Third April 6th—2
-
Rasanya jantungku jatuh sudah sampai ke perut.
Namun yang aku temukan adalah Mama yang sedang tertawa dengan Ayah. Di ranjang rumah sakit.
Mata Mama membelalak hebat, menatap putranya didepan pintu dengan peluh yang bercucuran. Aku membuang nafas, terduduk diatas lututku di pinggir kasur dan menggenggam tangan Mama.
“Mah..” Lirihku.
“Kenapa kamu bisa disini?” Kini aku mendongak, menatap wajah Ayah.
“Kemarin saya telfon dengan Mingyu.” Beliau mulai menjelaskan. “Dia tanya kabar kamu soalnya kalau ditelfon gak pernah di angkat..” Sambung Ayah.
“Ayah keceplosan, bilang kalau di rumah sakit lagi jaga Mamah..” Ini aku yang mulai menyambung. Ayah kemudian mengusap tekuknya. Mama tersenyum kemudian mengelus kepalaku dengan tangannya yang agak lemah.
“Nak.. Mamah cuma tipes. Kecapean kemarin nyiapin pengajian dirumah untuk Papa..” Selang infus itu melekat diatas tangan Mama. “Padahal siang ini Mama sudah bisa pulang, loh..”
“Kan saya kemarin sudah bilang, pesan Cathering saja..” Ayah menyambung.
“Sudah.. Mama gak papa, Nak. Ini kamu terbang dari Malibu?” Kini aku berdiri, duduk disamping kasur Mama.
“Iya.. karna waktu Ayah keceplosan pikiranku udah terlanjur kalut, udah gak bisa mikir apa-apa, Mah..” Mama tertawa hebat. Tangannya mengelus pelan lenganku.
“Yasudah.. siang ini Mamah kan sudah bisa pulang. Kan cuma dirawat 1 malam aja..” Aku mengurut pelan tangan Mama yang lain yang tidak terbalut selang infus, mengangguk dan tersenyum. “Nanti sampai rumah langsung istirahat aja ya. Nanti Mama telfon Anin—”
“—Mah.” Aku membuang nafasku.
“Oh iya, nak..” Mama mengusap puncak kepalaku. Tau kalau anaknya ini sudah tidak lagi sesederhana bertukar pesan pada si empunya nama yang disebut tadi. “Kamu bukannya harusnya ke Jerman?”
Sebelum menjawab, aku perbaiki selimut Mama, agar lebih rapi menutup tubuhnya. “Habis nganter Mama pulang, Mingyu lanjut ke Bandara, ya?”
“Loh, langsung balik? Istirahat dulu lah Nak, barang 1 malam..” Aku menekuk bibir, menggeleng.
“Mingyu ada janji..”
Seolah mengerti dan paham, mata Mama memancarkan sebuah bahasa yang sukar aku elaborasi. Penuh cinta, bercampur ironi. Tangannya menarik tanganku, supaya aku mendekat. Kemudian, ia cium kedua pipiku. “Selamat ulang tahun anak Mama.. Bahagia menyertaimu.”
-
Penerbanganku menuju jerman harus di delay karena cuaca diluar sana yang cukup berawan. Aku mulai gelisah, terus menyesuaikan perbedaan waktu di Jakarta dan di Jerman. Kakiku tidak henti-hentinya mengetuk lantai, sesekali bangkit dan mondar-mandir seperti orang linglung yang kehilangan arah.
3 jam, pesawatku di delay 3 jam. Padahal aku sudah memilih penerbangan paling cepat dan menyesuaikan waktu.
Penerbangan berjam-jam ini tidak mampu membuatku sekedar menutup mata. Daya baterai ponsel yang sudah habis tidak bersisa membuatku tidak henti-hentinya menatap jam tangan. Tidak ada yang bisa aku hubungi sejak kemarin. Lupa membawa powerbank, bahkan lupa membawa charger ponsel. Clumsy Mingyu has against the world. Damn.
Aku mulai pasrah dan mengacak rambutku asal.
Aku yakin, Nadit sudah tidak lagi ada disana dan berfikir bahwa akhirnya aku telah selesai berharap.
Setelah penerbangan yang panjang, dengan tas ransel yang aku gendong sambil berlari kecil menyusuri bandara, aku menghentikan taksi dan langsung menyuruhnya pergi menuju Brandenburg Gate. Mata sang sopir mengerjap, tidak percaya bahwa tujuanku bukannya menuju hotel atau penginapan, tapi menuju satu objek wisata, di jam 10 menuju 11 malam.
Aku masih punya kurang lebih 1 sampai 2 jam lagi untuk menghabiskan hari bersama Nadit. Entah apa yang harus dilakukan di tengah malam untuk menghabiskan hari ini. Intinya, aku hanya mau bertemu dengannya. Menatap matanya, memeluknya. Memberikan presensiku didepan matanya, bahwa tahun kesekian ini, aku masih ada.
Ketika sampai, seperti dugaan, semua kosong.
Gelap, sunyi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia. Aku kemudian melangkah menyusuri seluruh sudut, walaupun tidak akan mungkin ada perempuan yang rela terduduk menunggu sampai tengah malam seperti ini.
Lalu, harus kemana aku cari dirinya diseluruh sudut kota Berlin ini?
Kalau bentuk cinta adalah tidak masuk akal, maka aku akan mencintai dengan cara yang paling tidak masuk akal.
Maka setidak-masuk-akal-nya hidupku, aku pergi ke Internet Telecafe Spätkauf, semacam warnet 24 jam yang berada di Oppelner Street nomor 9 ditengah kota Berlin.
Aku cari nama Nadit di kolom pencarian internet. Barangkali, data mahasiswi berserta alamatnya mampu diakses. Tapi lagi-lagi seperti dugaanku, itu tidak mungkin. Alhasil, nihil.
Setelah itu, aku temukan halaman facebook miliknya. disana tertulis tempat tanggal lahir serta alamatnya di Berlin. Checkpoint. Aku memetik jari. Buru- buru aku berlari menuju jalan raya dan lagi-lagi memanggil taksi. Menunjukan alamatnya dan dengan cepat meninggalkan Internet Telecafe Spätkauf.
Aku harap, kali ini semua berjalan lancar.
Di satu rumah dengan cahaya remang, aku berdiri di ambang pintunya. Berbagai skenario sudah aku bayangkan di kepalaku. Benarkah ini rumah Nadit? Kalau iya, apa yang akan aku katakan pada seseorang yang membukanya? Kalau itu Nadit, mungkin aku akan langsung menghambur untuk memeluknya. Tapi, halaman facebook itu sudah terlalu lama untuk membuktikan apakah Nadit memang benar tinggal disini.
Dengan tangan yang sedikit bergetar, aku tekan tombol bell disamping pintu. Pukul 11 malam, siapapun pemilik rumah ini, pasti akan takut mengetahui ada orang asing berdiri di ambang pintu rumahnya. Aku tekan sekali lagi. Dari luar, dapat aku dengar dengan jelas alunan nyaring suara bell yang mengudara di dalam sana.
Tidak ada jawaban. Sekali lagi aku tekan.
Tidak lama, seorang perempuan keluar dengan takut-takut, membuka pintunya sedikit. Hanya menampakan sebelah matanya. Dan jelas, itu bukan Nadit.
“I’m so sorry.. but, is Nadeeta Dreschler lived here?” Alisnya berkerut dan dapat aku tangkap pemandangan itu dengan jelas. “I’m not a bad person, I am.. looking for someone.. hmm.. saya enggak tau alamatnya dimana, tapi di halaman facebooknya yang lama, alamatnya ada disini.”
“Who is that?” Suara laki-laki kemudian bergema dari dalam, membuat perempuan tadi menoleh.
“I don’t know. A stranger, looking for someone..” Aku terkejut bukan kepalang ketika pintu yang akhirnya terbuka lebar menampakan laki-laki kekar dan botak, serta beberapa tattoo yang menghiasi tubuhnya.
“What is your problem, man?”
Dengan menelan ludah dan berdeham kecil, aku bersuara. “I am looking for.. Nadeeta Dreschler.” Ia serta merta mengerutkan alisnya.
“Who?”
“N-nadeeta Dreschler..?”
Alisnya mengkerut. “I don’t know who’s a person you’re looking for but..” Ia berbalik badan, meninggalkan perempuan tadi yang hanya terdiam di daun pintu kemudian balik dengan secarik surat bukti penjualan rumah yang terlihat sudah lusuh. “..hm.. Mr. Ehrlich Dreschler sold this house to me..”
“A-ah..” Aku mengangguk. Sekarang benar-benar merasa buntu. “Do you have any clue where Mr. Dreschler’s relatives lived.. maybe?”
“I know his younger sister, you should go five block from here, but I exactly have no idea their house’s number..”
Selamat, Kim Mingyu.
“Okay. Thank you so much and I am so sorry if I bothering you in this time. Have a good night..” Begitu kemudian aku melangkah menjauh dan pergi. 5 blok, aku harus cari taksi lagi.
Ketika sampai, rasanya aku ingin bertekuk lutut dan menyerah. Ada berapa banyak rumah di blok ini dan tidak mungkin aku harus mengetuknya satu per-satu. But, well, in the end, aku mulai mengetuk.
Waktu di jam tanganku sudah tidak lagi berada di tanggal enam bulan April ini. Tidak masalah kalaupun ketika melihatnya aku harus kembali berpisah. Intinya, aku hanya ingin dia tau bahwa, it is still her. Masih Nadit setelah 3 tahun ini berlalu dengan hebat.
30 menit kemudian atas agenda ketuk mengetuk pintu, seseorang wanita tua keluar sambil mengucek matanya.
“Sorry—”
“Are you a homeless?”
What?
“N-no.. i-I’m—”
“You can stay.. if you want..” Aku tertawa kecil mendengar tawarannya. “No.. Ma'am, I’m looking for someone. Do you know where Nadit Dreschler lived?” Ia terdiam sejenak, menatapku dari atas sampai bawah, kemudian tertawa. Ditengah rasa kantuk yang terpancar dari wajahnya, ia malah terkikik.
“Oh.. Nadit..” Awan gemuruh di atas kepalaku mendadak hilang dan digantikan dengan matahari ketika kalimat itu meluncur keluar dari mulutnya. “Kamu.. Mingyu? Bukan?”
Sorry? Ini.. aku salah dengar?
“Y-yes...?”
“She was always talked about you..” Masih dengan tawa renyah, ia angkat tanganku yang sedikit dingin ujung jemarinya. Ia genggam, ia hangatkan. “She was right, you have a big hands..” Aku.. masih bingung. Benang-benang kusut di kepalaku tidak kunjung terurai.
“Biasanya, setiap mengantar makanan yang dimasak Tiana, dia selalu tinggal sebentar buat certain soal laki-laki yang namanya Mingyu. Katanya, Mingyu tinggal di Malibu.” Kini kedua tanganku sudah sempurna ia genggam. “Nadit bilang, yang bisa mengerti itu cuma saya. Karena dulu saya juga jatuh cinta sama orang yang 12 tahun lebih tua daripada saya..” Ia tertawa. Ada senyum kecil yang mendadak mengembang di bibirku.
“He passed away, 3 years ago. And everytime Nadit talked about you, it feels like my husband was near. It always reminded me of him.. You.. reminded me of him..” Kini tangannya menepuk bahuku. Ada mata yang berkaca-kaca menatap manik mataku.
“You flew away from Malibu to Berlin just for her? She is the luckiest.” Aku hanya mampu menunduk menyembunyikan senyum. “Number 15.. meet her, Mingyu. Actually, if you asking for Nadit, people will never ever know. Orang-orang kenalnya Mr. Walden, pamannya Nadit.” Setelah mendapatkan jawaban dari beliau, ketenangan merambat memenuhi diriku.
“Can I.. hug you?” Aku menawarkan diri. Dengan tawa yang ringkih, wanita tua ia mengembangkan tangannya dan mengalungkannya di leherku. Aku harus menekukkan kaki, supaya mampu berselaras didalam peluknya.
“What a good man..” Ia berbisik sambil menepuk punggungku.
“Your husband must be proud of you..” Kataku lagi, sosoknya kembali tertawa. Kemudian aku pamit. Meninggalkan ia yang menungguku hilang dari visualisasinya. Setelah itu aku berlari, berusaha menemukan rumah nomor 15, rumah Mr. Walden.
Ketika aku berhenti tepat di depan satu rumah dengan angka 15, rasanya aku ingin menangis. Ini, ketika aku mencintai dengan cara yang tidak masuk akal, maka ketidak-masuk-akalan tersebut jadi bentuk paling memuaskan.
Aku melangkah pelan, mulai menekan bell.
Satu kali, tidak ada jawaban.
Dua kali, masih tidak ada.
Tiga kali, tetap belum ada.
Empat kali, Seorang perempuan muncul di ambang pintu.
“Ms. Walden?” Cicitku.
“Yes.. and you?”
“*Is.. *Nadit here?” Alisnya berkerut. Mungkin sedang berusaha mencerna pertanyaanku. Berusaha menarik simpul diatas helai benang yang berserakan.
“Nadit?” Tanyanya, berusaha memastikan. Aku mengangguk. “Mingyu?” Ms. Walden menaikan satu alisnya.
“Yes.. Mingyu.” Sudut bibir Ms. Walden mengembang, menyambut hadirku dan aku tiba-tiba rasanya ingin menangis. Ia kemudian hilang sejenak dari ambang pintu, dan kembali membawa yang aku tunggu.
Dan begitu, pada akhirnya aku temukan tubuhnya. Raut wajah itu, cahaya mata itu. larian kecilnya berakhir pada rengkuh milikku. 365 hari lainnya, tubuh yang sama menyambutku.
Ia menangis.
Aku menangis,
“I thought—”
“I’ll come.. I’ll come, Nadit. I’ll always come for you.”
-
Pagi dini hari, suara derap langkah menyambangi pendengaranku ketika aku duduk di sofa keluarga Mr. Walden. Memberikan distrak dan buru-buru aku menoleh menemukan senyum teduh itu. Nadit menekuk senyumnya, aku tepuk beberapa kali bagian kosong sofa disebelahku, menyuruhnya untuk duduk.
“Tunggu sebentar..” Ia malah melangkah menuju dapur, membuka kulkas dan entah sedang mencari apa.
Tidak lama, ia muncul dengan satu piring bertumpuk donat dan lilin kecil diatasnya. Cahaya api yang mengiluminasi tidak mampu menyembunyikan rekah senyum dan kurva kecil di bibirnya. Sesekali deretan gigi putihnya ikut muncul.
“Happy Birthday to you..” Bisiknya lirih sambil bernyanyi. Nadit melangkah mendekat sampai akhirnya duduk. Sampai tumpukan donat dan lilin itu berada didepan wajahku. Aku tiup pelan lilinnya ketika gadis ini selesai menggumamkan lagu. Asapnya mulai mengepul dari sumbu, meninggalkan bau lilin yang menyengat.
“Ini udah tanggal 7, Nadit..” Cicitku pelan.
“So what? Ada kok orang yang ngerayain ulang tahun temennya setelah 1 bulan?” Ia terkikik kecil. “Lagian, baru lewat 2 jam yang lalu.” Aku dan dirinya mendongak menatap jam yang terus berdenting di dinding sana. Pukul 2 dini hari.
“Selamat ulang tahun, Mingyu..” Senyumnya kembali mengembang. “Aku udah nyiapin kue sebenernya siang tadi.. but I thought—”
Puncak kepalanya aku elus pelan. Dalam tenggelam di manik mata kehijauannya. Inikah seorang gadis yang aku temui di pinggir pantai malam itu 3 tahun yang lalu? Pernahkah terbesit di diriku bahwa pada jarak 3 tahun belakangan ini, tetap ada aku dan ia yang berusaha terus bersinggung?
“Tahun ini, umur kamu berapa?” Aku istirahatkan tubuhku pada kepala sofa, menoleh menatap lekuk wajahnya.
“Dua puluh dua..” Jawabnya pelan. “It almost over, Mingyu..” Kali ini ia berbisik, membuat bulu kudukku bergidik. “And I learn a lot..” Sambungnya kembali. Kali ini, sambil mengistirahatkan kepalanya pada kepala sofa.
“Did you?”
“Hm..”
“Na..”
“Iya?”
“Besok aku harus balik..” Jelasku, membuat ia tertawa kecil sembali menyembunyikan wajah.
“I know..”
“..dan ternyata aku gabisa pegang janjiku untuk habisin waktu 24 jam penuh kemarin sama kamu.”
“Mamah kamu gak kenapa-napa, kan?” Dengan tekuk senyum, aku mengangguk. Sempat aku jelaskan singkat alasan kenapa aku tidak sampai tepat waktu serta perjalanan panjang yang berlika-liku. “Kalau gitu, sehabis baterai hp kamu udah terisi, kirim salamku buat Mamah, ya?”
“Will do..” Balasku. “Nadit..”
“Hm?”
“Since I can’t spend my time with you, tadi aku ketemu orang di rumah nomer 9..” Jelasku. Belum selesai kalimatku tersusun dengan rapi, Nadit tertawa.
“Oh..” Katanya. “How do you think about her?”
“Kind.. the kindest person I’ve ever met..” Ucapku kembali membayangkan bagaimana wanita paruh baya tadi terus mengelus tanganku yang kedinginan.
“Is she?”
“Hm.. mind to tell me more about what kind of convo you have with her? Karena kayanya seru.”
“Kamu memangnya gak capek, Mingyu? Besok kamu juga harus kejar penerbangan?” Aku menggeleng pelan.
“This is how I’ll spend my time with you. Aku bisa tidur dipesawat nanti..”
“O-okay..” Nadit membetulkan posisinya. Kami saling hadap di sofa ruang keluarga Mr. Walden. Dengan perapian dibawah televisi yang kayunya sudah terlanjur menjadi arang. Sebelum bibir Nadit mulai bergerak bercerita, aku lagi-lagi pelan bersuara.
“Na.. tahun depan, aku jemput kamu pulang, ya?” Tatap yang memaku, jantung yang berpacu. “Aku mau kamu pulang..”