youngswritting

Hari ini gue masuk kelas Management, dek, tapi yang dibahas bukan Management bisnis malah Management hidup. But afterall, bisnis juga bagian dari hidup.

Lalu yang gue ingat dari apa yang dosen gue jelasin tadi pagi adalah soal bagaimana beliau yang menjelaskan tentang management hidup dan tujuannya. Dia bilang “So many people walk around with a meaningless life. They seem half-asleep, when they're busy doing things they think are important. This is because they're chasing the wrong things. meaning into your life is to devote yourself to loving others, devote yourself to your community around you, and devote your-self to creating something that gives you purpose and meaning.”

Gue record dan gue catet di catatan gue, Dek. Supaya langkah gue engga salah, supaya langkah kita engga kemana-mana, tapi di jalanan mimpi yang berusaha sama-sama kita bangun.

Dek, ada gedung kosong di 10 avenue yang baru beberapa kali gue lihat. Tempatnya strategis, street that full of art. Nanti, kalau mimpi lo masih mau buat bangun exhibition sendiri, gue hadiahin gedungnya satu buat lo. Tapi tunggu bentar lagi ya, Gu.

Rendra.

References : Tuesdays with Morrie-Mitch Albom

Dek, gue ketemu roommate baru, namanya Johan, dia juga dari Indonesia. Semisal nanti pas lo ke New York dan Johan memutuskan buat pergi ke Michigan, at least lo bisa tau dan kenal Johan. He is kind, awalnya gue nolak buat share Apart yang dikasih Papah, tapi ngeliat dia susah karena disini pun dia kuliah sambil kerja, dia rent apart ini cuma sekitar 30% dan itupun dia maksa buat bayar.

Kemarin gue sempet sakit, dan dia rela dipecat dari kerjaannya sebagai waiter di salah satu restoran, soalnya gue udah gak bisa bangkit dari tempat tidur dan Johan rela balik buat nganterin gue ke rumah sakit.

Pas dia dikabarin kalau dia dipecat, dia ketawa, dek. Dan dengan gampangnya dia bilang kalau nanti juga pasti dapet kerjaan lagi. Hal yang bikin gue gak habis pikir adalah dia rela minjem duit temennya supaya rent apart dia gak nunggak. Disitu rasanya gue mau marah.

Tapi dek, setelah gue pikir-pikir, alasan gue nyisipin arsip ini atas nama Johan, adalah supaya lo bisa belajar dari dia. Untuk menghargai hak orang lain, terlepas apapun status dan latar belakang mereka. Untuk belajar menomor-satu-kan hidup seseorang diatas kepentingan apapun yang mungkin lo punya.

Dek, gue harap lo ketemu Johan ya sebelum dia berangkat ke Michigan, karena mimpi dia ada disana, dan mimpi kita ada disini. Semoga waktu masih cukup. Gue mau lo kenal Johan langsung, bukan dari cerita gue, bukan juga dari tulisan ini.

Rendra.

Day 1 of university was great! Surprisingly gue ketemu beberapa mahasiswa dari Indonesia juga, Dek! Gue rasa New York bakalan cocok deh buat lo, Gu. Soalnya, beberapa kali gue denger mahasiswa lain ngobrol, ada banyak rumah produksi film yang gunain NYU buat jadi latar ceritanya.

So, NYU student soon to be?

Rendra.

Dek, New York is beyond wonderful! Sewaktu gue nyampe, di New York lagi transisi dari musim panas ke musim gugur. Gue sempet ambil beberapa foto tadi disepanjang jalan dari John F. Kennedy Airport ke Apartemen. Di beberapa street avenue, ada banyak hal yang gue yakin lo bakal suka. Ada beberapa tempat juga yang gue yakin bakal sesuai sama passion lo. Nanti, sewaktu lo udah cukup umur dan dibolehin Papa buat berangkat ke New York nyusulin gue, kita survey banyak tempat buat bangun mimpi lo ya dek, sama-sama.

Rendra.

“Lo tau gak sih, kebaya gue kegedean, Din..” Aku tersenyum kecil menatap wajah Rani yang sebalnya bukan main perihal baju kebaya yang akan ia pakai untuk wisuda nanti yang sudah bisa dihitung dengan jari.

“Yaudah, kan masih ada waktu buat dikecilin, Ran. Daripada lo kerjaannya ngambek mulu, mending kita sekarang ke tukang jahit ngecilin baju lo.” Mulut Rani malah mengkerucut semakin maju.

“Gabisa gue kalau sekarang, gue mau nemenin Samuel nyari jas.”

“Yaudah, kapan-kapan.” Rani kemudian mengistirahatkan kepalanya di pundakku. Dari visualisasiku, dapat aku lihat matanya yang terpaku, entah pada apa, entah dimana.

“Mikirin apa, Ran?” Tanyaku. Namun malah mengundang kekehan kecil dari dia.

“Lo inget gak, rencananya Samuel pas kita lulus SMA?” Kepalaku mengembara pada kenangan tersebut bak sebuah reel film yang sebenarnya aku tolak mentah-mentah untuk diingat kembali.

“Kenapa emang?”

“Kalau dipikir-pikir ya lucu aja. Kita masih terlalu remaja buat bisa prediksi masa depan. Ujung-ujungnya.. ya gituu..”

Aku tertawa kecil sembari memainkan buku-buku jariku. “Iya.. bener.”

“Din.. gue bukannya mau brought up Mikha lagi, tapi.. apa ya. Lo juga tau kan hubungan gue dan Samuel sama Mikha juga engga baik—”

“Gara-gara gue ya, Ran?”

Rani memutar bola matanya. “Oh.. C’mon! we’ve been here, Din. Pertanyaan lo itu-itu mulu.”

Aku tarik bahu Rani kemudian, aku tatap matanya. Aku melipat bibir, menahan nafas dan aku buang perlahan. “Karena, Ran, jawaban yang lo kasih sama gue gak pernah bikin gue merasa puas.” Aku jatuhkan kemudian genggamanku yang sebelumnya ada pada bahu Rani. Sembari menyenderkan bahu pada kepala sofa, kenanganku mulai bermain dan berputar jauh kebelakang.

“Din..” Rani memutar tubuhnya, kini menatapku yang tidak menatapnya, melainkan menatap plafon rumah yang sudah muncul retak-retakan. “Gue sayang sama Mikha. Dari SMP dulu, Din, Mikha sama Samuel doang yang gue punya. Dulu temen-temen cewe gue di SMP tuh kindly unmatched aja sama kepribadian gue yang ujung-ujungnya juga disinisin gue sama mereka gara-gara mainnya sama cowo mulu.” Jelas Rani.

“Tapi gue buktiin, kalau emang gue fully matched sama Samuel dan Mikha, karena bahkan sampe hampir selesai kuliah pun, gue masih main bareng mereka.” Sambung Rani lagi. “Lo liat gue sama Samuel, kalo kata orang dulu sebelum pacaran udah kaya kembar sial. Lengket mulu. Ya.. karena dari dulu juga yang gue punya tetep Samuel sama Mikha, Din..”

“Dan kalau lo inget, seberapa gue bersikeras buat approach lo karena gue suka sama vibes lo. Itu juga pertama kali akhirnya gue dapet temen cewe kaya lo.” Aku tertawa lepas setelah kalimat ungkapan tersebut keluar dari mulut Rani. “Setelah apa yang gue denger langsung dari mulut Mikha hari itu, gue nangis pas balik kerumah. Gue mikirin lo yaiyalah, tapi di satu sisi juga gue mikirin diri gue sendiri.” Rani menunduk memainkan jemarinya. “Gue kecewa aja sama Mikha..”

“Kita bertiga dari dulu selalu put trust on each other, Din. Selalu. Bahkan untuk ukuran siomay yang gue titipin juga gue percaya kalau kuah kacang punya gue lebih banyak daripada punya mereka.” Sunggingan senyum dari bibir Rani tiba-tiba menyala dan hidup, namun untuk ukuran yang cukup kecil. “Ya gue kecewa sama Mikha. Gue berani sumpah dulu kalau dia engga akan mungkin ngelakuin hal-hal kaya gitu, tapi ujung-ujungnya gue denger langsung dari mulut dia. Jadi.. yaudah. Gue juga gak bisa ngeliat Mikha yang sama, Din. Engga kaya lo..” Aku mengelus hangat pundak Rani, menepuk-nepuknya pelan.

“Tapi.. lo kangen gak, main bertiga lagi?”

“Kangen lah! Apalagi kalau kita berempat ngadain double-date dan main bareng!” Balas Rani tanpa keraguan. “Tapi kalaupun gue ajakin main, rasanya udah beda aja, Din. Jadi.. biarin aja ini jadi hukuman buat Mikha sendiri..”

“Tapi kejam banget, Ran, kalau lo harus ngehukum Mikha kaya gini..”

“Supaya dia tau, Din.. kalau memang ada yang harus dibayar atas pengkhianatan. Gue.. juga ngerasa terkhianati. Jadi, ini semua bukan soal lo, but me as well, and Samuel.” Kini aku dan Rani sama-sama mengelus pundak satu sama lain, mengukir senyum untuk satu sama lain.

Mungkin, ada berkah lain atas kejadian beberapa bulan yang telah lalu. Bahwa sebenarnya, Mikha masihlah membawa berkat, lewat Rani, sesekali Samuel.

-

Rektorat kampus ramainya siang itu bukan main. Fakultas Teknik berbondong-bondong membawa bendera kebanggan Himpunan serta mempersiapkan Marching Band untuk mengantarkan para wisudawan kembali menuju Fakultas. Dan aku tidak pernah merasa sebangga ini. Ijazah ditangan, serta tali toga yang sepenuhnya sudah berada di kanan.

Aku memeluk Rani sekuat tenaga, aku bawa pelukannya ke kanan dan kekiri, sekaligus berusaha sekuat tegana menolak menimbun air mata. Aku ucapkan banyak-banyak kalimat afirmasi untuk menunjukan bentuk afeksiku atas dirinya selama beberapa tahun kebelakang. Aku, menyayangi sahabatku ini.

Tidak lama, sebuah telfon nyaring berdering, milik Rani, menunjukan nama Samuel disana.

“Kamu dimana?” “Yailah, harus banget ke rektorat?” “Itumah kebanggaan kamu sendiri.” “Capek, aku pake heels, Sam.” “Enak aja.” “Iyaaa, kesana nih.” “Mau ngapain sih?” “Iya iya bawel. Kesana akuu.”

Setelah telfonnya ditutup, aku bertanya kepada Rani, “Kenapa, Ran?”

“Engga tau, disuruh Samuel ke rektorat.” Dengan sebal Rani memasukan kembali ponselnya pada tas kecil yang ia bawa.

“Oh yaudah, gue nyamperin nyokap bo—”

“Sama lo, njir.” Sontak, Rani menarik tanganku.

“Lah, gue juga? Kenapa?”

“Gak tau dibilang, disuruh Sam kesana..” Aku menyerah kemudian, membiarkan Rani menarik tanganku kemanapun yang ia mau.

Sampai di depan gedung rektorat, Samuel melambaikan tangannya di udara, membuat aku dan Rani melangkah mendekati sosoknya dengan topi toga di tangan.

“Kenapa gue juga ikut-ikut diajak kesini?” Tanyaku, masih berusaha menarik konklusi atas agenda yang entah apa yang sedang direncanakan oleh Samuel.

“Gue mau re-create foto kita yang kaya pas SMA dulu, sesuai rencana dan janji gue.” Aku membisu, Rani pun begitu. Butuh banyak waktu untuk aku dan Ia berusaha menarik benang-benang kusut. “Gak papa, kita bertiga aja.” Samuel memanggil seseorang kemudian, meminta tolong untuk diambilkan foto tepat didepan gedung rektorat kampus.

Ketika sudah siap, sebuah sosok familiar tertangkap visualisasiku, membuat Samuel dan Rani ikut terdistrak lantaran aku yang terdiam cukup lama. Mikha, dan topi toga yang ia genggam di tangannya.

Dengan langkah pelan, kini Mikha sudah sepenuhnya berdiri didepanku, didepan Rani, didepan Samuel pula. Suasana canggung menyeruak habis-habisan, aku tidak mampu bersuara, tidak mampu memulai cerita.

“Gue.. mau pamit..” Kata Mikha kemudian. “Tadi gue sempet liat kalian didalem, tapi gue bingung harus nyapanya gimana, dan kebetulan gue lagi liat kalian ngumpul disini.” Mikha menggaruk tekuknya. “Gue.. mau pamit, habis ini gue ada fokus studi lagi ke Hongkong, dan sekalian juga gue mau ngucapin selamat.. buat.. kita semua.” Senyum Mikha tertekuk, ia lipat dalam senyumnya.

“Mik..” Panggilku setelahnya. “Masih inget janji Samuel gak soal re-create foto pas dulu kita lulus SMA?” Mikha diam, harusnya ia ingat. Harusnya momen membahagiakan itu ia ingat dengan jelas dikepalanya.

“Masih..”

“Masih mau gak, wujudin cita-citanya Samuel?” Ucapku, dengan senyum, agar Mikha tidak terlalu canggung berdiri disini bersama aku dan yang lain.

“Boleh?” Tanyanya, penuh keraguan.

“Ya boleh.” Kataku bersemangat. “Ayo?” Kini, lunas sudah. Senyum Samuel merekah hebat, dapat aku lihat dari wajahnya yang tiba-tiba beralih menatap wajahku, seakan-akan menyuarakan rasa terimakasih tersirat.

Aku hanya menekan ego, mengharapkan kebahagiaan atas teman-temanku sendiri, terutama Samuel, yang sekarang sedang asik memeriksa layar ponselnya, ingin tau bagaimana hasil dari foto mereka bersama.

“Sam, Ran..” Mikha beralih menatap wajahku. “Din..” Panggilnya kecil. “Gue.. duluan ya.” Mikha tersenyum kecil ketika wajahnya beralih pada Samuel. “Sam, lunas ya utang gue. Wisudaan bareng-bareng berempat.” Ia terkekeh canggung sebagai penutup kalimatnya.

Samuel meraih bahu Mikha, menepuknya kemudian pada detik berikutnya, ia tarik Mikha dalam pelukannya. “Break a leg, Mik.” Bisiknya pelan. “Even for things that had been happened, please be a better person. Gue seneng bisa jadi sahabat lo, gue seneng pernah jadi saksi hidup kehidupan lo.” Dapat aku lihat Samuel yang membersihkan sedikit sudut matanya. Samuel, seorang Samuel tengah menangis membersihkan sisa-sisa air mata.

Mikha ikut menepuk bahu Samuel, menariknya kedalam pelukannya lagi, mengucapkan terimakasih, kemudian keduanya terbahak. Setelahnya Mikha beralih menatap Rani yang menolak menatap balik dirinya. Mikha melipat senyum, membuang nafasnya lembut. “Ran.. congratulations—“

“Anjing lo, Mik.” Kini Rani berhambur memeluk tubuh Mikha yang cukup besar untuk bisa ia tangkup secara sempurna. Ada sedikit seguk tangis yang aku dengar kemudian.

Setiap harinya, Rani hanya akan berpura-pura bahwa ia kuat, tidak menjalani agenda-agenda yang biasa mereka lakukan bersama bertiga. Namun pada akhirnya, ia runtuh. Ini juga membuktikan bahwa kerinduan memang mampu membuat jiwa menjadi rapuh.

“Maafin gue, Ran..” Bisik suara Mikha juga masih bisa aku dengar dengan jelas.

Setelahnya, setelah pelukan keduanya kian melonggar dan tatapan Mikha bertemu mataku. Aku.. ikut menjadi rapuh.. dan betapa aku ingin meruntuhkan diriku sendiri pada pelukan hangat yang sudah sejak lama aku rindu.

“Din..” Panggilnya.

“Mikha..” Panggilku kembali.

“Can I?”

Dengan senyum tipis dan langkah pelan, kini aku jatuh pada pelukan hangat seorang Mikha yang aku rindu. Tidak bisa aku pungkiri, tidak bisa aku bohongi diriku sendiri.

“Mikha, i’m wishing you a successful life, ya?“ Pelukan Mikha dapat aku rasakan semakin kuat, membuat hatiku mencelus ingin menangis lebih kencang dalam dekapnya.

You are still my favorite person, Din.” Bisiknya pelan dengan deru nafas yang bisa aku rasakan pada tekuk leherku. “Thank you so much, and i am so sorry..”

Dan pada akhirnya, aku menangis hebat didalam sana. Ada banyak kesempatan yang aku pertanyakan perihal hidup, salah satunya adalah dekapan hangat milik Mikha yang terkadang aku cari-cari dimana-mana. Pada setiap malam yang dingin dan suara semunya yang tiba-tiba bermain diruang kepalaku.

“Mikha.. kamu tetep jadi Mikha yang aku tau. Our precious 6 years, will always be there dan engga akan aku hancurin cuma karena kesalahan kamu. It is still full of love, and if i could, aku mau kita terjebak aja di 6 tahun yang kita punya, tanpa harus menyambut tahun ke 7, ke 8 dan seterusnya.” Aku tidak yakin apa Mikha mendengar dengan jelas apa yang aku katakan, mengingat aku masih didekapnya, bersamaan dengan suaraku yang ikut bergetar karena tangisan. “Mikha, i know you will be someone that i miss one day, but i’m still the luckiest. i was, once, being someone you run into and had a home inside of your eyes.

Bersamaan dengan pelukan yang melonggar, ada pupuk air mata di mata Mikha yang aku abadikan. “Dulu, aku istirahatnya disini..” Tunjukku pada satu bola mata kanannya, membuat ia tertawa kecil.

“Maaf, aku engga bisa jadi rumah abadinya kamu, Din..” Mikha menunduk, membersihkan sudut matanya, dan membersihkan sedikit disudut mataku.

It is okay. Someday, you will, jadi rumah buat satu orang yang akhirnya nyapu semua kesedihan kamu, jadi tempat kamu ngadu. Salam sama Kakak, Mik, Papi sama Mami..” Kali ini Mikha tersenyum penuh hangat. “And.. our precious baby girl, Lucy..” Sambungku lagi.

Will do.”

Mikha melangkah menjauh, melambai pelan sampai akhirnya memutar tubuhnya dengan sempurna membelakangi aku, Rani dan Samuel. Ia terus menyusuri rerumputan tanah rektorat dan menghilang pada pilar-pilar, pada gedung-gedung kokoh fakultas.

Pada akhirnya, semua selesai. Garis pertemuan dan perpisahan memang sebegitu tipisnya, ada pada detik ini hingga selamanya. Apapun yang Mikha lakukan dan jadi apa Mikha di masa depan, aku akan bersyukur pernah mengisi garis pertemuan dengan dirinya dan saling mengisi kerinduan atas masa masa penuh cinta.

Mikha melalukan kesalahan yang berbuntut panjang pada beberapa aspek hidupnya, tapi yang aku tau, Mikha adalah satu yang penuh dengan kasih sayang. Mikha, masihlah yang itu, masih yang selalu aku rindu.

‘Like a wave that crashed and melted on the shore, not even the burnouts are out here anymore. And you had to go, I know, I know, I know’

and you were good, we were good. at least, once, for a brief lifetime.

Langit hari ini lebih teduh, mungkin buntut atas hujan tidak berujung yang tumpah habis habisan malam tadi. Titik-titik embun tidak mau kalah mengambil peran berdiri di atas pucuk-pucuk daun, setelah ini bersiap hilang disembur angin.

Dinda Baskoro sedikit merapatkan jaketnya sebelum melangkah masuk menuju kelas. Ranselnya ia rekatkan dan langkahnya ia selaraskan pelan pada beberapa teman yang ia jumpai di gerbang sekolah. Kemudian sebelum sampai pada daun pintu tempat dimana ia akan duduk sampai sore hari nanti, obrolan perihal tugas, catatan atau pelajaran apalagi yang akan membuat mereka berakhir menahan kantuk dengan pena yang terus dipeluk jemari hadir sebagai pembuka hari.

Hari ini, mungkin akan jadi hari yang panjang.

Belum lagi soal anak laki-laki sekelasnya yang saban hari terus saja punya banyak alasan untuk mengganggunya. Mikha El Yardan, serta keputusan krusial miliknya dalam pemilihan jurusan IPA atau IPS pada tahun ajaran baru yang tinggal terhitung beberapa bulan lagi yang sedang hangat diperbincangkan.

“Gue bakalan IPA sih, soalnya kan gue mau ambil Teknik ntar..” Namanya Rani, Rania Ayuma, dari dulu sejak SMP sampai sekarangpun masih jadi teman baik Mikha.

“Gue tetep IPS di dada, soalnya hukum harga mati.” Leonardo Samuel, juga masih jadi satu komplotan baik antara Mikha dan Rani. Keduanya sudah lebih dulu berkecimpung di dunia perbucinan, alias, jadian duluan.

“Mikha gimana? Masih tetep pada pendiriannya yang engga jelas itu?”

“Yailah, Mikha mah jangan didenger, itu bocah emang gendeng.” Dinda terbahak hebat, kemudian mengalihkan pandangannya pada buku catatan untuk mengulas kembali catatan yang sudah ia tuliskan minggu lalu.

Mikha sendiri masih belum muncul batang hidungnya. Biasanya ia akan telat barang 5 sampai 10 menit setelah bell kelas dimulai. Amunisi andalannya biasanya adalah hal-hal klise yang para guru juga sudah muak mendengarkan, toh, apapun alasan yang Mikha suarakan pada hari itu, ia akan berakhir duduk di bangkunya sendiri sambil mengangkat dagu tinggi, karena tidak harus berakhir berdiri didepan kelasnya di pagi hari.

Memori Dinda sedikit berputar pada beberapa hari yang lalu ketika diskusi perihal pemilihan jurusan ini jadi topik paling hangat diseluruh penjuru sekolah. Dinda tau soal Mikha dan segala trik-triknya untuk meluluhkan hati Dinda sendiri. Tapi Dinda hanya anggap itu sebagai angin lalu. Ia hanya akan tertawa kecil, mengibas tangannya didepan wajah, kemudian pergi.

Beberapa hari yang lalu, Mikha jelaskan ia menolak masuk ke jurusan IPS, membuat seluruh pasang mata menatap heran. Tidak mungkin Mikha akan jadi sebodoh itu untuk merelakan sekolah hukumnya setelah tamat nanti hanya untuk alasan paling tidak logis. Katanya, “Pengen aja gue di IPA.”

Dinda yang mendengarkan alasan itu dari mulut ke mulut hanya tertawa kecil. Ia yakin, kalau Mikha sendiri tidak akan mungkin berani mengambil keputusan berisiko seperti itu, apalagi masa depannya dan Sekolah Hukum sudah terjamin pada jenjang beberapa tahun kedepan. Mikha hanyalah seorang Mikha, yang mulutnya cukup besar untuk seantero sekolah tau bentuk perangainya.

Tapi kemudian apa yang Dinda temukan pada kelas IPA yang ia pilih adalah Mikha, yang tersenyum lebar bukan main disudut kelas. Membuat Dinda banyak bertanya, apa yang sebenarnya Mikha kejar? Bagaimana mungkin seorang Mikha berani mengambil keputusan semacam ini? Atau sebenarnya ada yang ingin Mikha buktikan?

“Mikha?” Sapaan hangat itu kemudian membuat si empunya nama mendongak menemukan manik mata Dinda yang memendam banyak pertanyaan. Tapi yang cukup Dinda percayai adalah bahwa, mungkin Mikha punya passion lain diluar Sekolah Hukum yang mengikat seluruh keluarganya itu. Mungkin, Mikha mau jadi Dokter. Mungkin, Mikha mau menjadi seorang Peneliti Sains? Mungkin.

“Din..” Sapanya kembali diikuti senyum dari kedua sudut bibirnya.

“IPA juga?”

“Kan gue udah bilang dari kapan tau kalau gue mau ambilnya IPA.” Jelas Mikha.

“Oh.. Lo akhirnya nyerah nih ceritanya sama ‘Law-Thingy’ yang ada di keluarga lo?” Sambil meletakkan tas ranselnya, Dinda kemudian duduk.

“Engga juga..” Jawaban lempeng yang keluar dari mulut Mikha dibalas kerutan yang hadir dari alis Dinda.

“Terus kalau lo tetep mau sekolah hukum, kenapa ambilnya IPA?”

“Gak papa, pengen aja.” Dengan sebuah kekehan kecil, Mikha mengangkat bahunya cepat. Menolak memberikan banyak alasan spesifik atas keputusannya yang bisa dibilang sembrono. Mikha dan segalanya soal Sekolah Hukum. Orang Tuanya yang membawa nama besar dan Mikha yang berat menopangnya kemanapun ia melangkah. Seluruh antero sekolah tau, semuanya tau itu.

“Jangan sampe ini buku mendarat di kepala lo, ya?” Sambil berusaha melindungi dirinya dengan menjadikan telapak tangannya sebuah tameng atas kepura-puraan Dinda untuk melempar buku yang ada di mejanya, Mika mengaduh, “Eh iya iya iyaa!! Jangan dilempar.”

Mikha memutar otaknya sambil berdeham banyak untuk mengulur waktu dan berusaha se-logis mungkin untuk menyuarakan alasannya dengan jurusan dan korelasi antara sekolah Hukumnya itu. “Kalau gue masuk jurusan IPA, Din, gue bisa belajar ikatan senyawa Kimia. Chemistry.” Awalnya Dinda sedikit terpesona atas alasan itu, padahal Mikha hanya menyuarakan apa yang terlintas dikepalanya. Karena lucunya, pada satu lubuk hati yang Mikha juga punya, diam-diam alasannya hanya satu; Dinda.

“Tapi, Mikha, di IPS lo bisa belajar ikatan konstelasi-konstelasi bintang.”

Sial. Alasan itu menghancurkan alasan yang Mikha suarakan. Masuk akal juga.

“Hm..” Mikha mengangguk-ngangguk mengetuk-ngetuk dagunya sendiri. “Menurut lo, dari kedua mapel itu, yang mana yang paling kuat?”

“Kuat apanya?”

“Ngikat gue sama lo, Din..” Secepat kilat kemudian sebuah toyoran mendarat mulus di jidat Mikha, membuat kepalanya sampai-sampai terlempar kebelakang.

“Yeee.. belajar lo yang bener.”

“Yahahaha, si Dinda. Gue serius..” Picingan mata Dinda mengundang kurva senyum dari kedua sudut bibir Mikha. Ia terpaku cukup lama, masih menanti jawaban lain yang mungkin keluar dari mulut sang gadis.

“Nanti..”

“Nanti muluuuu~” Kerucut bibir Mikha majunya bukan main.

“Nanti ya, Mikha, ngomong sama guenya yang proper..” Kemudian, secara tidak langsung, alam bawah sadar Mikha menolak untuk membuang kesempatan ini. Ia, tidak pernah suka ditantang.

Bagi Dinda, apa yang seringkali Mikha lakukan untuk mengundang atensinya hanyalah sebuah angin lalu biasa. Dinda percaya, masa sekolah adalah wadah paling ampuh untuk mengundang fase-fase cinta monyet yang pada akhirnya berakhir kandas dan berujung menjadi sebuah cerita pemenuh hari pada masa kuliah nanti.

“Yailah, Din.. kasian tuh anaknya galauin lu mulu..” Satu mulut bercicit berisik bak kicauan burung pada pagi hari.

“Din, Mikha kirim salam katanya suruh lo nyamperin ke kantin, mau di jajanin..” Itu hanya tipu muslihat. Pada akhirnya Dinda berakhir duduk di kursinya sampai jam pelajaran selanjutnya dimulai.

“Din, kasih si Mikha kesempatan lah, manatau bisa bahagiain lo.” Prespektif Dinda perihal bahagia adalah bukan tanggung jawab orang lain, tapi tanggung jawab dirinya sendiri.

“Din, Mikha rela nganggurin chat-chat semua cewe supaya bisa dapetin lo.” Lalu? Apa hal yang harus Dinda petik dari informasi yang sejujurnya tidak penting itu?

Tapi kemudian yang muncul di benak Dinda adalah: apa yang sebenarnya Mikha kejar soal dirinya? Apa yang sebenarnya Mikha coba dapatkan? Kenapa harus Dinda selama ini? Kenapa bukan gadis-gadis yang meneriaki namanya itu yang Mikha kejar?

Malam-malam Dinda akan selalu dipenuhi notifikasi dimana nama Mikha muncul disana. Sebagai seorang ‘teman’ yang baik dan ingin punya banyak relasi serta tidak memilih-milih teman, Dinda dengan sepenuh hati membalas pesannya, sesekali mengangkat telfonnya, namun tidak selalu berakhir lama.

“Jangan di matiin dulu, Din..” Rengek Mikha pada satu malam.

“Malem malem gak boleh telfonan.” Sontak saja alasan menggelikan itu membuat laki-laki diseberang sana terbahak begitu hebat. Ia bahkan sampai harus bangkit dari rebahnya hanya untuk memastikan bahwa kalimat yang dikeluarkan Dinda bukanlah suatu kesalahan dalam pendengarannya.

“Yeh? Kata siapa?”

“Kata nyokap gue lah!”

“Nyokap gue boleh-bolehin aja?”

“Yaudah, gue gak dibolehin.”

“Besok deh..” Jawaban sembrono milik Mikha yang kali ini membuat Dinda dua kali lebih sebal.

“Gak dibolehin, Mikha. Lo nyebelin banget sih?”

“Besok gue minta izin sama nyokap lo, supaya dibolehin telfonan sama gue tiap malem.” Langsung saja ada mulut yang membisu. Dinda bukanlah tipikal perempuan yang terlalu menye-menye. Ia juga bukan perempuan yang lemah terhadap afeksi-afeksi kecil yang disalurkan beberapa teman lelakinya, tapi setiap kalimat-kalimat seperti itu muncul dari mulut Mikha, Dinda jadi gagu. Kalimat-kalimat yang ia rangkum pun, tidak lagi punya rumah untuk dituju.

“Halo? Din? Tidur?”

Pada titik ini kemudian, Dinda jadi buta bagaimana merangkum keseluruhan hari-harinya ketika ada Mikha didalamnya. Terlebih, soal perasaannya. Bohong kalau dia bilang biasa saja kalau teman-temannya menjadikan ia dan Mikha bahan olok-olokan. Ada sebuah degup didalam dadanya dimana membuat perutnya berputar hebat serta bulir-bulir keringat yang mendadak muncul entah darimana. Tenggorokan yang kerap kali tercekat ketika kedua manik mata mereka bertemu. Apa yang kemudian harus Dinda simpulkan untuk perasaan-perasaan aneh ini?

“Mikha.. udah ya? Besok kan masih sekolah.” Intonasi suara si gadis membuat seseorang diseberang sana sedikitnya panik.

“Din? Lo kenapa?”

“Gak papa.”

Pada detik berikutnya, Mikha jadi merasa sangat bersalah. Sejak kapan tau Mikha sadar kalau Dinda bukanlah tipikal orang yang senang malamnya diisi oleh candaan receh lewat panggilan telfon. Tapi disinipun, Mikha sedanglah berusaha untuk mendapatkan si gadis yang mungkin pada detik-detik sekarang, usahanya masih nihil dilirik. “Maaf ya kalo gue bercandanya suka kelewatan? Janji, besok engga gue telfon lagi.” Mikha memelintir ujung selimutnya, menggigit dalam bibirnya, menanti jawaban dari lawan bicaranya yang masih saja bisu, belum membalas sahutan dari bibirnya.

“Din?” Panggil Mikha lagi, ketika jawaban dari sana tidak kunjung hadir.

“Mikha, kalau gak bisa nepatin janji mending engga usah janji-janjian.” Kini Mikha semakin merasa dua kali lebih bersalah. Ditunjukan dari raut wajahnya yang mendadak lesu serta bola mata yang ikut bergetar.

Namun, ada sebuah kalimat yang dipernyatakan dimana katanya, terkadang komunikasi tidak berjalan searah. Tidak sesuai, kadang meleset maknanya.

Mungkin, penggambaran kedua remaja yang teduh rumahnya saling membelakangi dan jauh adanya itu adalah sama. Mikha memang senang luput dari tumpukan janji-janjinya, membuatnya kini merasa jadi orang paling buruk. Tapi bagi Dinda, tidak perlu Mikha tepati janji sampah itu, toh, pasti akan ada dirinya yang menunggu panggilan untuk berdering menunjukan nama Mikha di layarnya.

-

Esok pagi ketika mata Dinda menangkap secercah cahaya yang menembus tirai kamar, jantungnya didalam sana lagi-lagi berdegup cukup kencang, seakan-akan ia sedang berupaya untuk lari dari penopangnya. Seakan-akan ia sedang berusaha mendobrak rusuk-rusuknya.

Dinda akan bertemu Mikha hari ini disekolah. Lalu apa? Setahun belakangan juga Dinda selalu bertemu Mikha. Tapi yang kali ini membuatnya tidak enak badan. Memikirkan hal itu saja membuatnya mual, sungguh mual.

Apalagi soal, bagaimana kalo Mikha akan menelfonnya lagi malam ini? Lalu, kalau ternyata dia berhenti menelfon Dinda atas janjinya? Bagaimana? Sialnya, ia pasti menanti dering telfon lain dari sana.

“Teteh?” Seorang wanita paruh baya menyahuti ketika menemukan sang putri sibuk menatap kosong entah kemana, dengan seragam sekolah yang sudah lengkap atributnya, namun tali sepatunya mencong kanan dan kiri. “Teteh kenapa? Kok bengong gitu?”

Dengan kikuk Dinda mengibaskan tangannya didepan wajah. “Engga ada apa apa, Bun.”

“Sok sepatunya dibenerin dulu, nanti selesai Ayah sarapan langsung dianter.” Dengan anggukan, dan wajah yang terkaget melihat tali sepatunya mencong kesana dan kemari, Dinda buru-buru melepasnya kembali, menarik simpul yang lebih benar kali ini.

“Teteh nanti sore jadi mau cari makanannya Akang?” Teriakan Ibunya tidak membuat ia terdistrak, masih asik menarik kesana dan kesini tali sepatunya.

“Jadi, Bun.”

“Kamu teh pergi sendiri aja, yah? Bunda engga bisa temenin, soalnya ada janji dadakan?”

“Ayah?”

“Yeu.. memangnya Ayahmu itu mau diajak jalan-jalan cari pernak-pernik si Akang?” Si subjek pembicaraan mengangkat bahunya cepat, membuat Dinda terkekeh kecil bersamaan dengan tali sepatunya yang sudah terikat sempurna.

Tidak lama, dengan gemerincing dari lehernya, seekor Golden Retriever yang kerap disapa Akang itu muncul dan mulai mengendus Dinda. Perlahan dari sepatunya, menuju lututnya, kemudian lehernya. Mengundang tawa geli dari Dinda sendiri.

“Akang, nanti sore makan enak, yah? Tunggu aku pulang.”

Sore hari usai jam sekolah, cuaca tidak bersahabat. Mendung dan disambut gerimis hujan setelahnya. Dinda berdiri dibawah halte bus dekat sekolah. Ia harusnya naik angkutan umum untuk membeli makanan Akang atas janjinya. Tapi melihat cuaca seperti ini, ia ragu akan ada jenis angkutan umum apapun yang lewat dari sini.

“Din?” Suara familiar yang ditangkap rungu serta merta membuat Dinda terpaku. Mikha, suara Mikha. Itu suara Mikha.

“Mik..” Cicitnya. Tersenyum kikuk dan menepuk-nepuk dadanya. Sudah bisa ditebak, jantungnya didalam sana sedang mengecoh. Ini adalah Mikha yang sudah setahun belakangan selalu ia temui, kenapa kali ini jantungnya harus berdegup bak orang gila yang sedang mengamuk?

“Hujan.. ngapain disini? Nunggu dijemput? Kenapa engga nunggu di dalem sekolah aja? Biasanya juga gitu?” Dinda menahan nafasnya ketika mulut Mikha tidak berhenti bersuara.

“Satu-satu, Mik..” Dicecar pertanyaan yang bukan terkait pelajaran Biologi kesukaannya membuat Dinda malah kewalahan. Padahal tanpa menilik buku catatan juga ia tahu jawaban apa yang akan ia berikan. Tapi kali ini, ia tidak tau harus menjawab apa.

“Ng.. itu.. gue mau.. itu..”

“Itu apa?” Dengan kerut alis yang Mikha tunjukan sebagai bentuk ekspresi bingung, pada akhirnya Dinda menyerah.

“Gue mau cari makanan buat anjing gue, tapi hujan gini jadinya gue bingung mau gimana. Pulang juga engga bisa. Tapi gue udah janji sama anjing gue. Gimana dong?” Mikha terbahak sampai-sampai membuang kepalanya kebelakang.

“Yaudah yuk sama gue aja, gimana?” Alis Mikha menungkik tajam, menunggu jawaban dari Dinda.

“Naik apa?”

“Gue dijemput kakak. Ntar sekalian lo kenalan sama dia.”

Mata Dinda membulat lebar. “Yah.. ngaco lo, Mik. Engga usah ah, engga enak gue.”

“Dih.. santai aja. Ayo!” Pergelangan tangan Dinda kemudian ada dalam genggaman tangan Mikha. Keduanya berlari menghindari rintik hujan yang berakhir sia-sia saja karena ternyata hujan semakin lebat turun membasahi bumi.

30 menit kemudian, Dinda berakhir duduk di kursi belakang mobil Mikha. Ia tidak bisa mendeskripsikan rasa canggung yang semula tercipta ketika Mikha meminta kakak perempuannya itu untuk mengantarnya membeli makanan anjing.

Namanya Cantika, biasanya sering di panggil ‘Kak Chaca’. Ini juga kali pertama Dinda bertemu sosoknya. Biasanya hanya ada Mikha yang mengoceh banyak hal perihal kakaknya serta pencapaian-pencapaian keren yang pernah ia buat. Kata Chaca, ia belum menikah, ia adalah full-timer seorang perempuan karir yang berdiri pada lapangan Hukum, sama seperti kedua orang tuanya dan yang pasti, Mikha, pada masa yang akan datang.

“Kamu punya anjing, Dek? Jenis apa?” Tanpa menoleh dari jalanan, Chaca membuka obrolan dibarengi dengan siulan dari bibir Mikha mengikuti musik yang sedang diputar.

Golden Retriever, Kak.”

“Tuh kan!” Mikha tiba-tiba menepuk bahu kakaknya. “Gue bilang juga apa kak! Ayo kita adopt Golden Retriever yang kemaren kita liat di pet shop!”

“Ya gue kan mau-mau aja. Salahnya kan Mami yang gak mau..” Chaca memutar stirnya kali ini, kemudian mengikuti lurus jalanan kota yang masih basah karena hujan juga belum kunjung mereda.

“Lo rayu Mami dong, Kak..” Bagi Dinda, ini pemandangan yang cukup lucu. Seorang Mikha yang merengek bak seorang anak kecil yang minta dibelikan mainan. Ia tersenyum kecil, pikirnya; pada akhirnya, seorang Mikha yang setiap hari Dinda temui sebagai sosok teman laki-lakinya jugalah seorang adik bagi seorang kakak yang mungkin setiap harinya dipenuhi oleh rengekan semacam ini. “Gue udah nyiapin nama nih kak kalo Mami approve.” Sambung Mikha lagi.

“Dek, Mami tuh malesnya lo suka engga tanggung jawab kalau minta sesuatu.”

“Janji gue kak! Kali ini kalo dibolehin sama Mami, Lucy akan gue urus seperti anak sendiri.” Mikha memukul dada kirinya, seakan-akan sebuah janji atas merawat seekor hewan peliharaan jadi sebuah kebanggan tersendiri baginya.

“Siapa Lucy?”

“Nama anjingnya.”

Dengan membuang nafas dan masih fokus pada stir dan jalanan, Chaca mengangguk kemudian. “Iya nanti.”

“Yess!! Ntar kalo mau cari makanan anjing sama gue aja, Din.” Dinda bisa melihat kegirangan yang terluksi di wajah Mikha sesaat ia memutar tubuh dari kursi penumpang didepan sana menuju kebelakang, menuju dirinya. Tidak lupa sebuah kerlingan yang membuat Dinda ingin tertawa hebat didalam sana.

“Engga janji tapi ya, Dek.” Sahutan mendadak dari kakak perempuannya itu membuat Mikha jadi pundung. Ia melipat tangannya didepan dada dan memutar malas kedua bola matanya.

“Ah! Lo kak!”

Pada satu pet shop dimana Dinda selalu menemukan apa yang ia butuhkan disana, ia mengelilingi seluruh rak dan mengambil apapun yang cukup untuk memenuhi kebutuhan Akang. Makanan, vitamin serta mainan baru. Mikha ikut berjalan dibelakang Dinda sambil banyak menelisik dan bertanya atas keinginannya untuk memelihara seekor anjing.

“Biasanya kalau belanja gini sama siapa, Din?” Dinda mengalihkan pandangannya sekejap dari tulisan komposisi bahan makanan yang ada dibelakang bungkus plastik yang ia genggam kepada Mikha, kemudian memasukkannya kedalam keranjang belanja.

“Tergantung. Kalau nyokap gue engga sibuk, biasanya bareng nyokap. Kalau engga ya sendiri.” Mikha mengulum bibir sambil mengangguk.

“Din,” Panggilan itu membuat Dinda menoleh. “Kalau gue kerumah lo, boleh?” Pertanyaan yang meluncur barusan tidak dapat menyembunyikan keterkejutan dari ekspresi wajah Dinda. Menyadari ekspresi itu, Mikha mengibaskan tangannya didepan wajah. “Bukan mau minta izin sama nyokap lo supaya bisa gue telfon tiap malem, Din..” Satu sudut bibir Mikha menungkik. “Gue mau lihat anjing lo.”

Tiba-tiba Dinda merasa lega. Nafasnya yang tadi sempat tertahan mendadak terbuang dengan perlahan. Lagipula, kenapa Dinda harus mematung ditempat dengan pertanyaan Mikha barusan?

“Kapan lo bolehin aja. Tapi kalau semisal lo keberatan sih engga papa..” Dengan dua alis yang tiba-tiba naik, Dinda tau kalau Mikha sedang menanti jawaban atas izinnya untuk main kerumah bertemu dengan Akang-nya.

“Sore ini, boleh, Mikha..” Dengan lebar senyum yang kini menghiasi wajah Mikha, Dinda terkekeh kecil yang kemudian ia sembunyikan dengan cara kembali sok sibuk mencari-cari sekiranya apalagi yang akan ia beli untuk Akang-nya dirumah.

“Din..” Panggilan kedua yang lagi-lagi membuat si empunya nama menoleh. “Kalau izin sama nyokap lo, boleh?” Pertanyaan yang keluar dari mulut Mikha tanpa aba-aba itu membuat mimik wajah Dinda sepenuhnya berubah, yang kemudian mengundang panik Mikha sendiri.

“Eh Din, gue cuma bercand—”

“—Boleh, Mikha. Boleh..”

Mungkin dari banyaknya hal yang Mikha lakukan untuk menarik atensi milik Dinda dari sejak hari pertama yang ia pun bingung sejak kapan karena terjadi begitu saja, Dinda mulai paham pola atas perasaannya sendiri.

Ia mendadak bingung kalau Mikha tiba-tiba menghilang dari notifikasi barnya. Ia mendadak mencari sosoknya di sosial media dimana keduanya saling mengikuti. Ia mulai mempertanyakan dimana Mikha kalau tiba-tiba saja hilang peradabannya dari kelas. Dinda bukanlah ‘ia’ yang lemah akan afeksi, tapi atas semua hal yang telah Mikha tumpahkan, Dinda fikir, tidak pernah ada salahnya mendukung wadah atas cinta monyet masa SMA ini. Toh, kalaupun pada ujungnya ada yang harus berakhir kandas, ia tidak perlu penasaran atas kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi dikemudian hari.

Sore itu ketika sampai dirumah, Mikha tidak bohong soal ia yang meminta izin kepada Bunda Dinda untuk menelfon putrinya setiap malam. Katanya; “Tante, kalau telfonan sampe tengah malem bukan pelanggaran sosial, aku minta izin ya tante buat telfon Dinda sampe tengah malem. Malam minggu aja tapi, soalnya kalau malem-malem lain kan besoknya sekolah, hehe..” Yang kemudian mengundang kekehan dari wanita paruh baya itu.

Pada banyaknya malam yang Dinda punya, kini ia membuka tangannya dengan lebar.

Mikha juga ceritakan bahwa akhirnya ia diperbolehkan memiliki seekor anjing dengan syarat seluruhnya diurus oleh Mikha sendiri. “Kalau gini, gue bisa belajar sama lo Din gimana ngurus anak..” Yang mengundang tawa dari Dinda.

Pada akhirnya, keduanya sama-sama seperti dalam mode sedang 'mengurus anak'. Biasanya pada sabtu sore, Dinda dan Mikha membawa Akang dan Lucy berjalan bersama mengelilingi taman kota, atau duduk diatas rerumputannya sambil mengunyah habis-habisan jajanan ringan yang mereka beli sebelumnya. Keduanya perlahan-lahan saling bertukar cerita, yang awalnya hanya cerita kehidupan mereka secara general, kemudian menjadi mengkerucut pada topik-topik sensitif mengenai perasaan.

“Din, lo pernah mikir gak, kalau love will always coming back to you?” Mikha menyeruput kaleng minumannya, tidak menoleh barang sedetikpun, fokus menatap Lucy yang sedang sibuk didepan matanya entah melakukan apa.

“Bukannya emang gitu? Istilahnya, sama kaya pepatah ‘apapun yang kamu tanam, itu yang kamu tuai’ iya gak?”

Sort of.”

Dinda mengkerutkan alisnya. “Jadi, point pertanyaan lo adalah?”

“Kalau lo percaya love will always coming back, gue juga bakal percaya kalau emang love always coming back.”

“Tapi form of love itu banyak loh, Mik? Kaya, maybe in a person? Atau lagu yang lagi lo dengerin? Atau kota-kota yang lo datangin dan lo ngerasa perasaan lo hit different pas lo mijakin kaki disana? Form of love engga selalu in a person, in my opinion, ya.”

Any form of love you mentioned, Din, it is still a part of life. You are part of life, anything form of love that coming back, you are one of those.” Mikha tersenyum kecil, kalimatnya barusan membuat Dinda bergedik ngeri. “Whatever form you are, you are still a life to love.”

‘I am a life to love’ Batin Dinda. Ia merasa kalimat yang diutarakan barusan menyihir dirinya sendiri, perihal menghargai hidup, perihal mencintai hidup. Dan ia, dicintai. Ia tersenyum menatap lekuk wajah Mikha dari samping, figur yang kalau ia lihat-lihat lagi, bak sebuah karya seni. “Even kalau gue cuma batu yang berserakan di taman kota kaya gini?”

“Even kalau lo cuma batu yang berserakan di taman kota kaya gini. You are still part of life.”

“Mik, what exactly you are doing right now?”

“Yang bisa tebak gue kasih duit 1 juta dipotong pajak.” Dinda menyunggingkan senyum tanpa mengalihkan pandangannya dari manik mata Mikha, namun mendadak tersipu dan menunduk menyembunyikan air wajahnya.

Stop it.”

“Kenapa stop? life is demand to loving.” Sahut Mikha pelan. “And you are being loved right now, kenapa gue harus berhenti, Din?”

Dinda diam, membuang pandangannya pada Akang dan Lucy serta langit yang mendadak jadi jingga dan perlahan kemerahan. Mikha tiba-tiba melempar rumput yang ia petik sehingga mengotori beberapa bagian dari baju Dinda. Keduanya saling melempar tawa, atau kalimat protes seperti, “Apaan sih Mik, jorok tau.”

“Din..” Lagi, Dinda bersumpah ia ingin laki-laki didepannya ini berhenti memanggil namanya dengan intonasi suara seperti itu. Jantungnya belakangan sedang sulit diajak berkompromi, membuat ia berdegup hingga memompa darahnya sampai ke ubun-ubun. “Kalau nanti gue ngomong lebih proper sama lo, boleh gak dipertimbangkan?”

-

Akhir semester, sore selepas jam sekolah selesai, Dinda tidak langsung pulang. Ia masih harus memenuhi tanggung jawabnya pada kepanitiaan osis. Ia luntang-lantung berkeliling sekolah mencari tanda-tangan para petinggi sekolah atas sebuah event sekolah tahunan dimana deadline-nya yang sudah terlalu mepet yang membuat ia harus menghabiskan banyak waktu untuk merampungkan segalanya.

Menjelang magrib, yang ia temui di gerbang sekolah adalah Mikha yang sedang mengistirahatkan tubuhnya pada beton penyangga pagar dengan kedua tangan didalam kantung celana abu yang warnanya sudah mulai kusam. Menyadari seseorang mendekat, Mikha tersontak kaget dan tiba-tiba saja berdeham.

“Lo ngapain mau magrib gini berdiri sendirian disini?” Mikha mengusap tekuknya, membuang pandang entah kemana dan tersenyum kikuk.

“Ng.. Din.. jalan bentar yuk? Gue nungguin lo..”

“Mau ngapain? Kenapa pake acara nungguin gue?” Mata Mikha berputar mencari titik tumpu. Jakunnya bergerak naik dan turun, tangannya menggaruk tekuk terlihat bingung.

“Mau nganterin lo sampe halte..”

“Gue.. dijemput..” Sebelah alis Dinda naik dengan tajam.

“Oh.. gue kira bakalan naik angkutan umum, hehe..”

Dinda memicingkan matanya, menatap dalam pada Mikha yang masih terlihat bingung diatas pijakannya sendiri. “Yaudah ayo ke halte, ntar nyokap gue telfon suruh jemput disana aja.” Jelas Dinda.

“Gak papa?”

“Ya gak papa lah. Harusnya gue yang nanya, lo kenapa Mikha? Engga papa?”

“Eng-engga.. gak papa.”

“Yaudah, ayo?”

Langkah kedua berselaras di jalanan beraspal dengan sepatu hitam legam yang masing-masing masih digunakan. Lampu jalanan tidak terlalu terang sepenuhnya untuk menerangi seluruh jalanan, namun cukup untuk menerangi jalan setapak.

Sebelum benar-benar sampai pada halte di persimpangan sebelum gerbang sekolah, tiba-tiba Mikha merogoh tasnya yang tidaklah berisi apa-apa. Dinda yakin, ia tinggalkan semua buku-bukunya di loker sekolah.

“Din.. Buat lo..” Setangkai mawar tidak berduri kini Mikha genggam dengan tangannya yang bergetar hebat serta suaranya yang mendadak tercekat. Dengan penuh kebingungan, secara bergantian Dinda tatap Mikha dan mawar merah itu secara bergantian, kemudian ia ambil tangkainya.

“Kok bisa engga ada durinya gini?”

“Durinya gue copotin.” Sudah entah berapa kali alis Dinda berkerut akibat kebingungannya yang tak kunjung usai.

“Supaya?”

“Supaya lo engga luka.” Sunggingan senyum kecil hadir disudut bibir Dinda.

“Lo copotin pake apa?”

Cutter.”

“Oh, mangkanya telunjuk lo dipakein plester?” Tunjuk Dinda pada jari Mikha yang dibalut plester coklat yang sedari siang tadi menarik perhatiannya.

“Hehe, keterusan gue motongnya.” Jelas Mikha dengan tekuk yang disapu oleh tangannya sendiri untuk kesekian kali serta manik mata yang menolak untuk beradu. “Kesenengan soalnya.”

Dinda dengan senyum kecil menatap kelopak-kelopak merah itu dan tangkainya yang kini polos tidak lagi berduri. “Tetep cantik ya, Mik?” Gumamnya kecil, tapi masih bisa Mikha dengar dengan jelas.

“Lo-nya? Lo mah selalu cantik.”

Dinda melayangkan sebuah pukulan. “Apaan sih?”

“Kalah nih mawar sama pipi lo merahnya.”

“Diem gak?!”

Pada sore menjelang malam dibawah lampu jalanan yang sudah terlampau redup, masih bisa Dinda lihat lekuk wajah berantakan Mikha dibawah iluminasinya.

“Din, kalau bisa, gue mau jadi tangkai mawarnya aja buat lo. Gue tau gue akan selalu punya duri yang mungkin nanti bisa aja ngelukain lo. Tapi, gue berusaha buat lepasin satu-satu duri gue, supaya lo engga luka, supaya lo lebih leluasa buat genggam gue ada di tangan lo.”

Sebuah senyum paling lebar Dinda hadiahkan disertai dengan rapih putih baris giginya dan dibalas kikikan geli dari bibir Mikha. Mungkin, remaja-remaja ini harus merasakan kupu-kupu yang menggelitik perut ketika tautan tangan saling bertemu.

Dan begitu bagaimana Mikha yang berani menautkan jemarinya pada Dinda. Sembari batinnya yang ingin berteriak; “Akhirnyaaa!!!” agar semesta mendengarkan. Tapi sudahlah, biar ia simpan senangnya dalam hangat kedua tangan mereka sebagai penutup hari yang riweuh bagi remaja kelas 2 SMA ini. Besok, mungkin belum tentu masih ada lagi.

Besok hari hanya ada Samuel sialan yang terus menjadikan keduanya bahan olokan, “MIKHA DINDA JADIAN WOI!!!!”

-

“Sam, kado buat cowo yang bagus apa ya?”

Kantin siang itu padatnya bukan main, bersyukur Samuel sudah duduk terlebih dahulu disana menunggu Mikha, Rani dan Dinda yang biasanya punya banyak kesibukan terlebih dahulu di kelas yang lamanya sudah seperti sedang menyelamatkan dunia.

Yang ditanya berhenti mengunyah, memutar bola matanya; berfikir keras. “Buat Mikha?”

“Hm..” Sambil menyeruput es jeruknya, Dinda mengangguk. “Jangan bilang dulu sama orangnya tapi.” Di meja panjang yang cukup untuk empat orang tersebut, Mikha dan Rani masih mengantri bersamaan dengan banyak siswa lainnya yang perutnya sudah meronta untuk diisi atas jam makan siang.

“Apa ya? Ini ultah pertama Mikha bareng lo bukan sih? Udah berapa lama lo pada?”

“Sembilan. Nanti pas bulan ulang tahunnya Mikha sepuluh.”

“Buset. Betah juga lu sama dia.” Dinda terbahak sebagai jawaban, tidak memberikan banyak kalimat lain. “Kan gue bilang juga apa dulu, kasih dulu dia kesempatan.” Sambung Samuel lagi.

“Iya.. kan ini udah gue denger apa yang lo bilang dulu.”

“Tapi ya, Din..” Samuel mengangkat teh botolan dan menyeruputnya lewat sedotan sebelum mulai melanjutkan kalimatnya. “Dari gue temenan sama Mikha dari zaman SMP dulu, dia gak pernah sebucin ini sama cewe tau. Apalagi yang open-up gitu sama keluarganya.” Mangkok ayam yang berisikan bakso itu diaduk kesana dan kemari. “Kemaren lo jalan kan sama kakaknya?”

“Iya.. sebentar doang.”

“Kenapa gak tanya sama kakaknya aja dia sukanya apa?”

“Emang lo gak tau Mikha sukanya apa?”

“Lo.” Sedetik kemudian, sebuah toyoran mendarat sangat mulus hingga membuat Samuel tersedak. “Salahnya dimana sih, Din?!”

“Serius gue.”

“Ya gue tau dia suka apa, tapi kan kalau semisal lo nanya sama kakaknya, bakal lebih spesifik gak sih?” Dinda mengangguk, masuk akal sebenarnya. Mengingat selama sembilan bulan berpacaran, tidak ada sekat yang melekat diantara ia dan 'Kak Chaca', kakak perempuan Mikha.

“Ya.. make sense sih. Tapi gue maunya yang Mikha tuh ‘have no clue’ gitu loh, Sam. Kaya, kalau semisal gue minta tolong sama kak Chaca juga pasti doi akan berusaha untuk menelisik apa yang adekknya lagi suka belakangan, iya gak? Untung-untung kalau si Mikha-nya dongo ‘have no clue’? kalau dia ‘fully have a clue’? Gak bakalan asik, dong?”

“Hm..” Samuel mengangguk. Mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di dagu. “Bener sih.” Sahutnya merasa sepenuhnya setuju. “Tapi, Din, Mikha tuh engga bakalan neko-neko kok anaknya. Lu kasih rokok sebungkus juga bakal diisep sama dia.” Kekehan kencang dari mulut Samuel membuat Dinda mengepalkan tangannya di udara, hampir saja mendarat sebelum akhirnya suara familiar Mikha membuyarkan obrolan mereka.

“Apaan nih asik bener ngobrolnya ampe ngakak begitu?” Maka Dinda hadirkan beribu kalimat amunisi untuk melindungi rencananya. Mengalihkan dan mengalihkan. Terlebih sesaat kemudian Rani datang membawa semangkuk Mie Ayam, ia akan merasa lebih aman.

Pada akhirnya, Dinda hadiahkan sebuah dompet dan kue tart yang ia beli bersama dengan Rani, dirumah Mikha yang sedang kosong melompong kecuali anjingnya Lucy yang sedang asik mengelilingi taman rumah Mikha yang luas. Keempatnya saling mengalunkan lagu selamat, mengharapkan kesertaan mulia serta umur yang panjang.

“Udah ye, lu bedua have a moment lah. Gue sama Rani kedepan main bareng Lucy.” Samuel mengerlingkan matanya, diikuti Rani yang melambaikan tangan dan melangkah berjalan keluar mengikuti Samuel.

Mikha mengacak rambut Dinda kemudian, meletakkan kuenya diatas meja dengan senyum yang masih saja bertahta disana. Dinda harap, perayaan kecil-kecilan ini membuat Mikha sedikitnya bahagia.

“Wishnya dong cantikkk~” Sontak kalimat penuh godaan itu membuat Dinda terbahak hebat sekaligus menjadi bingung. Kepalanya mulai berputar, karena tidak ia siapkan apa-apa untuk memberikan harapan manis untuk Mikha dihari ulang tahunnya ini.

“Apa ya, Mikh, aku engga bisa nyusun kata-kata, deh?”

Sudut bibir Mikha tertarik. “Engga minta yang panjang-panjang juga? Kenapa harus disusun kata-katanya?”

“Ya biar spesial aja. Biar kamu engga lupa.”

Every wish you wishing me, engga bakal bikin aku lupa, trust me.” Dinda menegakkan tubuhnya kemudian, menyelipkan rambutnya kebelakang telinga dan berdeham. “Oke..” Cicitnya.

Ia menarik nafas cukup panjang, menahannya lama, kemudian membuangnya pelan. Jemari Dinda dibawah sana memelintir ujung bajunya. “Mikha..”

Maka sepersekian detik kemudian, bulu kuduk si empunya nama berdiri tegak. Ia mendadak jadi batu, patung, karang; yang tidak akan pernah bisa berkutik walau di serang habis-habisan. “Semoga dunia selalu baik-baik sama kamu, semoga apapun yang ada di masa lalu jadi lebih mudah buat kamu..” Bukan ini yang Mikha harapkan sebenarnya, ini sudahlah terlalu lebih dari cukup atas sebuah harapan yang ia pinta. Kemudian, Mikha pikir ketika kedua ranum merah jambu bibir itu terkatup rapat, ia sudah selesai, Mikha akan jauh lebih tenang. Tapi ia salah, perkiraannya meleset. Ketika kedua bibir itu kembali terbuka untuk melanjutkan sisa-sisa harapan pada ulang tahunnya yang pertama kali mereka rayakan bersama, Mikha lagi-lagi kembali terpaku.

“Tapi yang paling aku harap buat kamu, Mikha, semoga aku bisa buat masa depan kamu jadi sesuatu yang selalu kamu tunggu-tunggu.”

Apa yang kemudian terlintas sekelebat dikepala Mikha setelah kalimat penutup itu meluncur adalah, “Dinda. Dinda harus ada di masa depan gue nanti.” Sepersekian detik kemudian, Dinda berakhir jatuh pada pelukan. Seakan-akan dunia tidak ada harganya lagi, seakan-akan waktu telah berhenti.

(“Kamu ulang tahun mau aku kadoin apa, Mikha?” “Apa ya? Gak mau apa-apa juga.” “Yang bener?” “Ada ding.” “Apa?” “Kamu.” “Dih.” “Hadiahnya berlaku satu periode. Kamu sampe ulang tahun aku tahun depan.” “Terus tahun depannya lagi?” “Kamu lagi, sampe periode selanjutnya. Terus lagi sampe tahun-tahun selanjutnya. 'Selamanya' terlalu fairytale-ish, Din, kalau menurutku. Aku mau kamu sama aku selama yang kamu mau. 'Selamanya' aku, adanya selama kamu sama aku. Udah, secukup itu.“)

-

Hari terakhir wisuda pelepasan siswa, ke-empatnya berfoto bersama. Bouquet-bouquet bunga yang dipeluk sebagai ucapan selamat dan sebagai simbol semoga jalan didepan sana sama wangi dan harumnya.

“Gue punya rencana..” Sahut Samuel tiba-tiba ketika mereka semua selesai berpose.

“Jangan aneh-aneh.” Rani menyela, tanpa melihat Samuel, fokus dengan ponselnya, melihat bagaimana hasil foto yang diambil barusan.

“Gue literally belum ngomong apa-apa, Ran..”

“Ya soalnya rencana lo aneh-aneh mulu, Sam.”

“Yaudah-yaudah apa rencana lo?” Mikha kemudian menjadi penengah diantara pertengkaran kedua sahabatnya itu yang sudah biasa ia lalui semenjak SMP dulu. Karena perannya akan selalu sama dan akan terus jadi si penengah.

“Ntar, gue-lo-lo-lo..” Tunjuknya satu-satu secara bergantian pada dirinya, kemudian Rani, Mikha dan Dinda. “Pas wisuda kuliah, kita harus re-create ini foto bareng..” Tunjuk Samuel pada layar ponsel yang menunjukan foto yang mereka ambil tadi bersama. Rekah senyum dari wajah Rani yang cerahnya bukan main menujukan suatu pertanda bahwa ia setuju. Sangat setuju.

“Tumben ide lo secemerlang hari ini, Sam?” Sarkas Rani menatap matahari yang memang sedang terang-terangnya di pucuk kepala.

“Nah.. lo berdua.. jangan putus dulu pokoknya. Ntar rencana gue gatot.” Mikha dan Dinda saling tatap. “Pokoknya lu pada tahan dulu deh ya ampe nih rencana gue sukses se-sukses suksesnya.”

“Jangan gue sama Dinda doang dong. Lo juga jangan putus dulu ntar sama Rani..” Protes Mikha.

“Yaudah, berempat ya, janji. Kita jangan pada putus dulu ntar sampe wisuda selanjutnya.” Samuel mengerlingkan matanya.

“Yailah, Sam.. mau masuk univ mana juga belum tau, udah mikirin wisuda.” Mikha menggeleng, mengetuk puncak kepala sahabatnya dengan se-bouquet bunga.

“Yah, masa depan udah pasti cerah, Mik, tinggal kitanya aja mau bermimpi apa enggak. Anjay~ Statement yang sangat-sangat bukan gue banget hari ini.” Ketiganya tergelak dalam tawa.

Well, ya, anyway..” Kini giliran Dinda menyuarakan kalimatnya, diikuti senyum yang tidak kunjung luntur sejak pagi tadi. “Congratulations for four of us, ya? Habis ini terserah jalannya kemana, yang penting I truly am wishing all of us the greatness success.” Rani menarik si gadis mendekat agar mampu ia rangkul dengan sempurna, bersamaan dengan Mikha yang mengacak puncak kepala seseorang yang kini telah menjadi gadisnya. Menuai senyum penuh makna pada tatapan mata yang tidak menemukan selesai.

Congratulations for you.” Mikha menggerakan bibirnya tanpa suara, seakan berbicara tanpa harus didengar oleh dunia tapi dimengerti oleh satu orang yang ia tuju. Dinda tersenyum, dan ikut melakukan apa yang Mikha barusan lakukan. “Congratulations for you too”, adalah jadi sebuah kalimat penutup masa putih abu-abu bagi keduanya, bagi seluruh teman-temannya. Langkah kecil mereka masih harus dijalin pada jalan-jalan lain, pada mimpi-mimpi lain yang nanti, akan membawa langkah besar pada mimpi besar yang telah digantungkan lama pada semesta.

-

Beberapa bulan yang rasanya sudah seperti Rollercoaster, ke-empatnya berada di satu atap universitas yang sama. Mikha tidak perlu susah payah memperjuangkan lintas jurusannya akibat keinginan sembrono yang dulu sempat membuat orang tuanya dirumah cukup stress. Mikha dan Samuel berada pada satu atap fakultas hukum yang sama pada hukum pidana. Keduanya, hebatnya, ikut aktif berorganisasi seperti kebanyakan mahasiswa yang ambisius. Samuel sendiri menjabat sebagai ketua BEM Fakultas Hukum sementara Mikha berada dibawah tanggung jawab sahabatnya sebagai MENLU.

Rani dan Dinda berada dibawah fakultas Teknik, sama-sama aktif dalam berorganisasi setelah keduanya resmi dikukuhkan sebagai mahasiswa Teknik. Beberapa kabar burung atau entah memang benar adanya, kedua fakultas ini malah jadi musuh bebuyutan antar satu sama lain. Namun, tidak pernah tersimpan dendam yang aneh-aneh bagi ke-empatnya, terutama Mikha dan Dinda yang masih bersama walaupun teriakan tidak mengeenakan sering mereka dengar.

Pada satu siang dimana matahari teriknya bukan main, Dinda mengaduk-aduk makanan yang ia pesan di kantin tanpa berselera. Bersamaan dengan Rani yang kemudian membuang nafasnya, mengerti pola lama yang ia yakini atas dua sahabatnya ini.

“Berantem lagi, kan?” Sebagai jawaban tanpa kata, Dinda hanya menaikan bahunya cepat. Menolak membahas permasalahan yang memang sedang terjadi diantara ia dan Mikha. “Paling ntar lagi juga diajak baikan. Kali ini siapa yang salah?” Sambung Rani.

“Lo kalau gue certain juga pasti bilangnya selalu gue yang salah?”

“Kapan njir??” Mata Rani membulat. “Kapan lo salah ya gue bilang salah, kapan Mikha salah ya gue bilang Mikha yang salah.” Dinda melipat bibirnya. Ia seharusnya tidak memperkeruh keadaan dengan membawa-bawa Rani dalam permasalahannya dengan Mikha.

“Lo tau kan, Mikha masih awal semester gini aja udah sibuk banget dia sama Papinya? Belum lagi urusan BEMnya. Jadi ya.. gue takut aja.” Masih tanpa semangat, Dinda mulai menjelaskan titik permasalahan dimana ia yang sedang merasa berantakan.

“Takutnya?”

“Damn, Ran, kaya apa ya.. he is into law at the point of madness—”

“Ya karena itu kan tanggung jawab dia atas nyokap-bokapnya juga, Din..”

“Iya.. tau, tapi at least dia kabarin gue kalau bakalan ada job lah apa lah sama Papinya. Masa iya gue ujuk-ujuk nunggu chat dia sampe tengah malem dan dia bilang ‘Babe, maaf ya, tadi baru selesai ikut Papi kerja’. Kaya? Njir gue nih gak ada artinya kah di mata lo?” Emosi Dinda memuncak sampai ke ubun. Ia menyandarkan pundaknya pada kepala kursi kantin kampus yang Ia dan Rani datangi sejak sehabis kelas tadi.

“Nah.. kalau ini bakal gue bilang Mikha yang salah, Din. Tapi paling entar lagi juga dia nge-reach lo and make everything work again.”

Tatapan kosong Dinda terpaku pada ujung sepatunya. “Or will he?”

Believe me, he will.”

Malam hari, setelah hampir 24 jam tidak berkomunikasi, telfon Dinda berdering menunjukan nama Mikha disana. Mungkin Rani benar, batinnya, Mikha will makes everything works like how it used to, dan ia sedang berusaha sekarang dan tidak ada alasan bagi Dinda untuk tidak mengangkatnya.

“Halo, Din?” Sapa seseorang di ujung telfon.

“Hm?”

“Belum tidur?”

“Belum.”

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa kok belum tidur?”

‘Nungguin lo baikan sama gue!’ Sekelebat kalimat itu muncul dikepalanya, namun ia urungkan karena ia sudah cukup lelah untuk kembali memperburuk suasana. “Ya gak papa..” Balas Dinda lagi, cukup singkat.

Dari sana, dapat Dinda dengar Mikha yang mengatur nafasnya. “Oke, babe.. I am so sorry for the things that I did, ya? Aku tau aku egois, seenaknya aja engga kabarin kamu apa-apa, and thank you, for giving me some time to settled it down ya, sayang..” Nafas Dinda tercekat, ia menahan tangisnya. Rani lagi-lagi benar, Mikha is reaching her, over and over again.

And please, I beg you, don’t ever leave—”

I won’t, Mikha. Stop dong begging seakan-akan aku bakalan pergi. You stay, I stay. Or maybe if you are not, I keep stay?” Kekehan kecil terdegar dari sana.

Let me arrange the world for you.” Balas Mikha tiba-tiba, all of sudden, tanpa aba-aba.

And.. the point?”

Don’t leave yet, let me rearrange the world and so that maybe..” Mikha berdeham. “So that maybe, the future will be filled with you and me.”

Diam Dinda yang panjang pada sebuah konklusi adalah ia yang sedang berusaha mengatur nafasnya agar seseorang disana tidak perlu mempertanyakan kenapa ia harus menangis. Tapi ia pantas untuk menangis. Ia seringkali lupa kalau ia dicintai pada tangan yang penuh dengan cinta, dan dunia jadi baik-baik saja.

“Aku sayang kamu, Din. Truly.”

Tapi Dinda mengharapkan yang lebih. Dinda akan selalu sayang pada kekasihnya itu, selalu. Tapi kasih dan cintanya mungkin tidak akan pernah cukup untuk membalas secara setimpal. Jadi pada setiap doa, Dinda mengharapkan agar supaya dunia juga jatuh cinta kepada Mikha, dan ikut menyanyanginya.

Pada bulan-bulan berikutnya, Mikha masih memegang tanggung jawab atas ia yang selalu memberikan kabar bahkan sekecil apapun hal yang akan ia lakukan pada hari itu. Beberapa kali bulak-balik ke Hongkong atau Singapura untuk mengikuti segala agenda Papi-nya dan ikut belajar, bahkan untuk hal sekedar; “Babe, aku gak bales chat kamu dulu ya aku buru-buru banget ini mau makan dulu. Have a fun day, sayang! See you. Flight aku besok pagi banget udah aku minta sama papi, sorenya kita ke taman kota bawa akang sama lucy ya. Love you xx”

Benar, komunikasi akan buat semuanya jauh lebih mudah.

Lambat laun, ditengah gempuran semester yang semakin tua, Dinda tidaklah terlalu memusingkan perihal Mikha yang tidak lagi selalu memberikan kabar. Disamping itu, keduanya sudah cukup dewasa memaknai bahwa hubungan yang berjalan tidak melulu bergantung pada sebuah pesan dalam jangka waktu 24 jam.

Mikha, luar biasanya, hampir menyelesaikan 8 semesternya kurang dari empat tahun, ia bisa jamin itu. melihat bagaimana gigihnya ia, yang baginya detik waktu dalam total 24 jam tidaklah cukup untuk menyelesaikan satu harinya yang penuh.

Mikha sudah pada tahap paling dekat untuk menemui pembimbing skripsinya, membuat Dinda tidak terlalu ambil pusing kalau-kalau Mikha tidak memberinya kabar. Mengingat bahwa Mikha juga sedang berada ditengah beberapa mata kuliah sebelum akhirnya mengambil kartu rencana studi penuh untuk mata kuliah skripsi.

“Sam, belakangan lo lagi denger gak, Mikha pengen apa?” Malam itu, ketiganya kecuali Mikha sedang berkumpul di rumah Samuel untuk acara kecil-kecilan yang sedang diadakan Ibunya. Di sofa ruang tamu, ketiganya duduk sambil mencomot makanan ringan yang ada.

“Buat ulang tahun dia?”

“Hm..”

“Engga sih. Lagian belakangan gue jarang Din udahan ketemu sama Mikha.” Samuel kembali mengunyah. “Lo tau sendiri kan itu anak sibuk banget udah setahun kebelakang?” Sambung Samuel lagi ditengah kunyahannya.

“Tapi, Sam.. emang iya ya? Dia sesibuk itu?”

“Hmmm~” Rani dari sudut sofa bersuara, dengan ponselnya yang ia genggam di tangan, entah sedang meng-scroll apa. “Overthinking mulu lo, Din..”

“Yah kan gue nanya, Ran..”

“Cepet selesai itu bocah sekolah, cepet kawin lu berdua.” Kalimat barusan mengundang kekehan dari Samuel.

“Bantuin gue bikin sesuatu lah kalau gitu tahun ini..”

“Yailah, Din.. kapan sih kita berdua engga pernah bantuin lo?” Rekah senyum Dinda hadir kemudian, sambil memeluk kedua sahabatnya. Lagi-lagi, semua berkat Mikha. Rani dan Samuel, adalah juga berkat dari Mikha.

Berhari-hari, Dinda mempersiapkan segala sesuatu untuk ulang tahun Mikha. Bahkan Chaca sempat ikut turun tangan untuk beberapa hal. Namun tahun ini, Dinda tidak lagi berusaha menghadiahkan Mikha beberapa barang, tapi hanya notebook kecil berisikan gambar polaroid yang sempat sama-sama mereka ambil sejak SMA dulu.

Setiap hari sambil menghitung hari, senyum Dinda merekah luar biasa melihat hasil tangannya. Sesekali mengharu-biru mengingat sudah berapa banyak hari yang ia lalui. Beberapa foto mereka bersama saat pertama kali kencan sejak kejadian mawar tidak berduri, atau banyaknya agenda antara Akang dan Lucy. Atau beberapa surat-surat dari robekan kertas yang ‘randomly’ Mikha hadiahkan turut serta Dinda tempel disana.

Pagi hari jantungnya berdetak tidak karuan. Rasanya seperti jatuh cinta pada kali pertama. Ucapan selamat ulang tahun sudah lebih dulu Dinda kirimkan lewat pesan. Dibalas sebuah panggilan dari Mikha serta ucapan manis atas rasa terimakasihnya.

Mereka habiskan waktu sehari penuh atas nama perayaan kecil-kecilan ulang tahun Mikha yang dibantu oleh sahabat-sahabatnya serta kakak perempuan Mikha, keduanya sama-sama saling menuang afeksi.

“Din, besok.. aku mau ke Spore..”

Masih dalam rangkulan tubuh Mikha, Dinda mendongak. “Oh iya? Kerja lagi sama Papi?”

Ada cukup lama senggang sebelum akhirnya Mikha hanya membalas pertanyaan Dinda dengan dehaman biasa. “Hm..” Sahutnya. “Are you okay? If in any cases aku pergi besok?”

Alis Dinda berkerut. “Ya okay lah? Emangnya selama ini kamu bolak balik Spore, Hongkong, aku engga okay?” Dengan senyum bersamaan puncak hidung Mikha yang ia jatuhkan diatas puncak hidung Dinda, mereka tertawa.

Have a smooth skies ya, sayang, dan selamat ulang tahun.”

Namun selama di Singapura pun, Mikha tidak mengirimkan banyak pesan. Dinda sendiri merasa acuh, merasa bahwa belakangan Mikha memang sedang sibuk-sibuknya. Sedang dalam langkah yang cukup krusial untuk masa depannya. Dan tugas Dinda adalah terus dan terus mendukung Mikha tanpa ada kata henti.

Sepulangnya Mikha dari Singapura, Dinda banyak habiskan waktu setelahnya. Mikha kemudian akan melayangkan ribuan kecupan singkat pada puncak kepala Dinda sebagai bentuk tuaian rindu yang mungkin telah memupuk, kemudian dilanjutkan pada kedua pipinya, puncak hidungnya, kedua pelupuk matanya dan terakhir ditutup pada ranum merah jambu bibirnya. Semua, kembali jadi baik-baik saja, bagi Dinda. Bahwa ia menyadari, Mikha sudah disini, Mikha ada disini.

Pada satu sore yang tenang, dimana cuaca sedang teduh-teduhnya, Dinda habiskan seluruh sorenya menuju malam di atas sofa ruang keluarganya bersama Mikha. Ada sebuah agenda yang harus dihadiri Ayahnya sebagai seorang tentara, yang Dinda tidak terlalu paham apa. Yang pasti, kedua orang tuanya itu pamit dan bilang akan pulang lebih malam dari biasanya.

“Din..”

“Hm?” Panggilan dari Mikha tidak membuat Dinda mengalihkan pandangannya barang sedetik dari televisi.

Menyadari tidak ada kalimat lain yang seharusnya Mikha lanjutkan, kini pandangan Dinda beralih. Di temukannya wajah Mikha disana yang penuh kekhawatiran, memunculkan banyak pertanyaan. “Kenapa, Babe?”

“Ada yang mau aku omongin.” Sejujurnya Dinda tidak suka tensinya. Mikha tidak pernah berlagak merahasiakan sesuatu sampai harus berdiskusi empat mata se-intens ini. Apalagi dengan intonasi suaranya yang mendadak berubah.

“Apa?” Lagi-lagi, Mikha tidak kunjung menjawab. Ia meremas tangannya dalam genggaman, jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya dan memompa darahnya seakan-akan sebentar lagi akan meledak dari ubun-ubun. “Mikha.. kenapa?”

Rasanya, Mikha ingin menangis dan berteriak kencang, meraung dan memukul dirinya sendiri. Dinda tidak pernah berubah, teduh suaranya masih yang Mikha suka. Bahkan ketika alisnya mengkerut dan ekspresi khawatir itu muncul dan terlukis disana, Mikha tau, setitik pun tidak pernah ada yang berubah dari Dinda, Dinda-nya.

Tapi, kenapa benang-benang rasa yang dulu memupuk di hati Mikha yang rasanya mampu membuatnya meledak detik itu juga ketika melihat Dinda, hilang dalam sekejap mata?

I’m in love, Dinda.. with another girl.” Itu, Itu adalah kalimat yang Mikha pendam lama sudah. Pada akhirnya, ia luapkan, bersamaan dengan hatinya yang ikut mencelus jatuh kedalam palung tubuhnya sendiri. “I was once, went to Spore.. with her..”

Tegak bahu Dinda kemudian jatuh, ia diam. Menolak menatap Mikha dan memilih membuang pandangannya kosong entah kemana. “You are joking.” Cicit Dinda kemudian, masih memproses kalimat yang barusan keluar dari mulut Mikha, dari mulut orang yang ia sayang.

I wish I am.”

Sunyinya rumah Dinda pada jingga yang menyala di luar sana sungguh memekakkan telinga. Kini, sebuah seguk tangis mengetuk gendang rungu keduanya.

“Hey?” Usaha Mikha dalam meraih manik mata Dinda berujung sia-sia. Dinda membelakangi Mikha yang mungkin sebentar lagi juga akan pecah pada tangisnya. Tapi apalah artinya sebuah air mata yang jatuh dari pelupuk mata Mikha sedangkan ia yang tengah berdosa?

“Enam tahun, Mikha..” Getar suara Dinda mengudara disela seguk tangisnya. “Enam tahun.” Ulangnya kembali. “Aku pikir aku akan selalu jadi orang paling beruntung. Enam tahun aku pikir aku bakalan selalu jadi orang yang paling spesial buat kamu. Enam tahun, enam tahun ini cuma kamu jadiin ajang permainan, ya? Mikha?”

If you thought all of these years was a game, you are wrong. Enam tahun, you are the best thing that ever happened to me.”

Then why? Why you have an affair behind my back, then? Why?

Benar, Mikha. Kenapa? Argumentasi apa dan amunisi apa yang akan melawan pertanyaan Dinda barusan? Tidak ada, tidak akan pernah ada. Pada akhirnya, Mikha menyerah. Ia kalah, ia bersalah. Perasaannya yang telah ia kukuhkan pada satu gadis disana selama satu tahun lamanya, tidak akan pernah bisa membela dirinya.

I’m so sorry, Dinda.” Sunyi kembali menyeruak. “Tapi, Din..” Dapat Dinda rasakan getaran dalam suara Mikha kali ini. “You know that people changed, kan? You still the same Dinda I met six years ago, but.. I changed.”

“Dinda..” Mikha kemudian berlutut meletakkan kedua tangannya diatas lutut Dinda, mencari-cari kemana letak iris mata yang biasanya berbahagia. “It doesn’t mean all of my love and all of these years was a game. It is just.. the sparks, Dinda, the sparks that burned the love, it is not here anymore. I loved you, I did, even for all of those days when I did shit behind your back, I loved you. Dinda, you are one of my closest one, my best friend, my comfort. I’m so sorry, I was too scared to loose you.”

Mikha ketakutan bukan main ketika akhirnya mata Dinda yang kini basah serta suaranya yang cukup serak menemukan ia yang tengah berlutut bak orang yang sedang meminta ampun. Mungkin, memang Mikha sedang meminta pengampunan.

“Egois kamu, Mikha..”

Yes. I know. So that’s why I want it to stop here, Din. I don’t want to hurt you for any longer..” Mata Dinda terpaku cukup dalam pada iris mata Mikha. Rintik yang kemudian jatuh dari pelupuk mata Dinda adalah; ia kalah atas simbol pengkhianatan.

Selanjutnya, Dinda raih kedua pipi seseorang yang ia sayang sepenuh hati. Bukan sebuah bentuk untuk perpisahan, tapi sebagai bentuk balas dendam. Bahwa; ‘aku penuh dengan cinta yang tulus dan suci, maka ini adalah bentuk dendamku untukmu. Aku penuh dengan cinta yang tulus dan suci, maka aku tidaklah sama atas dirimu.’

“Dinda..” Mikha menangis. Panggilan atas namanya barusan membuat ia menangis. Mungkin, sentuhan hangat dari ujung-ujung jari milik Dinda membuat Mikha sadar, bahwa ia telah kehilangan segalanya. “I let you go, ya, Din?” Satu sungai kecil kemudian jatuh dari sudut mata Mikha. “I let you go and I will never make an excuses. I am so sorry for all the things that I did. I am so sorry for all the spell that I forgot and the magic not here anymore.” Lirihnya. “And when I’m walking down that stairway, Dinda..” Mikha perlahan mengatur nafas. “Please do know that I loved you purely, Din. Do know that I told you all of my secrets, because you were my best friend.”

Sejenak kemudian, kenangan diantara keduanya saling menghantam bak sebuah air bah, dan mau tidak mau, mereka hanyut dan terbawa arusnya. Keduanya sampai disini, namun tidak pernah sekalipun ada dibenak Dinda bahwa mereka akan berakhir dengan keadaan yang seperti ini. Kemudian, pertanyaan-pertanyaan lain muncul dikepala Dinda seperti bisikan, “Mikha, di masa depan yang mana yang kamu harap ada aku di dalamnya? Dunia yang mana yang kamu mau coba atur, supaya ada kita di masa depannya?”

Goodbye, Din.. my greatest love. I promise you, you were. And please do remember that I gave my blood, sweat and tears, once, to make us work.. ya? I’m so sorry, you deserve better.” Mikha bangkit kemudian. Dapat Dinda dengar dengan jelas langkah kakinya yang menuruni tangga, kemudian decitan pintu hingga mesin mobil yang dihidupkan sampai suaranya hilang dari pedengaran Dinda.

Mereka selesai. Benar-benar usai, dan selesai. Dinda sadar, bahwa segala upaya yang sepenuh hati pernah ia curahkan, ia tumpahkan hanya untuk Mikha dan menjunjung tinggi nama cinta, tidak akan pernah mampu membuat perasaan Mikha bertahan, tidak pernah mampu menekan ego dan membuat Mikha berusaha belajar menghargai sesuatu, terutama menghargai eksistensi Dinda sendiri.

—when you said your last goodbye, I died a little bit inside—

Ironisnya, seminggu setelahnya, Dinda berakhir di dinginnya dinding rumah sakit. Berurusan dengan jam-jam krusial kuliah setelah kejadian pengakuan Mikha kemudian berlagak seakan tidak terjadi apa-apa sungguh mencekik.

Sebaliknya, Mikha memutuskan menghindari semua orang. Layar ponselnya dipenuhi banyak notifikasi yang ia tolak mentah-mentah untuk dibaca atau ditanggapi. Tidak sampai kemudian dering telfon masuk dan Mikha meminggirkan mobilnya.

“Halo kak Cha?”

“Dek, udah ke rumah sakit belum?” Mikha butuh waktu lama untuk memproses pertanyaan Kakaknya diujung sana. “Halo.. Dek? Mikha?”

“Iya?”

“Udah ke rumah sakit belum?”

Dengan sedikit berdeham, Mikha memberanikan diri bertanya, “Siapa yang sakit, Kak?”

“Gimana sih ni orang. Dinda di rumah sakit, kata Rani gerdnya kumat. Gue juga dapet berita dari mereka.” Jelas Chaca. Dengung sambungan telfon mendadak sunyi. “Dek, are both of you okay?”

Mikha menggigit bibirnya. Ia belum punya banyak keberanian untuk mengungkapkan segalanya. Apa yang telah terjadi setahun belakangan, maupun kejadian dirumah Dinda seminggu yang lalu. “Nanti gue kesana Kak..”

“Yaudah titip salam gue, ya, bilang sama Dinda gue gak bisa ikut jenguk. Bye~” Telefonnya terputus kemudian.

Mikha dibawah krisis. Ia bingung harus memutar stir mobilnya menuju rumahnya sendiri atau rumah sakit. Ia berfikir banyak; apa urusan dia lagi untuk mengunjungi gadis itu disana. Tapi, kalau ternyata yang ia butuh hanya sekedar teman bicara, bukannya tidak ada salahnya Mikha ikut hadir disana? Dalam perjalanan penuh, ia mengutuki dirinya sendiri.

Tapi kemudian ditengah huru-hara rumah sakit serta bau obat yang menyeruak kuat menggelitik indra penciumannya, Mikha terpaku. Ia tidak tau Dinda dirawat diruangan yang sebelah mana, atau nomor berapa. Ia punya banyak kesempatan untuk menanyakan hal itu pada resepsionis rumah sakit, namun Mikha memilih memundurkan langkahnya untuk jalan keluar. Ada batas yang tidak lagi perlu ia loncatkan, dan disinilah batasnya.

Langkah Mikha terhenti kemudian tepat didepan pintu gedung rumah sakit, menatap Samuel dan Rani serta beberapa kantung plastik berisi buah hingga makanan. Ketiganya terdiam ditengah berisiknya suara medis didalam sana. Mikha lupa, ia masih harus berperang melawan teman-temannya.

“Mik.. where have you been? Lo gak bisa dihubungin udah seminggu ini.” Jakun Mikha naik dan turun. Ia takut. Apa yang kemudian akan terjadi kalau ia mengungkapkan segalanya? Ia menimbang cukup lama, menatap Samuel dan Rani secara bergantian ditengah caruk-maruk didalam kepalanya. Tapi, toh, pada akhirnya, Dinda mungkin akan ceritakan semuanya, dan ia tetap masih dan akan terus jadi yang salah. Tidak akan merubah apapun, tidak akan membedakan apapun.

“Ran, ada yang mau gue omongin..”

Butuh waktu panjang untuk Samuel maupun Rani mencerna segala bentuk detail kata yang keluar dari mulut Mikha. Ketiganya duduk di ruang tamu rumah Mikha setelah kunjungan rumah sakit tadi, Mikha menolak ikut masuk dan memutuskan menunggu di mobilnya. Belajar menyusun kata, belajar menjawab pertanyaan apa saja yang mungkin dilempar Rani maupun Samuel. Belajar mengatur nafas, belajar berani. Sunyinya rumah Mikha kala itu bukan main, bahkan deru nafas dibumbui amarah dari diri Samuel bisa Mikha dengar dengan jelas.

Langkah kaki Rani merangkak, mendekati Mikha yang sudah jadi teman dalam segala kondisi sejak mereka masih SMP dulu. Tatapan matanya bergetar, dapat Mikha saksikan itu dengan cukup jelas. Dan pada detik berikutnya, sebuah hadiah tamparan mendarat mulus meninggalkan bercak warna merah pada pipi Mikha.

“Ran—” Samuel bangkit, menarik tangan kekasihnya itu agar tidak melayangkan sebuah pukulan atau tamparan lain. “Ran.. anger won’t solves anything.” Bisik Samuel lagi.

“Hebatnya ni cewe apa sih, Mik?” Suara Rani bergetar. “Emangnya Dinda engga cukup ya buat lo?”

“Ran..” Tarik Samuel lagi. Bukannya Samuel tidak memiliki peran atas kejadian ini. Nyatanya, ia pun cukup kecewa mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Mikha. Ia selalu tau, Mikha tidak mungkin dan tidak akan mau melakukan hal berselimut pengkhianatan seperti itu. Tapi, kenyataan akan terus menjadi kenyataan, dan Samuel hanya mampu menelannya mentah-mentah.

“Gapapa, Sam, emang gue pantes. Harusnya dari tangan Dinda-nya langsung.” Ketiganya diam. Menciptakan banyak jarak, menolak mendekat.

“Mikha.. gue selalu ngomong sama Dinda kalau semua akan selalu jadi baik-baik aja, karena Dinda ada di tangan lo. Gue tau lo akan terus dan terus berusaha buat bikin semuanya jalan sesuai sama apa yang Dinda harapin karena lo itu Mikha..” Sialnya, tamparan yang dihadiahkan Rani beberapa menit yang lalu tidak kalah sakit dibandingkan kalimat apa yang barusan tersuara. They put so much trust in him, and him break it down into pieces. Sebuah kesalahan paling fatal yang telah ia lakukan.

“Ran, gue tau gue salah. Tapi cara lo gini engga akan selalu memperbaiki keadaan.” Rani menggeleng pelan.

It won’t. Dan gue juga berharap supaya keadaan engga harus diperbaiki, Mik. You just a jerk. I don’t want to meet you for any longer, Mikha. You lost Dinda and you lost me, as well.” Tatap Mikha kemudian terpaku pada Samuel yang kembali duduk diujung sofa sana. Ia masih berharap bahwa sebuah kalimat ‘man, you always got me’ keluar dari mulut Samuel. Semenjak mereka sekolah dulu, Samuel akan terus ada pada setiap masalah yang Mikha punya dan jadi pendukung nomor satu tiap detiknya. Tapi kali ini, ketika matanya bertemu, Samuel menggeleng pelan, dengan air wajah kecewa serta tarikan nafas yang rasanya mencekik, Samuel bersuara, “Man, I’m so sorry.” Dan keduanya melangkah pergi.

Semuanya mendadak jadi lebih kosong. Rumah dan sunyinya yang memekakkan telinga. Serta detak jantungnya yang membuat ia sendiri merasa risih. Ada satu titik dihati Mikha dimana ia merasa ingin meraung dan menangisi keadaan dengan begitu kencang. Tapi ia tetaplah si pendosa yang tidak pantas menangisi keputusan yang ia buat sendiri.

Dinda, serta kedua temannya itu. Bahkan rasanya, ia juga kehilangan dirinya sendiri.

-

Dinda menggantung tasnya, ia rapikan anak-anak rambutnya. Ia pasang senyum penuh kepura-puraan di seluruh sudut wajahnya, agar dia yang disana merasa bahwa memang tidak apa-apa kehilangan seseorang yang luput dari rasa syukur bahwa memiliki satu wanita adalah cukup. Dan disana Dinda kemudian, di kantin kampus, ditengah huru-hara gemercik suara alat-alat dapur yang beradu padu.

Rana, namanya.

Dinda duduk didepan Rana, perempuan yang mengaku sudah membersamai Mikha selama 1 tahun lamanya. Ia memaknai perjalanan hidupnya kemudian, bahwa perihal mengikhlaskan memang tidaklah mudah. Tapi apa artinya kehilangan kalau pada akhirnya bumi ini juga akan hilang dan hancur pada interval waktu yang tidak mampu dihitung dengan alat ukur sekalipun. Pada akhirnya, semuanya hanyalah perihal kefanaan semata.

“Mungkin lo tau alasan gue ngajak lo ketemuan karena sebelumnya gue udah bilang kalau gue mau minta maaf.. secara personal sama lo.” Rana, melipat bibirnya, membuang pandangnya. “Gue juga udah engga bareng sama Mikha..” Jelasnya lagi.

“Gue juga udah engga sama Mikha, kok, Rana..” Kemudian yang terlintas di kepala Dinda adalah, bentuk cinta apa saja yang telah keduanya tuai dibelakangnya. Akankah rasanya lebih indah dibandingkan 6 tahun yang Dinda punya? Atau terlampau biasa saja karena sejatinya, Dinda lah pemenangnya?

“Gue..” Cicit Rana lagi. “Sempet pergi bareng Mikha ke Singapura pas dia ulang tahun, Din..”

I forgave you. You, Mikha and all the things both of you did behind my back.” Ada ukiran senyum yang membuat lawan bicara Dinda bergidik ngeri. Seakan-akan gelas yang sedang berada dalam genggamannya itu mampu terbang mengahancurkan kepalanya kapan saja. Ada tatapan mata yang rasanya terlalu tajam untuk dikategorikan sebagai bentuk tatapan bersahabat, apalagi pernyataan perihal ia yang telah memaafkan segalanya. “Bet Mikha treated you well for this past year, ya?”

Are you mad?”

“Rana.. I shall be mad.” Dunia seakan berhenti berputar ketika Dinda mencetuskan kalimatnya barusan. “Tapi gue gak bisa ngubah keadaan juga, jadi ngapain gue harus menghabiskan energi gue capek-capek buat marah?”

I am.. so.. so.. sorry.”

It’s okay. I told you I forgave you.” Suasana jadi lebih canggung kemudian. Rana hanya terus memainkan ujung bajunya dan menolak terluka dengan tatapan Dinda yang bahkan ia sendiri tidak sengaja menjatuhkan tatapan ngeri seperti itu. Dinda terus menerus menyeruput minumannya, tidak tau kapan waktu yang tepat untuk bangkit dan meninggalkan semuanya.

We’re good?” Sahut Rana kecil, mengundang senyum dari bibir Dinda kemudian.

“We’re good.”

Tidak sampai kemudian wajah Rana habis-habisan basah oleh sisa minuman Dinda yang tidak habis bersimpuh didalam gelas.

“Ngapain lo ke sini? Gatau malu ya lo nyamperin temen gue? Dasar pelakor!” Rani dengan amarah memuncak, muncul entah darimana. Membuang habis-habisan sisa minuman milik Dinda yang berisi es teh, membuat Rana hanya terpaku menatap dirinya sendiri yg setengah kuyup.

“Rani, dia cuma mau minta maaf.”

“Halah! Cewe modal play victim doang lo!” Kini Rani sepenuhnya Dinda genggam. Ia tidak lagi tau apa yang terjadi kepada Rana karena ia buru-buru menyuruhnya kembali. Rani melipat kedua tangannya didepan dada, menolak habis-habisan menatap sahabatnya.

“Rani..”

“Gila ya lo, Din. Ngapain sih ngabis-ngabisin waktu buat ketemu itu cewe?”

“Kan gue udah bilang, dia cuma mau minta maaf.” Jelas Dinda. “Ayolah, Ran, engga semua hal harus diselesain dengan cara kaya gini..”

that’s the whole point, Din.” Air wajah Rani berubah. “Kenapa lo gak bisa ngerti sih? Don’t be a people pleaser. Dia udah salah, yaudah. Ngapain dia ngajak lo ketemuan terus dengan label mau minta maaf? Hm?” Rani menarik bahu Dinda agar wajah mereka bertemu. “She is the fucking villain, Dinda.” Sambung Rani kembali dengan penuh penekanan.

Both of them are the villains.” Cicit Dinda, membalas argumentasi penuh api dari Rani.

See?” Senggang sempat mengudara cukup lama. Tidak sampai kemudian Dinda mendongak, mencari-cari wajah Rani, menarik nafas dalam—seperti sedang menyiapkan sesuatu—dan membuangnya pelan dengan penuh penekanan.

“Ran..” Dinda berusaha sekuat tenaga tidak lagi harus menjatuhkan air mata karena ia sudah cukup lelah dan menguras terlalu banyak energinya untuk beberapa minggu kebelakang. “Whatever happens right now between me and Mikha, at least both uf us had yesterday.

Alis Rani berkerut, bingung untuk mengelaborasi kalimat yang keluar dari mulut Dinda. “Gue sama Mikha sama-sama saling sayang kemarin dan I do believe, he did. And it is enough. Kaya yang lo bilang, Mikha akan selalu berusaha buat make everything between us works, and he did. Gue percaya, apapun yang engga lo rawat dengan sepenuh hati, pasti bakal rusak, Ran, and that is what happened to Mikha. Dan Mikha udah sampe dititik itu dimana keadaan udah engga bisa diperbaiki lagi and afterall, he lets it go. Whether dia villain atau emang mereka berdua villain-nya dalam cerita cinta gue, let them be. Tapi 6 tahun gue, Ran, Mikha yang gue tau akan terus berporos disana and he will be okay there. Di 6 tahun yang lo bilang sia-sia itu. Because both of us were okay there, at least once.”

Rani melipat bibir. Ia tidak merasa bersalah atas ia yang telah melempar habis-habisan sisa air minuman milik Dinda kepada Rana, tapi ia merasa bersalah karena harus memuncak amarahnya untuk sahabatnya ini. Ia buang nafasnya pelan, menatap dalam Dinda yang menunduk memainkan buku-buku jarinya. Sampai Rani menarik tangan Dinda dan menyapunya pelan. “Lo memaafkan keadaan, Din?”

“Keadaan, Mikha, atau cewe yang selama ini jadi selingkuhannya. Semuanya, Ran, gue maafin semuanya.” Kini, keduanya saling menjatuhkan peluk dan menangis. Bukan, bukan perihal betapa lelah dan letihnya Dinda atau Rani atas apa-apa yang telah terjadi, tapi rasa syukur atas kehadiran satu sama lain. Bahwa Rani bisa jadi siapapun dan apapun untuk Dinda, begitupun sebaliknya. Bahwa, Rani bangga, pada kebesaran hati yang Dinda punya atas kejamnya dunia.

Memori Dinda berputar menuju bermenit yang lalu, dimana Rana terduduk lesu dan lemas sembari terus mengutarakan kalimat maaf dari bibirnya. Dinda hanyalah seorang perempuan yang hatinya bukanlah yang sekeras baja. Pun apalagi diseluruh luka yang telah di sebabkan Mikha, ada seorang perempuan yang ikut andil didalamnya, Rana. Sesaat mereka duduk bersama tadi, dapat Dinda gambarkan semua. Segala hal. Bahkan bagaimana senyum gadis ini di detik-detik berharga yang ia punya berdiri disebelah Mikha. Laki-laki penuh cinta yang sejak sekolah dulu saling mereka tuai bersama, laki-laki yang terus terang masihlah sama. Masih Mikha yang itu, yang dulu Dinda cinta, yang dulu Dinda elu-elu-kan namanya.

Mikha yang itu, masihlah Mikha yang dulu. Karena Dinda mengunci Mikha pada enam tahunnya. Mengunci ingatannya pada sosok Mikha yang ada disana.

Tapi sekarang, sudah terlampau banyak benang kusut yang tidak lagi bisa diurai. Satu-satunya cara hanya memutus. Dan kini, putus sudah.

Ia meminta maaf, dengan secercah tumpahan air mata yang menghiasi kedua pipinya. Dinda bertanya-tanya, ada berapa banyak kecupan yang mendarat disana? Apa jangan-jangan, lebih banyak bekas kecupan yang Mikha lukis disana dibandingkan seluruh hari yang pernah mereka punya?

Dinda punya hak untuk marah, menampar atau menjambak perempuan dihadapannya itu sesaat yang lalu. Ia, secara sadar telah bersekongkol, untuk mengancurkan cinta dan cita yang Dinda pupuk untuk dikemudian hari ia petik hasilnya.

Namun, sebagai manusia yang tumbuh dan dipeluk semesta yang penuh kasih sayang, sesederhana senyum kecil lahir dari sudut bibir Dinda. Ia kalah. Kalah telak dalam mencintai Mikha. Dan ia sudah berada pada tahap menerima, bahwa memang begitu adanya. Tidak akan ada yang berubah ketika ia menyulut amarahnya. Tidak akan pernah ada. Yang tetap sama hanya bagaimana Dinda dan visualisasinya terhadap Mikha.

Itu Mikha-ku. Masih lah Mikha-ku, yang dulu. Ia masihlah seorang anak remaja dengan manik mata yang penuh cinta ketika miliknya saling bertemu. Ia pernah pulang pada iris itu. Singapura dan segala negara lain yang pernah Mikha dan siapapun perempuan jalang pernah singgahi, tidak akan pernah sepadan pada tempat-tempat dimana Mikha dan Dinda saling menuai cinta. Disudut sekolah, pada buku matematika. Di bangku kelas yang nyaris ambruk, pada ribuan lembar buku catatan, pada rerumputan serta langit jingga taman kota. Di kantin sekolah, pada semangkuk bakso penuh cinta dan pipi Mikha yang ikut menjadi bulat. Di segala masa, pada kisah-kisah.

Mikha adalah Mikha, yang pernah penuh akan kasih sayang. Pada lampu redup jalanan sore menjelang malam, kemeja kusut tidak lagi berdasi dan ransel kosong dengan setangkai mawar tidak berduri.

“Din, pacaran sama gue, ya?”

Mungkin, mungkin akan Dinda siapkan kalimat lain, untuk menjawab pertanyaan penuh magis yang membuat jantungnya bergetar bak buih-buih air pada sebuah pantai di pagi hari. Atau mungkin, di kesempatan lain, pada masa depan yang entah ada dimana, yang mungkin benar-benar Mikha atur ulang kembali agar supaya didalam sana ada mereka berdua yang berhasil atas sapuan kasih sayang yang telah mereka pupuk bersama. Sampai hari itu, akan ia bisikan pada 6 tahun hari-harinya yang penuh dengan Mikha, bahwa tahun-tahun itu adalah baik, dan seterusnya akan selalu baik.

-fin.


mingyu, my idea of the kindest.


I repeat, I wasn’t running away—” Wajah Migu kusutnya bukan main. “—i just went to the toilet.

To escape.

Fuck, can you stop?”

Did you know that all of those people blamed me?” Migu sudah melalui banyak hal-hal aneh selama beberapa tahun hidupnya. Tapi yang kali ini, sangat sulit ia elaborasi maknanya. Sangat sulit ia tarik benang kusutnya.

Because we do look alike?” Keduanya diam. Cukup lama sembari pelan-pelan mengikis jarak. Masih menolak kenyataan bahwa orang dihadapan mereka masing-masing adalah seutuhnya manusia.

Okay. I saw that you are coming from Indonesia.”

I am.”

Me as well.”

“Ngaco lo.” Senyap jadi pengang kemudian. Kini Migu memijit tulang hidungnya. Dompetnya masih belum bisa ia temukan. Migu memang pergi menuju toilet yang salahnya tidak berada di satu bangunan yang sama ditempat ia memutuskan menghabiskan sorenya di Malibu. 30 menit ia habiskan disana untuk memikirkan cara seperti apa yang harus ia kerahkan agar bisa membayar semua yang ia pesan.

Migu tidaklah berniat lari dari tanggung jawab. Sampai ketika ia kembali ke restoran, beberapa orang sedang menarik kerah laki-laki dihadapannya ini. Yang perawakannya hampir mirip, bahkan satu tahi lalat di pipi kanannya.

“Mingyu.” Sahutnya. Memperkenalkan diri.

“Lo jangan bercanda lah.” Balas Migu kesal. “Kenapa nama lo sama nama gue juga kedengerannya sama.”

Pria bernama Mingyu tadi menghembuskan nafas, pada akhirnya merogoh kantong celana, mengeluarkan kartu identitas miliknya dan terang-terangan menunjukannya pada anak laki-laki didepannya.

“Anjing. Dunia ada-ada aja dah.”

Diselimuti senggang, masih diatas pasir pantai, keduanya samar mendengar teriakan beberapa warga lokal yang sedang memukul bola voli kesana dan kemari. Angin pantai tidak lelah-lelahnya menggerus surai-surai kelam yang tengah berdiam diri disana.

“Jadi.. lo tinggal disini?” Pertanyaan Mingyu yang memecah hening membuat Migu menggeleng, pandangannya tidak lepas menatap bagaimana air pantai yang terus menerus datang dan pergi.

“Gue di Los Angeles, kesini cuma main.” Jelasnya. Cukup singkat. “Lo? liburan kesini?”

Mingyu tertawa. “No. Gue emang tinggal disini.”

“Banyak juga duit lo berarti.” Titik anehnya mulai terlihat, keduanya tiba-tiba terbahak.

“Terus lo balik ke Los Angeles gimana?” Tidak menjawab, Migu hanya menarik bahunya cepat. Tidak berselera memikirkan cara. Belum lagi yang berenang dikepalanya adalah bagaimana ia mengurus segala persuratan untuk membuat kartu-kartu baru.

“Mau gue anterin aja gak?” Kini pandangan Migu terpaku pada si sosok yang mempunyai figur yang sama pada wajahnya.

Migu masihlah terpaku. Kepalanya masih berusaha memecahkan misteri yang cukup aneh ini. Ia mulai bergumam, apakah ini dirinya di masa yang akan datang nanti?

“Lo percaya ini bukan konspirasi semesta?” Alis Mingyu mengkerut ketika dilempari pertanyaan semacam itu. “Lo sama gue mirip banget anjing.” Tipikal Migu.

Kali ini giliran Mingyu yang menarik bahunya, ogah memikirkan terkait konspirasi yang barusan Migu katakan. “Kalau emang konspirasi, then just let it be.” Lirihnya. Kini memasukan kedua tangannya ke dalam kantong celana.

“Itu yang barusan pergi duluan cewe lo?” Migu bertanya dengan berhati-hati. Karena sempat sebelum ia kalang kabut, irisnya menatap pasangan ini disudut restoran. “Kalau gak mau jawab juga gak papa sih..”

“Iya..” Balas Mingyu singkat.

“Kenapa pergi duluan?”

Ada sunggingan kecil disudut bibir Mingyu. Ia kemudian mengalihkan pandangannya yang semula terpaku pada laut lepas, menuju lawan bicaranya yang sudah lebih dulu memaku tatap dikarenakan sudah kepalang penasaran duluan. “Lo merasa gak sih kalo kadang laki-laki tuh do some shits?”

“Maksudnya?”

“Lo pernah selingkuh gak?”

Mata Migu membulat hebat, “Lah anjing kaga lah. Gue senakal-nakalnya jadi cowo engga mau gue selingkuh.” Mingyu selesai kemudian. Ia sudah punya banyak argumentasi sebagai bentuk amunisi yang sudah ia siapkan kapanpun ia akan membela dirinya. Tapi kali ini, ia kalah telak.

“Kenapa? lo ketauan selingkuh?” Sambung Migu lagi.

“Udah bertahun-tahun yang lalu sih tapi. Enggak ketahuan but i did, once. so that's why she left.”

Migu mengangguk. “It’s okay. At least kalo orang-orang gak mau maafin lo, lo maafin diri lo sendiri aja.” Jelasnya. “Habis ini, lo take time buat rekonsiliasi. Maksud gue, kalaupun itu udah jadi human naturenya cowo, lo harus yakinin diri lo sendiri kalau lo..” Tunjuk Migu tepat didepan mata Mingyu. “.. gak akan ngelakuin kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. I mean, man, keledai aja gak bakal jatuh di lubang yang sama buat kedua kalinya, and you know, keledai adalah hewan paling dungu diantara banyaknya hewan.” Migu menyeringai. “Unless if you really want to be one of them.”

Anggukan kecil kini datang dari Mingyu. Ia berenang menuju masa lalu, bertahun-tahun yang lalu. Dimana perputaran hidupnya bak rollercoaster rusak yang sebentar lagi akan jatuh dan hancur. “It sounds ridiculous, to be honest.” Kata Mingyu. Ia melangkah mendekati air pantai dan membiarkan kakinya dihantam habis habisan hingga membasahi setengah celananya. “Gue udah berusaha menjadi seseorang yang belajar dari masa lalu. Jadi pribadi yang lebih baik as i should. Tapi disini tetep aja gue kelihatan sebagai villain-nya. And it will always be. Right?”

I repeat, you can prove it to her that you won’t do the same way as you did back then, Mingyu. Your action will speak louder.”

Right.” Mingyu bingung. Perasaannya harus ia kategorikan sebagai apa di titik ini. Ia bingung dengan seorang anak bernama Migu yang tiba tiba muncul bak sebuah plot-twist didalam harinya. Perawakan yang sama, tinggi yang hampir sama, bahkan senyum yang tidak kalah. Rasa-rasanya, jauh antara sadar dan tidak sadar, jauh pada realisasi yang nyata dan tidak nyata, di antara itu pada pertumpahan emosinya pada sore hari ini, ia merasa bahwa jauh sebelum dimensi ini ada, ia pernah sekali bersinggungan dengan Migu.

Karena rasanya, ia seperti merangkul dan dirangkul. Rasanya, ia pernah hidup di perasaan ini entah kapan. Déjà vu.

“Lo ngapain jauh-jauh dari Los Angeles ke Malibu?” Kali ini, Migu ikut-ikut melangkah menuju pinggir pantai dan mengikuti apa yang Mingyu lakukan.

“Lari.” Katanya. “Gue selalu lari ke Malibu. Cuma apes aja gue hari ini, terus ketemu lo.”

“Jadi ketemu gue adalah bagian dari apes lo?”

“Ya lo mikir lah. Apa gak aneh gue ketemu orang yang mukanya mirip bener kaya begini sama gue?” Lagi-lagi, anehnya lagi, mereka malah terbahak.

What did you do in Los Angeles, Migu?”

College.”

Ah.. I see.” Mulut Mingyu terbuka lebar dan mengangguk. “A student, huh?”

“Yup.”

How old are you?”

“20.” Balasnya singkat. “How about you?”

“28.”

“Gokilll~” Migu tertawa, menepuk tangannya di udara.

“Kenapa?”

“Ini gue 8 tahun yang akan datang.”

“Anjir lo.” Keduanya lupa ini hening yang keberapa. Namun ditengah momen senyap serta kaki yang serasa ditarik jauh oleh air laut, mereka berusaha membersihkan pikiran yang carut-marut didalam sana. Berusaha menarik satu per satu benang yang kusut di dalam kepala, berusaha menemukan tenang yang aman.

“Kali ini, lo lari ke Malibu karena apa?” Tidak langsung menjawab, Migu menarik pelan nafasnya, dan ia buang pada interval waktu kesekian.

“Lo pernah gak, merasa terjebak di tempat yang sama sekali bukan mimpi lo?”

“Hm..” Mingyu berfikir. Ia tidak tau pasti, yang ia tau ia hanya menjalankan segala apa yang ada didepan matanya sepenuh hati. Menyambut hari tanpa benci, karena konsep segalanya tentang hidup, adalah menerima.

“Maybe? Gue juga gak terlalu pay attention sama hal itu.”

“Ada di Malibu, adalah bagian dari mimpi lo?” Pertanyaan lain dari mulut Migu.

I think, yes.”

“Oke..” Alis Mingyu berkerut. Ia menelisik sedikit lekuk wajah Migu yang ekspresinya murung.

“Ada di Los Angeles bukan bagian dari mimpi lo?” Kali ini pertanyaan Mingyu meresap habis habisan pada rungu. Migu diam. Ia berusaha sekuat tenaga bangun di pagi hari tanpa tangisan. Mencoba sekuat tenaga menerima dirinya ada dimana dan menanam dalam-dalam mimpinya.

“Ada di New York adalah bagian dari mimpi gue.” Lirih Migu dengan melipat bibirnya.

Then why did you ended up in Los Angeles, man?”

A complicated story.” Migu mendongak, menghirup udara lebih dalam sampai menusuk paru-parunya dan perlahan menimbulkan perih pada kerongkongannya. “Gue hidup gak bisa bikin jalan sendiri, Mingyu. And it irritates me.” Jelasnya. “Gue harus selalu bikin semua orang ngeliat gue seakan akan gue seneng ada disini, di California, di dorm gue, di kelas gue, dan segala assignment yang demi Tuhan gak berselera untuk gue sentuh. Gue berantem sama diri gue sendiri terus-terusan. Gue berusaha jadi versi beda-beda sama setiap orang yang gue jumpai. Dan rasanya itu semua udah sangat cukup untuk menguras tenang gue, dan gue memutuskan buat main kesini karena satu satunya tempat gue lari ya.. Malibu.

“Kaya.. lo ngerti gak sih. Gue tanam mimpi gue untuk ada di New York, dan gue ngerasa gue itu floating. Gue gatau gue ngapain di California ini. Gue masih belum bisa bikin gebrakan untuk mimpi itu sendiri dan hal itu yang bikin gue sulit nerima kenyataan.” Sambung Migu.

“Oke.. Coba lo liat gimana itu air pantai datang terus pergi.” Migu menatap sinis lawan bicaranya.

Not helping, sorry.”

You know, Migu, the way they coming back and forth? they never stop. but still give you peace? they are indeed still floating. like you said. mereka gak kemana-mana, gak tau juga mau ngapain selain bulak-balik datang dan pergi. but.. it is still in it. Kadang, pelan-pelan dia bikin batu-batu karang disana hancur. You just.. really need a time to break your boundary, Migu.”

Time..” Migu menggeleng. “It is just a bullshit, i bet. Sumpah ya gue muak banget ngomongin soal waktu. Lo gak bisa mengukur capeknya orang, terus lo masih aja nyuruh orang-orang buat nunggu? Kaya.. lo mau nunggu berapa lama lagi supaya bisa mencapai mimpi lo sendiri.”

“Sepuluh, dua puluh, tiga puluh. is it matter?”

“Pak—“

I’m not that old.”

You are almost thirty.

Come on.

“Mingyu.”

Better.”

How many shits you’ve been through? Sampe lo setenang ini ditengah carut-marut kepala lo?” Mingyu terbahak. Ia menerka, entahlah.

“Sebenernya yang penting bukan tujuannya, Migu. It is all about lo yang duduk di atas kapal punya lo yang lagi berlayar. Kadang, yang lo lihat cuma laut lepas. Kadang, lo gak sengaja ketemu pulau kecil antah-berantah. Tapi di sepanjang laut lepas lo bisa lihat banyak ikan-ikan yang gak pernah lo tau ada sebelumnya. Di pulau-pulau, lo bisa ketemu sama tumbuhan-tumbuhan langka yang gak pernah lo jumpai. Lo bisa berhentiin kapal lo buat sebentar, buat ngeliat kemana ikan-ikan itu berenang, buat turun ke pulau cuma buat ngerasain pasirnya setelah perjalanan panjang lo diatas laut lepas.

“Kalau lo cuma fokus sama tujuan tanpa ngeliat kanan dan kiri, then you’d missed the fun. Just.. take time, enjoy it.”

Masuk akal, sedikit. Batin Migu dengan sebuah anggukan kecil yang lain yang hadir sebagai jawaban atas pernyataan Mingyu barusan.

“Lo masih punya banyak mimpi gak?”

“Lo jangan bilang karena gue udah mau 30 tahun mangkanya nanya kaya gitu.”

Sort of.” Mingyu terkekeh kecil, menggeleng heran.

“Bicara soal mimpi, kita semua pasti punya banyak. Gue, lo. Gak peduli seberapa tua lo hidup di bumi, pasti lo akan terus dan terus bermimpi.”

“Jadi.. apa mimpi lo selanjutnya?” Jawabannya masih menggantung, ia tersenyum. Ia wajib dan harus punya mimpi yang akan dicapai hari ini, besok atau hari hari lain yang akan datang. Tapi kali ini mimpinya datang dari kecamuk emosinya belakangan hari, dan ia berharap semuanya cepat mereda.

“Gue tanya lain deh,” Menyadari pertanyaannya digantungkan cukup lama, Migu tidak sabar. Ia memutar tubuhnya agar lebih leluasa bercakap dengan lawan bicaranya. “Harapan apa yang lo harapin pas lo ulang tahun tepat di jam 12 malam?”

Bukan pertanyaan rumit.

Tanpa ragu, tanpa jeda, “Gue mau gue selalu senyum.”

Menyadari ekspresi aneh di wajah Migu, ia bertanya, “Apa yang salah sama harapan gue?”

“Gue bingung apakah gue di umur 28 akan jadi seperti lo.” Decak Migu.

Mingyu terbahak. “Lo tau, walaupun semakin gue bertambah umur semakin gue merasa ulang tahun udah gak seseru yang dulu, tapi gue berharap setiap satu hari hari yang gue punya, semuanya dimulai, dijalani dan ditutup dengan senyum. Gue ngerasa, berarti selama hari itu, ada yang banyak menghargai ‘hari gue’ dan membuat gue merasa bahwa gue ini worth to be recognized.” Jelas Mingyu.

“Kaya hari ini?”

Debar debur ombak masih disana. Langit mulai menggambarkan warna oranye dan maroon-nya. Perlahan matahari mulai tergelincir untuk beristirahat dari panjangnya hari.

“Tunggu, apakah alasan lain dari lo yang kabur ke Malibu hari ini karena orang-orang lupa kalau hari ini lo nambah usia?”

Permainan ini semakin lucu. Sebuah tanya yang dijawab tanya. Migu tersenyum dengan seringai kecil yang dimaknai Mingyu sebagai bentuk nyeri tidak tersirat. “They are all human afterall. What did you expect?”

“Migu..” Panggilan itu membuat bulu kuduk Migu rasanya berdiri, ia merinding. “I’m wishing you a greatest birthday. I am.”

Me too.” Kemudian ada lagi titik paling aneh, ketika mereka saling merangkul, kemudian memeluk tubuh satu sama lain. Selain untuk memberikan selamat, sekali untuk memastikan bahwa orang dihadapan mereka masing-masing adalah manusia sepenuhnya, seutuhnya.

“Kok lo bisa tau, tapi?”

Man, you just showed your card identity just to show me that indeed your name is Mingyu.”

“Oh.. right.”

“Gila gue takut banget umur 28 gue jadi pikun kaya lo.”

“Bisa gak stop bilang kalo lo takut jadi kaya gue di umur lo yang ke 28 cuma karena gue sama lo mirip?”

“Orang-orang selain punya mimpi, mereka juga punya ketakutan. Same as i do.”

“Lo takut menjadi gue?”

Why not?”

Damn you must be kidding me.” Migu terbahak hebat. Belum terjadi semenjak pagi tadi ia melarikan diri untuk agenda ulang tahunnya yang di lupa.

Glad that i met you, Mingyu.” Senyum simpul lahir di bibir Migu. “Glad that we got the same birthday as well.”

Happiest Birthday then, Migu.”

“Selamat dirgahayu.” Kini keduanya saling melukis senyum. Ini cukup. Segalanya yang kacau hari ini, dengan menemukan hal-hal baik, membuatnya terlihat sepadan.

Jonathan Safran Foer pernah menulis di dalam bukunya yang berjudul Extremely Loud and Incredibly Close, “Time was passing like a hand waving from a train I wanted to be on.” Waktukah yang sebenarnya berdiri paling egois atau kita yang terlampau menyia-nyiakannya? Ia akan selalu menang diatas apapun.

“Lo percaya teori multiverse gak?” Mingyu berdecak. Migu memang bukan lawannya dalam berbincang apalagi perihal sesuatu yang sudah melindas zaman. Mingyu sudah cukup tua, hampir.

“Apa? Lo mau bilang kalau kita itu bagian dari teori-teori multiverse?” Mingyu menggelengkan kepalanya dengan sunggingan senyum kecil. Dasar ABG. “Jangan kebanyakan nonton film lah, Gu.”

“Yeh bukan gitu. Tapi sampe sekarang gue masih menganggap ini aneh.” Migu tidak bohong, selama perbincangan panjang mereka tadi, masih belum Migu temukan titik tumpu benang kusutnya.

“Gu, mending lo gausah ngasih beban ke kepala lo cuman buat menerka-nerka sebuah jawaban.” Mingyu melipat kedua tangannya didepan dada. “Kaya yang gue bilang, enjoy naik kapal lo sendiri. Mungkin, ini bagian dari hal-hal menarik kalo lo seenggaknya berhentiin kapal lo barang sebentar. No need a rush.” Cahaya oranye dari langit mengiluminasi wajah keduanya, memantul dalam irisnya seakaan disana ikut terbentang laut lepas dengan angin yang mengacak surai.

“Tapi kalaupun teori multiverse itu ada, kayanya gak mungkin deh kita ada di satu dimensi yang sama.” Mingyu menolak ikut menghabiskan energinya untuk memikirkan perihal dunia fiksi yang tidak ada habis habisnya ini, tapi setelah ia pikir lagi, ia sedikit tertarik.

“Kalaupun teori multiverse itu ada, gue harap ‘gue’ ditiap-tiap universenya selalu bahagia.” Migu lekat menatap langit yang hari itu dilukis indah. Mungkin sebagai hadiah atas hari kelahirannya.

“Gu, lo pernah ngebayangin lo jadi apa di salah satu universe yang mungkin ada?” Migu kali ini terkekeh dan terbahak hebat. Kemudian ia sapu tekuknya dan beralih menatap si lawan bicara.

“Lo pernah gak bayangin diri lo sendiri jadi penyanyi? Atau jadi orang yang dikenal banyak orang? Yang nama lo diteriakin dimana mana? Ngisi banyak artikel?” Alis Mingyu mengkerut tidak percaya, ia sudah punya segalanya disini, untuk apa ia membayangkan dirinya ada di dimensi seperti itu? Tapi pada ujungnya, mereka malah tertawa.

“Penyanyi? Famous person?” Mingyu memastikan kembali.

“Kalau gue jadi penyanyi, gue gak perlu repot-repot petik bintang di langit kalau gue mau. Soalnya bintangnya pasti udah ada banyak di bumi.”

Dasar remaja, batin Mingyu. “Yaudah sekarang lo teriakin nih disini sama diri lo sendiri di multiverse lain yang sekarang lagi jadi penyanyi.” Mingyu menepuk bahu Migu disela sisa-sisa tawa yang mereka punya.

Migu menarik nafasnya, ia bersiap. Ia serius perihal ia yang akan berteriak. Langit belum sepenuhnya gelap. Mungkin kalau matahari mendengarkan, bersamaan dengan tergelincirnya ia, akan disampaikan dalam bahasa dunia yang mungkin di dimensi lain tidak ia mengerti.

“BUAT DIRI GUE SENDIRI DI SETIAP DIMENSI!!!” Mingyu mengkerutkan alisnya, mungkin gendang telinganya hari ini akan meninggalkan trauma atas teriakan hebat Migu barusan. “DIMANA PUN LO BERADA..” Oh tidak, Mingyu mendeteksi getaran tidak biasa dari cara Migu berteriak. “GUE BANGGA SAMA LO!!” Migu menarik nafas sejenak. “LET'S ROCK THE WORLD!”

Pada akhirnya, ia runtuh pada satu bahu orang asing yang berjam lalu baru ia temui. Ia hanyalah anak laki-laki yang sedang melangkah merajut jalan untuk menjemput mimpinya sendiri. Tapi belakangan, rasanya beban dipundaknya beratnya bukan main.

“Buat diri gue di dimensi yang lain..” Lirih Mingyu disela tepuknya pada bahu Migu. “Gue harap setiap jam 12 malam ulang tahun lo, kapanpun itu, semoga lo cuman menemukan senyum.”

Mendengar Mingyu dan harapannya yang cuma ia bisik, Migu terbahak. Di sela tangisnya ia terbahak.

Di ujung senja, mereka memutus langkah. Hari ini sudah cukup aneh dan tidak kalah lega. Benar, semuanya jadi sepadan, batin Migu. Semuanya butuh waktu, batin Mingyu.

Migu melambai jauh disana mengucap pamit dimana iris mata Mingyu menangkapnya disertai lukis senyum pada kedua sudut bibirnya. Keduanya berenang dalam esensi yang sama, ‘itu aku. Itu aku dibawah langit oranye beserta sapuan deru ombak Malibu. Itu aku, mungkin delapan tahun yang lalu. Itu aku, mungkin delapan tahun yang akan datang. Itu aku, yang kemarin, besok atau lusa, masih menyusun mimpi-mimpinya menjadi akar penguat dalam segala kemungkinan tanpa ujung dalam perputaran dunia. Itu aku yang tidak terbatas. itu aku.’


Jangan tanya seberapa pengangnya kepala Mala ketika ia membuka mata. bahkan tirai apartemennya tidak lagi mampu menahan cahaya matahari diluar sana yang ternyata sudah duluan naik dan menyokong hari. Ia lupa apa yang sudah terjadi tadi malam, yang ia ingat hanya bagaimana langkahnya bersama sang cinta yang mengarungi K-Town dengan komentar yang tertinggal di beberapa puzzle ingatannya.

“Aku kurang suka kepiting marinasinya, enggak cocok di lidah.”

“Jajangmyeon-nya menurutku oke sih”

Migu. ‘Gu’-nya.

Mala menoleh ke kanan dan ke kiri, menemukan kamarnya kosong melompong. Tapi sebagai seorang akuntan yang bekerja di salah satu perusahaan multinasional besar, meraup ribuan dollar dalam sebulan, maka pemandangan yang pertama kali mampu ditangkap visualisasinya adalah bagaimana hidupnya kota Los Angeles sebagaimana tirai-tirai itu menampakan sekat kaca dari lantai berapa puluh apartemennya itu.

Ini, adalah bagian manifestasi dalam hidupnya.

Dengan rambut yang berantakan, ia menyusuri seluruh apartemennya dan menemukan bagaimana sampah yang berserakan di ruang tengah, serta piring kotor yang bertumpuk di sink cucian piringnya.

Ia memutar mata, ini pasti ulah Migu.

Selesai membersihkan diri, dengan handuk yang memeluk rambut basahnya, ia buang tubuhnya ke atas kasur dan menggapai ponselnya.

Tidak memilik daya baterai.

Kemudian buru-buru ia ambil kabel pengisi daya dan meninggalkan ponselnya itu di atas kasur.

Matanya mengembara, menatap bagaimana para masyarakat lokal itu melangkah menyusuri jalanan serta menyebrangi zebra cross dari sekat kaca di kamarnya. Orang-orang sibuk.

Ia juga seharusnya menyibukkan diri. Ini weekend, tapi ada satu hal penting yang membuatnya harus menghadiri meeting kira-kira 1 jam lagi.

Sekiranya menunggu, kali ini giliran kepalanya yang mengembara mengingat apa yang terjadi malam tadi.

Mala tau kalau mereka setengah mabuk ketika malam tadi menyusuri jalanan menuju Irolo itu. Mereka terbahak, sesekali menertawakan remaja yang sedang bercinta di gang yang lembab dan basah, padahal keduanya sama-sama di mabuk cinta.

Ia langsung tidur kelelahan setelah seharian penuh menghabiskan waktu bersama Migu. Dan terbangun melihat bagaimana lelaki itu meninggalkan apartemennya dengan keadaan yang kacau. Mungkin malam tadi perutnya masih terus melolong minta diberi makan, hingga mengosongkan setidaknya setengah isi kulkas Mala. Tapi tidak masalah, toh, ujung-ujungnya mereka akan pergi ke supermarket untuk belanja dan mengisi penuh kulkas Mala dan rak berisi makanan ringannya.

Mala dan Migu bertemu di pinggir pantai Malibu, ketika itu yang ditangkap visualisasinya adalah seorang lelaki yang bertelanjang dada dan sedang asik memukul bola voli bersama para lokal. Migu tidak terlihat seperti seorang penduduk lokal, itu sebabnya Migu sangat-sangat menarik perhatian Mala.

Atau mungkin Migu memang seorang penduduk lokal? karena caranya bersosialisasi benar-benar membuat Mala hampir terkecoh.

“Mana enakan Jakarta apa Malibu?” Mala mengerutkan alisnya hebat menatap lelaki yang tinggi menjulang dengan keringat yang menyapu habis tubuhnya yang ketika itu tidak ditutupi apapun. rambutnya yang sedikit gondrong keriting juga ikut basah dimandikan keringat. Ia letakkan bola volinya dan ikut duduk di atas pasir pantai, nafasnya masih tersenggal, sisa-sisa bermain volinya tadi.

“Malibu, I guess.

Right? Gue juga mikirnya gitu.” Mala masih tidak tau darimana Migu bisa tau ia datang jauh dari negara di atas garis khatulistiwa itu. Seakan bisa membaca mimik wajah, Migu menunjuk dengan alisnya satu gantungan kunci di totebag yang Mala tenteng. “Masih ada jaman sekarang yang pake gantungan kunci ‘I Love Jakarta’ ?” Migu terkekeh.

Mala lupa, totebag itu milik Ibunya. Memang, agak sedikit kampungan. Terlebih ia yang lahir dan besar di Jakarta.

“Lo liburan ke Malibu?” Mala menilik pelan bagaimana keringat itu masih membuat sungai di pelipis Migu. Tau kalau itu jadi sebab fokusnya hancur berantakan, buru-buru ia buang jauh pandangnya ke pantai sana.

“Kabur sih sebenernya..”

“Lah? Sama dong?”

“Sebenernya gue sewa apart di Los Angeles, kesini cuman main.”

Migu terkikik. “Gue juga..”

Mala bingungnya bukan main. Untuk apa ia menghabiskan gajinya selama setahun lebih dan berani menyewa apartemen seharga 1500 dollar dan tiket pesawat hanya untuk kembali menemukan ‘masyarakatnya’ di negara orang? Jadi, untuk apa Mala kabur kalau begitu?

“Nama gue Migu.. Migu Keandratama..” Cicitnya, mengusap peluh. “Lo balik kapan? Mau bareng?”

“Lo duluan aja.. Migu.. gue masih mau jalan-jalan..”

“Ayo.. bareng sama gue, mau?” Mala sebenarnya bingung. Haruskah? Ia diam cukup lama, menimbang ini dan itu, kalau dan kalau. Sampai akhirnya lawan bicaranya mulai bersuara memecah pertimbangannya. “Gak papa kalau lo maunya sendiri, gak menyinggung gue, you don’t have to worry.. siapa nama lo?”

“Mala..” Cicit Mala pelan. “Malandara.. Dasawarsa..”

“Hah?”

“Iya.. lo gak salah denger. Nama gue Dasawarsa. Nyokap bokap gue baru dapet gue setelah 10 tahun nikah.” Balas Mala lagi, menolak menemukan tatap.

“Dan lo memilih buat kabur?” Kali ini pandang Mala tertoreh kepada Migu, tidak lupa alisnya yang menyatu.

“Apa lo mengasumsikan bahwa gue anak durhaka?”

“Anak nyokap bokap lo berapa?” Pertanyaan yang dilempar Migu cukup untuk menyumpal habis kalimat-kalimat yang akan Mala lempar. “Lo doang, kan? gue asumsikan lo doang, soalnya lo diemnya lama..”

“Durhaka?”

Migu tertawa. “Durhaka sih..”

Tawa Migu tidak berbalas. Bagus, hitungan hari Mala berada di Los Angeles sudah menambah setidaknya satu bahan pikiran untuk dihiasi di tengah malam sebelum terjun ke dunia mimpi. Terimakasih banyak kepada Migu.

“Gue bercanda, Ra..” Mala menoleh ketika menatap raut wajah takut-takut dan khawatir di sana. Ia cukup tersinggung, jujur saja. Tapi sesungguhnya ia tidak punya waktu untuk menyikapi perasaan-perasaan semacam itu. Dan lagi, panggilan aneh apa itu?

“Jadi gimana? mau gue tinggal apa mau bareng?”

“Lo gak ada janji apa?”

“Lah? kan disini ceritanya gue juga kabur?”

“Ya terus kalo lo kabur kan bukan berarti lo gak ada janji sama temen-temen lo?”

“Santai, Ra.. Gue yakin, gue gak beda jauh sama lo..”

Malam itu, Mala membenci celetuk Migu yang mendengung di telinganya. “Ra..Ra..Ra..” Namanya bukan itu. Kenapa ia harus dihadiahi panggilan lain? Mala seharusnya cukup.

“Jadi.. mau kabur bareng gue?”

Cosidering as a yes, gue cuma gak mau jajan gue kelindes abis cuma gara-gara transport. That’s why gue mau..”

Migu terbahak sampai membuang kepalanya kebelakang. “Chill.. gue juga gak bakal ujuk-ujuk nyuruh lo bayar bensin gue pas nyampe di Los Angeles. I bet i make money much more than you..”

Whatever, Gu.. leaving or not?”

“Tunggu disini gue bebersih dulu..” Migu bangkit. Meninggalkan Mala yang duduk manis diatas pasir pantai bersamaan dengan matahari yang sudah meninggalkan jejak oranye dari langit.

Mala menunggu.

Ia menunggu orang asing untuk mengantarnya mengarungi tempat yang asing. Dari skala 1 sampai 10, Mala menerka, sudah sampai dimana kebodohan yang menyelimuti akal sehatnya? mungkin 7? atau 8? 10. Mala bilang 10.

Bagaimana kalau Migu itu adalah seorang Mucikari dan akan menjual dirinya kepada para politisi untuk memenuhi birahinya? Bagaimana kalau besok Mala terbangun sudah berada entah dimana dan tubuhnya sudah terpotong-potong menjadi beberapa bagian?

Ia masih punya waktu untuk kabur. Kepalanya terus berteriak untuk kabur. Sialan! Hatinya malah tidak bisa diajak kompromi. Ia mati. Mala mati. Kalau memangpun harus malam ini, yasudah. Bukannya tempo hari ia meminta agar supaya pesawat yang membawanya dari Ibukota jatuh dan menghanguskan tubuhnya? Kenapa sekarang ia harus takut untuk akhirnya berada di situasi yang ia mau?


“Waktu itu aku pikir kamu mucikari..” Migu terbahak. Memukul stirnya kuat.

“Gila aja.. Yakali..”

wasn't it weird? When you asked someone freely for strolling around? Kaya.. kalo gak ada niat terselubung terus apa?” Dengan senyum simpul, Migu tepuk pelan salah satu pipi Mala.

“Kan ini niatnya..” Oke, Mala memang harus akui. Label Independen Woman yang ia bawa-bawa harus jatuh berantakan ketika laki-laki ini hanya menyebutkan satu atau dua kalimat. Jangan tanya bagaimana kemudian semburat merah dikedua pipinya mulai terbakar, jangan tanya bagaimana dadanya tiba-tiba buta caranya mengatur nafas, jangan tanya harus seberapa pintar ia menulis kalimat di kepalanya agar supaya ia tidak terlihat sebagai perempuan yang lemah akan afeksi.

Walaupun pada akhirnya, tabiat perempuan akan selalu lemah apabila dicecar afeksi. Pada akhirnya, ketika merasa dicintai, dunia tidak lagi berarti.

Malam ini, setelah kejadian malam kemarin, tidak bosan keduanya kembali menyisihkan waktu. Mala mati-matian menghabiskan energi untuk bebersih apartemennya yang diacak Migu. Maka tidak ada salahnya kembali mengisi energi dengan sebentar berkeliling memeluk malam di kota ini.

Musim panas sudah lebih dulu selesai. Mala lupa, ia tidak pernah menghitung sudah berapa kali melewati musim panas bersama Migu. Dua kali? Tiga kali? Entah. Agenda mengelilingi Malibu dan berakhir diantarkan pulang ke Los Angeles ujuk-ujuk menjadi celah kecil untuk Migu masuk memanfaatkan kesempatan. Mala harus akui, ia gigih.

Mobil yang mereka tumpangi jadi saksi bisu kebersamaan yang sudah-sudah. Mungkin, kalau benda mati itu ditakdirkan bisa berbicara seperti layaknya manusia, ia pasti sudah muntah melihat berapa kali budak cinta itu berciuman disana.

Semua tempat wisata di Silver Lake sudah di kunjungi, sudah di tapak, sudah ditinggalkan kenang-kenangnya. Dari satu Bar ke Bar lainnya, dari satu toko Souvenier ke toko Souvenier lainnya. Dari museum yang satu ke museum lainnya. Mala rasa, ia sudah hapal diluar kepala rute-rute yang sudah mereka jajaki.

Malam itu, Migu hadiahkan peluk kepala Mala lewat jaket berwarna hijau army agak tua karena melihat bagaimana bibir Mala yang bergetar hebat akibat di tampar angin malam. Ini yang Mala suka, Migu tidak pernah mengganti parfumnya. Migu juga tidak pernah mengganti softener kalau mencuci bajunya sendiri. Mala bilang, ia jadi gampang untuk mengenali Migu dari satu bau.

Mobil Migu berhenti diatas bukit yang menghadap pada tulisan autentik ‘HOLLYWOOD’. Keduanya duduk diatas kap mobil. Migu sesekali mengambil kerikil kecil di dekat kakinya dan mulai melempar satu persatu asal entah kemana.

“Aku gak pernah nyangka kalau aku bakalan jatuh cinta di tempat yang bukan rumahku sendiri..” Hening mendadak berserakan ketika suara Mala jadi pemecah. Migu tersenyum.

“Dulu mikirnya bakalan jatuh cinta dimana?”

“Hm.. Jogja?” Migu kali ini terbahak kecil.

“Belum pernah ke Jogja..” Katanya lagi, masih terus menerus melempar kerikil asal. “Tapi menurut kamu Jogja emang seromantis itu? Sampe bisa dijadiin tempat untuk jatuh cinta?”

It has a different feeling, Gu. Aku engga tau gimana cara bilangnya tapi kalau kamu ke Jogja.. everything seems so magical. like.. it seems impossible not to falling in love in Jogja. You need to go to Jogja one day..” Mala mengulum senyum.

Well noted.”

Or maybe we can go together? Kamu ada rencana balik?“ Bukannya menjawab, Migu malah menarik pelan nafasnya, menyisakan jeda yang agak panjang. Ia membenarkan posisi duduknya, menatap lama tulisan gagah ‘HOLLYWOOD’ di depan manik matanya.

How’s New York in your perspective, Ra..?”

Mala tidak langsung menjawab. Ia memutar kepalanya agak lama berusaha menemukan satu atau dua kalimat untuk jawab. Karena jujur, dirinya sendiri belum pernah memijak di New York sekalipun.

“Dunno? Dikepalaku yang kegambar cuma patung Liberty..”

Kedua sudut bibir Migu menungkik tajam. “It has Upper West Side di Manhattan. Cozy Brick Apartement Buildings, Riverside Park and Central Park. Bahkan kalau lagi spring, kamu bisa lihat kebun Strawberry disana. And the most fascinating things are.. Artists, professors, filmmakers, and writers made their homes on the Upper West Side. Its City Skyline, The Empire State Building, Chrysler Building and Woolworth building..” Suara Migu mendadak hilang perlahan sampai kalimat penutupnya. “Keren, ya?” Kata Migu lagi. Mala menyadari bagaimana mata Migu yang tidak menemukan matanya ketika berbicara tentang New York itu mengandung banyak bintang. Bahkan, Mala jarang menemukan mata itu ketika mereka saling menuai cinta. Migu bahkan tau semua Gedung-gedung pencakar langit di negara yang sempat dapat julukan ‘The Big Apple’ itu.

Broadaway, Ra. Manhattan Valley and also Amsterdam Avenue. New York filled with dreams and the dreamers, don’t you think so?” Migu jatuh cinta. Tidak lagi itu bentuk kemungkinan, yang Mala lihat dengan jelas adalah bentuk kepastian.

Yes..”

It must be fun to lived in New York..”

Isn’t it fun as well in Los Angeles?” Pertanyaan yang dilontarkan Mala tidak mendapat jawab, hanya tatapan sendu dari kedua manik mata yang Mala sayang.

Dan secepat itu dapat Mala konklusikan, jatuh cinta Mala kepada Los Angeles atas nama Migu, ternyata tidak tertuai sama besarnya. Migu dan New York, Migu dan mimpinya, katanya. Jadi, untuk apa Mala membanggakan Los Angeles dan Migu didalamnya?

Untuk apa Migu berakhir di Los Angeles kalau mimpinya ada di New York sana?

“Kalau selama ini mimpi kamu ada di New York, buat apa kamu ada disini?”

“Ra.. Everything happens for a reason. When it comes to your mind, Did you found kind of relevance between us?”

So?”

So.. maybe we can crossed our path first—“

“—before you leave me and go to New York?” Migu kelu. Seringai di sudut bibir Mala membuatnya menutup mulut hampir 2 menit lamanya. “Don’t say..?”

“Ra.. why don’t we moved to—“

“—No!” Langkah Mala tiba-tiba menjauh. Menciptakan jarak, membiarkan dinginnya angin malam memenuhi ruang hampa di antara mereka berdua.

“Selama ini.. aku pikir Silver Lake, Malibu, jalanan kota LA even that..” Mala mengambil nafas sebentar, menahan kerongkorangannya untuk tidak mengeluarkan suara parau. Walaupun pada akhirnya, semua sia-sia. Ada bulir-bulir yang mendadak memupuk, perlahan penuh dan akhirnya tumpah. “..that stupid HOLLYWOOD, Gu.. we’re built our dreams here.. aren’t we?”

It’s all your dream, Ra. You said that LA was your biggest dreams since you were 12, and here you are.. look at you.” Bahu Migu naik secepat kilat menjelaskan bagaimana Mala tumbuh memenuhi mimpi masa kecilnya. “But.. my dreams.. they weren’t here. They were in Broadaway. Not Silver Lake, not Malibu or even that stupid HOLLYWOOD you said. They were in New York, Ra..”

Cicitan hewan malam memenuhi jarak diantara mereka yang semakin menjadi.

I need to go to New York..” Sambung Migu. “Even if i should living life in taxis with no money, i would. a hundred times.. would..”

Sunyi. Pengang.

“Kapan, Gu?” Dari visualisasi Mala, jakun Migu naik dan turun. Ia menelan ludah susah payah dan kemudian membuang wajahnya menolak menatap manik mata yang kini hanya cukup dipenuhi embun.

“Minggu depan..”

“Gu..” Lagi-lagi air mata yang ditahan Mala menolak untuk tidak jatuh. Kini mulutnya ditutup rapat oleh telapak tangannya. Ia genggam erat jaket berwarna army milik Migu yang memeluk tubuhnya agar terhalang dari dinginnya angin malam. Tapi Mala yakin, dinginnya hati laki-laki dihadapannya tidak akan mampu lagi membuat Mala menatapnya dengan sama.

I know you won’t like this idea, Ra. That’s why I keep it from you. Cara kamu ngomongin Malibu, atau apapun tentang this city of Angels, you are well-known by me. I know this will happen soon or later. Aku cuma mengulur waktu untuk ngeliat kamu kaya gini..” Kalimat yang enggan keluar dari mulut Mala memilih berotasi didalam kepalanya. Masih dengan pupuk air mata dan menolak menatap yang kerap kali ia panggil cinta. ‘was it even love?’

“And this car..” Migu tepuk kap-nya pelan beberapa kali. “I sold it already.”

“Gu..?”

I meant it, Ra. I don’t mind if I should living life in taxis. Anything, for New York..”

Setibanya, yang mampu Mala lihat hanya bagaimana kenangan mereka di dalam mobil bermerk Subaru Forester itu menyeruak bak reel film rusak. Pertama kali Mala diajak mengelilingi Malibu, atau rencana-rencana mengunjungi Silverlake atau pertama kali kalimat penuh esensi yang Migu ucapkan untuk memulai satu hubungan. Tapi semakin Mala menyelam kembali kepada kejadian itu, Mala fikir semuanya palsu.

Mala sedang tidak menjadi egois. Kalaupun Migu harus pergi terbang ke New York sana, silahkan saja. Mala akan dengan sangat terbuka membiarkan Migu pergi untuk mimpinya. Mungkin, dengan itu, mimpinya mampu membawa Migu kembali pulang, entah kemana.

Tapi mimpi Mala ada disini. Dan Mala fikir, menetapnya Migu disini, bagaimana mereka yang saling menumbuhkan cinta di segala sudut kota Los Angeles ini, adalah bentuk mereka yang sama sama sedang membangun mimpi. Bukan tanah Los Angeles yang tidak kuat bagi mereka untuk membangun angan, hanya Mala yang sedang mengangkat puing-puing mimpinya untuk kembali utuh. Mala tebak, pondasinya ternyata masih kurang kuat.

Go ahead, Gu. Enggak papa. Kalau memang mimpi kamu bukan disini, enggak ada disini, go ahead, cari. Cari sampe kamu dapet dimana mimpi kamu selama ini.” Jakun Migu naik dan turun lagi.

What about us?” Dengar itu? Mala yakin jantung hati nya terbuat dari daging segar, tapi kenapa mampu ia dengar nada patahan dari sana?

“’What about us’, Gu? Aku pikir ‘Kita’ juga bagian dari mimpi kamu?”

It is. Mangkanya aku ajak kamu buat pergi sama aku ke New York..” Dengan tekuk senyum, pipi yang sudah lengket disiram air mata, Mala menunduk, menggeleng.

“Mimpiku disini.” Deru angin jadi semakin dingin. Cicitan hewan malam jadi perusak gendang telinga. Jarak yang tercipta semakin meluas, menyapu habis hangatnya dekap yang biasa mereka cipta.

Then you should leave all of my ghosts here, Ra.” Mala pernah ketakutan. Bagaimana kalau seandainya Migu hilang. Dari Los Angeles, atau dari hidup Mala. Tapi disinilah ia, menghitung waktu untuk menyaksikan bagaimana saksi kulit Migu memudar. Dikikis perlahan dan ketakutannya jadi kenyataan.

Pada akhirnya yang Mala ingat hanya sebagian kecil Migu dari ingatannya, sisanya? Migu tidak lagi ada disini.

“Nanti, kalau ada waktu aku kunjungin kamu ke New York, Gu.”

Sebelum langkah Mala berbalik, suara familiar itu kembali. “Ra, I ask you for the last time. Ayo, kita ke New York..”

Bibirnya kembali bergetar. “I’d love to, Gu. Tapi.. mimpiku disini. Semuanya ada disini.” Getar suara Mala disusul air mata yang sempat mengering itu mampu Migu lihat dengan jelas. Pun, melukai hatinya. “Or maybe, by tomorrow morning, one of my dreams will gone. Kamu.. mungkin gak ada lagi disini.”

Lagi, sebelum Mala melangkah lebih jauh. Suara berat familiar yang selalu ia tunggu mengetuk gendang rungunya tidak pernah terasa pedih seperti ini. “Ra.. aku anter kamu pulang..”

But, where is home?


Jangan tanya seberapa pengangnya kepala Mala ketika ia membuka mata. bahkan tirai apartemennya tidak lagi mampu menahan cahaya matahari diluar sana yang ternyata sudah duluan naik dan menyokong hari. Ia lupa apa yang sudah terjadi tadi malam, yang ia ingat hanya bagaimana langkahnya bersama sang cinta yang mengarungi K-Town dengan komentar yang tertinggal di beberapa puzzle ingatannya.

“Aku kurang suka kepiting marinasinya, enggak cocok di lidah.”

“Jajangmyeon-nya menurutku oke sih”

Migu. ‘Gu’-nya.

Mala menoleh ke kanan dan ke kiri, menemukan kamarnya kosong melompong. Tapi sebagai seorang akuntan yang bekerja di salah satu perusahaan multinasional besar, meraup ribuan dollar dalam sebulan, maka pemandangan yang pertama kali mampu ditangkap visualisasinya adalah bagaimana hidupnya kota Los Angeles sebagaimana tirai-tirai itu menampakan sekat kaca dari lantai berapa puluh apartemennya itu.

Ini, adalah bagian manifestasi dalam hidupnya.

Dengan rambut yang berantakan, ia menyusuri seluruh apartemennya dan menemukan bagaimana sampah yang berserakan di ruang tengah, serta piring kotor yang bertumpuk di sink cucian piringnya.

Ia memutar mata, ini pasti ulah Migu.

Selesai membersihkan diri, dengan handuk yang memeluk rambut basahnya, ia buang tubuhnya ke atas kasur dan menggapai ponselnya.

Tidak memilik daya baterai.

Kemudian buru-buru ia ambil kabel pengisi daya dan meninggalkan ponselnya itu di atas kasur.

Matanya mengembara, menatap bagaimana para masyarakat lokal itu melangkah menyusuri jalanan serta menyebrangi zebra cross dari sekat kaca di kamarnya. Orang-orang sibuk.

Ia juga seharusnya menyibukkan diri. Ini weekend, tapi ada satu hal penting yang membuatnya harus menghadiri meeting kira-kira 1 jam lagi.

Sekiranya menunggu, kali ini giliran kepalanya yang mengembara mengingat apa yang terjadi malam tadi.

Mala tau kalau mereka setengah mabuk ketika malam tadi menyusuri jalanan menuju Irolo itu. Mereka terbahak, sesekali menertawakan remaja yang sedang bercinta di gang yang lembab dan basah, padahal keduanya sama-sama di mabuk cinta.

Ia langsung tidur kelelahan setelah seharian penuh menghabiskan waktu bersama Migu. Dan terbangun melihat bagaimana lelaki itu meninggalkan apartemennya dengan keadaan yang kacau. Mungkin malam tadi perutnya masih terus melolong minta diberi makan, hingga mengosongkan setidaknya setengah isi kulkas Mala. Tapi tidak masalah, toh, ujung-ujungnya mereka akan pergi ke supermarket untuk belanja dan mengisi penuh kulkas Mala dan rak berisi makanan ringannya.

Mala dan Migu bertemu di pinggir pantai Malibu, ketika itu yang ditangkap visualisasinya adalah seorang lelaki yang bertelanjang dada dan sedang asik memukul bola voli bersama para lokal. Migu tidak terlihat seperti seorang penduduk lokal, itu sebabnya Migu sangat-sangat menarik perhatian Mala.

Atau mungkin Migu memang seorang penduduk lokal? karena caranya bersosialisasi benar-benar membuat Mala hampir terkecoh.

“Mana enakan Jakarta apa Malibu?” Mala mengerutkan alisnya hebat menatap lelaki yang tinggi menjulang dengan keringat yang menyapu habis tubuhnya yang ketika itu tidak ditutupi apapun. rambutnya yang sedikit gondrong keriting juga ikut basah dimandikan keringat. Ia letakkan bola volinya dan ikut duduk di atas pasir pantai, nafasnya masih tersenggal, sisa-sisa bermain volinya tadi.

“Malibu, I guess.

Right? Gue juga mikirnya gitu.” Mala masih tidak tau darimana Migu bisa tau ia datang jauh dari negara di atas garis khatulistiwa itu. Seakan bisa membaca mimik wajah, Migu menunjuk dengan alisnya satu gantungan kunci di totebag yang Mala tenteng. “Masih ada jaman sekarang yang pake gantungan kunci ‘I Love Jakarta’ ?” Migu terkekeh.

Mala lupa, totebag itu milik Ibunya. Memang, agak sedikit kampungan. Terlebih ia yang lahir dan besar di Jakarta.

“Lo liburan ke Malibu?” Mala menilik pelan bagaimana keringat itu masih membuat sungai di pelipis Migu. Tau kalau itu jadi sebab fokusnya hancur berantakan, buru-buru ia buang jauh pandangnya ke pantai sana.

“Kabur sih sebenernya..”

“Lah? Sama dong?”

“Sebenernya gue sewa apart di Los Angeles, kesini cuman main.”

Migu terkikik. “Gue juga..”

Mala bingungnya bukan main. Untuk apa ia menghabiskan gajinya selama setahun lebih dan berani menyewa apartemen seharga 1500 dollar dan tiket pesawat hanya untuk kembali menemukan ‘masyarakatnya’ di negara orang? Jadi, untuk apa Mala kabur kalau begitu?

“Nama gue Migu.. Migu Keandratama..” Cicitnya, mengusap peluh. “Lo balik kapan? Mau bareng?”

“Lo duluan aja.. Migu.. gue masih mau jalan-jalan..”

“Ayo.. bareng sama gue, mau?” Mala sebenarnya bingung. Haruskah? Ia diam cukup lama, menimbang ini dan itu, kalau dan kalau. Sampai akhirnya lawan bicaranya mulai bersuara memecah pertimbangannya. “Gak papa kalau lo maunya sendiri, gak menyinggung gue, you don’t have to worry.. siapa nama lo?”

“Mala..” Cicit Mala pelan. “Malandara.. Dasawarsa..”

“Hah?”

“Iya.. lo gak salah denger. Nama gue Dasawarsa. Nyokap bokap gue baru dapet gue setelah 10 tahun nikah.” Balas Mala lagi, menolak menemukan tatap.

“Dan lo memilih buat kabur?” Kali ini pandang Mala tertoreh kepada Migu, tidak lupa alisnya yang menyatu.

“Apa lo mengasumsikan bahwa gue anak durhaka?”

“Anak nyokap bokap lo berapa?” Pertanyaan yang dilempar Migu cukup untuk menyumpal habis kalimat-kalimat yang akan Mala lempar. “Lo doang, kan? gue asumsikan lo doang, soalnya lo diemnya lama..”

“Durhaka?”

Migu tertawa. “Durhaka sih..”

Tawa Migu tidak berbalas. Bagus, hitungan hari Mala berada di Los Angeles sudah menambah setidaknya satu bahan pikiran untuk dihiasi di tengah malam sebelum terjun ke dunia mimpi. Terimakasih banyak kepada Migu.

“Gue bercanda, Ra..” Mala menoleh ketika menatap raut wajah takut-takut dan khawatir di sana. Ia cukup tersinggung, jujur saja. Tapi sesungguhnya ia tidak punya waktu untuk menyikapi perasaan-perasaan semacam itu. Dan lagi, panggilan aneh apa itu?

“Jadi gimana? mau gue tinggal apa mau bareng?”

“Lo gak ada janji apa?”

“Lah? kan disini ceritanya gue juga kabur?”

“Ya terus kalo lo kabur kan bukan berarti lo gak ada janji sama temen-temen lo?”

“Santai, Ra.. Gue yakin, gue gak beda jauh sama lo..”

Malam itu, Mala membenci celetuk Migu yang mendengung di telinganya. “Ra..Ra..Ra..” Namanya bukan itu. Kenapa ia harus dihadiahi panggilan lain? Mala seharusnya cukup.

“Jadi.. mau kabur bareng gue?”

Cosidering as a yes, gue cuma gak mau jajan gue kelindes abis cuma gara-gara transport. That’s why gue mau..”

Migu terbahak sampai membuang kepalanya kebelakang. “Chill.. gue juga gak bakal ujuk-ujuk nyuruh lo bayar bensin gue pas nyampe di Los Angeles. I bet i make money much more than you..”

Whatever, Gu.. leaving or not?”

“Tunggu disini gue bebersih dulu..” Migu bangkit. Meninggalkan Mala yang duduk manis diatas pasir pantai bersamaan dengan matahari yang sudah meninggalkan jejak oranye dari langit.

Mala menunggu.

Ia menunggu orang asing untuk mengantarnya mengarungi tempat yang asing. Dari skala 1 sampai 10, Mala menerka, sudah sampai dimana kebodohan yang menyelimuti akal sehatnya? mungkin 7? atau 8? 10. Mala bilang 10.

Bagaimana kalau Migu itu adalah seorang Mucikari dan akan menjual dirinya kepada para politisi untuk memenuhi birahinya? Bagaimana kalau besok Mala terbangun sudah berada entah dimana dan tubuhnya sudah terpotong-potong menjadi beberapa bagian?

Ia masih punya waktu untuk kabur. Kepalanya terus berteriak untuk kabur. Sialan! Hatinya malah tidak bisa diajak kompromi. Ia mati. Mala mati. Kalau memangpun harus malam ini, yasudah. Bukannya tempo hari ia meminta agar supaya pesawat yang membawanya dari Ibukota jatuh dan menghanguskan tubuhnya? Kenapa sekarang ia harus takut untuk akhirnya berada di situasi yang ia mau?


“Waktu itu aku pikir kamu mucikari..” Migu terbahak. Memukul stirnya kuat.

“Gila aja.. Yakali..”

wasn't it weird? When you asked someone freely for strolling around? Kaya.. kalo gak ada niat terselubung terus apa?” Dengan senyum simpul, Migu tepuk pelan salah satu pipi Mala.

“Kan ini niatnya..” Oke, Mala memang harus akui. Label Independen Woman yang ia bawa-bawa harus jatuh berantakan ketika laki-laki ini hanya menyebutkan satu atau dua kalimat. Jangan tanya bagaimana kemudian semburat merah dikedua pipinya mulai terbakar, jangan tanya bagaimana dadanya tiba-tiba buta caranya mengatur nafas, jangan tanya harus seberapa pintar ia menulis kalimat di kepalanya agar supaya ia tidak terlihat sebagai perempuan yang lemah akan afeksi.

Walaupun pada akhirnya, tabiat perempuan akan selalu lemah apabila dicecar afeksi. Pada akhirnya, ketika merasa dicintai, dunia tidak lagi berarti.

Malam ini, setelah kejadian malam kemarin, tidak bosan keduanya kembali menyisihkan waktu. Mala mati-matian menghabiskan energi untuk bebersih apartemennya yang diacak Migu. Maka tidak ada salahnya kembali mengisi energi dengan sebentar berkeliling memeluk malam di kota ini.

Musim panas sudah lebih dulu selesai. Mala lupa, ia tidak pernah menghitung sudah berapa kali melewati musim panas bersama Migu. Dua kali? Tiga kali? Entah. Agenda mengelilingi Malibu dan berakhir diantarkan pulang ke Los Angeles ujuk-ujuk menjadi celah kecil untuk Migu masuk memanfaatkan kesempatan. Mala harus akui, ia gigih.

Mobil yang mereka tumpangi jadi saksi bisu kebersamaan yang sudah-sudah. Mungkin, kalau benda mati itu ditakdirkan bisa berbicara seperti layaknya manusia, ia pasti sudah muntah melihat berapa kali budak cinta itu berciuman disana.

Semua tempat wisata di Silver Lake sudah di kunjungi, sudah di tapak, sudah ditinggalkan kenang-kenangnya. Dari satu Bar ke Bar lainnya, dari satu toko Souvenier ke toko Souvenier lainnya. Dari museum yang satu ke museum lainnya. Mala rasa, ia sudah hapal diluar kepala rute-rute yang sudah mereka jajaki.

Malam itu, Migu hadiahkan peluk kepala Mala lewat jaket berwarna hijau army agak tua karena melihat bagaimana bibir Mala yang bergetar hebat akibat di tampar angin malam. Ini yang Mala suka, Migu tidak pernah mengganti parfumnya. Migu juga tidak pernah mengganti softener kalau mencuci bajunya sendiri. Mala bilang, ia jadi gampang untuk mengenali Migu dari satu bau.

Mobil Migu berhenti diatas bukit yang menghadap pada tulisan autentik ‘HOLLYWOOD’. Keduanya duduk diatas kap mobil. Migu sesekali mengambil kerikil kecil di dekat kakinya dan mulai melempar satu persatu asal entah kemana.

“Aku gak pernah nyangka kalau aku bakalan jatuh cinta di tempat yang bukan rumahku sendiri..” Hening mendadak berserakan ketika suara Mala jadi pemecah. Migu tersenyum.

“Dulu mikirnya bakalan jatuh cinta dimana?”

“Hm.. Jogja?” Migu kali ini terbahak kecil.

“Belum pernah ke Jogja..” Katanya lagi, masih terus menerus melempar kerikil asal. “Tapi menurut kamu Jogja emang seromantis itu? Sampe bisa dijadiin tempat untuk jatuh cinta?”

It has a different feeling, Gu. Aku engga tau gimana cara bilangnya tapi kalau kamu ke Jogja.. everything seems so magical. like.. it seems impossible not to falling in love in Jogja. You need to go to Jogja one day..” Mala mengulum senyum.

Well noted.”

Or maybe we can go together? Kamu ada rencana balik?“ Bukannya menjawab, Migu malah menarik pelan nafasnya, menyisakan jeda yang agak panjang. Ia membenarkan posisi duduknya, menatap lama tulisan gagah ‘HOLLYWOOD’ di depan manik matanya.

How’s New York in your perspective, Ra..?”

Mala tidak langsung menjawab. Ia memutar kepalanya agak lama berusaha menemukan satu atau dua kalimat untuk jawab. Karena jujur, dirinya sendiri belum pernah memijak di New York sekalipun.

“Dunno? Dikepalaku yang kegambar cuma patung Liberty..”

Kedua sudut bibir Migu menungkik tajam. “It has Upper West Side di Manhattan. Cozy Brick Apartement Buildings, Riverside Park and Central Park. Bahkan kalau lagi spring, kamu bisa lihat kebun Strawberry disana. And the most fascinating things are.. Artists, professors, filmmakers, and writers made their homes on the Upper West Side. Its City Skyline, The Empire State Building, Chrysler Building and Woolworth building..” Suara Migu mendadak hilang perlahan sampai kalimat penutupnya. “Keren, ya?” Kata Migu lagi. Mala menyadari bagaimana mata Migu yang tidak menemukan matanya ketika berbicara tentang New York itu mengandung banyak bintang. Bahkan, Mala jarang menemukan mata itu ketika mereka saling menuai cinta. Migu bahkan tau semua Gedung-gedung pencakar langit di negara yang sempat dapat julukan ‘The Big Apple’ itu.

Broadaway, Ra. Manhattan Valley and also Amsterdam Avenue. New York filled with dreams and the dreamers, don’t you think so?” Migu jatuh cinta. Tidak lagi itu bentuk kemungkinan, yang Mala lihat dengan jelas adalah bentuk kepastian.

Yes..”

It must be fun to lived in New York..”

Isn’t it fun as well in Los Angeles?” Pertanyaan yang dilontarkan Mala tidak mendapat jawab, hanya tatapan sendu dari kedua manik mata yang Mala sayang.

Dan secepat itu dapat Mala konklusikan, jatuh cinta Mala kepada Los Angeles atas nama Migu, ternyata tidak tertuai sama besarnya. Migu dan New York, Migu dan mimpinya, katanya. Jadi, untuk apa Mala membanggakan Los Angeles dan Migu didalamnya?

Untuk apa Migu berakhir di Los Angeles kalau mimpinya ada di New York sana?

“Kalau selama ini mimpi kamu ada di New York, buat apa kamu ada disini?”

“Ra.. Everything happens for a reason. When it comes to your mind, Did you found kind of relevance between us?”

So?”

So.. maybe we can crossed our path first—“

“—before you leave me and go to New York?” Migu kelu. Seringai di sudut bibir Mala membuatnya menutup mulut hampir 2 menit lamanya. “Don’t say..?”

“Ra.. why don’t we moved to—“

“—No!” Langkah Mala tiba-tiba menjauh. Menciptakan jarak, membiarkan dinginnya angin malam memenuhi ruang hampa di antara mereka berdua.

“Selama ini.. aku pikir Silver Lake, Malibu, jalanan kota LA even that..” Mala mengambil nafas sebentar, menahan kerongkorangannya untuk tidak mengeluarkan suara parau. Walaupun pada akhirnya, semua sia-sia. Ada bulir-bulir yang mendadak memupuk, perlahan penuh dan akhirnya tumpah. “..that stupid HOLLYWOOD, Gu.. we’re built our dreams here.. aren’t we?”

It’s all your dream, Ra. You said that LA was your biggest dreams since you were 12, and here you are.. look at you.” Bahu Migu naik secepat kilat menjelaskan bagaimana Mala tumbuh memenuhi mimpi masa kecilnya. “But.. my dreams.. they weren’t here. They were in Broadaway. Not Silver Lake, not Malibu or even that stupid HOLLYWOOD you said. They were in New York, Ra..”

Cicitan hewan malam memenuhi jarak diantara mereka yang semakin menjadi.

I need to go to New York..” Sambung Migu. “Even if i should living life in taxis with no money, i would. a hundred times.. would..”

Sunyi. Pengang.

“Kapan, Gu?” Dari visualisasi Mala, jakun Migu naik dan turun. Ia menelan ludah susah payah dan kemudian membuang wajahnya menolak menatap manik mata yang kini hanya cukup dipenuhi embun.

“Minggu depan..”

“Gu..” Lagi-lagi air mata yang ditahan Mala menolak untuk tidak jatuh. Kini mulutnya ditutup rapat oleh telapak tangannya. Ia genggam erat jaket berwarna army milik Migu yang memeluk tubuhnya agar terhalang dari dinginnya angin malam. Tapi Mala yakin, dinginnya hati laki-laki dihadapannya tidak akan mampu lagi membuat Mala menatapnya dengan sama.

I know you won’t like this idea, Ra. That’s why I keep it from you. Cara kamu ngomongin Malibu, atau apapun tentang this city of Angels, you are well-known by me. I know this will happen soon or later. Aku cuma mengulur waktu untuk ngeliat kamu kaya gini..” Kalimat yang enggan keluar dari mulut Mala memilih berotasi didalam kepalanya. Masih dengan pupuk air mata dan menolak menatap yang kerap kali ia panggil cinta. ‘was it even love?’

“And this car..” Migu tepuk kap-nya pelan beberapa kali. “I sold it already.”

“Gu..?”

I meant it, Ra. I don’t mind if I should living life in taxis. Anything, for New York..”

Setibanya, yang mampu Mala lihat hanya bagaimana kenangan mereka di dalam mobil bermerk Subaru Forester itu menyeruak bak reel film rusak. Pertama kali Mala diajak mengelilingi Malibu, atau rencana-rencana mengunjungi Silverlake atau pertama kali kalimat penuh esensi yang Migu ucapkan untuk memulai satu hubungan. Tapi semakin Mala menyelam kembali kepada kejadian itu, Mala fikir semuanya palsu.

Mala sedang tidak menjadi egois. Kalaupun Migu harus pergi terbang ke New York sana, silahkan saja. Mala akan dengan sangat terbuka membiarkan Migu pergi untuk mimpinya. Mungkin, dengan itu, mimpinya mampu membawa Migu kembali pulang, entah kemana.

Tapi mimpi Mala ada disini. Dan Mala fikir, menetapnya Migu disini, bagaimana mereka yang saling menumbuhkan cinta di segala sudut kota Los Angeles ini, adalah bentuk mereka yang sama sama sedang membangun mimpi. Bukan tanah Los Angeles yang tidak kuat bagi mereka untuk membangun angan, hanya Mala yang sedang mengangkat puing-puing mimpinya untuk kembali utuh. Mala tebak, pondasinya ternyata masih kurang kuat.

Go ahead, Gu. Enggak papa. Kalau memang mimpi kamu bukan disini, enggak ada disini, go ahead, cari. Cari sampe kamu dapet dimana mimpi kamu selama ini.” Jakun Migu naik dan turun lagi.

What about us?” Dengar itu? Mala yakin jantung hati nya terbuat dari daging segar, tapi kenapa mampu ia dengar nada patahan dari sana?

“’What about us’, Gu? Aku pikir ‘Kita’ juga bagian dari mimpi kamu?”

It is. Mangkanya aku ajak kamu buat pergi sama aku ke New York..” Dengan tekuk senyum, pipi yang sudah lengket disiram air mata, Mala menunduk, menggeleng.

“Mimpiku disini.” Deru angin jadi semakin dingin. Cicitan hewan malam jadi perusak gendang telinga. Jarak yang tercipta semakin meluas, menyapu habis hangatnya dekap yang biasa mereka cipta.

Then you should leave all of my ghosts here, Ra.” Mala pernah ketakutan. Bagaimana kalau seandainya Migu hilang. Dari Los Angeles, atau dari hidup Mala. Tapi disinilah ia, menghitung waktu untuk menyaksikan bagaimana saksi kulit Migu memudar. Dikikis perlahan dan ketakutannya jadi kenyataan.

Pada akhirnya yang Mala ingat hanya sebagian kecil Migu dari ingatannya, sisanya? Migu tidak lagi ada disini.

“Nanti, kalau ada waktu aku kunjungin kamu ke New York, Gu.”

Sebelum langkah Mala berbalik, suara familiar itu kembali. “Ra, I ask you for the last time. Ayo, kita ke New York..”

Bibirnya kembali bergetar. “I’d love to, Gu. Tapi.. mimpiku disini. Semuanya ada disini.” Getar suara Mala disusul air mata yang sempat mengering itu mampu Migu lihat dengan jelas. Pun, melukai hatinya. “Or maybe, by tomorrow morning, one of my dreams will gone. Kamu.. mungkin gak ada lagi disini.”

Lagi, sebelum Mala melangkah lebih jauh. Suara berat familiar yang selalu ia tunggu mengetuk gendang rungunya tidak pernah terasa pedih seperti ini. “Ra.. aku anter kamu pulang..”

But, where is home?

Debur ombak diluar sana berisik. Ia datang dan pergi terus dan terus menghantam karam yang masih berdiri kokoh diatas pijakannya. Matahari naik kepermukaan, perlahan mulai bertahta sebagai tanda untuk menjadi penyokong hari.

Dan Mingyu masih belum mau menyambut harinya. Ia masih beringsut diatas kasur, menyelipkan tangannya kebawah bantal, masih menarik selimut dan masih ingin melanjutkan mimpinya.

Tidak sampai ketika ia tersentak, membelalakan mata dan buru-buru duduk dipinggir kasur. Ia lupa, kalau Ia punya janji hari ini.

Dirinya mulai bebersih diri seadanya. Masuk ke kamar mandi, menyikat gigi dan membasuh wajah. kemudian ia melangkah mengambil handuk, berjalan menuju kamar dan membuka lemari hanya untuk mengganti piyamanya dengan kaos dan celana ponggol.

Setelahnya, dengan menggunakan sandal, ia mulai keluar dari rumah dan memijak di pasir pantai. Seperti biasa, akhir pekan seperti ini, garis pantai akan selalu dipenuhi oleh pengunjung. Tua, muda, dewasa, remaja bahkan anak-anak yang sedang bermain voli disana. Beberapa lagi melemparkan fribiss-nya ke udara dan dengan sigap seekor anak anjing menangkap dengan mulutnya.

Mingyu malah jadi berwisata masa lalu mengingat anak anjingnya yang sudah entah apa kabarnya. Mingyu rindu Mickey, itu adalah fakta yang sukar ia tolak. Tapi atas beberapa pertimbangan (dulu dan sekarang) ia masih belum bisa memelihara anak anjing lagi.

Pagi menuju siang kali ini sebenarnya ia tidak sendiri. Atas pemenuhan janji yang sudah lama sekali belum terealisasi, kakinya melangkah menuju stan es krim, menilik warna-warna cerah dan mulai berimaji bagaimana manisnya makanan dingin tersebut. Bagaimana nanti ia yang akan meleleh di lidah dan menyapu habis kering di kerongkongan. Mingyu tidak sabar.

Ia pesan satu dengan cup, rasa Strawberry Sorbet, dan satunya lagi dengan Cone, Hazelnut Choco. Selesai membayar, ia membalikkan tubuh, tangannya penuh dan Mingyu menemukan 3 orang anak yang sedang berjongkok mengelilingi seseorang yang duduk dikursi pantai dibawah payung untuk menghalangi sinar matahari yang cukup terik, seseorang yang membuatnya sibuk bangun pagi-pagi untuk menyusuri pasir pantai di pagi ini. Seseorang yang membuat janji.

Ketiganya mendongak, menemukan Mingyu yang tersenyum kemudian ikut berjongkok mengikuti ketiganya.

“Namanya siapa?” Seorang anak laki-laki mulai bertanya.

“Umurnya berapa?” Disambung seorang anak perempuan yang rambutnya dikucir kuda.

Senyum milik Mingyu terlempar dari ketiga anak kecil tersebut ke subjek yang ditanya. “Nadeleine, 2 tahun.”

“Pipinya gembul.”

“Warna bola matanya bagus, warna Hazel.”

Mendengar pujian-pujian yang dilemparkan oleh anak-anak kecil yang notabene-nya adalah selalu penuh dengan kejujuran, kebahagiaan menyeruak bak kembang api di dalam dada Mingyu. Ia serahkan cup berisi Es Krim rasa Strawberry Sorbet tadi kepada si kecil Nadeleine, yang sekarang sedang jadi pusat perhatian.

“Papa, ini rasa Strawberry apa Watermelon?” Lidahnya masih belum sempurna dalam berbicara, tapi pertanyaannya serta alisnya yang mengkerut disana membuat Mingyu rasanya ingin terbahak dan menjatuhkan dirinya di pasir pantai.

“Strawberry, Nak. Kan kamu bilangnya mau rasa Strawberry.” Ia mengangguk, mulai menyendok es krimnya dan sesekali membagikannya kepada ke 3 anak yang Nadeleine sendiri tau kalau mereka sedang mencari perhatiannya.

Di satu kursi pantai yang bersebrangan, Mingyu menikmati es krim conenya sambil tersenyum penuh kebanggaan melihat putrinya yang terbahak tertawa bersama anak-anak lain.

What is your name?” Sadar bahwa pertanyaan Mingyu menjurus kepada mereka, ketiga-nya menoleh.

“Aku Ethan.” Matanya berwarna biru, rambut pirangnya yang keriting bersinar ditimpa cahaya matahari.

“Aku Scott.” Jelas anak laki-laki yang satunya lagi.

Tatap Mingyu kemudian beralih pada satu anak perempuan yang rambutnya dikucir tadi. Ia memelintir baju renangnya, menunduk malu-malu dan mulai bersuara, “Aku Lily..”

“Kenapa malu-malu gitu?” Kekeh Mingyu.

She said that she doesn’t like her name.” Scott mengangkat bahunya tinggi. Mingyu yang baru saja menelan habis es krimnya kemudian melangkah mendekati si gadis kecil, berdiri diatas lutut, menyamakan tinggi dan menepuk pelan puncak kepalanya beberapa kali.

It’s like my wife's name, it is such a pretty name you know?” Matanya melebar, bersinar seakan-akan ada taburan bintang disana. Senyumnya merekah hebat.

Is she pretty, Mr..?

“Kim.”

“Mr. Kim?”

The prettiest among the prettiest.

Then, where is she?” Kurva kecil di kedua sudut bibir Mingyu sukar untuk disembunyikan. Ia menunduk mengulum senyum.

At home.” Balasnya singkat dengan intonasi suara lembut. Ketiga-nya masih fokus pada Mingyu sedangkan putri kecilnya masih asik menghabiskan satu cup Strawberry Sorbet yang sudah jadi permintaannya berminggu-minggu yang lalu.

Making you a tea?” Dengan kikikan kecil, Lily menutup mulutnya malu-malu.

Making me a tea.” Mingyu mengangguk memberikan validasi. Padahal ia tidak tau apa yang sedang gadisnya lakukan dirumah sana.

Well, then we should come to your home to drink some cup of tea.” Ethan kemudian bersuara. Ketiganya tersenyum lebar, raut wajahnya penuh harap menanti jawaban dari Mingyu. “We lived here, Mr. Kim. And we’d love to play with Nadeleine more and we really want to see Mrs. Kim as well!” Mingyu tidak perlu menimbang, ia akan dengan senang hati membukakan pintu rumahnya, apalagi untuk anak-anak ini.

I really want to see Mrs. Lily too, Mr. Kim!” Dengan suara penuh indikasi manja, Lily memohon dengan menautkan jemari kecilnya.

Sure. A cup of tea won’t hurt us, right?” Mingyu kemudian berdiri dan bersiap. Ia memakaikan bucket hat dikepala Nadeleine untuk menghalanginya dari sinar matahari. 5 jemari kecilnya mengenggam 2 jari Mingyu. Berselaras mereka berjalan menyusuri bibir pantai.

Sesekali, 3 anak kecil yang mengikutinya dari belakang saling dorong dan terbahak, mendistrak Nadeleine sehingga sesekali membuatnya terseok akibat tidak melihat jalan. Maka tangan kuat Ayahnya yang akhirnya harus sigap.

Ketika suara derik daun pintu mulai memenuhi rumah, seorang gadis di dapur sana sedang sibuk menilik isi kulkas. Rambutnya dikucir dan lagi-lagi kaos kebesaran itu. Mingyu yakin pasti dirinya mencuri pakaiannya lagi dari dalam lemari.

“Na..” Lirihnya. Bola mata kehijauan itu menoleh dari sana. “I bring us some guest. Do you mind if you making us some tea? With ice?” Kepala Mingyu menoleh kebelakang mencari validasi dari ketiga anak-anak yang wajahnya cerah mengalahkan terik diluar sana.

With Ice, Mr. Kim!” Jawab ketiganya serempak.

Mata Mingyu mencari mata yang terkejut didapur sana. Tidak henti-hentinya tersenyum dan masih menggengam bahagia yang dari tadi terus bersahut-sahutan didalam dadanya. “With ice, Mrs. Kim.

and sometimes, home isn’t 4 walls, it’s 2 eyes and a heartbeat. Indeed.