city of angels.
Jangan tanya seberapa pengangnya kepala Mala ketika ia membuka mata. bahkan tirai apartemennya tidak lagi mampu menahan cahaya matahari diluar sana yang ternyata sudah duluan naik dan menyokong hari. Ia lupa apa yang sudah terjadi tadi malam, yang ia ingat hanya bagaimana langkahnya bersama sang cinta yang mengarungi K-Town dengan komentar yang tertinggal di beberapa puzzle ingatannya.
“Aku kurang suka kepiting marinasinya, enggak cocok di lidah.”
“Jajangmyeon-nya menurutku oke sih”
Migu. ‘Gu’-nya.
Mala menoleh ke kanan dan ke kiri, menemukan kamarnya kosong melompong. Tapi sebagai seorang akuntan yang bekerja di salah satu perusahaan multinasional besar, meraup ribuan dollar dalam sebulan, maka pemandangan yang pertama kali mampu ditangkap visualisasinya adalah bagaimana hidupnya kota Los Angeles sebagaimana tirai-tirai itu menampakan sekat kaca dari lantai berapa puluh apartemennya itu.
Ini, adalah bagian manifestasi dalam hidupnya.
Dengan rambut yang berantakan, ia menyusuri seluruh apartemennya dan menemukan bagaimana sampah yang berserakan di ruang tengah, serta piring kotor yang bertumpuk di sink cucian piringnya.
Ia memutar mata, ini pasti ulah Migu.
Selesai membersihkan diri, dengan handuk yang memeluk rambut basahnya, ia buang tubuhnya ke atas kasur dan menggapai ponselnya.
Tidak memilik daya baterai.
Kemudian buru-buru ia ambil kabel pengisi daya dan meninggalkan ponselnya itu di atas kasur.
Matanya mengembara, menatap bagaimana para masyarakat lokal itu melangkah menyusuri jalanan serta menyebrangi zebra cross dari sekat kaca di kamarnya. Orang-orang sibuk.
Ia juga seharusnya menyibukkan diri. Ini weekend, tapi ada satu hal penting yang membuatnya harus menghadiri meeting kira-kira 1 jam lagi.
Sekiranya menunggu, kali ini giliran kepalanya yang mengembara mengingat apa yang terjadi malam tadi.
Mala tau kalau mereka setengah mabuk ketika malam tadi menyusuri jalanan menuju Irolo itu. Mereka terbahak, sesekali menertawakan remaja yang sedang bercinta di gang yang lembab dan basah, padahal keduanya sama-sama di mabuk cinta.
Ia langsung tidur kelelahan setelah seharian penuh menghabiskan waktu bersama Migu. Dan terbangun melihat bagaimana lelaki itu meninggalkan apartemennya dengan keadaan yang kacau. Mungkin malam tadi perutnya masih terus melolong minta diberi makan, hingga mengosongkan setidaknya setengah isi kulkas Mala. Tapi tidak masalah, toh, ujung-ujungnya mereka akan pergi ke supermarket untuk belanja dan mengisi penuh kulkas Mala dan rak berisi makanan ringannya.
Mala dan Migu bertemu di pinggir pantai Malibu, ketika itu yang ditangkap visualisasinya adalah seorang lelaki yang bertelanjang dada dan sedang asik memukul bola voli bersama para lokal. Migu tidak terlihat seperti seorang penduduk lokal, itu sebabnya Migu sangat-sangat menarik perhatian Mala.
Atau mungkin Migu memang seorang penduduk lokal? karena caranya bersosialisasi benar-benar membuat Mala hampir terkecoh.
“Mana enakan Jakarta apa Malibu?” Mala mengerutkan alisnya hebat menatap lelaki yang tinggi menjulang dengan keringat yang menyapu habis tubuhnya yang ketika itu tidak ditutupi apapun. rambutnya yang sedikit gondrong keriting juga ikut basah dimandikan keringat. Ia letakkan bola volinya dan ikut duduk di atas pasir pantai, nafasnya masih tersenggal, sisa-sisa bermain volinya tadi.
“Malibu, I guess.”
“Right? Gue juga mikirnya gitu.” Mala masih tidak tau darimana Migu bisa tau ia datang jauh dari negara di atas garis khatulistiwa itu. Seakan bisa membaca mimik wajah, Migu menunjuk dengan alisnya satu gantungan kunci di totebag yang Mala tenteng. “Masih ada jaman sekarang yang pake gantungan kunci ‘I Love Jakarta’ ?” Migu terkekeh.
Mala lupa, totebag itu milik Ibunya. Memang, agak sedikit kampungan. Terlebih ia yang lahir dan besar di Jakarta.
“Lo liburan ke Malibu?” Mala menilik pelan bagaimana keringat itu masih membuat sungai di pelipis Migu. Tau kalau itu jadi sebab fokusnya hancur berantakan, buru-buru ia buang jauh pandangnya ke pantai sana.
“Kabur sih sebenernya..”
“Lah? Sama dong?”
“Sebenernya gue sewa apart di Los Angeles, kesini cuman main.”
Migu terkikik. “Gue juga..”
Mala bingungnya bukan main. Untuk apa ia menghabiskan gajinya selama setahun lebih dan berani menyewa apartemen seharga 1500 dollar dan tiket pesawat hanya untuk kembali menemukan ‘masyarakatnya’ di negara orang? Jadi, untuk apa Mala kabur kalau begitu?
“Nama gue Migu.. Migu Keandratama..” Cicitnya, mengusap peluh. “Lo balik kapan? Mau bareng?”
“Lo duluan aja.. Migu.. gue masih mau jalan-jalan..”
“Ayo.. bareng sama gue, mau?” Mala sebenarnya bingung. Haruskah? Ia diam cukup lama, menimbang ini dan itu, kalau dan kalau. Sampai akhirnya lawan bicaranya mulai bersuara memecah pertimbangannya. “Gak papa kalau lo maunya sendiri, gak menyinggung gue, you don’t have to worry.. siapa nama lo?”
“Mala..” Cicit Mala pelan. “Malandara.. Dasawarsa..”
“Hah?”
“Iya.. lo gak salah denger. Nama gue Dasawarsa. Nyokap bokap gue baru dapet gue setelah 10 tahun nikah.” Balas Mala lagi, menolak menemukan tatap.
“Dan lo memilih buat kabur?” Kali ini pandang Mala tertoreh kepada Migu, tidak lupa alisnya yang menyatu.
“Apa lo mengasumsikan bahwa gue anak durhaka?”
“Anak nyokap bokap lo berapa?” Pertanyaan yang dilempar Migu cukup untuk menyumpal habis kalimat-kalimat yang akan Mala lempar. “Lo doang, kan? gue asumsikan lo doang, soalnya lo diemnya lama..”
“Durhaka?”
Migu tertawa. “Durhaka sih..”
Tawa Migu tidak berbalas. Bagus, hitungan hari Mala berada di Los Angeles sudah menambah setidaknya satu bahan pikiran untuk dihiasi di tengah malam sebelum terjun ke dunia mimpi. Terimakasih banyak kepada Migu.
“Gue bercanda, Ra..” Mala menoleh ketika menatap raut wajah takut-takut dan khawatir di sana. Ia cukup tersinggung, jujur saja. Tapi sesungguhnya ia tidak punya waktu untuk menyikapi perasaan-perasaan semacam itu. Dan lagi, panggilan aneh apa itu?
“Jadi gimana? mau gue tinggal apa mau bareng?”
“Lo gak ada janji apa?”
“Lah? kan disini ceritanya gue juga kabur?”
“Ya terus kalo lo kabur kan bukan berarti lo gak ada janji sama temen-temen lo?”
“Santai, Ra.. Gue yakin, gue gak beda jauh sama lo..”
Malam itu, Mala membenci celetuk Migu yang mendengung di telinganya. “Ra..Ra..Ra..” Namanya bukan itu. Kenapa ia harus dihadiahi panggilan lain? Mala seharusnya cukup.
“Jadi.. mau kabur bareng gue?”
“Cosidering as a yes, gue cuma gak mau jajan gue kelindes abis cuma gara-gara transport. That’s why gue mau..”
Migu terbahak sampai membuang kepalanya kebelakang. “Chill.. gue juga gak bakal ujuk-ujuk nyuruh lo bayar bensin gue pas nyampe di Los Angeles. I bet i make money much more than you..”
“Whatever, Gu.. leaving or not?”
“Tunggu disini gue bebersih dulu..” Migu bangkit. Meninggalkan Mala yang duduk manis diatas pasir pantai bersamaan dengan matahari yang sudah meninggalkan jejak oranye dari langit.
Mala menunggu.
Ia menunggu orang asing untuk mengantarnya mengarungi tempat yang asing. Dari skala 1 sampai 10, Mala menerka, sudah sampai dimana kebodohan yang menyelimuti akal sehatnya? mungkin 7? atau 8? 10. Mala bilang 10.
Bagaimana kalau Migu itu adalah seorang Mucikari dan akan menjual dirinya kepada para politisi untuk memenuhi birahinya? Bagaimana kalau besok Mala terbangun sudah berada entah dimana dan tubuhnya sudah terpotong-potong menjadi beberapa bagian?
Ia masih punya waktu untuk kabur. Kepalanya terus berteriak untuk kabur. Sialan! Hatinya malah tidak bisa diajak kompromi. Ia mati. Mala mati. Kalau memangpun harus malam ini, yasudah. Bukannya tempo hari ia meminta agar supaya pesawat yang membawanya dari Ibukota jatuh dan menghanguskan tubuhnya? Kenapa sekarang ia harus takut untuk akhirnya berada di situasi yang ia mau?
“Waktu itu aku pikir kamu mucikari..” Migu terbahak. Memukul stirnya kuat.
“Gila aja.. Yakali..”
“wasn't it weird? When you asked someone freely for strolling around? Kaya.. kalo gak ada niat terselubung terus apa?” Dengan senyum simpul, Migu tepuk pelan salah satu pipi Mala.
“Kan ini niatnya..” Oke, Mala memang harus akui. Label Independen Woman yang ia bawa-bawa harus jatuh berantakan ketika laki-laki ini hanya menyebutkan satu atau dua kalimat. Jangan tanya bagaimana kemudian semburat merah dikedua pipinya mulai terbakar, jangan tanya bagaimana dadanya tiba-tiba buta caranya mengatur nafas, jangan tanya harus seberapa pintar ia menulis kalimat di kepalanya agar supaya ia tidak terlihat sebagai perempuan yang lemah akan afeksi.
Walaupun pada akhirnya, tabiat perempuan akan selalu lemah apabila dicecar afeksi. Pada akhirnya, ketika merasa dicintai, dunia tidak lagi berarti.
Malam ini, setelah kejadian malam kemarin, tidak bosan keduanya kembali menyisihkan waktu. Mala mati-matian menghabiskan energi untuk bebersih apartemennya yang diacak Migu. Maka tidak ada salahnya kembali mengisi energi dengan sebentar berkeliling memeluk malam di kota ini.
Musim panas sudah lebih dulu selesai. Mala lupa, ia tidak pernah menghitung sudah berapa kali melewati musim panas bersama Migu. Dua kali? Tiga kali? Entah. Agenda mengelilingi Malibu dan berakhir diantarkan pulang ke Los Angeles ujuk-ujuk menjadi celah kecil untuk Migu masuk memanfaatkan kesempatan. Mala harus akui, ia gigih.
Mobil yang mereka tumpangi jadi saksi bisu kebersamaan yang sudah-sudah. Mungkin, kalau benda mati itu ditakdirkan bisa berbicara seperti layaknya manusia, ia pasti sudah muntah melihat berapa kali budak cinta itu berciuman disana.
Semua tempat wisata di Silver Lake sudah di kunjungi, sudah di tapak, sudah ditinggalkan kenang-kenangnya. Dari satu Bar ke Bar lainnya, dari satu toko Souvenier ke toko Souvenier lainnya. Dari museum yang satu ke museum lainnya. Mala rasa, ia sudah hapal diluar kepala rute-rute yang sudah mereka jajaki.
Malam itu, Migu hadiahkan peluk kepala Mala lewat jaket berwarna hijau army agak tua karena melihat bagaimana bibir Mala yang bergetar hebat akibat di tampar angin malam. Ini yang Mala suka, Migu tidak pernah mengganti parfumnya. Migu juga tidak pernah mengganti softener kalau mencuci bajunya sendiri. Mala bilang, ia jadi gampang untuk mengenali Migu dari satu bau.
Mobil Migu berhenti diatas bukit yang menghadap pada tulisan autentik ‘HOLLYWOOD’. Keduanya duduk diatas kap mobil. Migu sesekali mengambil kerikil kecil di dekat kakinya dan mulai melempar satu persatu asal entah kemana.
“Aku gak pernah nyangka kalau aku bakalan jatuh cinta di tempat yang bukan rumahku sendiri..” Hening mendadak berserakan ketika suara Mala jadi pemecah. Migu tersenyum.
“Dulu mikirnya bakalan jatuh cinta dimana?”
“Hm.. Jogja?” Migu kali ini terbahak kecil.
“Belum pernah ke Jogja..” Katanya lagi, masih terus menerus melempar kerikil asal. “Tapi menurut kamu Jogja emang seromantis itu? Sampe bisa dijadiin tempat untuk jatuh cinta?”
“It has a different feeling, Gu. Aku engga tau gimana cara bilangnya tapi kalau kamu ke Jogja.. everything seems so magical. like.. it seems impossible not to falling in love in Jogja. You need to go to Jogja one day..” Mala mengulum senyum.
“Well noted.”
“Or maybe we can go together? Kamu ada rencana balik?“ Bukannya menjawab, Migu malah menarik pelan nafasnya, menyisakan jeda yang agak panjang. Ia membenarkan posisi duduknya, menatap lama tulisan gagah ‘HOLLYWOOD’ di depan manik matanya.
“How’s New York in your perspective, Ra..?”
Mala tidak langsung menjawab. Ia memutar kepalanya agak lama berusaha menemukan satu atau dua kalimat untuk jawab. Karena jujur, dirinya sendiri belum pernah memijak di New York sekalipun.
“Dunno? Dikepalaku yang kegambar cuma patung Liberty..”
Kedua sudut bibir Migu menungkik tajam. “It has Upper West Side di Manhattan. Cozy Brick Apartement Buildings, Riverside Park and Central Park. Bahkan kalau lagi spring, kamu bisa lihat kebun Strawberry disana. And the most fascinating things are.. Artists, professors, filmmakers, and writers made their homes on the Upper West Side. Its City Skyline, The Empire State Building, Chrysler Building and Woolworth building..” Suara Migu mendadak hilang perlahan sampai kalimat penutupnya. “Keren, ya?” Kata Migu lagi. Mala menyadari bagaimana mata Migu yang tidak menemukan matanya ketika berbicara tentang New York itu mengandung banyak bintang. Bahkan, Mala jarang menemukan mata itu ketika mereka saling menuai cinta. Migu bahkan tau semua Gedung-gedung pencakar langit di negara yang sempat dapat julukan ‘The Big Apple’ itu.
“Broadaway, Ra. Manhattan Valley and also Amsterdam Avenue. New York filled with dreams and the dreamers, don’t you think so?” Migu jatuh cinta. Tidak lagi itu bentuk kemungkinan, yang Mala lihat dengan jelas adalah bentuk kepastian.
“Yes..”
“It must be fun to lived in New York..”
“Isn’t it fun as well in Los Angeles?” Pertanyaan yang dilontarkan Mala tidak mendapat jawab, hanya tatapan sendu dari kedua manik mata yang Mala sayang.
Dan secepat itu dapat Mala konklusikan, jatuh cinta Mala kepada Los Angeles atas nama Migu, ternyata tidak tertuai sama besarnya. Migu dan New York, Migu dan mimpinya, katanya. Jadi, untuk apa Mala membanggakan Los Angeles dan Migu didalamnya?
Untuk apa Migu berakhir di Los Angeles kalau mimpinya ada di New York sana?
“Kalau selama ini mimpi kamu ada di New York, buat apa kamu ada disini?”
“Ra.. Everything happens for a reason. When it comes to your mind, Did you found kind of relevance between us?”
“So?”
“So.. maybe we can crossed our path first—“
“—before you leave me and go to New York?” Migu kelu. Seringai di sudut bibir Mala membuatnya menutup mulut hampir 2 menit lamanya. “Don’t say..?”
“Ra.. why don’t we moved to—“
“—No!” Langkah Mala tiba-tiba menjauh. Menciptakan jarak, membiarkan dinginnya angin malam memenuhi ruang hampa di antara mereka berdua.
“Selama ini.. aku pikir Silver Lake, Malibu, jalanan kota LA even that..” Mala mengambil nafas sebentar, menahan kerongkorangannya untuk tidak mengeluarkan suara parau. Walaupun pada akhirnya, semua sia-sia. Ada bulir-bulir yang mendadak memupuk, perlahan penuh dan akhirnya tumpah. “..that stupid HOLLYWOOD, Gu.. we’re built our dreams here.. aren’t we?”
“It’s all your dream, Ra. You said that LA was your biggest dreams since you were 12, and here you are.. look at you.” Bahu Migu naik secepat kilat menjelaskan bagaimana Mala tumbuh memenuhi mimpi masa kecilnya. “But.. my dreams.. they weren’t here. They were in Broadaway. Not Silver Lake, not Malibu or even that stupid HOLLYWOOD you said. They were in New York, Ra..”
Cicitan hewan malam memenuhi jarak diantara mereka yang semakin menjadi.
“I need to go to New York..” Sambung Migu. “Even if i should living life in taxis with no money, i would. a hundred times.. would..”
Sunyi. Pengang.
“Kapan, Gu?” Dari visualisasi Mala, jakun Migu naik dan turun. Ia menelan ludah susah payah dan kemudian membuang wajahnya menolak menatap manik mata yang kini hanya cukup dipenuhi embun.
“Minggu depan..”
“Gu..” Lagi-lagi air mata yang ditahan Mala menolak untuk tidak jatuh. Kini mulutnya ditutup rapat oleh telapak tangannya. Ia genggam erat jaket berwarna army milik Migu yang memeluk tubuhnya agar terhalang dari dinginnya angin malam. Tapi Mala yakin, dinginnya hati laki-laki dihadapannya tidak akan mampu lagi membuat Mala menatapnya dengan sama.
“I know you won’t like this idea, Ra. That’s why I keep it from you. Cara kamu ngomongin Malibu, atau apapun tentang this city of Angels, you are well-known by me. I know this will happen soon or later. Aku cuma mengulur waktu untuk ngeliat kamu kaya gini..” Kalimat yang enggan keluar dari mulut Mala memilih berotasi didalam kepalanya. Masih dengan pupuk air mata dan menolak menatap yang kerap kali ia panggil cinta. ‘was it even love?’
“And this car..” Migu tepuk kap-nya pelan beberapa kali. “I sold it already.”
“Gu..?”
“I meant it, Ra. I don’t mind if I should living life in taxis. Anything, for New York..”
Setibanya, yang mampu Mala lihat hanya bagaimana kenangan mereka di dalam mobil bermerk Subaru Forester itu menyeruak bak reel film rusak. Pertama kali Mala diajak mengelilingi Malibu, atau rencana-rencana mengunjungi Silverlake atau pertama kali kalimat penuh esensi yang Migu ucapkan untuk memulai satu hubungan. Tapi semakin Mala menyelam kembali kepada kejadian itu, Mala fikir semuanya palsu.
Mala sedang tidak menjadi egois. Kalaupun Migu harus pergi terbang ke New York sana, silahkan saja. Mala akan dengan sangat terbuka membiarkan Migu pergi untuk mimpinya. Mungkin, dengan itu, mimpinya mampu membawa Migu kembali pulang, entah kemana.
Tapi mimpi Mala ada disini. Dan Mala fikir, menetapnya Migu disini, bagaimana mereka yang saling menumbuhkan cinta di segala sudut kota Los Angeles ini, adalah bentuk mereka yang sama sama sedang membangun mimpi. Bukan tanah Los Angeles yang tidak kuat bagi mereka untuk membangun angan, hanya Mala yang sedang mengangkat puing-puing mimpinya untuk kembali utuh. Mala tebak, pondasinya ternyata masih kurang kuat.
“Go ahead, Gu. Enggak papa. Kalau memang mimpi kamu bukan disini, enggak ada disini, go ahead, cari. Cari sampe kamu dapet dimana mimpi kamu selama ini.” Jakun Migu naik dan turun lagi.
“What about us?” Dengar itu? Mala yakin jantung hati nya terbuat dari daging segar, tapi kenapa mampu ia dengar nada patahan dari sana?
“’What about us’, Gu? Aku pikir ‘Kita’ juga bagian dari mimpi kamu?”
“It is. Mangkanya aku ajak kamu buat pergi sama aku ke New York..” Dengan tekuk senyum, pipi yang sudah lengket disiram air mata, Mala menunduk, menggeleng.
“Mimpiku disini.” Deru angin jadi semakin dingin. Cicitan hewan malam jadi perusak gendang telinga. Jarak yang tercipta semakin meluas, menyapu habis hangatnya dekap yang biasa mereka cipta.
“Then you should leave all of my ghosts here, Ra.” Mala pernah ketakutan. Bagaimana kalau seandainya Migu hilang. Dari Los Angeles, atau dari hidup Mala. Tapi disinilah ia, menghitung waktu untuk menyaksikan bagaimana saksi kulit Migu memudar. Dikikis perlahan dan ketakutannya jadi kenyataan.
Pada akhirnya yang Mala ingat hanya sebagian kecil Migu dari ingatannya, sisanya? Migu tidak lagi ada disini.
“Nanti, kalau ada waktu aku kunjungin kamu ke New York, Gu.”
Sebelum langkah Mala berbalik, suara familiar itu kembali. “Ra, I ask you for the last time. Ayo, kita ke New York..”
Bibirnya kembali bergetar. “I’d love to, Gu. Tapi.. mimpiku disini. Semuanya ada disini.” Getar suara Mala disusul air mata yang sempat mengering itu mampu Migu lihat dengan jelas. Pun, melukai hatinya. “Or maybe, by tomorrow morning, one of my dreams will gone. Kamu.. mungkin gak ada lagi disini.”
Lagi, sebelum Mala melangkah lebih jauh. Suara berat familiar yang selalu ia tunggu mengetuk gendang rungunya tidak pernah terasa pedih seperti ini. “Ra.. aku anter kamu pulang..”
But, where is home?