Second April 6th.

She’s not there. Not in every corner of the ice cream shop.

Nafasku masih terengah. Dengan sisa nafas yang ada, aku mendekati meja kasir dan bertanya. Menjelaskan ciri-cirinya secara spesifik dan akhirnya mendapatkan gelengan.

Atau mungkin, kali ini Nadit tidak datang sama sekali? Tidak memijak disini, tidak memijak di Malibu?

Aku keluar dari toko es krim, menoleh ke kanan dan ke kiri. Barangkali, ada sedikit cercah sosoknya yang ditangkap manik mataku. Aku memicingkan mata, menatap satu per-satu orang yang terus berlalu lalang dibawah sinar matahari yang tidak lagi terik.

Atau mungkin Nadit memang datang, dan aku terlambat?

Kalau begitu, kemana presensinya?

Aku merogoh kantong jaketku yang zippernya tidak dikancing. Buru-buru aku otak-atik benda pipih itu. Namun, terhenti tepat ketika aku membuka halaman obrolan dengan nama kontak Nadit disana. I shouldn’t called her. Or maybe I can’t call her.

Aku berlari kecil kemudian, masih terus memicingkan mata menatap satu per-satu orang-orang yang sibuk dengan agendanya masing-masing. Nafasku terus terpacu, belum sempat mengambil duduk untuk sekedar menarik nafas. Tidak. Kalau Nadit memang memijak di Malibu, maka aku masih punya kesempatan. Aku masih punya waktu.

Seluruh tempat yang pernah aku kunjungi bersama dirinya aku pijaki. Bahkan ke rumah lamanya yang kini sudah ditempati oleh keluarga dengan 3 orang anak. Baru saja aku ketahui ketika aku mengetuk pintu dan bertanya apakah ada seorang gadis yang datang dengan menjelaskan kembali ciri-cirinya.

Gelengan kembali aku terima.

Geoffrey’s, yang kini sudah tidak lagi berdiri dengan nama yang sama, namun tetap menjadi restoran. Dengan keringat yang mulai mengucur, nafas yang terus berhembus, lagi-lagi aku bertanya dan terus saja mendapatkan gelengan.

Helaan nafas berat terakhir serta bulir-bulir keringat dipelipisku. Mungkin, Nadit memang tidak memijakkan kaki di Malibu.

Karena terburu-buru, aku meninggalkan mobil dan memilih berlari menyusuri jalanan kota. Padahal jarak dari satu tempat ke tempat lainnya lumayan menguras tenaga.

Kini, tidak lagi aku buang energiku. Tanganku masuk kedalam kantong jaket yang zippernya aku kancing setengah bagian. Langkahku pelan menyusuri trotoar menuju rumah. Mungkin setelahnya, ada agenda lain yang harus aku selesaikan.

Aku terhenti di satu titik dimana pemandangan pantai menjadi distraksi. Pandanganku mengawang, terus menerus menatap datang dan perginya air. Sesekali ikut tersenyum melihat anak kecil yang bermain bersama anjing peliharaannya, teringat Mickey yang kini sudah tidak lagi ada dirumah. (that was a long story). Atau lagi es krim yang mulai meleleh ditangan seorang anak kecil perempuan.

Atau lagi punggung yang familiar.

Langkahku sedikit berlari mendekati. “Nadit?”

Tepukan pundak membuat dirinya menoleh. Namun seribu sayang, aku harus kembali mengemban kecewa. “Sorry. I thought you were..” Aku berdeham. “..my lover.”

It’s okay.” Ia tersenyum lebar.

Kini langkah kakiku memijak di pasir pantai, menunduk dengan kecewa yang terus memupuk dan terus membuang nafas berat. Sampai ketika suara kikikan yang sangat aku kenal mengetuk gendang rungu.

Aku mendongak, mencari asal sumber suara. Sampai ketika aku temukan seorang gadis yang sibuk menyipratkan air kepada temannya.

Vernon.

Damn! Vernon!” Suara itu. Intonasi suara kesal yang sangat familiar.

Langkahku mendekat, dan Vernon yang pertama kali menyadari presensiku. Sedangkan Nadit, berdiri membelakangi, lurus menghadap Vernon.

“Kim?” Sapanya yang terkejut dan mendadak berhenti melanjutkan agenda menyenangkan itu bersama Nadit. Dan ia, si gadis yang aku cari presensinya sekoyong-koyongnya membelalak, terkejut bukan main. Dapat aku lihat dengan jelas matanya yang bergetar, alisnya berkerut dan jatuh. Ia kemudian berlari kencang dan menabrak tubuhku. Lengannya ia kalungkan di leherku dan ia.. menangis.

I thought..” Isaknya. “I thought.. it was over..” Mendengar suaranya yang terisak dan dibekap peluk, pilu tiba-tiba menggerogoti seluruh tubuhku. Apalagi kalau harus mengingat satu tahun belakang. Pemikiran yang penuh asumsi mencekam, malam yang panjang menerka, serta rindu yang tidak kenal ampun terus-terusan menyesakkan dada.

How can I, Na?” Aku istirahatkan pipiku di puncak kepalanya. Mengelus punggungnya, sesekali memberikan tepuk. Agar si dia menemukan tenang.

Tahun kedua, aku temukan ia kembali memijak di pasir pantai di kota ini.

Hey..” Vernon menekuk senyum, mendekat.

“Vernon..” Ucapku. Setelah melepas peluk Nadit, aku gapai tangannya, memberikan jabat seperti teman lama yang sudah tidak berjumpa sekian periode, kemudian memberikan peluk lain. “I miss you, man..” Kataku. Dirinya malah terkikik geli.

Me too..”

“Kalian kenapa disini?” Tanyaku. Masih membersihkan sisa air mata dipelupuk matanya, Nadit pelan bersuara.

I had waited for you since morning..” Lirihnya. Dan ini sudah sore menjelang malam.

And she called me.” Sambung Vernon. Lalu semua terlihat jelas.

Aku kemudian tersadar, karena sejujurnya, aku belum tertidur sepanjang malam dan malah ketiduran pagi harinya. Membuatku terlupa kalau hari ini, akan ada yang datang dan mungkin melepas rindu yang telah dipupuk terlalu lama. Bahwa hari ini, akan ada Nadit.

I’m so sorry..” Ucapku. Nadit kemudian menggeleng, mendekatkan diri menujuku.

It’s okay. You're already 31, so your memory's capacity might be—

Hey?!” Aku mencela kalimat Vernon. Yang benar saja! Bisa-bisanya dia membawa-bawa umur dalam obrolan ini. Nadit terbahak di ikuti Vernon yang kemudian menepuk bahuku.

“Kamu darimana? Kenapa mau ketemu Nadit dandanannya kaya gini?” Aku menunduk. Menatap jeansku serta kaos oblong yang bahkan ada bercak noda saus mustard disana. Serta jacket zipper hitam yang jadi luaran. Memang, cukup memprihatinkan.

Kemudian aku ragu-ragu. Aku tatap dalam manik mata hijau keabuan milik gadis ini yang aku rindu. Ada perasaan senang karena ternyata pada satuan tahun yang lain, masih ada aku dan ia yang saling berharap. Namun, di lain sisi hatiku, aku menyimpan beribu-ribu kali rasa bersalah.

“Na..” Gumamku.

Yes?”

“Aku ajak ketemu temenku, mau?”

Dan mungkin, ini adalah keputusan yang paling aku sesali.

-

Di ruang dingin rumah sakit, Anindita tergolek lemas akibat seafood yang sempat ia makan malam kemarin sebelum aku antarkan kembali ke hotelnya. Dokter bilang, oyster mentah yang sempat di makannya mengandung bakteri yang akhirnya membuatnya berakhir di rumah sakit.

Tahun ini, aku rayakan ulang tahunku bersama Nadit di dinginnya sudut rumah sakit. Yang akhirnya aku tau, bahwa ini hanya akan berakhir menyakiti. Aku tidak mungkin meninggalkan Anin sendirian sedangkan ia sedang sakit, dan aku tidak mungkin meninggalkan Nadit yang sudah terbang jauh dari Jerman hanya untuk menemuiku.

“Mingyu..” Anin meletakkan buku bacaannya ketika menemukanku, Nadit serta Vernon yang muncul di ambang pintu. Aku menolak keras menatap wajah Nadit. Aku membuang nafas dan memasang senyum lebar. Melangkah mendekat dan bersuara.

“Nadit, meet my friend, Anin..” Ketika tatapku menemukan tatapnya, Nadit bingung. Dapat aku lihat dengan jelas dari raut wajahnya. Berdetik yang lain, ia tersenyum lebar. Melangkah mendekati sosok Anin dan menawarkan jabat tangan.

Nice to meet you, Anin.. Nadit.” Katanya. Dengan tangan yang dibalut selang infus, senyum yang bergetar, Anin menjabat tangannya. Selanjutnya Vernon, yang melakukan hal sama seperti apa yang Nadit lakukan bermenit yang lalu.

Kemudian kami duduk dalam diam di sofa ruangan. Aku tau, ini bukan apa yang Nadit harapkan.

“Jadi..” Suaranya memenuhi ruangan. “Kamu telat tadi karena jagain Anin ya, Gyu?” Kemudian aku mengangguk pelan takut-takut, tidak mampu mengeluarkan satu dua patah kata pada awalnya.

Sorry..” Cicitku kecil. Nadit malah terbahak.

No apologized necessary.” Ia mengibaskan tangannya di depan wajah. Menganggap itu bukan hal yang patut dipermasalahkan. Tapi aku tau, Nadit mengharapkan banyak hal lebih hari ini.

“Mingyu..” Aku menoleh, ketika suara Anin menyambangi pendengarankan. Tidak terkecuali Nadit dan Vernon. “Ayah sama Ibu.. udah di Bandara..”

Tidak ada hati orang tua yang tenang setelah mengetahui anaknya tumbang di negeri orang. Begitu kemudian orang tua Anin terbang dari Indonesia untuk menemui putrinya. Pandangku kemudian beralih kepada dua orang dihadapanku. Mereka menerka, karena berdetik yang lalu, mereka tidaklah paham bahasa yang dilontarkan Anin.

“Orang tua Anin baru nyampe di Bandara, tapi di LA. Aku..” Aku menggantungkan kalimatku agak lama. “..boleh jemput dulu?”

Sure..” Dengan senyum sumringah palsu di bibir Nadit, ia mengangguk. “Aku sama Vernon biar stay disini buat jagain Anin..”

Aku ingin marah. Aku ingin marah kepada diriku sendiri menatap bola mata yang berkaca-kaca disana.

“Mingyu.. Ayah sama Ibu bisa naik taksi aja. Kamu—”

I’ll comeback ya, Na.”

Berat mengalihkan pandang, pada akhirnya aku melangkah meninggalkan ruangan dengan pedih yang tidak kalah sakit. Namun, tidak ada yang meminta untuk berada di posisi ini. Tidak aku, tidak Anin, tidak juga Nadit. Ini, jelas permainan dunia yang selalu tidak kenal ampun mengerjaiku.

-

Pukul 10 malam. Setelah meninggalkan Anin dengan orang tuanya. Aku ajak Nadit pergi untuk menghabiskan sisa 24 jam terakhir di hari ini. Nadit banyak diamnya. Di malam hari dimana yang tersisa hanya sepi, aku hanya mampu membawanya ke pinggir pantai di sore hari kami bertemu tadi.

Ia membiarkan kakinya dipukul air laut. Sesekali menenggelamkan jemari kakinya didalam pasir. Rambutnya yang tidak lagi berponi acap kali menutup seluruh wajahnya akibat sapuan angin, membuatnya terus menerus menyematkan rambut dibelakang telinganya.

Tiba-tiba kenangan itu berjalan seperti gulungan film di dalam mataku. Serta Lord Huron, The Night We Met.

She is kind, Gyu.. And.. pretty..” Gumamnya. Memecah senyap yang tadi sempat tercipta. “Aku sempet ngobrol banyak tadi sama dia dan dia juga cerita gimana bisa kenal sama kamu..”

“Kamu juga cerita gimana kamu bisa kenal sama aku?” Aku tersenyum. Mungkin, asumsi yang aku utarakan sore tadi tidaklah benar adanya. Tapi, dirinya malah menggeleng, membuat senyumku serta merta hilang. “Why?”

“Aku..” Menolak menatapku, ia memilih menatap jauh ke laut lepas sana. “..aku banyak jeleknya sewaktu kenal sama kamu.” Sontak, pernyataan itu membuatku mengerutkan alis.

“Maksud kamu apa?”

“Anin ketemu kamu dalam keadaan stabil, bukan lagi mau bunuh diri. Anin perempuan ber-value sedangkan aku ya.. yaa gini, Gyu. Aku punya kebiasaan jelek, merokok and.. look at my eyes. Aku sekarang punya mata panda..” Jelasnya. “Tapi.. Anin.. She is clean. Dia juga udah ada di posisi cukup untuk mempertanggung-jawabkan dirinya sendiri. dia punya karir dan..” Suaranya mendadak padam. “..dan.. dia punya Ayah sama Ibu.”

Nafasku aku tarik dalam dan aku buang pelan. “Na..” Lirihku.

“Kamu suka dia gak?” Ketika dirinya mendongak menemukan mataku, dapat aku lihat pantulan diriku serta getaran mata yang tidak bisa berbohong. Ia menahan tangis.

“Hey?” Aku tarik lagi ia supaya lebih dekat.

“Umur kita jauh, Mingyu. Tapi kalau sama dia—”

“—Dia bukan kamu..” Nadit bungkam. “Kalau memang kamu banyak kurangnya, terus kenapa? When you have flaws, Nadit. It doesn’t mean that you aren’t good. Setiap orang gak ada yang sempurna.” Ucapku. Kini, membersihkan sisa air mata di kedua pipinya. “The imperfect in you, changed my whole life. Changed the way I see things and changed the way I define some sadness that swallowed my soul. Remember, Irises karyanya Van Gogh? You are Irises to me, Na. Kamu yang jaga aku untuk gak menjadi gila ditengah kehilangan yang selalu tumpang tindih dikepalaku. It is you, bukan buruk jelek yang membangun kamu. It is you. And I’m glad it is you and because it is you.”

Ia terseguk, menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku. Aku merasa bersalah. Lagi dan lagi. Harusnya aku dan ia merayakan 24 jam hari ini dengan suka kita, bukan berakhir menghabiskan air mata.

And I love her so much. So much it hurts. It feels like I want to hold her tight and I want her to being a part of me, so I don’t have to dealing with the distance that almost kill me.

“Selamat ulang tahun, Mingyu. I do love you.” And I feel relieved. We still here, gathering the pieces of feeling we hold. “Masih ada dua tahun lagi, kita bisa gak, ya?” Lirihnya, melepas peluk dan mengundang tatap.

“Kita udah disini. Jalan kita udah setengah. Jadi harus bisa.” Aku pinggirkan helai rambut yang menutupi wajahnya. “We do believe at each other, kan?”

We do..” Aku sunggingkan senyum dan dalam tenggelam menatap manik matanya.

“Di jerman, tempat favorit kamu apa?” Pertanyaan yang aku sampaikan membuatnya berfikir sejenak. Tidak, agak lama.

Brandenburg Gate?”

Next April, I’ll meet you at Brandenburg Gate, ya? I’ll see you there. And we’ll spend our 24 hours. Just you and me, Nadit. Okay?”

Okay..”

Okay. Perhaps 'okay' will be our 'always'