai menangis dalam diam. Menyembunyikan seguk dan hanya mampu mengistirahatkan dagu di bahunya. Umurku 20 tahun, sedangkan Mingyu sudah menginjak 30 hari ini. Bukan ia yang egois, tapi aku yang menempatkan posisi untuk mau di pahami keadaannya. Dan untuk itu, harusnya aku hadiahkan beribu-ribu kali maaf.

“Mingyu, if in any cases you’ve already find someone, you don’t have to come next year..” Lirihku. “You know the rules, right?”

Yes..” Dan itu membuatku seperti dihujam belati tepat di ulu hatiku.

Anindita.

Ada notifikasi di ponsel Mingyu siang tadi walaupun aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bahas. Namanya, Anindita.

Mungkin, apa yang Vernon katakan soal Mingyu kala itu, bukan sekedar asumsi belaka. Tiap-tiap orang, biasanya selalu menemukan dirinya jatuh cinta di saat paling tidak masuk akal. Mungkin, cepat atau lambat, Mingyu akan temukan dirinya berada di titik itu.

Dan aku, akan belajar merelakan. Mengikhlaskan.

Biasanya ia akan mencium kedua mataku yang masih tertutup.

Suara kecupan. Suara kecupan.

Satu. Dua.

Kemudian menuju keningku.

Suara kecupan.

Tiga.

Kemudian puncak hidungku.

Suara kecupan.

Empat.

Kemudian kedua pipiku.

Suara kecupan. Suara kecupan.

Lima. Enam.

Daguku.

Suara kecupam.

Tujuh.

Dan berakhir di bibirku.

Suara kecupan.

Delapan.

Kemudian akan ada suara ringsutan diatas kasur, suara langkah meninggalkan kamar dan decit pintu.

Namun ketika aku membuka mataku, mencari-cari sumber kasih sayang dan sosok yang selalu menghantarkannya, ia hilang. Ia tidak ada dimana-mana.

Seminggu pertama semenjak kematian istriku, aku selalu dihantui oleh berbagai macam hal yang berkecamuk di dalam kepala, apapun itu bentuknya.

Membuatku terjaga sepanjang malam dan tidak mau menyentuh setiap sudut rumah, atau terkadang takut duduk di kamar. Bayangannya ada disana. Bayangan bagaimana ia yang selalu mencintaiku tanpa jeda, tanpa henti.

Tempat ini terlalu sunyi, begitu batinku.

Ketika itu aku memutuskan untuk meninggalkan semua dan pergi jauh. Sejauh apapun yang aku mampu.

Malibu memang bukan tempat dimana orang-orang menjadikannya tempat beradu nasib, bukan juga tempat dimana prospek masa depan sudah terlihat jelas didepan mata, bukan seperti New York, atau Paris. Bukan kota besar, bukan juga yang ramai.

Namun suara air dan pantai disini adalah yang mampu memekakkan telingaku. Suara deru orang-orang sebagai bumbu pelengkap dan aku merasa utuh ketika menemukan empat anak SMA dengan segala tingkahnya. Aku akhirnya dikelilingi sesuatu yang jauh dari kata sunyi.

Tawa mereka, ketika mereka beradu pendapat, ketika mereka tidak sengaja menyenggol suatu barang dan akhirnya jatuh pecah berantakan. Ketika ada yang tidak sengaja menjatuhkan peralatan masak ke lantai, ketika mereka tidak tau bagaimana caranya menyalakan kompor, atau tepung adonan waffle yang terlampau kental dan akhirnya saling menyalahkan. Berisik, dan aku merasa baik-baik saja.

Sekarang, Malibu hanya meyisakan suara debur ombak tanpa henti. Sepi dan sunyi.

Mereka, sumber suara yang selalu jadi pengisi hari-hariku, kini pergi masing-masing menuju cita-citanya.

Tidak terkecuali satu orang yang mengacaukan isi kepalaku saban hari semenjak pertemuan pertama di pinggir pantai malam itu. Atau jumpa yang lain atas tragedi Mickey, atau jumpa lain yang terus timbul, timbul dan timbul, seakan-akan semesta memang melancarkan temuku bersamanya.

Nadeeta.

Si gadis dengan bola mata hijau keabuan dengan senyum tipis yang selalu ia sunggingkan.

Ia pergi.

Sebenarnya, tanpa kejadian duka atas meninggalnya Ibunda Nadit, mungkin ia memang harus pergi. Mengejar cita-citanya yang ia dambakan, berlari menggapai bintang.

5 tahun dari hari ini, apakah perasaan yang dimiliki oleh gadis itu, pun perasaanku masih tetap sama dan jatuh pada orang yang sama? Mungkin disana Nadit akan bertemu banyak lelaki yang jauh lebih baik di bandingkan diriku. Mungkin yang berstatus masih lajang dan tidak memiliki jarak umur yang terlalu jauh seperti apa yang terjadi antara aku dan Nadit. Iyakan?

Dan aku, apa mungkin tidak ada wanita yang membuatku jatuh untuk skala waktu 5 tahun kedepan? Apa mungkin tanpa kabar, tukar pesan, bahkan sekedar melihat kegiatannya di sosial media, perasaanku tetap tumbuh subur untuk sosok gadis yang sedang berada ratusan mil jauhnya itu?

Pagi ini, Nadit sedang apa di sana?

-

Aku memeluk Mama, sudah hampir 1 tahun tidak berjumpa semenjak kepindahanku ke Malibu. Hari ini, akhirnya Mama mendarat di bandara Los Angeles, California. Aku bawa kemudian menuju Malibu dengan jarak tempuh 1 jam dari sana.

“Tenang ya, Nak, disini..” Aku tersenyum. Mama belum pernah menginjak negara luar kecuali Malaysia, itupun sudah lama untuk menemani Papa berobat sebelum meninggal dunia.

“Mama mau stay di LA dulu?” Tanyaku tanpa mengalihkan pandang dari jalanan.

“Gak usah, langsung kerumah aja.”

“Yakin, Ma?”

“Yakin, Nak.”

Begitu sampai, aku katakan untuk langsung masuk ke dalam. Biar aku yang urus koper dan beberapa tas Mama. Weekend kemarin, orang yang biasa datang bebersih rumah sudah merapikan satu kamar yang memang dibiarkan kosong. Untuk Mama datang, atau seperti kemarin ketika Minghao dan Seokmin mengunjungi rumah.

Sprei yang sudah di pasang, ada tanaman segar yang sempat aku beli untuk di pajang agar tampak segar. Pengharum ruangan dan lemari pakaian yang telah dibersihkan. Semua sudah siap, Mama hanya tinggal merebahkan tubuhnya untuk beristirahat.

“Bersih rumah kamu..” Kata Mama, menepuk-nepuk sofa yang memang tiap minggu dibersihkan.

“Iya, Ma. Memang ada yang bersihin rumah. Biasanya datang tiap weekend aja, cuma ini karna Mama main kesini aku suruh datang setiap hari, biar Mama gak perlu cape—”

“Heh! Batalin aja.”

“Loh?”

“Engga papa, Nak. Apasih kerjaan dirumah kamu? Kan bisa Mama kerjain pelan-pelan..” Aku tersenyum kecil.

“Rumah segede ini mau Mama yang sapu?” Candaku. “Lagian udah aku bayar, Ma. Untuk sebulan ini. Nanti kalau Mama masih mau stay disini, gak papa, aku tambahin bayarannya.”

“Boleh Mama stay disini sampe bulan depan?” Aku terbahak kuat.

“Mama apaan, sih? Ya boleh!” Kataku. Kini menggeret kopernya masuk ke dalam kamar. Mama ikut menyusul berjalan di belakangku. Ia letakkan tasnya di atas nakas yang sejak tadi bertengger manis di bahunya, kemudian berjalan dan duduk di ujung kasur. Ia tepuk-tepuk kecil, sambil mengawang menatap seluruh kamar dan mengawang keluar jendela.

“Setiap hari berarti kamu dengerin suara ombak, Mingyu?” Aku mengangguk. Ikut duduk disebelah Mama. Menarik tangannya menuju tanganku dan aku elus pelan.

“Berisik kan, Ma?” Aku tertawa kecil.

Kini Mama mulai menggapai wajahku. Senyumnya mulai muncul dan sejujurnya aku benci situasi ini. Pasti ia akan menanyakan bagaimana kabarku, bagaimana perasaanku dan bagaimana hari-hariku berlalu, setelah kematian istriku.

“Nak..”

“Iya.. Ma?”

Matanya mulai berkaca-kaca. Ia mengusap lembut pipiku.

“Mama mau ngomong..”

Alisku berkerut, jantungku rasanya hampir jatuh. Apa?

“Tapi Mama istirahat dulu, ya?”

Aku tekuk senyumku kemudian mengangguk pelan. Berjalan keluar dan menutup kamarnya rapat.

Sore menuju malam hari, Mama berdiri dibalik sekat kaca rumah menatap air laut yang terus datang dan pergi. Matahari mulai tergelincir dan langit warnanya perlahan tidak lagi biru. Aku buatkan segelas teh hangat dan duduk di sofa.

Mama menoleh kemudian ikut mengambil tempat, jauh didepanku.

“Pantes kamu betah ya, gak mau pulang ke Jakarta. Cantik disini..” Tanpa mengalihkan pandang dari luar sana, suara Mama menderu.

“Gak gitu, Mah..”

“Jadi kenapa? Betah disini ada yang bikin nyaman?” Beliau terkikik kecil, kemudian mulai mengangkat gelas dan menyeruputnya pelan.

Iya. Di Jakarta enggak ada Nadit. Disini, ada Nadit.

Tapi sekarang tidak lagi.

Aku menatap kosong entah kemana, menekuk senyum mengingat bagaimana kenangan-kenangan itu mulai bermain di dalam kepalaku seperti roll film.

Pertama kali bertemu di pinggir pantai, tragedi Mickey yang kemudian membuka jalan untukku bertemu teman-teman yang umurnya jauh ada dibawahku. Jadi orang tua dadakan karena Vernon secara sembrono berani-beraninya membawa teman-temannya dengan mobil tanpa driver license. Permainan voli di bibir pantai, ulang tahun Vernon dan Seokmin. Kejadian di Geoffrey’s dan Ralphs. Short getaway dan ciuman singkat. Strawberries dan Cigarettes. Van Gogh dan The Last Bookstores. Hari ulang tahun Ibu Nadit, Luna dan A little Life.

Malibu yang berisik kini hanya meninggalkan deru ombak yang datang dan pergi.

Roda hidupku berputar. Namun lagi-lagi ia berhenti dibawah. Rasanya terlalu singkat aku rasakan rentetan Bahagia itu yang perasaannya sukar untuk aku lupa. Sukar untuk aku ingat kapan terakhir kali Bahagia jadi pengiring langkah hidupku.

Kini, semua tiba-tiba jadi kelam dan sendu.

Ada yang menusuk. Ada yang selalu aku rindu.

“Nak..” Aku mendongak, menatap lurus kepada wajah Mama ketika suaranya jadi distraksi atas roll film berisi kenanganku yang kini sudah tidak lagi mampu memelukku.

Kalau ini adalah sebuah film, maka dimanakah aku berada? Masih berada di pertengahan yang penuh dengan konflik menyiksa atau ini adalah akhir dari semua? Kalau ini adalah akhir, berarti aku harus hidup selamanya didalam penyiksaan.

“Iya, Mah?”

“Jadi siapa.. yang kemarin kamu bilang sama Mama?”

Aku menarik nafasku, kini melangkah mendekati beliau dan mengistirahatkan dagu di lututnya.

Lamat aku tatap wanita yang telah mengandung, melahirkan dan merawatku ini. Beberapa bagian wajahnya kini sudah mulai muncul kerutan. Senyumnya terkadang bergetar. Mama, perlahan di makan oleh waktu.

“Mah.. Mingyu rindu..”

Kini aku benamkan wajahku.

Ada bulir air yang perlahan turun dari pelupuk mata. Di pundakku, dapat aku rasakan belaian lembut dan halus dari tangannya. Belaian yang tidak akan bisa aku dapatkan dimana-mana.

Aku kemudian mulai terisak.

Apa yang jadi bahan pokok atas tangisku malam ini? Kebodohanku menyia-nyiakan waktu dan tersesat atas perasaan sendiri? Atau dia yang kini pergi? Atau waktu yang teramat kejam? Atau perasaan yang tidak mampu aku ambil alih?

Atau.. apakah aku ini hanya anak kecil yang sedang mengadu kepada Ibunya? Karena lututku berdarah akibat jatuh setelah belajar naik sepeda?

Itu dia. Aku jatuh dan berdarah.

“Mamah juga rindu, Nak..”

Kecupan hangat kemudian jatuh di puncak kepalaku.

Ini, tempat aku mengadu.

Kemudian tatap Mama menemukan mataku. Ia hapus bulir air mata tadi dari pipiku. Senyumnya jadi teduh.

Are you okay? Hm? Mau cerita ke Mamah?”

She left, Mah..” Lirihku. Aku ini, tiba-tiba jadi seorang anak kecil berumur 7 tahun yang sedang meringkuk di lutut Ibunya. Menangis. “Mamah.. kenapa semuanya pergi ninggalin Mingyu?”

No..” Beliau tarik tubuhku. Memeluknya. “Mamah gak pernah ninggalin kamu, Nak..”

Except her. Kecuali Mama. And for that, I am eternally grateful.

Malam lamat kemudian menjadi larut. Mama bertukar banyak cerita tidak terkecuali aku. Bagaimana statusku dan pertemuan pertamaku dengan satu perempuan yang hari ini entah sedang apa disana. Bagaimana aku bertemu dengan teman-teman yang umurnya jauh dibawahku. Bagaimana tragedi yang terjadi berkali-kali yang meninggalkan sedikitnya pelajaran singkat untukku.

Sampai ketika suara Mama mendadak jadi lirih. Memanggil namaku.

“Mingyu?”

“Hm?”

Kini lagi-lagi, dengan penuh cinta ia usap pipiku dengan belaiannya.

“Kalau Mama nikah lagi, boleh?”

Aku diam cukup lama. Dari manik mata Mama, rasanya mampu aku lihat bagaimana kenangan buruk itu berputar.

Mama yang memukul dadanya terus-terusan di depan jasad Papa yang sudah terbujur kaku, 3 menit setelah dokter katakan jam dan detik kematian Papa. Beliau kehilangan cintanya, dan aku jadi dua kali lebih remuk.

Umur Mama tidak lagi muda. Namun, mengarungi kehidupan seorang diri selama ini pasti cukup membuat Mama tersiksa. Tidak perlu jauh-jauh, anak laki-laki semata wayangnya ini juga melalui hari yang pilu atas nama kehilangan.

Tapi aku tidak bisa bohong, rasa pedih itu tiba-tiba saja menusuk jantungku.

“Dia juga kehilangan, Mingyu. Mama juga.” Jelas Mama. “Kalau Mama masih punya kamu walaupun jauh, dia gak punya siapa-siapa. Maafin Mama baru bilang sekarang, tapi Mama harap kamu bisa ketemu dia dan—”

“Mah..” Lirihku lagi.

“Ya?”

Do you feel the happiness like Papa always made you feel?”

Mama menggeleng. “What Papa made me feel enggak sama kaya apa yang sudah dia buat untuk Mama. Dia bukan Papa. Dan tujuan Mama adalah untuk beribadah, tidak lebih pun tidak kurang. Mama enggak mau menggantikan Papa, itu yang harus kamu tau. Karena Papa adalah Papa, Dia adalah dia..”

Dalam hidup, kita bisa jatuh cinta berkali-kali. Entah pada orang yang sama atau yang lain lagi. Untuk itu, bukan perkara tidak setia, namun terkadang di beberapa kasus, kehilangan selalu jadi pendamping hidup. Lagi-lagi, masih perkara ikhlas.

Kalau Mama menemukan bahagia dengan cara itu. Aku ikhlas.

Kalau Mama akhirnya menemukan bahagia dengan cara itu. Maka aku tidak lagi ragu.

Tepat setelah telfon yang aku terima dari Vernon, aku menghambur dan meninggalkan pekerjaanku. Kabar itu, bagai sebuah petir di siang hari.

Pesanku masih belum di balas orang diseberang sana.

Sepanjang perjalanan, pikiranku mengembara entah kemana-mana. Beberapa kali lupa menginjak rem dan hampir menabrak mobil di depanku, atau stir yang kurang aku tarik ketika belokan menyebabkan aku hampir saja menyerobot pengendara lain.

Sampai di depan halaman rumah Nadit, tanpa mengetuk pintu aku langsung masuk dan menemukan Somi, Mark di ruang tamu.

“Dia diatas, bareng Vernon..” Cicit Somi lirih.

Dengan anggukan kecil, aku melangkah pelan menaiki anak tangga, lalu melihat pintu kamarnya yang terbuka kecil. Ketika aku dorong dan suara decitannya mengejutkan Vernon, ia bangkit dari duduknya di pinggir kasur Nadit. Sedangkan si gadis, hanya menatap jauh keluar jendelanya, bahkan tidak terdistrak dengan suara decit pintu tadi.

Vernon bangkit, menepuk pundakku kemudian pergi.

Aku duduk di lantai, menyenderkan punggung pada nakas dan menatap dirinya yang sama sekali tidak menatapku.

Tatapnya kosong.

“Na..” Panggilku.

She is gone..” Suaranya serak, dari samping pun dapat aku lihat matanya yang bengkak.

I know, I'm sorry..”

Kemudian sunyi senyap mengembara.

Suara detak jam wecker di atas nakasnya yang hanya mampu memenuhi ruangan.

I dreamed about her the night before she left..” Lirihnya lagi. Kini dengan air mata yang mengucur, ia menoleh perlahan menemukan mataku.

“oh ya?”

It was three of us, Gyu. It felt so real..” Aku menunduk sambil memeluk lututku, tidak mampu menatap wajahnya.

You still have me, Nadit. You still have Vernon, Somi and Mark.. And Luna..” Dapat aku lihat sedikit sunggingan hadir di sudut bibirnya.

“Iya.. tapi rasanya.. kosong. Rasanya.. kaya kamu mati rasa dan ngebatin, ‘ini aku di dunia lagi ngapain, ya?’

Aku ingat, berbulan-bulan yang lalu ketika kali pertama aku menemukan dirinya di pinggir pantai dengan keadaan setengah kuyup akibat berdiri jauh hampir ke tengah pantai.

Saat itu kami berdua melempar sendu pada malam, menerka-nerka perihal apalagi hal-hal yang akan disuguhi dunia untuk mengiringi langkah tiap manusia.

Dan memaknai kehilangan.

Perihal mati rasa, perihal kosong di dada yang tidak pernah mampu di tutup oleh apapun. Sampai-sampai kemudian bertanya, “Di dunia ini, aku sedang apa?”

Nadit kehilangan kedua orang tuanya. Pertanyaan itu jauh dua kali lebih relevan untuknya kali ini. Menjamahi dunia kini tak lagi mampu di tatap kedua mata Ayah dan Ibunya, tidak ada lagi dukungan semangat serta senyum sambutan ketika pulang kerumah setelah panjangnya hari yang dijalani penuh dengan peluh dan pelik.

Nadit kehilangan arah dan tidak lagi punya rumah.

“Nadit..” Kini aku beringsut mendekat dan mengistirahatkan daguku di atas lututnya. “Aku tau ini berat buat kamu. Tapi aku harap, kamu gak sedih terus.. You can go to graduate and make a new memories, right? I know your mom will be proud of you..” Aku sibak sedikit rambutnya yang menghalangi wajah. “Okay?”

Ia menggeleng. Satu butir air mata jatuh tepat mengenai jeans yang ia pakai. “I won’t come..” Lirihnya, menatapku yang masih mengistirahatkan dagu diatas lututnya.

I won’t come.. Harusnya graduasiku buat Ibu.. Only her, now i have no reason at all to come..”

Ia mulai terseguk. “Then..” Cicitku. “Kalau buat aku? Will you come?”

Ia diam cukup lama. Matanya menatap lurus dan tenggelam dalam mataku. Berat ia tutup matanya kemudian lagi-lagi menggeleng. “I won’t..”

Kini aku bangkit, ikut duduk di pinggir kasurnya kemudian menariknya tenggelam dalam pelukku. Ia terseguk, bahunya bergetar hebat.

Rasanya, ada sakit yang kembali terulang.

Dulu, aku jatuhkan kepalaku kepada Minghao, hanya untuk menerima kenyataan bahwa aku sendirian. Hari ini, aku tidak pernah menyangka bahwa bahuku akan berguna, untuk seseorang yang letih, yang rapuh karna rumahnya tidak lagi disini.

-

Kata Nadit, keluarga Ayahnya yang ada di Jerman dan Keluarga Ibunya yang ada di Boston akan hadir untuk prosesi kremasi. Malam hari, semuanya hadir merengkuh tubuhnya. Kini ia tidak lagi menangis seperti siang tadi. Mungkin, mati rasa bukan lagi sekedar perumpamaan, mungkin, tubuhnya memang sudah terlanjur kebas.

“Bang..” Seokmin juga hadir, berdiri disebelahku yang jauh dari ruang keluarga. Hanya mampu mendelisik kecil untuk melihat apa yang terjadi disana.

“Hm?”

“Lo.. udah semangatin Nadit?” Aku menoleh menatap Seokmin. “Lo liat.. kaya mayat hidup.”

“Menurutlo.. kalau pun gue semangatin, dia bakalan semangat?”

“Yaiyalah, secara lo kan pacarnya..” Mataku membulat.

“Sembarangan.. Belom.”

“Yaudah anggap aja begitu, udah pacaran. Semangatin, Bang. Dia udah gak punya siapa-siapa lagi, kan?”

Kini aku menatapnya lurus, ia kini dikelilingi keluarga besarnya. Ia tidak mampu tersenyum lama, terkadang matanya mengembara entah kemana.

“Kalaupun dia semangat, Seok, paling luarnya doang. Dalemnya.. you have no idea how broken it is..”

“Iya gue tau, gak ada yang namanya baik-baik aja apalagi kehilangan orang-tua, orang yang di sayang..” Jelas Seokmin. “Paling tidak, Bang.. dikit aja bikin dia senyum. Dari tadi gue perhatiin dia..”

“Kenapa?”

“Sedih aja gue, ikutan sedih..”

Aku buang nafasku, menyenderkan bahu pada dinding dan melipat kedua tanganku di depan dada. “Seok.. lo gak bisa maksa orang buat sekedar senyum barang sedikit. Kalo lo bilang gue harus melakukan sesuatu, gue mau narik dia masuk balik ke kamarnya, gue biarin dia sendiri.. that’s all. Hal yang paling gak gampang dari kehilangan ya itu.. ketemu orang banyak terus pada bilang ‘sabar yaa sabar..’ apa coba yang harus di-sabar-in dari kehilangan, Seok? Gue yakin dia gak butuh sabar, dia butuh waktu. Waktu yang gak akan pernah cukup buat sekedar sembuh..”

Sorry, Bang..”

“Lah kok malah minta maaf lo?”

“Gue lupa.. kalo lo pernah ada di posisi itu..”

Bahu Seokmin aku tarik mendekat ke tubuhku. Menepuknya pelan berkali-kali, “Aelah, Seok.. udah berapa lama coba itu..”

“Lo..” Aku menoleh ketika Seokmin menggantungkan kalimatnya cukup lama. “..masih sering kepikiran mendiang gak, Bang?”

“Bokap?”

Seokmin menggeleng. “Kalau lo gak mau jawab gak papa sih, Bang..”

“Oh..” Kataku. Aku menggaruk pelipisku yang sebenarnya tidak gatal, menepuk-nepuk tekukku kemudian lagi-lagi membuang nafas. “Jangan tanya, Seok. Lo pernah gak nonton film yang paling lo suka, terus pas filmnya habis, lo merasa kosong banget? Nah gitu rasanya gue. Tapi kalo diumpamain sama film, lo masih bisa ngerasain euforia-nya kalau semisal nonton lagi, tapi gue.. entah euforia mana yang mau gue cari. Kosong.. Kosong banget lah, Seok, pokoknya..”

“Niat gue datang ke Malibu emang buat lari. Kaya.. Indonesia sama Australia tu penuh banget sama dia, rasanya kaya ada dimana-mana. Jadi sebelum gue hampir gila, gue memutuskan buat pergi.”

Dari berapa meter jauhnya, mataku menemukan iris hijau-keabuan milik Nadit yang duduk jauh di sudut ruang keluarga sana. Ia tersenyum kecil dengan bibirnya yang pucat dan mata yang sembab.

“Sampe gue ketemu dia..” Dari ekor mataku, dapat aku lihat pandangan Seokmin yang mulai tertuju pada si subjek pembicaraan.

“Untuk pertama kali dalam hidup gue, gue uring-uringan parah. Gue yakin, gue gak yakin. Gue udah yakin pake acara ngajak dia makan malam, tapi besoknya gue ngerasa gak yakin. Gue yakin karna dia yakin, tapi gue tiba-tiba hilang di ketakutan gue sendiri. Gue berusaha mencoba memulai, tapi the idea of ‘what if’ yang konotasinya selalu negatif keliling terus di kepala gue.”

“Sekarang perputarannya udah beda. ‘What if’ yang ada di kepala gue cuman, ‘Kalau aja, gue sama Nadit langsung memulai semuanya tanpa ada keraguan di diri gue waktu itu. Mungkin..”

“Mungkin?”

“Mungkin ada banyak hal lain yang bisa gue temuin di dalam dirinya yang membuat gue bangkit dan gak terus-terusan tersesat di kepala gue sendiri..”

“Untuk pertama kalinya gue jatuh cinta tanpa membandingkan. Bukan berarti gue gak cinta sama mendiang istri gue, gue cinta. Kalau gak cinta gak mungkin gue sampe kabur jauh ampe ke sini..” Jelasku. Masih belum terdistrak dari sosok disana. “Tapi.. Apa yang ada di diri dia.. gue jatuh cinta sama apa yang ada di diri dia. Bukan jatuh cinta buat menggantikan mendiang istri gue. Waktu gue sadar soal itu, that is just.. i don’t know what to say..”

Seokmin mengangguk kecil. “Kadang lagi.. sebenernya gue khawatir dengan jarak umur antara gue sama dia—“

“Yaelah, Bang.. kan lo gak mau nikahin dia detik ini juga, kan? Lagian dia juga udah tamat SMA, gak bakal keliatan..” Ucapnya malah memotong kalimatku cepat.

“I-iyasih.. biar dia kejar mimpinya dulu. Gue.. bakal selalu dukung dia kemanapun dia melangkah..”

-

Abu Ibu Nadit yang telah dikremasi di buang di titik yang sama dengan Ayahnya di pinggir pantai.

Di titik yang sama ketika pertama kali aku dan ia bertemu.

“Langitnya malam ini cantik..” Lirih Nadit dengan suara seraknya.

Keluarganya sudah pulang lebih dahulu setelah proses pembuangan abu. Kemudian aku katakan, kalau memang masih mau berdiam diri, akan aku antarkan dirinya pulang.

“Itu Ibu..” Ia menoleh kemudian tersenyum.

Nadit mengelus lengannya, menunduk menatap kaki telanjangnya yang di sapu ombak.

“Aku bakal pergi kuliah.. Gyu..” Cicitnya kemudian, namun menolak menatap wajahku.

“Oh ya? That is a good news!”

Yes.. It is. And..” Ia gantungkan kalimatnya cukup lama.

“And?”

“Aku bakal pindah ke Jerman..”

Kini aku yang tidak mampu berkata-kata. Kelu. Tidak mampu membalas dan memilih menatap wajahnya yang masih dan masih saja menolak membalas tatap wajahku.

“Keluarga Ayah sama Ibu tadi setuju kalau aku bakalan ngikut paman besok siang berangkat balik ke Jerman, Mingyu..”

Mataku membelalak hebat, kini perlahan mulai berkaca-kaca ketika bertemu matanya yang lagi-lagi di banjiri air mata.

“B-besok?” Ia mengangguk.

“Adik kandung Ayah yang perempuan yang tanggung jawab soal pengangkutan barang dan sewa rumah. Aku cuma tinggal packing barangku dan langsung terbang..”

Jantungku di dalam sana rasanya seperti jatuh, terombang-ambing dan mencuat keluar. Ritmenya tidak lagi sama. Kini beralih menuju tenggorokanku yang mulai panas dan pedih.

“Na..”

“I know..” Ia mengusap air matanya. “We haven’t start anything and—“

We can start it now..” Kini aku tarik bahunya agar ia menatapku.

No..”

Aku terkesiap. Bahuku jatuh.

Ia tarik lenganku yang tadi sempat bertengger di bahunya, kemudian ia genggam dengan tangannya yang dingin di sapu angin malam.

“Mingyu.. ada satu hal yang mungkin gak bisa masuk akal di kepala kamu. But.. we can start it when i am 23..”

Alisku mengkerur hebat, pupil mataku mengikuti gerak pupil mata berwarna hijau-keabuan di hadapanku ini.

“Nadit..?”

I know it sounds crazy, right? but.. loved by you in the same place as i did to you.. is such an amazing things, Gyu.”

Can i know the reason why it should be 23?”

It is.. for my mom..”

Aku hanya mampu membuang nafas kembali. Menunduk menatap bagaimana tangannya yang menangkup tanganku dibawah sana.

Can i borrow your phone?” Alisku menungkik tajam, namun tetap aku keluarkan benda pipih itu dan aku sodorkan pada sosoknya.

Ia mulai melakukan entah apa, kemudian ia kembalikan ke tanganku.

“Ngapain?”

I blocked you.”

What?”

“Listen..” Ia tarik kembali tanganku untuk berada dalam rengkuh tangannya. Ia paksa aku menatap wajahnya, padahal tenggorokanku sudah tidak mampu lagi menahan.

In the next April 6th..” Jelasnya pelan. “I’ll be back to Malibu, and I’ll meet you at the Ice cream shop where we first visited to, okay? 10 AM. Kita bakalan habisin waktu selama 24 jam penuh di 6 April, Mingyu..”

No text, no call, no direct message or anything.” Sambungnya lagi.

But..” Aku yang menunduk tadi buru-buru mengangkat kepala untuk kembali menemukan manik matanya. “If in any cases, you are already find someone else, you don’t have to come. And if you can’t find me at that time too, i already find someone else in the same way. Itu.. itu titik dimana kita harus berhenti..”

Ada bulir air yang kemudian jatuh dari pelupuk mataku.

“..berhenti untuk saling berharap, berhenti untuk saling mengisi kekosongan, berhenti untuk saling jadi yang paling paham dan berhenti.. untuk satu sama lain.”

“Setiap tahun di tanggal 6 April sampai umurku 23 tahun. We’ll do this.. We will see.. if you and i, are truly meant for each other. Because.. I believe in myself and i believe in you..” Sambung Nadit kembali.

Kini wajahnya dipenuhi senyum rekah. Tangannya kemudian menangkup kedua pipiku. “But more than that, Mingyu.. Happiest Birthday.”

Satu hal yang kemudian membuat bagaimana rasa penyesalan itu datang dan menggerogoti jiwaku sampai habis, ketika waktuku untuk dihabiskan bersamanya berhenti disini.

Setelahnya, aku hanya mampu menerka tentang kemungkinan kemungkinan lain yang mungkin saja mengantarku pada titik henti, atau malah menyuruhku kembali berjalan lagi.

Disini, di titik dimana kali pertama aku dan Nadit bertemu. Dan disini pula, kali terakhir aku dan dirinya menghentikan sebuah titik pada beribu-ribu temu. Bahwa setelah ini, tidak ada aku dan Nadit lagi, di Malibu.