First April 6th.

Rasanya aku seperti baru keluar dari penjara setelah bertahun lamanya. Nafasku berseru bebas dan aku merindukan hangatnya sinar matahari ini. Suasana ini dan berisiknya pantai serta kikikan anak kecil yang sedang bermain voli.

Matahari tepat dipuncak kepalaku, dan aku terduduk di depan stan eskrim dipinggir pantai. Kini sudah tidak lagi menjual es krim tetapi menjadi tempat sewa ban renang untuk para pengunjung. Namun batu sebagai penanda pertama kali aku bertemu dengan sosok anak manusia itu masih ada disana. Masih berdiri kokoh meski selalu dihantam air pantai.

Aku tidak menyangka bahwa pada akhirnya, aku kembali memijak disini.

Dari pantai, aku kemudian melangkah di trotoar jalan. Menikmati bagaimana kota yang jadi tempat aku tumbuh ini berubah dibeberapa sudut. Jalanan yang semakin ramai dan beberapa pohon penghias trotoar jalan yang sudah tidak lagi disana.

Entah ada berapa banyak kenangan yang sudah tercipta di kota ini.

Sebelum ketempat tujuan, aku mengunjungi orang tua Vernon. Mereka sehat. Namun keluh mereka selalu bertitik pada rumah yang katanya terlalu kosong, Vernon jauh. Aku mengerti, bagaimana dulu aku ketika harus meninggalkan kota dan sahabatku yang satu itu membuatku paham betapa kosongnya masa-masa itu.

Setelah pamit, aku akhirnya memijak di toko es krim itu. Le Cafe de La Plage Malibu. Suara bell yang menggema ketika aku mendorong pintu, sekat kaca yang mampu membuatku terpaku menatap lama dan memilih es krim apa yang harus aku jadikan pilihan pada hari itu, atau hari-hari yang lalu ketika bermain bersama teman-temanku. Harum masa lalu ini, membuatku ingin meringkuk dan menangis.

Di trotoar sudah tidak ada lagi bangku yang dulu sempat aku duduki bersama sosoknya, pada akhirnya aku memilih tempat didalam, di pinggir dan sudut, dimana masih mampu aku tatap para pejalan kaki, kendaraan yang lewat serta toko-toko lain dari sini.

Dengan satu cup es krim Strawberry, takut takut aku sendok dan aku kunyah. Tanganku dingin dan bergetar hebat. Pukul 10 menuju 11 siang, aku menunggu.

Setiap suara bell memecah konsentrasi dan memenuhi ruangan, jantungku berdetak tidak lagi karuan. Kemudian ketika aku temukan itu bukan sosoknya, aku menekuk bibir dan hanya mampu tertunduk kecewa.

Masihkah aku?

Bell yang lain.

Bukan dia.

Bell lain mengerang.

Lagi-lagi bukan dirinya.

Aku membuang nafas, kali ini berpasrah. Sudah hampir satu jam aku menunggu namun batang hidung itu belum aku jumpai. Ketika aku mulai berberes, memasukan beberapa hal kedalam sling bagku, aku tersentak.

“Na..”

Air mataku mendadak memupuk ketika mendongak. Menemukan tatap yang sudah hilang beratus-ratus hari lamanya.

Can I hug you?” Lirihnya. Belum ada jawaban dari aku, berdetik kemudian rengkuhnya menemukan tubuhku.

-

Aku punya 24 jam, sebelum terbang kembali ke Jerman. Maka aku dan Mingyu putuskan untuk melakukan apa saja. Mingyu bilang, ia bahkan ambil cuti satu hari dari kantornya, membuatku terbahak tidak percaya.

Di trotoar jalanan, dibawah bayang dedaunan, ia tarik jemariku untuk bertemu miliknya. aku tertawa kecil, kemudian mengembang senyum sampai tulang pipiku letih.

“Jadi..” Ia mulai bersuara, sembari mengayunkan tangan kami perlahan. “.. kita harus ngapain hari ini?”

“Hm..” Aku menaikan alisku sebelah, memutar bola mata dan berfikir. “Hanging out in your house, how?”

Mingyu mengkerutkan alisnya. “Jauh-jauh dari Jerman cuma mau main dirumahku?”

“Ya memangnya kenapa?”

“Yakin? Emangnya kamu balik ke Malibu lagi kapan?”

Next April..” Cicitku. Mingyu kemudian menghentikan langkahnya, membuatku ikut terhenti karna tanganku yang masih dalam genggamannya.

“Memangnya.. kalau aku aja yang samperin kamu ke Jerman, gak boleh? Gak harus April. Gimana kalau Juli ini?” Aku tertawa. Kemudian menarik pelan tanganku supaya ia ikut tertarik dan melangkah pelan.

Next April, aku ke Malibu lagi..” Jelasku. Ia menekuk bibirnya.

Next April memangnya ada urusan apa lagi?”

“Hm..” Aku kembali mengawang ke langit di sela langkahku yang berselaras dengan langkahnya. “Ketemu kamu..”

“Kalau gitu mending aku yang ke Jerman..”

“Yaudah kapan-kapan..”

“Juli ini..”

No-no.. April..”

“Hih..” Aku tertawa hebat sampai membuang kepalaku kebelakang melihat ekspresi di wajahnya.

Sesampainya di rumah Mingyu, aku temukan satu botol sirup caramel di dapurnya, serta berkotak-kotak tepung waffle instant yang sampai sekarang masih jadi makanan setianya.

“Kok ada sirup caramel?” Aku angkat ke udara botol tadi membuat Mingyu menoleh dari ruang keluarga bersekat kaca yang selalu jadi spot favoritnya.

“Oh.. itu..” Ia tersenyum. “Jaga-jaga kalau kamu tiba-tiba main ke rumah..”

Aku yakin, semburat merah itu muncul bak api yang sedang melahap rumah kayu. Aku letakan sirup caramel tadi pada tempatnya dan beralih pada foto polaroid yang ia tempel di kulkasnya.

“Masih ada..” Kataku lagi. Menunjuk foto kami sewaktu merayakan ulang tahun Vernon disini. Mingyu kemudian melangkah menuju dapur, penasaran soal apa yang jadi subjek pembicaraanku.

“Ya masih..” Jelasnya. Ia menggulung lengan bajunya seperempat bagian, kemudian mencuci tangannya di sink cucian piring.

“Mau ngapain?”

“Masak..” Ia mengerlingkan satu matanya kemudian mulai membuka kulkas, membuatku melangkah agak menjauh. “Kamu mau makan apa?”

“Apa aja..” Jelasku. Meninggalkan dirinya yang sibuk berkutat dengan bahan makanan di kulkas serta gemerisik plastic yang memenuhi gendang rungu. Aku duduk di sofa dengan sekat kaca yang memperlihatkan air pantai yang terus menerus datang dan pergi.

“Kamu belum pernah makan masakanku, ya?”

“Belum..” Balasku. “Kan kamu dinnernya sama temen kantor yang kamu certain waktu itu..” Kemudian suara gemerisik tadi tiba-tiba hilang. Dari dapur, dapat aku lihat ia yang menatapku mematung.

“Itu udah satu tahun yang lalu tapi tetep bisa kamu ungkit.” Aku tertawa.

“Soalnya itu yang langsung popping di kepalaku.”

Beribu-ribu bincang tertukar, beribu-ribu tawa memenuhi seluruh penjuru rumah. Suara sendok yang beradu dengan piring, gelas yang sempat tumpah membuat genangan air di lantai. Agenda ini jadi lebih seru dibandingkan harus menghabiskannya di pusat kota sana.

Siang menjelma menjadi sore, menampakan semburat jingga-oranye di langit sana. Perlahan, matahari mulai bersembunyi dan tenggelam di ufuk barat. Menyisakan dinginnya air laut lepas serta deburan ombak yang tidak pernah terhenti gempurannya.

Malam semakin larut, aku harus mengejar penerbangan besok pagi dari LA ke Jerman. Rasanya, aku mau habiskan waktu lebih banyak disini. Di pinggir pantai, aku istirahatkan kepalaku di pundaknya. Mengulang adegan yang sama seperti satu tahun yang sudah lewat.

Aku tidak mau pulang, itu yang terus berkali-kali aku gumamkan di dalam hati. Aku mau disini. Aku mau Mingyu.

Kulitnya yang hangat terus mengelus kulitku. Semuanya mendadak jadi tenang, aman, dan tentram.

“Kita.. boleh mulai sekarang aja gak, Na?” Janjiku berhenti di umur 23 tahun. Satu tahun telah terlewati dan masih ada 3 tahun lainnya untuk aku hadapi. Bukannya perkara gampang. Tanpa komunikasi, tanpa panggilan-panggilan malam pengisi hari.

Beberapa orang yang sudah terikat dan menghabiskan waktu dengan bertukar kabar saja masih bisa bertemu titik kandas. Apalagi aku yang tidak terikat apapun, tanpa komunikasi apapun. Hanya mengandalkan jalan mainnya takdir.

Aku tidak bohong. Ketika pernyataan itu terlontak dari mulut Mingyu, jantungku rasanya diremas tanpa ampun. Ada nyeri yang menusuk dan akhirnya air mataku memupuk.

Aku mau. Tapi, itu sama saja mengingkari janjiku untuk Ibu. Walaupun bukan jadi satu paksaan.

Aku istirahatkan daguku di bahunya, menatap lekuk wajahnya sampai ketika tatap kami bertemu. “Hari ini aku belum bilang selamat ulang tahun in a properly way, yes?”

Mingyu malah tertawa kecil membuang pandangnya dariku dan beralih pada jemari kami yang masih bertaut. “Is it important right now?”

Of course..” Aku perbaiki posisiku, bersiap mengeluarkan amunisi kata untuk dia dan hari lahirnya. Namun, air wajahnya berubah tidak bersemangat.

I don’t want it to be me, Na. aku gak mau ini jadi soal aku. Semuanya. Aku juga mau, pergi ke Jerman di hari ulang tahun kamu..”

Aku tekuk bibirku, aku genggam lebih kuat lagi jemari-jemarinya. “Aku gak bawa hadiah yang mungkin pricey kaya apa yang dulu sempet kamu hadiahin buat aku, Mingyu. But..” I give him a kiss. Di satu pipinya. “Happiest Birthday, aku mau kamu selalu ngerasain segala bentuk bahagia, Mingyu..” Cicitku, bersamaan dengan deru ombak yang terus datang dan pergi memenuhi kalimatku.

Telapak tangannya kemudian berpindah dan memenuhi hampir seluruh pipiku. Senyumnya lembut. Berdetik setelahnya ada bibir yang beradu dengan bibirku.

Ciuman hangat yang singkat ditengah dinginnya angin laut lepas.

“Kita boleh mulai sekarang?” Aku tersenyum kecil. pertanyaan yang sama ia cetuskan kembali. Aku pindahkan tangannya dari pipiku. Kali ini, menyembunyikan wajah dan menolak menatap irisnya. Aku menggeleng kecil.

“23 tahun, Mingyu..”

Ia diam. Kini giliran Mingyu yang menolak menatapku. “Sorry.. for being selfish..”

No..” Aku angkat dagunya. “Harusnya aku yang minta maaf..” Ia rengkuh aku kemudian. Hangat nafasnya mampu aku rasakan di ceruk leherku. I miss him to death. So damn much it hurts.

Perlahan aku mulai menangis dalam diam. Menyembunyikan seguk dan hanya mampu mengistirahatkan dagu di bahunya. Umurku 20 tahun, sedangkan Mingyu sudah menginjak 30 hari ini. Bukan ia yang egois, tapi aku yang menempatkan posisi untuk mau di pahami keadaannya. Dan untuk itu, harusnya aku hadiahkan beribu-ribu kali maaf.

“Mingyu, if in any cases you’ve already find someone, you don’t have to come next year..” Lirihku. “You know the rules, right?”

Yes..” Dan itu membuatku seperti dihujam belati tepat di ulu hatiku.

Anindita.

Ada notifikasi di ponsel Mingyu siang tadi walaupun aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bahas. Namanya, Anindita.

Mungkin, apa yang Vernon katakan soal Mingyu kala itu, bukan sekedar asumsi belaka. Tiap-tiap orang, biasanya selalu menemukan dirinya jatuh cinta di saat paling tidak masuk akal. Mungkin, cepat atau lambat, Mingyu akan temukan dirinya berada di titik itu.

Dan aku, akan belajar merelakan. Mengikhlaskan.