Epilogue—kepada peluk.
—
“Lo tau gak sih, kebaya gue kegedean, Din..” Aku tersenyum kecil menatap wajah Rani yang sebalnya bukan main perihal baju kebaya yang akan ia pakai untuk wisuda nanti yang sudah bisa dihitung dengan jari.
“Yaudah, kan masih ada waktu buat dikecilin, Ran. Daripada lo kerjaannya ngambek mulu, mending kita sekarang ke tukang jahit ngecilin baju lo.” Mulut Rani malah mengkerucut semakin maju.
“Gabisa gue kalau sekarang, gue mau nemenin Samuel nyari jas.”
“Yaudah, kapan-kapan.” Rani kemudian mengistirahatkan kepalanya di pundakku. Dari visualisasiku, dapat aku lihat matanya yang terpaku, entah pada apa, entah dimana.
“Mikirin apa, Ran?” Tanyaku. Namun malah mengundang kekehan kecil dari dia.
“Lo inget gak, rencananya Samuel pas kita lulus SMA?” Kepalaku mengembara pada kenangan tersebut bak sebuah reel film yang sebenarnya aku tolak mentah-mentah untuk diingat kembali.
“Kenapa emang?”
“Kalau dipikir-pikir ya lucu aja. Kita masih terlalu remaja buat bisa prediksi masa depan. Ujung-ujungnya.. ya gituu..”
Aku tertawa kecil sembari memainkan buku-buku jariku. “Iya.. bener.”
“Din.. gue bukannya mau brought up Mikha lagi, tapi.. apa ya. Lo juga tau kan hubungan gue dan Samuel sama Mikha juga engga baik—”
“Gara-gara gue ya, Ran?”
Rani memutar bola matanya. “Oh.. C’mon! we’ve been here, Din. Pertanyaan lo itu-itu mulu.”
Aku tarik bahu Rani kemudian, aku tatap matanya. Aku melipat bibir, menahan nafas dan aku buang perlahan. “Karena, Ran, jawaban yang lo kasih sama gue gak pernah bikin gue merasa puas.” Aku jatuhkan kemudian genggamanku yang sebelumnya ada pada bahu Rani. Sembari menyenderkan bahu pada kepala sofa, kenanganku mulai bermain dan berputar jauh kebelakang.
“Din..” Rani memutar tubuhnya, kini menatapku yang tidak menatapnya, melainkan menatap plafon rumah yang sudah muncul retak-retakan. “Gue sayang sama Mikha. Dari SMP dulu, Din, Mikha sama Samuel doang yang gue punya. Dulu temen-temen cewe gue di SMP tuh kindly unmatched aja sama kepribadian gue yang ujung-ujungnya juga disinisin gue sama mereka gara-gara mainnya sama cowo mulu.” Jelas Rani.
“Tapi gue buktiin, kalau emang gue fully matched sama Samuel dan Mikha, karena bahkan sampe hampir selesai kuliah pun, gue masih main bareng mereka.” Sambung Rani lagi. “Lo liat gue sama Samuel, kalo kata orang dulu sebelum pacaran udah kaya kembar sial. Lengket mulu. Ya.. karena dari dulu juga yang gue punya tetep Samuel sama Mikha, Din..”
“Dan kalau lo inget, seberapa gue bersikeras buat approach lo karena gue suka sama vibes lo. Itu juga pertama kali akhirnya gue dapet temen cewe kaya lo.” Aku tertawa lepas setelah kalimat ungkapan tersebut keluar dari mulut Rani. “Setelah apa yang gue denger langsung dari mulut Mikha hari itu, gue nangis pas balik kerumah. Gue mikirin lo yaiyalah, tapi di satu sisi juga gue mikirin diri gue sendiri.” Rani menunduk memainkan jemarinya. “Gue kecewa aja sama Mikha..”
“Kita bertiga dari dulu selalu put trust on each other, Din. Selalu. Bahkan untuk ukuran siomay yang gue titipin juga gue percaya kalau kuah kacang punya gue lebih banyak daripada punya mereka.” Sunggingan senyum dari bibir Rani tiba-tiba menyala dan hidup, namun untuk ukuran yang cukup kecil. “Ya gue kecewa sama Mikha. Gue berani sumpah dulu kalau dia engga akan mungkin ngelakuin hal-hal kaya gitu, tapi ujung-ujungnya gue denger langsung dari mulut dia. Jadi.. yaudah. Gue juga gak bisa ngeliat Mikha yang sama, Din. Engga kaya lo..” Aku mengelus hangat pundak Rani, menepuk-nepuknya pelan.
“Tapi.. lo kangen gak, main bertiga lagi?”
“Kangen lah! Apalagi kalau kita berempat ngadain double-date dan main bareng!” Balas Rani tanpa keraguan. “Tapi kalaupun gue ajakin main, rasanya udah beda aja, Din. Jadi.. biarin aja ini jadi hukuman buat Mikha sendiri..”
“Tapi kejam banget, Ran, kalau lo harus ngehukum Mikha kaya gini..”
“Supaya dia tau, Din.. kalau memang ada yang harus dibayar atas pengkhianatan. Gue.. juga ngerasa terkhianati. Jadi, ini semua bukan soal lo, but me as well, and Samuel.” Kini aku dan Rani sama-sama mengelus pundak satu sama lain, mengukir senyum untuk satu sama lain.
Mungkin, ada berkah lain atas kejadian beberapa bulan yang telah lalu. Bahwa sebenarnya, Mikha masihlah membawa berkat, lewat Rani, sesekali Samuel.
-
Rektorat kampus ramainya siang itu bukan main. Fakultas Teknik berbondong-bondong membawa bendera kebanggan Himpunan serta mempersiapkan Marching Band untuk mengantarkan para wisudawan kembali menuju Fakultas. Dan aku tidak pernah merasa sebangga ini. Ijazah ditangan, serta tali toga yang sepenuhnya sudah berada di kanan.
Aku memeluk Rani sekuat tenaga, aku bawa pelukannya ke kanan dan kekiri, sekaligus berusaha sekuat tegana menolak menimbun air mata. Aku ucapkan banyak-banyak kalimat afirmasi untuk menunjukan bentuk afeksiku atas dirinya selama beberapa tahun kebelakang. Aku, menyayangi sahabatku ini.
Tidak lama, sebuah telfon nyaring berdering, milik Rani, menunjukan nama Samuel disana.
“Kamu dimana?” “Yailah, harus banget ke rektorat?” “Itumah kebanggaan kamu sendiri.” “Capek, aku pake heels, Sam.” “Enak aja.” “Iyaaa, kesana nih.” “Mau ngapain sih?” “Iya iya bawel. Kesana akuu.”
Setelah telfonnya ditutup, aku bertanya kepada Rani, “Kenapa, Ran?”
“Engga tau, disuruh Samuel ke rektorat.” Dengan sebal Rani memasukan kembali ponselnya pada tas kecil yang ia bawa.
“Oh yaudah, gue nyamperin nyokap bo—”
“Sama lo, njir.” Sontak, Rani menarik tanganku.
“Lah, gue juga? Kenapa?”
“Gak tau dibilang, disuruh Sam kesana..” Aku menyerah kemudian, membiarkan Rani menarik tanganku kemanapun yang ia mau.
Sampai di depan gedung rektorat, Samuel melambaikan tangannya di udara, membuat aku dan Rani melangkah mendekati sosoknya dengan topi toga di tangan.
“Kenapa gue juga ikut-ikut diajak kesini?” Tanyaku, masih berusaha menarik konklusi atas agenda yang entah apa yang sedang direncanakan oleh Samuel.
“Gue mau re-create foto kita yang kaya pas SMA dulu, sesuai rencana dan janji gue.” Aku membisu, Rani pun begitu. Butuh banyak waktu untuk aku dan Ia berusaha menarik benang-benang kusut. “Gak papa, kita bertiga aja.” Samuel memanggil seseorang kemudian, meminta tolong untuk diambilkan foto tepat didepan gedung rektorat kampus.
Ketika sudah siap, sebuah sosok familiar tertangkap visualisasiku, membuat Samuel dan Rani ikut terdistrak lantaran aku yang terdiam cukup lama. Mikha, dan topi toga yang ia genggam di tangannya.
Dengan langkah pelan, kini Mikha sudah sepenuhnya berdiri didepanku, didepan Rani, didepan Samuel pula. Suasana canggung menyeruak habis-habisan, aku tidak mampu bersuara, tidak mampu memulai cerita.
“Gue.. mau pamit..” Kata Mikha kemudian. “Tadi gue sempet liat kalian didalem, tapi gue bingung harus nyapanya gimana, dan kebetulan gue lagi liat kalian ngumpul disini.” Mikha menggaruk tekuknya. “Gue.. mau pamit, habis ini gue ada fokus studi lagi ke Hongkong, dan sekalian juga gue mau ngucapin selamat.. buat.. kita semua.” Senyum Mikha tertekuk, ia lipat dalam senyumnya.
“Mik..” Panggilku setelahnya. “Masih inget janji Samuel gak soal re-create foto pas dulu kita lulus SMA?” Mikha diam, harusnya ia ingat. Harusnya momen membahagiakan itu ia ingat dengan jelas dikepalanya.
“Masih..”
“Masih mau gak, wujudin cita-citanya Samuel?” Ucapku, dengan senyum, agar Mikha tidak terlalu canggung berdiri disini bersama aku dan yang lain.
“Boleh?” Tanyanya, penuh keraguan.
“Ya boleh.” Kataku bersemangat. “Ayo?” Kini, lunas sudah. Senyum Samuel merekah hebat, dapat aku lihat dari wajahnya yang tiba-tiba beralih menatap wajahku, seakan-akan menyuarakan rasa terimakasih tersirat.
Aku hanya menekan ego, mengharapkan kebahagiaan atas teman-temanku sendiri, terutama Samuel, yang sekarang sedang asik memeriksa layar ponselnya, ingin tau bagaimana hasil dari foto mereka bersama.
“Sam, Ran..” Mikha beralih menatap wajahku. “Din..” Panggilnya kecil. “Gue.. duluan ya.” Mikha tersenyum kecil ketika wajahnya beralih pada Samuel. “Sam, lunas ya utang gue. Wisudaan bareng-bareng berempat.” Ia terkekeh canggung sebagai penutup kalimatnya.
Samuel meraih bahu Mikha, menepuknya kemudian pada detik berikutnya, ia tarik Mikha dalam pelukannya. “Break a leg, Mik.” Bisiknya pelan. “Even for things that had been happened, please be a better person. Gue seneng bisa jadi sahabat lo, gue seneng pernah jadi saksi hidup kehidupan lo.” Dapat aku lihat Samuel yang membersihkan sedikit sudut matanya. Samuel, seorang Samuel tengah menangis membersihkan sisa-sisa air mata.
Mikha ikut menepuk bahu Samuel, menariknya kedalam pelukannya lagi, mengucapkan terimakasih, kemudian keduanya terbahak. Setelahnya Mikha beralih menatap Rani yang menolak menatap balik dirinya. Mikha melipat senyum, membuang nafasnya lembut. “Ran.. congratulations—“
“Anjing lo, Mik.” Kini Rani berhambur memeluk tubuh Mikha yang cukup besar untuk bisa ia tangkup secara sempurna. Ada sedikit seguk tangis yang aku dengar kemudian.
Setiap harinya, Rani hanya akan berpura-pura bahwa ia kuat, tidak menjalani agenda-agenda yang biasa mereka lakukan bersama bertiga. Namun pada akhirnya, ia runtuh. Ini juga membuktikan bahwa kerinduan memang mampu membuat jiwa menjadi rapuh.
“Maafin gue, Ran..” Bisik suara Mikha juga masih bisa aku dengar dengan jelas.
Setelahnya, setelah pelukan keduanya kian melonggar dan tatapan Mikha bertemu mataku. Aku.. ikut menjadi rapuh.. dan betapa aku ingin meruntuhkan diriku sendiri pada pelukan hangat yang sudah sejak lama aku rindu.
“Din..” Panggilnya.
“Mikha..” Panggilku kembali.
“Can I?”
Dengan senyum tipis dan langkah pelan, kini aku jatuh pada pelukan hangat seorang Mikha yang aku rindu. Tidak bisa aku pungkiri, tidak bisa aku bohongi diriku sendiri.
“Mikha, i’m wishing you a successful life, ya?“ Pelukan Mikha dapat aku rasakan semakin kuat, membuat hatiku mencelus ingin menangis lebih kencang dalam dekapnya.
“You are still my favorite person, Din.” Bisiknya pelan dengan deru nafas yang bisa aku rasakan pada tekuk leherku. “Thank you so much, and i am so sorry..”
Dan pada akhirnya, aku menangis hebat didalam sana. Ada banyak kesempatan yang aku pertanyakan perihal hidup, salah satunya adalah dekapan hangat milik Mikha yang terkadang aku cari-cari dimana-mana. Pada setiap malam yang dingin dan suara semunya yang tiba-tiba bermain diruang kepalaku.
“Mikha.. kamu tetep jadi Mikha yang aku tau. Our precious 6 years, will always be there dan engga akan aku hancurin cuma karena kesalahan kamu. It is still full of love, and if i could, aku mau kita terjebak aja di 6 tahun yang kita punya, tanpa harus menyambut tahun ke 7, ke 8 dan seterusnya.” Aku tidak yakin apa Mikha mendengar dengan jelas apa yang aku katakan, mengingat aku masih didekapnya, bersamaan dengan suaraku yang ikut bergetar karena tangisan. “Mikha, i know you will be someone that i miss one day, but i’m still the luckiest. i was, once, being someone you run into and had a home inside of your eyes.”
Bersamaan dengan pelukan yang melonggar, ada pupuk air mata di mata Mikha yang aku abadikan. “Dulu, aku istirahatnya disini..” Tunjukku pada satu bola mata kanannya, membuat ia tertawa kecil.
“Maaf, aku engga bisa jadi rumah abadinya kamu, Din..” Mikha menunduk, membersihkan sudut matanya, dan membersihkan sedikit disudut mataku.
“It is okay. Someday, you will, jadi rumah buat satu orang yang akhirnya nyapu semua kesedihan kamu, jadi tempat kamu ngadu. Salam sama Kakak, Mik, Papi sama Mami..” Kali ini Mikha tersenyum penuh hangat. “And.. our precious baby girl, Lucy..” Sambungku lagi.
“Will do.”
Mikha melangkah menjauh, melambai pelan sampai akhirnya memutar tubuhnya dengan sempurna membelakangi aku, Rani dan Samuel. Ia terus menyusuri rerumputan tanah rektorat dan menghilang pada pilar-pilar, pada gedung-gedung kokoh fakultas.
Pada akhirnya, semua selesai. Garis pertemuan dan perpisahan memang sebegitu tipisnya, ada pada detik ini hingga selamanya. Apapun yang Mikha lakukan dan jadi apa Mikha di masa depan, aku akan bersyukur pernah mengisi garis pertemuan dengan dirinya dan saling mengisi kerinduan atas masa masa penuh cinta.
Mikha melalukan kesalahan yang berbuntut panjang pada beberapa aspek hidupnya, tapi yang aku tau, Mikha adalah satu yang penuh dengan kasih sayang. Mikha, masihlah yang itu, masih yang selalu aku rindu.
‘Like a wave that crashed and melted on the shore, not even the burnouts are out here anymore. And you had to go, I know, I know, I know’